Anda di halaman 1dari 21

Amandemen Kelima: Suatu Kajian Penyempurnaan

Amandemen UUD 1945


Oleh: Udiyo Basuki*

Abstrak
Di tengah gagasan yang relatif netral, yaitu mempertahankan UUD 1945
hasil amandemen, maka dua gagasan yang saling bertentangan yaitu arus gagasan
yang ingin kembali ke UUD 1945 asli dan gagasan kembali mengamandemen
UUD 1945 akan mewarnai polemik konstitusi mendatang. Meskipun keduanya
harus ditempatkan sebagai bagian dan ciri demokrasi, gagasan kembali ke UUD
1945 asli kurang populer dan dianggap bertentangan dengan semangat demokrasi
yang mestinya menempatkan UUD 1945 sebagai living constitution, maka
meskipun dengan beberapa catatan gagasan amandemen kelima dapat dimaknai
sebagai upaya penyempurnaan hasil amandemen sebelumnya.

Kata kunci: amandemen kelima, living constitution

A. Pendahuluan
Tumbangnya rezim Soeharto yang kukuh, otoriter, sentralistis dan
personal tahun 1998 menjadi momentum yang memunculkan berbagai
pemikiran yang menghendaki perubahan mendasar, terutama perubahan
sistem ketatanegaraan, pemerintahan dan tata politik. Fenomena
kekuasaan Soeharto yang tanpa batas itu, bukan sekadar bentuk dari apa
yang disebut Lord Action sebagai power tend to corrupt, melainkan juga
merupakan cermin dari kecelakaan konstitusional.
Awalnya, konstitusi Indonesia, UUD 1945 memang sarat dengan
kelemahan dan kekurangan lantaran tidak cukup memberikan acuan
praktis bernegara khususnya hubungan antarlembaga tinggi negara,
pembatasan kekuasaan presiden, pembatasan masa jabatan presiden serta
kontrol terhadap penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Interpretasi
sepihak dan berbagai penyalahgunaan kekuasaan dilakukan dengan dalih
mempertahankan Pancasila dan UUD 1945. Bahkan dalam berbagai
kesempatan ditegaskan tidak akan mengubah UUD 1945 karena masih
sesuai dengan perkembangan jaman.1

* Dosen Ilmu Hukum pada Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Sunan

Kalijaga Yogyakarta dan mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas


Diponegoro Semarang.
1 Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: UII

Press, 1997).

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


24 Udiyo Basuki: Amandemen Kelima: Suatu Kajian Penyempurnaan …

Padahal UUD 1945 sebenarnya bersifat sementara dan dibuat dalam


situasi darurat sehingga jelas dinyatakan di dalamnya bahwa UUD 1945
dapat dirubah sewaktu-waktu sesuai dengan perkembangan jaman.2
Soekarno pada masa Orde Lama pernah menugaskan konstituante untuk
membuat UUD baru pengganti UUD 1945. Namun, lantaran
Konstituante gagal membuat UUD baru, presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali menggunakan
dan memberlakukan UUD 1945.3
Baru saat ini, 50 tahun lebih kemudian, kesadaran untuk
mengamandemen UUD 1945 menjadi kenyataan. Itu pun sebenarnya
karena dipaksa lantaran rezim politik lama yang telah banyak melakukan
penyalahgunaan UUD itu diturunkan dengan paksa melalui gerakan politik
rakyat. Sejalan dengan itu, tidak sedikit analis berpendapat bahwa salah
satu faktor pendorong penyalahgunaan kekuasaan dan munculnya
otoritarianisme di Indonesia adalah karena konstitusi Indonesia tidak
cukup mampu memberi rambu kekuasaan. Berangkat dari pemahaman
demikian, maka jalan pintas yang dipakai mendorong demokrasi adalah
melalui amandemen UUD 1945, tidak hanya berkaitan dengan ihwal relasi
kekuasaan, pada akhirnya amandemen yang dilakukan juga menyangkut
masalah-masalah yang sangat kompleks.
Sejauh ini, UUD 1945 telah mengalami 4 kali amandemen. Tidak
berbeda dengan awal mula aspirasi amandemen disuarakan,4 proses
2 Perlakuan demikian menyebabkan UUD 1945 tidak ditempatkan pada posisinya

sebagai living constitution. Udiyo Basuki, “Perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia
(Ulasan terhadap Beberapa Ketentuan UUD 1945),” dalam Jurnal Asy-Syir’ah No. 8
Tahun 2001, p. 98, Udiyo Basuki, “Pembaharuan Konstitusi sebagai Amanat Reformasi
(Suatu Tinjauan Sosio Yuridis),” dalam Jurnal Sosio Religi Vol. 1 No. 1 November 2001, p.
135, Udiyo Basuki, “Reformasi Konstitusi (Beberapa Catatan atas Amandemen UUD
1945)”, Jurnal Sosio Religia Vol. 1 No. 2 Februari 2002, p. 152, Udiyo Basuki, “Dinamika
Konstitusi Indonesia (Refleksi Yuridis atas Proses dan Hasil Amandemen UUD 1945),”
dalam Jurnal Sosio Religia Vol. 1 No. 4 Agustus 2002, p. 23.
3 Muchsan, “Penggantian UUD 1945 Menuju Indonesia Baru yang Demokratis”,

Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional Mengkritisi Konstitusi sebagai Upaya
Penguatan Civil Society di Yogyakarta, 1999. p. 4.
4 Kehendak memperbaharui UUD 1945 pada mulanya menimbulkan polemik

yang dapat digolongkan menjadi 2 kelompok besar yaitu kelompok pro dan kelompok
kontra. Kelompok kontra dibagi menjadi 2, yaitu pertama, mereka yang bersikukuh
mempertahankan UUD 1945 tanpa amandemen, apalagi penggantian. Mereka
berargumen bahwa mengubah atau mengganti UUD 1945 adalah hasil penilaian para
Founding Father, yang matang sehingga UUD 1945 tidak perlu diotak-atik lagi. Bagi
kelompok ini spirity of nationalisme jauh lebih penting dari spirit of constitution it self. Kedua,
mereka yang berpendirian bahwa UUD 1945 tidak perlu disentuh karena secara
konseptual UUD 1945 sudah baik, yang salah dan tidak mampu adalah faktor
manusianya. Sedangkan kelompok pro juga dibagi menjadi dua yaitu pertama, mereka yang

