Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

PEMANFAATAN BATU BARA


UNTUK MENGHASILKAN
PRODUK GAS

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa


karena dengan rahmat, karunia, kami dapat menyelesaikan makalah
tentang Potensi dan Pemanfaatan Batubara di Indonesia ini dengan
baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami
berterima kasih pada Ibu Dr. Ir. Joelianingsih MT selaku Dosen
mata kuliah MIGAS dan Batubara Institut Teknologi Indonesia yang
telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai potensi dan
pemanfaatan batubara yang ada di Indonesia. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan
jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya
kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami
buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang
membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun
yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat
berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan di masa depan.

Serpong, November 2015


Penyusun
BAB I

PEND

AHUL

UAN

1.1Latar Belakang

Lokasi Indonesia yang terletak pada 3 tumbukan (konvergensi)


lempeng kerak bumi, yakni lempeng Benua Eurasia, lempeng Benua
India-Australia dan lempeng Samudra Pasifik melahirkan suatu
struktur geologi yang memiliki kekayaan potensi pertambangan yang
telah diakui di dunia. Salah satunya adalah batu bara, dimana daerah
penghasil tambang terbesar di Indonesia adalah Kalimantan Selatan.
Pertumbuhan tambang di Kalimantan Selatan sendiri semakin pesat
karena semakin banyak lahan tambang baru yang ditemukan.
Batubara adalah bahan bakar fosil. Batubara dapat terbakar,
terbentuk dari endapan, batuan organik yang terutama terdiri dari
karbon, hidrogen dan oksigen. Batubara terbentuk dari tumbuhan yang
telah terkonsolidasi antara strata batuan lainnya dan diubah oleh
kombinasi pengaruh tekanan dan panas selama jutaan tahun sehingga
membentuk lapisan batubara. Batu bara banyak digunakan sebagai
sumber energi dalam steam power plant, tetapi turunan dari batubara
dapat digunakan untuk keperluan lain seperti metanol.
Sumber daya batubara Indonesia mencapai 104 miliar ton dan
cadangan 21 miliar ton. Berdasarkan data BP Statistical Review 2010,
cadangan Indonesia hanya 0,5 persen dari cadangan dunia. Sedangkan

1
bila kita berasumsi 21 miliar ton dihitung semua sebagai cadangan
yang mineable jumlahnya tidak sampai 2,5 persen. Potensi mineral
dan batubara tersebar di berbagai kepulauan di Indonesia. Karena
memiliki potensi ekonomi yang cukup besar maka sejak lama sumber
daya mineral dan batubara telah menjadi andalan pembangunan
ekonomi.
Namun pertumbuhan yang pesat tidak diseimbangi dengan
pengelolaan yang baik oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung
jawab. Kurangnya sosialisasi tentang pengelolaan tambang dengan
baik, menyebabkan banyak dampak buruk yang dihasilkan. Walaupun
sekarang tidak terlalu terasa, namun beberapa tahun

