Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG
Birokrasi adalah rantai komando berbentuk piramida dalam suatu organisasi
dimana posisi di tingkat bawah lebih banyak daripada tingkat atas.
Ada juga yang menjelaskan arti birokrasi adalah suatu struktur organisasi yang
memiliki tata prosedur, pembagian kerja, adanya hirarki, dan adanya hubungan
yang bersifat impersonal. Organisasi yang menjalankan sistem birokrasi biasanya
memiliki prosedur dan aturan yang ketat sehingga dalam proses operasionalnya
cenderung kurang fleksibel dan kurang efisien.

Birokrasi banyak ditemukan dalam organisasi pemerintahan, rumah sakit,


perusahaan, sekolah, dan militer. Meskipun ada anggapan bahwa birokrasi identik
dengan inefisiensi, pemborosan, dan kemalasan, faktanya sistem birokrasi
diperlukan agar proses operasional berjalan sesuai dengan aturan yang telah
ditentukan.

1.2.RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian birokrasi
2. Pengertian birokrasi menurut para ahli
3. Sejarah birokasi
4. Ciri – ciri birokrasi
5. Fungsi dan peran birokrasi
6. Teori birokrasi

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. PENGERTIAN BIROKRASI

Birokrasi berasal dari kata bureaucracy (bahasa inggris bureau + cracy),


diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk
piramida, di mana lebih banyak orang berada ditingkat bawah daripada tingkat atas,
biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya sipil maupun militer.

Pada rantai komando ini setiap posisi serta tanggung jawab kerjanya
dideskripsikan dalam organigram. Organisasi ini pun memiliki aturan dan prosedur
ketat sehingga cenderung kurang fleksibel. Ciri lainnya adalah biasanya terdapat
banyak formulir yang harus dilengkapi dan pendelegasian wewenang harus dilakukan
sesuai dengan hierarki kekuasaan.

2.2. PENGERTIAN BIROKRASI MENURUT PARA AHLI

a. Menurut Hegel

Birokrasi sebagaai instrumen untuk melakukan pembebasan dan transformasi


sosial. Hegel berpendapat birokrasi ialah medium yang dapat dipergunakan untuk
menghubungkan kepentingan partikular dengan kepentingan general “umum”.

b. Menurut Karl Marx

Birokrasi merupakan instrumen yang dipergunakan oleh kelas yang dominan


untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas kelas - kelas sosial lainnya, dengan
kata lain birokrasi memihak kepada kelas partikular yang mendominasi tersebut.

c. Menurut Bintoro Tjokroamidjo

2
Birokrasi untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan
oleh banyak orang. Tujuan birokrasi adalah agar pekerjaan dapat diselesaikan dengan
cepat dan terorganisir.

d. Menurut Blau

Birokrasi sebagai tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai
tugas - tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinir secara sistematis
“teratur” pekerjaan dari banyak orang.

e. Menurut Ismani

Bahwa dalam birokrasi terdapat aturan - aturan yang rasional, struktur organisasi
dan proses berdasarkan pengetahuan teknis dan dengan efisiensi dan setinggi -
tingginya, dari pandangan yang demikian tidak sedikitpun alasan untuk menganggap
birokrasi itu jelek dan tidak efisien.

2.3. SEJARAH BIROKRASI

Peran birokrasi pada masa kolonial

Kekuatan kolonial di kepulauan Indonesia mempunyai kepentingan bagaimana


mengendalikan seluruh wilayah dengan mempertimbangkan jarak, daratan dan wilayah
antar negeri yang sangat besar agar tidak menyulitkan dalam melakukan eksplorasi
sumber-sumber daya, selain dari itu perlu adanya partisipasi pasif, partisipasi aktif dari
bumiputera sangat diperlukan, kolaborasi dalam partisipasi aktif ini tentunya dengan
tidak boleh mengorbankan kekuasaan dan pengaruh kolonialisme.

Pemerintahan kolonial dikontrol secara terpusat di Batavia (sekarang Jakarta)


melakukan administrasi secara keseluruhan dan bertindak atas nama kerajaan Belanda
(dengan jabatan setingkat menteri koloni) yang umum dikenal sebagai gubernur

3
jenderal yang dibantu oleh dewan Hindia Belanda (raad van Nederlands-Indië),
sekretariat umum (algemene secretarie), departemen administrasi umum
(departementen van algemeen bestuur) dan pemerintahan daerah (het binnenlands
bestuur) dengan birokrasi Eropa yang ruang lingkup kerja terbatas bagi bangsa Eropa
sedangkan bagi bumiputera selalu berada di bawah pengarahan langsung dari
pemerintahan lokal Inlandsche Bestuur (pangreh praja) yang mencakup bagian besar
dari dahulu yang disebut dengan wilayah Hindia Belanda, pemerintahan sendiri seperti
raja, pangeran dengan melalui kesepakatan politik dengan pemerintah kolonial namun
ada pula daerah yang dikuasai secara langsung dimana pemerintahan kolonial ikut
membentuk birokrasi yang berdampingan dengan birokrasi pemerintahan lokal seperti
yang terlihat pada administratif pemerintahan di pulau Jawa dan Madura sekitar tahun
1829 bersamaan dengan mulai dikenalkan konsep birokrasi Eropa terutama dalam
sangkutan dengan komoditas ekspor. kebijakan cultuurstelsel berangsur-angsur
berubah dengan demikian sektor swasta mulai bermunculan antara lain perkebunan dan
perindustrian dengan kedatangan pekerja penduduk Eropa di bidang perkebunan,
perdagangan komersial dan industri bersamaan dengan itu budaya politik saat itu mulai
ikut menumbuhkan gerakan nasionalisme di Indonesia.

Pada tahun 1905 mulai terbentuk pemerintahan walaupun dengan kekuasaan


terbatas dan tetap di bawah pimpinan pemerintah daerah Eropa berlanjut pada tahun
1916 terbentuk pula pemerintahan kota-kota besar dengan pemerintahan sendiri dengan
wali kota bukan merupakan bagian dari pemerintah daerah Eropa, pada 1918 mulai
terdapat dewan rakyat yang berbentuk badan perwakilan dari berbagai kelompok yang
diwakili dalam dewan ini. dilanjutkan pada tahun 1925 wilayah dibagi dalam beberapa
tingkat administratif baru, provinsi di pulau Jawa dan Madura dan pemerintah di luar
daerah (pulau-pulau di luar Jawa dan Madura). Di samping itu, di pulau utama Jawa
dan Madura ke pemerintah daerah asli lebih mandiri dengan pengalihan fungsi tersebut.

4
Awal kemerdekaan

Pada tanggal 30 Mei 1948 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1948
pemerintah RI yang berkedudukan di Jogjakarta baru mendirikan Kantor Urusan
Pegawai (KUP) sedangkan pemerintahan RIS yang berkedudukan di Jakarta untuk
masalah kepegawaian dibentuk melalui Keputusan Letnan Gubernur Jenderal di Hindia
Belanda Nomor 10 tanggal 20 Februari 1946 dengan nama Kantor Urusan Umum
Pegawai (KUUP) yang berada di bawah departemen urusan sosial namun dengan
Keputusan Letnan Gubernur Jenderal di Hindia Belanda Nomor 13 Tahun 1948
membatalkan keputusan terdahulu dan membentuk Djawatan Urusan Umum Pegawai
(DUUP) yang langsung dibawah Gubernur Jenderal, antara Kantor Urusan Pegawai
(KUP) dan Djawatan Urusan Umum Pegawai (DUUP) masing-masing melaksanakan
kegiatannya sendiri-sendiri hingga terdapat dualisme dalam birokrasi di Indonesia,
kemudian karena adanya pengakuan kedaulatan Indonesia pada tanggal 27 Desember
1949 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1950 dibentuklah Kantor Urusan
Pegawai (KUP) guna menyatukan Kantor Urusan Pegawai (KUP) dan Djawatan
Urusan Umum Pegawai (DUUP) dan berada di bawah dan bertanggugjawab kepada
perdana menteri akan tetapi karena suasana perpolitikan saat itu, Kantor Urusan
Pegawai (KUP) yang akan menata birokrasi tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya disusul pada tanggal 17 Agustus 1950, terjadi pergantian konstitusi RIS
berubah menjadi UUDS 1950 yang berakibat terjadinya perubahan bentuk negara
kembali ke negara kesatuan. Tahun seribu sembilan ratus lima puluh tiga 1953 T.R.
Smith membantu menyusun laporan untuk Biro Perancang Negara berjudul Public
Administration Training, setahun kemudian dua orang profesor dari Cornell University,
School of Business and Public Administration Amerika yang diundang ke Indonesia
yaitu Edward H. Lichtfeld dan Alan C. Rankin yang berhasil menyusun laporan
rekomendasi yang berjudul Training for Administration in Indonesia[5][6]. Pada masa
kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956 - 9 April 1957) melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 1957 dibentuk Panitia Negara untuk menyelidiki

5
Organisasi Kementerian-kementerian atau Panitia Organisasi Kementerian (PANOK)
sebagai pengganti Kantor Urusan Pegawai (KUP) serta ikut dibentuk Lembaga
Administrasi Negara (LAN) yang bertugas menyempurnakan administratur negara atau
birokrasi keduanya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada perdana menteri.

Pada tanggal 5 Juli 1959, dikeluarkan dekret presiden yang menyatakan


berlakunya kembali UUD 1945 dan presiden melalui Peraturan Presiden Nomor 2
Tahun 1959 melarang PNS golongan F menjadi anggota dari partai politik selanjutnya
pada tahun 1961 dikeluarkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 1961 tentang
Ketentuan Pokok Kepegawaian dan dibentuk Badan Administrasi Kepegawaian
Negara (BAKN) diikuti dengan lembaga baru bernama Panitia Retooling Aparatur
Negara (PARAN) yang menghasilkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 1962 tentang
pokok-pokok organisasi aparatur pemerintah negara tingkat tertinggi, dua tahun
kemudian dikeluarkan Keppres Nomor 98 Tahun 1964 dibentuk Komando Tertinggi
Retooling Aparatur Revolusi (KONTRAR) merupakan kelanjutan dari Panitia
Retooling Aparatur Negara (PARAN), retooling atau "pembersihan" dalam dua
kepanitian terakhir ini lebih bernuansa politis dengan penyingkiran birokrat yang tak
sehaluan dengan partai yang sedang memerintah (the ruling party) atau yang dianggap
tidak sejalan dengan kebijakan pemerintahan republik.

Birokrasi dalam perkembangan

Dalam perkembangannya pengorganisasian birokrasi mulai diwarnai dengan


ketidakpastian akibat peranan partai-partai politik yang saling bersaing dengan sangat
dominan, partai-partai politik mulai melakukan building block kekuasaan melalui pos-
pos kementerian strategis di jajaran pemerintahan sebagai sumber daya kelangsungan
partai politik yang bersangkutan, program rekrutmen birokrasi ikut mengalami spoil
system yang merajalela mulai dari pengangkatan, penempatan, promosi dan instrumen

6
kepegawaian lainnya tidak didasarkan kriteria penilaian melainkan berdasarkan
pertimbangan politik, golongan serta unsur-unsur lainnya di luar tugas birokrasi.

