Anda di halaman 1dari 14

SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA PADA

MASA REFORMASI
v Pelaksanaan demokrasi langsung pada era orde reformasi
1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Pengertian Demokrasi Secara etimologis demokrasi terdiri dari


dua kata yang berasal daribahasa Yunani yaitu demos yang berarti
rakyat atau penduduk suatu tempat,dan cratein atau cratos yang
berarti kekuasaan atau kedaulatan.
Pengertian Reformasi secara umum berarti perubahan terhadap
suatu sistem yangtelah ada pada suatu masa. Di Indonesia, kata
Reformasi umumnya merujuk kepada gerakanmahasiswa pada tahun
1998 yang menjatuhkan kekuasaan presiden Soeharto atau era setelah
Orde Baru Kendati demikian, kata Reformasi sendiri pertama-tama
muncul darigerakan pembaruan di kalangan Gereja Kristen di Eropa
Barat pada abad ke-16, yang dipimpin oleh Martin Luther, Ulrich
Zwingli, Yohanes Calvin, dll.
Pelaksanaan Demokrasi Masa Reformasi (1998 sekarang)
Berakhirnya masa orde baru ditandai dengan penyerahan kekuasaan
dari Presiden Soeharto ke Wakil Presiden BJ Habibie pada tanggal 21
Mei1998.
Penegakan kedaulatan rakyat dengan memperdayakan
pengawasan sebagai lembaga negara, lembaga politik dan lembaga
swadaya masyarakato Pembagian secara tegas wewenang kekuasaan
lembaga Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.
Sistem pemerintahan yang masa orde reformasi dapat dilihat dari
aktivitas kenegaraan yaitu untuk kebijakan pemerintah yang memberi
ruang gerak yang lebih luas terhadap hak-hak untuk mengeluarkan
pendapat dan pikiran baik lisan atau tulisan dan upaya untuk
mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta
bertanggung jawab dibuktikan dengan dikeluarkan ketetapan MPR No
IX / MPR / 1998.
Lembaga MPR sudah berani mengambil langkah-langkah politis
melalui sidang tahunan dengan menuntut adanya laporan pertanggung
jawaban tugas lembaga negara ,UUD 1945 di amandemen,pimpinan
MPR dan DPR dipisahkan jabatannya, berani memecat presiden dalam
sidang istimewanya.
Akibat Pelaksanaan Demokrasi Masa Reformasi (1998 sekarang)
mengalami suatu pergeseran yang mencolok walaupun sistem
demokrasi yang dipakai yaitu demokrasi pancasila tetapi sangatlah
mencolok dominasi sistem liberal contohnya aksi demonstrasi yang
besar-besaran di seluru lapisan masyarakat.

v Penyebab Terjadinya Era Reformasi


Penyebab utamanya adalah berhentinya Presiden Soeharto pada
tanggal 21 Mei 1998 dan digantikian oleh Wakil
Presiden Dr.Ir.Bj.Habibie. Berhentinya Soeharto karena tak adanya
kepercayaan dari masyarakat serta menghadapi krisis ekonomi yang
berkepanjangan.
Ada faktor-faktor lain penyebab munculnya era reformasi:
1. Krisis Politik
Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya akan menimbulkan
permasalahan politik. Kedaulatan rakyat berada di tangan kelompok tertentu,
bahkan lebih banyak dipegang oleh para penguasa. Pada UUD 1945 pasal 2
telah disebutkan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan
sepenuhnya oleh MPR. Namun pada dasarnya secara de jure kedaulatan
rakyat tersebut dilaksanakan oleh MPR sebagai wakil-wakil rakyat, tetapi
secara de facto anggota MPR sudah diatur dan direkayasa. Sebagian anggota
DPR itu diangkat berdasarkan hubungan kekeluargaan (nepotisme), misalnya
istri, anak, atau kerabat dekat para pejabat tinggi. Oleh karena itu, keputusan
DPR/MPR dapat diatur oleh pihak penguasa.
Setahun sebelum pemilu 1997, situasi politik di Indonesia mulai memanas.
Pemerintah Orde Baru yang didukung oleh Golongan Karya (Golkar) berusaha
untuk memenangkan pemilu secara mutlak, seperti pada pemilihan umum
sebelumnya. Sedangkan tekanan-tekanan terhadap pemerintah Orde Baru
semakin berkembang. Baik di kalangan politisi, cendekiawan, maupun dari
masyarakat.
Terjadinya kerusuhan-kerusuhan:

27 Juli 1996, bentrok antara PDI pro-Megawati dengan PDI por-Suryadi


di kantor pusat PDI.
Oktober 1996, kerusuhan di Situbondo, Jawa Timur.
Desember 1996, kerusuhan di Tasikmalaya , Jawa Barat.
Menjelang akhir kampanye pemilu 1997, terjadi kerusuhan di
Banjarmasin
1. Krisis Hukum
Pada masa pemerintahan Orde Baru banyak terjadi ketidakadilan di bidang
hukum. Misalnya pada pasal 24 UUD 1945 dinyatakan bahwa kehakiman
memiliki kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan pemerintah.
Namun pada kenyataannya kekuasaan kehakiman berada di bawah
kekuasaan eksekutif. Oleh karena itu, lembaga pengadilan sangat sulit
mewujudkan keadilan bagi rakyat, karena hakim-hakim harus melayani

kehendak penguasa. Bahkan hukum sering dijadikan sebagai alat


pembenaran atas tindakan dan kebijakan pemerintah. Selain itu, sering
terjadi rekayasa dalam proses peradilan, apabila peradilan itu menyangkut
diri penguasa dan kerabatnya.
1. Krisis Ekonomi
2. pin bb : 520624dc
line : odiepakpahan
ig : ody pakpahan
path : ODY pakpahan
twitter : @pakpahanaudrie

Krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara sejak bulan Juli
1996, juga memengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia. Ekonomi
Indonesia ternyata belum mampu untuk menghadapi krisis global tersebut.
Ketika nilai tukar rupiah terus melemah, maka pertumbuhan ekonomi
Indonesia menjadi 0% dan berakibat pada iklim bisnis yang semakin lesu.
Kondisi moneter Indonesia mengalami keterpurukan, yaitu dengan
dilikuidasinya sejumlah bank pada akhir tahun 1997. Walaupun pada awal
tahun 1998 pemerintah Indonesia membuat kebijakan uang tetap dan suku
bunga bank tinggi, namun krisis moneter tetap tidak dapat teratasi. Akhirnya
pada bulan April 1998, pemerintah membekukan tujuh buah bank
bermasalah.
Dalam perkembangan berikutnya, nilai tukar rupiah terus melemah dan
menembus angka Rp10.000,00 per dolar Amerika Serikat. Kondisi seperti itu
semakin diperparah oleh para spekulan valuta asing baik dari dalam maupun
dari luar negeri, sehingga kondisi ekonomi nasional semakin bertambah
buruk. Oleh karena itu, krisis moneter tidak hanya menimbulkan kesulitan
keuangan negara, tetapi juga telah menghancurkan keuangan nasional.
Memasuki tahun anggaran 1998/1999, krisis moneter telah memengaruhi
aktivitas ekonomi yang lainnya. Perusahaan-perusahaan banyak yang tidak
mampu membayar utang luar negerinya yang telah jatuh tempo. Bahkan
banyak terdapat perusahaan yang mengurangi atau menghentikan sama
sekali kegiatannya, akibatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK)
meningkat. Angka pengangguran meningkat, sehingga daya beli dan kualitas
hidup masyarakat pun semakin bertambah rendah. Akibatnya, kesenjangan
ekonomi yang telah terjadi sebelumnya semakin tampak jelas setelah
berlangsungnya krisis ekonomi tersebut.
v Ciri-ciri Demokrasi Pancasila Pada Masa Orde Reformasi
1. Mengutamakan musyawarah mufakat

2.
3.
4.
5.

Mengutamakan kepentingan masyarakat , bangsa dan negara


Tidak memaksakan kehendak pada orang lain
Selalu diliputi oleh semangat kekeluargaan
Adanya rasa tanggung jawab dalam melaksanakan keputusan hasil
musyawarah
6. Dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati yang luhur
7. Keputusan dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Than
Yang Maha Esa, berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan
8. Penegakan kedaulatan rakyar dengan memperdayakan pengawasan
sebagai lembaga negara, lembaga politik dan lembaga swadaya
masyarakat
9. Pembagian secara tegas wewenang kekuasaan lembaga Legislatif,
Eksekutif dan Yudikatif.
10.
Penghormatan kepada beragam asas, cirri, aspirasi dan program
parpol yang memiliki partai
11.
Adanya kebebasan mendirikan partai sebagai aplikasi dari
pelaksanaan hak asasi manusia
v Hari- hari penting pada era reformasi

22 Januari 1998
12 Februari
5 Maret
15 April
2 Mei
4 Mei
12 Mei
13 Mei
14 Mei
15 Mei
17 Mei
18 Mei
19 Mei
20 Mei
21 Mei
22 Mei
10 November 1998

