Istilah reformasi yang banyak disebut-sebut sebagai salah satu langkah untuk mengatasi krisis multi-dimensional telah menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat. Banyak pihak yang tidak setuju dengan istilah tersebut, karena mereka mengartikannya sebagai perubahan total dan mendasar dibidang politik, ekonomi dan hukum. Mereka menyamakan atau mengidentikan istilah reformasi dengan istilah revolusi, yakni perubahan yang cepat, mendasar dan menyeluruh yang disertai dengan penggunaan kekerasan untuk memaksakan perubahan yang drastis tersebut. Oleh karena itu, istilah reformasi menimbulkan alergi dan ketakutan bagi mereka yang mengartikannya seperti itu. Pada hal sebenarnya istilah reformasi tidak sama dengan istilah revolusi. Reformasi dapat diartikan sebagai pembaharuan secara bertahap, perlahan dan persuasif untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas serta menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat. Reformasi atau pembaharuan dalam bentuk revolusi mengandung banyak kelemahan, antara lain seperti sukarnya kontrol atau pengawasan terhadap jalannya perubahan, dan adanya ketidakpastian dalam hasil yang akan dicapai, serta timbulnya keresahan dan kekacauan dalam masyarakat. Pengalaman sejarah telah menunjukkan bahwa penggunaan kekerasan dalam melakukan suatu perubahan bukanlah merupakan langkah yang terpuji. Memang diakui bahwa istilah reformasi sering ditafsirkan berbeda karena mengandung pengertian adanya perubahan dalam bentuk dan format. Namun perubahan itu bisa dalam skala besar dan bisa juga dalam skala kecil. Untuk situasi dan kondisi masyarakat bangsa Indonesia yang layak atau pantas dilakukan adalah perubahan dalam skala kecil, bertahap dan persuasif, tetapi berlangsung secara terus menerus atau secara berkesinambungan. Pada dasarnya, reformasi merupakan sesuatu yang sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas dari apa yang kita miliki sekarang. Masyarakat Indonesia yang tidak mengalami reformasi adalah masyarakat yang statis, apatis, dan mandeg, pada hal zaman berkembang terus dan dunia internasional mengalami perubahan yang cepat. Jadi reformasi merupakan persyaratan utama bagi kemajuan dan kemampuan bangsa Indonesia untuk bertahan dalam dunia yang penuh persaingan atau kompetisi. Oleh karena itu dalam melakukan reformasi hendaknya diperlukan adanya kesabaran di pihak rakyat untuk menunggu hasil reformasi yang dicapai, dan dipihak lain diperlukan adanya kemauan dan kesungguhan di pihak pemerintah untuk menampung dan memenuhi aspirasi yang berkembang dalam masyarakat. 2. Dampak Reformasi Terhadap Kehidupan Bangsa Indonesia a. Amandemen atau Perubahan Terhadap UUD 1945 Amandemen terhadap UUD 1945 merupakan salah satu tuntutan dari gerakan reformasi di Indonesia pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Tuntutan amandemen terhadap UUD 1945 tersebut pada hakekatnya merupakan tuntutan bagi adanya penataan ulang terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Tuntutan amandemen terhadap UUD 1945 antara lain disebabkan karena sistem perwakilan pada masa Orde Baru yang bersifat semu, dan adanya pasal-pasal dalam UUD 1945 yang menimbulkan multitafsir sehingga perlu penegasan dan pemahaman yang sama oleh penyelenggara negara. Amandemen terhadap UUD 1945 bertujuan untuk menyem-purnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi masyarakat dan kebutuhan bangsa. Perubahan terhadap UUD 1945 telah disertai dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan struktur dan keutuhan NKRI, serta tetap mempertegas sistem pemerintahan presidensil. Amandemen terhadap UUD 1945 telah menghasilkan beberapa ketentuan baru dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Hasil amandemen terhadap UUD 1945 tersebut antara lain memuat aturan tentang mekanisme pemilihan presiden yang ditandai dengan adanya pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat, serta adanya pembatasan masa jabatan presiden yang hanya 2 (dua) periode kepemimpinan (10 tahun). b. Kebebasan Pers Pada masa Orde Baru kebebasan pers sangat dibatasi oleh pemerintah. Setiap isi berita yang disajikan tidak boleh bertentangan