Abstrak
Di tengah gagasan yang relatif netral, yaitu mempertahankan UUD 1945
hasil amandemen, maka dua gagasan yang saling bertentangan yaitu arus gagasan
yang ingin kembali ke UUD 1945 asli dan gagasan kembali mengamandemen
UUD 1945 akan mewarnai polemik konstitusi mendatang. Meskipun keduanya
harus ditempatkan sebagai bagian dan ciri demokrasi, gagasan kembali ke UUD
1945 asli kurang populer dan dianggap bertentangan dengan semangat demokrasi
yang mestinya menempatkan UUD 1945 sebagai living constitution, maka
meskipun dengan beberapa catatan gagasan amandemen kelima dapat dimaknai
sebagai upaya penyempurnaan hasil amandemen sebelumnya.
A. Pendahuluan
Tumbangnya rezim Soeharto yang kukuh, otoriter, sentralistis dan
personal tahun 1998 menjadi momentum yang memunculkan berbagai
pemikiran yang menghendaki perubahan mendasar, terutama perubahan
sistem ketatanegaraan, pemerintahan dan tata politik. Fenomena
kekuasaan Soeharto yang tanpa batas itu, bukan sekadar bentuk dari apa
yang disebut Lord Action sebagai power tend to corrupt, melainkan juga
merupakan cermin dari kecelakaan konstitusional.
Awalnya, konstitusi Indonesia, UUD 1945 memang sarat dengan
kelemahan dan kekurangan lantaran tidak cukup memberikan acuan
praktis bernegara khususnya hubungan antarlembaga tinggi negara,
pembatasan kekuasaan presiden, pembatasan masa jabatan presiden serta
kontrol terhadap penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Interpretasi
sepihak dan berbagai penyalahgunaan kekuasaan dilakukan dengan dalih
mempertahankan Pancasila dan UUD 1945. Bahkan dalam berbagai
kesempatan ditegaskan tidak akan mengubah UUD 1945 karena masih
sesuai dengan perkembangan jaman.1
* Dosen Ilmu Hukum pada Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Sunan
Press, 1997).
sebagai living constitution. Udiyo Basuki, “Perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia
(Ulasan terhadap Beberapa Ketentuan UUD 1945),” dalam Jurnal Asy-Syir’ah No. 8
Tahun 2001, p. 98, Udiyo Basuki, “Pembaharuan Konstitusi sebagai Amanat Reformasi
(Suatu Tinjauan Sosio Yuridis),” dalam Jurnal Sosio Religi Vol. 1 No. 1 November 2001, p.
135, Udiyo Basuki, “Reformasi Konstitusi (Beberapa Catatan atas Amandemen UUD
1945)”, Jurnal Sosio Religia Vol. 1 No. 2 Februari 2002, p. 152, Udiyo Basuki, “Dinamika
Konstitusi Indonesia (Refleksi Yuridis atas Proses dan Hasil Amandemen UUD 1945),”
dalam Jurnal Sosio Religia Vol. 1 No. 4 Agustus 2002, p. 23.
3 Muchsan, “Penggantian UUD 1945 Menuju Indonesia Baru yang Demokratis”,
Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional Mengkritisi Konstitusi sebagai Upaya
Penguatan Civil Society di Yogyakarta, 1999. p. 4.
4 Kehendak memperbaharui UUD 1945 pada mulanya menimbulkan polemik
yang dapat digolongkan menjadi 2 kelompok besar yaitu kelompok pro dan kelompok
kontra. Kelompok kontra dibagi menjadi 2, yaitu pertama, mereka yang bersikukuh
mempertahankan UUD 1945 tanpa amandemen, apalagi penggantian. Mereka
berargumen bahwa mengubah atau mengganti UUD 1945 adalah hasil penilaian para
Founding Father, yang matang sehingga UUD 1945 tidak perlu diotak-atik lagi. Bagi
kelompok ini spirity of nationalisme jauh lebih penting dari spirit of constitution it self. Kedua,
mereka yang berpendirian bahwa UUD 1945 tidak perlu disentuh karena secara
konseptual UUD 1945 sudah baik, yang salah dan tidak mampu adalah faktor
manusianya. Sedangkan kelompok pro juga dibagi menjadi dua yaitu pertama, mereka yang
berketetapan bahwa UUD 1945 sudah selayaknya diubah. Kedua, mereka yang
menginginkan UUD 1945 diganti sama sekali dengan konstitusi baru karena tanpa
penggantian akan terjadi stagnasi dalam bernegara. Disarikan dari Sobirin Melian, Gagasan
Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, (Yogyakarta: UII Press, 2001), pp. 89-91.
