Anda di halaman 1dari 17

ARTI PENTING DAN DAMPAK REFORMASI DI INDONESIA

1. Arti Penting Reformasi Bagi Bangsa Indonesia


Istilah reformasi yang banyak disebut-sebut sebagai salah satu
langkah untuk mengatasi krisis multi-dimensional telah
menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat. Banyak pihak
yang tidak setuju dengan istilah tersebut, karena mereka
mengartikannya sebagai perubahan total dan mendasar dibidang
politik, ekonomi dan hukum. Mereka menyamakan atau
mengidentikan istilah reformasi dengan istilah revolusi, yakni
perubahan yang cepat, mendasar dan menyeluruh yang disertai
dengan penggunaan kekerasan untuk memaksakan perubahan yang
drastis tersebut. Oleh karena itu, istilah reformasi menimbulkan
alergi dan ketakutan bagi mereka yang mengartikannya seperti itu.
Pada hal sebenarnya istilah reformasi tidak sama
dengan istilah revolusi. Reformasi dapat diartikan
sebagai pembaharuan secara bertahap, perlahan dan
persuasif untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas
serta menyesuaikan diri dengan perkembangan
masyarakat. Reformasi atau pembaharuan dalam
bentuk revolusi mengandung banyak kelemahan, antara
lain seperti sukarnya kontrol atau pengawasan terhadap
jalannya perubahan, dan adanya ketidakpastian dalam
hasil yang akan dicapai, serta timbulnya keresahan dan
kekacauan dalam masyarakat.
Pengalaman sejarah telah menunjukkan bahwa
penggunaan kekerasan dalam melakukan suatu perubahan
bukanlah merupakan langkah yang terpuji. Memang diakui
bahwa istilah reformasi sering ditafsirkan berbeda karena
mengandung pengertian adanya perubahan dalam bentuk
dan format. Namun perubahan itu bisa dalam skala besar
dan bisa juga dalam skala kecil. Untuk situasi dan kondisi
masyarakat bangsa Indonesia yang layak atau pantas
dilakukan adalah perubahan dalam skala kecil, bertahap
dan persuasif, tetapi berlangsung secara terus menerus
atau secara berkesinambungan.
Pada dasarnya, reformasi merupakan sesuatu yang sangat
diperlukan untuk meningkatkan kualitas dari apa yang kita miliki
sekarang. Masyarakat Indonesia yang tidak mengalami reformasi
adalah masyarakat yang statis, apatis, dan mandeg, pada hal
zaman berkembang terus dan dunia internasional mengalami
perubahan yang cepat. Jadi reformasi merupakan persyaratan
utama bagi kemajuan dan kemampuan bangsa Indonesia untuk
bertahan dalam dunia yang penuh persaingan atau kompetisi.
Oleh karena itu dalam melakukan reformasi hendaknya
diperlukan adanya kesabaran di pihak rakyat untuk menunggu
hasil reformasi yang dicapai, dan dipihak lain diperlukan adanya
kemauan dan kesungguhan di pihak pemerintah untuk
menampung dan memenuhi aspirasi yang berkembang dalam
masyarakat.
2. Dampak Reformasi Terhadap Kehidupan Bangsa Indonesia
a. Amandemen atau Perubahan Terhadap UUD 1945
Amandemen terhadap UUD 1945 merupakan salah satu
tuntutan dari gerakan reformasi di Indonesia pasca runtuhnya
rezim Orde Baru. Tuntutan amandemen terhadap UUD 1945
tersebut pada hakekatnya merupakan tuntutan bagi adanya
penataan ulang terhadap kehidupan berbangsa dan
bernegara. Tuntutan amandemen terhadap UUD 1945 antara
lain disebabkan karena sistem perwakilan pada masa Orde
Baru yang bersifat semu, dan adanya pasal-pasal dalam UUD
1945 yang menimbulkan multitafsir sehingga perlu penegasan
dan pemahaman yang sama oleh penyelenggara negara.
Amandemen terhadap UUD 1945 bertujuan untuk menyem-purnakan
aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM,
pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum,
serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi masyarakat
dan kebutuhan bangsa. Perubahan terhadap UUD 1945 telah disertai
dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD
1945, tetap mempertahankan struktur dan keutuhan NKRI, serta tetap
mempertegas sistem pemerintahan presidensil.