v Orang-Orang Penting yang mempengaruhi pada Era Reformasi


1. Soeharto

Soeharto merupakan presiden kedua Republik Indonesia dan merupakan


presiden dengan masa jabatan terlama, beliau terkenal dengan sistem
pemerintahan masa orde barunya yang akhirnya runtuh pada tahun 1998
dan digantikan dengan sistem pemerintahan masa reformasi yang diikuti
dengan pengunduran diri Soeharto.
1. Mahasiswa
Tak dapat dipungkiri, peran mahasiswa saat itu sangatlah besar dalam
pembentukan sistem pemerintahan reformasi yang manggantikan sistem
pemerintahan pada masa orde baru. Saat itu mahasiswa melakukan unjuk
rasa berskala nasional yang akhirnya diikuti oleh pengunduran diri Soeharto
sebagai presiden dan terlahirnya era reformasi.
1. Presiden Bj Habibie
Usai Presiden Soeharto mengucapkan pidatonya Wakil Presiden B.J. Habibie
langsung diangkat sumpahnya menjadi Presiden RI ketiga dihadapan
pimpinan Mahkamah Agung, peristiwa bersejarah ini disambut dengan haru
biru oleh masyarakat terutama para mahasiswa yang berada di Gedung
DPR/MPR, akhirnya Rezim Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto berakhir
dan Era Reformasi dimulai di bawah pemerintahan B.J. Habibie
1. Presiden Gusdur ( Abdurahman Wahid )
Pada awal tahun 1998 rezim Orde Baru sudah tidak mampu membendung
arus Reformasi yang bergulir begitu cepat. Setelah Presiden Soeharto
mengundurkan diri maka bangsa Indonesia memasuki babak baru. Yang
dimulai dari Presiden BJ.Habibie segera melakukan langkah-langkah
pembaruan sebagaimana tuntutan Reformasi. Yang selanjutnya dilanjutkan
oleh Presiden Abdurrahman Wahid yang menampilkan energi yang luar biasa,
tekad untuk menggulingkan unsur-unsur sentralistis dan hierarkis yang
represif (menindas) semasa pemerintahan Soeharto dan kesediaan untuk
berfikir kreatif sehingga banyak pihak mengaguminya
1. Presiden Megawati Soekarnoputri
Megawati Soekarnoputri adalah Presiden Indonesia yang kelima yang
menjabat sejak 23 Juli 2001 20 Oktober 2004. Ia merupakan presiden
wanita Indonesia pertama dan merupakan anak dari presiden Indonesia
pertama. Megawati juga merupakan ketua umum Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) sejak memisahkan diri dari Partai Demokrasi Indonesia
pada tahun 1999. Pemilu 1999.
1. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

MPR pada periode 19992004 mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945


UUD 1945 sehingga memungkinkan presiden dan wakil presiden dipilih
secara langsung oleh rakyat. Pemilu presiden dua tahap kemudian
dimenanginya dengan 60,9 persen suara pemilih dan terpilih sebagai
presiden. Dia kemudian dicatat sebagai presiden terpilih pertama pilihan
rakyat dan tampil sebagai presiden Indonesia keenam setelah dilantik pada
20 Oktober 2004 bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla
v Keunggulan dan Kekurangan pada Era Reformasi
A. Kelebihan
1.Kebebasan bicara dan berpendapat mulai berjalan;
2. Pemberantasan korupsi sudah mulai berjalan (walaupun masih banyak
kendala);
3. Demokrasi yang lebih terbuka;
4. Persaingan ekonomi yang lebih terbuka dalam beberapa sektor ekonomi
(sebelumnya dikuasai kroni Suharto).
B. Kekurangan
1. Masyarakat yang terlalu bebas, dan mengartikan kebebasan dengan boleh
berbuat sebebas-bebasnya. Akibatnya : banyak demo yang berakhir rusuh,
pilkada yang berakhirrusuh;
2. Kebangkitan ormas-ormas radikal yang meresahkan masyarakat akibat
pemerintah yang tidaktegas;
3. Mulai ditinggalkannya program- program pemerintah yang secara
konseptual cukup baik, seperti program swasembada pangan, yang
sebenarnya dapat mengurangi potensi inflasi tinggi untuk jangka panjang.
v Perbedaan dengan Era Orde Baru
Perbedaan demokrasi era baru dan era reformasi :
Demokrasi era baru

Demokrasi era reformasi

Presiden dipilih dan diangkat oleh MPR

Presiden dipilih langsung oleh rakyat

Sistem partai politik tripartai (PPP, PDI dan


Golkar)

Sistem partai politik multi-partai

GBHN sebagai acuan bagi stratifikasi


politik dan strategi nasional (poltranas)
yang telah disusun oleh MPR

Pidato visi dan misi presiden dan wakil


presiden menjadi acuan bagi stratifikasi
politik dan strategi nasional (poltranas)

Banyak terjadi manipulasi politik dan KKN


yang telah membudaya sehingga
menimbulkan hutang luar negeri yang
tidak sedikit

Pada masa kepemimpinan presiden SBY,


pemberantasan korupsi mulai kelihatan
wujudnya

Kekuasaan presiden begitu dominan baik


dalam suprastruktur politik

Pembagian secara tegas wewenang antar


badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif
sehingga memberi ruang gerak untuk
mengeluarkan pendapat dan berorganisa

Eksploitasi sumber daya pada masa


pemerintahan Soeharto

Mewarisi hutan yang sudah rusak parah

Beras murah padahal sebagian adalah


beras impor

Mengurangi mengimpor beras karena


masih menyisakan hutang luar negeri yan
belum terlunaskan

Pelanggaran HAM kepada masyarakat non


pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)

Telah adanya jaminan HAM di dalam


Undang-Undang

Kebebasan pers sangat terbatas

Media massa menjadi terbuka/lebih bebas

Tidak ada rencana suksesi (pergantian


kepemimpinan)

Ditetapkannya masa jabatan untuk


presiden maksimal 2 kali masa jabatan (1
tahun)

Bertambahnya kesenjangan sosial

Kesenjangan sosial mulai dihilangkan

Mendirikan Puskesmas dan SD Inpres


(Instruksi Presiden)