5 “UUD yang Lebih Demokratis”, Kompas, 19 Pebruari 2009, p. 5.
6 Kiki Syahnakri, ”Menyoal Lagi Amandemen UUD 1945”, Kompas, 24 Pebruari
2009, p. 3.
B. Indonesia Berkonstitusi
1. Konstitusi dan Konstitusionalisme
Konstitusi menurut Rukmana Amanwinata,8 berpadanan dengan
“constitution” (bahasa Inggris), “constitutie” (bahasa Belanda)
“constitutional” (bahasa Perancis), “Verfassung” (bahasa Jerman),
“constitution” (bahasa Latin). Dalam Ilmu Hukum sering digunakan
beberapa istilah dengan arti yang sama. Sebaliknya tidak tertutup
kemungkinan untuk arti berbeda digunakan istilah yang sama. Demikian
juga halnya yang terjadi dengan istilah konstitusi. Selain konstitusi, dikenal
istilah lain, yaitu Undang-undang Dasar dan hukum dasar.9
Mengenai istilah konstitusi dan UUD terbagi menjadi dua, yaitu
pertama, pendapat yang membedakan konstitusi dengan UUD dan kedua,
pendapat yang menyamakan konstitusi dengan UUD.10 Saat ini tampaknya
pendapat kedua lebih diterima.
2005), p. 6. Menurut Pandoyo, UUD mempunyai pengertian yang lebih sempit daripada
pengertian hukum dasar, karena yang dimaksud dengan UUD adalah hukum dasar yang
tertulis sedangkan pengertian hukum dasar mencakup juga hukum dasar yang tidak
tertulis. S.Toto Pandoyo, Ulasan terhadap Beberapa Ketentuan UUD 1945, (Yogyakarta,
Liberty, 1985), p. 45.
10 Penggunaan istilah UUD mengandung kelemahan, karena ditujukan kepada
naskah tertulis, padahal istilah konstitusi bagi kalangan politik merupakan sesuatu yang
lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan, baik yang tertulis, maupun yang
tidak tertulis, yang mengatur cara-cara bagaimana suatu pemerintah diselenggarakan
dalam suatu masyarakat. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia,
1990), p. 95. Pendapat senada disampaikan K.C. Wheare, Konstitusi-konstitusi Modern, terj.
Muhammad Hardani, (Yogyakarta: Pustaka Eureka, 2003), pp. 1-2.
11 Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia Kompilasi Aktual Masalah
Konstitusi, Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), p.
19.
12 Budiman N.D.P. Sinaga, Hukum Konstitusi, p. 1.
13 Eric Barent, An Introduction to Constitutional Law, (Oxford: Oxford University
57.
17 Budiman N.P. Sinaga, ”Hukum Konstiusi” pp. 4-6.
Makalah disampaikan dalam Launching dan Diskusi Publik Pusat Studi Hukum
Konstitusi FH UII dengan MK Republik Indonesia, Yogyakarta, 15 Februari 2007, p. 4.
19 S. Toto Pandoyo, Ulasan terhadap Beberapa, p. 49.
20 C.F. Strong, Modern Political Constitution, (London: Sidgwick & Jackson Limited,
1960), p. 128.
155.
24 Azhari, Negara Hukum, pp. 39-41.
25 Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Aksara Baru, 1978), p. 11.
26 Muchsan, “Penggantian UUD 1945”, p. 5.
C. Amandemen Konstitusi
1. UUD 1945 sebagai Living Constitution
Dalam pelaksanaannya, UUD 1945 yang merupakan norma
peraturan perundangan tertinggi mengalami banyak penyimpangan dan
penyelewenangan. Rezim Orde Lama dan Orde Baru selalu
mengindoktrinasi masyarakat dengan sakralisasi konstitusi, yang
menempatkan UUD 1945 seperti halnya kitab suci.