2
lagi dampak pengelolaan tambang yang salah bisa mengganggu
stabilitas ekosistem. Perlu dilakukan usaha-usaha yang dilakukan dari
sekarang untuk mengatasi pengelolaan tambang yang salah. Mulai dari
sosialisasi sampai tindakan nyata. Sehingga diharap keseimbangan
alam akan terjaga.
Pertanyaannya, sejauh mana manfaat dari bahan galian
batubara ini bisa dioptimalkan sebagai modal pembangunan? Hal ini
merupakan isu sentral terkait dengan pengembangan mineral dan
batubara Indonesia saat ini. Pertanyaan ini adalah sebuah hal yang
wajar, mengingat di dalam konteks pengembangannya terdapat
sejumlah paradoks. Pertama, di satu sisi jumlah sumber daya dan
cadangan mineral dan batubara ini sebagai sumber daya yang tidak
bisa terbaharui tentunya terbatas jumlahnya, namun produksinya dari
tahun ke tahun terus meningkat tanpa bisa ditahan. Kedua, kebutuhan
domestik meningkat tapi ekspor juga meningkat lebih cepat lagi.
Ketiga, Indonesia masih menjual barang mentah termasuk sebagian
besar produksi mineral dan batubara dan menjadi pasar barang jadi.
Banyak kalangan menghawatirkan bahwa dengan kondisi
seperti ini maka masa depan, industri ekstraktif khususnya
pertambangan di Indonesia akan segera berakhir dalam waktu 5
sampai 10 tahun. Kondisi ini patut disayangkan karena industri ini
memberikan sumbangan yang cukup besar bagi perekonomian
nasional maupun daerah. Dampak ekonomi dari keberadaan industri
pertambangan antar lain penciptaan output, penciptaan
tenaga kerja, menghasilkan devisa dan memberikan kontribusi
fiskal.
Untungnya di dalam UU No.4/2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara (UU Minerba) terdapat pesan yang jelas bahwa
kekayaan sumber daya alam ini harus dioptimalkan demi kepentingan
sebesar-besar kemakmuran rakyat, sejalan dengan substansi Pasal 33
UUD 1945. Maka yang diperlukan disini adalah bagaimana jalannya
untuk menempuh hal tersebut. Ini menjadi sebuah tantangan kedepan
yang perlu dijawab dan dibenahi dengan kerjasama lintas sektor dan
pusat-daerah.
Salah satu bentuk pengoptimalan pemanfaatan batu bara
adalah mengubah batu bara menjadi sebuah gas. Teknologi gasifikasi
batubara (konversi batubara
menjadi gas) kini sudah berkembang dengan baik dan dapat
memproduksi gas yang dapat memenuhi persyaratan untuk digunakan
sebagai bahan bakar mesin pembakaran internal (internal combustion
engine) seperti motor bakar atau mesin diesel. Penggunaan gas alam
maupun gas hasil gasifikasi biomasa untuk mesin pembakaran internal
sudah sejak lama diterapkan. Gas tersebut digunakan bersamaan
dengan solar (dual fuel) untuk menghasilkan proses pembakaran di
ruang bakar.
Dirjen Industri Kimia, Tekstil dan Aneka Kemenprin (2017)
memaparkan bahwa batubaru dengan kualitas rendah dapat
dikembangkan untuk memproduksi gas dimetil eter (DME) yang bisa
menggantikan liquefied petroleum gas (LPG) melalui proses gasifikasi
batubara. Selain itu, Proses gasifikasi memiliki potensi yang cukup
besar untuk membantu cadangan devisa negara, yang mana DME dan
methanol dapat mengurangi impor dan mensubstitusi BBM, BBG dan
bahan industri kimia dasar. Dibandingkan dengan China yang telah
lebih dahulu menggunakan teknologi gasifikasi, di Indonesia
gasifikasi baru dimulai dikarenakan harga bahan bakar minyak yang
semakin mahal akibat pembatasan subsidi (Sasongko et., al , 2011).
Gasifikasi juga dapat digunakan sebagai salah satu energi alternatif
untuk menghasilkan nilai tambah yang besar bagi industri dalam
negeri, namun pada praktiknya peningkatan nilai tambah batubara di
Indonesia belum sepenuhnya mencapai tahap komersil. Sejauh ini,
coal upgrading dan pembuatan briket batubara lah yang masih menjadi
primadona dalam tahap komersil.
Pemanfaatan batubara sebagai energi utama nasional sudah
digalakan oleh pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Presiden
No. 5 Mengenai Bauran Energi Nasional tercatat bahwa pada tahun
2025 penggunaan batubara sebesar 33%, penggunaan ini diutamakan
untuk listrik sedangkan untuk gas kota dan transportasi masih
mengutamakan gas dan minyak bumi. Penggunaan batubara saat ini
tidak hanya digunakan untuk listrik namun dapat dimanfaatkan untuk
berbagai keperluan seperti gas kota, briket untuk rumah tangga dan
industri menengah serta bahan bakar minyak sintetik yang dapat
digunakan untuk sumber energi bagi motor. Pemanfaatan batubara
dengan meningkatkan kadar atau nilai
pada batubara untuk berbagai keperluan sangat perlu dilakukan karena
mengingat kondisi cadangan batubara indonesia berdasarkan
kualitasnya 24% termasuk batubara peringkat rendah, 60% peringkat
sedang, dan 15% peringkat tinggi serta hanya 1% yang termasuk
peringkat sangat tinggi(Hasjim, 2010). Untuk peringkat rendah sampai
sedang akan menimbulkan masalah jika dibakar secara langsung untuk
pembangkit tenaga listrik maka kualitas rendah sampai sedang baik
untuk ditingkatkan kualitasnya menjadi batubara cair, gas kota, dan
kokas. Sedangkan untuk batubara peringkat tinggi sampai sangat
tinggi sangat baik untuk pembakaran secara langsung untuk
pembangkit listrik serta industria baja dan semen.