Pada tahun 1966 awal pemerintahan Suharto bedasarkan Ketetapan MPRS


Nomor XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera ditunjuk selaku presiden dan ketua
presidium Kabinet Ampera melalui Keputusan Presidium Kabinet Ampera Nomor 266
Tahun 1967 kembali membentuk panitia pengorganisasian birokrasi sebagai pembantu
presidium yang kemudian dikenal dengan nama Tim Pembantu Presiden untuk
Penertiban Aparatur dan Administrasi Pemerintah atau disingkat menjadi Tim PAAP
yang beranggotakan sebelas orang dengan Menteri Tenaga Kerja selaku ketua
didampingi oleh direktur LANsebagai sebagai sekretaris serta dibantu oleh lima orang
penasehat ahli yang mengusulkan unit kerja baru bernama Sekretariat Jenderal,
Direktorat Jenderal dan Inspektorat tercermin dalam Keputusan Presidium Kabinet
Nomor 75/U/KEP/11/1966 serta dalam pengorganisasian kembali birokrasi pada
kementerian negara melalui Keputusan Presiden Nomor 44 dan 45 Tahun 1966
dilakukan pengubahan penggolongan PNS dari golongan A sampai dengan F menjadi
golongan I sampai dengan IV.

Selanjutnya pada tahun 1968 kembali dibentuk Panitia Koordinasi Efisiensi


Aparatur Ekonomi Negara dan Aparatur Pemerintah yang disebut pula sebagai Proyek
13 disusul dengan Keppres Nomor 16 Tahun 1968 yang kemudian disempurnakan
dengan Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1968, Proyek 13 ini kemudian berganti
nama menjadi Sektor Penyempurnaan dan Penertiban Administrasi Negara yang lebih
dikenal dengan nama Sektor P' dengan anggota terdiri dari Lembaga Administrasi
Negara (LAN), Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN), Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Sekretariat Negara, Departemen
Keuangan, Departemen Tenaga Kerja, serta Departemen Transmigrasi dan Koperasi.
yang diketuai oleh Awaloeddin Djamin yang menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja
dengan tugas agar dapat menyempurnakan administrasi pemerintahan.

7
Ketika Suharto pertama kali membentuk Kabinet Pembangunan I dengan
Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1968, dibentuk kementerian nomenklatur baru
yaitu Kementerian Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara bertugas
antara lain melanjutkan pembersihan birokrasi dari unsur-unsur apa yang disebut
dengan berpolitik kepartaian lalu berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun
1971 pada tanggal 29 Nopember 1971 didirikan Korps Pegawai Republik Indonesia
(KORPRI) sebagai organisasi wadah tunggal bagi seluruh pegawai pemerintahan
Indonesia dan dalam perkembangan selanjutnya Tim PAAP dan Proyek 13 akhirnya
dilebur kedalam Kementerian Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur
Negara sedangkan Sektor Aparatur Pemerintah (Sektor P) tetap dan berfungsi meliputi
penyusunan kebijaksanaan, perencanaan, pembuatan program, koordinasi,
pengendalian, dan penelitian dalam rangka menyempurnakan dan membersihkan
aparatur negara dan Kementerian Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur
Negara yang dipimpin oleh seorangan menteri merangkap menjadi anggota Sektor N
(Penelitian dan Pengembangan) dan Sektor Q (Keamanan dan Ketertiban) dan dengan
Keppres Nomor 45/M Tahun 1983 Kementerian Negara Penyempurnaan dan
Pembersihan Aparatur Negara diubah kembali menjadi Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara yang secara langsung menteri pada kementerian tersebut merangkap
pula sebagai wakil Ketua Bappenas.

Tahun 1995 melalui Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 1995 tanggal 27


September 1995 pemerintah mencanangkan dimulai diterapkan lima hari kerja yaitu
hari kerja mulai hari Senin sampai dengan hari Jumat yang berlaku secara efektif sejak
tanggal 1 Oktober 1995 sebagai akibat dari sistem pembinaan Karier PNS,
pertumbuhan nol pegawai negeri sipil (PNS) (Zero Growth) seta perampingan
organisasi.