Amandemen terhadap UUD 1945 telah menghasilkan beberapa
ketentuan baru dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Hasil
amandemen terhadap UUD 1945 tersebut antara lain memuat aturan
tentang mekanisme pemilihan presiden yang ditandai dengan adanya
pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat, serta adanya
pembatasan masa jabatan presiden yang hanya 2 (dua) periode
kepemimpinan (10 tahun).
b. Kebebasan Pers
Pada masa Orde Baru kebebasan pers sangat dibatasi oleh
pemerintah. Setiap isi berita yang disajikan tidak boleh
bertentangan dengan pemerintah. Pada saat itu kebebasan pers
cenderung untuk memperkuat status quo, dari pada membangun
keseimbangan antar fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Media massa yang memuat berita yang mengkritisi pemerintah
tidak luput dari pembredelan seperti yang dialami oleh majalah
Tempo, Detik, dan Editor pada tahun 1994. Pembredelan terhadap
media massa tersebut merupakan suatu tindakan otoriter rezim
pemerintahan Orde Baru yang menekan dan membatasi kebebasan
pers. Tindakan tersebut menunjukkan ketidakmampuan sistem
hukum pers yang bebas dan bertanggungjawab secara hukum.
Setelah jatuhnya rezim pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998,
kebebasan pers sudah mulai mengalami pencerahan. Tumbuhnya pers yang
bebas dan bertanggungjawab pada masa reformasi merupakan hal yang
menguntungkan bagi masyarakat. Keberadaan pers saat ini dianggap sudah
mampu mengisi kekosongan ruang publik yang sebelumnya menjadi celah
atau pemisah antara penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah
memainkan peran utama dengan memberikan dan menye-barluaskan
informasi untuk penentuan sikap dan memfasilitasi pembentukan opini public
dalam rangka mencapai kesepakatan bersama dalam mengawasi
pelaksanaan pemerintahan yang dilakukan oleh para penyelenggara negara.
Perubahan yang besar dalam mengekspresikan kebebasan pers yang
dirasakan oleh masyarakat bangsa Indonesia di era reformasi. Fenomena
tersebut ditandai dengan munculnya media-media massa baru, baik media
cetak maupun media elektronik dengan berbagai kemasan dan segmentasi.
Keberanian pers dalam mengkritik kebijakan peme-rintah juga menjadi ciri
baru pers Indonesia pada masa reformasi.
c. Restrukturisasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ( ABRI)
Sejak reformasi bergulir tahun 1998, ABRI menjadi salah satu
institusi yang dipandang perlu direformasi. Masyarakat menilai
perlu adanya perubahan bagi ABRI dalam tataran sikap dan
tindakan. Selama masa Orde Baru, ABRI memiliki kecenderungan
menempatkan diri sebagai “mesin politik” untuk menegakkan
kekuasaan Orde Baru.
Tuntutan perubahan terhadap ABRI berujung pada tuntutan
penghapusan Dwi Fungsi ABRI. Dwi fungsi ABRI telah membawa
konsekwensi panjang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
selama masa Orde Baru. Dengan dalih menjalankan fungsi
sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan serta kelangsungan
pemerintahan.
Tuntutan reformasi dalam tubuh ABRI diakomodasi dengan
mengadakan restrukturisasi ABRI, yaitu antara lain: (1)
Pemisahan Polri dan TNI yang semula bersama-sama tergabung
dalam ABRI, yang juga berakibat pada perubahan Departemen
Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) menjadi Departemen
Pertahanan (Dephan). (2) Penghapusan Dwi Fungsi ABRI,
likuidasi fungsi kekaryaan serta sosial politik TNI, penghapusan
keberadaan Fraksi TNI/Polri, serta perubahan dalam dokrin dan
organisasi TNI/Polri.
Sejak penghapusan Dwi Fungsi ABRI dan diikuti wacana
kembalinya lembaga TNI ke barak serta dipisahkannya TNI dengan
Polri, memberi harapan baru bagi proses demokratisasi serta
mengobati kekecewaan panjang rakyat terhadap posisi ABRI yang
kini menjadi TNI dan Polri.
d. Otonomi Daerah (Otoda)
Era reformasi ditandai oleh bangkitnya demokrasi peran
pemerintah pusat yang besar serta menjadi titik sentral
yang menentukan gerak kehidupan daerah, harus segera
diakhiri. Oleh karena itu, lahirlah Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah
Daerah. Kedua undang-undang tersebut memberikan
kesempatan kepada masyarakat setempat, sesuai dengan
prakarsa dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan
semangat demokrasi.
Seiring dengan perjalanan waktu, kebijakan tersebut banyak menuai
persoalan. Persoalan-persoalan yang muncul antara lain sulitnya
koordinasi antar daerah otonom tingkat propinsi dan
kabupaten/kota, muculnya “raja-raja kecil” di daerah, dan sulitnya
pengawasan daerah otonom.
Pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan baru mengenai
Otonomi Daerah, yakni dengan pemberlakuan Undang-Undang No.
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang
No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan
Daerah. Semangat yang terkandung dalam undang-undang tersebut
tidak ditujukan untuk melakukan “resentralisasi” atas apa yang
telah didesentralisasikan, namun lebih ditujukan untuk mengurangi
dampak negatif dan menambah dampak positif dari otonomi daerah
sebagai salah satu agenda utama di era reformasi.
e. Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), merupakan salah
satu tuntutan dari gerakan reformasi di Indonesia pasca runtuhnya rezim
Orde Baru. Salah satu budaya yang merebak di berbagai sektor
kehidupan masyarakat pada masa Orde Baru adalah praktek Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Berbagai perilaku pejabat pada masa Orde
Baru yang merugikan masyarakat dan menguntungkan para pejabat dan
kroni-kroninya merupakan salah satu penyebab krisis multi dimensional
di Indonesia. Hal itu disebabkan karena perilaku korupsi tersebut telah
memunculkan sistem ekonomi biaya tinggi yang membebani keuangan
negara. Selain itu budaya korupsi yang dilakukan oleh para pejabat pada
masa Orde Baru tersebut telah menguras sumber keuangan negara yang
seharusnya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di
berbagai bidang.
Dilain pihak, perilaku Kolusi dan Nepotisme juga cenderung
merugikan masyarakat karena lebih menguntungkan anggota
keluarga atau kroni para pejabat untuk memperoleh kemudahan
dan kesempatan dalam dunia usaha.
Untuk mengatasi masalah Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
(KKN) maka pada masa reformasi dibentuk lembaga khusus,
yang disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Melalui
lembaga KPK ini, maka banyak pejabat di era reformasi, baik di
pusat maupun di daerah yang terjaring kasus korupsi, bahkan
banyak pejabat yang terjaring melalui Operasi Tangkap Tangan
(OTT) yang dilakukan oleh para penyidik KPK. Walaupun diakui
juga bahwa masih ada oknum para pejabat yang berusaha
mengkriminalisasi KPK, bahkan mengusulkan pembubaran KPK.
f. Munculnya Euforia Kebebasan
Era reformasi adalah era keterbukaan untuk menyampaikan
aspirasi dan pendapat terhadap perkembangan politik maupun
kritik terhadap kinerja aparatur negara. Era reformasi telah
memberi peluang yang besar bagi masyarakat untuk ikut serta
dalam memberikan kritik terhadap pemerintah. Hal ini
disebabkan karena tidak ada lagi sistem yang mengekang
kebebasan berpendapat dan berbicara, seperti halnya di era
pemerintahan Orde Baru. Dengan adanya era keterbukaan dan
kebebasan tersebut telah berdampak pada munculnya aksi-aksi
unjuk rasa menentang kebijakan pemerintah yang tidak pro
rakyat, yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat hampir
tiap hari.
Reformasi sebagai era keterbukaan atau transparansi,
banyak dimaknai oleh masyarakat sebagai kebebasan
yang berlebihan. Masyarakat terjebak oleh euforia
kebebasan yang telah menimbulkan bahaya disintegrasi
sosial dan disintegrasi bangsa. Konflik-konflik yang terjadi
di berbagai daerah di Indonesia, seperti di Ambon, Poso,
Sambas, dan Sampit merupakan contoh gejolak atau
konflik sosial di daerah yang dapat menimbulkan
disintegrasi sosial dan disintegrasi bangsa. Lepasnya
Provinsi Timor Timur dari pangkuan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) merupakan bukti bahwa telah
terjadi disintegrasi bangsa di Era Reformasi.
Untuk mengatasi masalah disintegrasi sosial dan disintegrasi bangsa,
maka sangat diperlukan adanya solidaritas dan per-saudaraan di antara
sesama warga masyarakat bangsa Indonesia melalui semboyan Bhineka
Tunggal Ika. Selain itu juga diperlukan adanya pembinaan dan
pemahaman akan pentingnya kesadaran berbangsa dan bernegara
melalui strategi integrasi yang berkaitan dengan penciptaan rasa
kebersamaan dalam masyarakat. Rasa kebersamaan itu dapat tercipta
apabila sistem politik dapat berfungsi dengan baik dan mampu
mangalirkan kepuasaan kepada masyarakat. Pemerintah harus
mengambil tindakan tegas terhadap orang-orang yang ingin memisahkan
daerahnya dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemerintah
jangan lagi memberikan opsi referendum seperti yang dituntut oleh rakyat
Aceh dan Papua. Disinilah pentingnya mengaktualisasikan kembali
nasionalisme Indonesia demi menjaga kelangsungan hidup bangsa
Indonesia & keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Anda mungkin juga menyukai