Anda di halaman 1dari 36

Birokrasi Pemerintahan pada Pemerintah

Kabupaten/Kota
(Tinjauan terhadap Desentralisasi dan
perkembangan Birokrasi)
BAB I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah


Salah satu dasar pemikiran yang dominan dalam
perjalanan evolusi konsep desain organisasi adalah prinsip Max
Weber tentang organisasi ideal. Konsep Max Weber tersebut
kemudian dikenal dengan istilah birokrasi. Birokrasi itu sendiri
berasal dari gabungan kata biro (bureau) yang artinya kantor,
tempat kerja, dan krasi (kratia/kratos) yang artinya kekuatan
atau peraturan.
Sebagai teori manajemen klasik, konsep Max Weber
mengenai prinsip organisasi ideal dan birokrasi memberikan
fondasi bagi munculnya pemikiran-pemikiran baru perihal
desain organisasi. Sayangnya, birokrasi kini identik dengan
ketidakefisienan, kaku, dan sikap malas sehingga istilah
birokrasi selalu dikonotasikan negatif. Padahal, birokrasi bukan
masalah baik atau buruk atau

positif-negatif. Ia hanyalah

sebuah desain organisasi yang melalui perlakuan tertentu bisa


berjalan efisien.
Stephen Robbins dalam bukunya Organizational
Behavior, mengemukakan 7 (tujuh) prinsip dasar Max Weber

yang perlu diterapkan dalam membangun organisasi agar


dapat mencapai tujuannya. Ketujuh prinsip tersebut adalah1:
1.

Pembagian Kerja. pekerjaan dipecah-pecah sehingga jelas


pembagian masing-masing anggota

2.

Hirarki kewenangan yang jelas. Struktur organisasi disusun


bertingkat dan memastikan jabatan yang lebih rendah
berada di bawah supervisi dan kontrol dari yang lebih
tinggi. Garis komando dan garis koordinasi diciptakan
untuk

meperjelas

alur

pelaporan

diantara

anggota

organisasi.
3.

Formalisasi yang tinggi. Untuk mengatur perilaku anggota


organisasi, perlu disusun peraturan dan prosedur formal
sebagai sebuah sistem. Poin ini sangat relevan dengan
besaran organisasi. Semakin organisasi tumbuh besar,
maka perlu ada formalisasi agar semua hal berjalan
standar.

4.

Impersonal. Tindakan dan keputusan yang berlaku di


dalam organisasi tidak melibatkan perasaan pribadi. Tidak
diperbolehkan

konflik

kepentingan

berperan

dalam

pengambilan keputusan
5.

Keputusan

personalia

berdasarkan

kemampuan.

Keputusan tentang promosi, seleksi, didasarkan atas


kualifikasi, keberhasilan atau prestasi. Organisasi harus
menciptakan merit sistem berjalan secara sesuai.
6.

Adanya jenjang karir bagi anggota organisasi. Prinsip ini


mengasumsikan bahwa keanggotaan organisasi seseorang
adalah seterusnya (continuous basis). Dengan jenjang karir

Stephen Robbins, Organizational Behaviour, (San Diego State University Prentice Hall
International, Inc), diakses dari http://wwwuser.gwdg.de/~uwuf/pdfdatei/orga/Chapt1.pdf,
pada tanggal 18 Oktober 2013.

diharapkan anggota dapat mengejar karir dan menjaga


komitmen terhadap organisasi.
7.

Pemisahan yang

jelas antara

kehidupan pribadi

dan

organisasi. Dalam organisasi ideal, pengambilan keputusan


dilakukan semaksimal mugkin berjalan rasional. Artinya,
anggota organisasi harus dapat memisahkan kehidupan
organisasi dan kehidupan organisasi.
Budaya

birokrasi

pemerintah

Indonesia

sendiri

terbentuk melalui proses sejarah yang panjang yang dimulai


dari pemerintahan kerajaan-kerajaan tradisional di Indonesia.
Pada masa penjajahan, birokrasi pemerintahan diwarnai oleh
kekuasaan kolonial Belanda dan pemerintahan Jepang hingga
masa kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945. Pasca
kemerdekaan, birokrasi pemerintah Indonesia terus berproses
dalam rangka mencari bentuk yang ideal hingga diterapkannya
otonomi daerah sekarang ini.
Proses

sejarah

yang

panjang

telah

banyak

menunjukkan bukti bahwa sosok birokrasi Indonesia masih


jauh dari gambaran ideal yang digambarkan oleh Max Weber
sebagaaimana penjelassan diatas. Sosok birokrasi Indonesia
saat ini masih belum mewakili rakyat Indonesia, justru
sebaliknya kebanyakan rakyat Indonesia bersifat antipati
dengan sosok birokrasi ssaat ini. Karena birokrasi yang
diharapkan bersifat legal rasional, semakin berkembang fungsi
dan peranannya tidak hanya sekedar instrumen teknis
penyelenggara

administrsi

pemerintahan

yang

terikat

konstitusi.
Bergulirnya roda reformasi sejak 1998 menuntut agar
terjadi perubahan di segala bidang, tidak terkecuali masalah
birokrasi. Jika birokrasi tidak melakukan perubahan maka ia
akan memasuki tahap kemelut yang akan merugikan masa
3

depan sistem politik Indonesia. Mengawali agenda reformasi,


beberapa undang-undang yang dianggap tidak relevan lagi
isinya diganti dengan undang-undang yang baru. Di bidang
pemerintahan, ditetapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi
pada tahun 2004 dengan dikeluarkannya Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 dan pada tahun 2008 dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008.
Perubahan tata penyelenggaraan pemerintahan sebagai akibat
dari adanya otonomi daerah tentu akan membawa berbagai
konsekuensi yang cukup signifikan bagi para birokrat sebagai
pelaksana penyelenggara negara.
Sosok

birokrasi

yang

demikian

membutuhkan

perubahan/reformasi fundamental, yang tidak saja berubah


pada sistemnya namun juga aparaturnya. Reformasi adalah
mengubah atau membuat sesuatu menjadi lebih baik
daripada yang sudah ada. Dengan berlakunya Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kini
daerah memiliki kewenangan untuk mengurus daerahnya
sendiri. Pasal 2 ayat (3) menyebutkan bahwa Pemerintahan
Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan
pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan
meningkatkan kesejahteraan rakyat, pelayanan umum dan
daya

saing

daerah.

Demi

mencapai

tujuan

tersebut,

Pemerintahan Daerah memiliki struktur organisasi sebagai


berikut:
1. Pemerintahan daerah yang terdiri atas pemerintah daerah
provinsi dan DPRD provinsi;
2. Pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas
Pemerintahan

daerah

kabupaten/kota

dan

DPRD

kabupaten/kota.

Dengan

struktur

organisasi

yang

demikian,

bagaimana pemerintah daerah pada tingkat kabupaten/kota


membenahi aparatur dan infrastuktur agar tercapai tujuan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004? Karena pada tingkatan daerah (lokal) kedudukan
bupati/walikota memiliki pengaruh yang sangat besar, tidak
saja pada tingkatan aparatur namun juga pada tingkatan
pemangku adat. Bupati/walikota sebagai pejabat pembina
kepegawaian di daerah memiliki otoritas yang sangat kuat
untuk menentukan arah dan tujuan birokrasi itu sendiri.
1.2. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini sebagai
berikut:
1.

