Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

KAJIAN TENTANG RENCANA AMANDEMEN


KE LIMA UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1945

DI SUSUN OLEH :
AUDIYATI ISHMATA HANIA
ARI DWI SAPUTRA
LISA OKTARINA
RAKA HADI PERMANA
OKTAVIAN

FAKULTAS TEKNIK SIPIL


2015
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Setelah lengsernya Presiden Soeharto yang dibarengi dengan kelahiran Reformasi
Indonesia, salah satu tuntutan pada masa Reformasi tahun 1998 adalah dilakukannya
perubahan (amandemen) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945. tuntutan
perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi
ditangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan Presiden yang
begitu besar (executive power), juga adanya pasal-pasal yang terlalu luwes sehingga dapat
menimbulkan multi tafsir, serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat
penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi. Sehingga
amandemen UUD 1945 bukan suatu yang ditabukan, tapi merupakan tuntutan sejarah.
Amandemen UUD 1945 sudah bisa diprediksi oleh Presiden Soekarno Pada saat pembahasan
penetapan UUD 1945 sudah dikemukakan bahwa UUD 1945 atau konstitusi kita memang
sudah simpel namun jika suatu saat terjadi perkembangan zaman boleh dirubah agar bisa
menyesuaikan atau beradaptasi. Jadi ini juga merupakan amanat dari Soekarno.

Bahwa pada zaman orde lama, Indonesia pernah memiliki UUD yang isinya sangat berbeda
dengan UUD NRI tahun1945, yaitu UUD RIS dan/atau UUDS. Yang berbeda adalah pada
UUD RIS sistem pemerintahannya adalah Serikat, pada UUDS sistem pemerintahannya
adalah Federal, sedangkan pada UUD NRI tahun 1945 sistem pemerintahannya adalah
Kesatuan. Pada Orde Baru dituntut tidak adanya amandemen UUD 1945. Hal ini diperkuat
dengan adanya Tap MPR No. IV/MPR/1993 yang menjelaskan ketidak mungkinan terjadi
perubahan. Kalaupun terjadi perubahan harus diadakan referendum atau persetujuan dari
masyarakat. Namun hal ini berbeda sekali dengan Pasal 37 ayat 1 dan 2 yang menyatakan
bahwa perubahan boleh dilakukan tanpa adanya referendum. Sehingga Tap MPR No.
IV/MPR/1993 dicabut. Tuntutan Reformasi pada waktu itu adalah Istilah yang baku
amandemen oleh MPR diganti dengan perubahan, Dihapusnya dwi fungsi ABRI,
Pemberantasan KKN dan penegakan hukum, Penguatan otonomi daerah agar tidak sentral
di Ibukota Jakarta, Kebebasan pers supaya aspirasi rakyat bisa tersalurkan dengan baik,
Demokratisasi terkait HAM, MPR sebagai lembaga tertinggi negara menurut pasal 3 ayat 1
berwenang mengubah UUD. Sehingga karena adanya tuntutan reformasi ini UUD 1945
mengalami amandemen.

Bahwa saat ini UUD 1945 telah mengalami amandemen sebanyak 4 (empat) kali dalam
kurun waktu 4 (empat) tahun. Akan tetapi hasil amandemen keempat UUD 1945 masih
memiliki banyak kekurangan karena sifatnya masih tambal sulam, proses amandemen yang
hanya terjebak pada kepentingan jangka pendek, perubahan tidak sistematik dan tidak
terpola, serta kualitas dan substansinya tidak koheren dan inkonsisten. Berbagai kekecewaan
masyarakat terhadap praktek bernegara di Indonesia terus mengemuka. UUD 1945 dinilai
sebagai salah satu sumber permasalahannya. Kajian terhadapnya pun terus dilakukan.
Maka dari itu berdasarkan dari uraian latar belakang di atas, maka penulis bermaksud
melakukan penulisan ilmiah ini dalam wujud makalah dengan judul Kajian Tentang
Amandemen Ke Lima Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, maka
penulis akan mengemukakan perumusan masalah yang akan menjadi pokok bahasan
dalam makalah ini, antara lain:

1. Bagaimanakah hasil amandemen UUD 1945?


2. Bagaimanakah usulan amandemen kelima UUD 1945?

C. Tujuan
Bahwa sesuai dengan perumusan masalah yang akan penulis uraikan pada makalah
sederhana ini maka yang menjadi tujuan dari makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui hasil amandemen UUD 1945.


