082001800081
Peran mahasiswa sebagai penjaga moral dan kontrol sosial terhadap perjalanan
dinamika bangsa telah dibuktikan pada setiap kurun waktu. Dalam kaitan dengan
jalannya reformasi perlu mengadakan evaluasi, apakah reformasi dapat berjalan,
apakah terhenti, dan apakah ada kemungkinan mengalami kemunduran. Oleh
karena itu, setelah sembilan tahun reformasi berjalan akan dilihat hal itu, dengan
beberapa parameter atau indikator yang kiranya dapat digunakan.
Sebagai realisasi dari tuntutan reformasi, Sidang MPR tahun 1998 yang merupakan
sidang MPR pertama pada era reformasi telah mengawali dan memberi jalan
dengan mengeluarkan tiga ketetapan MPR. Pertama, Ketetapan MPR Nomor
VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang
Referendum. Kedua, Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan
Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI yang antara lain berbunyi “Presiden
dan Wakil Presiden RI memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat
dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Ketentuan ini telah mengubah pasal 17 UUD 1945 yang tidak membatasi masa
jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
Ada lima kesepakatan dasar dalam merubah UUD 1945, yaitu : Pertama, tidak
melakukan perubahan terhadap Pembukaan UUD 1945. Kedua, mempertahankan
bentuk Negara Kesatuan. Ketiga, mempertegas sistem Presidensiil. Keempat, tidak
lagi memakai penjelasan UUD 1945, namun hal-hal yang normatif dimasukkan
dalam pasal-pasal. Kelima, perubahan UUD 1945 dilakukan dengan cara addendum
karena tidak semua UUD 1945 diubah (tidak semua dalam naskah asli dilakukan
perubahan).
Secara gradual TNI telah melakukan reformasi internal. Dalam kaitan ini pada
tanggal 10 November 1998 telah menghapuskan staf kekaryaan ABRI, Badan
Pembinaan Kekaryaan dan staf Kamtibnas ABRI. Kemudian diikuti dengan
meniadakan kekaryaan melalui keputusan pensiun atau beralih status. Selanjutnya
telah dilakukan pemisahan Polri dari ABRI mulai 1 April 1999, dan menggantikan
sebutan ABRI menjadi TNI pada 12 April 1999. Struktur organisasi sosial politik
yang berada di organisasi TNI juga telah dihapus yaitu Dewan Sospol di pusat
maupun di daerah. Demikian juga telah ditiadakan Bakortanas dan Bakortanasda.
Dalam lembaga pendidikan di lingkungan TNI juga telah dihapuskan pelajaran
sosial politik dari kurikulum.
Akhirnya, secara resmi paradigma baru peran sosial politik TNI itu tamat
riwayatnya pada tanggal 20 April 2000 ketika hasil rapat Pimpinan TNI
menyatakan bahwa TNI tidak lagi memiliki fungsi sosial politik, dan akan lebih
memusatkan pada peran dan tugas utama pertahanan, dan itu berarti TNI telah
meninggalkan dwi fungsinya, untuk selanjutnya TNI hanya berperan dan bertugas
sebagai alat negara, yang dilakukan bersama unsur lain sesuai tugas dan fungsinya.
Apapun yang dilakukan TNI mesti konstitusional dan merupakan kehendak rakyat
yang dimanifestasikan dalam keputusan politik pemerintah yang sah.
Dari uraian tersebut, telah nampak bahwa reformasi di tubuh TNI khusunya
pencabutan dwi fungsi TNI dan turunannya telah berjalan walaupun juga masih
berproses menuju TNI yang profesional dan menjadi kebanggan bangsa. Reformasi
kultur diakui akan memakan waktu yang lama karena menyangkut perubahan
perilaku, namun harus dilakukan secara terus-menerus.
Tuntutan ini telah diberikan landasan yang lebih banyak dan jelas untuk menjerat
pelaku KKN, antara lain diterbitkannya Ketetapan MPR RI Nomor VIII/MPR/2001
tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme. Untuk meningkatkan operasionalisasi upaya pemberantasan
KKN, telah dibentuk beberapa organisasi antara lain Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor) dan
sebagainya.
Dari kenyataan di atas, dapat terlihat bahwa dari struktur dapat direalisasikan upaya
pembangun demokrasi. Namun, membangun demokrasi bukan sekedar
memperkuat lembaga-lembaga politik demokrasi, tetapi juga harus menerapkan
tingkah laku politik yang mencerminkan nilai-nilai dan budaya demokrasi dalam
praktek sehari-hari. Demokrasi dapat tumbuh jika sudah tumbuh tradisi demokrasi,
tidak hanya perlu institusi demokrasi. Oleh karena itu, menilai perkembangan
demokrasi harus memperhatikan kriteria, karakter, norma dan etika demokrasi.
Upaya penegakan hukum dan supremasi hukum dilakukan antara lain dengan
merubah UUD 1945 pasal 24 khususnya dinyatakan pada ayat 1, yang dimaksudkan
untuk mempertegas bahwa tugas kekuasaan kehakiman dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yakni untuk menyelenggarakan peradilan yang merdeka,
bebas dari intervensi pihak mana pun, guna menegakkan hukum dan keadilan.
Dengan perubahan undang-undang dasar itu telah menjamin adanyakemandirian
kekuasaan kehakiman. Dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri,
lembaga-lembaga negara pemegang kekuasaan tersebut dapat bertindak sesuai
dengan koridor hukum yang berlaku sehingga pengalaman buruk implementasi
kekuasaan kehakiman sebelum reformasi yang penuh dengan rekayasa penguasa
dapat dihilangkan. Dalam kenyataannya, kemandirian itu masih dalam proses
secara berlanjut, artinya belum sepenuhnya berhasil
Judicial review juga sudah berjalan. Banyaknya upaya judicial reviewoleh MK,
menunjukkan kesadaran berkonstitusi warga negara dalam pencapaian negara
demokratis mengalami kemajuan, dan hal ini merupakan hal yang mengembirakan
dan menjadi hal yang penting untuk tegaknya supremasi hukum di Indonesia.
Upaya otonomi daerah telah dilaksanakan dengan perubahan Pasal 18 UUD 1945
yang dilatarbelakangi oleh kehendak untuk menampung semangat otonomi daerah
dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat daerah. Perubahan tersebut
menjadi dasarhukum bagi pelaksanaan otonomi daerah yang dalam era reformasi
menjadi salah satu agenda nasional. Semua ketentuan itu dalam kerangka menjamin
dan memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga dirumuskan
hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dengan
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.