Bagaimana reformasi birokrasi yang terjadi pada


tingkat kabupaten/kota?

2.

Bagaimana

pengaruh

desentralisasi

terhadap

perkembangan reformasi di kabupaten/kota?

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Birokrasi


Kondisi birokrasi di Indonesia saat ini masih
jauh dari nilai-nilai ideal. Ibarat gajah di pelupuk mata
idak kelihatan, carut marut kondisi birokrasi di Indonesia
kadang tidak disadari oleh aparatur pemerintah itu
sendiri. Berdasarkan hasil survey yang diadakan oleh
Political and Economic Risk Consultancy (PERC) di tahun
2010, menempatkan Indonesia sebagai negara dengan
sistem birokrasi terburuk kedua di Asia setelah India. 2
Birokrasi di Indonesia sendiri telah terbentuk
sejak lama, yakni sejak zaman kerajaan nusantara.
Sebagai contoh di kerajaan Majapahit. Majapahit pernah
menjadi kerajaan terbesar di Nusantara di tahun 12931500 M. Wilayah kerajaannya terbentang dari mulai
Swarnabhumi (sekarang Thailand) sampai dengan

http://www.asiarisk.com/subscribe/dataindx.html, PERCs 2013 Report on Corruption in


Asia, diakses melalui http://www.pamonginstitute.com/ pada 19 Oktober 2013.

Papua. Dengan wilayah kerajaan yang begitu luas


dibutuhkan aparatur negara yang memiliki loyalitas dan
integritas tinggi.
Sebagai sebuah kerajaan, sistem Pemerintahan
Majapahit

menganut

sistem

monarki

dimana

menempatkan Raja sebagai penjelmaan dewa di dunia


dan memegang otoritas tertinggi Raja dibantu oleh
sejumlah pejabat birokrasi

dalam

melaksanakan

pemerintahan. Perintah raja biasanya diturunkan kepada


pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:

Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putraputra raja

Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang


melaksanakan pemerintahan

Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan

Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan

Kerajaannyapun

terbagi

atas

wilayah

wilayah

sebagaimana berikut:

Bhumi: kerajaan, diperintah oleh Raja

Nagara: diperintah oleh rajya (gubernur),


atau natha (tuan), atau bhre (pangeran atau bangsawan)

Watek: dikelola oleh wiyasa,

Kuwu: dikelola oleh lurah,

Wanua: dikelola oleh thani,

Kabuyutan: dusun kecil atau tempat sakral.3


Setelah kerajaan-kerajaan Nusantara runtuh, sistem

birokrasi di Indonesia, banyak dipengaruhi oleh sistem

Padma
Sanjaya,
Struktur
Pemerintahan
Kerajaan
Majapahit,
http://sejarahdinusantara.blogspot.com/2012/05/struktur-pemerintahan-kerajaan.html, diakses
pada tanggal 19 Oktober 2013.

kolonial Belanda yang saat itu menjajah Indonesia selama


hampir 350 tahun. Kolonialisme Belanda dimulai dengan
munculnya VOC (Verenigde Oostindische Compagnie) pada
tahun 1862. Pada masa itu Belanda menerapkan administrasi
kolonial (Binnenlandsche Bestuur) yang mengenalkan sistem
administrasi dan birokrasi modern, sedangkan pada sisi lain
sistem administrasi tradisional (Inhemsche Bestuur) masih
tetap dipertahankan. Artinya Belanda tetap memakai jasa-jasa
pegawai pribumi yang berasal dari priyayi untuk kegiatankegiatan

birokratis-administratif.

mengawasi

mereka

diangkat

Sementara

pejabat

itu

untuk

Belanda dengan

mengambil model Barat dengan jabatan residen, asisten


residen dan countreuler yang hierarkinya bertanggung jawab
kepada Gubernur Jenderal.
Pasca kemerdekaan, Negara ini berusaha mencari
format pemerintahan yang cocok untuk kondisi saat itu.
Berakhirnya
perubahan

masa
sosial

pemerintahan
politik

yang

kolonial
sangat

membawa

berarti

bagi

kelangsungan sistem birokrasi pemerintahan. Perbedaan


pandangan yang terjadi diantara pendiri bangsa di awal masa
kemerdekaan tentang bentuk Negara yang akan didirikan,
termasuk dalam pengaturan birokrasinya, telah menjurus ke
arah

disintegrasi

bangsa

dan

keutuhan

aparatur

pemerintahan. Pada masa awal kemerdekaan, Negara ini


mengalami

perubahan

bentuk Negara,

dan

ini

yang

berimplikasi pada pengaturan aparatur Negara atau birokrasi.


Pada masa orde baru, negara ini menganut sistem
pemerintahan presidensial, dimana presiden memegang
kekuasaan selaku pimpinan pemerintahan, mandataris MPR
dan Panglima tertinggi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia. Era 1970an mulai diterapkan asas dekonsentrasi,
dimana pemerintah pusat melimpahkan sebagian wewenang
8

ke Pemerintah Daerah Tingkat I, dan Pemerintah Daerah


Tingkat I melimpahkan wewenang kepada Pemerintah
Daerah tingkat II. Hanya urusan yang merupakan urusan
Pemerintah Pusat yang tidak dilimpahkan, yaitu agama,
pertahanan dan kemanan serta kebijakan fiskal dan moneter.
Peraturan mengenai Pemerintahan Daerah diawali sejak
tahun 1974 dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah,
lalu direvisi dengan Undang-Undang Tahun 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah. Berlakunya Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 menjadi awal dimulainya pergeseran
pusat-pusat kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintah
dan pembangunan dari pusat ke bawah. Pasca reformasi,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dinyatakan tidak
berlaku dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada Undang-Undang 32
Tahun 2004 inilah asas desentralisasi secara murni dan
konsekuen mulai dilaksanakan, ditandai dengan pemberian
otonomi kepada daerah untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan
daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan
dalam

rangka

pelaksanaan

pelayanan

pembangunan

terhadap
sesuai

masyarakat
dengan

dan

peraturan

perundang-undangan.

2.2 Pengertian Reformasi Birokrasi


Bergulirnya

reformasi

pada

tahun

1998,

mempengaruhi pada perubahan sistem pemerintahan di


Indonesia. Hal ini ditandai dengan adanya 4 (empat) kali

perubahan (amandemen) pada konstitusi Negara Republik


Indonesia, Undang-Undang Dasar 195 (UUD 1945).
Trend reformasi tidak saja berlaku pada sistem
pemerintahan dan sistem politik di Indonesia, tetapi juga
merambah pada atmosfer birokrasi di Indonesia. Punggawa
reformasi

birokrasi

saat

ini

ada

di

Kementrian

Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi


(Kemenpan).
Pada dasarnya Reformasi Birokrasi adalah suatu
perubahan

signifikan elemen-elemen birokrasi seperti

kelembagaan,

sumber

daya

manusia

aparatur,

ketatalaksanaan, akuntabilitas, aparatur, pengawasan dan


pelayanan publik, yang dilakukan secara sadar untuk
memposisikan diri (birokrasi) kembali, dalam rangka
menyesuaikan diri dengan dinamika lingkungan yang
dinamis.