Sikap dan perilaku otoriter rezim Orde Lama dan Orde Baru atau
sakralisasi konstitusi tersebut, membuat kebanyakan orang Indonesia
kehilangan nyali mempersoalkan UUD 1945.36 Perlakuan yang demikian
membuat UUD 1945 tidak ditempatkan pada posisinya sebagai living
Paradigmatik”, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya Malang, 13 Juli 2002, p. 5.
35 Abdul Muktie Fadjar, ”Beberapa Catatan tentang Kajian Konstitusi”, Makalah
37 Harun Alrasyid, “Relevansi UUD 1945 dalam Orde Reformasi”, dalam Jurnal
Hukum UII, Vol. 2 Tahun 1998, p. 7.
38 Moh. Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945, (Jakarta: Jajasan Prapanca, tanpa
tahun), p. 410.
39 Secara umum kelemahan dan kekurangan UUD 1945 dalam praktik
ketatanegaraan adalah bahwa UUD 1945 bersifat very executive heavy, multi interpretable, dan
tidak memuat check and balance system.
pendek. Hal ini karena hasil amandemen akan sangat menentukan nasib,
perjalanan dan kehidupan berbangsa dan bernegara di masa mendatang.
Di kalangan mereka yang menyetujui amandemen masih terdapat
kontroversi tentang hal yang menyangkut pilihan atas realisasi amandemen
yang perlu dilakukan. Artinya, meskipun telah sama pandangannya tentang
kemutlakan perlunya amandemen konstitusi, namun pilihan realisasinya
tidaklah selalu sama. Menurut Mahfud MD,40 ada beberapa pertanyaan
yang dapat diabstraksikan dari perbedaan-perbedaan tersebut yaitu,
pertama, apakah amandemen itu mencakup seluruh komponen UUD yang
mencakup pembukaan, batang tubuh dan penjelasan. Kedua, apakah
amandemen akan menyangkut perubahan bentuk dan sistem
pemerintahaan negara dan ketiga, jika amandemen tidak mengubah
bentuk dan sistem pemerintahan negara, apakah amandemen akan
berubah penggantian naskah atau sekadar mencabut atau menyisipkan
kalimat-kalimat di pasal tertentu, atau bahkan sekadar membuat lampiran
otentik atas naskah yang telah ada.
Bahkan kemudian ada rambu-rambu atau pembatasan-pembatasan
amandemen, yaitu pertama, tidak mengubah pembukaan UUD 1945.
Kedua, tetap dalam pemerintahan sistem presidensiil, ketiga,
mempertahankan bentuk negara kesatuan dan keempat, proses
amandemen yang dilakukan tidak akan membuat konstitusi baru, artinya
perubahan UUD dilakukan dengan cara adendum yaitu dengan
melampirkan perubahan, sementara naskah asli tidak dirubah.
Pembatasan-pembatasan di atas, pada mulanya dianggap
mengkerangkeng agenda reformasi konstitusi Indonesia dari kemungkinan
membentuk konstitusi baru yang demokratis.41 Baju amandemen itu
terlalu sesak untuk membungkus tuntutan perubahan UUD 1945.
Sayangnya baju sesak ini tidak bisa dimanfaatkan MPR secara maksimal.
Terbukti, dari empat kali amandemen justru menghasilkan lubang-lubang
amandemen di sana-sini.
Motif utama yang mendasari lahirnya gerakan reformasi adalah
pemberdayaan masyarakat (social empowerment). Agenda pemberdayaan
masyarakat ini sangat penting, sebab di masa Orde Baru, masyarakat
berada di posisi yang amat lemah vis a vis negara.42 Dalam konteks
ketatanegaraan, pemberdayaan masyarakat perlu diwujudkan dengan
melakukan perubahan terhadap aturan-aturan konstitusi yang berlaku.
Dengan demikian reformasi dalam kaitan dengan aturan-aturan dasar yang
40 Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta,
43 Ibid.
44 A.M. Fatwa, “Potret Konstitusi Negara Pasca Perubahan UUD 1945”, Makalah
disampaikan dalam Konvensi Hukum Nasional: UUD 1945 sebagai Landasan Konstitusional
Grand Design System dan Politik Hukum Nasional, Jakarta, 15-16 April 2008, p. 1.
