Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setelah lengsernya Presiden Soeharto yang dibarengi dengan kelahiran
Reformasi Indonesia, salah satu tuntutan pada masa Reformasi yahun 1998
adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. tuntutan
perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan
tertinggi ditangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat),
kekuasaan Presiden yang begitu besar (executive power), adanya pasal-pasal
yang terlalu luwes sehingga dapat menimbulkan muli tafsir, serta kenyataan
rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum
cukup didukung ketentuan konstitusi. Sehingga perubahan UUD 1945 bukan
suatu yang ditabukan, tapi merupakan tuntutan sejarah. Perubahan UUD sudah
bisa diprediksi oleh Presiden Soekarno Pada saat pembahasan penetapan UUD
1945 sudah dikemukakan bahwa UUD 1945 atau konstitusi kita memang
sudah simple namun jika suatu saat terjadi perkembangan zaman boleh diubah
agar bisa menyesuaikan atau beradaptasi. Jadi ini juga merupakan amanat dari
Soekarno.
Dahulu Indonesia pernah memiliki UUD yang isinya sangat berbeda dengan
UUD Negara RI tahun1945, yaitu UUD RIS dan/atau UUDS. Yang berbeda
adalah pada UUD RIS sistem pemerintahannya adalah Serikat, pada UUDS
sistem pemerintahannya adalah Federal, sedangkan pada UUD Negara RI
tahun 1945 sistem pemerintahannya adalah Kesatuan. Pada Orde Baru
dituntut tidak adanya perubahan UUD 1945. Hal ini diperkuat dengan adanya
Tap MPR No. IV/MPR/1993 yang menjelaskan ketidak mungkinan terjadi
perubahan. Kalaupun terjadi perubahan harus diadakan referendum atau
persetujuan dari masyarakat. Namun hal ini berbeda sekali dengan Pasal 37
ayat 1 dan 2 yang menyatakan bahwa perubahan boleh dilakukan tanpa adanya
referendum. Sehingga Tap MPR No. IV/MPR/1993 dicabut. Tuntutan
Reformasi pada waktu itu adalah Istilah yang baku “amandemen” oleh MPR

1
diganti dengan “perubahan”, Dihapusnya dwi fungsi ABRI, Pemberantasan
KKN dan penegakan hukum, Penguatan otonomi daerah agar tidak sentral di
Ibukota Jakarta, Kebebasan pers supaya aspirasi rakyat bisa tersalurkan
dengan baik, Demokratisasi terkait HAM, MPR sebagai lembaga tertinggi
negara menurut pasal 3 ayat 1 berwenang mengubah UUD. Sehingga karena
adanya tuntutan reformasi ini UUD 1945 mengalami perubahan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan
permasalahan yang menjadi topik pembahasan dalam makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Mengapa UUD 1945 diamandemen?
2. Bagaimana analisis atas hasil amandemen UUD 1945 sebanyak empat
kali?
3. Apa saja usulan amandemen kelima dalam UUD 1945 ?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Amandemen UUD 1945