Perubahan

tersebut

dilakukan

untuk

melaksanakan peran dan fungsi birokrasi secara tepat,


cepat dan konsisten, guna menghasilkan manfaat sesuai
diamanatkan konstitusi. Perubahan kearah yang lebih baik,
merupakan cerminan dari seluruh kebutuhan yang bertitik
tolak dari fakta adanya peran birokrasi saat ini yang masih
jauh dari harapan. Realitas ini sesungguhnya menunjukan
kesadaran bahwa terdapat kesenjangan antara apa yang
sebenarnya

diharapkan,

dengan

keadaan

yang

sesungguhnya tentang peran birokrasi dewasa ini.


Reformasi birokrasi merupakan salah satu upaya
pemerintah

untuk

pengalaman

di

mencapai good

sejumlah

negara

governance.

Melihat

menunjukan

bahwa

reformasi birokrasi merupakan langkah awal untuk mencapai


kemajuan negara. Melalui reformasi birokrasi, dilakukan
penataan terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan
yang tidak hanya efektif dan efesien tapi juga reformasi
10

birokrasi

menjadi

tulang

punggung

dalam

kehidupan

berbangsa dan bernegara.4


Reformasi birokrasi itu sendiri dilatar belakangi
oleh:
1. Ketidakpercayaan yang meluas pada kinerja pemerintah
dan kebangkrutan birokrasi di Amerika telah melahirkan
konsep

Reinventing

Government

sebagai

model

manajemen publik baru yang dikemb angkan oleh David


Osborne & Ted Gaebler pada tahun 1992
2. Praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) masih
berlangsung hingga saat ini.
3. Tingkat kualitas pelayanan publik masih belum mampu
memenuhi harapan masyarakat
4. Tingkat efisiensi, efektivitas, dan produktivitas birokrasi
belum optimal
5. Transparansi dan akuntabilitas birokrasi masih rendah
6. Disiplin dan etos kerja masih rendah.
7. Perubahan

lingkungan

strategis,

yang

antara

lain:

kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, krisis


ekonomi global serta berkembangnya persaingan antar
negara.5
2.3 Pengertian Pemerintahan Daerah
Sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan sistem
desentralisasi, para pendiri negara telah menjatuhkan
pilihannya pada prinsip pemencaran kekuasaan dalam
penyeleenggaraan pemerintahan negara Indonesia yang
4

http://www.menpan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=134:maknadan-tujuan&catid=45:deputi-1&Itemid=109
5 http://blog.sivitas.lipi.go.id/ blog.cgi? isiblog& 1253275195&&&1036006290 & &
1351657451 & ayur 001&

11

tujuannya

jelas

tercantum

pada

alinea

keempat

Pembbukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:


..melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan

bangsa

dan

ikut

melaksanakan

ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,


perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Untuk mencapai tujuan dimaksud, para pejabat di
daerah membantu penyelenggaran Pemerintahan Daerah
dan kesejahteraan sosial melalui pembangunan daerah,
karena daerah Indonesia terbagi dalam daerah yang
bersifat otonom atau administrasi.
Definisi pemerintahan daerah menurut UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan
oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik

Indonesia

sebagaimana

dimaksud

dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945. Sedangkan Pemerintah daerah itu sendiri adalah
Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah.

2.4 Pengertian Desentralisasi


Sejak kelahirannya, Orde Baru selalu menyatakan
tekadnya unuk melaksanakan Undang-Undang Dasar (UUD)
1945 secara murni dan konsekuen, termasuk di dalamnya
tekad untuk menyelenggarakan desentralisasi dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada hakikatnya

12

desentralisasi merupakan sarana untuk mencapai tujuantujuan tertentu.6 Lahirnya konsep desentralisasi merupakan
upaya untuk mewujudkan sesuatu pemerintahan yang
demokratis dan mengakhiri pemerintahan yang sentralistik.
Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, pengertian
desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan
oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Terdapat 3 (tiga) tujuan desentralisasi, yaitu7:
1.

tujuan politik, untuk menciptakan suprastruktur dan


infrastruktur politik yang demokratik berbasis pada
kedaulatan rakyat dan diwujudkan dalam bentuk
pemilihan kepala daerah, dan legislatif secara langsung
oleh rakyat;

2.

tujuan

administrasi,

agar

pemerintahan

daerah

yangdipimpin oleh kepala daerah dan bermitra dengan


DPRD

dapat

memaksimalkan

menjalankan

fungsinya

nilai

yakni

4E

untuk

efektifitas,

efisiensi,equity (kesetaraan), dan ekonomi;


3.

Tujuan sosial ekonomi, mewujudkan pendayagunaan


modal sosial, modal intelektual dan modal finansial
masyarakat agar tercipta kesejahteraan masyarakat
secara luas.
Beberapa ahli seperti Tiebout (1956), Oates (1972),

Tresch (1981), Breton (1996), Weingast (1995) menyatakan


bahwa pelayanan publik paling efisien ketika diselenggarakan
6

Bhenyamin Hoessein, 2, (Jakarta:Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan


Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011), hlm. 5
7 Oswar Mungkasa, Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia Konsep Pencapaian
dan
Agenda
Kedepan,
http://www.academia.edu
/2759012
/
Desentralisasi_dan_Otonomi_Daerah_
di_Indonesia
_Konsep
_Pencapaian_dan_Agenda_Kedepan, diakses tanggal 17 Oktober 2013.

13

di tingkatan terdekat dengan masyarakat karena pemerintah


lokal sangat memahami kebutuhan masyarakatnya, efisien
dalam penggunaan dana masyarakat; dan persaingan antar
daerah akan meningkatkan inovasi.8
Indikator desentralisasi adalah terbentuknya otonomi
daerah. Sebagai sebuah badan hukum (legal entity) daerah
otonom memiliki wewenang dalam mengatur dan mengurus
berbagai urusan pemerintahannya sendiri. Hal ini mendorong
pemerintah daerah untuk lebih inovatif dan kreatif dalam
mengelola kemampuan daerahnya.
Saat ini di Indonesia memiliki 538 daerah otonom,
yang terdiri dari 34 provinsi, 411 kabupaten, dan 93 kota. 9
2.5 Reformasi Birokrasi Pada Kabupaten/Kota
Dengan adanya pelimpahan kewenangan dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang nomor 32 Tahun
2004, kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur
(regelling) dan mengurus (bestuur) daerah yang menjadi
kewenangan semakin luas. Hal ini membutuhkan tidak
saja infrastruktur yang memadai tetapi juga sistem
administrasi serta kompetensi aparatur pemerintah
daerah yang berintegritas dan profesional.
Berbicara mengenai birokrasi, tidak lepas dari tata
kerja

atau

System

Operations

Procedure

(SOP).

Pemerintahan yang dikenal birokrasi statis, kurang peka


terhadap
cenderung

lingkungan
resisten

sosialnya,
terhadap

bahkan

terkesan

pembaharuan.

Wajah

Ibid, hal. 4.

