Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Konstitusi merupakan segala ketentuan dan aturan dasar mengenai
ketatanegaraan. Berdirinya sebuah negara tidak lepas dari adanya konstitusi yang
mendasarinya. Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut
Undang-Undang Dasar, dan dapat pula tidak tertulis. Konstitusi merupakan dasar dari
tatanan hukum sebuah negara, yang di dalamnya terdapat perlindungan terhadap Hak
Asasi Manusia (HAM) dan mengatur tentang distribusi kekuasaan (Distribution of
Power) dalam penyelenggaraan negara. Konstitusi biasanya juga disebut sebagai
hukum fundamental negara, sebab konstitusi ialah aturan dasar. Aturan dasar yang
nantinya akan menjadi acuan bagi lahirnya aturan-aturan hukum lain yang ada
dibawahnya.
Konstitusi dalam arti formal adalah suatu dokumen resmi, seperangkat norma
hukum yang hanya dapat diubah di bawah pengawasan ketentuanketentuan khusus,
yang tujuannya adalah untuk menjadikan perubahan normanorma ini lebih sulit.
Konstitusi dalam arti material terdiri atas peraturan-peraturan yang mengatur
pembentukan norma-norma hukum yang bersifat umum, terutama pembentukan
undang-undang.
Jimly Asshiddiqie mengatakan dalam bukunya, konstitusi adalah hukum dasar
yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. Penting bagi sebuah
negara memiliki konstitusi sebagai landasan hukum dalam penyelenggaraan sebuah
negara. Untuk itu dalam penyusunan konstitusi harus merupakan hasil dari nilai-nilai
dan norma berbangsa dan bernegara yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian,
penyusunan konstitusi menjadi sebuah pekerjaan yang mendasar bagi sebuah negara
untuk menentukan sistem hukumnya.
Di Indonesia, konstitusi yang digunakan merupakan konstitusi tertulis yaitu
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau biasa disebut
UUD 1945. UUD 1945 pertama kali disahkan sebagai konstitusi negara Indonesia
dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yaitu pada tanggal 18
Agustus 1945. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mempertegas kedudukan Undang-
Undang Dasar sebagai sebuah Hukum Dasar.

1
Namun dalam perjalanan proses penyelenggaraan negara, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengalami empat perubahan
pertama, yaitu perubahan pertama pada tahun 1999, perubahan kedua pada tahun
2000, perubahan ketiga pada tahun 2001, dan perubahan keempat pada tahun 2002.
Perubahan yang terjadi merupakan hasil dari pergolakan politik pada masanya.
Perubahan konstitusi tidak hanya bergantung pada norma perubahan, tetapi lebih
ditentukan oleh kelompok elite politik yang memegang suara mayoritas di lembaga
yang mempunyai kewenangan melakukan perubahan konstitusi.
Meskipun demikian, perubahan Undang-Undang Dasar tetap bertujuan untuk
memperkuat konstitusi dan bukan sebaliknya. Undang-Undang Dasar ini (pasca
Amandemen) dapat disebut sebagai konstitusi politik, konstitusi ekonomi dan
sekaligus konstitusi sosial yang mencerminkan cita-cita kolektif bangsa, baik di
bidang politik dan ekonomi maupun sosial-budaya, dengan tetap memelihara tingkat
abstraksi perumusannya sebagai hukum dasar (rechtsidee).
Ketika terjadi reformasi konstitusi (UUD 1945) tahun 1999, muncul beberapa
kesepakatan dasar dalam melakukan perubahan UUD 1945, antara lain mempertegas
sistem presidensiil. Namun dalam kenyataannya kesepakatan tersebut tidak ditaati
secara konsisten oleh MPR. Pembongkaran konstruksi presidensialisme dalam UUD
1945 secara signifikan pada perubahan pertama (1999), kemudian penguatan
kelembagaan DPR pada perubahan kedua (2000), bukannya melahirkan
keseimbangan kekuasaan antara presiden dan DPR, tetapi justru menimbulkan
ketidakjelasan sistem presidensiil yang ingin dibangun melalui Perubahan UUD 1945.
Kesan ‘parlementernya’ justru semakin menguat.
Melihat dinamika yang terjadi di Indonesia saat ini, banyak pihak merasa perlu
adanya perubahan kembali terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Karena dirasa harus ada penguatan pada beberapa sektor
sistem ketatanegaraan. Berangkat dari hal tersebut, Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
berinisiatif mengajukan usulan untuk mengamandemen Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR). DPD beranggapan Undang-Undang Dasar harus kembali diamandemen
dengan beberapa alasan tertentu. Alasan-alasan tersebut diantaranya : Memperkuat
Sistem Presidensial, Memperkuat Lembaga Perwakilan, Memperkuat Otonomi
Daerah, Calon Presiden Perseorangan, Pemilahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal,
Forum Previlegiatum, Optimalisasi Peran Mahkamah Konstitusi, Penambahan Pasal

2
Hak Asasi Manusia, Penambahan Bab Komisi Negara, dan Penajaman Bab tentang
Pendidikan dan Perekonomian.

B. Rumusan Masalah
Makalah ini akan mencoba menjawab beberapa pertanyaan kunci, yaitu:
1. Apa pengertian konstitusi ?
2. Bagaimana sejarah sejarah konstitusi di Indonesia ?
3. Bagaimana perkembangan konstitusi di Indonesia ?
4. Bagaimana pengertian Undang-Undang Dasar 1945 ?
5. Bagaimana perubahan UUD 1945 di Indonesia ?

C. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk:
 Mengetahui apa itu konstitusi.
 Mengetahui sejarah konstitusi di Indonesia.
 Menegetahui perkembangan konstitusi di Indonesia.
 Mengetahui pengertian Undang-Undang Dasar 1945.
 Mengetahui perubahan UUD 1945 di Indonesia.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konstitusi
I. Pengertian Konstitusi
Kata konstitusi berasal dari bahasa Perancis constituer yaitu sebagai suatu
ungkapan yang berarti membentuk. Menurut Jazim Hamidi, pemakaian kata konstitusi
lebih dikenal untuk maksud sebagai pembentukan, penyusunan atau menyatakan suatu
negara. Dengan kata lain, secara sederhana, konstitusi dapat diartikan sebagai suatu
pernyataan tentang bentuk dan susunan suatu negara, yang dipersiapkan sebelum
maupun sesudah berdirinya negara yang bersangkutan’’. Oleh karena itu ciri khas dari
sebuah negara dapat dilihatdari konstitusi yang digunakannya. Namun secara
terminologi, konstitusi tidak hanya dipahami dengan arti yang sesederhana itu.
Konstitusi dipahami secara lebih luas, selain dikarenakan oleh
kompleksitasnya permasalahan mendasar yang harus diatur oleh negara, juga
dikarenakan oleh perkembangan pemikiran terhadap keilmuan dalam memahami
konstitusi sebagai hukum dasar (gronwet) dalam suatu negara. Pemikiran Duguit
banyak dipengaruhi oleh aliran sosiologi yang diprakarsai oleh Auguste Comte,
menurutnya hukum itu adalah penjelmaan de facto dari ikatan solidaritas social yang
nyata. Dia juga berpendapat bahwa yang berdaulat itu bukanlah hukumyang
tercantum dalam bunyi teks undang-undang, melainkan yang terjelma di dalam
sociale solidariteit (solidaritas sosial). Oleh karena itu, yang harus ditaati adalah
sociale recht itu. Bukan undang-undang yang hanya mencerminkan sekelompok orang
yang kuat dan berkuasa.
Terlepas dari pendefinisian tentang konstitusi di atas, terdapat juga
keanekaragaman dari para ahli dalam memandang konstitusi. Konstitusi dalam
pandangan Wheare tersebut di atas, selain dipahami sebagai istilah untuk
menggambarkan keseluruhan sistem pemerintahan suatu negara, juga sebagai
kumpulan aturan yang membentuk dan mengatur atau menentukan pemerintahan
negara yang bersangkutan. Sementara itu, Jimly Asshiddiqie, mendefinisikan
konstitusi sebagai hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan
suatu negara. Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut
Undang-Undang Dasar, dan dapat pula tidak tertulis. Hal tersebut tidak terlepas
karena tidak semua negara memiliki konstitusi tertulis atau Undang-undang Dasar.

4
Kerajaan Inggris misalnya, tidak memiliki satu naskah Undang-Undang Dasar sebagai
konstitusi tertulis, namun biasa disebut sebagai negara konstitusional. Berangkat dari
pendapat beberapa ahli tentang pengertian konstitusi di atas, menurut hemat penulis
dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai batasan-batasan pengertian konstitusi yang
dirumuskan sebagai berikut :
a. Konstitusi merupakan suatu kaidah hukum yang memberikan batasanbatasan
terhadap kekuasaan dalam penyeleggaraan suatu negara;
b. Mendeskripsikan tentang penegakan hak-hak asasi manusia; dan ketiga,
konstitusi berisikan materi mengenai susunan ketatanegaraan suatu negara
yang bersifat fundamental.
Teori konstitusi menghendaki negara terbentuk atas dasar hukum dasar (basic
norm) yang demokrasi yang merupakan naluri masyarakat suatu bangsa, sehingga
konstitusi yang dibentuk adalah konstitusi demokrasi yang menghendaki the rule of
law.Konstitusi juga disebut sebagai ground wet atau dalam oxforddictionary of law,
perkataan Constituion diartikan sebagai : …the rule and practices that determine the
composition and functions of the organs of the central and local government in a state
and regulate the relationship bet-ween individual and the state. Artinya, yang diatur
itu tidak saja berkenaan dengan organ negara beserta komposisi dan fungsinya, baik
di tingkat pusat maupun di tingkat pemerintah daerah (local government), tetapi juga
mekanisme hubungan antara negara atau organ negara itu dengan warga Negara.
Kata ‘Konstitusi’ berarti ‘pembentukan’, berasal dari kata kerja yaitu
‘constituer’ (Perancis) atau membentuk. Yang dibentuk adalah negara, dengan
demikian konstitusi mengandung makna awal (permulaan) dari segala peraturan
perundang-undangan tentang negara. Belanda menggunakan istilah ‘Grondwet’ yaitu
berarti suatu undang-undang yang menjadi dasar (grond) dari segala hukum.
Indonesia menggunakan istilah Grondwet menjadi Undang-undang Dasar.

II. Hakikat Konstitusi


Sejatinya konstitusi memiliki peran untuk mempertahankan esensi keberadaan
sebuah negara dari pengaruh berbagai perkembangan yang bergerak dinamis. Oleh
karena itu, konstitusi yang ideal adalah hasil dari penyesuaian dan penyempurnaan
untuk mengikuti segala perkembangan, khususnya yang berkaitan dengan keinginan
hati nurani rakyat. Konstitusi tentunya bukan istilah yang asing bagi Anda, terutama
yang terkait dengan proses amandemen Undang-Undang Dasar RI 1945 yang

5
beberapa waktu terakhir menjadi isu sentral dalam ketatanegaraan Indonesia.
Perkataan ‘Konstitusi’ berarti membentuk ‘pembentukan’ berasal dari kata kerja
‘coustituer’ (Prancis) yang berarti ‘membentuk’. Kini yang dibentuk adalah suatu
Negara, maka ‘Konstitusi’ mengandung permulaan dari segala peraturan mengenai
suatu negara. Sendi-sendi itu tentunya harus kuat dan tidak akan mudah runtuh, agar
bangunan ‘Negara’ tetap berdiri. Oleh karena itu, peraturan yang termuat dalam
konstitusi harus tahan uji, jangan sampai sendi-sendi itu memiliki celah-celah untuk
disalah artikan atau bahkan diganti oleh pihak-pihak yang tidak menginginkan
bangunan suatu negara itu kokoh. Dengan demikian maka tidak ada seorang pun yang
dengan serta-merta dapat menggantikan sendi-sendi itu dengan tiang-tiang yang lain
coraknya dan yang akan mengubah wajah negara.
Konstitusi dalam negara adalah sebuah norma sistem politik dan hukum yang
merupakan hasil pembentukan pemerintahan pada suatu negara yang biasanya
dikodifikasikan sebagai dokumen tertulis. Dalam kasus pembentukan negara,
konstitusi memuat aturan dan prinsip-prinsip entitas politik dan hukum, istilah ini
merujuk secara khusus untuk menetapkan konstitusi nasional sebagai prinsip-prinsip
dasar politik, prinsip-prinsip dasar hukum termasuk dalam bentukan struktur,
prosedur, wewenang dan kewajiban pemerintahan Negara pada umumnya.8
Konstitusi umumnya merujuk padapenjaminan hak kepada masyarakatnya. Istilah
konstitusi dapat diterapkan kepada seluruh hukum yang mendefinisaikan fungsi
pemerintahan Negara. Konstitusi berarti hukum dasar, baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis. Hukum dasar yang tertulis biasanya disebut sebagai Undang-Undang
Dasar, sedangkan hukum dasar yang tidak tertulis disebut Konvensi, yaitu kebiasaan
ketatanegaraan atau aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek
penyelenggaraan negara. Mengingat sulitnya mengubah Undang-Undang Dasar,
sementara ada kondisi yang memerlukan peraturan, maka dalam penyelenggaraan
pemerintahan biasanya digunakan konvensi. Definisi konstitusi menurut E.C. Wade
dalam Miriam Budiardjo adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas pokok
dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja
badan tersebut. Dikalangan para ahli hukum, pada umumnya dipahami bahwa
konstitusi mempunyai tiga tujuan pokok, yaitu :
a. Keadilan (justice),
b. Kepastian (certainty atau zekenheid), dan
c. Kebergunaan (utility).

