net/publication/330981083
CITATIONS READS
0 8,866
1 author:
Zaki Ulya
Universitas Samudra
8 PUBLICATIONS 2 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
PENDAYAGUNAAN PAJAK DAERAH DALAM REALISASI PEMENUHAN TARGET PENDAPATAN ASLI DAERAH UNTUK PEMBANGUNAN DI KOTA LANGSA View project
All content following this page was uploaded by Zaki Ulya on 09 February 2019.
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Pengantar .................................................................................................. 1
B. Konsep Kelembagaan Negara .................................................................. 4
B.1. Teori Negara Hukum ...................................................................... 4
B.2. Teori Organ ..................................................................................... 7
C. Perkembangan Organisasi Negara ........................................................... 12
D. Teori Penataan Lembaga Negara ............................................................. 15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengantar
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945) telah merubah paradigma sistem ketatanegaraan Indonesia,
yang juga berdampak pada sistem kelembagaan negara. Paradigma perubahan
tersebut turut serta mengubah struktur, kedudukan dan kewenangan masing-
masing lembaga negara, khususnya lembaga negara yang diadopsi dalam
UUD 1945. Sebagaimana diketahui bahwa perubahaan UUD 1945 mencakup
empat kali masa perubahan yaitu dimulai pada tahun 1999, tahun 2000, tahun
2001 dan tahun 2002.
Keempat kali perubahan tersebut mempunyai tujuan dasar yaitu salah
satunya adalah pengurangan kapasitas kewenangan Presiden yang terlalu
besar pada masa era orde baru, dan memaksimalkan kewenangan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) selaku lembaga legislative. Atas dasar tersebut
maka muncullah pergeseran kekuasaan dalam bidang legislasi, dimana
sebelumnya Presiden mempunyai peran sangat besar dalam menentukan dan
merumuskan suatu undang-undang. Sementara itu, DPR hanyalah sebagai
“partner” berdiskusi belaka hingga proses pengesahannya.
Selain adanya pembatasan kewenangan Presiden, perubahan UUD
1945 juga turut serta mengubah kedudukan Dewan Pertimbangan Agung
(DPA) menjadi lembaga yang berada di bawah kekuasaan eksekutif, dan
menambahkan beberapa lembaga baru yang dinilai dibutuhkan pada masa era
reformasi, lembaga tersebut yaitu Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi
Yudisial (KY) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).1
1
Sebagaimana telah diamanatkan dalam sidang umum MPR berdasarkan Ketetapan MPR
RI No. IX/ MPR/ 2000 tentang Penugasan Badan Pekerja MPR-RI Untuk Mempersiapkan
Rancangan Perubahan UUD 1945. Pada tanggal 9 November 2000 diputuskan ada 60 (enam
puluh) dictum yang akan dirubah pada perubahan ketiga UUD 1945, dengan sasaran yaitu (1)
pelaksanaan kedaulatan rakyat, (2) pemilihan Presiden dan/atau Wakil Presiden secara langsung
oleh rakyat, (3) proses dakwaan impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden, (4)
pembentukan DPD, (5) pembentukan MK dan KY. Lihat dalam Sri Soemantri, Prosedur Dan
Sistem Perubahan Konstitusi, PT. Alumni, Bandung, 2006, hal 305
1
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
2
DPP yaitu Dewan Pertimbangan Presiden dan atau disebut juga dengan Wantimpres, lihat
dalam Agus Wanti Lahamid, Dewan pertimbangan presiden dalam struktur ketatanegaraan
Republik Indonesia: analisis yuridis kewenangan dan fungsi Dewan Pertimbangan (Presiden)
sebelum dan setelah perubahan UUD 1945(Abstrak),
http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=107441&lokasi=lokal, diakses
pada tanggal 20 Maret 2016
3
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 perubahan ketiga
4
Anonimous, Eksistensi Lembaga Negara, Berdasarkan UU Negara RI Tahun 1945, Jurnal
Legislasi, Volume 4 No. 3, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen
Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2007, hal 66.
2
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
5
Jimly Asshiddiqie, Merambah Jalan Pembentukan Mahkamah Konstitusi, KRHN, Jakarta,
2002, hal 5
3
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
6
Abu Daud Busro dan Abu Bakar Busro, Azas-azas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia,
Jakarta 1985, hal 109
7
Faisal A. Rani, Konsep Negara Hukum, bahan ajar mata kuliah teori hukum, program
Magister Ilmu Hukum, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 2008, hal. 1
8
Allan R.Brewer – Carias, Judicial Review in Comparative Law, Cambridge University
Press, 1989, hal.7.