Pengertian Amandemen adalah perubahan konstitusi yang mana perubahannya
tidak banyak, bersifat teknis prosedural yang tidak mempengaruhi paradigma
pemikiran Undang-Undang Dasar. Menurut Budiardjo, ada beberapa macam
prosedur dalam perubahan UUD baik dalam renewal maupun amandemen,
yaitu[1].:
1. Sidang legislatif dengan ditambah syarat, misal dapat ditetapkan kuoroum
untuk membicarakan usul perubahan undang-undang dasar dan jumlah
minimum anggota badan legislatif atau menerimanya;
2. Referendum, pengambilan keputusan dengan cara menerima atau menolak
usulan undang-undang;
3. Perubahan yang dilakukan dalam suatu konvensi atau dilakukan oleh suatu
lembaga khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan.
Sedang dalam UUD 1945 pasal 37 menjelaskan tentang tata cara perubahan
yang secara garis besar adalah perubahan UUD 1945 bisa dilakukan jika
sedikitnya dihadiri 1/3 anggota MPR. Sedang untuk keputusan diambil jika
disetujui sedikitnya 2/3 anggota MPR.[2] Ketentuan tersebut tentu memberi
konsekwensi yang luas di MPR. Sebab, jika ada fraksi yang menguasai lebih
dari dua pertiga kursi MPR yang mengatakan tidak setuju, maka kesepakatan
akan sulit dicapai. Secara historis mengenai kelahiran UUD 1945 dan
perubahannya perlu kita ketahui bahwa dahulu setelah Jepang dikalahkan oleh
tentara sekutu pada saat Perang Pasifik berkecamuk, Indonesia telah
memproklamasikan kemerdekaannya pada Tanggal 17 Agustus 1945.
Sebelum itu, tepatnya bulan april 1945, pemerintah pendudukan Jepang telah
membentuk satu panitia yang diberi nama Dokuritzu Zumbi Tjosakai (Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dengan tugas
menyiapkan Rancangan Undang-Undang Dasar (RUUD) yang akan dipakai
sebagai konstitusi tertulis jika kelak Indonesia merdeka. Setelah badan
tersebut menyelesaikan tugasnya pemerintah segera membentuk panitia baru

3
yakni (PPKI) dengan tugas mempersiapkan kemerdekaan dan pemindahan
kekuasaan kepada pemerintah bangsa yang akan merdeka. Sehari setelah
Indonesia merdeka, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) segera
menetapkan UUD dan mengangkat Soekarno dan Hatta sebagai Presiden dan
Wakil Presiden Republik Indonesia.
Pada tanggal 7 September 1944 pemerintah Jepang mengumumkan janji untuk
memberi kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Janji tersebut diulangi pada
tanggal 1 Maret 1945 diikuti dengan pembentukan panitia yang bertugas
mempersiapkan kemerdekaan tepatnya membuat RUUD. Panitia tersebut
dikenal sebagai BPUPKI yang beranggotakan 62 (enam puluh dua) orang.
Akhirnya pada 22 Juni 1945 Panitia Sembilan berhasil mencapai kompromi
dengan menyetujui naskah “Mukaddimah” UUD yang dikenal sebagai piagam
Jakarta atau “The Jakarta Charter” dan pada tanggal 16 Juli 1945 BPUPKI
menyetujui rancangan UUD yang akan dijadikan Konstitusi tertulis Indonesia
Merdeka. Pengesahan pembukaan dan batang tubuh UUD, setelah
kemerdekaan Indonesia sehari setelah proklamasi PPKI menyelenggarakan
sidang yang mengambil keputusan pokok mengesahkan Pembukaan dan
batang tubuh UUD dan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Demikianlah
sejak tertanggal 18 Agustus 1945 telah ditetapkan berlakunya UUD 1945
untuk Negara Republik Indonesia.
Disaat Belanda berhasil memecah belah negara Indonesia untuk dijadikan
negara Republik Indonesia Serikat, sehingga Konstitusi RIS diberlakukan
bersamaan dengan pembubaran kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 27
Desember 1949 yang mana negara Indonesia menganut bentuk Republik
Federasi. Bentuk negara serikat ternyata tidaklah berumur panjang, karena
bentuk tersebut tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat Indonesia. Pada
tanggal 15 agustus 1950 UUDS dinyatakan berlaku sejak 17 Agustus 1950.
UUDS 1950 menganut sistem parlementer dan dianggap bahwa sejak
pemberlakuannya pada tanggal 17 Agustus 1950 dimulailah era demokrasi
liberal di Indonesia sesuai dengan sistem parlementer yang sebenarnya.
Sehubungan dengan demokrasi liberal yang terjadi pada masa UUDS 1950
dan menimbulkan instabilitas politik, maka sistem politik liberal harus