6
Keadilan itu sepadan dengan keseimbangan (balance, mizan) dan kepatutan
(equity), serta kewajaran (proportionality). Sedangkan, kepastian hukum terkait
dengan ketertiban (order) dan ketenteraman. Sementara, kebergunaan diharapkan
dapat menjamin bahwa semua nilai-nilai tersebut akan mewujudkan kedamaian hidup
bersama. Oleh karena konstitusi itu sendiri adalah hukum yang dianggap paling tinggi
tingkatannya, maka tujuan konstitusi sebagai hukum tertinggi itu juga untuk mencapai
dan mewujudkan tujuan yang tertinggi. Tujuan yang dianggap tertinggi itu adalah :
a. Keadilan,
b. Ketertiban, dan
c. Perwujudan nilai-nilai ideal seperti kemerdekaan atau kebebasan dan
kesejahteraan atau kemakmuran bersama, sebagaimana dirumuskan sebagai
tujuan bernegara oleh para pendiri negara (the founding fathers and mothers).
Misalnya, 4 (empat) tujuan bernegara Indonesia adalah seperti yang termaktub
dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945.

III. Sifat-Sifat Konstitusi


Terdapat beberapa istilah konstitusi, begitu pula dapat diketahui sifatnya, salah
satunya adalah tertulis dan yang tidak tertulis. Konstitusi pada mulanya dibentuk
penguasa yang memiliki kekuasaan untuk membentuk konstitusi, tetapi
perkembangan tampak bahwa konstitusi serta kaitannya dengan tumbuhnya, teori
kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, rakyatlah yang memiliki kedaulatan untuk
membentuk konstitusi.
Dilihat dari isi secara umum konstitusi merupakan aturan dasar yang memuat
cita-cita politik rakyat. Tetapi tidak semua cita-cita itu dapat dituangkan dalam sebuah
naskah, melainkan bagian yang pokok-pokok yang sifatnya fundamental. Dengan
demikian konstitusi harus bersifat fleksibel tidak ketinggalan zaman dan dapat
mengikuti dinamika masyarakat. Dan harus bersifat luwes tidak kaku, dapat
mengikuti perubahan dan jika terjadi perubahan haruslah bersifat lentur, selain dari
sifatnya yang formil dan materiil. Itulah sifatsifat dari sebuah konstitusi.
a) Sifat Luwes (Flexible) Atau Kaku (Rigid)
Naskah konstitusi atau Undang-Undang Dasar dapat bersifat luwes (flexible) atau
kaku (rigid). Ukuran yang biasanya dipakai oleh para ahli untuk menentukan
apakah suatu Undang-Undang Dasar itu bersifat luwes atau kaku adalah (i) apakah
terhadap naskah konstitusi itu dimungkinkan dilakukan perubahan dan apakah

7
cara mengubahnya cukup mudah atau tidak mudah mengikuti perkembangan
kebutuhan zaman. Memang harus diakui bahwa untuk menentukan sifat fleksibel
atau kaku dari suatu Undang-Undang Dasar sebenarnya tidaklah cukup hanya
dengan melihat dari segi cara prosedur di luar ketentuan konstitusi, seperti melalui
revolusi. Namun diubah melalui prosedur di luar ketentuan konstitusi, seperti
melalui revolusi. mengubahnya, melainkan bisa saja terjadi undang-undang yang
bersifat kaku tetapi dalam kenyataannya dapat diubah tanpa melalui prosedur
yangditentukan sendiri oleh undang-undang dasarnya, namun diubah melalui
prosedur di luar ketentuan konstitusi, seperti melalui revolusi. Namun diubah
melalui prosedur di luar ketentuan konstitusi, seperti melalui revolusi.
Untuk Undang-Undang Dasar yang tergolong fleksibel, perubahannya kadang-
kadang cukup dilakukan hanya dengan the ordinary legislative process seperti di
New Zeland. Sedangkan untuk Undang-Undang Dasar yang dikenal kaku,
prosedur perubahannya dapat dilakukan dengan sebagai berikut :
1) Oleh lembaga legislatif, tetapi dengan pembatasan-pembatasan tertentu.
2) Oleh rakyat secara langsung melalui suatu referendum.
3) Oleh utusan negara-negara ketatanegaraan, atau oleh suatu lembaga negara
yang khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan.
Mengenai hal tersebut pada akhirnya yang menentukan perlu tidaknya Undang-
Undang Dasar itu diubah adalah faktor konfigurasi kekuatan politik yang berkuasa
pada suatu waktu. Betapapun kakunya atau sulitnya suatu naskah Undang-Undang
Dasar diubah, apabila konfigurasi kekuatan politik yang berkuasa berpendapat dan
menghendaki atau menentukan bahwa Undang-Undang Dasar itu harus diubah,
maka konstitusi itu tentu akan diubah. Sebaliknya walaupun Undang-Undang
Dasar itu sangat mudah untuk diubah, tetapi jika kekuatan politik yang berkuasa
itu berpendapat tidak perlu diubah atau tidak menghendaki adanya perubahan,
tentu konstitusi itu tetap tidak akan mengalami perubahan. Artinya tolok ukur
fleksibilitas atau rigiditas tidaklah dapat ditentukan dengan pasti hanya karena
mudah tidaknya prosedur perubahan itu dilakukan, karena pada pokoknya
konstitusi itu merupakan produk politik, maka faktor kekuatan politiklah yang
justru sangat determinan pengaruhnya dalam menentukan apakah konstitusi harus
berubah atau tidak berubah.
b) Konstitusi Formil Dan Materiil

8
Sifat dari konstitusi formil dan materiil ini sering diidentikkan dengan
UndangUndang Dasar. Kesalahan ini disebabkan antara lain pengaruh paham
kodifikasi yang menghendaki semua aturan hukum dibuat dalam bentuk yang
tertulis dengan maksud untuk mencapai kesatuan hukum, kesederhanaan hukum,
dan kepastian hukum. Sifat yang materiil, dilihat dari segi isinya berisikan hal-hal
yang bersifat dasar pokok bagi rakyat dan negara. Artinya konstitusi tersebut
memiliki substansi yang penting, terpilih, dan mendasar untuk mengatur jalannya
negara sehingga kehidupan antara rakyat dan negara dapat berjalan dengan stabil.
Rakyat dapat mematuhi segala konstitusi yang diterapkan negara begitu pun
negara dapat menjamin konstitusi yang telah diciptakannya, sehingga elite politik
atau pemerintah pun dapat tunduk terhadap konstitusi tersebut.
Menurut Prof. K.C. Wheare, dari sifatnya konstitusi dapat dibagi menjadi dua,
yaitu konstitusi tertulis dan tak tertulis. Dalam dunia modern, paham yang
membedakan tertulis atau tidak tertulisnya suatu konstitusi sudah hampir tidak
ada, jika pun masih ada konstitusi yang tidak tertulis, itu hanya terdapat di Inggris.
Namun gambaran dari konstitusi tersebut sudah tidak bisa dibuktikan secara pasti.
Dua macam konstitusi, yaitu ‘konstitusi tertulis’ (written constitution) dan
‘konstitusi tak-tertulis’ (unwritten constitution) memiliki arti seperti halnya
dengan ‘hukum tertulis’ (geschrevent recht) yang termuat dalam undangundang
dan ‘hukum tak-tertulis’ (orgescheverent recht) yang berdasarkan atas adat-
kebiasaan.
Di negara-negara dengan konstitusi tertulis ada dokumen tertentu, yang
menentukan :
1) Adanya wewenang dan cara bekerja lembaga-lembaga kenegaraan,
2) Pengakuan dan perlindungan hak asasi para Warga Negara dilindungi.
Konstitusi-konstitusi tertulis hanya memuat beberapa lembaga kenegaraan dan
beberapa hak-hak asasi yang dilindungi. Jumlahnya yang termuat dalam pelbagai
konstitusi adalah berlainan, ada yang banyak ada yang sedikit. Maka diadakan
pilihan di antara hal-hal itu untuk dimuat dalam konstitusi.
c) Sifat Tertulis Dan Tak Tertulis
Membedakan secara prinsipiil antara konstitusi tertulis dan konstitusi tak tertulis
adalah tidak tepat. Sebutan konstitusi tidak tertulis hanya dipakai untuk
dilawankan dengan konstitusi modern yang lazimnya ditulis dalam suatu naskah
atau beberapa naskah.Timbulnya konstitusi tertulis disebabkan karena pengaruh

