Anda di halaman 1dari 5

Masa Awal Kemerdekaan

Sejak berlakunya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, maka mulai
saat itu berlaku tata hukum baru yang bersumber dari proklamasi kemerdekaan
Indonesia dan tidak berlaku lagi tata hukum lama (zaman kolonial). Untuk
mengganti seluruh tata hukum peninggalan kolonial dalam UUD 1945. Pasal 11
aturan peralihan menyatakan, "Segala badan Negara dan peraturan yang ada
masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-
Undang Dasar ini.
UUD 1945 sebagai hukum dasar tertulis dalam gerak pelaksanaannya
pada kurun waktu 1945-1949, jelas tidak dilaksanakan dengan baik, karena kita
memang sedang dalam masa pancaroba, dalam usaha membela dan
mempertahankan kemerdekaan yang baru saja di proklamirkan, sedangkan
pihak kolonial Belanda justru ingin menjajah kembali Indonesia yang telah
merdeka. Segala perhatian bangsa dan Negara diarahkan untuk memenangkan
perang kemerdekaan. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya UUD 1945 terjadi
penyimpangan-penyimpangan konstitusional.
Sistem pemerintahan dan kelembagaan yang ditetapkan dalam UUD 1945
jelas belum dapat dilaksanakan. Dalam masa ini sempat diangkat DPA
sementara, sedangkan MPR dan DPR belum sempat dibentuk. Pada waktu itu
masih diberlakukan ketentuan aturan Peralihan Pasal IV yang menyatakan,
"Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan
Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang dasar ini,
segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite
Nasional.
Penyimpangan konstitusional yang dapat dicatat dalam kurun waktu
1945-1949. Pertama, berubahnya fungsi Komite Nasional Pusat dari pembantu
presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menentukan
GBHN berdasarkan maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Agustus 1945.
Kedua berdasarkan perubahan sistem kabinet Komite Nasional Pusat tanggal 11
November 1945 yang kemudian dinyatakan oleh Presiden dan diumumkan
dengan Maklumat Pemerintah diganti dengan sistem Kabinet parlementer.

Masa Orde Lama

Sejak 5 Juli 1959 UUD 1945 berlaku bagi Bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia. Setelah itu sudah cukup banyak pengalaman yang
telah kita peroleh dalam melaksanakan UUD 1945. Dalam masa orde lama,
presiden, selaku pemegang kekuasaan eksekutif dan pemegang kekuasaan
legislatif bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat telah menggunakan
kekuasaannya dengan tidak semestinya. Presiden telah mengeluarkan produk
legislatif yang pada hakikatnya adalah undang-undang (sehingga sesuai UUD
1945 harus dengan persetujuannya DPR) dalam bentuk penetapan presiden,
tanpa persetujuan DPR. Selama itu terdapat pula penyimpangan-penyimpangan
lain antara lain sebagai berikut :
1. MPR, dengan ketetapan No.1/MPRS/1960 telah mengambil putusan
menetapkan pidato presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul
Politik Republik Indonesia (Manipol) sehingga GBHN bersifat tetap. Hal
ini jelas bertentangan dengan ketentuan UUD 1945.
2. MPRS telah mengambil putusan mengangkat Ir. Soekarno sebagai
presiden seumur hidup. Hal ini bertentangan dengan ketentuan UUD
1945 yang menetapkan masa jabatan presiden selama lima tahun.
3. Hak budget DPR tidak berjalan, karena setelah tahun 1960 pemerintah
tidak mengajukan Rancangan Undang-Undang APBN untuk mendapat
persetujuan DPR sebelum berlakunya tahun anggaran yang bersangkutan.
Dalam tahun 1960, karena DPR tidak dapat menyetujui Rancangan
Pendapatan dan Belanja Negara yang diajukan oleh pemerintah. Maka
Presiden waktu itu membubarkan DPR hasil pemilihan umum tahun 1955
dan membentuk DPR Gotong Royong (DPR-GR).
4. Pemimpin lembaga-lembaga Negara dijadikan menteri-menteri Negara,
sedangkan presiden sendiri menjadi anggota DPA, yang semuanya tidak
sesuai dengan ketentuan UUD 1945.
Penyimpangan ini jelas bukan saja mengakibatkan tidak berjalannya sistem
yang ditetapkan dalam UUD 1945, melainkan juga telah mengakibatkan
memburuknya keadaan politik dan keamanan serta terjadinya kemerosotan
ekonomi yang mencapai puncaknya dengan pemberontakan tersebut dapat
digagalkan melalui kekuatan-kekuatan yang melahirkan pemerintah orde baru.
Dipersyaratkan suara yang menyetujui perubahan harus berkualifikasi mayoritas
2/3 sampai dengan 4/5 jumlah anggota pemegang kedaulatan rakyat.
Bahasa yang popular dalam perubahan UUD adalah amandemen yang
dimaksud seperti tercantum dalam pasal 37 yaitu mengubah pasal yang terdapat
dalam batang tubuh UUD 1945. Beberapa kategori arti amandemen adalah
sebagai berikut :
1. Membuat artiya mencipta pasal baru.
2. Mengubah artinya mengganti suatu pasal tertentu dalam pasal baru.
3. Mencabut artinya menyatakan suatu pasal tidak berlaku tanpa mengganti
dengan pasal baru.
4. Menyempurnakan artinya menambah suatu sub dietum dari suatu pasal.
5. Memberi interpretasi baru dalam suatu pasal.
Masa Orde Baru

Lahirnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) ini dianggap sebagai


lahirnya pemerintah orde baru. Orde baru lahir dengan tekad awalnya adalah
untuk mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara
Indonesia atas dasar pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Konsensus nasional ini telah mewarnai pelaksanaan demokrasi di
Negara. Republik Indonesia sepanjang pemerintahan orde baru sehingga UUD
1945 lebih cenderung berpihak kepada rezim yang berkuasa dari pada upaya
penegakkan kedaulatan rakyat sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam UUD 1945 itu sendiri. Pemerintah orde baru telah banyak melakukan
penyimpangan-penyimpangan pelaksanaan pemilu-pemilu, antara lain sebagai
berikut :
Campur tangan birokrasi terlalu besar dalam mempengaruhi pilihan
rakyat.
Panitia pemilu tidak independen, memihak salah satu kontestan.
Kompetisi antara kontestan tidak leluasa.
Rakyat tidak bebas mendiskusikan dan menentukan pilihan.
Penghitungan suara tidak jujur.
Kontestan tidak bebas kampanye karena dihambat aparat
keamanan/perizinan.
Mengingat pemilu adalah titik awal dari pembentukan demokrasi, maka
kelemahan dan praktek pemilu membawa kinerja sistem politik, yaitu tercipta
perwakilan politik yang kurang kondusif bagi demokrasi. Wakil rakyat lebih
cenderung loyal kepada parpol yang menunjukkan menjadi wakil rakyat dari
pada rakyat pemilih (tipe partisan). Akibat pemilu orde baru kepada DPR
menyokong pembatasan kestabilitas politik legislatif itu, sehingga penggunaan
hak-hak DPR, seperti hak insiatif dan fungsi pengawasan menjadi lemah.
Kenyataan ini makin memperkuat eksekutif sebagai pemilik pusat kekuasaan
yang mengatasi legislatif.
Alokasi nilai dibidang politik dalam pelaksanaan UU No. 1 tahun 1983
tentang susunan dan kedudukan MPR/DPR. Presiden Soeharto melakukan hal-
hal berikut :
1. Menetapkan penelitian yang berkualifikasi monoloyalitas terhadap
dirinya, yang diizinkan menjadi calon resmi dari partai politik dan
Golkar.
2. Menetapkan keluarga presiden, para pejabat eksekutif beserta beberapa
keluarganya dan orang-orang yang berkaitan dengan bisnis keluarga
presiden sebagai calon resmi dari partai politik dan Golkar.
Dalam pelaksanaan UU No. 2 Tahun 1983 tentang Pemilu, ada beberapa
yang perlu dijadikan catatan, yaitu sebagai berikut :
1. Presiden Soeharto secara subjektif mencoret dan mengganti calon yang
tidak memenuhi syarat subjektif dari Partai Politik dan Golkar.
2. Tempat pemungutan suara (TPS) dibuat di kantor-kantor dan waktu
pelaksanaan pemungutan suara ditetapkan bukan pada hari libur, tetapi
pada hari kerja.
3. Pelaksanaan pemungutan suara, sejumlah pemilih mendukung Golkar
diberi formulir A-B sampai 5-10 seorang.
Semua pegawai negeri dan warga ABRI yang masih aktif maupun pensiun
pada semua tingkat jabatan terbuka pemaksaan dengan sanksi pada segenap
anggota jajarannya untuk memilih Golkar. Di samping itu, organisasi
masyarakat (ormas), menurut UU No. 5 tahun 1985 tidak dibolehkan berafiliasi
kepada Partai Politik, tetapi banyak ormas yang memperbolehkan Golkar.
Undang-Undang No. 5 tahun 1985 tentang referendum mengatur tidak
memungkinkan diselenggarakannya referendum karena mempersyaratkan suara
90 % dari seluruh peserta referendum