Pengobatan dan pendidikan sudah gratis

Kesimpulan
Era reformasi ini sangatlah mengancam dikehidupan rakyat kecil pada
saat itu. Namun apa dayanya seorang rakyat kecil yang hanya bisa mengeluh
diantara sesama yang mengalami penderitaan rakyat kecil. Bahan pokok dan
bahan pangan maupun sandang melambung tinggi dikarenakan terjadinya
inflasi dan krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998. Walaupun
mahasiswa salah satu media paling penting untuk mewakili aspirasi rakyat
kecil untuk memprotes penderitaan rakyat kecil. Namun apa dayanya
sekumpulan mahasiswa mendapatkan respon yang sangat tidak baik yaitu
penolakan yang terjadi saat sidang agenda era reformasi.
Namun mahasiswa tidak tinggal diam pada saat itu, mahasiswa menggelar
aksinya secara besar-besaran dari demo, pembakaran pada gedung-gedung,
penjarahan barang-barang di pusat pertokoan. Sebagai mahasiswa pada saat
itu hanya ingin menyampaikan aspirasi semua suara rakyat yang menderita
karena ulah para pejabat. Dan balasannya yaitu yang paling terkejut adalah
terjadi aksi saling dorong mendorong, kejar mengejar, aksi tembakan water
kenen dari pihak kepolisian beserta jajarannya. Yang telah melukai para unjuk

rasa hingga menewaskan beberapa mahasiswa yang terkenal dengan nama


tragedi Trisakti dan di Semanggi.
Banyak mahasiswa, serta rakyat Indonesia hingga pada saat itu melakukan
aksi untuk memberhentikan presiden yang menjabat pada tahun 1998 yaitu
Soeharto. Dimana pada saat menjabat sebagai presiden mengalami berbagai
Pro dan Kontra sehingga mengalami kekacauan yang sangat amat parah
terpuruknya system pemerintahan pada saat itu. Hingga beberapa
kesepakatan kebersamaan dalam keputusan bersama pihak DPR/MPR serta
jajaranya mengambil keputusan tepat untuk mengganti posisi pemerintahan
jatuh ditangan BJ Habibie.
Namun hingga saat itu sebenarnya dengan keputusan yang mantangmantang presiden Soeharto menggundurkan dirinya dari jabatan pemerintah
yang dijabatnya hingga memutuskan untuk meninggalkan kekuasaannya.
Karena banyak yang menilai sudah tidak pantas lagi di Pemerintahan pada
saat itu.

Era Reformasi tahun 1998 Sekarang


Era Reformasi ditandai dengan turun tahtanya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei
1998. Dalam masa pemerintahan Reformasi dari Habibie, Gusdur, Megawati hingga SBY,
nampak jelas arah perubahan yang dinamis dan membaik. Kedudukan eksekutif menjadi
setara dengan lembaga-lembaga lainnya yaitu legislatif dan yudikatif. Eksekutif masih
memiliki kekuasaan penuh karena menganut sistem presidensil, namun tetap diimbangi oleh
lembaga legislatif. Terjadi empat kali amandemen atau perubahan undang-undang dasar 1945
yang menyangkut dwifungsi abri, penegakan HAM dan otonomi daerah. Eksekutif dibantu
oleh jajaran menteri diberi ruang yang cukup besar untuk mengelola negara dan
memaksimalkan upaya mensejahterakan masyarakat dengan regulasi-regulasi yang berdasar
kepada persetujuan DPR.
Lembaga legislatif kini menjadi tiga lembaga yaitu MPR, DPR dan DPD. MPR tidak lagi
menjadi lembaga tinggi negara melainkan setara dengan lembaga lainnya. MPR tidak lagi
merumuskan dan menetapkan GBHN karena GBHN telah dihapuskan, mengikut pada
program eksekutif terpilih. Anggota MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD. MPR sebagai
lembaga legislatif kini tidak lagi memiliki kewenangan super bahkan tidak dapat
menjatuhkan atau mencabut mandat Presiden, karena Presiden bertanggung jawab kepada
rakyat. MPR terlihat eksis salah satunya hanya pada saat pelantikan Presiden dan wakilnya.
DPR sebagai lembaga legislatif di era Reformasi layaknya lembaga tinggi karena segala
sesuatu yang akan dilaksanakan oleh pemerintah baik berupa program, kebijakan, regulasi
yang bersifat politis harus mendapat persetujuan DPR.
Fungsi utama DPR ada tiga, yaitu anggaran, pengawasan dan pembuatan regulasi atau
undang-undang. DPD idealnya merupakan wakil daerah yang menjadi representasi daerah di
Pusat. Namun pada perkembangannya, DPD tidak berfungsi dengan baik, karena menurut
struktur dan pola kerja tiga lembaga negara (lembaga legislatif), DPD lah yang
kedudukannya paling lemah, karena tidak memiliki fungsi strategis, melainkan sepertinya