4
berakhir pada tahun 1959 ketika Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit pada
tanggal 5 Juli. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 disamping membubarkan
konstituante yang dianggap gagal melaksanakan tugasnya memebentuk UUD,
juga memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai pengganti UUDS 1950.[3]
Dengan adanya urain singkat diatas mengenai lahirnya UUD 1945, perlu
diketahui bahwa dalam hal ini argumentasi orang awam beranggapan
barangkali dengan adanya UUD 1945 praktik penyelanggaraan kehidupan
berbangsa dan bernegara selalu melahirkan pemerintah yang otoriter, korup
dan tidak demokratis. Meskipun syarat terbentuknya pemerintah yang
merakyat, bersih dan demokratis tidak hanya ditentukanoleh konstituennya.
Pada bagian terdahulu telah dikemukakan bahwa secara pintas UUD 1945
telah mengatur seruan paham konstitusi, yaitu anatomi kekuasaan tunduk pada
hukum, adanya jaminan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia adanya
prinsip peradilan yang bebas dan mengatur kedaulatan rakyat. Namun dalam
kenyataannya, prinsip-prinsip tersebut belum dielaborasikan secara
proposional dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia baik pada masa orde
lama, orde baru dan orde reformasi.
Atau kalaulah sudah diterapkan dalam tataran riil tetapi masih menyentuh
substansinya. Alasan lain yang dapat dijadikan dasar perlunya
mengamandemen UUD 1945, karena secara historis UUD 1945 memang
didesain oleh para pendiri Negara sebagai konstitusi yang bersifat sementara
dan ditetapkan dalam suasana tergesa-gesa. Secara filosofis, ide dasar dan
substansi UUD 1945 telah mencampur adukan antara paham kedaulatan
rakyat dengan paham intergralistik. Padahal antara keduanya bertolak
belakang, bahkan paham integralistiklah yang telah memberangus
demokratisasi di Indonesia. Kemudian secara yuridis, karena UUD 1945
sendiri telah mengatur prinsip dan mekanisme perubahan konstitusi[4].

5
B. Analisis Atas Hasil Amandemen UUD 1945
Pasca reformasi pada tahun 1998, UUD 1945 telah mengalami perubahan /
amandemen sebanyak 4 (empat) kali dalam kurun waktu 4 (empat) tahun.
diantaranya yaitu;
1. Amandemen pertama; disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999 atas
dasar SU MPR 14-21 Oktober 1999. Amandemen yang dilakukan
terdiri dari 9 Pasal, yakni Pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13, Pasal 14,
Pasal 15, Pasal 17, Pasal 20, dan Pasal 21. Yang mana dalam
amndemen yang pertama ini adalah memposisikan kekuasaan Presiden
begitu besar (executive power).
2. Amandemen kedua; disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000 dan
disahkan melalui sidang umum MPR 7-8 Agustus 2000. Amandemen
dilakukan pada 5 Bab dan 25 Pasal. Berikut ini rincian perubahan yang
dilakukan pada amandemen kedua. Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B,
Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Pasal 25E, Pasal
26, Pasal 27, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E,
Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Pasal 30, Pasal
36A, Pasal 36B, Pasal 36C. BAB IXA, BAB X, BAB XA, BAB XII,
dan BAB XV. Inti dari amandemen kedua ini adalah Pemerintah
Daerah, DPR dan Kewenangannya, Hak Asasi Manusia,
Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan.
3. Amandemen ketiga disahkan pada tanggal 10 November 2001 dan
disahkan melalui ST MPR 1-9 November 2001. Perubahan yang
terjadi dalam amandemen ketiga ini terdiri dari 3 Bab dan 22 Pasal.
Berikut ini rincian dari amandemen ketiga. Pasal 1, Pasal 3, Pasal 6,
Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 17,
Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal 22E, Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23C,
Pasal 23E, Pasal 23F, Pasal 23G, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal
24C. BAB VIIA, BAB VIIB, dan BAB VIIIA. Inti perubahan yang
dilakukan pada amandemen ketiga ini adalah Bentuk dan Kedaulatan
Negara, Kewenangan MPR, Kepresidenan, Keuangan Negara,
Kekuasaan Kehakiman.