Masa Reformasi
Kekuasaan Orde Baru di bawah Soeharto sampai tahun 1998
membawaketatanegaraan Indonesia tidak mengamanatkan nilai-nilai demokrasi
sebagaimanayang tergantung dalam Pancasila yang mendasarkan pada
kerakyatan didimanarakyat memiliki kekuasaan tertinggi dalam negara, bahkan
juga sebenarnya jugatidak mencerminkan pelaksanaan demokrasi atas
dasarnorma-norma pasal-pasalUUD 1945. Praktek kenegaraan dijangkiti
penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme(KKN). Keadaan yang demikian ini
membawa rakyat Indonesia semakin menderita.Terutama karena adanya badai
krisis ekonomi dunia yang juga melanda Indonesiamaka praktisi GBHN 1998
pada PJP II pelita ketujuh tidak dapat dilaksanakan.Ekonomi Indonesia hancur.
Sektor riil ekonomi macet, PHK, pengangguran meningkat tajam sehingga
terjadilah krisi kepercayaan dan krisis politik.
atiklimaks dari keadaan tersebut, timbullah berbagai gerakan masyarakatyang
dipelopori oleh generasi muda terutama mahasiswa sebagai sesuatu
gerakanmoral yang memiliki kekuatan yang luar biasa yang menuntut adanya
reformasi disegala bidang kehidupan negara terutama bidang politik,
ekonomi dan hukum .Awal keberhasilan gerakan reformasi tersebut adalah
ditandai denganmundurnya presiden Soeharto dari singgasana kepresidenan dan
diganti oleh wakilpresiden Prof. Dr. Bj. Habibie pada tanggal 21 mei 1998.
Pemerintahan Habibie inilahyang merupakan pemerintahan transisi yang akan
membawa bangsa Indonesia untuk melakukan reformasi secara menyeluruh,
terutama menata ketatanegaraanIndonesia sesuai dengan UUD 1945.Bangsa
indnesia menilai bahwa penyimpangan atas makna UUD 1945 yangtelah
dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru selain karena moral penguasa
negara,juga terdapat berbagai kelemahan yang tergantung dalam beberapa pasal
UUD1945. Oleh karena itu selain melakukan reformasidalam bidang politik
yang harusmelalui suatu mekanisme peraturan perundang-undangan juga
dikarenakan terdapatbebrapa pasl UUD 1945 yang mudah di interpretsi secara
ganda (multiinterpretable), sehingga bangsa Indonesia merasa perlu untuk
mengadakanamandemen terhadap beberapa pasal dalam UUD 1945.Berbagai
macam produk peraturan perundang-undangan yang telahdihasilkan dalam
reformasi hukum antara lain UU. Politik Tahun 1999, yaitu UU. No.2tahun
1999, tentang partai politik, UU. No.3 tahun 1999, tentang pemilihan umumdan
UU. No. 4 tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD;
UU otonomi daerah, yaitu meliputi UU. No.25 tahun 1999. Tentang
pemerintahandaerah, UU. No.25 tahun 1999, tentang perimbangan keuangan
antar pemerintahanpusat dan daerah dan UU. No.28 tahun 1999 tentang
penyelenggaraan negara yangbersih dan bebas dari KKN. Atas dasar hasil
reformasi tersebut bangsa Indonesiatelah mampu mengadakan pemilu pada
tahun 1999, yang kemudian menghasilkanMPR, DPR, dan DPRD yang benar-
benar merupakan hasil aspirasi rakyat secara demokrat

Anda mungkin juga menyukai