Setelah tahun 1998 yang dikenal sebagai gerakan reformasi maka melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1999 mengenai keberadaan pegawai negeri sipil

8
(PNS) sebagai anggota partai politik lalu diubah melalui Peraturan Pemerintah Nomor
12 Tahun 1999 yang membuat pegawai negeri sipil (PNS) kembali tertutup dari
kemungkinan untuk ikut berkiprah sebagai keanggotaan dalam partai politik apapun.

2.4. CIRI - CIRI BIROKRASI

Ciri-ciri birokrasi menurut Max Weber adalah:

 Jabatan administratif yang terorganisasi/tersusun secara hierarkis.


(Administratice offices are organized hierarchically)
 Setiap jabatan mempunyai wilayah kompetensinya sendiri (Each office has its
own area of competence)
 Pegawai negeri ditentukan, tidak dipilih, berdasarkan pada kualifikasi teknik
yang ditunjukan dengan ijazah atau ujian. (Civil

servants are appointed, not electe, on the basis of technical qualifications as determined
by diplomas or examination)

 Pegawai negeri menerima gaji tetap sesuai dengan pangkat atau kedudukannya.
(Civil servants receive fixed salaries according to rank)

 Pekerjaan merupakan karier yang terbatas, atau pada pokoknya, pekerjaannya


sebagai pegawai negeri. (The job is a career and the sole, or at least primary,
employment of the civil servant)
 Para pejabat tidak memiliki kantor sendiri. (The official does not own his or her
office)
 Para pejabat sebagai subjek untuk mengontrol dan mendisiplinkan. (the official
is subject to control and discipline)
 Promosi didasarkan pada pertimbangan kemampuan yang melebihi rata-rata.
(Promotion is based on superiors judgement)

9
Karakteristik birokrasi dan indikator negara maju dan berkembang

Karakteristik yang ideal dari birokrasi yang ditulis Max Weber antara lain:

 Kerja yang ketat pada peraturan (rule)


 Tugas yang khusus(spesialisasi)
 Kaku dan sederhana(zakelijk)
 Penyelenggaraan yang resmi(formal)
 Pengaturan dari atas ke bawah(heirarchi)
 Berdasarkan logika(rational)
 Tersentralistis(otorithy)
 Taat dan patuh(obedience)
 Disiplin(dicipline)
 Terstruktur(sistematic)
 Tanpa pandang bulu(impersonal).

Terdapat indikator yang memperlihatkan perbedaan antara negara maju dan negara
berkembang, yaitu :

Indikator kuantitatif (data yang dapat dihitung)

 Pendapatan Perkapita
 Jumlah dan kepadatan penduduk
 Tingkat pertumbuhan penduduk
 Angka beban tanggungan
 Usia harapan hidup.
 Pendapatan Perkapita

Indikator kualitatif (data yang hanya dapat dibandingkan)

 Etos kerja dan pola pikir

10
 Tingkat kesehatan
 Tingkat pendidikan
 Pendapatan
 Mata pencaharian
 Kesadaran hukum

2.5. FUNGSI DAN PERANAN BIROKRASI

Birokrasi mempunyai fungsi dan peran yaitu:

1. Melaksanakan pelayanan publik.


2. Pelaksana pembangunan yang professional.
3. Perencana, pelaksana, dan pengawas kebijakan.
4. Alat pemerintah untuk melayani kepentingan masyarakat dan bukan merupakan
bagian dari kekuatan politik (netral).

Selain memiliki fungsi dan peran, birokrasi mempunyai tujuan, yaitu:

1. Sejalan dengan tujuan pemerintahan.


2. Melaksanakan kegiatan dan program demi tercapainya visi dan misi pemerintah
dan negara.
3. Melayani masyarakat dan melaksanakan pembangunan dengan netral dan
professional.
4. Menjalankan manajemen pemerintahan, mulai dari perencanaan, pengawasan,
evaluasi, koordinasi, sinkronisasi, represif, prefentif, antisipatif, resolusi, dll.