2. Untuk mengetahui usulan amandemen kelima UUD1945.
3. Untuk mengetahui apa pentingnya amandemen kelima UUD1945
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hasil Amandemen UUD 1945


1. Pengertian Amandemen

Secara definitif Amandemen adalah perubahan konstitusi yang mana perubahannya tidak
banyak, bersifat teknis prosedural yang tidak mempengaruhi paradigma pemikiran Undang-
Undang Dasar (UUD). Menurut Budiardjo, ada beberapa macam prosedur dalam perubahan
UUD baik dalam renewal maupun amandemen, yaitu[1].:

1. Sidang legislatif dengan ditambah syarat, misal dapat ditetapkan kuorum untuk
membicarakan usul perubahan undang-undang dasar dan jumlah minimum anggota
badan legislatif atau menerimanya;
2. Referendum, pengambilan keputusan dengan cara menerima atau menolak usulan
undang-undang;
3. Perubahan yang dilakukan dalam suatu konvensi atau dilakukan oleh suatu
lembaga khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan.

Sedangkan dalam UUD 1945 pasal 37 menjelaskan tentang tata cara perubahan yang secara
garis besar adalah amandemen UUD 1945 bisa dilakukan jika sedikitnya dihadiri 1/3 anggota
MPR. Sedang untuk keputusan diambil jika disetujui sedikitnya 2/3 anggota
MPR.[2] Ketentuan tersebut tentu memberi konsekwensi yang luas di MPR. Sebab, jika ada
fraksi yang menguasai lebih dari dua pertiga kursi MPR yang mengatakan tidak setuju,
maka kesepakatan akan sulit dicapai.

Secara historis mengenai kelahiran UUD 1945 dan perubahannya perlu kita ketahui bahwa
dahulu setelah Jepang dikalahkan oleh tentara sekutu pada saat Perang Pasifik
berkecamuk, Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya pada Tanggal 17 Agustus
1945. Sebelum itu, tepatnya bulan april 1945, pemerintah pendudukan Jepang telah
membentuk satu panitia yang diberi nama Dokuritzu Zumbi Tjosakai (Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dengan tugas menyiapkan Rancangan
Undang-Undang Dasar (RUUD) yang akan dipakai sebagai konstitusi tertulis jika kelak
Indonesia merdeka. Setelah badan tersebut menyelesaikan tugasnya pemerintah segera
membentuk panitia baru yakni (PPKI) dengan tugas mempersiapkan kemerdekaan dan
pemindahan kekuasaan kepada pemerintah bangsa yang akan merdeka. Sehari setelah
Indonesia merdeka, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) segera menetapkan
UUD dan mengangkat Soekarno dan Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia.

Pada tanggal 7 September 1944 pemerintah Jepang mengumumkan janji untuk memberi
kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Janji tersebut diulangi pada tanggal 1 Maret 1945
diikuti dengan pembentukan panitia yang bertugas mempersiapkan kemerdekaan tepatnya
membuat RUUD. Panitia tersebut dikenal sebagai BPUPKI yang beranggotakan 62 (enam
puluh dua) orang. Akhirnya pada 22 Juni 1945 Panitia Sembilan berhasil mencapai
kompromi dengan menyetujui naskah Mukaddimah UUD yang dikenal sebagai piagam
Jakarta atau The Jakarta Charter dan pada tanggal 16 Juli 1945 BPUPKI menyetujui
rancangan UUD yang akan dijadikan Konstitusi tertulis Indonesia Merdeka. Pengesahan
pembukaan dan batang tubuh UUD, setelah kemerdekaan Indonesia sehari setelah
proklamasi PPKI menyelenggarakan sidang yang mengambil keputusan pokok
mengesahkan Pembukaan dan batang tubuh UUD dan memilih Presiden dan Wakil
Presiden. Demikianlah sejak tertanggal 18 Agustus 1945 telah ditetapkan berlakunya UUD
1945 untuk Negara Republik Indonesia.