6
4. Amandemen keempat disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002
melalui ST MPR 1-11 Agustus 2002. Perubahan yang terjadi pada
amandemen ke-4 ini terdiri dari 2 Bab dan 13 Pasal. Pasal 2, Pasal 6A,
Pasal 8, Pasal 11, Pasal16, Pasal 23B, Pasal 23D, Pasal 24, Pasal 31,
Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 37. BAB XIII dan BAB XIV. Inti
Perubahan amandemen ini DPD sebagai bagian MPR, Penggantian
Presiden, pernyataan perang, perdamaian dan perjanjian, mata uang,
bank sentral, pendidikan dan kebudayaan, perekonomian nasional dan
kesejahteraan sosial, perubahan UUD.
Secara singkat ketika kita membaca sekelumit uraian analisis diatas, bahwa
kebijakan MPR melakukan amandemen ini dari tahun 1999 hingga tahun
2002, perlu kita ketahui bahwa hal tersebut tetap merupakan prasarat bagi
terbentuknya Indonesia baru, atau kalau tidak ingin melakukan reformasi
tambal sulam. Karena itu mengamandemen UUD 1945 merupakan condition
sine quanon bagi sebuah strategi perubahan dan pembaharuan yang mendasar.
Setelah UUD 1945 hasil perubahan berjalan kurang lebih 5 tahun, eksistensi
UUD 1945 kembali dipersoalkan. Konstitusi seakan menjadi “terdakwa”
ditengah karut marutnya kondisi bangsa. Berbagai ketimpangan dan
kelemahan desain yang selama ini dikhawatirkan oleh sejumlah kalangan,
mulai bermunculan satu demi satu. Benturan kewenangan antar lembaga
Negara tidak terelakan, sebagai contoh, misalnya konflik antara mahkamah
Agung (MA) dengan Komisi Yudisial (KY), Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dengan Dewan Perwakilan Derah (DPD). Persoalan lain, kemunculan
berbagai lembaga Negara independen atau komisi-komisi Negara independen
yang akhir-akhir ini marak, juga sering kali menimbulkan benturan
kewenangan saling tumpang tindih diantara lemabaga independen atau juga
dengan lembaga lainnya, misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dengan Kepolisian dan Kejaksaan, KPK dengan MA, KPK dengan Menteri
Sekretaris Negara, dan lain-lain, karena belum didesain secara jelas dalam
ketatanegaraan kita.

7
C. Usulan Amandemen Kelima Dalam UUD 1945
Setelah mengkaji desain MPR hasil perubahan UUD 1945, maka dapatlah
disimpulkan bahwa keanggotaan MPR merupakan keanggotaan yang muncul
ketika keanggotaan DPR dan DPD dipilih secara langsung oleh rakyat melalui
pemilu. MPR bukan lagi merupakan lembaga yang berdiri sendiri, tetapi
terbentuknya berdasarkan terpilihnya anggota DPR dan DPD melalui pemilu.
MPR merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan
sebagai lembaga Negara, yang aggotanya meliputi wakil rakyat yang dipilih
melalui pemilu berdasarkan usulan partai politik peserta pemilu, kemudian
menjadi DPR dan wakil daerah atau wilayah yang dipilih melalui proses
pencalonan perseorangan dan pemilihnya dilakukan secara langsung oleh
rakyat melalui pemilu kemudian menjadi DPD. Artinya MPR merupakan
badan perwakilan yang terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD.
Kalau dilihat dari segi kewenangan MPR, disebutkan secara limitative dalam
Pasal 3, 6A, 7B, 8, dan 37 UUD 1945. Wewenang MPR untuk menetapkan
UUD tidak dimiliki oleh “congress” Amerika Serikat, “parliament” Inggris
dan “Staten General” Belanda. Dalam perdebatan di rapat-rapat Komisi
Konstitusi, ada tiga alasan yang menyebabkan perlunya penyesuaian terhadap
susunan, kedudukan, dan kekuasaan MPR menjadi suatu lembaga perwakilan
rakyat dengan dua kamar (bicameral), yaitu :
1. Kebutuhan dalam pembenahan sistem ketatanegaraan sehubungan
dengan berbagai permasalahan dalam sistem MPR yang lama. Anggota
MPR yang bukan anggota DPR yaitu utusan daerah dan utusan
golongan tidak berfungsi efektif dan tidak jelas orientasinya yang
mewakili rakyat daerah dan golongan. MPR mempunyai kekuasaan
yang rancu dalam sistem presidensial karena dapat menjatuhkan
presiden dengan mekanisme siding istimewa.
2. Kebutuhan untuk mengakomodasikan kepentingan masyarakat daerah
secara structural. Dengan adanya dewan yang secara khusus
mempresentasikan wilayah-wilayah, diharapkan kepentingan
masyarakat di daerah akan dapat diakomodasikan melalui institusi
formal di tingkat nasional.

