Anda di halaman 1dari 20

DAFTAR ISI

BAB I.............................................................................................................................3
PENDAHULUAN.........................................................................................................3
1.1. Latar Belakang................................................................................................3
1.2. Rumusan Masalah...........................................................................................6
1.3. Tujuan.............................................................................................................6
BAB II...........................................................................................................................6
PEMBAHASAN............................................................................................................6
2.1. SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA PADA MASA PENJAJAHAN
KOLONIAL HINDIA BELANDA............................................................................6
2.2. Periode pemerintahan itu dibagi menjadi tiga yakni Orde Lama, Orde Baru dan
Reformasi.................................................................................................................15
BAB III........................................................................................................................19
PENUTUP...................................................................................................................19
3.1. Kesimpulan...................................................................................................19
3.2. Saran.............................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................20
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pada periode kolonial, pemerintah kolonial Hindia Belanda berhasil
menegakkan tata pemerintahan baru di wilayah jajahan di pulau Jawa. Pemerintah
Hindia Belanda menjalankan sistem “pemerintahan tidak langsung” (indirect rule)
dengan tujuan memanfaatkan tata pemerintahan negara yang efektif untuk
mempertahankan hegemoni dan tata tenteram masyarakatnya (rust en orde).
Karena itu, pemerintah kolonial Hindia Belanda tetap mempertahankan otoritas
tradisional, yang telah ditaklukkan dan dikuasainya itu, untuk memberikan
kesempatan kepada para penguasa lokal tradisional tetap memerintah di
daerahnya masing-masing. Dengan demikian, pemerintah kolonial Hindia
Belanda mempertahankan formasi tata kuasa pemerintahan tetap berada dalam
pengawasan dan pengelolaan administrator birokrasi, yang kedudukannya
didominasi oleh golongan aristokrat.
Masa era orde lama (Orla) disebut dengan masa demokrasi terpimpin. Pada
perspektif ketatanegaraan masa ini di awali dengan dekrit presiden 5 Juli 1959
yang mengakhiri kemelut dan ketidakpastian ketatanegaraan. Dengan kembali
berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 menandai kembalinya era pemerintahan
presidensial dengan kewenangan besar ada di tangan presiden. Secara normative,
pengelolaan pemerintahan daerah di atur berdasarkan produk yang dibuat pada
masa tersebut, yaitu Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 tahun 1959 dan
nomor 5 tahun 1960. Bahwa Penpres adalah produk hokum yang secara
kelembagaan tidak ada dalam UUD 1945
Pada masa pemerintahan Orde Baru (Orba) pengelolaan pemerintahan daerah
yang dahulunya memakai pola sentralistik diganti. Pendulum otonomi daerah
bergerak kembali, ditandai dengan berlakunya Undang-Undang baru yaitu
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-poko pemerintahan daerah.
Undang-Undang ini keinginannya adalah mengelola pemerintahan daerah dnegan
mendasarkan diri atas hal obyektif di daerah Orde Baru adalah tatanan seluruh
perikehidupan rakyat, bangsa dan Negara Republik Indonesia yang diletakkan
kepada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945. Orde Baru merupakan
suatu reaksi dan koreksi prinsipil terhadap praktik-praktik penyelewengan yang
telah terjadi pada masa lampau, yanglazim disebut zamanOrde Lama.
PengertianOrde Baru yang terpenting adalah suatu Orde yang mempunyai sikap
dan tekad mental dan itikad baik yang mendalam untuk mengabdi kepada rakyat,
mengabdi kepada kepentingan nasional
yang dilandasi falsafah Pancasila dan yang menjunjung tinggi azas dan
UndangUndangDasar1945.
Pemerintahan Orde Baru dimulai sejak tahun 1966 – 1998, dengan adanya
Surat Perintah Sebelas Maret, yang kemudian disalahartikan sebagai
suratpemindahan kekuasaan. Pada tanggal 27 Maret 1968, Soeharto diangkat
sebagai presiden hal ini berdasarkan Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968,
sampai hasil pemilu ditetapkan pada tanggal 10 Maret 1983, beliau mendapat
penghargaansebagai Bapak Pembangunan Nasional.
Tata Kelola Pemerintahan dan Reformasi Birokrasi di Indonesia telah
dicanangkan sejak Era Reformasi, tetapi mengalami kelambatan, sehingga
dicanangkan kembali pada tahun 2004 sebagai reformasi gelombang II. Namun
Grand Desain Reformasi Birokrasi (GDRB) baru dibuat pada tahun 2010 dan
diharapkan berhasil sampai tahun 2025. Sedangkan road map-nya telah dibuat
untuk setiap lima tahun sekali. Untuk periode pertama, dicanangkan tahun 2010-
2014 (pemerintahan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono). Seperti yang kita
ketahui tahun 2014 hampir habis, pemerintahan SBY pun akan segera turun
namun perubahan perilaku birokrasi (reformasi birokrasi) belum menunjukan
perubah ke arah yang lebih baik. Yang ada hanyalah semakin banyak ditemukan
para pejabat yang tersandung kasus korupsi, dan pelayanan kepada masyarakat,
baik di pusat maupun daerah masih belum menunjukkan kinerja yang optimal,
meskipun pemekaran wilayah (desentralisasi) telah direalisasikan.
Dan semakin banyak aturan-aturan yang bertumpang tindih yang
mengakibatkan berbelit-belitnya birokrasi di Negara kita ini. Salah satu
contohnya adalah yang terjadi di kementrian agama ; untuk mengurus surat nikah
saja sangat susah dan berbelit-belit, dan juga masalah di pemberangkatan haji atau
umroh juga sangat rawan sekali dengan tindakan pidana korupsi yang dilakukan
oleh oknum kementrian. Program-program pencapain reformasi birokrasi telah
disediakan, aturan-aturan dan standar kinerja pun telah ditetapkan, namun masih
banyak ditemukan pemerintahan di daerah maupun pusat yang belum mampu
mewujudkannya dengan baik. Oleh karena itu lewat tulisan ini saya ingin
mengungkapkan mengapa reformasi birokrasi diperlukan, faktor-faktor apa yang
menjadi penghambat reformasi birokrasi dan beberapa hal yang berkaitan
dengan : a) Penataan Penguatan Organisasi, Penguatan fungsi pengawasan dan
Peran Lembaga Perwakilan; b) Penataan Peraturan Perundang-Undangan dan
Kemandirian Lembaga Peradilan; c) Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur,
Aparatur Pemerintah yang Profesional dan Penuh Integritas dalam pelayanan
publik; dan d) Masyarakat Madani yang Kuat dan Partisipatif.