4
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
9
Sudargo Gautama, Pengertian Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1983, hal. 3.
10
Aristoteles, Politik (La Politica), diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Benjamin
Jowett dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Syamsur Irawan Khairie, Cetakan Kedua,
Visimedia, Jakarta, 2008, hal 43
11
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, FH UII Press, Jakarta, 2003, hal 11
12
Faisal A. Rani, Op., Cit., hal. 3
5
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
13
Daniel S.Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, LP3ES,
Jakarta, 1990, hlm. 384
14
Ibid, hal. 384-385
15
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid II, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Jakarta, 2006, hal 15
6
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
Raja; kekuasaan legislatif, dalam hal ini bisa disebut parlemen atau dengan
nama lain seperti Dewan Perwakilan Rakyat; dan kekuasaan yudikatif seperti
Mahkamah Agung atau supreme court. Setiap alat kelengkapan negara
tersebut bisa memiliki organ-organ lain untuk membantu melaksanakan
fungsinya.16
Lembaga-lembaga negara harus membentuk suatu kesatuan proses
yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka penyelengaraan fungsi
negara atau istilah yang digunakan Sri Soemantri adalah actual governmental
process. Jadi, meskipun dalam praktiknya tipe lembaga-lembaga negara yang
diadopsi setiap negara bisa berbeda, secara konsep, lembaga-lembaga tersebut
harus bekerja dan memiliki relasi sedemikian rupa sehingga membentuk suatu
kesatuan untuk merealisasikan secara praktis fungsi negara dan ideologis
mewujudkan tujuan negara jangka panjang.17
Dalam negara hukum yang demokratik, hubungan antara infra struktur
politik (Socio Political Sphere) selaku pemilik kedaulatan (Political
Sovereignty) dengan supra struktur politik (Governmental Political Sphere)
sebagai pemegang atau pelaku kedaulatan rakyat menurut hukum (Legal
Sovereignty), terdapat hubungan yang saling menentukan dan saling
mempengaruhi. Oleh karena itu, hubungan antar dua komponen struktur
ketatanegaraan tersebut ditentukan dalam UUD, terutama supra struktur
politik telah ditentukan satu sistem, bagaimana kedaulatan rakyat sebagai
dasar kekuasaan tertinggi negara itu dibagi-bagi dan dilaksanakan oleh
lembaga-lembaga negara.18
16
Ibid., hal. 17
17
Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992,
hal. 33
18
Kusnardi Muh. dan Bintan R Saragih ; Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem
Undang-Undang Dasar 1945, PT Gramedia, Jakarta, 1983, hal 31
7
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
19
Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat, Pendidikan Kewargaan (Civic Education),
Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Kencana Prenada Media Group, 2008,
hal 72
20
Ibid., hal. 74
21
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi Masalah Konstitusi,
Dewan Perwakilan dan Partai Politik, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hal. 122
22
Jimly Asshiddiqie, Pengantar … Op., Cit., hal. 15
8
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
23
Ibid., hal. 18
24
Dahlan Thaib et., al., Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Press, Jakarta, 2001, hal. 29
25
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005,
hal. 152
9
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
26
Ibid.