9
kodifikasi. Dengan demikian suatu konstitusi disebut tertulis apabila ia ditulis
dalam suatu naskah atau beberapa naskah, sedangkan suatu konstitusi disebut
tidak tertulis dikarenakan ketentuan-ketentuan yang mengatur dalam naskah
tertentu, melainkan dalam banyak hal diatur dalam konvensi-konvensi atau
undang-undang biasa.
Suatu konstitusi umumnya disebut tertulis jika merupakan satu naskah, sedangkan
konstitusi tak tertulis bukan merupakan satu naskah dan banyak dipengaruhi oleh
tradisi dan konvensi. Oleh karena itu, istilah lain untuk konstitusi tertulis adalah
konstitusi bernaskah (documentary constitution), sedangkan untuk konstitusi tak
tertulis adalah konstitusi tak bernaskah (nondocumentary constitution). Mengenai
hal tersebut, Kanada juga termasuk negara yang tidak mempunyai konstitusi
tertulis, semua lembaga-lembaga kenegaraan dan semua hak-hak asasi manusia
tersebar tanpa ada suatu dokumen yang dinamakan konstitusi. Hal-hal itulah yang
tidak termuat dalam konstitusi, dapat diketemukan dalam pelbagai undang-undang
tersendiri dan dalam adat kebiasaan di masyarakat dengan hidup kenegaraannya.
Menurut Savornin Lohman ada tiga unsur yang terdapat dalam tubuh konstitusi
sekarang, yaitu :
1) Konstitusi dipandang sebagai perwujudan perjanjian masyarakat (kontrak
sosial), sehingga menurut pengertian ini, konstitusi-konstitusi yang ada
adalah hasil atau konklusi dari persepakatan masyarakat untuk membina
negara dan pemerintahan yang akan mengatur mereka.
2) Konstitusi sebagai piagam yang menjamin hak-hak asasi manusia berarti
perlindungan dan jaminan atas hak-hak manusia dengan warga negara
yang sekaligus penentuan batas-batas hak dan kewajiban baik warganya
maupun alat-alat pemerintahannya.
3) Sebagai forma regimenis berarti sebagai kerangka bangunan pemerintahan,
dengan kata lain sebagai gambaran struktur pemerintahan negara.
d) Tujuan Konstitusi
Hukum pada umumnya bertujuan mengadakan tata tertib untuk keselamatan
masyarakat yang penuh dengan konflik antara berbagaikepentingan yang ada di
tengah masyarakat. Tujuan hukum tata negara pada dasarnya sama dan karena
sumber utama dari hukum tata negara adalah konstitusi atau UndangUndang
Dasar, akan lebih jelas dapat dikemukakan tujuan konstitusi itu sendiri.Tujuan
konstitusi adalah juga tata tertib terkait dengan :

10
1) berbagai lembaga-lembaga negara dengan wewenang dan cara bekerjanya,
2) hubungan antar lembaga negara,
3) hubungan lembaga negara dengan warga Negara (rakyat) dan
4) adanya jaminan hak-hak asasi manusia serta
5) hal-hal lain yang sifatnya mendasar sesuai dengan tuntutan perkembangan
zaman.
Tolok ukur tepat atau tidaknya tujuan konstitusi itu dapat dicapai tidak terletak
pada banyak atau sedikitnya jumlah pasal yang ada dalam konstitusi yang
bersangkutan. Banyak praktek di banyak negara bahwa di luar konstitusi tertulis
timbul berbagai lembaga-lembaga negara yang tidak kurang pentingnya dibanding
yang tertera dalam konstitusi dan bahkan hak asasi manusia yang tidak atau
kurang diatur dalam konstitusi justru mendapat perlindungan lebih baik dari yang
telah termuat dalam konstitusi itu sendiri. Dengan demikian banyak negara yang
memiliki konstitusi tertulis terdapat aturan-aturan di luar konstitusi yang sifat dan
kekuatannya sama dengan pasal-pasal dalam konstitusi.
Aturan-aturan di luar konstitusi seperti itu banyak termuat dalam satu dokumen
dengan yang lain tidak sama. Karenanya dilakukan pilihan pilihan di antara
dokumen itu untuk dimuat dalam konstitusi. Pilihan di Inggris tidak ada. Penulis
Inggris yang akhirnya memilih lembaga-lembaga mana dan hak asasi mana oleh
mereka yang dianggap ‘constitutional.’ Ada konstitusi yang materi muatannya
sangat panjang dan sangat pendek.

IV. Klasifikasi, Bentuk dan Fungsi Konstitusi


Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa hampir semua negara
memiliki konstitusi. Apabila dibandingkan anata satu negara dengan negara lain akan
nampak perbedaan dan persamaannya. Dengan demikian akan sampai pada klasifikasi
dari konstitusi yang berlaku di semua negara. Para ahli hukum tata negara atau hukum
konstitusi kemudian mengadakan klasifikasi berdasarkan cara pandang mereka
sendiri, antara lain K.C. Wheare, C.F. Strong, James Bryce dan lain-lainnya.
Dalam buku K.C. Wheare ‘Modern Constitution’ (1975) mengklasifikasi
konstitusi sebagai berikut :
a) Konstitusi tertulis dan konstitusi tidak dalam bentuk tertulis (written
constitution and unwritten constitution);
b) Konstitusi fleksibel dan konstitusi rigid (flexible and rigid constitution)