Disaat Belanda berhasil memecah belah negara Indonesia untuk dijadikan negara Republik
Indonesia Serikat, sehingga Konstitusi RIS diberlakukan bersamaan dengan pembubaran
kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949 yang mana negara Indonesia
menganut bentuk Republik Federasi. Bentuk negara serikat ternyata tidaklah berumur
panjang, karena bentuk tersebut tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat Indonesia. Pada
tanggal 15 agustus 1950 UUDS dinyatakan berlaku sejak 17 Agustus 1950. UUDS 1950
menganut sistem parlementer dan dianggap bahwa sejak pemberlakuannya pada tanggal
17 Agustus 1950 dimulailah era demokrasi liberal di Indonesia sesuai dengan sistem
parlementer yang sebenarnya. Sehubungan dengan demokrasi liberal yang terjadi pada
masa UUDS 1950 dan menimbulkan instabilitas politik, maka sistem politik liberal harus
berakhir pada tahun 1959 ketika Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit pada tanggal 5
Juli. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 disamping membubarkan konstituante yang dianggap gagal
melaksanakan tugasnya memebentuk UUD, juga memberlakukan kembali UUD 1945
sebagai pengganti UUDS 1950.[3]

Dengan adanya urain singkat diatas mengenai lahirnya UUD 1945, perlu diketahui bahwa
dalam hal ini argumentasi orang awam beranggapan barangkali dengan adanya UUD 1945
praktik penyelanggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara selalu melahirkan
pemerintah yang otoriter, korup dan tidak demokratis. Meskipun syarat terbentuknya
pemerintah yang merakyat, bersih dan demokratis tidak hanya ditentukanoleh
konstituennya. Pada bagian terdahulu telah dikemukakan bahwa secara pintas UUD 1945
telah mengatur seruan paham konstitusi, yaitu anatomi kekuasaan tunduk pada hukum,
adanya jaminan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia adanya prinsip peradilan
yang bebas dan mengatur kedaulatan rakyat. Namun dalam kenyataannya, prinsip-prinsip
tersebut belum dielaborasikan secara proposional dalam praktik ketatanegaraan di
Indonesia baik pada masa orde lama, orde baru dan orde reformasi.

Atau kalaulah sudah diterapkan dalam tataran riil tetapi masih menyentuh substansinya.
Alasan lain yang dapat dijadikan dasar perlunya mengamandemen UUD 1945, karena secara
historis UUD 1945 memang didesain oleh para pendiri Negara sebagai konstitusi yang bersifat
sementara dan ditetapkan dalam suasana tergesa-gesa. Secara filosofis, ide dasar dan
substansi UUD 1945 telah mencampur adukan antara paham kedaulatan rakyat dengan
paham intergralistik. Padahal antara keduanya bertolak belakang, bahkan paham
integralistiklah yang telah memberangus demokratisasi di Indonesia. Kemudian secara
yuridis, karena UUD 1945 sendiri telah mengatur prinsip dan mekanisme perubahan
konstitusi[4].
2. Amandemen kesatu sampai dengan keempat UUD 1945

Pasca reformasi pada tahun 1998 silam, UUD 1945 telah mengalami perubahan /
amandemen sebanyak 4 (empat) kali dalam kurun waktu 4 (empat) tahun. diantaranya
yaitu;