9http://www.indonesia.go.id/en/ministries/ministers/ministry-of-home-affairs/637-

politik/12495- indonesia-miliki-538-daerah-otonom

14

birokrasi yang demikianlah yang selama ini dihadapi oleh


rakyat. Jadi tidak saja rakyat merasa malas berurusan
dengan segala hal yang berbau pemerintahan namun
kondisi tersebut menciptakan rasa pesimis akan kinerja
dan hasil kerja aparatur itu sendiri.
Reformasi birokrasi yang saat ini telah diterapkan
di

beberapa

diterapkan

kementerian

pada

negara,

pemerintahan

juga

daerah.

perlahan
Reformasi

birokrasi pada pemerintahan daerah khususnya pada


tingkat

kabupaten

dan

kota,

diharapkan

mampu

mengubah wajah birokrasi menjadi lebih ramah kepada


rakyat. Pada hakikatnya reformasi birokrasi itu sendiri
mendorong adanya pelayanan yang prima (excellent
services) kepada pelanggan dalam hal ini adalah
masyarakat, sehingga puncak dari reformasi itu sendiri
adalah terciptanya pemerintahan yang baik (good
governance).
Good Governance merupakan isu sentral yang
paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi
publik dewasa ini. Tuntutan gencar yang dilakukan oleh
masyarakat kepada pemerintah untuk melaksanakan
penyelenggaraan pemerintah yang baik adalah sejalan
dengan

meningkatnya

pendidikan

masyarakat,

tingkat
selain

pengetahuan
adanya

dan

pengaruh

globalisasi. Pola lama penyelenggaraan pemerintahan,


kini sudah tidak sesuai lagi dengan tatanan masyarakat
yang sudah berubah. Oleh karena itu, tuntutan ini
merupakan hal yang wajar

dan sudah seharusnya

direspon oleh pemerintah dengan melakukan perubahan

15

yang

terarah

pada

terwujudnya

penyelenggaraan

pemerintah yang baik.10


Secara umum, berlakunya Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 membawa perubahan yang signifikan
dalam

pemerintahan

daerah,

yakni

menjalankan

kewenangan otonomi yang luas, sehingga pemerintahn


derah bisa leluasa menyelenggarakan pemerintahannya,
mengelola sumber daya alamnya, dan mengeksplorasi
kemampuan daerahnya.
Pasal 14 Undang-Undang 32 Tahun 2004 secara
jelas

mengatur

tugas

dan

wewenang

pemerintah

kabupaten/kota, yakni:
a) perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b)

perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

c) penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman


masyarakat;
d) penyediaan sarana dan prasarana umum;
e) penanganan bidang kesehatan;
f)

penyelenggaraan pendidikan;

g) penanggulangan masalah sosial;


h) pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i)

fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan


menengah;

j)

pengendalian lingkungan hidup;

k) pelayanan pertanahan;
l)

pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;

m) pelayanan administrasi umum pemerintahan;


n) pelayanan administrasi penanaman modal;

Sedarmayanti, 2003. Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) Dalam Rangka


Otonomi Daerah, Bandung: Mandar Maju, 2008), hal 4.
10

16

o) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan


p) urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
q) perundang-undangan.
Sebagaimana dikaitkan dengan asas desentralisasi
yang

bertujuan

untuk

meningkatkan

penyediaan

pelauanan publik bagi masyarakat. Maka Undang-Undang


32

Tahun

2004,

mengatur

agar

pemerintahan

kabupaten/kota lebih banyak memenuhi kebutuhan dan


melakukan pelayanan terhadap masyarakat di daerahnya
tersebut.
Selain sebagaimana dijelaskan diatas, urgensi dan
dampak positif dengan adanya pelimpahan kewenangan
dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, khususnya
pada

pertimbangan

keuangan,

diharapkan

dapat

mendorong hal-hal sebagai berikut11:


1. Daerah lebih mampu memacu pembangunan daerah;
2. Meningkatkan pertumbuhan antara daerah yang
seimbang;
3. Pembagian dana yang rasional dan adil kepada daerah
penghasil sumber utama penerimaan negara;
4. Pemerataan pembangunan;
5. Mengurangi kesenjangan sosial;
6. Meredam kepuasan daerah;
7. Meningkatkan perhatian daerah terhadap pusat; dan
8. Memperkuat integrasi nasional.
Dengan diterapkannya reformasi birokrasi pada
pemerintahan kabupaten/kota, diharapkan pelaksanaan
pelayana, baik pelayanan

sosial,

pembiayan

serta

pembangunan dalam rangka memenuhi kebutuhan


masyarakat dan pembangunan infrastruktur di daerah
11

Ibid, hal. 39.

17

dapat terlaksana dengan baik dari segi efektivitas waktu


dan efisiensi anggaran.
Walaupun pada prakteknya pelaksanaan reformasi
birokrasi di lapangan tidak semudah membalikan telapak
tangan, namun telah banyak rekomendasi mengenai cara
atau

strategi

untuk

memperbaiki

praktik

good

governance yang diberikan baik oleh pemerintah pusat,


pemerintah daerah bahkan dari unsur non-pemerintah
seperti lembaga swadaya dan pemerhati governance.
Namun sejauh ini belum ada upaya yang sistematis untuk
mengembangkan

program

dan

kebijakan

praktek governance, karena belum ada strategi nasional


yang

menyeluruh

dan

sistematis

untuk

mewujudkan good governance di tanah air. Didasari atau


tidak, pemerintahan kabupaten menghadapi banyak
kesulitan untuk merumuskan kebijakan dan program
perbaikan program praktek pemerintahan.
Ada 4 (empat) permasalahan besar yang di hadapi
reformasi birokrasi di daerah yaitu12,
1) Kelembagaan dan ketatalaksanaan;
2) Sumberdaya Manusia;
3) Pengawasan, dan
4) Pelayanan publik
Bagaimana penerapan reformasi birokrasi yang
berujung pada terciptanya good governance dengan asas
desentralisasi yang saat ini diterapkan pada di Indonesia?
Meskipun memiliki dua sisi yang berbeda (manfaat dan
kelemahan), namun terdapat sebuah kesepakatan umum
Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, (Yogyakarta
: Gadjah Mada University Press, 2008), diakses dari http://hariyantousia.
wordpress.com/2012/11/17/ pada tanggal 19 Oktober 2013
12

18

bahwa

desentralisasi

sangat

diperlukan

untuk

mempromosikan sosok pemerintahan yang lebih baik,


lebih

efektif,

dan

lebih

demokratis

(good

governance). Baik di negara maju maupun berkembang,


desentralisasi merupakan salah satu elemen kunci
terhadap agenda reformasi yang dijalankan di negara
yang

bersangkutan.

Sebagai

sebuah

reformasi,

desentralisasi tidak akan dapat berhasil tanpa diikuti oleh


langkah-langkah

lanjutannya.

Dengan

kata

lain,

desentralisasi harus disikapi dan ditindaklanjuti dengan


reformasi

birokrasi

sebagai

unsur

penyelenggara

desentralisasi. Dalam kaitan ini, reformasi birokrasi


diarahkan pada terciptanya tata kelola pemerintahan
yang baik pada masa yang akan datang. Untuk itu,
diperlukan adanya area perubahan yang berfungsi
sebagai tolok ukur keberhasilan reformasi. Adapun area
perubahan dalam reformasi birokrasi tersebut adalah:
a) Kelembagaan. Perubahan yang ingin diwujudkan pada
area ini adalah organisasi yang tepat fungsi dan tepat
ukuran
b) Budaya organisasi. Capaian akhir yang diharapkan
adalah

birokrasi

dengan

semangat

pengabdian,

integritas, dan kinerja tinggu atau budaya unggul.


c) Ketatalaksanaan. Hasil nyata yang ingin diraih pada
area ini adalah terbangunnya sistem, proses, dan
prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien, terukur, dan
sesuai dengan prinsip-prinsip good governance.
d) Regulasi dan Deregulasi. Perubahan yang diinginkan
adalah munculnya pola regulasi yang lebih tertib, tidak
tumpang tindih, dan kondusif.

