Anda di halaman 1dari 9

Imam Hambali

082001800081

SUDAH SEJAUH MANA TUNTUTAN REVORMASI BERDIRI

Hampir 20 tahun yang lalu reformasi terhadap tata kelola negara


Republik Indonesia digulirkan oleh para aktivis reformasi. Tumbangnya rezim orde baru
dan lahirnya orde reformasi adalah bagian dari salah satu tujuan reformasi saat itu.
Dengan dipelopori oleh mahasiswa, reformasi yang dimulai tahun 1998 telah
menumbangkan rezim Orde Baru yang memerintah secara otoriter selama lebih tiga
dasa warsa. Pada waktu itu ada enam tuntutan reformasi, yaitu amandemen UUD
1945, pencabutan Dwi Fungsi ABRI (TNI), pemberantasan korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN), penegakan dan supremasi hukum serta adili Soeharto,
pembudayaan demokrasi, dan otonomi daerah yang seluas-luasnya. Beberapa
tuntutan reformasi sampai saat ini sudah dicapai walaupun belum maksimal.
Namun, juga ada tuntutan yang belum menampakan hasilnya secara signifikan dari
harapan rakyat.

Dengan begitu, permasalahannya adalah sampai sejauh mana hasil-hasil reformasi


dan apa yang harus dilakukan selanjutnya?

Peran mahasiswa sebagai penjaga moral dan kontrol sosial terhadap perjalanan
dinamika bangsa telah dibuktikan pada setiap kurun waktu. Dalam kaitan dengan
jalannya reformasi perlu mengadakan evaluasi, apakah reformasi dapat berjalan,
apakah terhenti, dan apakah ada kemungkinan mengalami kemunduran. Oleh
karena itu, setelah sembilan tahun reformasi berjalan akan dilihat hal itu, dengan
beberapa parameter atau indikator yang kiranya dapat digunakan.

Pertama, tentang mengamandemen UUD 1945 antara lain dapat dicermati


dengan pembatasan masa jabatan Presiden paling lama dua periode, perluasan dan
penegasan perlindungan HAM, peninjauan keuangan dan sistem anggaran negara
dengan memfungsikan BPK hingga ke daerah-daerah, penegasan fungsi lembaga-
lembaga tinggi negara dan pemisahan kekuasaan secara tegas, dan diberlakukannya
proses pemilihan Presiden RI secara langsung. Dari indikator tersebut diharapkan
bisa dilihat sampai di mana kemajuan reformasi.

Tuntutan untuk mengamandemen UUD 1945, disebabkan banyak praktek


penyelenggaraan negara yang tidak sesuai dengan prinsip hukum dan demokrasi
sebagai akibat kurang jelasnya isi dan bunyi UUD 1945 yang dapat membuka
peluang penafsiran secara sepihak, misalnya lama jabatan Presiden / Wakil
Presiden. Selain itu, UUD 1945 yang pertama ini (“asli”) memberikan kedudukan
terlalu besar kepada lembaga eksekutif (Presiden) dan kurang menjamin
prinsip cheks and balances. Dalam praktek penyelenggaraan negara banyak
menimbulkan permasalahan, karena memang UUD 1945 itu belum sempurna dan
hal itu sudah diakui oleh para pendiri bangsa ketika akan mengesahkan UUD itu.

Dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18 Agustus 1945,


yaitu ketika membahas akan disahkannya UUD 1945, Ketua Penyusun UUD
Negara Republik Indonesia Ir. Soekarno telah mengakui bahwa UUD yang dibuat
bukan UUD yang sempurna. Dia antara lain menyatakan “bahwa ini adalah sekedar
Undang-Undang Dasar Sementara, Undang-Undang Dasar kilat, barangkali boleh
dikatakan pula, inilah revolutiegronwet. Nanti kita membuat Undang-Undang
Dasar yang lebih sempurna dan lengkap.” Oleh karena itu, tuntutan reformasi untuk
mengamandemen UUD 1945 merupakan kewajaran.

Sebagai realisasi dari tuntutan reformasi, Sidang MPR tahun 1998 yang merupakan
sidang MPR pertama pada era reformasi telah mengawali dan memberi jalan
dengan mengeluarkan tiga ketetapan MPR. Pertama, Ketetapan MPR Nomor
VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang
Referendum. Kedua, Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan
Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI yang antara lain berbunyi “Presiden
dan Wakil Presiden RI memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat
dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Ketentuan ini telah mengubah pasal 17 UUD 1945 yang tidak membatasi masa
jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
Ada lima kesepakatan dasar dalam merubah UUD 1945, yaitu : Pertama, tidak
melakukan perubahan terhadap Pembukaan UUD 1945. Kedua, mempertahankan
bentuk Negara Kesatuan. Ketiga, mempertegas sistem Presidensiil. Keempat, tidak
lagi memakai penjelasan UUD 1945, namun hal-hal yang normatif dimasukkan
dalam pasal-pasal. Kelima, perubahan UUD 1945 dilakukan dengan cara addendum
karena tidak semua UUD 1945 diubah (tidak semua dalam naskah asli dilakukan
perubahan).