1999. Amandemen pertama; disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999 atas dasar SU
MPR 14-21 Oktober 1999. Amandemen yang dilakukan terdiri dari 9 Pasal, yakni Pasal
5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 20, dan Pasal 21. Yang
mana dalam amndemen yang pertama ini adalah memposisikan kekuasaan Presiden
begitu besar (executive power).
2000. Amandemen kedua; disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000 dan disahkan
melalui sidang umum MPR 7-8 Agustus 2000. Amandemen dilakukan pada 5 Bab
dan 25 Pasal. Berikut ini rincian perubahan yang dilakukan pada amandemen
kedua. Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 22A,
Pasal 22B, Pasal 25E, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D,
Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Pasal 30, Pasal
36A, Pasal 36B, Pasal 36C. BAB IXA, BAB X, BAB XA, BAB XII, dan BAB XV. Inti dari
amandemen kedua ini adalah Pemerintah Daerah, DPR dan Kewenangannya, Hak
Asasi Manusia, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan.
2001. Amandemen ketiga disahkan pada tanggal 10 November 2001 dan disahkan
melalui ST MPR 1-9 November 2001. Perubahan yang terjadi dalam amandemen
ketiga ini terdiri dari 3 Bab dan 22 Pasal. Berikut ini rincian dari amandemen ketiga.
Pasal 1, Pasal 3, Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C, Pasal 8, Pasal 11, Pasal
17, Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal 22E, Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23C, Pasal 23E, Pasal
23F, Pasal 23G, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C. BAB VIIA, BAB VIIB, dan
BAB VIIIA. Inti perubahan yang dilakukan pada amandemen ketiga ini adalah
Bentuk dan Kedaulatan Negara, Kewenangan MPR, Kepresidenan, Keuangan
Negara, Kekuasaan Kehakiman.
2002. Amandemen keempat disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002 melalui ST
MPR 1-11 Agustus 2002. Perubahan yang terjadi pada amandemen ke-4 ini terdiri dari
2 Bab dan 13 Pasal. Pasal 2, Pasal 6A, Pasal 8, Pasal 11, Pasal16, Pasal 23B, Pasal 23D,
Pasal 24, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 37. BAB XIII dan BAB XIV. Inti
Perubahan amandemen ini DPD sebagai bagian MPR, Penggantian Presiden,
pernyataan perang, perdamaian dan perjanjian, mata uang, bank sentral,
pendidikan dan kebudayaan, perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial,
perubahan UUD.

Secara singkat ketika kita membaca sekelumit uraian hasil amandemen UUD 1945 diatas,
bahwa kebijakan MPR melakukan amandemen ini dari tahun 1999 hingga tahun 2002.
Perlu kita ketahui bahwa hal tersebut tetap merupakan prasarat bagi terbentuknya
Indonesia baru, atau kalau tidak ingin melakukan reformasi tambal sulam. Karena itu
mengamandemen UUD 1945 merupakan condition sine quanon bagi sebuah strategi
perubahan dan pembaharuan yang mendasar. Setelah UUD 1945 hasil perubahan berjalan
kurang lebih 5 tahun, eksistensi UUD 1945 kembali dipersoalkan.

Konstitusi seakan menjadi terdakwa ditengah karut marutnya kondisi bangsa. Berbagai
ketimpangan dan kelemahan desain yang selama ini dikhawatirkan oleh sejumlah kalangan,
mulai bermunculan satu demi satu. Benturan kewenangan antar lembaga Negara tidak
terelakan, sebagai contoh, misalnya konflik antara mahkamah Agung (MA) dengan Komisi
Yudisial (KY), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Dewan Perwakilan Derah (DPD).
Persoalan lain, kemunculan berbagai lembaga Negara independen atau komisi-komisi
Negara independen yang akhir-akhir ini marak, juga sering kali menimbulkan benturan
kewenangan saling tumpang tindih diantara lemabaga independen atau juga dengan
lembaga lainnya, misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian dan
Kejaksaan, KPK dengan MA, KPK dengan Menteri Sekretaris Negara, dan lain-lain, karena
belum didesain secara jelas dalam ketatanegaraan kita.

B. Usulan amandemen kelima UUD 1945


Untuk menuju ke amandemen bukanlah sesuatu yang mudah, mengingat selama
amandemen pertama sampai dengan amandemen keempat UUD 1945, diwarnai proses
kompetisi, bargaining, dan kompromi. Demikian pula, sikap partai politik saat ini belum
sepenuhnya terbuka terhadap isu amandemen. Kalau kita tinjau beberapa kelemahan dan
ketidaksempurnaan konstitusi UUD 1945 di antaranya adalah kekaburan dan inkonsistensi
yuridis dan teoritis dalam materi UUD 1945, kekacauan struktur dan sistematisasi pasal-pasal
UUD 1945, ketidak lengkapan UUD 1945 dan pasal-pasal yang multi interpretatif, dan
sebagainya.