27
Abu Bakar Elbyara, Pengantar Ilmu Politik., Ar-Ruzz Media, Jember, 2010, hal.187
10
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
28
Ibid., hal. 189
29
Sukardja Ahmad, Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi Negara dalam Perspektif
Fikih Siyasah, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal.129
11
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
30
Ibid., hal. 133
31
Abu Bakar Elbyara, Pengantar … Op., Cit., hal. 212
12
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
tersebut berkembang dalam banyak ragam dan bentuknya baik tingkat pusat,
nasional maupun internasional. Sebelum abad ke-19,sebagai reaksi terhadap
kuatnya cengkraman kekuasaan para raja di Eropa, timbul revolusi diberbagai
negara yang menuntut kebebasan lebih bebas bagi rakyat dalam menghadapi
penguasa negara.32
Enam tipe organisasi oleh Gerry Stoker, yaitu:
1. Tipe pertama adalah organ yang bersifat central government’s arm’s
length agency;
2. Tipe kedua, organ yang merupakan local authority implementation
agency;
3. Tipe ketiga, organ atau institusi sebagai public/private partnership
organitation;
4. Tipe keempat,organ sebagai user-organitation;
5. Tipe kelima,organ merupakan intergovernmental forum;
6. Tipe keenam, organ yang merupakan Joint Boards.33
Menurut Gerry Stoker, menyatakan bahwa:
“both central and local government have encouraged experimentation with
non-elected forms of government as a way encouraging the greater
involvement of major private corporate sector companies, banks and
building societies in dealing with problems of urban and economic
decline.” (baik pemerintah pusat dan daerah harus mendorong
eksperimentasi dengan bentuk non-terpilih dari pemerintah sebagai cara
mendorong keterlibatan yang lebih besar dari perusahaan sektor korporasi
swasta besar, bank dan bangunan masyarakat dalam menangani masalah
penurunan perkotaan dan ekonomi)
32
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi lembaga Negara Pasca Reformasi,
Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006, hal 1
33
Ibid., hal. 2
13
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
34
Ibid., hal. 3-4
14
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
35
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya
di Indonesia, Ichtiar Baru-van hoeve, Jakarta, 1994. Hal. 13
15
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
16
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
17
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
18
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
BAB II
LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA DI INDONESIA
A. Jenis-Jenis Lembaga Negara dalam UUD 1945
Lembaga Negara bukan konsep yang secara terminologis memiliki
istilah tunggal, universal dan seragam. Didalam kepustakaan Inggris, untuk
menyebut lembaga Negara digunakan istilah political institution, sedangkan
dalam terminologi Belanda terdapat istilah staat orgamen. Sementara itu,
bahasa Indonesia menggunakan lembaga negara, atau organ Negara. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “lembaga” antara lain diartikan sebagai
(1) ‘asal mula (yang akan menjadi sesuatu) bakal (binatang, manusia,
tumbuhan)’; (2)‘bentuk (rupa, wujud) yang asli’; (3) ‘acuan; ikatan (tentang
mata cincin dsb)’ (4) ‘badan (organisasi) yang tujuannya melakukan sesuatu
penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha’; dan (5) ‘pola perilaku
manusia yang mapan, terdiri atas interaksi sosial berstruktur di suatu
kerangka nilai yang relevan’.39 Kamus tersebut juga memberi contoh frasa
yang menggunakan kata lembaga, yaitu lembaga pemerintahan yang diartikan
‘badan-badan pemerintahan dalam lingkungan eksekutif’. Kalau kata
pemerintah diganti dengan kata negara, diartikan ‘badan-badan negara
disemua lingkungan pemerintah negara (khususnya di lingkungan eksekutif,
yudikatif, dan legislatif)’.
Menurut Abdul Rasyid, setidaknya ada 6 ( enam ) alasan untuk
membedakan lembaga negara tersebut yaitu:
a) Ada “lembaga UUD 1945” juga sekaligus menjadi lembaga negara,
misalnya Presiden, DPR, DPD, dan MK, sedangkan pemerintah daerah
bukan “lembaga negara”.
b) Ada lembaga UUD yang kewenangannya diberikan langsung oleh UUD
1945, tetapi ada juga lembaga UUD yang kewenangannya akan diatur
lebih lanjut dalam bentuk undang-undang, misalnya pemerintah daerah
yang kewenangannya diberikan melalui Undang-Undang Nomor 32
tahun 2004.
39
Anonimous, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ketiga, Balai Pustaka, 1997, hal.
979
19
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
40
Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implementasinya Dalam
Sistem Ketata Negaraan Republik Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 414
20
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
41
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan … Op., Cit., hal. 91
21
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
42
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam
UUD 1945, FH UII Press, 2005, hal. 21
22
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
23
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
45
M. Laica Marzuki, Berjalan-jalan Diranah hukum, Pikiran Lepas Laica Marzuki, Jilid
Kesatu, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hal. 38
24
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
46
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid II … Op., Cit., hal. 88
25
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
B. Lembaga Daerah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
Provinsi. Daerah Provinsi itu dibagi lagi atas daerah Kabupaten dan daerah
Kota. Setiap daerah Provinsi, daerah Kabupaten, dan daerah Kota mempunyai
Pemerintahan Daerah yang diatur dengan undang-undang. Pemerintah Daerah
dan DPRD adalah penyelenggara Pemerintahan Daerah menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem
26
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
47
Ibid.
48
Musanaf, Sistem Pemerintahan di Indonesia, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1989, hal. 27
27
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
berdasarkan kriteria di atas terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi
merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi 16 buah urusan.
Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan
pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi
unggulan daerah yang bersangkutan.
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-
luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintahan daerah dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan
pemerintah pusat dan dengan pemerintahan daerah lainnya. Hubungan
tersebut meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum,
pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya. Hubungan
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber
daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Hubungan wewenang,
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antar
susunan pemerintahan. Penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten atau
daerah kota yang terdiri atas pemerintah daerah kabupaten atau kota dan
DPRD kabupaten atau kota.
Dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah pusat
menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Dalam menyelenggarakan
pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan
tugas pembantuan. Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai
hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban tersebut diwujudkan dalam bentuk
rencana kerja pemerintahan daerah dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan,
belanja, dan pembiayaan daerah yang dikelola dalam sistem pengelolaan
keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah dimaksud dilakukan secara
28
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
efisien, efektif, transparan, akuntabel, tertib, adil, patut, dan taat pada
peraturan perundang-undangan. Setiap daerah dipimpin oleh kepala
pemerintah daerah yang disebut kepala daerah.
Kepala daerah untuk provinsi disebut gubernur, untuk kabupaten
disebut bupati dan untuk kota adalah wali kota. Kepala daerah dibantu oleh
satu orang wakil kepala daerah, untuk provinsi disebut wakil Gubernur, untuk
kabupaten disebut wakil bupati dan untuk kota disebut wakil wali kota.
Kepala dan wakil kepala daerah memiliki tugas, wewenang dan kewajiban
serta larangan. Kepala daerah juga mempunyai kewajiban untuk memberikan
laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan
memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta
menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada
masyarakat. Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai
wakil pemerintah pusat di wilayah provinsi yang bersangkutan, dalam
pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali
pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan pada strata
pemerintahan kabupaten dan kota. Dalam kedudukannya sebagai wakil
pemerintah pusat sebagaimana dimaksud, Gubernur bertanggung jawab
kepada Presiden.
Pemerintah daerah bersama-sama DPRD mengatur (regelling) urusan
pemerintahan daerah yang menjadi kewenangannya. Pemerintah daerah
mengurus (bestuur) urusan pemerintahan daerah yang menjadi
kewenangannya. Pemerintah daerah wajib menyebarluaskan Perda yang telah
diundangkan dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah yang
telah diundangkan dalam Berita Daerah.
Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman yang bersumber dari
Pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga
keuangan bukan bank, dan masyarakat untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman yang
berasal dari penerusan pinjaman hutang luar negeri dari Menteri Keuangan
29
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
30
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
49
Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Alumni,
Bandung, 1986, hlm. 31
31
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
32
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
50
http://www.tugassekolah.com/2016/02/fungsi-tugas-wewenang-mpr-dpr-dan-dpd.html,
diakses 21 September 2016
33
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
51
Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga … Op., Cit., hal. 32
34
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
52
Ibid
35
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
53
Ibid
54
S. Pamuji, Perbandingan Pemerintahan, Bina Kasara, Jakarta, 1985, hal. 12
36
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
37
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
38
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
39
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
40
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
41
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
Mahkamah Konstitusi
Kemudian, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga
negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945.
Adapun kewenangan Mahkamah Konstitusi secara lengkap diatur
dalam Pasal 24C Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, yang kemudian diatur
lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dan dirubah terakhir kalinya dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011.
Mahkamah Konstitusi RI mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1
(satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
42
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
Komisi Yudisial
43
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
55
Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Liberty,
Yogyakarta, 1993, hal. 18
44
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
BAB III bagian kesatu dan kedua. Tugas BPK menurut UU tersebut
masuk dalam bagian kesatu, isisnya antara lain adalah sebagai berikut.
- Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan yang
dilakukan oleh BPK terbatas pada Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, Bank Indonesia, Lembaga Negara lainnya, BUMN, Badan
Layanan Umum, BUMD, dan semua lembaga lainnya yang
mengelola keuangan negara.
- Pelaksanaan pemeriksaan BPK tersebut dilakukan atas dasar undang-
undang tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara.
- Pemeriksaan yang dilakukan BPK mencakup pemeriksaan kinerja,
keuangan, dan pemeriksaan dengan adanya maksud tertentu.
- Hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh BPK harus dibahas
sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara yang berlaku.