Amandemen UUD 1945 sudah dilakukan dengan sungguh-sungguh. Namun, perlu


disadari juga bahwa masih terdapat kelemahan-kelemahan yang perlu
disempurnakan. Oleh karena itu, suatu kewajaran jika wacana untuk amandeman
lagi UUD 1945 muncul. Yang penting harus dilakukan adalah melalui pengkajian
yang komprehensif, holistik, lebih teliti, penuh kehati-hatian, dan lebih melibatkan
masyarakat secara representatif dan intensif. Hal itu perlu ditempuh agar hasilnya
lebih mantab dan mengakomodasi aspirasi yang sesuai dengan konteks serta tidak
menyimpang dari Pembukaan UUD 1945. Dengan begitu diharapkan hasilnya
dapat diberlakukan untuk jangka waktu yang panjang dan menghasilkan sistem
pemerintahan yang kuat, stabil, produktif, dan efektif di satu pihak, tetapi dipihak
lain dapat menghindari otoritarianisme dan penyalahgunaan hukum.

Kedua, tentang penghapusan Dwi Fungsi ABRI/TNI, dapat dilihat antara


lain dengan hapusnya keberadaan wakil TNI di lembaga legislatif, hapusnya
keberadaan fungsi sosial politik yang dirumuskan dalam ketentuan aturan yang kuat
dan mengikat, pemisahan peran TNI dan Polri, kekaryaan ABRI, penghapusan
fungsi pembinaan teritorial TNI, dan hapusnya bisnis militer.

Tuntutan dicabutnya Dwi Fungsi ABRI/TNI lebih disebabkan karena pemerintah


Orde Baru sangat otokratis dan militeristik yang mengekang pertumbuhan
demokrasi, penghargaan hukum dan hak asasi manusia. Hal itu juga disebabkan
peranan dan fungsi ABRI/TNI yang sangat mendominasi semua aspek kehidupan
bangsa lantaran digunakan sebagai alat kekuasaan. Memasuki era reformasi dan
merespon tuntutan rakyat, maka ABRI/TNI melakukan introspeksi diri atas apa
yang telah dilakukan pada masa sebelumnya. Menyadari kesalahannya yang lalu
TNI merumuskan paradigma baru dan melakukan reformasi internal. Pada awal
reformasi tersebut dan mengantisipasi keadaaan, ABRI/TNI juga menyatakan
bertekad mengamankan jalannya reformasi nasional yang konstitusional.

Menyikapi tuntutan perubahan, TNI telah menunjukkan pengertiannya dan


bersikap responsif, aspiratif, serta akomodatif terhadap kritik dan saran dari
berbagai pihak. Mulanya ABRI/TNI telah menetapkan paradigma baru peran sosial
politik yang lebih dikenal dengan empat paradigma baru peran sosial politik ABRI.
Artinya, ABRI/TNI masih memiliki peran sosial politik, namun tidak mendominasi.
Ternyata dinamika perkembangan begitu cepat yang kemudian dinilai bahwa
paradigma baru peran sosial politik TNI belum memenuhi tuntutan reformasi.

Secara gradual TNI telah melakukan reformasi internal. Dalam kaitan ini pada
tanggal 10 November 1998 telah menghapuskan staf kekaryaan ABRI, Badan
Pembinaan Kekaryaan dan staf Kamtibnas ABRI. Kemudian diikuti dengan
meniadakan kekaryaan melalui keputusan pensiun atau beralih status. Selanjutnya
telah dilakukan pemisahan Polri dari ABRI mulai 1 April 1999, dan menggantikan
sebutan ABRI menjadi TNI pada 12 April 1999. Struktur organisasi sosial politik
yang berada di organisasi TNI juga telah dihapus yaitu Dewan Sospol di pusat
maupun di daerah. Demikian juga telah ditiadakan Bakortanas dan Bakortanasda.
Dalam lembaga pendidikan di lingkungan TNI juga telah dihapuskan pelajaran
sosial politik dari kurikulum.