45 Satjipto Rahardjo, “UUD 1945, Desain Akbar, Sistem Politik dan Hukum
Nasional”, Makalah disampaikan dalam Konvensi Hukum Nasional: UUD 1945 sebagai
Landasan Konstitusional Grand Design System dan Politik Hukum Nasional, Jakarta, 15-16 April
2008, pp. 4-5.
46 Ibid.
sudah tidak dapat lagi disebut menggunakan tradisi Amerika Serikat yang
dijadikan rujukan dalam rangka pelaksanaan perubahan UUD 1945.
Sebagian dari ketentuan-ketentuan yang diubah menyangkut materi yang
bersifat teknis prosedural yang tidak mempengaruhi paradigma pemikiran
UUD, tetapi sebagian lainnya bersifat mendasar dan mempengaruhi
sistematika pemikiran hukum dasar, yang seharusnya sudah dipahami
dalam konteks keseluruhan pokok pikiran yang tercermin dalam pasal-
pasal lain dalam UUD yang tidak ikut diubah. Sehingga bisa dimengerti,
jika UUD 1945 seolah dilupakan rakyat tak lagi hapal dan paham
konstitusinya.
yang terjadi di ranah politik dan ekonomi ditengarai juga karena sudah
tercemar UUD 1945 produk amandemen.54
Sementara, bagi pihak yang ingin melanjutkan amandemen di
antaranya beralasan bahwa amandemen kelima adalah penyempurnaan
sistem tata negara, pemerintahan dan hukum yang berlaku di Indonesia.55
Selain itu, amandemen juga perlu demi terciptanya keseimbangan tatanan
sosial, politik dan ekonomi,56 serta mempunyai tujuan menciptakan
tatanan kenegaraan yang lebih baik di masa mendatang.57 Maka, bagi
kelompok ini, tuntutan kembali ke UUD 1945 adalah tidak realistis.58
Situasi hingar-bingar seperti ini menunjukkan bahwa amandemen
UUD 1945 memiliki kekurangan mendasar yang menyebabkan posisinya
belum mampu menjadi ”the only game in town” sebagaimana
dipersyaratkan dalam mengkonsolidasikan demokrasi pada negara-negara
yang mengalami masa transisi.59 Secara lebih substanti lagi, situasi itu pun
memantulkan masih rendahnya tingkat efektivitas amandemen UUD 1945
dalam membentuk pemerintahan yang efektif mewujudkan tujuan negara
sebagaimana ditetapkan dalam Pembukaan UUD 1945. Maka, ke depan,
tampaknya arus gagasan kembali mengamandemen UUD 1945 akan
bertambah kuat.
Di atas semua itu, kontroversi dan polemik amandemen UUD 1945
atau kembali ke UUD 1945 hendaknya dimaknai secara positif, yaitu
menyebabkan UUD menjadi lebih dekat dengan rakyat. Hal ini juga harus
dilihat sebagai usaha memperluas pendidikan politik dan pendidikan
konstitusi secara kritis. Dengan demikian, sepanjang dilakukan secara
terbuka rasional dan substantif tentu dapat membantu mencerahkan
pemahaman segenap warga yang terlibat dalam mengembangkan
kesadaran berkonstitusi.
E. Penutup
Arah kemana konstitusi Indonesia, UUD 1945 hendak dibawa dapat
dilihat dari tiga arus utama yang sekarang berpolemik, yaitu: Pertama, yang
54 “Pilih yang Perjuangkan Kembali UUD 1945,” Kompas, 17 Desember 2008, p.
5.
55 “Pemerintahan Baru, Konstitusi Baru,” Kompas, 26 Januari 2008, p. 1.
56 “UUD 1945 harus Diamandemen Lagi,” Kompas, 21 Juni 2008, p. 22.
57 “DPD Siap dengan Draf Komprehensif,” Kompas 1 April 2008, p. 3.
58 “Kembali ke UUD 1945 tidak Realistis,” Kedaulatan Rakyat, 30 Januari 2007, p.
7.
59 Aidul Fitriciada Azhari, “Evaluasi Proses Amandemen UU 1945: Dari
Daftar Pustaka