- Hasil pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara diserahkan kepada DPD, DPR, dan DPRD. Dan juga
menyerahkan hasil pemeriksaan secara tertulis kepada Presiden,
Gubernur, dan Bupati/Walikota.
- Jika terbukti adanya tindakan pidana, maka BPK wajib melapor pada
instansi yang berwenang paling lambat 1 bulan sejak diketahui
adanya tindakan pidana tersebut.
Wewenang Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UU Republik
Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 BAB III bagian kedua diantaranya
adalah sebagai berikut.
Dalam menjalankan tugasnya, BPK memiliki wewenang untuk
menentukan objek pemeriksaan, merencanakan serta melaksanakan
pemeriksaan. Penentuan waktu dan metode pemeriksaan serta menyusun
maupun menyajikan laporan juga menjadi wewenang dari BPK tersebut.
- Semua data, informasi, berkas dan semua hal yang berkaitan dengan
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara hanya bersifat
sebagai alat untuk bahan pemeriksaan.
45
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
46
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
7. Pemerintahan Daerah
Pemerintahan daerah merupakan alat kelengkapan negara untuk
mencapai cita- cita dan tujuan-tujuan negara sebagaimana termaktub
dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea
ke-2 dan ke-4. Untuk mencapai hal tersebut, tentu saja pemerintahan
daerah diberi kewenangan untuk menjalakan seluruh urusan
pemerintahan di daerah, kecuali beberapa kewenangan yang tidak
diperkenankan dimiliki oleh daerah yaitu kewenangan dalam politik luar
negeri, pertahanan, kemanan, peradilan/yustisi, moneter dan fiskal serta
urusan agama.57
Keenam urusan tersebut merupakan kewenangan pemerintah pusat.
Sebagaimana telah kalian ketahui, bahwa pemerintahan daerah itu terdiri
atas pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah
kabupaten/kota. Sekaitan urusan yang menjadi kewenangannya, Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan telah
dirubah dengan diterapkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2015
tentang Pemerintahan Daerah, telah mengklasifikasikan urusan
pemerintahan daerah kedalam urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan
wajib dan urusan pilihan untuk pemerintahan daerah provinsi tentu saja
berbeda dengan yang dimiliki oleh oleh pemerintahan daerah
kabupaten/kota. Hal ini dikarenakan ruang lingkup urusan pemerintahan
daerah provinsi lebih luas dibanmdingkan dengan pemerintahan daerah
kabupaten/kota. Dapat diamati perbedaan urusan pemerintahan yang
wajib dilaksanakan oleh pemerintahan daerah provinsi dengan
pemerintahan daerah kabupaten/kota.
56
Ni’matul Huda, Hukum Tata negara Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005,
hal. 33
57
Jimly Asshiddiqie, “Otonomi Daerah dan Peran Legislatif Daerah”, Makalah pada
Lokakarya Tentang Peraturan Daerah dan Budget Anggota DPRD SePropinsi (Baru) Banten, Di
Anyer, Banten, 20 Oktober 2000, hal. 6
47
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
48
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
58
Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara .. Op., Cit., hal. 33
49
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
59
- Jimly asshiddiqie,Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 37
60
Ibid., hal. 37-38
50
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
51
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
BAB III
HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD 1945) sebelum perubahan terdapat enam lembaga tinggi/tertinggi negara,
yaitu MPR sebagai lembaga tertinggi negara; serta DPR, Presiden, MA, BPK, dan
DPA sebagai lembaga tinggi negara. Namun setelah mengalami perubahan UUD
1945 (Amandemen) dinyatakan bahwa lembaga negara teridri atas MPR, DPR,
DPD, Presiden, BPK, MA, MK, dan KY tanpa mengenal istilah lembaga tinggi
atau tertinggi negara.
Berikut ini penjelasan hubungan antara lembaga Negara sesuai UUD 1945
A. Hubungan antara MPR dengan DPR, DPD, dan Mahkamah Konstitusi
Dalam UUD 1945 MPR merupakan salah satu lembaga Negara
(sebelum Amandemen dikenal dengan istilah lembaga tertinggi Negara).