11
2.6. TEORI BIROKRASI

Max Weber, seorang sosiolog Jerman menulis sebuah alasan yang


menggambarkan bentuk birokrasi[2] sebagai cara ideal mengatur organisasi
pemerintahan melalui prinsip-prinsip bentuk birokrasi antara lain harus terdapat adanya
struktur hirarkis formal pada setiap tingkat dan di bawah kontrol dan dikendalikan
dalam sebuah hierarki formal atas dasar dari perencanaan pusat dan pengambilan
keputusan, manajemen dengan aturan yang jelas adanya pengendalian melalui aturan
yang memungkinkan agar keputusan yang dibuat pada tingkat atas akan dapat
dilaksanakan secara konsisten oleh semua tingkat di bawahnya, organisasi dengan
fungsional yang khusus pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh mereka yang benar
merupakan ahli kemudian disusun dalam unit-unit berdasarkan jenis pekerjaan yang
akan dilakukan berdasarkan keahlian, mempunyai sebuah misi target yang akan dituju
atau yang sedangkan dilaksanakan dalam upaya agar tujuan agar organisasi ini dapat
melayani kepentingan yang akan diberdayakan termasuk dalam misi untuk melayani
organisasi itu sendiri harus melalui perhitungan pencapaian pada tujuan, perlakuan
secara impersonal idenya agar memperlakukan semua pelaksana dan kepentingan
diperlakukan secara sama sama dan tidak boleh dipengaruhi oleh perbedaan individu,
bekerja berdasarkan kualifikasi teknis merupakan perlindungan bagi pelaksana agar
dapat terhindar dari pemecatan sewenang-wenang dalam saat menjalankan tugasnya.
Akan tetapi, menurut Cyril Northcote Parkinson seorang sejarawan angkatan laut
Inggris yang menulis bahwa Weber kurang menyadari bahwa manajemen dan staf
profesional akan cenderung tumbuh mengikuti pada tingkat yang tidak diprediksi oleh
garis organisasi[3] sedangkan David Osborne dan Ted Gaebler menyarankan bahwa
birokrasi harus berubah menjadi birokrasi yang lebih memperhatikan partisipasi
masyarakat, adanya kerja tim serta kontrol rekan sekerja (peer group) dan atasan bukan
lagi merupakan dominasi atau kontrol[4]. Berikut rangkuman dari teori-teori birokrasi.

12
SISTEM BIROKRASI I SISTEM BIROKRASI II
Rowing (mendayung / bekerja sendiri) Steering (menyetir / mengarahkan)
Service (melayani) Empowering (memberdayakan)
Monopoly (menguasai sendirian) Competition (ada persaingan)
Rule-driven (digerakan oleh aturan) Mission-driven (digerakan oleh misi)
Budgeting inputs (menunggu anggaran) Funding outcomes (menghasilkan dana)
Bureaucracy-driven (dikendalikan Customer-driven (dikendalikan
birokrat) pelanggan/ pembayar pajak)
Spending (pengeluaran) Earning (penghasilan/tabungan)
Curing (penyembuhan) Preventing (pencegahan)
Hierarchy (berjenjang) Teamwork/ participation (pelibatan/kerja)
Organization (organisasi, lembaga) Market (pasar,keseimbangan orang
banyak)

13
BAB 3

Kesimpulan Politisasi birokrasi dalam wujud mobilisasi Pegawai Negeri Sipil dalam Pemilukada
sering sekali terjadi. Hal itu mempunyai tujuan atau kepentingan yaitu untuk melanggengkan
kekuasaan. Ini bisa dilihat dari gejala-gejala mulai dari tidak netralnya birokrasi, penggunaan
fasilitas negara, kompensasi jabatan sampai rotasi jabatan dalam lingkup pemerintah daerah.
Dan dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Terlihat adanya politisasi birokrasi pada Pemilukada Kabupaten Siak tahun 2011 dalam
bentuk dukungan birokrasi terhadap calon kandidat kepala daerah yang akan bertarung. Hal
ini terbukti dengan adanya beberapa momentum atau kegiatan yang mengumpulkan
sejumlah aparatur Pemerintah Daerah Kabupaten Siak (PNS) untuk dikerahkan sebagai
kekuatan politik dalam bentuk dukungan kepada calon kandidat kepala daerah, dalam kasus
ini yang terbukti adalah mobilisasi birokrasi yang dilakukan oleh pasangan SyamsuarAlfedri
dan OK-Muhazza.