1.2. Rumusan Masalah


a. Bagaimana bentuk tata kelola pemerintahan pada masa kolonial?
b. Bagaimana bentuk tata kelola pemerintaan pada masa orde lama?
c. Bagaimana bentuk tata kelola pemerintahan pada masa orde baru?
d. Bagaimana bentuk tata kelola pemerintahan pada masa orde reformasi?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana tata kelola pemerintahan pada masa kolonial.
2. Untuk mengetahui bagaimana tata kelola pemerintahan pada masa orde lama.
3. Untuk mengetahui bagaimana tata kelola pemerintahan pada masa orde baru.
4. Untuk mengetahui bagaimana tata kelola pemerintahan pada masa orde
reformasi.
5.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA PADA MASA PENJAJAHAN


KOLONIAL HINDIA BELANDA
Menurut ketentuan dalam pasal 62 ayat 2 undang-undang Dasar nedherland,
pemerintahan umum di Hindia Belanda dilakukan oleh gubernur jendral atas nama
raja. Pemerintahan dilaksanakan sesua dengan Indese Staatsregeling dengan
memperhatikan petunjuk-petunjuk raja. Gubernur jendral diangkat dan di
berhentikan oleh raja, sedang kepada mentri mengurusi urusan daerah jajahan
(minister van kolonien). Di masa pemerintahan kolonial belanda saat itu, terdapat 3
lembaga pemerintahnnya :

A. Bidang perundang-perundangan (wetgeving )/ legislatif

Dalam hal perundang-undang gubernur jendral membuat perjanjian-


perjanjian dengan raja-raja dan rakyat Indonesia . Berdasarkan ketentuan
pasal 81-100 I.S. hal-hal yang di tetapkan dalam perundang-undanagn tersebut
antara lain :

1. Regeringsverordeningen (peraturan pemerintahan ) berisi tentang peraturan


umum untuk melaksanakan undang-undang bila penetapannya ditugaskan
kepadanya. Dalam Regeringsverordeningen dapat diadakan ancaman
pidana pada pelanggarnya. Contohnya seperti hukuman kurungan selama 3
tahun, penyitaan barang-barang tertentu dan denda setinggi-tingginya lima
ratus rupiah.
2. Ordonansi , bisi tentang :

Hal-hal mengenai urusan-urusan di Hindia Belanda yang tidak tertulis


dalam undang-undang dasar, indise staatregeling atau wet-wet. Hal-hal
yang menurut A.M.V.B harus di atur dalam ordonansi

3. Ordonansi tentang hal-hal yang harus di atur dengan A.M.V.B dan wet-
wet, selama peraturan itu belum diadakan, atau untuk menyatakan tidak
berlaku lagiatau untuk mengubah suatu wet atau A.M.V.B untuk seluruh
Indonesia atau untuk sebagian,satu dan lain hanya dalam keaadanyang
mendesak,dengan di kuatkan kemudian oleh wet atau A.M.V.B

a. Bidang pelaksanaan (uitvoering ) /eksekutif

1) Sistem Pemerintahan

Sebelum tahun 1900 (sebelum sistem politik Etis) sistem


pemerintahan untuk daerah jajahan (Hindia Belanda) masih bersifat
sentralistis. Dimana:

Tidak ada partisipasi dari perangkat lokal segala sesuatu diatur oleh
pemerintah pusat.

Tidak ada sama sekali otonomi untuk mengatur sendiri rumah


tangga daerah sesuai dengan kepentingan daerah.

Tujuan di terapkannya sentralisasi

 Sentralisasi dipandang sebagai cara terbaik oleh pemerintah


Belanda untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Oleh
karena itu, dengan sentralisasi Belanda dapat mempertahankan
tanah jajahannya.
 Sentralisasi sebagai bentuk ketakutan Belanda untuk kehilangan
tanah jajahannya sebagai “daerah keuntungan”

 Bagi Belanda “kehilangan Indonesia berarti sebuah malapetaka”.

Pada perkembangannya muncul tuntutan adanya desentralisasi sejak


tahun 1854 dimana parlemen Belanda berhak mengawasi pelaksanaan
pemerintahan di Hindia Belanda. Desentralisasi adalah pembagian
wewenang atau urusan penyelenggaraan pemerintahan Tuntutan tersebut
secara perlahan terwujud diawali dengan adanya desentralisasi keuangan
(1903), kemudian baru adanya pemerintahan daerah baru (1922).
Berdasarkan Undang-undang Perubahan tahun 1922 Hindia Belanda
dibagi dalam provinsi dan wilayah (gewest)

1. Provinsi

Provinsi memiliki otonomi.Tiap provinsi dikepalai oleh seorang


gubernur. Ada 3 provinsi yaitu Jawa Barat (1926),Jawa Timur
(1929), dan Jawa Tengah(1930).

2. Gewest (wilayah)

Gewest tidak memiliki otonomi. Sampai tahun 1938 Hindia Belanda


terbagi menjadi 8 gewest yang terdiri dari:

3 Provinsi : Jawa Barat,Jawa Timur, dan Jawa Tengah.

5 Gewesten : Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Gewest


Sumatera, Gewest Kalimantan (Borneo), Gewest Timur Besar (Grote
Oost) yang terdiri dari Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku,
dan Irian Barat.

Untuk Surakarta dan Yogyakarta termasuk Gubernemen yaitu


wilayah yang langsung diperintah oleh pejabat-pejabat gubernemen.
Dengan adanya keinginan desentralisasi maka Belanda membutuhkan
orang-orang pribumi bukan hanya sebagai penguasaan daerah tetapi
juga untuk mengerjakan keperluan administrasi pemerintah. Belanda
juga membutuhkan tenaga terlatih (tenaga kesehatan, kehutanan,
kemiliteran, kepolisian). Orang-orang pribumi tersebut akan
dijadikan pelaksana, pelayan pemerintah, serta perantara antara
Belanda dan penguasa daerah. Tetapi untuk dapat bekerja di
pemerintah maka mereka harus sekolah. Keinginan desentralisasi
menyebabkan adanya desentralisasi antara negara induk (Belanda)
dengan Hindia Belanda, antara pemerintah Batavia dengan daerah,
dan antara Belanda dengan pribumi.Dengan adanya keinginan
desentralisasi tersebut maka memerlukan adanya daerah otonom.
Akibat adanya desentralisasi:

 Munculnya kebebasan yang semakin besar dari penguasa kolonial.