hanya sebagai peninjau dan pelengkap saja. Anggaran yang dikucurkan kepada DPD
ditengarai banyak diselewengkan untuk kepentingan pribadi. Hal yang aneh mengenai
kedudukan eksekutif dan legislatif di era Reformasi adalah sistem pemerintahan Indonesia
yang sangat dinamis. Sebuah sistem presidensial yang memiliki cita rasa parlementer. Hal ini
karena pada beberapa kasus, parlemen atau DPR seringkali menempatkan dirinya seakanakan dapat menghakimi dan mencabut mandat presiden dengan mosi tidak percayanya. Hal
yang sama sekali tidak masuk akal di dalam sistem presidensial. Kewenangan yang
melampaui batas inilah seringkali membuat hubungan pemerintah dengan parlemen tidak
harmonis.
DPR sebagai lembaga legislatif adalah badan atau lembaga yang berwenang
untuk membuat Undang-Undang dan sebagai kontrol terhadap pemerintahan
atau eksekutif, sedangkan Eksekutif atau Presiden adalah lembaga yang
berwenang untuk menjalankan roda pemerintahan. Dari fungsinya tersebut
maka antara pihak legislatif dan eksekutif dituntut untuk melakukan kerjasama,
apalagi di Indonesia memegang prinsip Pembagian Kekuasaan. Dalam hal ini,
maka tidak boleh ada suatu kekuatan yang mendominasi.
Dalam setiap hubungan kerjasama pasti akan selalu terjadi gesekan-gesekan,
begitu juga dengan hubungan antara eksekutif dan legislatif. Legislatif yang
merupakan wakil dari partai tentunya dalam menjalankan tugasnya tidak jauh
dari kepentingan partai. Begitu juga dengan eksekutif yang meskipun dipilih
langsung oleh rakyat tetapi secara historis presiden memiliki hubungan dengan
partai, presiden sedikit banyak juga pasti mementingkan kepentingan partainya.
Akibatnya konflik yang terjadi dari hubungan eksekutif dan legislatif adalah
konflik kepentingan antar partai yang ada.
Hubungan eksekutif dan legislatif pada masa sebelum amandemen UndangUndang Dasar 1945 atau dengan kata lain pada masa Orde Baru, adalah sangat
baik. Bisa dikatakan demikian karena hampir tidak ada konflik antara Eksekutif
dan Legislatif pada masa itu. Soeharto sebagai pemegang tampuk kekuasaan
pada masa itu menggunakan topangan superioritas lembaga eksekutif terhadap
DPR dan peran dwifungsi ABRI menghasilkan kehidupan politis yang stabil. DPR
yang tentunya sebagian besar dari Fraksi Golongan Karya, selalu manut dengan
apa yang ditentukan oleh Soeharto. Hal ini sangat berbeda dengan masa setelah
Orba, yaitu pada masa reformasi. Legislatif tidak mau lagi hanya berdiam diri,
menuruti segala apa yang dikatakan presiden. Bahkan cenderung kekuatan
legislatif kini semakin kuat. Hal ini bisa dilihat ketika DPR menjatuhkan
impeachment terhadap Gus Dur.
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 mengenai pemilihan eksekutif dalam
hal ini presiden dan wakil presiden dan pemilihan legislatif dalam hal ini anggota
DPR yang telah mengubah pola atau sistem yaitu dengan pemilihan langsung
oleh rakyat. Perubahan sistem pemilihan ini ternyata juga berpengaruh terhadap
relasi atau hubungan antara Presiden dengan anggota DPR itu sendiri. Pengaruh
yang dimaksud disini adalah tentang relasi antara Presiden dan anggota DPR
yang tidak kunjung membaik. Dengan pemilihan dari rakyat langsung, membuat
Presiden dan anggota DPR merasa mempunyai legitimasi ataupun mempunyai
hak bahwa dirinya adalah wakil dari rakyat langsung dan merasa punya
dukungan penuh dari rakyat. Perasaan yang seperti ini, maka bisa jadi