Akhirnya, secara resmi paradigma baru peran sosial politik TNI itu tamat
riwayatnya pada tanggal 20 April 2000 ketika hasil rapat Pimpinan TNI
menyatakan bahwa TNI tidak lagi memiliki fungsi sosial politik, dan akan lebih
memusatkan pada peran dan tugas utama pertahanan, dan itu berarti TNI telah
meninggalkan dwi fungsinya, untuk selanjutnya TNI hanya berperan dan bertugas
sebagai alat negara, yang dilakukan bersama unsur lain sesuai tugas dan fungsinya.
Apapun yang dilakukan TNI mesti konstitusional dan merupakan kehendak rakyat
yang dimanifestasikan dalam keputusan politik pemerintah yang sah.
Dari uraian tersebut, telah nampak bahwa reformasi di tubuh TNI khusunya
pencabutan dwi fungsi TNI dan turunannya telah berjalan walaupun juga masih
berproses menuju TNI yang profesional dan menjadi kebanggan bangsa. Reformasi
kultur diakui akan memakan waktu yang lama karena menyangkut perubahan
perilaku, namun harus dilakukan secara terus-menerus.

Ketiga, pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dapat


ditandai dengan adanya tindakan nyata untuk memberantas KKN, adanya perangkat
hukum yang memadai untuk kepentingan pemberantasan korupsi, dan aparat
penegak hukum yang bersih. Sejalan dengan tuntutan reformasi, MPR RI
mengeluarkan ketetapan Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara
yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Untuk itu, pejabat negara
harus bersumpah sesuai agamanya, dan harus mengumumkan dan bersedia
diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat. Kemudian, juga diterbitkan
Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang
dimaksudkan untuk membantu memberikan penyadaran tentang arti penting
tegaknya etika dan moral dalam kehidupan bangsa, agar menjadi acuan dasar untuk
meningkatkan kualitas manusia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia serta
berkepribadian Indonesia.

Tuntutan ini telah diberikan landasan yang lebih banyak dan jelas untuk menjerat
pelaku KKN, antara lain diterbitkannya Ketetapan MPR RI Nomor VIII/MPR/2001
tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme. Untuk meningkatkan operasionalisasi upaya pemberantasan
KKN, telah dibentuk beberapa organisasi antara lain Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor) dan
sebagainya.

Hasil pemberantasan KKN nampak meningkat, namun belum memenuhi harapan


masyarakat. Pelaku korupsi yang berkaliber besar banyak yang belum tertangkap.
Sementara di lingkungan pejabat pemerintah juga masih terjadi tindak pidana
korupsi, baik di pusat maupun di daerah. Oleh karena itu, keikutsertaan masyarakat
termasuk mahasiswa untuk memberikan informasi tentang adanya tindak pidana
korupsi diperlukan, namun harus dengan data yang cermat dan akurat.

Keempat, pembudayaan demokrasi, dapat ditandai dengan belangsungnya


kehidupan demokrasi yang sesuai dengan aturan perundang-undangan yang
berlaku. Disamping itu, harus memperhatikan dan memenuhi etika demokrasi, serta
berperilaku demokratis.

Seperti telah disebutkan dalam membicarakan amandemen UUD 1945, bahwa


konsep negara demokrasi telah dikukuhkan dalam UUD 1945 hasil amandemen.
Pasal-pasal dalam UUD 1945 itu banyak yang lebih menegaskan bahwa Indonesia
menganut demokrasi konstitusional. Penegasan itu antara lain “kedaulatan berada
di tangan rakyat dan dilakukan menurut undang-undang dasar”. Sebelumnya,
kedaulatan rakyat itu dilakukan oleh MPR, dan MPR merupakan lembaga tertinggi.
Setelah amandemen, kedudukan lembaga tinggi negara sejajar atau sederajat, dan
diharapkan dapat dicapai prinsip checks and balances untuk meneguhkan
demokrasi. Pasal lain misalnya pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil
Presiden, tentang HAM yang lebih rinci diatur dalam UUD 1945, adanya undang-
undang yang menjamin kebebasan pers, tumbuhnya partai politik dan organisasi
massa, dan masih banyak hal yang menunjukkan tekad untuk membangun
demokrasi.

Dari kenyataan di atas, dapat terlihat bahwa dari struktur dapat direalisasikan upaya
pembangun demokrasi. Namun, membangun demokrasi bukan sekedar
memperkuat lembaga-lembaga politik demokrasi, tetapi juga harus menerapkan
tingkah laku politik yang mencerminkan nilai-nilai dan budaya demokrasi dalam
praktek sehari-hari. Demokrasi dapat tumbuh jika sudah tumbuh tradisi demokrasi,
tidak hanya perlu institusi demokrasi. Oleh karena itu, menilai perkembangan
demokrasi harus memperhatikan kriteria, karakter, norma dan etika demokrasi.

Oleh karena itu, harus dilakukan pembudayaan demokrasi secara berlanjut.


Karakter demokratis harus tertanam pada semua warga bangsa, antara lain
resiprositas, yaitu kesediaan untuk memahami perspektif orang lain sebagai
perspektifnya sendiri dan kesiapan bertindak demi kepentingan orang lain seperti
bertindak untuk kepentingan sendiri, sikap toleran, dan fleksibel. Disamping itu,
perlu mengetengahkan pentingnya nilai-nilai civility (keadaban) dalam praktek
kehidupan demokrasi yang mengedepankan kesopanan, kesantunan, tata krama,
moral, kejujuran dan keadilan.