 Memunculkan proses Indonesianisasi (sistem kepengurusan


Indonesia, sejauh mungkin dilakusanakan oleh orang Indonesia.
Hingga lahirlah Volksraad (Dewan Rakyat).

Struktur Birokrasi Pemerintah Kolonial

Pemerintah VOC:

1. Gubernur Jenderal

Merupakan penguasa tertinggi di Hindia. Kekuasaannya menjadi


sangat tak terbatas karena ada undang-undang yang khusus
mengatur hak-hak dan kewajibannya.

2. Raad van Indie (Dewan Hindia)


Merupakan pendampingan gubernur jenderal dalam melaksanakan
pemerintahannya. (terdiri dari 6 orang anggota dan 2 orang anggota
luar biasa dimana gubernur jenderal merangkap sebagai ketua).
VOC lebih banyak melakukan pemerintahan tidak langsung,
dimana kaum bumiputera tidak terlibat dalam struktur
kepegawaian VOC. Meskipun terkadang mereka terlibat dalam
pemerintahan tetapi stasus mereka bukan pegawai VOC dan tidak
digaji secara tetap. Mereka hanya mitra dalam bekerja demi
kepentingan VOC. Setelah VOC bubar maka pemerintahan
Indonesia di pegang oleh pemerintah Belanda.Belanda lebih
cenderung melakukan kolonialisme (negara menguasai rakyat dan
sumber daya negara lainnya/pendudukan suatu wilayah oleh suatu
negara lain dimana daerah koloni masih berhubungan dengan
negara induk dan memberi upekti kepadanya.

Pemerintahan Kolonial :

a) Gubernur Jenderal didampingi oleh Raad van Indie (beranggota 4


orang) yang disebut sebagai Pemerintah Agung di Hindia Belanda.

b) Dibantu oleh :

 Sekretaris Umum (Generale Secretarie) untuk membantu


Commisaris General

 Sekretaris Pemerintah (Gouvernement Secretarie) untuk


membantu Gubernur Jenderal.

Pada tahun 1819 keduanya diganti oleh Algemene Secretarie


yang bertugas membantu Gubernur Jenderal (terutama memberikan
pertimbangan keputusan).Pemerintahan kolonial pada dasarnya sama
dengan masa VOC perbedaanya terletak pada:
a. Kewenangan gubernur jenderal.

VOC :tidak ada aturan khusus yang mengatur kewenangan gubernur


jenderal

Hindia Belanda : terdapat peraturan yang mengatur kewenangan


gubernur jenderal yang tertuang dalam Regeering Reglement (RR)

b. Laporan Peranggungjawaban.

VOC : Gubernur Jenderal memberikan laporan pada Heeren XVII

Hindia Belanda : bertanggungjawab langsung pada raja melalui


menteri jajahan.

Menurut Undang-undang Hindia Belanda sebagai bagian kerajaan


Belanda, maka:

1. Pemerintahan tertinggi berada di tangan Raja yang dilaksanakan


oleh menteri jajahan atas nama raja. Bertanggung jawab pada
Parlemen Belanda (staten general).

2. Pemerintahan Umum diselenggarakan oleh Gubernur Jenderal


atas nama Raja yang dalam prakteknya atas nama menteri
jajahan.

3. Raja bertugas : Mengawasi pelaksanaan/ penyelenggaraan


pemerintahan Gubernur Jenderal

Pengangkatan pejabat penting, memberikan petunjuk kepada Gubernur


Jenderal dalam mengambil keputusan apabila terjadi perselisihan antara
Gubernur jenderal dengan Dewan Hindia Belanda. Urusan dalam negeri
Hindia Belanda diserahkan pada Gubernur Jenderal dan Dewan Rakyat.
Hindia Belanda disubordinasikan kepada kerajaan Belanda di Eropa
tetapi diberi otonomi yang cukup luas. Pemerintah Belanda yang
mengurus Indonesia adalah kementrian Jajahan yang kemudian pada
perkembangannya diubah namanya menjadi kementrian urusan seberang
lautan. Pemegang pemerintahan atas wilayah Indonesia adalah Gubernur
Jenderal. Dia adalah pemegang kekuasan tertinggi. Dia menguasai
kerajaan-kerajaan dan meminta mereka bekerja sama, sehingga peran
raja tidak dapat lagi memerintah secara turun temurun tetapi
dikendalikan Belanda. Kerajaan harus menyesuaikan dengan sistem
pemerintahan Belanda. Gubernur jendral adalah kepala kekuasaan
eksekutif yang kerjanya meliputi :

 mengatur tugas dan kewajiban para kepala departemen

 mengangkat dan memberhentikan para pejabat, kecuali yang tidak


tertulis dalam undang-undang

 menjalani tugas sebagai panglima angkatan tertinggi angkatan darat


dan laut.