19

e) SDM Aparatur. Hasil yang ingin dicapai adalah pegawai


yang berintegritas, kompeten, professional, berkinerja
tinggi dan sejahtera.13
Sebagai sebuah reformasi, desentralisasi tidak akan
dapat berhasil tanpa diikuti oleh langkah-langkah
lanjutannya. Dengan kata lain, desentralisasi harus disikapi
dan ditindaklanjuti dengan reformasi birokrasi sebagau unsur
penyelenggara desentralisasi. Dalam kaitan ini, reformasi
birokrasi diarahkan pada terciptanya tata kelola
pemerintahan yang baik pada masa yang akan datang. Untuk
itu, diperlukan adanya area perubahan yang berfungsi
sebagai tolok ukur keberhasilan reformasi. Adapun area
perubahan dalam reformasi birokrasi tersebut adalah:
a) Kelembagaan. Perubahan yang ingin diwujudkan pada
area ini adalah organisasi yang tepat fungsi dan tepat
ukuran;
b) Budaya organisasi. Capaian akhir yang diharapkan adalah
birokrasi dengan semangat pengabdian, integritas, dan
kinerja tinggu atau budaya unggul.
c) Ketatalaksanaan. Hasil nyata yang ingin diraih pada area
ini adalah terbangunnya sistem, proses, dan prosedur
kerja yang jelas, efektif, efisien, terukur, dan sesuai
dengan prinsip-prinsip good governance.
d) Regulasi dan Deregulasi. Perubahan yang diinginkan
adalah munculnya pola regulasi yang lebih tertib, tidak
tumpang tindih, dan kondusif.
e) SDM Aparatur. Hasil yang ingin dicapai adalah pegawai
yang berintegritas, kompeten, professional, berkinerja
tinggi dan sejahtera.14

IRDA, 2002, Decentralization and Local Governance in Indonesia: First and Second
Report on the Indonesian Rapid Decentralization Appraisal (IRDA), (Jakarta: Asia
Foundation). Diakses dari: http://hazni.blog.esaunggul.ac.id pada Tanggal: 17 Oktober
2013
14 Sedarmayanti, log.cit, hal.
13

20

BAB III
ANALISIS TERHADAP PENERAPAN DESENTRALISASI

Otonomi daerah atau desentralisasi menjadi pilihan rasional dan


terbaik, ketika pemerintahan yang sentralistik (baca Orde Baru) tidak
mampu menjawab pelbagai permasalahan yang dialami daerah, baik
provinsi maupun kabupaten/kota. Persoalan utama yang dirasakan
pemerintahan di daerah menyangkut rasa keadilan dan pemerataan
pembangunan. Pembangunan dikesankan atau bisa jadi benar hanya
difokuskan di wilayah Indonesia Bagian Barat, sementara wilayah
Indonesia Timur hampir tidak tersentuh. Sementara dalam rasa keadilan
ternyata sangat dirasakan, dimana pendapat asli daerah (PAD) hampir
75% disetorkan ke pemerintah pusat dan 25% tetap tinggal di daerah.
Kondisi seperti inilah yang menggerakkan beberapa daerah kaya, seperti
Aceh, dan Papua terus bergejolak.
Konsep otonomi daerah menjadi begitu populer dalam wacana
publik ketika reformasi digulirkan atau setelah Orde Baru runtuh seiring
lengsernya Soeharto dari kursi presiden setelah 32 tahun berkuasa.
Harapan publik tertumpu pada lahirnya demokrasi yang dipercaya
sebagai obat penyembuh penyakit-penyakit kronis dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Perubahan seolah menjadi impian yang kian
dekat dengan kenyataan dan demokratisasi sebagai penawar yang

21

mampu membawa perubahan dalam berbagai aspek ketatanegaraan,


baik sistem maupun aktor, dan pada pola hubungan pusat dan daerah.
Dengan semangat desentralisasi, daerah menggunakan otonomi
yang dimilikinya untuk berkreasi dan berinovasi dalam mengelola
sumber

daya-sumber

daya

yang

dipunyainya.

Reformasi

telah

menghantarkan ke gerbang demokrasitisasi yang akan membawa


perubahan dalam sistem pemerintahan daerah yang semula sentralistis
menjadi desentralistis. Perubahan itu berimplikasi pada terjadinya
pergeseran locus kekuasaan, dari pusat ke daerah. Desentralisasi
memberikan surga baru pada daerah-daerah, karena selama 3 (tiga)
dekade kekayaan alam yang dimiliki daerah tidak pernah dinikmatinya.
Akibatnya, terjadi kesenjangan yang mencolok di daerah-daerah yang
kaya sumber daya alamnya, tetapi penduduknya tetap miskin.
Desentralisasi telah membawa perubahan bagi aktor dan pola relasi
kekuasaan menjadi lebih berimbang antara pusat dan daerah. Pada
tataran aktor terlahir bak jamur di musim hujan para pelaku baru dalam
arena pertarungan kekuasaan. Birokrat dan militer tidak lagi dominan,
para pengusaha yang selama ini bermain dibelakang layar kini sudah
mulai turun gunung ikut bertarung memperebutkan jabatan politik
kekuasaan di daerah. Bahkan lebih maju lagi, dengan desentralisasi
memunculkan tokoh-tokoh lokal, seperti aktris, bintang film, kyai, kaum
bangsawan, dan budayawan, sebagai pemain baru yang turut
mempengaruhi relasi kekuasaan di daerah.
Dalam konteks pengelolaan sumber daya alam, menurut Habibie
Center

penerapan

desentralisasi

membawa

hal

positif

yakni

pemerintahan daerah akan mudah untuk mengelola sumber daya alam


yang dimilikinya, dengan demikian apabila sumber daya alam yang
dimiliki telah dikelola secara maksimal maka pendapatan daerah dan
pendapatan masyarakat akan meningkat. Sedangkan dari segi sosial
budaya, penerapan desentralisasi memperkuat ikatan sosial budaya
suatu

daerah,

karena

pemerintah

daerah

akan

mendorong

22

perkembangan kebudayaan yang menjadi siri khas daerah yang


bersangkutan.
Dengan diadakannya desentralisasi merupakan suatu upaya
untuk mempertahankan kesatuan Negara Indonesia, karena dengan
diterapkannya kebijaksanaan ini akan bisa meredam daerah-daerah yang
ingin memisahkan diri dengan NKRI, (daerah-daerah yang merasa
kurang puas dengan sistem atau apa saja yang menyangkut NKRI). Tetapi
disatu