8
3. Kebutuhan bagi reformasi Indonesia saat ini untuk memulai
menerapkan sistem checks and balances dalam rangka memperbaiki
kehidupan ketatanegaraan dan mendorong demokratisasi. Dengan
adanya lembaga ini akan mampu menjalankan fungsi legislasi dan
fungsi kontrolnya dengan lebih baik.
Didalam Pasal 22D, Pasal 22E, dan Pasal 22F UUD 1945 tidak mengatur
secara komprehensif tentang DPD, pengaturan DPD sangat sumir. DPD sama
sekali tidak mempunyai kekuasaan yang signifikan. DPD hanya memberikan
masukan pertimbangan, usul, ataupun saran, sedangkan yang berhak
memutuskan adalah DPR. Karena itu keberadaan DPD disamping DPR tidak
dapat disebut sebagai bikameralisme dalam arti yang lazim. Disamping dalam
UUD 1945 juga tidak mengatur secara tegas apa saja hak-hak DPD dan hak
anggota DPD. Juga tidak diatur bagaimana membahas rancangan undang-
undang (RUU) yang berasal dari DPD, dan lain-lain. Seharusnya aturan-aturan
yang menyangkut mekanisme, hak-hak yang melekat pada DPD dan anggota
DPD, diatur serupa dengan ketentuan mengenai DPR. Mekanisme pengajuan
RUU oleh DPD justru diatur dalam UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan
dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Ketentuan di dalam Pasal 22D
ayat (2) 1945 melemahkan peran DPD dalam bidang legislasi, karena hanya
member kewenangan sebatas memberikan pertimbangan kepada DPR
mengenai RUU APBN, dan justru yang berkaitan dengan pajak, pendidikan,
dan agama. Justru di era otonomi sekarang sekarang ini masalah APBN, pajak,
pendidikan, dan agama harus dibahas bersama DPD karena kepentingan
daerah. Kelemahan lainnya adalah DPD tidak mempunyai hak tolak suatu
RUU, sehingga apabila pertimbangan DPD tidak dipergunakan oleh DPR,
DPD tidak dapat berbuat apa-apa. Untuk itu sebaiknya DPD diberikan hak
tolak terhadap suatu RUU.
Konstitusi tidak menentukan hubungan DPR dengan DPD baik sebagai
hubungan antar kamar maupun hubungan “antar kelompok anggota” dibawah
naungan MPR. Ketika berlangsung fungsi inter-kameral antara DPR-DPD,
prose situ dapat disebut sebagai ‘arena’ joint session DPR-DPD: ketika DPR
mengundang DPD untuk ikut membahas RUU yang terkait dengan otonomi