Anggota MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD menunjukan
bahwa MPR masih dipandang sebagai lembaga perwakilan rakyat karena
keanggotaannya dipilih dalam pemilihan umum. Unsur anggota DPR untuk
mencerminkan prinsip demokrasi politik sedangkan unsur anggota DPD
untuk mencerminkan prinsip keterwakilan daerah agar kepentingan daerah
tidak terabaikan. Dengan adanya perubahan kedudukan MPR, maka
pemahaman wujud kedaulatan rakyat tercermin dalam tiga cabang kekuasaan
yaitu lembaga perwakilan, Presiden, dan pemegang kekuasaan kehakiman.61
Adapun yang menjadi kewenangan MPR adalah mengubah dan
menetapkan UUD, memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam hal
terjadi kekosongan jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden, melantik
Presiden dan/atau Wakil Presiden, serta kewenangan memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Dalam hubungannya dengan DPR, khusus mengenai penyelenggaraan
sidang MPR berkaitan dengan kewenangan untuk memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden, proses tersebut hanya bisa dilakukan apabila
didahului oleh pendapat DPR yang diajukan pada MPR.
61
Ibid.
52
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
53
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
54
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
55
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
56
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
BAB IV
SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA
A. Istilah dan Pengertian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara
Berbicara mengenai lembaga negara berarti berbicara mengenai alat
kelengkapan yang ada dalam sebuah negara. Alat kelengkapan Negara
berdasarkan teori klasik hukum negara meliputi, kekuasaan eksekutif, dalam
hal ini bisa Presiden atau Perdana Menteri atau Raja; kekuasaan legislatif,
dalam hal ini bisa disebut parlemen atau dengan nama lain seperti Dewan
Perwakilan Rakyat; dan kekuasaan yudikatif seperti Mahkamah Agung atau
supreme court. Kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif ini sama
seperti Teori Trias Politica yang dicetuskan oleh Montesquee. Setiap alat
kelengkapan negara tersebut bisa memiliki organ-organ lain untuk membantu
melaksanakan fungsinya.
Lembaga Negara atau lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan
nondepartemen atau lembaga Negara saja. Ada yang dibentuk berdasarkan
atau karena diberi kekuasaan oleh Undang-undang Dasar, ada pula yang
dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya berdasar Keputusan Presiden.
Hierarki atau ranking kedudukannya tentu saja tergantung pada derajat
pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lembaga Negara yang dibentuk Undang-Undang Dasar merupakan organ
konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang merupakan
organ Undang-Undang, sedangkan yang dibentuk karena Keputusan Presiden
tentu lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap
pejabat-pejabat yang duduk di dalamnya.
Demikian pula, jika lembaga dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan
berdasarkan Peraturan Daerah, tentu lebih rendah lagi tingkatannya.
Keberadaan berbagai macam lembaga Negara yang bisa dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Dasar, Undang-Undang atau oleh Peraturan yang lebih
rendah. Lembaga Negara yang dibentuk karena Undang-Undang Dasar
misalnya adalah MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, DPP,
Kementrian Negara, MK, MA, BPK, Pemda, TNI, Polri, Bank Sentral, KPU
57
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
62
Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Konstitusi Press,
Jakarta, 2006, hal. 15
58
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
dalam UUD (objectum litis) dan kemudian kepada lembaga apa kewenangan
tersebut diberikan (subjectum litis).63
Subjectum litis adalah para pihak yang bersengketa dalam perkara
SKLN yaitu lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI
Tahun 1945. Subjectum litis tidak hanya mencakup pemohon belaka namun
juga termohon. Artinya pemohon terpenuhi sebagai subjectum litis yaitu
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, akan tetapi
termohon bukanlah lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD
(atau sebaliknya) maka syarat yang ditentukan dalam Pasal 61 UU MK tidak
terpenuhi.
Objectum litis adalah kewenangan yang dipersengketakan dalam
perkara SKLN. Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa yang menjadi objek
sengketa antar lembaga negara dalam rangka jurisdiksi MK adalah
persengketaan mengena kewenangan konstitusional antar lembaga negara. Isu
pokok bukan terletak pada kelembagaan negara melainkan terletak pada soal
kewenangan konstitusional yang dalam pelaksanaannya, apabila timbul
penafsiran berbeda satu sama lainnya, maka yang berwenang memutuskan
lembaga mana yang sebenarnya memiliki kewenangan yang dipersengketakan
adalah MK.64
Sengketa kewenangan adalah perselisihan atau perbedaan pendapat
yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan antara dua atau lebih
lembaga negara. Baik subjectum litis maupun objectum litis, keduanya adalah
syarat yang harus dipenuhi dalam memenuhi kedudukan hukum (legal
standing) pemohon. MK berpendapat subjectum litis dan objectum litis
pemohon adalah dua hal yang pemenuhannya bersifat kumulatif.65 Bila
permohonan pemohon tidak terpenuhi kedua syarat tersebut maka
permohonan tersebut tidak termasuk dalam ruang lingkup kewenangan MK
63
Luthfi Widagdo Eddyono, Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh
Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Vol. 7,No. 3, Juni 2010, hal. 25
64
Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan … Op., Cit., hal. 13
65
Lihat dalam pertimbangan hukum MK, paragraph 3.11, Putusan MK No. 2/SKLN-
IX/2011, 29 September 2011
59
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
66
Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan … Loc., Cit.