sisi

desentralisasi

berpotensi

menyulut

konflik

antar

daerah. Sebagaimana dituangkan dalam artikel Asian Report 18 Juli 2003


Mengatur Desentralisasi Dan Konflik Disulawesi Selatan
..Indonesia

memindahkan

kekuasaannya

yang

luas

ke

kabupaten-kabupaten dan kota-kota tingkat kedua pemerintahan


daerah sesudah provinsi diikuti dengan pemindahan fiskal cukup
banyak dari pusat. Peraturan yang mendasari desentralisasi juga
memperbolehkan penciptaan kawasan baru dengan cara pemekaran atau
penggabungan unit-unit administratif yang eksis. Prakteknya, proses
yang dikenal sebagai pemekaran tersebut berarti tidak bergabung tetapi
merupakan pemecahan secara administratif dan penciptaan beberapa
provinsi baru serta hampir 100 kabupaten baru.
Beberapa dari kabupaten itu menggambarkan garis etnis dan
meningkatnya ekonomi yang cepat bagi politik daerah, ada ketakutan
akan terjadi konflik baru dalam soal tanah, sumber daya atau perbatasan
dan adanya politisi lokal yang memanipulasi ketegangan untuk
kepentingan personal. Namun begitu, proses desentralisasi juga telah
meningkatkan prospek pencegahan dan manajemen konflik yang lebih
baik melalui munculnya pemerintahan lokal yang lebih dipercaya..15
Dibidang

politik,

dampak

positif

yang

didapat

melalui

desentralisasi adalah sebagian besar keputusan dan kebijakan yang


berada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa adanya campur
Arif Sobarudin, Dampak Positif dan Negatif Desentralisasi, (http://www.bisosial.com/
2012/11/dampak-positif-dan-negatif.html), diakses tanggal 18 Desember 2013.
15

23

tangan dari pemerintahan di pusat. Hal ini menyebabkan pemerintah


daerah lebih aktif dalam mengelola daerahnya. Tetapi, dampak negatif
yang terlihat dari sistem ini adalah euforia yang berlebihan di mana
wewenang tersebut hanya mementingkat kepentingan golongan dan
kelompok serta digunakan untuk mengeruk keuntungan pribadi atau
oknum. Hal tersebut terjadi karena sulit untuk dikontrol oleh pemerintah
di tingkat pusat.
Pada tataran kekuasaan, desentralisasi membawa perubahan
yang signifikan menjadi lebih berimbang antara pusat dan daerah, antara
suprastruktur politik dengan

infrastruktur

politik.

Masyarakat

mempunyai peluang besar ikut berpartisipasi untuk mengontrol


kebijakan-kebijakan yang diambil dan dilaksanakan pemerintah.
Partisipasi masyarakat menjadi semakin nyata ketika diterapkannya
sistem pemilihan kepala daerah secara langsung atau pilkada langsung,
sehingga masyarakat dapat memilih calon pemimpinnya sesuai
kehendak dan keinginan masyarakat.
Pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada) di Indonesia
merupakan mukjizat demokrasi bagi rakyat di daerah16. Karena Pilkada
menjadi media transformasi politik dengan melahirkan hak politik dan
kebebasan sipil (political rights and civil liberties) yang lebih nyata untuk
rakyat. Dengan perkataan lain, Pilkada langsung menjadi solusi elegan
sekaligus terobosan untuk mengatasi kemacetan demokrasi lokal17.
Karena itu, proses perubahan akan terus berlangsung dari level nasional
sampai level lokal atau daerah, khususnya dalam memilih pejabat publik
yang dipilih langsung oleh rakyat sesuai hak pilihnya.
Sebagai perwujudan demokrasi, keikutsertaan masyarakat dalam
penentuan kepala daerah secara langsung tidak dijadikan jaminan
pemimpin daerah untuk memperjuangkannya menuju kehidupan yang
lebih baik dan sejahtera secara ekonomis. Lalu permasalahannya, apakah
16
17

Leo Agustino, Sisi Gelap Otonomi Daerah, (Bandung: Widya Padjajaran,2011), hal 30
J. Kaloh, Demokrasi dan Kearifan Lokal, (Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2008)

24

dengan pemilihan kepala daerah secara langsung akan ada jaminan


menuju perubahan yang lebih baik dalam tata kelola pemerintahan
daerah? Demokratisasi sebagai sebuah pilihan pasca pemerintahan
sentralistik bermakna sebagai upaya daerah dalam menerjemahkan
otonomi yang dimilikinya untuk mensejahterakan masyarakat. Di tataran
ini, daerah dituntut untuk kreatif dan inovatif dalam menjabarkan
kebebasan dan kewenangan yang dimilikinya untuk meningkatkan
kualitas

pelayanan

publik. Ada beberapa

daerah

yang

sukses

menerapkan desentralisasi, seperti Solo, Sragen (Jawa Tengah), Blitar


(Jawa Timur), Jembrana (Bali), Solok, Banjarmasin, dan beberapa daerah
lainnya, sementara banyak daerah yang jalan di tempat (kalau tidak mau
dikatakan gagal) dalam pelaksanaan desentralisasi. Sesungguhnya bagi
daerah-daerah yang berhasil desentralisasinya telah membuktikan
bahwa

desentralisasi

dapat

menjadi

alat

untuk

bangkit

dari

keterpurukan dan kemiskinan. Namun, ada pula daerah yang terseokterseok dan bahkan terkesan gagal dalam penerapan otonomi daerah.
Sejak otonomi daerah digaungkan sebagai perwujudan reformasi
yang terjadi di Indonesia, daerah-daerah seakan-akan berlomba untuk
melepaskan diri dari cengkeraman oligarki pemerintah pusat. Daerah
diberikan ruang seluas-luasnya oleh Undang-Undang 32 Tahun 2004
untuk

mengurusi

dan

mengatur

urusan

pemerintahannya

dan

kepentingan masyarakat, kecuali untuk 6 hal yakni pertahanan,


keamanan, yustisi (hukum), moneter dan fiskal, dan agama. Daerah juga
diberikan kewenangan untuk memilih sendiri pimpinan daerah yang
sesuai dengan aspirasi masyarakat. Hal itu diwujudkan dengan adanya
pilkada dimana rakyat daerah dapat berpartisipasi dalam memilih
langsung tokoh yang akan menjadi pemimpinnya. Kondisi tersebut
menimbulkan pertanyaan baru, apakah dengan mekanisme pemilihan
langsung sebagaimana dimaksud, akan memutus intervensi oligarki
pemerintah pusat atau justru akan menimbulkan raja-raja baru.