 Mengangkat komandan angkatan darat dan laut sekaligus


pemberian pangkat perwira tinggi dan pemberhentian perwira
tinggi yang di lakukan oleh raja.

 Mengatur gaji dan soldy, sepanjang tidak di atur oleh raja.

 Berwenang memberi dispensasi dalam hal-hal yang di atur dalam


perundang-undangan umum.

Sesudah pemulihan pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1816,


Gubernur Jenderal mempunyai sekretariat sendiri, yang di sebut
“algemene secretaris “ (sejenis sekretariat negara sekarang ) kemudian
sekretariat tersebut di spesialisasikan yang di sebut dengan “raad van
Financien “(dewan keuangan ) yang terdiri dari presiden dan raden, suatu
raad van financien terdiri dari seorang hofd,directur dan 4 raden serta
seorang sekretaris. Pembagian ini di lakukan sebab inspekturnya cepat
ampur tangan dalam kerja lapangan. Pada tanggal 6 februari 1855
general directive van vinancien di tiadakan, sehingga urusan semua
pemerintahan sipil umum di Hindia Belanda saat itu di tugaskan pada 4
Directure, yaitu :

a. Directeur van binnenlandsch bestuur (directur pemerintahan dalam


negeri)

b. Directeur van onderwijs (pengajaran )

c. Directeur van burgerlijke openbare werken (departemen pekerjaan


umum )

d. Directeur van financien (directur keuangan )

Pada tanggal 9 April 1869 di lakukan penambahan directeur van


justitie (direktur kehakiman ). Susunan dalam departemen menjadi
penting pula terutama sesudah mulai berlakunya “de indische
comptabiliteitswet “ paa tahun 1864, yang mewajibkan pemerintah untuk
bekerja sesuai dengan anggran negara. Tiap-tiap departemen bertanggung
jawab penuh dengan keuangan masing-masing kepada Algemene
rekenkamer (sejanis badan pemeriksa keuanagn sekarang ). Susunan
departemen itu sendirinya akan slalu mengalami perubahan, apabila
keadaan menghendakinya.akhirnya, pada tahun 1907, jumah departemen
di tanbah yaitu “ departemnen van landbouw, nijverheid en handel “
(departemen pertanian, kerajinan dan peragangan). Susunan departemen
yang terakhir pada tahun 1942, yaitu di bagi menjadi 8 divisi :

a. Departement van justitie (departemenkehakiman)


b. Departement van Financien (departemen keuangan )

c. Departement van binnenslandsch bestuur (departemen pemerintahan


dalam negri )

d. Departemen van onderwijs en eeredienst (departemen pemdidikan


dan kebudayaan )

e. Departement van verkeer en waterstaat (departemen )

f. Departement van economicshe zaken (departemen urusan ekonomi )

Selain 6 departemen sipil, terdapat 2 departemen militer :

 Departemen angkatan perang (Oorlog)

 Departemen angkatan laut (Marine)

Tahun 1903 diberlakukan Undang-undang Desentralisasi dimana


dengan Undang-undang tersebut dibentuklah Dewan Lokal yang memiliki
otonomi. Dengan adanya dewan lokal maka pemerintah lokal perlu
dibentuk dan disesuaikan. Maka terbentuklah: Provinsi, kabupaten,
kotamadya, dan kecamatan serta desa. Meskipun ada upaya untuk
modernisasi struktur birokrasi tetapi tetap saja masih mempertahankan
beberapa bagian struktur politik sebelumnya. Hal ini dilakukan demi
kepentingan praktis dan untuk mempertahankan loyalitas, khususnya
loyalitas elit bumi putra.Untuk jabatan teritorial diatas tingkat kabupaten
dipegang oleh orang-orang Belanda/ Eropa.

Pada perkembangannya, karena semakin luas Hindia Belanda maka


dibutuhkan tenaga kerja untuk mengelola administrasi negara semakin
meningkat. Sehingga ada pendamping pejabat teritorial yang disebut
pejabat non teritorial yang setingkat kabupaten (asisten residen),
kawedanan (asisten wedono).