1.2 Rumusan Masalah

Pemanfaatan batubara di Indonesia semakin menipis, dengan


meningkatnya penggunaan pada sektor industri mengakibatkan
batubara menjadi salah satu sumber energi yang diutamakan
penggunaannya. Potensi yang dimiliki Indonesia sebenarnya
mencukupi penggunaan batubara sebagai sumber energi tetapi
memerlukan tahapan selanjutnya meliputi penambangan, analisis dan
pengolahan yang memerlukan waktu cukup lama serta perlu
memperhatikan kebijakan pertambangan dan penggunaannya sesuai
dengan UU Pertambangan Mineral dan Batubara. Adapun rumusan
masalah dalam penulisan makalah ini adalah “Bagaimana
pemanfaatan batu bara untuk menghasilkan gas?”

1.3 Tujuan

Mengatahui potensi batubara yang terdapat di Indonesia untuk


menghasilkan gas sehingga dapat dimanfaatkan berdasarkan kebijakan
yang sudah ditetapkan pemerintah.
1.4 Manfaat

Dapat memanfaatkan potensi batubara untuk menghasilkan gas


dengan pengolahan yang sesuai kebijakan pemerintah secara
ekonomis sehingga batubara
dapat menjadi salah satu sumber energi yang menguntungkan pada
bidang industri.
BAB II

STUDI KEPUSTAKAAN

2.1 Potensi Batubara


Cadangan batubara dipengaruhi oleh besarnya endapan gambut yang
tertanam selama jutaan tahun. Semakin kecil lahan gambut maka potensi
cadangan batubara yang termasuk mineral anorganik ini akan semakin kecil.
Potensi yang sudah diketahui belum tentu seluruhnya dapat diproduksi
karena harus melalui tahapan selanjutnya yang memenuhi standar
penggunaan batubara sehingga pada pemakaiannya lebih ekonomis.

Endapan batubara yang terdapat di Indonesia terdapat di bagian


barat Paparan Sunda termasuk Pulau Sumatera dan Kalimantan. Batubara
ini terbentuk dari endapan gambut pada iklim purba sekitar khatulistiwa
yang mirip dengan kondisi kini. Beberapa diantaranya tegolong kubah
gambut yang terbentuk di atas air tanah rata-rata pada iklim basah
sepanjang tahun. Dengan kata lain, kubah gambut ini terbentuk pada kondisi
dimana mineral-mineral anorganik yang terbawa air dapat masuk ke dalam
sistem dan membentuk lapisan batu bara yang berkadar abu dan sulfur
rendah dan menebal secara lokal.

Berdasarkan survei Frasser Institute tahun 2008-2009, dari 71


negara penghasil sumber daya mineral Indonesia menduduki peringkat ke-7
dari segi potensi yang mencangkup 1,2% dari total cadangan batubara di
dunia. Berdasarkan aplikasi sistem database yang dikembangkan oleh
Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),
cadangan batu bara di Indonesia diperkirakan sebesar 21 juta ton pada tahun
2011 yang tersebar di pulau-pulau besar dengan potensi paling melimpah
terdapat di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Apabila diperkecil, terdapat
provinsi yang memiliki cadangan batubara terbesar yaitu Nanggroe Aceh
Darusalam, Riau, Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu,
Lampung, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, semua provinsi di
Kalimantan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Papua.

2.2 Pemanfaatan Batubara

Batubara di Indonesia banyak sekali digunakan sehingga cadangan


batubara di Indonesia semakin lama semakin menipis. Berikut tabel
produksi tambang di Indonesia :

Tabel 2.2 Produksi Tambang Mineral Indonesia


2.2.1 Manfaat Batubara

1. