NIM. : 17081103091
Kekuatan kolonial di kepulauan Indonesia mempunyai kepentingan bagaimana mengendalikan seluruh wilayah dengan mempertimbangkan jarak, daratan dan wilayah
antar negeri yang sangat besar agar tidak menyulitkan dalam melakukan eksplorasi sumber-sumber daya, selain dari itu perlu adanya partisipasi pasif, partisipasi aktif
dari bumiputera sangat diperlukan, kolaborasi dalam partisipasi aktif ini tentunya dengan tidak boleh mengorbankan kekuasaan dan pengaruh kolonialisme.
Pada tahun 1905 mulai terbentuk pemerintahan walaupun dengan kekuasaan terbatas dan tetap di bawah pimpinan pemerintah daerah Eropa berlanjut pada tahun
1916 terbentuk pula pemerintahan kota-kota besar dengan pemerintahan sendiri dengan wali kota bukan merupakan bagian dari pemerintah daerah Eropa, pada 1918
mulai terdapat dewan rakyat yang berbentuk badan perwakilan dari berbagai kelompok yang diwakili dalam dewan ini. dilanjutkan pada tahun 1925 wilayah dibagi
dalam beberapa tingkat administratif baru, provinsi di pulau Jawa dan Madura dan pemerintah di luar daerah (pulau-pulau di luar Jawa dan Madura).
AWAL KEMERDEKAAN
Pada tanggal 30 Mei 1948 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1948 pemerintah RI yang berkedudukan di Jogjakarta baru mendirikan Kantor Urusan Pegawai
(KUP) sedangkan pemerintahan RIS yang berkedudukan di Jakarta untuk masalah kepegawaian dibentuk melalui Keputusan Letnan Gubernur Jenderal di Hindia Belanda
Nomor 10 tanggal 20 Februari 1946 dengan nama Kantor Urusan Umum Pegawai (KUUP) yang berada di bawah departemen urusan sosial namun dengan Keputusan
Letnan Gubernur Jenderal di Hindia Belanda Nomor 13 Tahun 1948 membatalkan keputusan terdahulu dan membentuk Djawatan Urusan Umum Pegawai (DUUP) yang
langsung dibawah Gubernur Jenderal, antara Kantor Urusan Pegawai (KUP) dan Djawatan Urusan Umum Pegawai (DUUP) masing-masing melaksanakan kegiatannya
sendiri-sendiri hingga terdapat dualisme dalam birokrasi di Indonesia, kemudian karena adanya pengakuan kedaulatan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949 melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1950 dibentuklah Kantor Urusan Pegawai (KUP) guna menyatukan Kantor Urusan Pegawai (KUP) dan Djawatan Urusan Umum
Pegawai (DUUP) dan berada di bawah dan bertanggugjawab kepada perdana menteri akan tetapi karena suasana perpolitikan saat itu, Kantor Urusan Pegawai (KUP) yang
akan menata birokrasi tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya disusul pada tanggal 17 Agustus 1950, terjadi pergantian konstitusi RIS berubah menjadi UUDS 1950
Dalam perkembangannya pengorganisasian birokrasi mulai diwarnai dengan ketidakpastian akibat peranan partai-partai politik yang saling bersaing dengan sangat
dominan, partai-partai politik mulai melakukan building block kekuasaan melalui pos-pos kementerian strategis di jajaran pemerintahan sebagai sumber daya
kelangsungan partai politik yang bersangkutan, program rekrutmen birokrasi ikut mengalami spoil system yang merajalela mulai dari pengangkatan, penempatan,
promosi dan instrumen kepegawaian lainnya tidak didasarkan kriteria penilaian melainkan berdasarkan pertimbangan politik, golongan serta unsur-unsur lainnya di luar
tugas birokrasi.