mendorong presiden menjadi kurang bertoleransi dengan kelompok oposisi. Hal


ini membuat keegoisan antara Presiden dan anggota DPR menjadi semakin kuat.
Bertolak dari pandangan Linz dan Cile tentang sistem multipartai dalam sistem
presidensil, maka bisa jadi hubungan yang tidak kunjung membaik antara
presiden dengan legislatif karena sistem tersebut. Linz menyatakan bahwa jika
dalam sistem seperti disebut di atas, maka hubungan antara eksekutif dan
legislatif akan mengalami deadlock. Cile juga berpandapat serupa bahwa
deadlock bisa terjadi dan itu akan menghalangi proses demokrasi.
Hubungan atau relasi presiden dengan anggota DPR, bisa juga disebabkan oleh
sistem presidensil pada pemerintahan Indonesia. Disini dapat dijelaskan bahwa
sistem presidensil yang tidak mengenal adanya mosi tidak percaya, apabila
suatu ketika ada konflik atau masalah dengan legislatif, eksekutif tidak perlu
takut dengan adanya penggulingan kekuasaan, karena DPR tidak bisa
memberikan mosi tidak percaya. Dari sinilah, maka perselisihan antara presiden
dengan anggota DPR bisa terus berlanjut tanpa ada suatu ketakutan eksekutif
akan kekuasaannya.
Hubungan yang tidak sehat antara eksekutif dan legislatif memang selalu terjadi
di setiap pemerintahan. Dulu semasa pemerintahan Orde Baru, ada Sri Bintang
Pamungkas, masa Gus Dur sangat terlihat karena dengan adanya impeachment
terhadap Gus Dur, dan sekarang pada masa SBY-JK, diantaranya adalah
intepelasi DPR terhadap penggantian panglima TNI oleh Presiden SBY, soal impor
beras pada masa SBY, tentang pemilihan Gubernur BI, tentang Iran, dan
sebagainya.
Relasi antara eksekutif dan legislatif pada masa pemerintahan SBY-JK ini patut
dicermati. Hal ini terkait karena pada pemilihan presiden 2004 lalu, SBY-JK
terpilih dari partai kecil dan dukungan minoritas di legislatif (DPR). Presiden SBY
kemudian membentuk kabinet Indonesia Bersatu yang bukan merupakan kabinet
keahlian melainkan kabinet koalisi. Hal ini dilakukan SBY karena dia dan wakilnya
berasal dari partai kecil maka dia berusaha untuk mencegah rongrongan dari
DPR dengan membentuk kabinet koalisi dari partai-partai. Hal ini juga
menimbulkan adanya fenomena dua kaki, yait partai dimana wakilnya
menduduki menteri dalam kabinet Indonesia Bersatu, dan sementara di dalam
DPR, partai ini menjadi partai oposisi.
Kasus SBY-JK dimana mereka terpilih dari partai kecil mengharuskan SBY-JK
menjalin hubungan yang baik dengan DPR. Hal ini disebabkan oleh banyaknya
aspek yang memerlukan kompromi politik dengan DPR, misalnya dalam
penetapan anggaran Bila hubungan tidak berjalan dengan baik, maka sangat
mungkin sering terjadi penolakan-penolakan oleh DPR terhadap pengajuan
anggaran ataupun pengajuan kebijakan ataupun RUU, dan lain-lain. Penolakanpenolakan ini tentunya akan membuat pemerintahan berjalan dengan tidak
efektif.
Menurut penulis, hubungan eksekutif dan legislatif yang tidak menunjukkan
sinyal positif disebabkan oleh keegoisan di masing-masing pihak dimana mereka
sama-sama merasa mempunyai legitimasi yang kuat karena dipilih langsung
oleh rakyat. Hal ini seharusnya tidak boleh terjadi. Seharusnya eksekutif dan
legislatif selalu bekerjasama dimana yang satu menjadi pelaksana dan yang satu
menjadi kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan. Hal ini tentunya akan lebih baik
dibandingkan hubungan yang saling menjatuhkan dan ujungnya sebenarnya

tidak berpihak kepada rakyat hanya kepentingan kelompok masing-masing saja.


Namun, terlepas dari itu semua, hubungan antara eksekutif dan legislatif ini
memang sedang mencari jati dirinya karena kita semua sedang belajar tentang
demokrasi.

Sistem Politik adalah berbagai macam kegiatan dan proses dari struktur dan fungsi
yang bekerja dalam suatu unit atau kesatuan (masyarakat/negara) atau dengan kata lain sistem
politik juga berarti mekanisme seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur politik dalam
hubungan satu sama lain yang menunjukan suatu proses yang langsung memandang dimensi
waktu (melampaui masa kini dan masa yang akan datang).
Seperti yang kita ketahui sendiri bahwa Indonesia telah banyak menganut sistem
politik misalnya : sistem politik pada masa pemerintahan orde lama, orde baru dan pada masa
era reformasi. Saat ini kita akan membahas tentang sistem politik pada masa era reformasi.
Sistem Politik Pada Era Reformasi
Sistem politik pada era reformasi biasa diuraikan sebagai berikut :
Penyaluran tuntutan tinggi dan terpenuhi

Pemeliharaan nilai Penghormatan HAM tinggi

Kapabilitas disesuaikan dengan Otonomi daerah

Integrasi vertikal dua arah, atas bawah dan bawah atas

Integrasi horizontal nampak, muncul kebebasan (euforia)

Gaya politik pragmatic

Kepemimpinan sipil, purnawiranan, politisi

Partisipasi massa tinggi

Keterlibatan militer dibatasi

Aparat negara harus loyal kepada negara bukan pemerintah

Stabilitas instabil
Era Reformasi atau Era Pasca Soeharto di Indonesia disebabkan karena tumbangnya
orde baru sehingga membuka peluang terjadinya reformasi politik di Indonesia pada
pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998
karena adanya wacana suksesi yang sengaja dibuat oleh Amien Rais untuk menjatuhkan
rezim Soeharto dimana didalamnya terdapat tuntutan untuk melakukan reformasi dan juga
desakan dari parlemen beserta mendurnya beberapa menteri dari kabinet saat itu. sehingga
bangsa Indonesia bersepakat untuk sekali lagi melakukan demokratisasi, yakni proses
pendemokrasian sistem politik Indonesia dimana kebebasan rakyat terbentuk, kedaulatan
rakyat dapat ditegakkan, dan pengawasan terhadap lembaga eksekutif dapat dilakukan oleh
lembaga wakil rakyat (DPR).
Setelah Soeharto mundur maka BJ. Habibie kemudian dilantik sebagai presiden
menggantikan presiden Soeharto dan segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu hal yang