67
Ibid.
68
Anonimous, Potensi Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara Pasca Perubahan
UUD, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2009, hal. 9
60
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
69
Ibid., hal. 70
70
Ibid.
61
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
71
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan
Kehakiman Di Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta, 2005, hal 23
72
Soehino, Hukum Tata Negara, Sifat Serta tata Cara Perubahan UUD 1945, BPFE,
Yogyakarta, 2005, hal 21
73
Pada dasarnya kekuasaan kehakiman merupakan subsistem dari sistem yang lebih luas
yaitu sistem konstitusional yang berlaku disuatu negara, yang meliputi lembaga negara, fungsi,
tugas, wewenang, serta tanggung jawab masing-masing lembaga negara tersebut dan lembaga
negara dengan rakyatnya. Lihat dalam Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Op., Cit., hal
23
62
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
74
Ibid, hal 71
75
Refly Harun, Zainal AM Husein, Bisariyadi (editor), Menjaga Denyut Konstitusi,
Konstitusi Press, Jakarta, 2004,hal 9
76
Ibid., hal. 10-11
63
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
Tugas MK dalam hal ini pada intinya yaitu menjaga konstitusi (the
guardian of constitution) dan penafsir konstitusi (the intempreter of
Constitution), dimana masih banyak bunyi pasal-pasal dari UUD 1945 hasil
perubahan masih belum jelas dan tidak diterangkan secara eksplisit dalam
UUD itu sendiri. Sri Soemantri menyebutkan, MK adalah lembaga yang lahir
akibat tuntutan reformasi yang mempunyai kedudukan dan kewenangan yang
diatur langsung dalam konstitusi. Tugas utama MK adalah menjaga konstitusi
tersebut dan juga mengawasi lembaga negara terutama dalam penerapan
77
Anonimous, Cetak Biru, Membangun Mahkamah Konstitusi Sebagai Peradilan
Konstitusi yang Modern Dan Terpercaya, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Jakarta,
2004, hal 4
64
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
65
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
80
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan menyatakan, “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia,
Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat.” Kemudian ayat (2)-nya menyatakan, “Peraturan Perundang-undangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan”. Dengan demikian, keberadaan Peraturan Mahkamah Konstitusi telah
diakui sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat.
66
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
81
Hal tersebut terkait dengan kedudukan hukum. Atau yang kerap disebut sebagai legal
standing atau Personae standi in judicio adalah kedudukan hukum atau kondisi di mana seseorang
atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk
mengajukan permohonan. Dengan adanya criteria legal standing, berarti tidak semua orang atau
pihak mempunyai hak mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi. Hanya mereka yang
benar-benar mempunyai kepentingan hukum saja yang boleh menjadi pemohon, sesuai dengan
adagium point d’interet point d’action (ada kepentingan hukum, boleh mengajukan gugatan).
67
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
Apabila permohonan yang diajukan oleh pemohon yang tidak mempunyai legal standing maka
perkaranya akan berakhir dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan permohonan
Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Baca Luthfi Widagdo Eddyono,
http://luthfiwe.blogspot.com/2010/02/glosarimahkamah-konstitusi.html diakses 6 Juli 2012.
68
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
serta dapat dibantu media komunikasi lainnya, seperti telepon, faksimili, dan
surat elektronik (e-mail). Panitera dapat meminta bantuan pemanggilan
kepada pejabat negara di daerah.
Sebelum mulai memeriksa pokok perkara, Mahkamah Konstitusi
mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan.
Dalam pemeriksaan itu, Mahkamah Konstitusi wajib memberi nasihat kepada
pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka
waktu paling lambat 14 hari.
Dalam sidang panel lanjutan, menurut Jimly Asshiddiqie, setelah
perbaikan diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 14 hari sebagaimana
ditentukan oleh Pasal 39 ayat (2) UU 24/2003, proses pemeriksaan
pendahuluan itu tentu sekali lagi dilakukan oleh majelis hakim konstitusi
yang memeriksanya.82
Pemeriksaan tahap berikutnya, seperti diatur dalam Pasal 40 sampai
dengan Pasal 44 ayat (2) UU 24/2003 disebut sebagai pemeriksaan
persidangan. Sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali
rapat permusyawaratan hakim. Setiap orang yang hadir dalam persidangan
wajib menaati tata tertib persidangan.
Dalam persidangan hakim konstitusi memeriksa permohonan beserta
alat bukti yang diajukan untuk itu hakim konstitusi wajib memanggil para
pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan dan/atau
meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait
dengan permohonan. Lembaga negara tersebut wajib menyampaikan
penjelasannya dalam jangka waktu paling lambat tujuh hari kerja sejak
permintaan hakim konstitusi diterima. Saksi dan ahli yang dipanggil wajib
hadir untuk memberikan keterangan. Berdasarkan Pasal 42A UU 8/2011,
Saksi dan ahli dapat diajukan oleh para pihak yang berperkara, pihak terkait,
atau dihadirkan oleh Mahkamah Konstitusi dan memberikan keterangan di
bawah sumpah atau janji. Saksi dan ahli tersebut masing-masing berjumlah
paling sedikit dua orang.
82
Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, … Op., Cit., hal. 224
69
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
70
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
71
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
83
Ibid., hal.244
72
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
73
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abu Bakar Elbyara, Pengantar Ilmu Politik., Ar-Ruzz Media, Jember, 2010
Abu Daud Busro dan Abu Bakar Busro, Azas-azas Hukum Tata Negara, Ghalia
Indonesia, Jakarta 1985
Dahlan Thaib et., al., Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Press, Jakarta, 2001
74
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid II, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Jakarta, 2006
75
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
Soehino, Hukum Tata Negara, Sifat Serta tata Cara Perubahan UUD 1945,
BPFE, Yogyakarta, 2005
Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung,
1992
Sukardja Ahmad, Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi Negara dalam
Perspektif Fikih Siyasah, Sinar Grafika, Jakarta, 2012
Jurnal
Anonimous, Eksistensi Lembaga Negara, Berdasarkan UU Negara RI Tahun
1945, Jurnal Legislasi, Volume 4 No. 3, Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2007
Bahan Ajar/Seminar
Faisal A. Rani, Konsep Negara Hukum, bahan ajar mata kuliah teori hukum,
program Magister Ilmu Hukum, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh,
2008
Kamus
Anonimous, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ketiga, Balai Pustaka, 1990
76
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
Internet
http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=107441&lokasi=lokal,
diakses pada tanggal 20 Maret 2016
http://www.tugassekolah.com/2016/02/fungsi-tugas-wewenang-mpr-dpr-dan-
dpd.html, diakses 21 September 2016
http://luthfiwe.blogspot.com/2010/02/glosarimahkamah-konstitusi.html diakses 6
Juli 2012.
Surat Kabar
Sri Soemantri, Kegundahan konstitusional sang Sri soemantri, KOMPAS, edisi
sabtu, 29 April 2006
77
BUKU AJAR
HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
Biodata Penulis
Zaki ‘Ulya, Lahir di Aceh Utara, 22 Februari 1985. Ia
menyelesaikan Sarjana Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, tahun 2007. Tahun
2010, ia menyelesaikan studi Magister Hukum di Program
Pascasrjana Universitas Syiah Kuala dengan Konsentrasi
Hukum Tata Negara. Setelah tamat S2 ia mengajar di
sebagai Dosen Luar Biasa pada UPT-MKU Universitas
Syiah Kuala (2010-2013) dan Fakultas Hukum Universitas
Abulyatama, Aceh Besar (2010-2011). Pada tahun yang
sama ia juga diterima dan mengajar sebagai Dosen Tetap pada Fakultas Hukum
Universitas Jabal Ghafur, Sigli (2010-2014). Awal 2013-2015, diangkat menjadi tenaga
pengajar Kepaniteraan Peradilan Agama pada Fakultas Hukum dan Syari’ah, Institut
Agama Islam Negeri Zawiyah Cotkala, Langsa. Dan telah diangkat sebagai Dosen Tetap
Non PNS pada Fakultas Hukum Universitas Samudra, dengan Konsentrasi jurusan
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, pada tahun 2015.
Karya Ilmiah/buku/Opini
78