BIROKRASI DI INDONESIA
awalnya sebagaimana diperkenalkan oleh budaya Eropa di mulai dari masa-masa kolonial antara lain dengan masa cultuurstelsel, masa desentralisasi dan emansipasi,
masa pemerintah pusat (centraal bestuur), masa Binnenlands Bestuur dan ambtskostuum binnenlands bestuur, masa pendudukan bala tentara Jepang dan kemudian
masa dimana setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 pemerintahan Indonesia melalui Kasman Singodimedjo ketua KNIP pada 25 September 1945
mengumumkan bahwa presiden Indonesia memutuskan bagi keseluruhan pegawai-pegawai pemerintahan terdahulu dari segala jabatan dan tingkatan ditetapkan
Max Weber, seorang sosiolog Jerman menulis sebuah alasan yang menggambarkan bentuk birokrasi[2] sebagai cara ideal mengatur organisasi pemerintahan melalui
prinsip-prinsip bentuk birokrasi antara lain harus terdapat adanya struktur hirarkis formal pada setiap tingkat dan di bawah kontrol dan dikendalikan dalam sebuah
hierarki formal atas dasar dari perencanaan pusat dan pengambilan keputusan, manajemen dengan aturan yang jelas adanya pengendalian melalui aturan yang
memungkinkan agar keputusan yang dibuat pada tingkat atas akan dapat dilaksanakan secara konsisten oleh semua tingkat di bawahnya, organisasi dengan fungsional
yang khusus pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh mereka yang benar merupakan ahli kemudian disusun dalam unit-unit berdasarkan jenis pekerjaan yang akan
dilakukan berdasarkan keahlian, mempunyai sebuah misi target yang akan dituju atau yang sedangkan dilaksanakan dalam upaya agar tujuan agar organisasi ini dapat
melayani kepentingan yang akan diberdayakan termasuk dalam misi untuk melayani organisasi itu sendiri harus melalui perhitungan pencapaian pada tujuan, perlakuan
secara impersonal idenya agar memperlakukan semua pelaksana dan kepentingan diperlakukan secara sama sama dan tidak boleh dipengaruhi oleh perbedaan individu,
bekerja berdasarkan kualifikasi teknis merupakan perlindungan bagi pelaksana agar dapat terhindar dari pemecatan sewenang-wenang dalam saat menjalankan
tugasnya. Akan tetapi, menurut Cyril Northcote Parkinson seorang sejarawan angkatan laut Inggris yang menulis bahwa Weber kurang menyadari bahwa manajemen dan
staf profesional akan cenderung tumbuh mengikuti pada tingkat yang tidak diprediksi oleh garis organisasi[3] sedangkan David Osborne dan Ted Gaebler menyarankan
bahwa birokrasi harus berubah menjadi birokrasi yang lebih memperhatikan partisipasi masyarakat, adanya kerja tim serta kontrol rekan sekerja (peer group) dan atasan
bukan lagi merupakan dominasi atau kontrol[4]. Berikut rangkuman dari teori-teori birokrasi.
Sistem Birokrasi I
Service (Melayani)
Spending (Pengeluaran)
Curing (Penyembuhkan)
Hierarchy (Berjenjang)
Sistem Birokrasi II
Steering (Menyetir/mengarahkan)
Empowering (Memberdayakan)
Earning (Penghasilan/tabungan)
Preventing (Pencegahan)
PROGRAM Reformasi Birokrasi yang sudah dimulai sejak 2010 dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden No 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi
(GDRB) 2010-2025.
Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 ini lalu dibuatkan Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014 fase ke-1 dan Road Map Reformasi Birokrasi 2015-2019 fase ke-
2. Pada 2020, Reformasi Birokrasi akan masuk fase ke-3, yaitu sejak 2020-2024. Fase ke-1 di bawah kepemimpinan Presiden SBY serta fase ke-2 dan ke-3 di bawah
Tujuan Reformasi Birokrasi sesuai GDRB 2010-2025, yakni untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dengan birokrasi pemerintah yang
Birokrasi seperti itu diharapkan akan memberikan kontribusi nyata pada capaian kinerja pemerintahan dan pembangunan nasional serta daerah. Tujuan Reformasi
Birokrasi di atas ialah dalam rangka mengejar visi Reformasi Birokrasi 'terwujudnya pemerintahan kelas dunia'.
Dalam rangka menjalankan program Reformasi Birokasi pada kedua fase yang sudah berjalan, ditetapkanlah delapan area perubahan, yaitu mentalitas ASN, pengawasan,
Evaluasi terhadap capaian Reformasi Birokrasi fase pertama dan fase kedua pada kedelapan area perubahan menunjukkan hasil yang beragam. Namun, tetap
menunjukkan kurang signifikannya perubahan yang terjadi. Reformasi Birokrasi pada area akuntabilitas pemerintah melalui pembangunan sistem akuntabilitas kinerja
instansi pemerintah (SAKIP) tampaknya merupakan area perubahan yang cukup signifikan.
Area pelayanan publik, walaupun memperlihatkan terjadinya sejumlah perubahan dengan dibangunnya mal pelayanan publik dan berbagai usaha untuk meningkatkan
Data tentang kepatuhan pemerintah, terutama pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai ujung tombak pelayanan publik, terhadap peraturan perundangan di bidang
pelayanan publik (UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik) masih tidak baik.
Demikian pula evaluasi Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) pada 2018 dan 2019 memperlihatkan masih sangat sedikit kementerian/lembaga dan pemerintah daerah
Area perubahan yang berkaitan dengan mentalitas aparatur sipil negara (ASN) malah tidak terlihat program dan gaungnya. Kapabilitas dan integritas ASN pun masih
banyak dipertanyakan orang. Evaluasi terhadap area perubahan yang berkaitan dengan kelembagaan dan tata laksana (dalam hal ini electronic government) juga
Salah satu temuan evaluasi terhadap implementasi e-govt di Indonesia ialah rendahnya tingkat keterhubungan (connectivity) antarsistem e-govt, baik dalam satu
kementerian, lembaga, daerah maupun--apalagi--antarkementerian, lembaga, dan daerah. Area perubahan peraturan perundangan dan pengawasan masih menjadi area
Daftar Pustaka
Billah., M., 2002, Good Governance dan Kontrol Sosial, dalam Prisma, Jakarta.
Dwiyanto, Agus dkk, 2002, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, PSKK-UGM, Yogyakarta.