11
c) Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi derajat tidak derajat tinggi (Supreme
and not supreme constitution)
d) Konstitusi Negara Serikat dan Negara Kesatuan (Federal and Unitary
Constitution)
e) Konstitusi Pemerintahan Presidensial dan pemerintahan Parlementer
(President Executive and Parliamentary Executive Constitution)
Konstitusi fleksibel yaitu konstitusi yang mempunyai ciri-ciri pokok, antara lain :
a) Sifat elastis, artinya dapat disesuaikan dengan mudah
b) Dinyatakan dan dilakukan perubahan adalah mudah seperti mengubah undang-
undang.
Konstitusi rigid mempunyai ciri-ciri pokok, antara lain :
a) Memiliki tingkat dan derajat yang lebih tinggi dari undang-undang;
b) Hanya dapat diubah dengan tata cara khusus/istimewa.
 Konstitusi Serikat dan Kesatuan
Bentuk negara akan sangat menentukan konstitusi negara yang
bersangkutan. Dalam suatu negara serikat terdapat pembagian kekuasaan
antara pemerintah federal (Pusat) dengan negara-negara bagian. Hal itu
diatur di dalam konstitusinya. Pembagian kekuasaan seperti itu tidak diatur
dalam konstitusi negara kesatuan, karena pada dasarnya semua kekuasaan
berada di tangan pemerintah pusat.
 Konstitusi Pemerintahan Presidensial dan Parlementer
Dalam sistem pemerintahan presidensial (strong) terdapat ciri-ciri antara
lain :
1) Presiden memiliki kekuasaan nominal sebagai kepala negara, tetapi
juga memiliki kedudukan sebagai Kepala Pemerintahan
2) Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih
3) Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan legislatif dan tidak
dapat memerintahkan pemilihan umum.
Konstitusi dengan ciri-ciri seperti itu oleh Wheare disebut ‘Konstitusi
sistem pemerintahan parlementer’. Menurut Sri Soemantri, UUD 1945
tidak termasuk ke dalam kedua konstitusi di atas. Hal ini karena di dalam
UUD 1945 terdapat ciri konstitusi pemerintahan presidensial, juga terdapat
ciri konstitusi pemerintahan parlementer. Pemerintahan Indonesia adalah
sistem campuran.

12
 Fungsi dab Bentuk Konstitusi
Eksistensi konstitusi dalam kehidupan ketatanegaraan, suatu negara
merupakan suatu hal yang sangat mendasar, karena tanpa konstitusi bisa
jadi tak akan terbentuk sebuah negara. Dalam lintasan sejarah hingga awal
abad ke-21 ini, hampir tidak ada negara yang tak memiliki konstitusi. Hal
ini menunjukkan betapa urgennya konstitusi sebagai suatu perangkat
negara. Konstitusi dan negara ibarat dua mata uang yang satu sama lain
tidak terpisahkan. Bila dilihat dari fungsinya, maka konstitusi dapat dibagi
menjadi dua fungsi :
1) Membagi kekuasaan dalam negara.
2) Membatasi kekuasaan pemerintah atau penguasa dalam negara.
3) Menentukan pembatasan terhadap kekuasaan sebagai suatu fungsi
konstitusionalisme.
4) Memberikan legitimasi terhadap kekuasaan pemerintah.
5) Sebagai instrumen untuk mengalihkan kewenangan dari pemegang
kekuasaan asal (baik rakyat dalam sistem demokrasi atau raja
dalam sistem monarki) kepada organ-organ kekuasaan negara.
Bagi mereka yang memandang negara dari sudut kekuasaan dan
menganggap sebagai organisasi kekuasaan maka konstitusi dapat
dipandang sebagai lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan
bagaimana kekuasaan dibagi di antara beberapa lembaga kenegaraan,
misalnya antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Konstitusi
menentukan cara-cara bagaimana pusat-pusat kekuasaan itu bekerja sama
dan menyesuaikan diri satu sama lain serta mengatur hubunganhubungan
kekuasaan dalam negara. Selain sebagai pembatas kekuasaan, konstitusi
juga digunakan sebagai alat untuk menjamin hakhak warga negara.29 Hak-
hak tersebut mencakup hak-hak asasi, seperti hak untuk hidup,
kesejahteraan hidup dan hak kebebasan. Mengingat pentingnya konstitusi
dalam suatu negara ini, Struyken dalam bukunya Het staatsrecht van Het
Koninkrijk der Nederlander’ menyatakan, bahwa Undang-Undang Dasar
sebagai konstitusi tertulis merupakan dokumen formal yang berisikan :
1) hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau
2) tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa

13
3) pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan baik
untuk waktu sekarang maupun waktu yang akan datang
4) Suatu keinginan, di mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan
bangsa hendak dipimpin.
Keempat materi yang terdapat dalam konstitusi atau undang-undang
tersebut, menunjukkan arti pentingnya suatu konstitusi yang menjadi
barometer kehidupan bernegara dan berbangsa serta memberikan arahan
dan pedoman bagi generasi penerus bangsa dalam menjalankan suatu
negara.
Selanjutnya, konstitusi negara dibagi dalam beberapa bentuk, yakni :
 Secara Vertikal
Fungsi konstitusi secara vertikal adalah kekuasaan menurut tingkatnya,
artinya pembagian kekuasaan antara pembagian kekuasaan secara
teritorial (territorial division of power). Pembagian kekuasaan ini
dengan jelas dapat kita saksikan jika kita bandingkan antara negara
kesatuan, negara federal serta konfederasi. Karena perbedaan dalam
cara konstitusi, maka kita mengenal beberapa macam fungsi konstitusi
di antara tingkat pemerintahan tersebut di atas. Di samping itu kita
melihat bahwa konstitusi itu mengatur juga pembagian kekuasaan
dalam negara seperti yang sudah dijelaskan di atas. Macam-macam
konstitusi tersebut adalah :
1) Konstitusi Unitaris (Konstitusi negara kesatuan).
2) Konstitusi Federalistis.
3) Konstitusi Konfederalistis.
 Konstitusi Unitaris (Konstitusi Negara Kesatuan)
Disebut konstitusi unitaris apabila pembagian kekuasaan antara
pemerintahan pusat dan daerahnya tidak sama dan tidak sederajat, serta
kekuasaan pusat merupakan kekuasaan yang menonjol. Kekuasaan
yang ada di daerah bersifat derivatif (tidak langsung) dan sering dalam
bentuk yang luas (otonom). Dengan demikian tidak dikenal adanya
badan legislatif dari pemerintah pusat dan daerah yang kedudukannya
sederajat, melainkan sebaliknya. Karena itu dalam Negara tersebut
dikenal satu Undang-Undang Dasar sebagai Undang-Undang Dasar
Kesatuan.

14
 Konstitusi Federalistis
Jika kekuasaan dibagi antara pusat dan bagian pada suatu negara, maka
masing-masing bagian bebas dari campur tangan satu sama lain, dan
hubungannya sendiri-sendiri, begitu pula hubungan bagianbagian
terhadap pusat. Pemerintah pusat memiliki kekuasaan sendiri serta
bebas dari pengawasan pihak pemerintah negara bagian, begitu pula
sebaliknya. Kekuasaan-kekuasaan yang ada dan sederajat. Hanya
untuk beberapa jenis kekuasaan pemerintah pusat mempunyai
kelebihan yaitu dalam bidang pertahanan, urusan luar negeri, pos, dan
sebagainya.
Menurut Strong, terdapat tiga ciri-ciri dari negara federal, di
antaranya :
1) Adanya supremasi daripada konstitusi di mana federal itu
terwujud.
2) Adanya pembagian kekuasaan antara negara-negara federal
dengan negara-negara bagian.
3) Adanya suatu lembaga yang diberi wewenang untuk
menyelesaikan suatu perselisihan antara negara federal dengan
pemerintah negara-negara bagian.
Nampaknya perbedaan antara kedua bentuk konstitusi tersebut masih
bersifat yuridis formal, artinya masih tetap pada peraturan konstitusi
itu sendiri dan belum menggambarkan bagaimana kenyataan yang
hidup dalam masyarakat negara itu sendiri. Titik tolak pada konstitusi
federalis adalah bahwa ada kebebasan yang sama tinggi dan sama
rendah antara pemerintah negara bagian dan pemerintah Federal.
Sebagai contoh Amerika Serikat, yang mana telah dikenal pembagian
kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif, namun sering kali
kita melihat bahwa kekuasaan eksekutif dapat mempunyai hak veto
untuk menunda atau menolak undang-undang yang dibuat Negara
Bagian.
 Konstitusi Konfederalistis
Negara konfederasi adalah bentuk serikat dari negara-negara berdaulat,
namun kedaulatannya tetap dipegang oleh negara-negara bersangkutan.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa sebenarnya antara negara-