dilakukan oleh Habiebie saat itu adalah mepersiapkan pemilu dan melakukan beberapa
langkah penting dalam demokratisasi, seperti : mengesahkan UU partai politik, UU susunan
dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Dan hal yang dilakukan oleh Presiden Habibie yang
lain adalah pengahapusan dwifungsi ABRI sehingga fungsi sosial-politik ABRI dihilangkan.
Demokrasi di masa pemerintahan BJ. Habibie amat sangat terbuka luas, namun
demokrasi yang ditawarkan oleh presiden Habibie ini membuat masyarakat Indonesia bebas
untuk melakukan apapun dalam halnya berbicara, bertindak dan melakukan kreativitas yang
menunjang untuk dirinya sendiri, masyarakat serta bangsa dan negara. Sehingga masyarakat
Timor Leste seakan mendapatkan kebebasan untuk memerdekakan tanah mereka yang selama
ini hanya dimanfaatkan oleh Soeharto dalam masa orde baru. Hal ini dikarenakan pada masa
orde baru tidak melakukan pembangunan apapun di tanah Timor Leste setelah hasil kekayaan
mereka dimanfaatkan oleh pusat sehingga memunculkan rasa ketidakadilan masyarakat
Timor Leste.
Penyebab ini yang akhirnya mengakibatkan rakyat Timor Leste menginginkan untuk
lepas dari NKRI. B.J Habibie selaku kepala negara saat itu mengadakan jajak pendapat untuk
kebaikan kedua belah pihak. Timor Leste akhirnya lepas dari pangkuan ibu pertiwi. dan
Seharusnya Pemeritah melakukan terlebih dahulu Pembangunan nilai demokrasi yang diawali
dari pemerintahan saat itu guna menjaga dan mensosialisasikan nilai demokrasi sebenarnya
dan menggunakannya dengan benar.
Setelah masa Pemerintahan dari Bj.Habibie maka masuklah pasangan Terpilih duet
Abdurrahman Wahid-Megawati secara legalitas formal telah lahir periode baru dalam sejarah
perjalanan bangsa Indonesia. Era Orde Baru telah dinyatakan berakhir dan digantikan Orde
Reformasi. Hadirnya Orde Reformasi seperti halnya awal-awal kebangkitan Orde Lama dan
Orde Baru rakyat menaruh harapan besar bahwa Orde Reformasi dapat mewujudkan
masyarakat
adil
dan
makmur.
Pasangan Gus Dur-Megawati sebenarnya dinilai ideal dilihat dari aspek wawasan. Gus Dur
adalah seorang santri tradisional yang memiliki wawasan kebangsaan yang tidak diragukan,
sementara Megawati adalah seorang nasionalis yang juga memiliki wawasan Islam modern.
Duet Gus Dur-Megawati lalu membentuk Kabinet Persatuan Nasional yang dilantik tanggal
28 Oktober 1999. Terlepas dari adanya kekecewaan karena dihapuskannya Departemen
Penerangan dan Departemen Sosial, cabinet ini mendapat dukungan dari berbagai kalangan.
Dalam menjalankan pemerintahan, Abdurrahman Wahid mangalami banyak persoalan pada
masa Orde Baru. Persoalan yang sangat menonjol adalah masalah korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN), pemulihan ekonomi, masalah BPPN, kinerja BUMN, pengendalian inflasi,
mempertahankan kurs rupiah, masalah jarinagn pengaman social (JPS), munculnya masalah
disintegrasikan, konflik etnis dasar umat beragama, penegakan hokum dan penegakan hak
asasi manusia (HAM).
Belum genap 100 hari berkuasa dan belum tuntasnya penyelesaian persoalanpersoalan peninggalan Orde Baru, pemerintahan Gus Dur dihadapan pada persoalanpersoalan kebijakannya yang dinilai banyak kalangan sangat controversial. Kebijakannya
antara lain:

1. Pencopotan Kapolri Jendral Pol. Roesmanhadi yang dianggap sebagai orangnya Habibie.
2. Pencopotan Kapuspen Hankam Mayjen TNI Sudrajat yang dilatari oleh pernyataannya
bahwa Presiden bukan Pangganti TNI. Penggantinya adalah Marsekal Muda TNI Graito.
Penggantian ini cukup mengagetkan karena diambilkan dari TNI AU, yang selama 32 tahun
terakhir tidak pernah mndapatkan jabatan strategis di jajaran TNI.
3. Pencopotan Wiranto sebagai Menko Polkan dilatarbelakangi oleh hubungan yang tidak
harmonis antara Wiranto dan Gus Dur arena Gus Dur mengijinkan dibentuknya Komisi
Penyelidik Penyelanggara (KPP) HAM di Timor Timur
4. Mengeluarkan pengumuman tantang adanya menteri-menteri Kabinet Persatuan Nasional
yang terlibat KKN. Pengumuman ini sangat mempengaruhi kinerja kabinet. Tampak beberapa
menteri merasa sulit melakukan koordinasi di antaranya Laksamana SDukardi dan Kwik
Kian Gie. Mereka kesulitan melakukan koordinasi dengan Memperindag Jusuf Kalla yang
menghadapi tudingan KKN.
5. Gus Dur menyetujui nama Papua sebagai ganti Irian Jaya pada akhir Desember 1999. Gus
Dur bahkan menyetujui pula pengibaran bendera Bintang Kejora sebagai bendera Papua. Atas
kebijakan yang menguntukan ini, Dewan Presidium Papua yang diketuai oleh Theys Hiyo
Eluay menyelenggarakan Kongres Rakyat Papua (Mei-Juni 2000)dan menetapakn tanggal 1
Desember (hari berakhirnya pendudukan Belanda 1962) menjadi hari kemerdekaan Papua
Barat.
Selain penilaian bahwa kebijakan Gus Dur Kontroversial, berkembang pula pendapat
bahwa kebijakan Gus Dur dianggap berjalan sendiri tanpa mau menaati aturan
ketatanegaraan, termasuk di dalamnya urusan protokoler. Segala persoalan diselesaikan Gus
Dur berdasarkan bisikan kerabat dekatnya, bukan menurut aturan konstitusi negara. Dalam
suasana sikap pro dan kontra masyarakat atas kepemimpinan Gus Dur, muncul kasus
Bruneigate. Meskipun tidak terbukti melalui pengadilan, skandal Bruneigate mengakibatkan
kredibilitas rakyat terhadap Gus Dur semakin turun drastis. Ketua MPR, Amien Rais yang
dulu sangat bersemangat mendukung Gus Dur berbalik arah. Skandal Bruneigate dan
pengangkatan wakil Kapolri, Kamjen (Pol) Chaeruddin menjadi pemangku sementara jabatan
kepala Polri tanpa persetujuan DPR RI telah memicu konflik antara pihak eksekutif dan
legislatif. Puncak kekecewaan DPR terbukti dengan dikeluarkannya Memorandum I buat
Presiden Gus Dur pada tanggal 1 Februari 2001 yang disusul Memorandum II pada tanggal
30 April 2001. Presiden Gus Dur memang terkenal dengan sikapnya yang controversial,
bukan dating memberi laporan pertanggungjawaban , melainkan pada pukul 01.05 WIB
mengeluarkan Maklumat Presiden yang isinya antara lain membekukan lembaga MPR dan
DPR.
Pada saat yang sama MPR melalui ketua Amien Rais secara tegas menolak dekrit
yang dibuat Presiden Gus Dur. Langkah yang diambil Gus Dur menjadikan dirinya semakin
tidak popular dan mempercepat proses kejatuhannya dari kursi kepresidenan. Apalagi
ternyata dekrit tersebut tidak mendapat dukungan dari TNI dan Polri.
Puncak jatuhnya Gus Dur dari kursi kepresidenan terjadi ketika MPR atas usulan DPR
mempercepat Sidang Istimewa MPR. MPR menilai Presiden Gus Dur telah melanggar Tap

No. VII/MPR/2000, karena menetapkan Komjen (Pol) Chaeruddin sebagai pemangku


sementara jabatan Kapolri.
Kemudian Melalui Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001, Megawati secara resmi
diumumkan menjadi Presiden Indonesia ke-5. Meski ekonomi Indonesia mengalami banyak
perbaikan, seperti nilai mata tukar rupiah yang lebih stabil, namun Indonesia pada masa
pemerintahannya tetap tidak menunjukkan perubahan yang berarti dalam bidang-bidang lain.
Popularitas Megawati yang awalnya tinggi di mata masyarakat Indonesia, menurun seiring
dengan waktu. Hal ini ditambah dengan sikapnya yang jarang berkomunikasi dengan
masyarakat sehingga mungkin membuatnya dianggap sebagai pemimpin yang 'dingin'. Sejak
kenaikan Megawati sebagai presiden, aktivitas terorisme di Indonesia meningkat tajam,
beberapa peledakan bom terjadi yang menyebabkan sentimen negatif terhadap Indonesia dari
kancah internasional.
Setelah masa pemerintahan Megawati berakhir Indonesia menyelenggarakan kembali
pemilu presiden secara langsung pertamanya.
Megawati menyatakan pemerintahannya berhasil dalam memulihkan ekonomi Indonesia, dan
pada 2004, maju ke Pemilu 2004 dengan harapan untuk terpilih kembali sebagai Presiden.
Ujian berat dihadapi Megawati untuk membuktikan bahwa dirinya masih bisa diterima
mayoritas penduduk Indonesia. Dalam kampanye, seorang calon dari partai baru bernama
Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, muncul sebagai saingan Megawati.
Partai Demokrat yang sebelumnya kurang dikenal, menarik perhatian masyarakat
dengan pimpinannya, Yudhoyono, yang karismatik dan menjanjikan perubahan kepada
Indonesia. Pemilihan putaran pertama menyisihkan kandidat lainnya sehingga yang tersisa
tinggal Megawati dan SBY. dan yang memenangkan pemilu untuk periode 2004-2009 adalah
SBY, kemudian untuk periode 2009- hingga sekarang pemerintahan juga masih dipegang oleh
SBY dan partainya Demokrat.

Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_(1998-sekarang)
http://estuputri.wordpress.com/2010/05/26/pengertian-sistem-politik/
Budiardjo Miriam. 2009. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Rahman A. H.I. 2007. Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta ; Graha Ilmu
Diposkan oleh Putri Eka Sari di 09.26

Anda mungkin juga menyukai