25

Bilamana itu terjadi akan menjadi malapetaka bagi pelaksanaan


demokrasi lokal dalam proses pilkada.
Sistim Otonomi daerah yang diberlakukan untuk daerah,
Ternyata, melahirkan Pemerintah bayangan di daerah .Lahirnya
pemerintahan bayangan didaerah, adalah dari eksistensi sistim Pilkada
yang dipilih secara langsung oleh masyarakat. Kelompok yang menjadi
pemerintah bayangan didaerah adalah dari kelompok tim sukses kepala
daerah yang memenangkan pilkada. Kelompok ini berkuasa dalam
menjalankan pemerintahan, para tim sukses ini lah yang kemudian
mengatur jabatan didaerah, siapa yang akan menempati jabatan apa, dan
siapa yang akan mendapat proyek apa, semuanya terletak ditangan tim
sukses sang kepala daerah18.
Otonomi daerah juga melahirkan perebutan kekuasaan dan
jabatan, dengan dalih pencepatan pembangunan daerah, para elet politik
yang belum mendapat kesempatan untuk duduk sebagai pejabat,
memobilisasi masyarakat untuk memisahkan diri dari satu daerah
dengan membentuk daerah lain yang sering disebut dengan kata
pemekaran.
Atas nama putra daerah, banyak kepala daerah atau elit-elit lokal
yang mendapatkan keuntungan dari pelabelan itu. Tokoh-tokoh yang
sudah mengakar kuat tradisi politik dalam keluarga (yang sebenarnya
merupakan perpanjangan tangan saja dari pemerintah pusat) beramairamai mencalonkan diri. Legitimasi untuk mengelola daerahnya sendiri
yang seharusnya dikelola untuk menyejahterakan rakyat daerah, justru
dikelola dengan cara menancapkan kuku-kukunya dengan menempatkan
kerabat/kroni dalam pengelolaannya. Sehingga dapat ditebak, tiap
keuntungan yang dihasilkan dalam pengelolaan sumber daya alam
sebagian besar masuk ke kantong sendiri dan sisanya baru masuk ke Kas
Daerah. Ironis memang. Pilkada yang diharapkan menjadi tonggak
Wisnu AJ, Otonomi Daerah Melahirkan Raja-Raja Kecil di Daerah
(http://birokrasi.kompasiana.com/ 2012/10/04/otonomi- daerah-melahirkan -rajaraja-kecil-di-daerah-wisnu-aj-492762.html).
18

26

demokrasi di tingkat lokal justru menjadi malapelaka dengan


memunculkan raja baru.
Contoh terkini dari kondisi tersebut bisa dilihat di Provinsi
Banten yang saat ini menjadi pusat perhatian, menyusul ditetapkannya
sang Gubernur sebagai Tersangka dalam kasus korupsi. Sebelumnya sang
Gubernur telah mengelola Banten dengan menempatkan orang-orang
yang dipercayai dalam hal ini kerabatnya untuk duduk dalam posisiposisi yang strategis dalam pemerintahan. Sebut saja, Walikota
Tangerang Selatan, Wakil Bupati Pandeglang, bebarap duduk di komisi
baik DPRD maupun DPR dan terakhir Atut Chosiyah melantik adik tirinya
menjadi Walikota Serang.
Meskipun memiliki dua sisi yang berbeda (manfaat dan
kelemahan),

namun

desentralisasi

sangat

diperlukan

untuk

mempromosikan sosok pemerintahan yang lebih baik, lebih efektif, dan


lebih demokratis (good governance). Baik di negara maju maupun
berkembang, desentralisasi merupakan salah satu elemen kunci
terhadap agenda reformasi yang dijalankan di negara yang bersangkutan.
Sebagai sebuah reformasi, desentralisasi tidak akan dapat berhasil tanpa
diikuti

oleh

langkah-langkah

lanjutannya.

Dengan

kata

lain,

desentralisasi harus disikapi dan ditindaklanjuti dengan reformasi


birokrasi sebagai unsur penyelenggara desentralisasi. Dalam kaitan ini,
reformasi birokrasi diarahkan pada terciptanya tata kelola pemerintahan
yang baik pada masa yang akan datang.

27

BAB IV
STUDI KASUS KABUPATEN JEMBRANA
Keberhasilan

pelaksanaan

program-prorgam

inovasi dalam penyediaan pelayanan publik di Kabupaten


Jembrana Provinsi Bali sangat ditentukan oleh sejumlah
faktor, yakni 19:
1. Peran lembaga adat
Salah

satu

kekuatan

yang

dimiliki

oleh

Kabupaten Jembrana khususnya dan Provinsi Bali pada


umumnya

adalah

struktur

ganda

organisasi

pemerintahan masyarakat desa, yaitu organisasi


formal pemerintah (lurah dan camat) dan organisasi
adat (desa adat). Jika struktur formal pemerintah
melahirkan

peraturan

daerah,

maka

struktur

organisasi adat melahirkan norma hukum adat (awigawig). Namun dalam pelaksanaan berbagai macam
program pemerintah, kedua struktur ini meniptakan
sinergi, khususnya dalam program dana bergulir, mulai
dari pengajuan proposal, pengajuan permohonan,
19

Eko Prasojo et al, Desentralisasi & Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi
Lokal & Efisiensi Struktural,(Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial
dan Politik Universitas Indonesia, 2006), hal. 171

28

pemanfaatan dana dan pengembalian dana termasuk


penerapan sanksi terhadap masyarakat melakukan
wanprestasi.
2. Dampak program
Keseluruhan

program

yag

dilaksanakan

dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan


pelayanan masyarakat. Ketiga program unggulan yaitu
pendidikan, kesehatan dan peningkatan daya beli
masyarakat

merupakan

realisasi

peningkatan

kesejahteraan. Sedangkan program perbaikan struktur


dan

proses

birokrasi

adalah

dalam

rangka

meningkatan pelayanan terhadap masyarakat. Dalam


bidang kesehatan dampak positif program dapat
dilihat

dari

indikator

menurunnya

angka

Bed

Occupation Ratio (BOR) di Rumah Sakit Umum Negara,


meningkatnya kunjungan berobat ke PPk-1 dan
menurunnya angka kematian bayi.
3. Peran Bupati
Dalam

struktur

masyarakat

Bali

yang

berkarakter patron client dan cenderung homogen,


maka dominasi peran Bupati dalam penentuan
prioritas dan pelaksanaan program sangat penting.
Dominasi peran dan komitmen Bupati memiliki
korelasi positif terhadap motivasi aparat untuk
melakukan perubahan. Kemampuan Bupati untuk
memobilisasi

dukungan

aparat

dalam

program

merupakan kepercayaan, sehingga dalam banyak hal


keberlanjutan program di Kabupaten Jembrana sangat
ditentukan oleh figur dan kepemimpinan seorang
Bupati.
29

4. Efisiensi dan efektivitas Birokrasi


Langkah efisiensi dilakukan antara lain melalui
pembentukan Tim Owner Estimate yang bertugas
memberikan second opionion kepada Bupati dalam hal
pengadaan barang dan jasa. Khusus untuk bidang
pendidikan,

pembangunan

fisik

gedung

sekolah

melibatkan komite sekolah. Efisiensi menyeluruh juga


dilakukan dengan mengatur penggunaan sarana dan
prasarana kerja sedemikian rupa. Misalnya dalam
pengaturan pemakaian kendaraan dinas yang hanya
dapat digunakan pada jam kerja (Pukul 08.00 14.00
WITA).

5. Budaya Birokrasi
Budaya birokrasi diterapkan antara lain melalui
aplikasi sistem presensi pegawai dengan handkey,
dimana perilaku pegawai menjadi disiplin. Dalam
bidang perizinan, budaya red tape birokrasi dikurangi
melalui aplikasi sistem pelayanan satu atap. Batas
waktu pemberian perizinan menjadi lebih singkat dan
terstandarisasi. Perubahan budaya organisasi juga
dapat dilihat dalam pemakaian kendaraan dinas,
dimana di luar jam kerja atau hari libur kendaraaan
dinas

hanya

dapat

dipergunakan

dengan

izin

Sekretaris Daerah.
6. Pemilihan prioritas program, dan
Pemilihan

prioritas

program

disesuaikan

dengan visi dan misi yang dicapai berdasarkan pada


indikator Human Development Index (HDI).
30

7. Aspek keberlanjutan program


Program-program sebagaimana tersebut pada
angka 1 s.d. 6 tidak bisa dipisahkan dari dominasi
peran, komitmen dan figur Bupati. Kenyataan ini
mendorong terjadinya perubahan positif di Kabupaten
Jembrana. Pada sisi lain hal ini juga menimbulkan
kekhawatiran

apakah

program-program

tersebut

dapat berlanjut apabila Bupati terpilih pada masa yang


akan datang tidak memiliki komitmen serupa. Sampai
saat ini program-program tersebut belum memiliki
kerangka hukum yang mengikat dalam bentuk
Peraturan

Daerah.