Bahwa konstitusi UUD 1945, sebagai hukum dasar atau basic law, bersifat lengkap dan
sempurna sehingga menjadi living constitution atau konstitusi yang hidup untuk puluhan
bahkan ratusan tahun ke depan. Perlu diketahui akibat ketidak sempurnaan dan
kelemahan UUD 1945 ini telah menimbulkan pengelompokan-pengelompokan dalam
masyarakat. Satu kelompok menghendaki agar UUD 1945 dikembalikan lagi kepada yang
asli. Sedangkan kelompok yang lain menghendaki diadakan lagi perubahan atau
amandemen kelima UUD 1945, dan kelompok terakhir berpendapat tetap pada UUD 1945
sekarang ini. Dalam hal ini, ketidaksempurnaan dan kekurangan UUD 1945 misalnya akibat
adanya kompromi politik yang menjadikan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
menjadi lebih rendah dari DPR seperti tertera dalam rumusan Pasal 22D UUD 1945. Didalam
Pasal 22D, Pasal 22E, dan Pasal 22F UUD 1945 tidak mengatur secara komprehensif tentang
DPD, pengaturan DPD sangat sumir. DPD sama sekali tidak mempunyai kekuasaan yang
signifikan.

Karena itu keberadaan DPD disamping DPR tidak dapat disebut sebagai bikameralisme
dalam arti yang lazim. Selama ini dipahami bahwa kedudukan kedua kamar itu dibidang
legislatif sama kuat, maka sifat bikameralismenya disebut strong becameralism, tetapi jika
kedua kamar tidak sama kuat, maka disebut soft becameralism, akan tetepi dalam
pengaturan UUD 1945 pasca Perubahan keempat, bukan saja bahwa struktur yang dianut
tidak dapat disebut strong becameralism yang kedudukan keduanya tidak sama kuatnya,
tetapi bahkan juga tidak dapat disebut sebagai soft becameralism sekalipun.[5]

Kompromi politik terjadi sewaktu MPR membicarakan lembaga DPD pada 7 November
2001 dimana 190 anggota MPR mengeluarkan sikap politik tentang ketidaksetujuannya
terhadap lembaga DPD dan memilih untuk tetap pada struktur ketatanegaraan
berdasarkan negara kesatuan dengan sistem satu kamar atau uni-cameral. Jadi, ketidak
setujuan tersebut karena adanya kekhawatiran bahwa lembaga DPD itu akan menjadikan
sistem federalisme. Pendapat politik anggota MPR itu kurang tepat karena banyak negara
kesatuan di dunia mempunyai sistem dua kamar atau becameralism. Selanjutnya, konstitusi
UUD 1945 mempunyai tendensi didominasi oleh kekuasaan legislatif atau legislative heavy.
Hal ini nampak pada Pasal 13 ayat (3) dan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945. Wewenang Presiden
yang dicampuri kekuasaan legislatif tersebut menggambarkan bahwa perubahan UUD 1945,
dengan dominasi kekuasaan eksekutif atau executive heavy selama Orde Baru, tidak
merupakan perubahan yang seimbang atau equilibrium berdasarkan checks and balances
namun dominasi kekuasaan legislatif atau legislative heavy.

Dalam hal ini, terhadap Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 dapat dikemukakan dalam sistem
presidensial, Presiden tidak mengambil keputusan terhadap hasil akhir legislasi (pembuatan
undang-undang) sekalipun Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang
kepada DPR atau DPD untuk sektor hubungan pusat daerah. Lalu, Presiden berhak
menolak rancangan undang-undang atau hak veto namun bobot keputusan parlemen yang
menentukan validitasnya. Misalnya, dengan 2/3 dukungan suara di DPR atau 2/3 suara pada
masing-masing kamar (DPR dan DPD) untuk menghasilkan rancangan undang-undang
yang tidak dapat ditolak oleh Presiden.

Apakah tepat menamakan perubahan atau amandemen UUD 1945? Seperti diketahui dari
37 Pasal UUD 1945 yang lama ditambah empat Pasal Aturan Peralihan dan dua ayat
Aturan Tambahan beserta Penjelasan Umum maupun Penjelasan Pasal demi Pasal UUD
1945 yang diputuskan Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 hanya ada 6 pasal (sekitar 16,21%)
yang rumusannya sama dengan naskah UUD 1945 yang lama. Pasal-pasal itu adalah: Pasal
4, 10, 22, 25, dan 29. Sedangkan pasal-pasal yang diubah yakni 31 pasal (83,79%) ditambah
pasal-pasal baru dengan sistem penomoran pasal lama ditambah huruf A, B, C atau D dan
seterusnya dan ayat-ayat baru dalam pasal-pasal lama.

