Anda di halaman 1dari 7

SISTEM POLITIK INDONESIA

TUGAS KELOMPOK

TENTANG

“BIROKRASI DI INDONESIA DARI AWAL KEMERDEKAAN HINGGA


REFORMASI”

OLEH : KELOMPOK 9

YANA BISTIANITA

KASHAISHA OKTIAPANI

RAMADHANI PASARIBU

DEVY LIA FITRI

ADILAH YULIADISTA

FEBRIANA PUTRI SARI

DOSEN PENGAMPU : FAISYAL RANI S.IP M.A

ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS RIAU

TAHUN 2018
“PERKEMBANGAN BIROKRASI

(DARI AWAL KEMERDEKAAN-REFORMASI)”

A. Pendahuluan
 Pengertian Birokrasi

Birokrasi berasal dari kata bureaucracy (bahasa inggris bureau + cracy), diartikan
sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, di mana
lebih banyak orang berada ditingkat bawah daripada tingkat atas, biasanya ditemui pada
instansi yang sifatnya sipil maupun militer.

Pada rantai komando ini setiap posisi serta tanggung jawab kerjanya dideskripsikan
dalam organigram. Organisasi ini pun memiliki aturan dan prosedur ketat sehingga cenderung
kurang fleksibel. Ciri lainnya adalah biasanya terdapat banyak formulir yang harus dilengkapi
dan pendelegasian wewenang harus dilakukan sesuai dengan hierarki kekuasaan.

Dalam perspektif sejarah bangsa, birokrasi di Indonesia adalah warisan kolonial yang
sarat kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulasi birokrasi yang demikian
diwarnai dengan orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil
warganegara.
            Dalam praktiknya, struktur dan proses yang dibangun merupakan instrumen untuk
mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah
dalam tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan misi utama
birokrasi yang dibangun oleh kolonial adalah untuk mempertahankan kekuasaan dan
mengontrol perilaku individu.
B. Pembahasan

 Birokrasi pada masa awal kemerdekaan


            Setelah memperoleh kemerdekaan, Negara ini berusaha mencari format pemerintahan
yang cocok untuk kondisi saat itu. Berakhirnya masa pemerintahan kolonial membawa
perubahan sosial politik yang sangat berarti bagi kelangsungan sistem birokrasi
pemerintahan. Perbedaan–perbedaan pandangan yang terjadi di antara pendiri bangsa di awal
masa kemerdekaan tentang bentuk Negara yang akan didirikan, termasuk dalam pengaturan
birokrasinya, telah menjurus ke arah disintegrasi bangsa dan keutuhan aparatur
pemerintahan.            

            Pada masa awal kemerdekaan, Negara ini mengalami perubahan bentuk Negara, dan
ini yang berimplikasi pada pengaturan aparatur Negara atau birokrasi. Perubahan bentuk
Negara dari kesatuan menjadi federal berdasarkan konstitusi RIS melahirkan dilematis dalam
cara pengaturan aparatur pemerintah. Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis
menyangkut birokrasi pada saat itu. Pertama, bagaimana cara menempatkan pegawai
Republik Indonesia yang telah berjasa mempertahankan NKRI, tetapi relatif kurang memiliki
keahlian dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana menempatkan pegawai
yang telah bekerja pada Pemerintah belanda yang memiliki keahlian, tetapi dianggap
berkhianat atau tidak loyal terhadap NKRI.

            Menurut Bahtiar Effendy (dalam Maliki, 2000: xxvii), sejak Indonesia mempunyai
perangkat birokrasi, sulit rasanya menemukan suatu periode pemerintahan yang
memperlakukan birokrasi sebagai institusi yang bebas dari politik. Baik pada masa demokrasi
parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, dan periode transisional sesudahnya,
interplay antara politik dan birokrasi merupakan sesuatu yang jelas adanya. Pada masa
Demokrasi Parlementer dan terpimpin misalnya, adanya politisasi birokrasi bisa dilihat dari
adanya anggapan bahwa Kementrian Pendidikan diasosiasikan dengan PNI. Sementara itu,
Kementrian Agama dikaitkan dengan dengan kekuatan politik Masyumi atau NU. 
      
            Dari penjelasan tersebut, bisa diartikan bahwa pada masa Orde Lama, birokrasi
cenderung terbelah menjadi faksi-faksi dan mesin politik bagi partai-partai politik, seperti
PNI, NU, PKI, dan lainnya. Kebijakan yang diturunkan pada birokrasi di tingkat bawah
ditentukan oleh partai apa yan berkuasa. Maka tidak heran jika sebuah kebijakan tidak dapat
dilaksanakan hingga tuntas, dikarenakan pergantian kabinet.

 Birokrasi Masa Orde Baru

Birokrasi pada masa Orde Baru menciptakan strategi politik korporatisme Negara
yang bertujuan untuk mendukung penembusan ke dalam masyarakat, sekaligus dalam rangka
mengontrol publik secara penuh. Strategi politik birokrasi tersebut merupakan strategi dalam
mengatur sistem perwakilan kepentingan melalui jaringan fungsional non-ideologis, dimana
sistem tersebut memberikan berbagai lisensi pada kelompok fungsional dalam masyarakat,
seperti monopoli atau perizinan, yang bertujuan untuk meniadakan konflik antar kelas atau
antar kelompok kepentingan dalam masyarakat yang memiliki konsekuensi terhadap
hilangnya pluralitas sosial, politik maupun budaya.