2. Dipergunakan sarana dan prasarana pemerintah sebagai alat untuk membantu proses
politisasi tersebut seperti Aula Kantor Camat, Kantor UPTD, Sekolah 12 serta fasilitas RSUD
dengan maksud penggunaan sarana dan prasarana ini dapat membantu kelancaran kegiatan
politisasi untuk meraih dukungan birokrasi dalam Pemilukada.

3. Adanya kekuasaan yang besar dalam birokrasi, dimana kekuasaan tersebut dapat
dipergunakan sebagai bentuk intervensi politik oleh kalangan tertentu sekaligus dapat
menjadikan birokrasi sebagai instrument atau alat politik yang berguna untuk merebut dan
mempertahankan kekuasaan di dalam pemerintah. Kekuasaan ini pula yang menyebabkan
wewenang birokrasi pada lapisan atas lebih besar ketimbang birokrasi lapisan bawah, dan
menyebabkan adanya keharusan birokrasi lapisan bawah tunduk pada aturan yang dibuat
oleh birokrasi di lapisan atas tersebut.

4. Poltisasi birokrasi bersifat resiprokal, artinya hubungannya saling mendukung secara


politik, baik dari pihak politisi maupun birokrasi itu sendiri. Politisi membutuhkan birokrasi

14
sebagai mesin politik dan birokrasi membutuhkan dukungan politisi sebagai sarana
penunjang karir.

B. Saran

Dalam konteks mencegah adanya politisasi birokrasi dan penegakan aturan tentang netralitas
birokrasi hendaknya ada beberapa hal yang mesti dilakukan:

1. Perlu aturan yang lebih komprehensif dalam membatasi keterlibatan birokrat dalam politik.
Pemberian sanksi tak hanya diberikan kepada PNS yang berkampanye dalam kegiatan
kampanye resmi, namun mesti menjangkau keterlibatan birokrat dalam dukung-mendukung
kandidat secara sembunyisembunyi.

2. Pemberian sanksi hendaknya juga mampu menjangkau pihak yang terbukti mempolitisasi
birokrasi. Selama ini sanksi bagi pihak yang melibatkan PNS dalam kampanye hanyalah pada
penghentian kampanye. Tentu saja sanksi ini terlalu ringan dan ruang lingkupnya terlalu
sempit. Perlu sanksi tegas bagi pihak yang mempolitisasi birokrasi baik dalam kampanye resmi
maupun secara sembunyi-sembunyi.

3. Upaya menghentikan politisasi pada birokrasi ini harus diikuti oleh upaya membangun
budaya dan etika professional di kalangan birokrat dan upaya menghilangkan ketergantungan
politik antara politisi dengan birokrasi. Hal ini penting untuk memberi kepastian para birokrat
dalam bertugas dan memberi motivasi untuk berprestasi serta untuk mewujudkan nilai-nilai
yang terkandung dalam kepentingan publik melalui kemampuan profesionalnya dalam
menyuguhkan alternatif formulasi dan implementasi public policy nya.

4. Netralitas birokrasi seharusnya dijamin dalam kerangka undang-undang dan dalam


pelaksanaannya diperlukan pengawasan oleh lembaga politik maupun 13 lembaga-lembaga
yang ada dalam masyarakat sehingga birokrasi tidak terasing dengan rakyat yang seharusnya
dilayani dengan sebaik-baiknya.

15

Anda mungkin juga menyukai