Juga perubahan sistem politik khususnya pelaksanaan kedaulatan dan perubahan institusi
maupun komposisi lembaga perwakilan rakyat serta perubahan/ penghilangan institusi
negara yang pernah ada (DPA) dan penambahan beberapa institusi baru seperti Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial dan Dewan
Pertimbangan Presiden. Dengan pasal-pasal baru yang berjumlah 36 pasal atau 97,30% dari
UUD 1945 yang asli dengan 37 Pasal tersebut patut dipersoalkan, apakah MPR telah
mengganti konstitusi lama dengan UUD yang baru dan bukannya melakukan perubahan
atau amandemen UUD 1945?

Usulan selanjutnya yaitu mengenai perubahan kekuasaan kehakiman, yang mana dalam
kewenangan KY untuk mengawasi perilaku hakim ditentukan dalam Pasal 24B Ayat (1)
UUD 1945. Tepatkah putusan MK membatalkan kewenangan itu dan membuat tafsir sendiri
bahwa kalau seluruh hakim sudah diseleksi oleh KY, maka hakim-hakim inilah yang
nantinya akan diawasi oleh KY. Sedangkan ketentuan di dalam Pasal 24C Ayat (3) UUD
1945 menegaskan, Sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden
diajukan masing-masing tiga orang oleh MA, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh
Presiden. Pemberian kewenangan pengujian undang-undang kepada MK tanpa adanya
pembatasan tertentu juga berpotensi terjadinya penyelewengan kekuasaan. Terbukti
belakangan ini MK sudah mengendalikan dirinya berwenang menguji peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang (Perppu) yang oleh Pasal 22 UUD 1945 ditegaskan DPR yang
akan menyetujui Perppu dalam siding DPR berikutnya untuk disetujui atau ditolak menjadi
undang-undang. Hal ini tentunya menimbulkan kekacauan baru dalam perspektif yuridis
maupun politis.

Dari persoalan kelembagaan dibidang kehakiman tersebut, revisi UU KY dan UU MK


bukanlah jalan keluar yang tepat untuk mengatasi carut marutnya penegakan hukum di
Indonesia. UUD 1945 harus memetakan secara tepat dan cermat desain kekuasaan
kehakiman di Indonesia. Tepatkah KY diletakkan dalam BAB kekuasaan kehakiman?
sementara fungsi, tugas dan wewenang KY bukanlah pelaku kekuasaan kehakiman, tetapi
sebagai pengawas perilaku hakim dan mengusulkan calon hakim agung.[6]

Selanjutnya, masalah inkonsistensi yang menyangkut bagian mana dari UUD 1945 yang tidak
dapat diubah atau yang dapat diubah dengan persyaratan tertentu. Dalam UUD 1845 yang
tidak dapat diubah adalah Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia vide Pasal 37 ayat
(5) UUD 1945 dengan akibat bahwa terhadap landasan dasar filosofis kehidupan bangsa dan
negara yakni Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila, secara teoritis, dapat diubah meskipun
diperlukan persyaratan tertentu sesuai Pasal 37 ayat (1) sampai ayat (4) UUD 1945.
Demikianlah beberapa alasan untuk amandemen ke-5 UUD 1945.
c. alternatif pemecahan masalah
amandemen lanjutan atas UUD 1945 hasil perubahan yang ada sekarang ini memang
diperlukan. Perlunya amandemen lanjutan itu bukan karena yang ada sekarang ini salah,
sebab sebagai pilihan politik isi UUD itu tidak terkait dengan soal benar atau salah dan tidak
terkait dengan soal baik atau jelek melainkan karena dua alasan:
Pertama, karena ada perkembangan baru sehingga diperlukan resultante baru. Termasuk
dalam alasan ini karena terjadi perubahan poleksosbud di dalam masyarakat dan karena
pelaksanaan atas isi UUD yang ada menimbulkan persoalan baru yang tadinya tidak
diperkirakan padahal masalahnya adalah materi muatan konstitusi sehingga hanya bisa
diperbaiki melalui amandemen konstitusi.[17]
Kedua, karena ada masalah-masalah yang tadinya terlewatkan untuk diatur di dalam
konstitusi padahal masalah-masalah tersebut hanya dapat diatur di dalam konstitusi
(sebagai muatan konstitusi) baik sebagai masalah yang berdiri sendiri maupun karena harus
menjadi rangkaian dari ketentuan konstitusi yang sudah ada.
Meski dari uraian tdi atas tampak jelas bahwa ada keperluan untuk melakukan
amandemen lanjutan atas UUD 1945 namun harus ada yang diperioritaskan lebih dulu yakni
perubahan atas cara (prosedur) perubahan yang diatur di dalam pasal 37 UUD 1945 hasil
perubahan yang ada sekarang ini. Mengapa?
Berbagai diskusi mendalam tentang amandemen lanjutan itu, seperti terlihat juga di dalam
ToR yang dikirimkan oleh Panitia Konvensi ini kepada pemakalah, menghendaki
dilakukannya perubahan lanjutan secara komprehensif. Padahal ketentuan pasal 37 UUD
1945 yang berlaku sekarang hampir tidak memungkinkan dilakukannya perubahan secara
komprehensif. Prosedur perubahan yang ada sekarang menghendaki perubahan itu
dilakukan dengan menunjuk pasal-pasal tertentu yang diusulkan untuk diubah disertai
alasan dan perubahannya sehingga menyulitkan kita mengusulkan satu paket perubahan
yang sistematis, saling terkait, dan komprehensif. Tepatnya problem tersebut dapat dilihat
dari ketentuan pasal 37 ayat (1) dan ayat (2)yangberbunyi:
(1) Usul perubahan pasal-pasal Undang Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang
Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang Undang Dasar diajukan secara tertulis dan
ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.