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


Udiyo Basuki: Amandemen Kelima: Suatu Kajian Penyempurnaan … 25

amandemen keempat mendapat perlawanan luar biasa dari berbagai


elemen agar upaya reformasi konstitusi yang tengah berjalan itu
dibatalkan. Di tengah perdebatan ihwal perlu tidaknya amandemen
keempat UUD 1945 dilanjutkan, arus politik di parlemen juga
memusingkan. Di satu sisi, ada upaya melanjutkan amandemen agar
menjadi basis konstitusi kehidupan demokratis, pada saat yang bersamaan
ada resistensi kalangan tertentu untuk menghentikan sama sekali proses
amandemen tersebut.
Dari pro-kontra di atas, terdapat setidaknya tiga kelompok yang
saling berhadapan yaitu: pertama, kelompok anti amandemen konstitusi
yang berjuang menggagalkan amandemen dan kembali ke UUD 1945.
Kedua, adalah kelompok yang terdiri dari berbagai komponen yang
mendukung amandemen dan menganggap perubahan yang dilakukan
sekarang sudah cukup baik, sehingga harus dilanjutkan. Kelompok yang
ketiga lebih progresif dibandingkan yang terakhir, yaitu meskipun
mendukung amandemen keempat, tetap bersikap kritis dan menganggap
seluruh hasil amandemen sebagai kasus yang harus diperbaiki dan
karenanya bersifat transisional. Amandemen keempat menjadi sangat
penting, selain karena terdapat harapan besar bahwa amandemen ini
sebagai penyempurna amandemen sebelumnya, amandemen keempat juga
adalah proses reformasi konstitusi terakhir yang semata-mata diserahkan
kepada mekanisme kerja MPR.
Setelah 7 tahun terakhir tidak terjadi proses amandemen belakangan
muncul perdebatan ramai tentang isi UUD 1945 hasil amandemen. Pro-
kontra ini juga dipicu oleh persoalan/polemik yang kurang lebih sama
dengan masa awal amandemen konstitusi berlangsung. Mereka yang tidak
setuju amandemen dari awal menilai proses perubahan UUD 1945 sangat
mudah memasukkan unsur baru dan meninggalkan latar belakang sejarah
perumusan UUD 1945. Pendekatan yang dilakukan pun terlalu formalistik
sehingga hal-hal yang tidak tertulis tidak menjadi pertimbangan.5
Demokrasi liberal yang lahir dari hasil amandemen juga tidak cocok bagi
Indonesia yang kulturnya berbasis kekeluargaan, bukan individual, tingkat
pendidikan dan kesejahteraan rendah, kemajemukan multi aspeknya pun
amat lebar.6

berketetapan bahwa UUD 1945 sudah selayaknya diubah. Kedua, mereka yang
menginginkan UUD 1945 diganti sama sekali dengan konstitusi baru karena tanpa
penggantian akan terjadi stagnasi dalam bernegara. Disarikan dari Sobirin Melian, Gagasan
Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, (Yogyakarta: UII Press, 2001), pp. 89-91.
5 “UUD yang Lebih Demokratis”, Kompas, 19 Pebruari 2009, p. 5.
6 Kiki Syahnakri, ”Menyoal Lagi Amandemen UUD 1945”, Kompas, 24 Pebruari

2009, p. 3.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


26 Udiyo Basuki: Amandemen Kelima: Suatu Kajian Penyempurnaan …

Bagi mereka yang mendukung amandemen menilai yang dilakukan


MPR selama periode 1999-2002 merupakan lompatan besar. Reformasi
konstitusi berjalan di jalur yang benar karena tetap mempertahankan
Pancasila, Pembukaan UUD 1945 dan Negara Kesatuan, seiring dengan
terjadinya perubahan dunia, ilmu pengetahuan dan teknologi, konstitusi
perlu juga disempurnakan.7
Dua arus besar ini, yaitu kelompok yang ingin kembali ke UUD
1945 awal dan kelompok yang menginginkan UUD 1945 kembali
disempurnakan akan mewarnai polemik konstitusi berikut di masa-masa
mendatang. Bertolak dari uraian di atas hendak dikaji ”quo vadis” (ke arah
mana hendak dibawa) UUD 1945 dan perlukah amandemen kelima UUD
1945

B. Indonesia Berkonstitusi
1. Konstitusi dan Konstitusionalisme
Konstitusi menurut Rukmana Amanwinata,8 berpadanan dengan
“constitution” (bahasa Inggris), “constitutie” (bahasa Belanda)
“constitutional” (bahasa Perancis), “Verfassung” (bahasa Jerman),
“constitution” (bahasa Latin). Dalam Ilmu Hukum sering digunakan
beberapa istilah dengan arti yang sama. Sebaliknya tidak tertutup
kemungkinan untuk arti berbeda digunakan istilah yang sama. Demikian
juga halnya yang terjadi dengan istilah konstitusi. Selain konstitusi, dikenal
istilah lain, yaitu Undang-undang Dasar dan hukum dasar.9
Mengenai istilah konstitusi dan UUD terbagi menjadi dua, yaitu
pertama, pendapat yang membedakan konstitusi dengan UUD dan kedua,
pendapat yang menyamakan konstitusi dengan UUD.10 Saat ini tampaknya
pendapat kedua lebih diterima.

7 “UUD yang Lebih Demokratis”, Kompas, 19 Pebruari 2009, p. 5.


8 Rukmana Amanwinata, ”Pengaturan dan Batas Implementasi Kemerdekaan
Berserikat dan Berkumpul dalam Pasal 28 UUD 1945”, Disertasi, Universitas Padjadjaran,
Bandung, 1996, p. 48.
9 Budiman N.P.D. Sinaga, Hukum Konstitusi, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta,

2005), p. 6. Menurut Pandoyo, UUD mempunyai pengertian yang lebih sempit daripada
pengertian hukum dasar, karena yang dimaksud dengan UUD adalah hukum dasar yang
tertulis sedangkan pengertian hukum dasar mencakup juga hukum dasar yang tidak
tertulis. S.Toto Pandoyo, Ulasan terhadap Beberapa Ketentuan UUD 1945, (Yogyakarta,
Liberty, 1985), p. 45.
10 Penggunaan istilah UUD mengandung kelemahan, karena ditujukan kepada

naskah tertulis, padahal istilah konstitusi bagi kalangan politik merupakan sesuatu yang
lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan, baik yang tertulis, maupun yang
tidak tertulis, yang mengatur cara-cara bagaimana suatu pemerintah diselenggarakan
dalam suatu masyarakat. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia,

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


Udiyo Basuki: Amandemen Kelima: Suatu Kajian Penyempurnaan … 27

Konstitusi juga dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu konstitusi


politik dan konstitusi sosial. Konstitusi politik adalah semata-mata
dokumen hukum yang berisi pasal-pasal yang mengandung norma-norma
dasar dalam penyelenggaraan negara, hubungan rakyat dengan negara,
antar lembaga negara dan sebagainya. Sedangkan konstitusi sosial lebih
luas dari itu, karena mengandung cita-cita sosial bangsa yang
menciptkannya, rumusan filosofis tentang negara, rumusan sistem sosial
dan ekonomi, dan sistem politik yang dikembangkan.11
Konstitusionalisme merupakan pemikiran yang telah lama
berkembang. Pemikiran ini menghendaki pembatasan kekuasaan.
Pembatasan kekuasaan ini terutama dilakukan melalui hukum, lebih
khusus lagi melalui konstitusi.12 Constitutionalisme is belief in imposition of
retrains on government by means of constitution.13 Menurut Lev, pada intinya
konstitusionalisme adalah proses hukum.14
Asshiddiqie15 memaparkan gagasan konstitusionalisme sebagai
seperangkat prinsip yang tercermin dalam kelembagaan suatu bangsa dan
tidak ada yang mengatasinya dari luar serta tidak ada pula yang
mendahuluinya. Fredrich berpendapat konstitusionalisme adalah gagasan
bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan aktivitas yang
diselenggarakan atas nama rakyat yang tunduk pada beberapa pembatasan
untuk menjamin kekuasaan yang diperlukan pemerintah itu tidak
disalahgunakan oleh orang-orang yang ditugasi memerintah.16
Berdasarkan ide konstitusionalisme, semua pemegang kekuasaan
harus dibatasi. Di satu sisi, tidak ada satu pihak atau satu lembaga pun
yang boleh memiliki kekuasaan tanpa batas. Di sisi lain, setiap pemberian
kekuasaan senantiasa perlu disertai dengan pembatasan kekuasaan.17

1990), p. 95. Pendapat senada disampaikan K.C. Wheare, Konstitusi-konstitusi Modern, terj.
Muhammad Hardani, (Yogyakarta: Pustaka Eureka, 2003), pp. 1-2.
11 Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia Kompilasi Aktual Masalah

Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), p.
19.
12 Budiman N.D.P. Sinaga, Hukum Konstitusi, p. 1.
13 Eric Barent, An Introduction to Constitutional Law, (Oxford: Oxford University

Press, 1998), p. 14.


14 Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1990), p. 513.
15 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konstitusi

Press, 2006), pp. 1-6.


16 Pendapat Carl J. Friedrick dalam Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, p.

57.
17 Budiman N.P. Sinaga, ”Hukum Konstiusi” pp. 4-6.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


28 Udiyo Basuki: Amandemen Kelima: Suatu Kajian Penyempurnaan …

2. Konstitusionalisme Negara Hukum Indonesia


Konstitusi18 ialah kerangka masyarakat politik, yang diorganisir
berdasarkan hukum, yang membentuk lembaga-lembaga permanen
dengan tugas dan wewenang tertentu. Dengan demikian, konstitusi adalah
kumpulan prinsip-prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah, hak-hak
rakyat dan hubungan antara kedua hal tersebut.
Konstitusi digunakan dalam dua pengertian, yakni konstitusi dalam
arti abstrak dan konkret. Konstitusi abstrak adalah sistem hukum,
kebiasaan, dan konvensi yang menetapkan susunan dan wewenang alat
perlengkapan negara itu satu dengan yang lain dan dengan warga negara.
Adapun konstitusi dalam arti konkret adalah dokumen yang berisi hukum
konstitusi yang sangat penting yang ditetapkan secara resmi. Konstitusi
dalam arti konkret juga disebut Undang-undang Dasar. Negara yang
berdasar konstitusi adalah yang kekuasaan pemerintahnya, hak-hak
rakyatnya dan hubungan antara kekuasaan pemerintah dan hak-hak warga
negaranya diatur dengan hukum.
Motivasi yang menjadi latar belakang pembuatan UUD bagi negara
yang satu berbeda dengan negara lain. Hal ini disebabkan karena beberapa
hal, antara lain: sejarah yang dialami bangsa yang bersangkutan, cara
memperoleh kemerdekaannya, situasi dan kondisi pada saat menjelang
kemerdekaan dan lain sebagainya.19
Menurut Bryce,20 hal-hal yang menjadi alasan sehingga sesuatu
negara memiliki UUD, terdapat beberapa macam, yaitu:
a. Adanya kehendak warga negara dari negara yang bersangkutan agar
terjamin hak-haknya, dan bertujuan untuk membatasi tindakan-
tindakan para penguasa negara tersebut.
b. Adanya kehendak dari penguasa negara dan atau rakyatnya untuk
menjamin agar terdapat pola atau sistem tertentu atas pemerintah
negaranya.
c. Adanya kehendak dari pembentuk negara tersebut agar terdapat
kepastian tentang cara penyelenggaraan kenegaraannya.
d. Adanya kehendak beberapa negara yang masing-masing semula berdiri
sendiri, untuk menjamin kerjasama.

18 Dahlan Thaib, “Konstitusionalisme dalam UUD 1945 (Pokok-pokok Pikiran)”

Makalah disampaikan dalam Launching dan Diskusi Publik Pusat Studi Hukum
Konstitusi FH UII dengan MK Republik Indonesia, Yogyakarta, 15 Februari 2007, p. 4.
19 S. Toto Pandoyo, Ulasan terhadap Beberapa, p. 49.
20 C.F. Strong, Modern Political Constitution, (London: Sidgwick & Jackson Limited,

1960), p. 128.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


Udiyo Basuki: Amandemen Kelima: Suatu Kajian Penyempurnaan … 29

Berdasarkan pendapat Bryce di atas, motivasi adanya konstitusi


pertama RI, yaitu UUD 1945 yang dimiliki sesaat setelah kemerdekaan,
tanggal 18 Agustus 1945 adalah kehendak para pembentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia agar terjamin penyelenggaraan
ketatanegaraannya dan menjamin kepastian hukum.
Dengan demikian, konstitusionalisme NKRI telah dikenal sejak
berlakunya UUD 1945. Seperti diketahui telah berlaku tiga konstitusi di
Indonesia, yang secara kronologis dapat dipaparkan sebagai berikut:
a. UUD 1945 (18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949).
b. UUD RIS atau Konstitusi RIS 1949 (17 Agustus 1949 – 17 Agustus
1950).
c. UUD Sementara 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1949).
d. UUD 1945 (17 Agustus 1959 – sekarang)
Negara hukum, menurut Aristoteles, adalah negara yang diperintah
dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Terdapat tiga unsur
pemerintahan berkonstitusi, yaitu pemerintahan yang dilaksanakan untuk
kepentingan umum, pemerintahan menurut hukum berdasar ketentuan
umum, dan pemerintahan atas kehendak rakyat.21
Kant22 menyampaikan gagasan negara hukum formil, dengan
mengemukakan unsur-unsurnya, yaitu perlindungan HAM dan pemisahan
kekuasaan. Stahl,23 menguraikan unsur negara hukum materiil, dengan
menambah dua unsur lain, yaitu tindakan pemerintah harus berdasar
hukum dan adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri. Menurut
Dicey, unsur utama pemerintahan yang kekuasaannya di bawah hukum
(rule of law), yaitu supremacy of law, equality before the law, dan constitution based
on individual rights.24 Sedangkan Ismail Suny menandaslkan bahwa suatu rule
of law harus memiliki syarat-syarat esensial tertentu, antara lain harus
terdapat kondisi-kondisi minimum dari suatu sistem hukum dimana hak-
hak asasi manusia dan human dignity dihormati.25
Muchsan berpendapat bahwa UUD sebagai sumber hukum yang
tertinggi mempunyai dua fungsi, yaitu:26

21 Azhari, Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya,

(Jakarta: UI Press, 1995), pp. 20-21.


22 Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Konstitusi, (Yogyakarta:

Liberty, 1999), pp. 22-23.


23 Hasan Zaini, Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alumni, 1971), pp. 154-

155.
24 Azhari, Negara Hukum, pp. 39-41.
25 Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Aksara Baru, 1978), p. 11.
26 Muchsan, “Penggantian UUD 1945”, p. 5.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