Dari

aspek

pembiayaan,

keterbatasan PAD dan ketergantungan pada sumber


penerimaan dari pemerintah pusat juga menimbulkan
tanda tanya terhadap keberlangsungan programprogram tersebut.

31

BAB V
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan sebagaimana terpapar
diatasm maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.

Birokrasi di Indonesia telah terbentuk sejak lama, sejak


zaman kerajaan-kerajaan Nusantara. Kerajaan-kerajaan
besar masa lampau, biasanya telah memiliki struktur
pemerintahan

yang

baik

pada

masanya.

Prototipe

desentralisasi juga telah ada, dimana pemerintahan pusat


(Raja di kotaraja), menyerahkan sebagian wewenangnya
kepada daerah (kadipaten). Berlanjut pada zaman kolonial
Belanda, dimana pengaruh Belanda sangat kuat dalam
pembentukan sistem pemerintahan di Indonesia. Istilah
Binnenlandsche Bestuur atau tata administrasi modern
mulai dikenal pada masa ini. Ssedangkan pada masa pasca
kemerdekaan, Indonesia telah mengalami 3 (tiga) kali
perubahan undang-undang yang mengatur mengenai
pemerintahan di daerah. Pertama adalah Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah,

32

kedua

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah dan ketiga Undang-Undang Nomor 32


Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
2.

Asas desentralisasi mulaai diterapkan dalam rangka


pengimplemantasian Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004, dan indikator desentralisasi adalah terbentuknya
otonomi daerah. Sebagai sebuah badan hukum (legal entity)
daerah otonom memiliki wewenang dalam mengatur dan
mengurus berbagai urusan pemerintahannya sendiri. Hal ini
mendorong pemerintah daerah untuk lebih inovatif dan
kreatif dalam mengelola kemampuan daerahnya.

3.

Dalam

rangka

pemerintahan
dibutuhkan

mengatur
dan

dan

kepentingan

atmosfer

birokrasi

mengurus

urusan

masyarakat

daerah,

yang

sehat

demi

terwujudnya tujuan yang telah ditetapkan. Salah satu cara


mewujudkan birokrasi yang seha itu adaalah dengan
melaksanakan

reformasi

birokrasi.

Pada

hakikatnya

reformasi birokrasi adalah mengubah atau membuat


sesuatu menjadi lebih baik daripada yang sudah ada,
dalam konteks pemerintahan, makna reformasi birokrasi
adalah perubahan signifikan elemen-elemen birokrasi
seperti kelembagaan, sumber daya manusia aparatur,
ketatalaksanaan, akuntabilitas, aparatur, pengawasan dan
pelayanan publik. Reformasi birokrasi merupakan salah
satu upaya pemerintah untuk mencapai good governance.
Good

governance yang

penyelenggaraan

negara

dimaksud
dalam

adalah

proses

melaksanakan public

goods dan services.


4.

Pada prakteknya, desentralisasi tidak hanya membawa hal


positif berupa kemudahan pemerintahan daerah dalam
mengelola

sumber

daya

alam

untuk

memajukan

perekonomian daerah dan meningkatkan pendapatan asli


33

daerah, namun ternyata praktek tersebut juga membuka


peluang terjadinya indikasi praktek KKN. Tidak itu saja,
pilkada dalam rangka memilih pemimpin daerah yang
seyogyanya sesuai dengan aspirasi rakyat daerah, justru
menjadi malapetaka dimana mekanisme pilkada justru
memunculkan

new local strong men

yang dengan

kekuasaaannya dalam mengelola dan membangun daerah


sekaligus membangun dinasti sendiri. Kondisi ini tak pelak
menjadi ironis manakala daerah tidak mengalami kemajuan
yang berarti,namun kekayaan pribadi pejabat daerah justru
mengalami peningkatan yang fantastis. Fenomena raja kecil
ini seolah-olah dilegitimasi oleh peraturan perundangan.
Karena penerapan desentralisasi memberikan ruang seluasluasnya kepada pemerintah daerah untuk mengurus dan
mengatur

pemerintahannya

sendiri

dan

kepentingan

masyarakatnya sendiri.
5.

Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, prinsip good


governance dalam prakteknya adalah dengan menerapkan
prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik dalam
setiap pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan
serta tindakan yang dilakukan oleh birokrasi pemerintahan
daerah dalam melaksanakan fungsi pelayanan publik.
Dalam hal ini, warga masyarakat daerah ddorong untuk
berpartsipasi

secara

konstruktif

dalam

pengambilan

kebjakan di daerah. Contoh daerah yang telah berhasil


menerapkan prinsip good governance adalah Kabupaten
Jembrana

Provinsi

Bali,

dimana

ditandai

dengan

meningkatnya indeks kepuasan terhadap layanan paripurna


yang dilakukan oleh aparatur Kabupaten Jembrana.

34

3.2 Saran
1. Sebagai sebuah negara yang memiliki wilayah territori yang
luas, dari Sabang sampai Merauke dan wilayah Negara
Republik Indonesia berbentuk kepulauan, jika penerapan
prinsip sentralisasi dipaksakan maka pemerintahan tidak
berjalan dengan baik, selain itu, banyak wilayah NKRI
terletak di daerah terpencil (remote area) yang tentunya
membutuhkan

perhatian

pemerintah

yang

bersifat

kedaerahan secara langsung.desentralisasi adalah pilihan


terbaik. Oleh karena itu desentralisasi adalah pilihan yang
baik dalam rangka memberi kesempatan dan kewenangan
penuh kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan
mengurus daerah untuk mewujudkan pembangunan daerah
lebih baik dan menyejahterakan rakyatnya.
2. Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi sebagaimana
dibahas dalam BAB 2, Sudah seharusnya pemerintah pusat
mengadakan pengawasan, pembinaaan, pengembangan dan
atau pelatihan-pelatihan khusus dalam rangka peningkatan
aparatur pemerintah daerah, sehingga aparatur yang duduk
dalam organisasi atau pemerintah daerah akan lebih siap
dalam melaksanakan tugas, fungsi dan kewajiban sebagai
bagian dari pemerintah daerah.
3. Pada hakikatnya pelimpahan wewenang dari pemerintah
pusat ke pemerintahan daerah adalah untuk mendorong
agar pemerintah lebih dekat dengan rakyatnya. Maka ada
baiknya ada pejabat dalam hal ini Bupati atau Walikota
turun langsung ke lapangan untuk melihat secara nyata apa
yang terjadi di masyarakat, apa kesulitan masyarakat serta
apa yaang dibutuhkan masyarakat. Ssehingga tindaakan
yang

diambil

oleh

Bupati/Walikota

tidak

hanya

35

berdasarkan laporan tertulis melainkan dari hasil dialog


antara Bupati/Walikota dengan rakyatnya.

36

Anda mungkin juga menyukai