Ketentuan pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) tersebut jelas menentukan bahwa perubahan
hanya dilakukan pada pasal-pasal yang dianggap perlu diubah dan tidak secara satu paket
yang komprehensif. Oleh sebab itu jika kita menghendaki dilakukannya amandemen
lanjutan secara komprehensif yang pertama-tama harus dilakukan adalah mengubah atau
mengamandemen pasal 37 UUD 1945 hasil amandemen yang ada sekarang ini agar
membuka peluang bagi dilakukannya perubahan secara komprehensif itu. Selama pasal 37
tersebut belum diamandemen hampir tak mungkin bagi kita mengagendakan amandemen
lanjutan yang komprehensif.
Perubahan atas pasal 37 tentang cara perubahan itu haruslah mempertimbangkan berbagai
alternatif tentang cara perubahan serta institusi yang melakukannya yang sekarang ini
banyak dikemukakan oleh para pakar.

seperti diketahui ada yang mengusulkan agar perubahan dilakukan melalui


pembentukan satu Komisi Negara yang netral yang khusus dibentuk untuk menyiapkan
rancangan perubahan UUD yang hasilnya dapat ditetapkan oleh MPR melalui korum
tertentu. Ada juga yang mengusulkan, misalnya yang tercantum sebagai salah satu alternetif
yang ditawarkan oleh Komisi Kosntitusi, agar perubahan itu dilakukan melalui referendum
(permintaan pendapat secara langsung kepada rakyat) atas sebuah rancangan UUD yang
disiapkan dengan matang oleh sebuah Komisi Negara. Pengusul referendum beralasan
bahwa UUD itu merupakan kontrak politik yang maha penting sehingga harus ditentukan
sendiri oleh rakyat.
Dari berbagai alternatif tentang cara perubahan itu perubahan atas pasal 37 UUD 1945 hasil
amandemen dapat diarahkan, misalnya, pada materi-materi sebagai berikut:
Pertama, Perubahan UUD ditetapkan oleh MPR dengan dukungan suara minimal separuh
lebih satu dari seluruh anggota MPR tetapi naskahnya disiapkan oleh sebuah Komisi Negara
yang khusus dibentuk untuk menyiapkan rancangan UUD. Dalam cara yang demikian MPR
tinggal melakukan pemungutan suara tanpa membahas lagi rancangan yang telah
disiapkan oleh Komisi Negara tersebut. Sedangkan anggota Komisi Negara harus terdiri dari
negarawan atau tokoh-tokoh yang integritasnya dikenal luas serta tidak partisan. Komisi
Negara dapat dibentuk oleh MPR yang anggota-anggotanya dapat diusulkan oleh Presiden,
masayarakat, dan lembaga-lembaga lain yang dianggap perlu.
Kedua, Perubahan UUD dilakukan melalui referendum atas rancangan perubahan yang
disiapkan oleh sebuah Komisi Negara yang dibentuk oleh Presiden. MPR harus mengesahkan
hasil referendum tanpa pemungutan suara lagi. Jika alternatif ini yang dipilih maka
bersamaan dengan perubahan atas pasal 37 harus pula diubah ketentuan pasal 2 ayat (3)
yang menentukan bahwa Segala putusan MPR ditetapkan dengan suara yang terbanyak
agar terbuka kemungkinan bahwa untuk perubahan UUD MPR tidak harus mendasarkan
pada suara terbanyak melainkan langsung menyetujui hasil referendum.
Alternatif-alternatif lain tentang cara perubahan itu masih dapat bahkan perlu
dikemukakan, yang penting pasal 37 yang berlaku sekarang harus diamandemen dulu agar
kita dapat melakukan amandemen lanjutan secara komprehensif. Tanpa perubahan lebih
dulu atas pasal 37 UUD 1945 hasil amandemen yang berlaku sekarang hampir tak
mungkinlah kita dapat melakukan amandemen lanjutan atas atas UUD 1945 secara
komprehensif.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian latar belakang dan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut :

1. Bahwa hasil amandemen kesatu sampai dengan amandemen keempat UUD 1945
masih memiliki banyak kekurangan karena sifatnya masih tambal sulam, proses
amandemen yang hanya terjebak pada kepentingan jangka pendek, perubahan
tidak sistematik dan tidak terpola, serta kualitas dan substansinya tidak koheren dan
inkonsisten.
2. Bahwa akan tidak pas jika berbagai kelemahan pada hasil amandemen UUD 1945
dijadikan sebagai alasan untuk kembali ke UUD 1945 asli. Karena format politik dan
ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 yang asli membuka peluang sangat besar
bagi penyalahgunaan kekuasaan oleh presiden yang berkuasa. Untuk itu, pilihan
yang tepat adalah dilakukannya amandemen kelima. Menurutnya, amandemen
tersebut mutlak diperlukan agar bangunan sistem politik dan pemerintahan lebih
efektif, stabil dan juga produktif sehingga semakin mendekatkan bangsa pada cita-
cita demokrasi secara substansial, keadilan, dan kesejahteraan rakyat.

B. Saran
1. Bahwa sebelum melakukan amandemen kelima UUD 1945, sebaiknya disiapkan
terlebih dahulu grand design agar tampak jelas sistem pemerintahan, sistem
perwakilan dan sistem kekuasaan kehakiman (peradilan) yang dianut di Indonesia.
2. Bawha dalam melakukan pekerjaan besar ini sebaiknya dikerjakan oleh Komisi
Konstitusi yang benar-benar independen, agar tidak terkontaminasi dengan politik
jangka panjang
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD
1945, Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII tema
Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar,
14-18 Juli 2003.

MD Mahfud, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta, PT. Rajagrafindo Persada, Cet. Ke-6, 2014.

Nimatul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia, Yogjakarta, FH UII Press, 2003.

Thaib, dahlan, dan Hamidi Jazim, et, all., Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta, PT.
Rajagrafindo Persada, Cet. Ke-11, 2013.

Ubaedillah, et, all., Pendidikan Kewarganegaraan- Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Dan
Masyarakat Madani, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2010.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dan Undang-Undang


Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Sekretariat
Jenderal, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006.

[1] Ubaedillah, et, all., Pendidikan Kewarganegaraan- Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Dan
Masyarakat Madani, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2010, hlm. 65

[2] Nimatul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia, Yogjakarta, FH UII Press, 2003, hlm. 25

[3] MD Mahfud, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta, PT. Rajagrafindo Persada, Cet. Ke-6,
2014, hlm. 49

[4] Thaib, dahlan, dan Hamidi Jazim, et, all., Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta, PT.
Rajagrafindo Persada, Cet. Ke-11, 2013, hlm. 139

[5] Asshiddiqie, Jimly, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD
1945, Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII tema
Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar,
14-18 Juli 2003, hlm. 10

[6] Thaib, dahlan, dan Hamidi Jazim, et, all., op.cit., hlm. 175

http://dialektikahukum.blogspot.co.id/2009/02/perlukah-amandemen-kelima-uud-1945.html

Anda mungkin juga menyukai