30 Udiyo Basuki: Amandemen Kelima: Suatu Kajian Penyempurnaan …

a. Menjamin hak-hak para warga masyarakat, terutama warga negaranya


dari tindakan sewenang-wenang para penguasa. Dalam negara hukum
modern yang bertipe welfare state, tujuan ini diteruskan dan diperluas,
yakni sampai dengan terselenggaranya kepentingan masyarakat
sehingga tidak hanya sekadar terjaminnya perlindungan hukum
terhadap hak-hak anggota masyarakat, akan tetapi juga setiap anggota
warga negara dapat mengembangkan hak-hak sebagai manusia.
b. Sebagai landasan struktural dalam penyelenggaraan pemerintahan
menurut suatu sistem ketatanegaraan yang pasti yang ketentuannya
telah digambarkan dalam aturan-aturan dan ketentuan UUD.
3. Reformasi Konstitusi Sebagai Penyempurna Konstitusi
Reformasi konstitusi dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu
amandemen, perubahan dan penggantian. Amandemen merupakan
langkah penyempurnaan terhadap pasal-pasal tertentu dari konstitusi
tanpa mengubah ketentuan aslinya. Cara ini antara lain ditempuh oleh
Amerika Serikat. Perubahan merupakan langkah mengubah pasal-pasal
tertentu dari konstitusi bahkan terhadap substansinya sekalipun. Langkah
perubahan ini misalnya ditempuh di negeri Belanda. Penggantian
merupakan langkah mengganti keseluruhan konstitusi dengan UUD baru.
Langkah ini ditempuh oleh negara-negara seperti Thailand dan Filipina.
Mengenai ketiga istilah tersebut di atas para ahli hukum maupun ahli
politik berbeda pendapat terkait dengan reformasi UUD 1945. Sebagian
menganggap bahwa reformasi UUD 1945 merupakan langkah perubahan,
sebab meski mempertahankan bagian-bagian tertentu termasuk
pembukaannya, pasal-pasal yang mengalami perubahan menyentuh hingga
substansinya. Sebagian lagi menganggap bahwa reformasi UUD 1945
adalah langkah amandemen karena merupakan tindakan penyempurnaan
terhadap pasal-pasal konstitusi.27
Tampaknya, istilah yang disepakati oleh para ahli dan masyarakat
awam secara umum adalah kata amandemen yang berasal dari bahasa Inggris
amandement yang artinya usul perubahan, yang diturunkan dari kata dasar to
amend yang artinya memperbaiki atau mengubah.28
Membicarakan negara dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya,
maka tidak akan mungkin terlepas dan membicarakan konstitusi sebagai
landasan berpijak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara-
negara modern abad XX, umumnya merumuskan aturan-aturan dasar
27 I Made Leo Wiratma, “Reformasi Konstitusi: Potret Demokrasi dalam Proses

Pembelajaran,” Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXIX/2000, No. 4. pp. 303-304.


28 S. Wojowasito, dan W.J.S. Purwadarminta, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia,

Indonesia-Inggris dengan Ejaan yang Disempurnakan, (Bandung: Hasta, 1980), p. 6.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


Udiyo Basuki: Amandemen Kelima: Suatu Kajian Penyempurnaan … 31

penyelenggaraan negara ke dalam konstitusi atau Undang-undang


Dasarnya.
Menurut Yusril,29 dimuatnya aturan-aturan dasar penyelenggaraan
negara dalam konstitusi, dan bukan perinciannya adalah kesengajaan,
bukan kealpaan para perumus konstitusi. Perumus konstitusi pada
umumnya menyadari bahwa masyarakat yang eksis di negaranya bersifat
dinamis, terus berubah dari waktu ke waktu. Dengan demikian, hubungan
antara masyarakat dan konstitusi adalah hubungan interaktif. Pada satu
pihak konstitusi memberikan dasar atau kerangka tentang masalah-
masalah fundamental dalam penyelenggaraan negara, sedang di pihak lain
pemahaman terhadap konstitusi juga dipengaruhi perkembangan
masyarakat.
Bahwa Undang-undang itu sesungguhnya merupakan suatu produk
dari proses sosial tertentu. Suatu susunan masyarakat tertentu akan
menghasilkan pengungkapan peraturannya secara karakteristik sesuai
dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan masyarakat bersangkutan.30
Tidak ada yang abadi dan sempurna di dunia ini. UUD 1945 yang telah
mengalami empat kali perubahan juga tidak luput dari ketidaksempurnaan
itu, 31 maka penyempurnaan konstitusi dengan jalan amandemen misalnya,
adalah suatu kelaziman dan kewajaran dalam kehidupan bernegara yang
bersendikan demokrasi. Yang tidak lazim dan tidak wajar adalah
penolakan atas penyempurnaan itu.
CF. Strong32 mengemukakan empat cara perubahan konstitusi, yaitu:
a. Oleh lembaga legislatif yang ada dengan pembatasan. Perubahan oleh
lembaga legislatif dapat dilakukan melalui beberapa cara berikut:
1) Lembaga legislatif jika hendak mengubah UUD paling sedikit
harus dihadiri oleh sejumlah tertentu anggota, misalnya paling
sedikit 2/3 dari seluruh anggota. Kemudian, keputusan tentang
perubahan itu juga harus disetujui oleh sejumlah tertentu anggota
yang hadir.
2) Jika timbul keinginan untuk mengubah UUD maka legislatif harus
dibubarkan. Kemudian diadakan pemilihan umum untuk memilih
anggota legislatif baru. Setelah lembaga legislatif beranggotakan
anggota baru yang dipilih melalui pemilihan umum, maka dapat
berfungsi sebagai konstituante yang berhak mengubah UUD.

29 Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, p. 18.


30 Satjipto Rahardjo, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, (Bandung: Alumni,
1980), p. 40.
31 “UUD yang Lebih Demokratis”, Kompas, p. 5.
32 Disarikan dari Budiman N.P.D. Sinaga, Hukum Konstitusi, pp. 37-39.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


32 Udiyo Basuki: Amandemen Kelima: Suatu Kajian Penyempurnaan …

3) Jika negara mempunyai 2 lembaga legislatif maka harus diadakan


sidang gabungan sebagai satu lembaga. Keputusan sidang gabungan
ini mengenai perubahan UUD harus disetujui oleh jumlah terbanyak
dari anggota.
b. Oleh rakyat melalui referendum
Menurut cara kedua ini, perubahan UUD memerlukan persetujuan
langsung dari rakyat. Persetujuan itu dapat disampaikan melalui
referendum, plebisit atau popular vote. Sebelum meminta persetujuan rakyat
perlu disiapkan rancangan perubahan oleh lembaga legislatif atau
pemerintah. Dengan demikian, rakyat berkesempatan menilai usul
perubahan itu sehingga mempunyai alasan untuk menyetujui atau
menolak.
c. Oleh sebagian besar negara Federal
Perubahan dengan cara ini hanya berlaku di negara Federal. UUD
negara Federal biasanya dibuat oleh negara-negara bagian. UUD itu
menjadi semacam hasil kesepakatan yang dituangkan dalam UUD. Oleh
karena itu, sudah sepatutnya perubahan UUD perlu partisipasi negara
bagian. Keputusan tentang perubahan UUD dapat dilakukan rakyat secara
langsung atau melalui lembaga perwakilan rakyat.
d. Oleh suatu badan khusus
Menurut cara ini, untuk mengubah UUD perlu dibentuk lembaga
baru. Lembaga ini bukan merupakan gabungan dari lembaga-lembaga
yang ada melainkan baru sama sekali. Lembaga ini merupakan lembaga
yang secara khusus diberi wewenang untuk mengubah UUD. Oleh karena
wewenang lembaga ini hanya mengubah UUD. Jika perubahan telah
dilakukan, kehadirannya tidak diperlukan lagi.
Pendapat lain adalah cara perubahan UUD yang disampaikan K.C.
Wheare, menurutnya ada 4 cara perubahan, yaitu:33
a. Beberapa kekuatan penting
Perubahan melalui some primary forces ini terjadi jika perubahan itu
dilakukan oleh sebagian besar rakyat sebagai sesuatu kekuatan
berpengaruh atau dominan, golongan-golongan kuat, atau kekuatan yang
menentukan.
b. Amandemen Formal
Perubahan melalui formal amendement merupakan perubahan yang
dilakukan sesuai dengan cara-cara yang diatur dalam UUD itu sendiri.
c. Penafsiran Yudisial