9
daerah; ketika kepada DPR pihak DPD mengajukan RUU yang terkait dengan
otonomi daerah atau meminta pertimbangan tentang RAPBN, ketika DPD
meminta pertimbangan dalam pemilihan anggota BPK, dan ketika DPR-DPD
menerima Haptah BPK. Disini DPD hanya memiliki “fungsi konsultatif”.
Jelas bahwa pola hubungan DPR-DPD-Presiden bukan merupakan MPR
sebagai joint session, karena wewenang bersama ketika lembaga tersebut
bukan merupakan wewenang MPR dan pola hubungan ketiganya bukan
dibawah naungan MPR. Pola hubungan “kamar-kamar legislatif” ini boleh
saja disebut tipe hibrida, yaitu “legislative tiga kamar”, tetapi dengan fungsi
pengambilan keputusan hanya di tangan dua kamar (DPR dan Presiden).
Tentu saja tidak tepat menyebut pola hubungan DPR-DPD-MPR sebagai
parlemen tiga kamar.
Usulan selanjutnya yaitu mengenai perubahan kekuasaan kehakiman, yang
mana dalam kewenangan KY untuk mengawasi perilaku hakim ditentukan
dalam Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945. Tepatkah putusan MK membatalkan
kewenangan itu dan membuat tafsir sendiri bahwa kalau seluruh hakim sudah
diseleksi oleh KY, maka hakim-hakim inilah yang nantinya akan diawasi oleh
KY. Sedangkan ketentuan di dalam Pasal 24C Ayat (3) UUD 1945
menegaskan, Sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh
Presiden diajukan masing-masing tiga orang oleh MA, tiga orang oleh DPR,
dan tiga orang oleh Presiden. Pemberian kewenangan pengujian undang-
undang kepada MK tanpa adanya pembatasan tertentu juga berpotensi
terjadinya penyelewengan kekuasaan. Terbukti belakangan ini MK sudah
mengendalikan dirinya berwenang menguji peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang 9Perppu) yang oleh Pasal 22 UUD 1945 ditegaskan DPR
yang akan menyetujui Perppu dalam siding DPR berikutnya untuk disetujui
atau ditolak menjadi undang-undang. Hal ini tentunya menimbulkan
kekacauan baru dalam perspektif yuridis maupun politis.
Dari persoalan kelembagaan dibidang kehakiman tersebut, revisi UU KY dan
UU MK bukanlah jalan keluar yang tepat untuk mengatasi carut marutnya
penegakan hukum di Indonesia. UUD 1945 harus memetakan secara tepat dan
cermat desain kekuasaan kehakiman di Indonesia. Tepatlah KY diletakkan

10
dalam Bab kekuasaan kehakiman, sementara fungsi, tugas dan wewenang KY
bukanlah pelaku kekuasaan kehakiman, tetapi sebagai pengawas perilaku
hakim dan mengusulkan calon hakim agung.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan mengenai analisis amandemen Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang di lakukan oleh
majelis permusyawaratan rakyat dapat disimpulkan bahwa atas hasil
perubahan / amandemen UUD 1945 pastinya masih memiliki keterbatasan dan
kelemahan yang tidak dapat dipakai, maka UUD 1945 sebagai landasan
konstitusional telah mengalami beberapa amandemen, Amandemen pertama
disahkan 19 Oktober 1999, Amandemen kedua disahkan 18 Agustus 2000,
Amandemen ketiga disahkan 10 November 2001 dan Amandemen keempat
disahkan 10 Agustus 2002. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk
menyempurnakan UUD 1945 yang sudah ada agar tetap sesuai dengan
perkembangan zaman dan untuk membawa bangsa ini menuju perubahan yang
lebih baik lagi diberbagai bidang dengan senantiasa selalu memperhatikan
kepentingan rakyat.

B. Saran
1. Dalam perubahan / amandemen kelima UUD 1945 kedepan harus lebih
memperhatikan hal-hal dari segi teknis dan substansinya serta lebih teliti
dalam menyikapi perkembangan masyarakat Indonesia yang dinamis.
2. Ide, gagasan, itikad dan langkah-langkah untuk melakukan amandemen
UUD 1945 pada hakikatnya harus kembali pada habitatnya, yakni ajaran
konstitusionalisme. Karena sebuah konstitusi yang tidak membuka ruang
untuk dilakukan amandemen, amak jati dirinya akan ketinggalan zaman,
sehingga akan kehilangan daya ikat keberlakuannya sebuah supremasi
konstitusi.

12
DAFTAR PUSTAKA

MD Mahfud, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta, PT. Rajagrafindo Persada, Cet.


Ke-6, 2014.
Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia, Yogjakarta, FH UII Press,
2003.
Thaib dahlan, dan Hamidi Jazim, et, all., Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta,
PT. Rajagrafindo Persada, Cet. Ke-11, 2013.
Ubaedillah, et, all., Pendidikan Kewarganegaraan- Demokrasi, Hak Asasi
Manusia, Dan Masyarakat Madani, Jakarta, Kencana Prenada Media Group,
2010.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi, Sekretariat Jenderal, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006.

13

Anda mungkin juga menyukai