 Bidang pengadilan (rechtspraak ) /yudikatif

Dalam bidang peradilan , seorang gubernur jendral apbila sudah


mendengar pertimbangan hooggerechtshof, dia berwenang untuk
memberi grasi pada pidana yang terlibat dalam pengadilan. Dalam hal
ini, hukumn mati tidak dilkasanakan, jika grasi di berikan oleh
gubernur jendral

Sepanjang mengenai raja-raja atau kepala-kepala daerah yang ada di


Indonesia, persetujuan dari rad van nedherlannds indie, dapat memberi
amnesti dan abolisi. Izin dari gubernur jendral ini di perlukan untuk
mengjukan tuntutan perdata atau tuntutan pidana pada raja-raja atau
kepal daerah Indonesia ang di sebut dalam ordonasi. Perselisihan
mengenai wewenang antara kekuasaan yudikatif dengan administratif
, antara sipil dengan militer, antara pengadilan biasa dengan agama di
putuskan oleh gubernur jendral dengan persetujuan raad van
nedherlands Indie. Mengenai urusan justisi, deandels mendirikan
mahkamah agung di Jakarta dan pengdilan tinggi di semarang dan
surabaya, demikian pula pengdilan tinggio istimewa di jakarta.

2.2. Periode pemerintahan itu dibagi menjadi tiga yakni Orde Lama, Orde Baru
dan Reformasi.

1. Orde Lama

Pada masa Orde Lama sistem pemerintahan yang digunakan adalah sistem
presidensial. Era ini berlangsung dari tahun 1945-1966 dibawah kepemimpinan
Presiden Soekarno. Dikutip dari buku Sistem Pemerintahan Presidensial Indonesia
dari Soekarno ke Jokowi (2018) karya Diana Fawzia Dkk, pada sistem ini hubungan
kekuasaan antara presiden dan legislatif adalah hubungan yang saling kontrol atau
checks and balances. Fungsi saling kontrol ini terletak pada perimbangan kekuasaan
dalam lahirnya perundang-undangan dan kebijakan negara. Kemudian pada
pengawasan anggaran dan jalannya pemerintahan.

Perubaham sistem presidensial

Pada masa Orde Lama, sistem pemerintahan beberapa kali berganti. Mulai
dari presidental, parlementar, demokrasi liberal hingga demokrasi terpimpin.

1. Sistem parlementer

Perubahan sistem pemerintahan dari presidensial menjadi parlementer terjadi


pada tahun 1945-1950. Pada sistem ini presiden memiliki fungsi ganda, yakni sebagai
badan eksekutif merangkap badan legislatif. Masa itu juga terjadi adanya
ketidakstabilan, tapi di sisi lain menggambarkan kedewasaan berpolitik.

2. Sistem liberal

Pada era Orde Lama juga menjalankan sistem pemerintahan liberal. Ini
berlangsung pada tahun 1950-1959. Pada masa itu politik dan perekonomian
menggunakan prinsip liberal. Ini terlihat dari presiden dan wakil presiden tidak dapat
diganggu gugat. Kemudian menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintah.
Presiden berhak membubarkan DPR. Pada 17 Agustus 1950 hingga 5 Juli 1959,
presiden memerintahkan menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara
(UUDS).

3. Sistem demokrasi terpimpin

Sistem demokrasi terpimpin ini berlangsung pada tahun 1959-1968. Sistem ini
pertama kali diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam pembukaan Sidang
Konstituante 10 November 1956. Pada masa demokrasi terpimpin ini banyak terjadi
penyimpangan yang menimbulkan beberapa peristiwa besar di Indonesia.
Penyimpangan itu seperti, presiden membubarkan DPR hasil pemilu 1955, serta
MPRS mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Selain itu, adanya
peristiwa G30S/PKI dan munculnya tiga tuntutan rakyat (Tritura). Tritura berisi
pembubaran PKI dan ormas-ormasnya, pembersihan kabinet Dwikora dari unsur-
unsur PKI dan penurunan harga barang-barang.