33 Ibid, pp. 39-40.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


Udiyo Basuki: Amandemen Kelima: Suatu Kajian Penyempurnaan … 33

Perubahan melalui yudicial interpretation dilakukan melalui penafsiran


berdasarkan hukum. Penafsiran dilakukan menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
d. Kebiasaan dan Adat Istiadat
Menurut cara usage and custom perubahan dilakukan melalui kebiasaan
dan adat istiadat ketatanegaraan. Mukti Fadjar34 mengutip pendapat
Hysom mengemukakan empat cara proses perubahan konstitusi yang
demokratis, yaitu by a democratically constituted assembly, by a democratically
elected parliament, by popular referendum, dan by popularly suported constitutional
commission. Masih menurut Mukti Fadjar,35 perubahan konstitusi tidak
selalu harus merupakan perubahan tekstual, tetapi juga dapat bersifat
substansial yang dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain :
a. Perubahan konstitusional melalui legislasi, yakni legislator menafsirkan
konstitusi melalui Undang-Undang yang dibuatnya.
b. Perubahan konstitusi melalui aplikasi, yaitu melalui penafsiran
konstitusi oleh pemerintah dalam praktik penyelenggaraan negara.
c. Perubahan konstitusi melalui ajudikasi, yaitu penafsiran isi konstitusi
oleh pengadilan, khususnya oleh mahkamah konstitusi sebagai the sole
interpreter of the constitution.

C. Amandemen Konstitusi
1. UUD 1945 sebagai Living Constitution
Dalam pelaksanaannya, UUD 1945 yang merupakan norma
peraturan perundangan tertinggi mengalami banyak penyimpangan dan
penyelewenangan. Rezim Orde Lama dan Orde Baru selalu
mengindoktrinasi masyarakat dengan sakralisasi konstitusi, yang
menempatkan UUD 1945 seperti halnya kitab suci.
Sikap dan perilaku otoriter rezim Orde Lama dan Orde Baru atau
sakralisasi konstitusi tersebut, membuat kebanyakan orang Indonesia
kehilangan nyali mempersoalkan UUD 1945.36 Perlakuan yang demikian
membuat UUD 1945 tidak ditempatkan pada posisinya sebagai living

34 Abdul Muktie Fadjar, ”Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi

Paradigmatik”, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya Malang, 13 Juli 2002, p. 5.
35 Abdul Muktie Fadjar, ”Beberapa Catatan tentang Kajian Konstitusi”, Makalah

Seminar Regional, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi diselenggarakan oleh


Mahkamah Konstitusi RI dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Islam
Indonesia di Yogyakarta, 2007, p. 3.
36 Novel Ali, “Amandemen UUD 1945 sebagai Syarat Menuju Civil Society”,

Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Mengkritisi Sakralisme Konstitusi dan


Kekuasaan sebagai Upaya Penguatan Civil Society, Yogyakarta, 1999, p. 1.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


34 Udiyo Basuki: Amandemen Kelima: Suatu Kajian Penyempurnaan …

constitution, yang membuka horizon dan spirit pemahaman yang sesuai


dengan perkembangan kebutuhan warga negara dan pertumbuhan
tuntutan atas perikehidupan politik yang sesuai dengan cita negara hukum.
Hal ini masih diperparah dengan tindakan represif dan prefentif rezim
Orde Lama dan Orde Baru tidak memberikan celah kepada masyarakat
dan berbagai pihak untuk mengutarakan gagasan ke arah pembaharuan
konstitusi. Sebagai living constitution mestinya UUD 1945 dapat dirubah dan
diperbaharui sesuai dengan perkembangan dan perubahan kondisi
masyarakat.
Sayangnya, pada masa Orde Lama dan Orde Baru, pemikiran
tentang pentingnya pembaharuan materi konstitusi dapat dikatakan
sebagai mitos atau hal yang utopis. Merubah UUD 1945 berarti
membubarkan negara proklamasi. Pandangan yang ingin merubah UUD
1945 dianggap sebagai tindakan yang subversif. Orde Baru misalnya,37
secara jelas bertekad mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak dan
tidak akan melakukan perubahan terhadapnya serta akan melaksanakannya
secara murni dan konsekuen.
Hal di atas tentu saja dapat membutakan pemikiran bahwa UUD
1945 banyak mengandung kekurangan dan kelemahan. Yang patut dicatat,
bahwa UUD 1945 disusun oleh pendiri negara yang belum berpengalaman
dalam bernegara, maka sudah selayaknya setelah lebih dari lima puluh
tahun merdeka dan banyak pengalaman berbangsa dan bernegara, UUD
1945 haruslah disesuaikan dengan tuntutan jaman.
Pidato Bung Karno pada rapat pertama PPKI tanggal 18 Agustus
1945,38 mengungkap bahwa UUD 1945 adalah revolutiegrondwet. Dari sini
segera terlihat bahwa UUD 1945 dibuat dengan tergesa-gesa dalam situasi
darurat, dan berstatus sementara serta belum lengkap dan sempurna,39
sehingga tidak ada alasan lagi untuk menunda pembaharuan kontitusi
Indonesia, UUD 1945.
Amandemen atas UUD 1945 adalah suatu keharusan dan
merupakan amanat dari konstitusi itu sendiri, hanya saja upaya reformasi
itu harus dilakukan dengan logika dan akar argumen yang jelas serta
dijauhkan dari upaya mempermainkannya untuk kepentingan jangka

37 Harun Alrasyid, “Relevansi UUD 1945 dalam Orde Reformasi”, dalam Jurnal
Hukum UII, Vol. 2 Tahun 1998, p. 7.
38 Moh. Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945, (Jakarta: Jajasan Prapanca, tanpa

tahun), p. 410.
39 Secara umum kelemahan dan kekurangan UUD 1945 dalam praktik

ketatanegaraan adalah bahwa UUD 1945 bersifat very executive heavy, multi interpretable, dan
tidak memuat check and balance system.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


Udiyo Basuki: Amandemen Kelima: Suatu Kajian Penyempurnaan … 35

pendek. Hal ini karena hasil amandemen akan sangat menentukan nasib,
perjalanan dan kehidupan berbangsa dan bernegara di masa mendatang.
Di kalangan mereka yang menyetujui amandemen masih terdapat
kontroversi tentang hal yang menyangkut pilihan atas realisasi amandemen
yang perlu dilakukan. Artinya, meskipun telah sama pandangannya tentang
kemutlakan perlunya amandemen konstitusi, namun pilihan realisasinya
tidaklah selalu sama. Menurut Mahfud MD,40 ada beberapa pertanyaan
yang dapat diabstraksikan dari perbedaan-perbedaan tersebut yaitu,
pertama, apakah amandemen itu mencakup seluruh komponen UUD yang
mencakup pembukaan, batang tubuh dan penjelasan. Kedua, apakah
amandemen akan menyangkut perubahan bentuk dan sistem
pemerintahaan negara dan ketiga, jika amandemen tidak mengubah
bentuk dan sistem pemerintahan negara, apakah amandemen akan
berubah penggantian naskah atau sekadar mencabut atau menyisipkan
kalimat-kalimat di pasal tertentu, atau bahkan sekadar membuat lampiran
otentik atas naskah yang telah ada.
Bahkan kemudian ada rambu-rambu atau pembatasan-pembatasan
amandemen, yaitu pertama, tidak mengubah pembukaan UUD 1945.
Kedua, tetap dalam pemerintahan sistem presidensiil, ketiga,
mempertahankan bentuk negara kesatuan dan keempat, proses
amandemen yang dilakukan tidak akan membuat konstitusi baru, artinya
perubahan UUD dilakukan dengan cara adendum yaitu dengan
melampirkan perubahan, sementara naskah asli tidak dirubah.
Pembatasan-pembatasan di atas, pada mulanya dianggap
mengkerangkeng agenda reformasi konstitusi Indonesia dari kemungkinan
membentuk konstitusi baru yang demokratis.41 Baju amandemen itu
terlalu sesak untuk membungkus tuntutan perubahan UUD 1945.
Sayangnya baju sesak ini tidak bisa dimanfaatkan MPR secara maksimal.
Terbukti, dari empat kali amandemen justru menghasilkan lubang-lubang
amandemen di sana-sini.
Motif utama yang mendasari lahirnya gerakan reformasi adalah
pemberdayaan masyarakat (social empowerment). Agenda pemberdayaan
masyarakat ini sangat penting, sebab di masa Orde Baru, masyarakat
berada di posisi yang amat lemah vis a vis negara.42 Dalam konteks
ketatanegaraan, pemberdayaan masyarakat perlu diwujudkan dengan
melakukan perubahan terhadap aturan-aturan konstitusi yang berlaku.
Dengan demikian reformasi dalam kaitan dengan aturan-aturan dasar yang
40 Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta,

2000), pp. 150-151.


41 Refliani, “Reformasi Konstitusi di Jalan Sesat”, Republika 14 Mei 2002.
42 Ikhlasul Amal, “Partisipasi Publik dan Amandemen”, Jawa Pos, 10 Juni 2002.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


36 Udiyo Basuki: Amandemen Kelima: Suatu Kajian Penyempurnaan …

menyangkut pola hubungan kekuasaan antara lembaga negara harus


direview sehingga mampu mencerminkan secara tegas proses empowerment.43
Hanya saja upaya amandemen yang telah dilakukan wakil rakyat
bukan berarti sudah berjalan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan
masyarakat, sehingga setelah amandemen, pertama hingga kesempat,
kritikan terhadap proses dan hasil amandemen menyeruak muncul dari
berbagai kalangan baik melalui media massa, demonstrasi, diskusi dan
berbagai sarana ruang publik lainnya.
2. Amandemen Pertama Hingga Amandemen Keempat
Konstitusi mempunyai peran untuk mempertahankan esensi
keberadaan negara dari pengaruh berbagai perkembangan yang bergerak
dinamis. Oleh karena itu, konstitusi yang ideal adalah hasil dan
penyesuaian dan penyempurnaan untuk mengikuti segala perkembangan,
khususnya yang berkaitan dengan keinginan hati nurani rakyat.44
Dalam posisi sebagai Grund, maka UUD dapat dilihat sebagai
jembatan yang menghubungkan suatu tata hukum dengan lingkungan atau
habitat sosialnya. Itulah sebabnya, UUD berfungsi untuk menyusui
sekalian perundang-undangan yang ada dalam suatu tata hukum. Undang-
Undang Dasar mampu menjalankan fungsinya yang demikian itu, oleh
karena ia menyerapnya dari habitat sosial tersebut yang kemudian
dijadikannya bahan untuk menyusui sekalian perundang-undangan dari
suatu tata hukum. Undang-undang Dasar menyerap kosmologi suatu
bangsa dan menjadikannya bahan untuk menyusui itu.45 Menurut
Tamanaha, suatu tata hukum itu senantiasa mencerminkan nilai-nilai
tradisi dan sebagainya yang terdapat pada suatu bangsa.46
Hasil amandemen tiap tahap menunjukkan perkembangan yang
terjadi sebagai bagian dari dinamika bernegara saat itu. Amandemen
Pertama tahun 1999 dapat disampaikan di sini berbagai ketentuan yang
mengalami perubahan yaitu Pasal 5 (hak presiden), 7 (masa jabatan
presiden), 9 (sumpah/janji presiden), 13 (penetapan dubes dan konsul), 14
(grasi, amnesti dan abolisi), 15 (gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan),

43 Ibid.
44 A.M. Fatwa, “Potret Konstitusi Negara Pasca Perubahan UUD 1945”, Makalah
disampaikan dalam Konvensi Hukum Nasional: UUD 1945 sebagai Landasan Konstitusional
Grand Design System dan Politik Hukum Nasional, Jakarta, 15-16 April 2008, p. 1.
45 Satjipto Rahardjo, “UUD 1945, Desain Akbar, Sistem Politik dan Hukum

Nasional”, Makalah disampaikan dalam Konvensi Hukum Nasional: UUD 1945 sebagai
Landasan Konstitusional Grand Design System dan Politik Hukum Nasional, Jakarta, 15-16 April
2008, pp. 4-5.
46 Ibid.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


Udiyo Basuki: Amandemen Kelima: Suatu Kajian Penyempurnaan … 37

17 (kementrian negara), 20 (penetapan UU fungsi DPR), dan 21


(pengajuan RUU oleh DPR).
Amandemen Kedua tahun 2000, Pasal 18 (pemerintahan daerah), 19
(keanggotaan DPR), 20 (penetapan UU fungsi DPR), 22 (cara
pembentukan UU), 25 (negara kepulauan), 26 (kewarganegaraan), 27 (hak
dan kewajiban warga negara), 28 (hak asasi manusia), 30 (hankam), 36
(bahasa, lambang negara dan lagu kebangsaan). Amandemen Ketiga tahun
2001, Pasal 1 (bentuk dan kedaulatan negara), 3 (wewenang MPR), 6
(pemilihan Presiden dan Wapres), 11 (perjanjian intenasional), 17
(kementrian negara), 22 (DPR dan pemilu), 23 (BPK), 24 (kekuasaan
kehakiman). Amandemen Keempat tahun 2002, Pasal 2 (MPR), 6 (Pilpres,
suara terbanyak), 8 (Presiden dan Wapres berhalangan), 11 (hak Presiden),
16 (Dewan Pertimbangan Presiden), 23 (keuangan/ moneter), 24
(kekuasaan kehakiman), 31 (pendidikan), 32 (bahasa dan kebudayaan), 33
(perekonomian), 34 (jaminan sosial), 37 (perubahan UUD), serta Aturan
Peralihan Pasal I, II dan III serta Aturan Tambahan Pasal I dan II.
Meskipun dilakukan secara terbuka serta berusaha melibatkan dan
memahami kehendak rakyat, sampai sekarang perdebatan ihwal UUD
1945 hasil perubahan tidak pernah akan selesai karena memang tak ada
satu UUD pun yang sama dan tidak ada satu konstitusi pun di negara
manapun yang sesuai dengan teori bernegara yang selama ini dipelajari dan
dipahami. Konstitusi harus sesuai dengan latar belakang sejarah
pembentukan negara itu.47
Pada hakekatnya,48 UUD adalah kristalisasi bukan saja pemikiran
dari mereka yang memiliki kewenangan untuk mengubah konstitusi, tetapi
disesuaikan dengan kondisi situasi dan tuntutan kebutuhan masyarakat.
Dan jika dibedah dari keseluruhan UUD 1945, hanya 5 persen yang tidak
berubah. Jika dilihat pasal per pasal yang tidak berubah hanya 11 persen
dan 89 persen diantaranya berubah. Dari ayat per ayat yang berubah
mencapai 85 persen. Secara keseluruhan, yang sedang dilakukan dengan
perubahan pertama sampai keempat konstitusi adalah pembaruan dalam
empat tahap. Artinya, yang lahir sepertinya adalah konstitusi baru.
Diakui,49 perubahan pertama hingga keempat jelas bersifat mendasar
dan mencakup materi yang sangat banyak, sehingga telah mengubah
sistematika berpikir UUD 1945. Dengan demikian, perubahan UUD 1945

47 “Tarik Menarik yang Belum Tentu Usai”, Kompas, 19 Pebruari 2009, p. 9.