15
negara tersebut diadakan kerja sama untuk menyelenggarakan satu
bidang. Jadi kurang tepat jika kerjasama diatur dalam satu konstitusi.
Bentuk lebih tepat jika disebut suatu fakta, contohnya PBB, NATO,
SEATO, ASEAN, dan sebagainya.
Kedudukan dan fungsi konstitusi dalam negara berada dari zaman ke zaman.
Pada masa peralihan dari negara feodal monarki atau oligarki dengan kekuasaan
mutlak penguasa ke negara nasional demokrasi, konstitusi berkedudukan sebagai
benteng pemisah antara rakyat dan penguasa yang kemudian secara berangsur-angsur
mempunyai fungsi sebagai alat rakyat dalam perjuangan kekuasaan melawan
golongan penguasa. Sejak itu setelah perjuangan dimenangkan oleh rakyat. Konstitusi
bergeser kedudukan dan perannya dari sekedar penjaga keamanan dan kepentingan
rakyat terhadap kezaliman golongan penguasa menjadi senjata pamungkas rakyat
untuk mengakhiri kekuasaan sepihak satu golongan dalam sistem monarki dan
oligarki serta untuk membangun tata kehidupan baru atas dasar landasan kepentingan
bersama rakyat dengan menggunakan berbagai ideologi seperti individualisme,
liberalisme, universalisme, demokrasi, dan sebagainya.
Selanjutnya kedudukan dan fungsi konstitusi ditentukan oleh ideologi yang
melandasi negara. Konstitusi di Indonesia memiliki historis yang cukup panjang dan
dibagi ke dalam beberapa zaman, yaitu zaman Hindia Belanda, zaman Pendudukan
Jepang, dan zaman Kemerdekaan, bahkan hingga dewasa ini. Konstitusi yang
dijadikan dasar ketatanegaraan pun berganti-ganti. Pada zaman Hindia Belanda
pernah menggunakan Grondwet, kemudian digantikan oleh ‘Indische Staatsregeling’
yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1926 menggantikan ‘Regeeringsreglement’
dan tahun 1855. Indische Staatsregeling mengenal empat macam undang-undang
yaitu Wet, Algemene maatregel van bestuur (firman raja atau koninklijk besluit),
Ordonnantie, dan Regeeringsverordening. Selama pendudukan Jepang,
ketatanegaraan Indonesia pada umumnya tidak berbeda dari zaman Hindia-Belanda
hanya menggunakan nama atau istilah Jepang saja. Sejak Indonesia merdeka,
konstitusi yang dimiliki Indonesia pernah mengalami perubahan dari unitaris ke
federalistis, dan kembali lagi pada unitaris. Indonesia untuk pertama kali
menggunakan konstitusi yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan dikenal
dengan nama Undang-Undang Dasar 1945 yang berbentuk unitaris.
Kemudian pada tahun 1949 menggunakan Konstitusi Republik Indonesia
Serikat (yang berbentuk federalis) akibat ulah Belanda yang menekan Indonesia pada

16
Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Konstitusi RIS tidak bertahan lama, hanya
berlangsung delapan bulan, kemudian digantikan oleh Undang-Undang Sementara
Tahun 1950 sejak tanggal 15 Agustus 1950 (berbentuk unitaris). UUD Sementara
Tahun 1950 ini pun kemudian digantikan kembali oleh UUD 1945 sejak
dikeluarkannya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Eksistensi konstitusi dalam
kehidupan ketatanegaraan, suatu negara merupakan suatu hal yang sangat mendasar,
karena tanpa konstitusi bisa jadi tak akan terbentuk sebuah negara. Dalam lintasan
sejarah hingga awal abad ke-21 ini, hampir tidak ada negara yang tak memiliki
konstitusi. Hal ini menunjukkan betapa urgennya konstitusi sebagai suatu perangkat
negara. Menurut Busroh Abu Daud: ‘’Konstitusi dan negara ibarat dua mata uang
yang satu sama lain tidak terpisahkan.” Keberadaan konstitusi ini menjadi sangat
penting bagi berdirinya sebuah negara, karena dengan konstitusi maka aturan untuk
mengatur masyarakat bisa ditegakan.

V. Sejarah Konstitusi di Indonesia


Sejarah konstitusi di Indonesia dimulai segera setelah proklamasi
kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Dalam suasana gejolak pasca-perang dan
konfrontasi dengan pemerintah kolonial Belanda, para pemimpin Indonesia pada saat
itu segera merumuskan Konstitusi 1945 sebagai dasar hukum negara yang baru
merdeka. Konstitusi ini diilhami oleh nilai-nilai Pancasila dan sistem ketatanegaraan
yang telah ada sebelumnya di Indonesia. Namun, proses konsolidasi kekuasaan di
tengah gejolak politik dan militer pada periode awal kemerdekaan menyebabkan
konstitusi tersebut mengalami berbagai perubahan dan interpretasi.
Pada tahun 1949, Indonesia membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS)
yang terdiri dari beberapa negara bagian. Konstitusi RIS diadopsi untuk mengatur
hubungan antara pemerintah pusat dan negara-negara bagian. Namun, RIS hanya
bertahan selama beberapa tahun sebelum mengalami reunifikasi menjadi Republik
Indonesia yang Kesatuan (RI) pada tahun 1950. Pada saat reunifikasi, UUD 1945
kembali dijadikan dasar konstitusi, yang telah diamandemen untuk menyesuaikan
dengan struktur negara kesatuan.
Selama masa Orde Lama (1950-an hingga awal 1960-an) dan Orde Baru
(1966-1998), konstitusi 1945 sering kali dimanipulasi untuk mendukung kekuasaan
otoriter. Pada masa tersebut, interpretasi konstitusi sering kali disesuaikan dengan
kepentingan politik yang berkuasa. Namun, tekanan dari rakyat dan gerakan reformasi

17
di akhir Orde Baru pada tahun 1998 membawa perubahan besar dalam sistem politik
dan konstitusional Indonesia.
Reformasi menghasilkan sejumlah amendemen pada UUD 1945, yang
bertujuan untuk mengembalikan prinsip demokrasi, mengakomodasi kepentingan
daerah, dan memperluas perlindungan hak asasi manusia. Meskipun demikian, diskusi
tentang perlunya amendemen lebih lanjut atau bahkan penyusunan konstitusi baru
masih terus berlanjut di kalangan masyarakat dan politisi Indonesia. Saat ini,
Konstitusi 1945 tetap menjadi landasan bagi negara demokratis Indonesia, tetapi
perjalanan panjang sejarah konstitusi tersebut mencerminkan perjuangan bangsa ini
untuk mendapatkan kedaulatan politik dan membangun negara yang sesuai dengan
prinsip-prinsip demokrasi dan Pancasila.