Kelima, penegakan hukum dan supremasi hukum dapat dilihat dari


kemandirian kekuasaan kehakiman, dibersihkannya lembaga peradilan dari KKN,
diaktifkannya judicial review atau uji materi Undang-Undang terhadap UUD 1945,
pengadilan terhadap Soeharto, keluarga dan kroni-kroninya, dan pembatasan
wewenang Mahkamah Militer.

Upaya penegakan hukum dan supremasi hukum dilakukan antara lain dengan
merubah UUD 1945 pasal 24 khususnya dinyatakan pada ayat 1, yang dimaksudkan
untuk mempertegas bahwa tugas kekuasaan kehakiman dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yakni untuk menyelenggarakan peradilan yang merdeka,
bebas dari intervensi pihak mana pun, guna menegakkan hukum dan keadilan.
Dengan perubahan undang-undang dasar itu telah menjamin adanyakemandirian
kekuasaan kehakiman. Dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri,
lembaga-lembaga negara pemegang kekuasaan tersebut dapat bertindak sesuai
dengan koridor hukum yang berlaku sehingga pengalaman buruk implementasi
kekuasaan kehakiman sebelum reformasi yang penuh dengan rekayasa penguasa
dapat dihilangkan. Dalam kenyataannya, kemandirian itu masih dalam proses
secara berlanjut, artinya belum sepenuhnya berhasil

Judicial review juga sudah berjalan. Banyaknya upaya judicial reviewoleh MK,
menunjukkan kesadaran berkonstitusi warga negara dalam pencapaian negara
demokratis mengalami kemajuan, dan hal ini merupakan hal yang mengembirakan
dan menjadi hal yang penting untuk tegaknya supremasi hukum di Indonesia.

Dengan demikian, berbagai upaya pembenahan internal bersamaan dengan proses


perbaikan perangkat hukum harus dilakukan secara simultan. Tindakan ini tidak
hanya diperlukan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap
penyelenggara negara, tapi sekaligus untuk menghindari terulangnya malapetaka
hukum sebagai kompromi penguasa dalam mempertahankan hegemoni
kekuasaannya seperti masa sebelum reformasi. Pembenahan internal yang
dimaksud adalah berupaya secara keras untuk mewujudkan good governance.

Keenam, otonomi daerah yang seluas-luasnya dengan indikatornya antara


lain dari pemberdayaan dan kemandirian DPRD dalam proses pemilihan ketuanya,
proses pemilihan kepala daerah secara langsung, pembagian pendapatan antara
pusat dan daerah, dan pelaksanaan otonomi daerah sampai pada tingkat Kabupaten
dan Kota.

Upaya otonomi daerah telah dilaksanakan dengan perubahan Pasal 18 UUD 1945
yang dilatarbelakangi oleh kehendak untuk menampung semangat otonomi daerah
dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat daerah. Perubahan tersebut
menjadi dasarhukum bagi pelaksanaan otonomi daerah yang dalam era reformasi
menjadi salah satu agenda nasional. Semua ketentuan itu dalam kerangka menjamin
dan memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga dirumuskan
hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dengan
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.

Semangat otonomi daerah yang tercermin dalam praktek penyelenggaraan


pemerintahan pada dasarnya mencoba mendudukan politicalwill pemerintah untuk
memberikan kewenangan pada daerah mengelola daerah sesuai dengan
kemampuan sumber daya yang dimiliki. Otonomi daerah tidak diorientasikan untuk
peningkatan pendapatan asli daerah, tetapi pemberdayaan masyarakat untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah dengan memadukan pendekatan
kultural dan struktural. Dengan pendekatan itu, berarti rakyat adalah subyek dalam
pembangunan dan bukan menjadi obyek belaka. Disinilah esensi otonomi yang
sesuai dengan kehendak rakyat dan tuntutan reformasi.

Melalui reformasi ini, kemajuan dalam penyelenggaraan otonomi daerah salah


satunya tercermin pada reposisi DPRD sampai tingkat Kabupaten dan Kota sebagai
penyelenggaraan pemerintahan bersama dengan kepala daerah dan adanya
PILKADA secara langsung. Saya sangat memberikan apresiasi karena ternyata
masyarakat kita yang sedang dalam proses pembelajaran demokrasi justru capaian
demokratisasinya sangat dinamis. Masih adanya beberapa gejolak di daerah dalam
penyelenggaraan PILKADA, harus dipahami sebagai ekses dan bunga-bunga
demokrasi dalam proses pertumbuhan menuju kedewasaannya.

Anda mungkin juga menyukai