48 Ibid.
49 Ni’matul Huda, “Problematika Ketatanegaraan Pasca Amandemen UUD
1945”, Makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas Membicarakan UUD 1945 Pasca
Amandemen Bersama MPR RI, diselenggarakan oleh Departemen HTN, PSHK FH UII
Bekerjasama dengan MPR RI, Yogyakarta, 30 Mei 2007, p. 3.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


38 Udiyo Basuki: Amandemen Kelima: Suatu Kajian Penyempurnaan …

sudah tidak dapat lagi disebut menggunakan tradisi Amerika Serikat yang
dijadikan rujukan dalam rangka pelaksanaan perubahan UUD 1945.
Sebagian dari ketentuan-ketentuan yang diubah menyangkut materi yang
bersifat teknis prosedural yang tidak mempengaruhi paradigma pemikiran
UUD, tetapi sebagian lainnya bersifat mendasar dan mempengaruhi
sistematika pemikiran hukum dasar, yang seharusnya sudah dipahami
dalam konteks keseluruhan pokok pikiran yang tercermin dalam pasal-
pasal lain dalam UUD yang tidak ikut diubah. Sehingga bisa dimengerti,
jika UUD 1945 seolah dilupakan rakyat tak lagi hapal dan paham
konstitusinya.

D. Ke Arah Amandemen Kelima UUD 1945


Amandemen UUD 1945 hingga empat kali yang dilakukan oleh
MPR pascagerakan reformasi 1999-2002, dirasakan oleh berbagai pihak
dan komponen bangsa belum membuahkan hasil nyata pada kesejahteraan
rakyat.50 Karenanya kemudian muncul berbagai gagasan, seperti
mengamandemen kembali UUD 1945, atau bahkan kembali ke UUD 1945
sebelum amandemen. Dua arus gagasan ini sangat kuat di luar alur gagasan
yang relatif netral, yaitu memberi kesempatan untuk melihat hasil
amandemen pertama hingga keempat.51
Pendapat yang tidak setuju amandemen serta menginginkan kembali
ke UUD 1945 yang asli diantaranya menyatakan bahwa UUD 1945 hasil
amandemen dinilai cacat hukum, batang tubuh UUD 1945 tidak lagi
sesuai dengan pembukaannya. Proses amandemen dinilai tidak berjalan
sesuai prosedur yang benar. Sebagai produk MPR, amandemen UUD
1945 mestinya dinyatakan dalam bentuk Tap MPR. Namun, sejauh ini
amandemen tersebut tidak memiliki dasar hukum dan hanya sekadar
notulen rapat.52
Proses amandemen juga dinilai ilegal, karena pada amandemen
UUD 1945 Tahun 2002, MPR, bukan mengamandemen UUD 1945,
melainkan justru mengganti, sehingga produk konstitusi hasil perubahan
dianggap menyimpang dari semangat konstitusi awal.53 Penyimpangan

50 “Amandemen Belum Buat Sejahtera,” Kompas, 19 Mei 2008, p. 2.


51 Moh. Mahfud MD, “Penjajakan Materi dan Agenda Perubahan Kelima UUD
1945”, Makalah dalam Seminar Sehari Meninjau Kembali Prospek dan Agenda Perubahan
UUD Republik Indonesia 1945, diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Tata Negara FH
UI, Jakarta, 21 Nopember 2007, p. 1.
52 “Amandemen UUD 1945 Cacat Hukum,” Kompas, 30 Desember 2008, p. 4.
53 “Seluruh Perubahan Konstitusi Dinilai Ilegal,” Kompas, 23 Agustus 2008, p. 4.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


Udiyo Basuki: Amandemen Kelima: Suatu Kajian Penyempurnaan … 39

yang terjadi di ranah politik dan ekonomi ditengarai juga karena sudah
tercemar UUD 1945 produk amandemen.54
Sementara, bagi pihak yang ingin melanjutkan amandemen di
antaranya beralasan bahwa amandemen kelima adalah penyempurnaan
sistem tata negara, pemerintahan dan hukum yang berlaku di Indonesia.55
Selain itu, amandemen juga perlu demi terciptanya keseimbangan tatanan
sosial, politik dan ekonomi,56 serta mempunyai tujuan menciptakan
tatanan kenegaraan yang lebih baik di masa mendatang.57 Maka, bagi
kelompok ini, tuntutan kembali ke UUD 1945 adalah tidak realistis.58
Situasi hingar-bingar seperti ini menunjukkan bahwa amandemen
UUD 1945 memiliki kekurangan mendasar yang menyebabkan posisinya
belum mampu menjadi ”the only game in town” sebagaimana
dipersyaratkan dalam mengkonsolidasikan demokrasi pada negara-negara
yang mengalami masa transisi.59 Secara lebih substanti lagi, situasi itu pun
memantulkan masih rendahnya tingkat efektivitas amandemen UUD 1945
dalam membentuk pemerintahan yang efektif mewujudkan tujuan negara
sebagaimana ditetapkan dalam Pembukaan UUD 1945. Maka, ke depan,
tampaknya arus gagasan kembali mengamandemen UUD 1945 akan
bertambah kuat.
Di atas semua itu, kontroversi dan polemik amandemen UUD 1945
atau kembali ke UUD 1945 hendaknya dimaknai secara positif, yaitu
menyebabkan UUD menjadi lebih dekat dengan rakyat. Hal ini juga harus
dilihat sebagai usaha memperluas pendidikan politik dan pendidikan
konstitusi secara kritis. Dengan demikian, sepanjang dilakukan secara
terbuka rasional dan substantif tentu dapat membantu mencerahkan
pemahaman segenap warga yang terlibat dalam mengembangkan
kesadaran berkonstitusi.

E. Penutup
Arah kemana konstitusi Indonesia, UUD 1945 hendak dibawa dapat
dilihat dari tiga arus utama yang sekarang berpolemik, yaitu: Pertama, yang
54 “Pilih yang Perjuangkan Kembali UUD 1945,” Kompas, 17 Desember 2008, p.
5.
55 “Pemerintahan Baru, Konstitusi Baru,” Kompas, 26 Januari 2008, p. 1.
56 “UUD 1945 harus Diamandemen Lagi,” Kompas, 21 Juni 2008, p. 22.
57 “DPD Siap dengan Draf Komprehensif,” Kompas 1 April 2008, p. 3.
58 “Kembali ke UUD 1945 tidak Realistis,” Kedaulatan Rakyat, 30 Januari 2007, p.