VI. Perkembangan Konstitusi di Indonesia


Para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia telah sepakat utntuk
menyusun sebuah Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis dengan segala arti
dan fungsinya. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17
Agustus 1945, konstitusi Indonesia sebagai sesuatu ”revolusi grondwet” telah
disahkan pada 18 Agustus 1945 oleh panitia persiapan kemerdekaan Indonesia dalam
sebuah naskah yang dinamakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Dengan demikian, sekalipun Undang-Undang Dasar 1945 itu merupakan konstitusi
yang sangat singkat dan hanya memuat 37 pasal namun ketiga materi muatan
konstitusi yang harus ada menurut ketentuan umum teori konstitusi telah terpenuhi
dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut.
Pada dasarnya kemungkinan untuk mengadakan perubahan atau penyesuaian
itu memang sudah dilihat oleh para penyusun UUD 1945 itu sendiri, dengan
merumuskan dan melalui pasal 37 UUD 1945 tentang perubahan Undang-Undang
Dasar. Dan apabila MPR bermaksud akan mengubah UUD melalui pasal 37 UUD
1945, sebelumnya hal itu harus ditanyakan lebih dahulu kepada seluruh Rakyat
Indonesia melalui suatu referendum. (Tap no.1/ MPR/1983 pasal 105-109 jo. Tap
no.IV/MPR/1983 tentang referendum).
Perubahan UUD 1945 kemudian dilakukan secara bertahap dan menjadi salah
satu agenda sidang Tahunan MPR dari tahun 1999 hingga perubahan ke empat pada
sidang tahunan MPR tahun 2002 bersamaan dengan kesepakatan dibentuknya komisi
konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara komperhensif tentang

18
perubahan UUD 1945 berdasarkan ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang
pembentukan komisi Konstitusi.
Dalam sejarah perkembangan ketatanegaraan Indonesia ada empat macam
Undang-Undang yang pernah berlaku, yaitu :
 Periode 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949
(Penetapan Undang-Undang Dasar 1945)
Saat Republik Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus
1945, Republik yang baru ini belum mempunyai undang-undang dasar. Sehari
kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 Rancangan Undang-Undang
disahkan oleh PPKI sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
setelah mengalami beberapa proses.
 Periode 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950
(Penetapan konstitusi Republik Indonesia Serikat)
Perjalanan negara baru Republik Indonesia ternyata tidak luput dari
rongrongan pihak Belanda yang menginginkan untuk kembali berkuasa di
Indonesia. Akibatnya Belanda mencoba untuk mendirikan negara-negara
seperti negara Sumatera Timur, negara Indonesia Timur, negara Jawa Timur,
dan sebagainya. Sejalan dengan usaha Belanda tersebut maka terjadilah agresi
Belanda 1 pada tahun 1947 dan agresi 2 pada tahun 1948. Dan ini
mengakibatkan diadakannya KMB yang melahirkan negara Republik
Indonesia Serikat. Sehingga UUD yang seharusnya berlaku untuk seluruh
negara Indonesia itu, hanya berlaku untuk negara Republik Indonesia Serikat
saja.
 Periode 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959
(Penetapan Undang-Undang Dasar Sementara 1950)
Periode federal dari Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat
1949 merupakan perubahan sementara, karena sesungguhnya bangsa
Indonesia sejak 17 Agustus 1945 menghendaki sifat kesatuan, maka negara
Republik Indonesia Serikat tidak bertahan lama karena terjadinya
penggabungan dengan Republik Indonesia. Hal ini mengakibatkan wibawa
dari pemerintah Republik Indonesia Serikat menjadi berkurang, akhirnya
dicapailah kata sepakat untuk mendirikan kembali Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Bagi negara kesatuan yang akan didirikan jelas perlu adanya suatu

19
undang-undang dasar yang baru dan untuk itu dibentuklah suatu panitia
bersama yang menyusun suatu rancangan undang-undang dasar yang
kemudian disahkan pada tanggal 12 Agustus 1950 oleh badan pekerja komite
nasional pusat dan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan senat Republik
Indonesia Serikat pada tanggal 14 Agustus 1950 dan berlakulah undang-
undang dasar baru itu pada tanggal 17 Agustus 1950.

 Periode 5 Juli 1959 – sekarang


(Penetapan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945)
Dengan dekrit Presiden 5 Juli 1959 berlakulah kembali Undang-
Undang Dasar 1945. Dan perubahan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara Orde Lama pada masa 1959-1965 menjadi Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara Orde Baru. Perubahan itu dilakukan
karena Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Orde Lama dianggap
kurang mencerminkan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni
dan konsekuen.

B. Undang-Undang Dasar 1945 Dan Perubahannya


I. Pengertian Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) adalah konstitusi tertulis dan dasar
hukum tertinggi Republik Indonesia. UUD 1945 disusun dan diadopsi pada periode
awal kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada 18 Agustus 1945, hanya beberapa hari
setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Konstitusi ini diilhami oleh
prinsip-prinsip Pancasila dan berfungsi sebagai kerangka kerja bagi struktur
pemerintahan, pembagian kekuasaan, hak-hak warga negara, dan lembaga-lembaga
negara di Indonesia.
Sebagai konstitusi dasar, UUD 1945 menetapkan prinsip-prinsip dasar negara,
hak-hak warga negara, serta kewajiban dan tanggung jawab lembaga-lembaga negara.
Dokumen ini juga merinci struktur pemerintahan, pembagian kekuasaan antara
lembaga-lembaga negara, dan prosedur untuk perubahan konstitusi.
Selama berjalannya waktu, UUD 1945 telah mengalami sejumlah amendemen
untuk menyesuaikan dengan perkembangan politik, sosial, dan ekonomi di Indonesia.
Amendemen-amendemen tersebut diadopsi untuk memperkuat sistem demokrasi,

20
mengakomodasi kepentingan daerah, dan memperluas perlindungan hak asasi
manusia. Meskipun demikian, UUD 1945 tetap menjadi landasan konstitusi yang
utama bagi negara demokratis Indonesia saat ini.
Secara umum, Undang-Undang Dasar 1945 adalah dokumen yang sangat
penting dalam sejarah politik dan konstitusional Indonesia, karena mengatur tata cara
berbangsa dan bernegara serta menetapkan prinsip-prinsip dasar yang menjadi pijakan
bagi pembangunan negara yang demokratis, adil, dan berdaulat.

II. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945


Salah satu keberhasilan yang dicapai oleh bangsa Indonesia pada masa
reformasi adalah reformasi konstitusional (constitutional reform). Reformasi
konstitusi dipandang merupakan kebutuhan dan agenda yang harus dilakukan karena
UUD 1945 sebelum perubahan dinilai tidak cukup untuk mengatur dan mengarahkan
penyelenggaraan negara sesuai harapan rakyat, terbentuknya good governance, serta
mendukung penegakan demokrasi dan hak asasi manusia.
Perubahan UUD 1945 dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu
agenda Sidang MPR dari 1999 hingga 2002. Perubahan pertama dilakukan dalam
Sidang Umum MPR Tahun 1999. Arah perubahan pertama UUD 1945 adalah
membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif.
Perubahan kedua dilakukan dalam sidang Tahunan MPR Tahun 2000.
Perubahan kedua menghasilkan rumusan perubahan pasal-pasal yang meliputi
masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah, menyempumakan
perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan¬-
ketentuan terperinci tentang HAM.
Perubahan ketiga ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Perubahan
tahap ini mengubah dan atau menambah ketentuan-ketentuan pasal tentang asas-asas
landasan bemegara, kelembagaan negara dan hubungan antarlembaga negara, serta
ketentuan-ketentuan tentang Pemilihan Umum. Sedangkan perubahan keempat
dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002. Perubahan Keempat tersebut
meliputi ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan antarlembaga negara,
penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), pendidikan dan kebudayaan,
perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan tambahan.

21
Empat tahap perubahan UUD 1945 tersebut meliputi hampir keseluruhan materi UUD
1945. Naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, sedangkan perubahan yang
dilakukan menghasilkan 199 butir ketentuan. Saat ini, dari 199 butir ketentuan yang
ada dalam UUD 1945, hanya 25 (12%) butir ketentuan yang tidak mengalami
perubahan. Selebihnya, sebanyak 174 (88%) butir ketentuan merupakan materi yang
baru atau telah mengalami perubahan.
Dari sisi kualitatif, perubahan UUD 1945 bersifat sangat mendasar karena
mengubah prinsip kedaulatan rakyat yang semula dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR
menjadi dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal itu menyebabkan semua
lembaga negara dalam UUD 1945 berkedudukan sederajat dan melaksanakan
kedaulatan rakyat dalam lingkup wewenangnya masing-masing. Perubahan lain
adalah dari kekuasaan Presiden yang sangat besar (concentration of power and
responsibility upon the President) menjadi prinsip saling mengawasi dan
mengimbangi (checks and balances). Prinsip-prinsip tersebut menegaskan cita negara
yang hendak dibangun, yaitu negara hukum yang demokratis.
Setelah berhasil melakukan perubahan konstitusional, tahapan selanjutnya
yang harus dilakukan adalah pelaksanaan UUD 1945 yang telah diubah tersebut.
Pelaksanaan UUD 1945 harus dilakukan mulai dari konsolidasi norma hukum hingga
dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai hukum dasar, UUD 1945
harus menjadi acuan dasar sehingga benar-benar hidup dan berkembang dalam
penyelenggaraan negara dan kehidupan warga negara (the living constitution).
Konstitusi Sebagai Piranti Kehidupan Negara Yang Demokratis.
Sebagaimana dijelaskan diawal, bahwa konstitusi berpesan sebagai sebuah
aturan dasar yang mengatur kehidupan dalam bernegara dan berbangsa maka
aepatutnya konstitusi dibuat atas dasar kesepakatan bersama antara negra dan warga
Negara . Kontitusi merupakan bagian dan terciptanya kehidupan yang demokratis
bagi seluruh warga Negara. Jika Negara yang memilih demokrasi, maka konstitusi
demokratis merupakan aturan yang dapat menjamin terwujudnya demokrasi dinegara
tersebut. Setiap konstitusi yang digolongkan sebagai konstitusi demokratis haruslah
memiliki prinsip-prinsip dasar demokrasi itu sendiri.

22
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kata konstitusi berasal dari bahasa Perancis constituer yaitu sebagai suatu
ungkapan yang berarti membentuk. Menurut Jazim Hamidi, pemakaian kata
konstitusi lebih dikenal untuk maksud sebagai pembentukan, penyusunan atau
menyatakan suatu negara. Dengan kata lain, secara sederhana, konstitusi dapat
diartikan sebagai suatu pernyataan tentang bentuk dan susunan suatu negara, yang
dipersiapkan sebelum maupun sesudah berdirinya negara yang bersangkutan’’.
Oleh karena itu ciri khas dari sebuah negara dapat dilihatdari konstitusi yang
digunakannya. Namun secara terminologi, konstitusi tidak hanya dipahami dengan
arti yang sesederhana itu.
Undang-Undang Dasar 1945 adalah konstitusi tertulis dan dasar hukum
tertinggi Republik Indonesia. UUD 1945 disusun dan diadopsi pada periode awal
kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada 18 Agustus 1945, hanya beberapa hari
setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Konstitusi ini diilhami
oleh prinsip-prinsip Pancasila dan berfungsi sebagai kerangka kerja bagi struktur
pemerintahan, pembagian kekuasaan, hak-hak warga negara, dan lembaga-
lembaga negara di Indonesia.
Sebagai konstitusi dasar, UUD 1945 menetapkan prinsip-prinsip dasar negara,
hak-hak warga negara, serta kewajiban dan tanggung jawab lembaga-lembaga
negara. Dokumen ini juga merinci struktur pemerintahan, pembagian kekuasaan
antara lembaga-lembaga negara, dan prosedur untuk perubahan konstitusi.
B. Saran
 Perlu dilakukan analisis mendalam terhadap proses perumusan UUD 1945
dan konteks sejarahnya untuk memahami secara lebih baik landasan
filosofis dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
 Penting untuk meneliti dampak dari amendemen-amendemen yang telah
dilakukan terhadap UUD 1945 terhadap sistem politik, sosial, dan ekonomi
Indonesia, serta implikasinya terhadap perlindungan hak-hak warga
negara.

23
 Disarankan untuk membandingkan UUD 1945 dengan konstitusi negara
lain, baik secara regional maupun global, untuk mengevaluasi keunggulan
dan kelemahan dari sistem ketatanegaraan Indonesia dan mengidentifikasi
area-area yang memerlukan perbaikan.
 Perlu dianalisis bagaimana interpretasi hukum terhadap UUD 1945 telah
memengaruhi praktik politik dan sistem peradilan di Indonesia, serta
upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memastikan interpretasi yang
adil dan konsisten.
 Saran untuk menggali lebih dalam peran serta kontribusi masyarakat sipil
dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat dalam memperkuat
implementasi UUD 1945, terutama dalam advokasi hak asasi manusia,
pemberantasan korupsi, dan perlindungan lingkungan hidup.
 Disarankan untuk menyusun strategi-strategi pendidikan dan kesadaran
masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang
konstitusi, hak-hak warga negara, dan kewajiban-kewajiban dalam sistem
demokratis Indonesia.
 Perlu diperhatikan pula upaya untuk memastikan bahwa UUD 1945 tetap
relevan dan responsif terhadap dinamika sosial, politik, dan ekonomi yang
terus berkembang di Indonesia, termasuk melalui proses amendemen yang
partisipatif dan inklusif.

24
DAFTAR PUSTAKA

Haryanti, A. (2021). Konstitusi dan UUD 1945. Tangerang Selatan : Unpam Press.

Yuliandri. (2018). Konstitusi dan Konstitusionalisme. Cisarua : Universitas Andalas.

Santika, I. G. N. (2021). Pendidikan Kewarganegaraan. Jawa Tengah : Lakeisha.

mkri.id, Sejarah dan Perkembangan Konstitusi di Indonesia. Diakses dari


https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=11776 pada 19 Maret 2024.

25

Anda mungkin juga menyukai