dengan pemerintah. Pada saat itu kebebasan pers cenderung untuk memperkuat status quo, dari pada membangun keseimbangan antar fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Media massa yang memuat berita yang mengkritisi pemerintah tidak luput dari pembredelan seperti yang dialami oleh majalah Tempo, Detik, dan Editor pada tahun 1994. Pembredelan terhadap media massa tersebut merupakan suatu tindakan otoriter rezim pemerintahan Orde Baru yang menekan dan membatasi kebebasan pers. Tindakan tersebut menunjukkan ketidakmampuan sistem hukum pers yang bebas dan bertanggungjawab secara hukum. Setelah jatuhnya rezim pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998, kebebasan pers sudah mulai mengalami pencerahan. Tumbuhnya pers yang bebas dan bertanggungjawab pada masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat. Keberadaan pers saat ini dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang sebelumnya menjadi celah atau pemisah antara penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran utama dengan memberikan dan menye-barluaskan informasi untuk penentuan sikap dan memfasilitasi pembentukan opini public dalam rangka mencapai kesepakatan bersama dalam mengawasi pelaksanaan pemerintahan yang dilakukan oleh para penyelenggara negara. Perubahan yang besar dalam mengekspresikan kebebasan pers yang dirasakan oleh masyarakat bangsa Indonesia di era reformasi. Fenomena tersebut ditandai dengan munculnya media-media massa baru, baik media cetak maupun media elektronik dengan berbagai kemasan dan segmentasi. Keberanian pers dalam mengkritik kebijakan peme-rintah juga menjadi ciri baru pers Indonesia pada masa reformasi. c. Restrukturisasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ( ABRI) Sejak reformasi bergulir tahun 1998, ABRI menjadi salah satu institusi yang dipandang perlu direformasi. Masyarakat menilai perlu adanya perubahan bagi ABRI dalam tataran sikap dan tindakan. Selama masa Orde Baru, ABRI memiliki kecenderungan menempatkan diri sebagai “mesin politik” untuk menegakkan kekuasaan Orde Baru. Tuntutan perubahan terhadap ABRI berujung pada tuntutan penghapusan Dwi Fungsi ABRI. Dwi fungsi ABRI telah membawa konsekwensi panjang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selama masa Orde Baru. Dengan dalih menjalankan fungsi sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan serta kelangsungan pemerintahan. Tuntutan reformasi dalam tubuh ABRI diakomodasi dengan mengadakan restrukturisasi ABRI, yaitu antara lain: (1) Pemisahan Polri dan TNI yang semula bersama-sama tergabung dalam ABRI, yang juga berakibat pada perubahan Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) menjadi Departemen Pertahanan (Dephan). (2) Penghapusan Dwi Fungsi ABRI, likuidasi fungsi kekaryaan serta sosial politik TNI, penghapusan keberadaan Fraksi TNI/Polri, serta perubahan dalam dokrin dan organisasi TNI/Polri. Sejak penghapusan Dwi Fungsi ABRI dan diikuti wacana kembalinya lembaga TNI ke barak serta dipisahkannya TNI dengan Polri, memberi harapan baru bagi proses demokratisasi serta mengobati kekecewaan panjang rakyat terhadap posisi ABRI yang kini menjadi TNI dan Polri. d. Otonomi Daerah (Otoda) Era reformasi ditandai oleh bangkitnya demokrasi peran pemerintah pusat yang besar serta menjadi titik sentral yang menentukan gerak kehidupan daerah, harus segera diakhiri. Oleh karena itu, lahirlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Kedua undang-undang tersebut memberikan kesempatan kepada masyarakat setempat, sesuai dengan prakarsa dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi. Seiring dengan perjalanan waktu, kebijakan tersebut banyak menuai persoalan. Persoalan-persoalan yang muncul antara lain sulitnya koordinasi antar daerah otonom tingkat propinsi dan kabupaten/kota, muculnya “raja-raja kecil” di daerah, dan sulitnya pengawasan daerah otonom. Pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan baru mengenai Otonomi Daerah, yakni dengan pemberlakuan Undang-Undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah. Semangat yang terkandung dalam undang-undang tersebut tidak ditujukan untuk melakukan “resentralisasi” atas apa yang telah didesentralisasikan, namun lebih ditujukan untuk mengurangi dampak negatif dan menambah dampak positif dari otonomi daerah sebagai salah satu agenda utama di era reformasi. e. Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), merupakan salah satu tuntutan dari gerakan reformasi di Indonesia pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Salah satu budaya yang merebak di berbagai sektor kehidupan masyarakat pada masa Orde Baru adalah praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Berbagai perilaku pejabat pada masa Orde Baru yang merugikan masyarakat dan menguntungkan para pejabat dan kroni-kroninya merupakan salah satu penyebab krisis multi dimensional di Indonesia. Hal itu disebabkan karena perilaku korupsi tersebut telah memunculkan sistem ekonomi biaya tinggi yang membebani keuangan negara. Selain itu budaya korupsi yang dilakukan oleh para pejabat pada masa Orde Baru tersebut telah menguras sumber keuangan negara yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di berbagai bidang. Dilain pihak, perilaku Kolusi dan Nepotisme juga cenderung merugikan masyarakat karena lebih menguntungkan anggota keluarga atau kroni para pejabat untuk memperoleh kemudahan dan kesempatan dalam dunia usaha. Untuk mengatasi masalah Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) maka pada masa reformasi dibentuk lembaga khusus, yang disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Melalui lembaga KPK ini, maka banyak pejabat di era reformasi, baik di pusat maupun di daerah yang terjaring kasus korupsi, bahkan banyak pejabat yang terjaring melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh para penyidik KPK. Walaupun diakui juga bahwa masih ada oknum para pejabat yang berusaha mengkriminalisasi KPK, bahkan mengusulkan pembubaran KPK. f. Munculnya Euforia Kebebasan Era reformasi adalah era keterbukaan untuk menyampaikan aspirasi dan pendapat terhadap perkembangan politik maupun kritik terhadap kinerja aparatur negara. Era reformasi telah memberi peluang yang besar bagi masyarakat untuk ikut serta dalam memberikan kritik terhadap pemerintah. Hal ini disebabkan karena tidak ada lagi sistem yang mengekang kebebasan berpendapat dan berbicara, seperti halnya di era pemerintahan Orde Baru. Dengan adanya era keterbukaan dan kebebasan tersebut telah berdampak pada munculnya aksi-aksi unjuk rasa menentang kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat, yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat hampir tiap hari. Reformasi sebagai era keterbukaan atau transparansi, banyak dimaknai oleh masyarakat sebagai kebebasan yang berlebihan. Masyarakat terjebak oleh euforia kebebasan yang telah menimbulkan bahaya disintegrasi sosial dan disintegrasi bangsa. Konflik-konflik yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia, seperti di Ambon, Poso, Sambas, dan Sampit merupakan contoh gejolak atau konflik sosial di daerah yang dapat menimbulkan disintegrasi sosial dan disintegrasi bangsa. Lepasnya Provinsi Timor Timur dari pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan bukti bahwa telah terjadi disintegrasi bangsa di Era Reformasi. Untuk mengatasi masalah disintegrasi sosial dan disintegrasi bangsa, maka sangat diperlukan adanya solidaritas dan per-saudaraan di antara sesama warga masyarakat bangsa Indonesia melalui semboyan Bhineka Tunggal Ika. Selain itu juga diperlukan adanya pembinaan dan pemahaman akan pentingnya kesadaran berbangsa dan bernegara melalui strategi integrasi yang berkaitan dengan penciptaan rasa kebersamaan dalam masyarakat. Rasa kebersamaan itu dapat tercipta apabila sistem politik dapat berfungsi dengan baik dan mampu mangalirkan kepuasaan kepada masyarakat. Pemerintah harus mengambil tindakan tegas terhadap orang-orang yang ingin memisahkan daerahnya dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemerintah jangan lagi memberikan opsi referendum seperti yang dituntut oleh rakyat Aceh dan Papua. Disinilah pentingnya mengaktualisasikan kembali nasionalisme Indonesia demi menjaga kelangsungan hidup bangsa Indonesia & keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).