7.
59 Aidul Fitriciada Azhari, “Evaluasi Proses Amandemen UU 1945: Dari

Demokratisasi ke Perubahan Sistem” Makalah disampaikan pada Diskusi Publik


Kontitusionalisme UUD 1945, diselenggarakan oleh PSKH FH UII bekerjasama dengan
MK RI, Yogyakarta, 15 Februari 2007, p. 2.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


40 Udiyo Basuki: Amandemen Kelima: Suatu Kajian Penyempurnaan …

ingin mengembalikan ke UUD 1945 asli. Kedua, yang ingin


mempertahankan UUD 1945 yang ada kini dan hasil amandemen. Ketiga,
yang ingin melakukan amandemen lanjutan. Ke arah mana arus itu lebih
kuat, ke sanalah UUD 1945 akan dibawa.
Amandemen kelima UUD 1945 betapapun urgennya sangat
tergantung kepada hasil (kecenderungan) kontroversi atau polemik
konstitusi di atas. Namun sebagai catatan, jika amandemen kelima betul-
betul terlaksana, maka harus ada badan, lembaga, komisi atau panitia
konstitusi yang berpostur ideal, yaitu berwibawa, independen, non partisan
dan profesional.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


Udiyo Basuki: Amandemen Kelima: Suatu Kajian Penyempurnaan … 41

Daftar Pustaka

Ali, Novel, “Amandemen UUD 1945 sebagai Syarat Menuju Civil


Society”, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Mengkritisi
Sakralisme Konstitusi dan Kekuasaan sebagai Upaya Penguatan Civil Society,
Yogyakarta, 1999.
Alrasyid, Harun, “Relevansi UUD 1945 dalam Orde Reformasi”, dalam
Jurnal Hukum UII, Vol. 2 Tahun 1998.
Amal, Ikhlasul, “Partisipasi Publik dan Amandemen”, Jawa Pos, 10 Juni
2002.
Amanwinata, Rukmana, ”Pengaturan dan Batas Implementasi
Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul dalam Pasal 28 UUD
1945”, Disertasi, Universitas Padjajaran, Bandung, 1996.
Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta:
Konstitusi Press, 2006.
Azhari, Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-
unsurnya, Jakarta: UI Press, 1995.
Azhari, Aidul Fitriciada, “Evaluasi Proses Amandemen UU 1945: Dari
Demokratisasi ke Perubahan Sistem” Makalah disampaikan pada
Diskusi Publik Kontitusionalisme UUD 1945, diselenggarakan oleh
PSKH FH UII bekerjasama dengan MK RI, Yogyakarta, 15
Februari 2007
Barent, Eric, An Introduction to Constitutional Law, Oxford: Oxford
University Press, 1998.
Basuki, Udiyo, “Dinamika Konstitusi Indonesia (Refleksi Yuridis atas
Proses dan Hasil Amandemen UUD 1945,” dalam Jurnal Sosio Religia
Vol. 1 No. 4 Agustus 2002.
_______, “Pembaharuan Konstitusi Sebagai Amanat Reformasi (Suatu
Tinjauan Sosio Yuridis),” dalam Jurnal Sosio Religia Vol. 1 No. 1
November 2001.
_______, “Perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia (Ulasan
terhadap Beberapa Ketentuan UUD 1945),” dalam Jurnal Asy-Syir’ah
No. 8 Tahun 2001.
_______, “Reformasi Konstitusi (Beberapa Catatan atas Amandemen
UUD 1945)”, Jurnal Sosio Religia Vol. 1 No. 2 Februari 2002.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


42 Udiyo Basuki: Amandemen Kelima: Suatu Kajian Penyempurnaan …

Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1990.


Fadjar, Abdul Muktie, ”Beberapa Catatan tentang Kajian Konstitusi”,
Makalah Seminar Regional, Hukum Konstitusi dan Mahkamah
Konstitusi diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi RI dan
Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Islam Indonesia di
Yogyakarta, 2007.
_______, ”Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi Paradigmatik”,
Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya Malang, 13 Juli 2002.
Fatwa, A.M., “Potret Konstitusi Negara Pasca Perubahan UUD 1945”,
Makalah disampaikan dalam Konvesi Hukum Nasional: UUD 1945
Sebagai Landasan Konstitusional Grand Design System dan Politik Hukum
Nasional, Jakarta, 15-16 April 2008.
Huda, Ni’matul, “Problematika Ketatanegaraan Pasca Amandemen UUD
1945”, Makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas Membicarakan
UUD 1945 Pasca Amandemen Bersama MPR RI, diselenggarakan oleh
Departemen HTN, PSHK FH UII dengan MPR RI, Yogyakarta, 30
Mei 2007.
Kedaulatan Rakyat, 30 Januari 2007.
Kompas, 26 Januari, 1 April, 19 Mei, 21 Juni, 23 Agustus, 30 Desember 2008.
Kompas, 19 Pebruari 2009
Lev, Daniel S., Hukum dan Politik di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1990.
Mahendra, Yusril Ihza, Dinamika Tata Negara Indonesia Kompilasi Aktual
Masalah Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Jakarta:
Gema Insani Press, 1996.
Mahfud MD, Moh., Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta:
UII Press, 1997.
______, Demokrasi dan Konstitusi Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
______, “Penjajakan Materi dan Agenda Perubahan Kelima UUD 1945”,
Makalah dalam Seminar Sehari Meninjau Kembali Prospek dan Agenda
Perubahan UUD Republik Indonesia 1945, diselenggarakan oleh Pusat
Studi Hukum Tata Negara FH UI, Jakarta, 21 Nopember 2007.
Melian, Sobirin, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945,
Yogyakarta: UII Press, 2001.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009


Udiyo Basuki: Amandemen Kelima: Suatu Kajian Penyempurnaan … 43

Muchsan, “Penggantian UUD 1945 Menuju Indonesia Baru yang


Demokratis”, Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional
Mengkritisi Konstitusi sebagai Upaya Penguatan Civil Society di
Yogyakarta, 1999.
Pandoyo, S.Toto, Ulasan terhadap Beberapa Ketentuan UUD 1945,
Yogyakarta, Liberty, 1985.
Rahardjo, Satjipto, “UUD 1945, Desain Akbar, Sistem Politik dan Hukum
Nasional”, Makalah disampaikan dalam Konvensi Hukum Nasional:
UUD 1945 sebagai Landasan Konstitusional Grand Design System dan
Politik Hukum Nasional, Jakarta, 15-16 April 2008.
______, Hukum Masyarakat dan Pembangunan, Bandung: Alumni, 1980.
______, Mendudukkan Undang-Undang Dasar, Suatu Pembahasan dari Optik
Hukum Umum, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
2007.
Refliani, “Reformasi Konstitusi di Jalan Sesat”, Republika 14 Mei 2002.
Sinaga, Budiman N.P.D., Hukum Konstitusi, Yogyakarta: Kurnia Kalam
Semesta, 2005.
Strong, C.F., Modern Political Constitution, London: Sidgwick & Jackson
Limited, 1960.
Suny, Ismail, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta: Aksara Baru, 1978.
Syahnakri, Kiki, ”Menyoal Lagi Amandemen UUD 1945,” Kompas, 24
Pebruari 2009.
Thaib, Dahlan, “Konstitusionalisme dalam UUD 1945 (Pokok-pokok
Pikiran)” Makalah disampaikan dalam Launching dan Diskusi
Publik Pusat Studi Hukum Konstitusi FH UII dengan MK Republik
Indonesia, Yogyakarta, 15 Februari 2007.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Wheare, K.C., Konstitusi-konstitusi Modern, terj. Muhammad Hardani,
Yogyakarta: Pustaka Eureka, 2003.
Wiratma, I Made Leo, ”Reformasi Konstitusi: Potret Demokrasi dalam
Proses Pembelajaran,” Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXIX/2000, No.
4.
Wojowasito, S., dan W.J.S. Purwadarminta, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia,
Indonesia-Inggris dengan Ejaan yang Disempurnakan, Bandung: Hasta,
1980.
Yamin, Moh., Naskah Persiapan UUD 1945, Jakarta: Jajaran Prapanca,
tanpa tahun.
Zaini, Hasan, Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni, 1971.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, Edisi Khusus, Agustus 2009

Anda mungkin juga menyukai