Pemerintahan Orde Baru lebih menggunakan birokrasi untuk mengurus kehidupan


publik, dalam arti fungsi regulatif daripada fungsi pelayanan publiknya. Birokrasi sebagai
kepanjangan tangan dari pelaksanaan regulasi pemerintah. Menjadikan birokrasi sangat tidak
terbatas kuasanya dan sulit dikontrol masyarakat. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk
semenjak masa birokrasi kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari
perilaku aparat atau pejabat birokrasi. Masih kuatnya kultur birokrasi yang menempatkan
pejabat birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai pihak yang
dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya dilayani dengan baik, telah
menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi bersikap acuh dan arogan terhadap
masyarakat.

Dalam kondisi pelayanan yang sarat dengan nuansa kultur kekuasaan, publik menjadi
pihak yang paling dirugikan. Kultur kekuasaan dalam birokrasi yang dominan membawa
dampak pada terabaikannya fungsi dan kultur pelayanan birokrasi sebagai abdi masyarakat.
Pada saattersebut sebenarnya berbagai praktik penyelewengan yang dilakukan oleh birokrasi
terjadi tanpa dapat dicegah secara efektif. Penyelewengan yang dilakukan birokrasi terhadap
masyarakat pengguna jasa menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan yang dapat
dieksploitasi untuk kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi. Kultur kekuasaan
yang telah terbentuk semenjak masa birokrasi kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit
untuk dilepaskan dari perilaku aparat atau pejabat birokrasi.

 Birokrasi Masa Reformasi

Dengan berakhirnya krisis 1998 dan masa Orde Baru, pemerintahan masa reformasi
dimulai dengan keinginan untuk membuat kondisi birokrasi yang baik (good govermence)
seperti membuat undang-undang dan lembaga-lembaga yang mengatur para birokrat
melaksanakan tugas dan fungsinya secara tepat.

 Kemudian dalam masa ini dikenal dua macam birokrasi yaitu birokrasi patrimonial


dan birokrasi kapitalisme. Birokrasi patrimonial sendiri dapat diartikan sebagai perekrutan
orang ke dalam birokrasi didasarkan pada kedekatan hubungan personal yang mengabaikan
kualitas individu, namun lebih memprioritaskan loyalitas kepada atasan. Untuk yang kedua
untuk kapitalisme, disini para birokrat secara aktif terlibat dalam aktivitas bisnis yang
berkaitan dengan pelayanan publik.

Faktor kultural dan struktural seperti di atas berperan besar dalam mendorong
terjadinya KKN di kalangan birokrasi. Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada
masa reformasi, tampaknya belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di
Indonesia. Perkembangan birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi birokrasi
sering kali masih terjadi. Masih kuatnya kultur birokrasi yang menempatkan pejabat birokrasi
sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai pihak yang dikuasai,
bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya dilayani dengan baik, telah menyebabkan
perilaku pejabat birokrasi menjadi bersikap acuh dan arogan terhadap masyarakat.

Inefisiensi kinerja birokrasi dalam penyelengaraan kegiatan pemerintahan dan


pelayanan publik masih tetap terjadi pada masa reformasi walaupun sudah dapat ditekan.
Birokrasi sipil termasuk salah satu sumber terjadinya inefisiensi pemerintahan. Inefisiensi
kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik terlihat dari masih sering terjadinya kelambanan
dan kebocoran anggaran pemerintah. Jumlah aparat birokrasi sipil yang terlampau besar
merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi terhadap inefisiensi pelayanan
birokrasi.

Walaupun, pemerintah sedang berusaha mewujudkan good govermence dengan cara


membentuk badan-badan yang dianggap perlu untuk menciptakan birokrasi yang baik, tidak
terbelit-belit dan akuntabititas yang tinggi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
pembuatan E-KTP, dan visi Indonesia bisa menerapkan birokrasi bersih pada 2025 sekalipun
belum mampu membuat kondisi Indonesia menjadi lebih baik.

 Perbandingan Kinerja Birokrasi Pada Masa Orde Baru Dan Masa Reformasi

Dari beberapa penjelasan diatas mengenai sistem politik dan kinerja birokrasi di
Indonesia di dua masa yang berbeda, dapat disimpulkan sebagai berikut :

Perbandingan Sistem politik dan kinerja birokrasi pada masa Orde Baru dan masa
reformasi di Indonesia.

Masa Orde Baru Masa Reformasi


Kinerja Birokrasi Administrasi yang Administrasi masihberbelit-belit,
sangatberbelit-belit, proses proses administrasi
administrasi yang lama, sedikit lebihcepat, sudah adanya
tunduk pada satu perintah tata tertib yang mengatur birokrat.
(komando)
Transparansi Sangat buruk, karena badan Lebih baik, karena dibuat
pengawas tunduk kepada lembaga yang khusus untuk
Presiden. mengawasi.
Akuntabilitas Sangat buruk, karena Lebih baik, karena tidak hanya
tanggungjawab langsung dengan bertanggungjawab kepada
Presiden, tanpa tanggungjawab presiden saja, tetapi
kepada masyarakat. tanggungjawab kepada
masyarakat melalui media massa.
Efisiensi Kinerja Inefisien terlihat dengan jelas, Kinerja belum terlalu efisien
dan belum mampu untuk namun sedikit demi sedikit
ditekan, karena partisipasi publik mampu ditekan, karena partisipasi
sama sekali belum ada. publik sudah mulai terlihat.

Anda mungkin juga menyukai