2. Pemerintahan masa Orde Baru

Lahirnya masa pemerintahan Orde Baru muncul setelah dikeluarkannya surat


perintah 11 Maret 1966 hingga 1998. Soeharto diangkat sebagai presiden
menggantikan Soekarno. Pada masa orde baru ini untuk pemerintahannya adalah
presidensial dengan bentuk pemerintahnya republik. UUD 1945 sebagai dasar
konstitusi. Dilansir dari Encyclopaedia Britannica (2015), masa Orde Baru
pemerintah menekankan pada stabilitas nasional dalam program politiknya dan
rehabilitas ekonomi serta berkepribadian dan dalam bidang sosial budaya. Pada era
ini demokrasi di Indonesia mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Hasil
kebijakan ekonomi terlihat, inflansi menurun dan mata uang nasional stabil.

Meski mengalami perkembangan, namun kekuasaan dipegang penuh oleh


presiden. Salah satu penyebab runtuhnya era orde baru adanya krisis moneter pada
1997. Sejak tahun itu kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk, ini juga melanda
negara-negara lain. Kondisi itu membuat KKN tinggi dan kemiskinan meningkat.
Terjadi ketimpangan yang mencolok. Akhirnya tumbuh gerakan berdemokrasi
menuntut perbaikan ekonomi dan reformasi total. Era Orde Baru ini berakhir pada
Juli 1998 setelah Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden. Kemudian muncul
era reformasi.

3. Pemerintahan masa reformasi

Masa reformasi atau masa transisi ini terbuka peluang untuk menata
kehidupan berdemokrasi. Masa ini dimulai dari kepemimpin BJ Habibie sebagai
presiden menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri. Pada masa ini, Habibie
membuat reformasi besar-besaran di sistem pemerintahan. Sistem yang dijalankannya
itu lebih terbuka dan demokrasi lebih ditonjolkan.Di masa ini, partai politik
independen, tidak dipengaruhi kekuasaan birokrat militer. Kemudian adanya
pemberdayaan masyarakat sipil lewat penyampaian informasi secara transparan.

Bahkan adanya proses pemilihan secara langsung, baik itu presiden dan wakil
presiden, kepala daerah, hingga anggota DPR. Pemilihan pertama secara langsung
dilakukan pada tahun 2004.Demokrasi pada masa ini telah berkembang dengan
kesadaran masyarakat dalam kehidupan perpolitikan nasional.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Pada periode kolonial, pemerintah kolonial Hindia Belanda berhasil
menegakkan tata pemerintahan baru di wilayah jajahan di pulau Jawa.
Pemerintah Hindia Belanda menjalankan sistem “pemerintahan tidak langsung”
(indirect rule) dengan tujuan memanfaatkan tata pemerintahan negara yang
efektif untuk mempertahankan hegemoni dan tata tenteram masyarakatnya (rust
en orde). Masa era orde lama (Orla) disebut dengan masa demokrasi terpimpin.
Pada perspektif ketatanegaraan masa ini di awali dengan dekrit presiden 5 Juli
1959 yang mengakhiri kemelut dan ketidakpastian ketatanegaraan. Pada masa
pemerintahan Orde Baru (Orba) pengelolaan pemerintahan daerah yang
dahulunya memakai pola sentralistik diganti. Pendulum otonomi daerah bergerak
kembali, ditandai dengan berlakunya Undang-Undang baru yaitu Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-poko pemerintahan daerah. Tata
Kelola Pemerintahan dan Reformasi Birokrasi di Indonesia telah dicanangkan
sejak Era Reformasi, tetapi mengalami kelambatan, sehingga dicanangkan
kembali pada tahun 2004 sebagai reformasi gelombang II. Namun Grand Desain
Reformasi Birokrasi (GDRB) baru dibuat pada tahun 2010 dan diharapkan
berhasil sampai tahun 2025.

3.2. Saran
Program-program pencapain reformasi birokrasi telah disediakan, aturan-
aturan dan standar kinerja pun telah ditetapkan, namun masih banyak ditemukan
pemerintahan di daerah maupun pusat yang belum mampu mewujudkannya
dengan baik. Sehingga pemerintah harus lebih efektif dan efisien dalam
melaksakan kebijakan yang telah direncanakan.

DAFTAR PUSTAKA

A.A. Gde Putra Agung. 2009. Peralihan Sistem Birokrasi dari Tradisional ke
Kolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nimatul Huda, Hukum 2009. Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grapindo
Persada. h. 109.
Samsul Wahidin. 2003. Hukum Pemerintahan Daerah Pendulum Otonomi Daerah
Dari Masa ke Masa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai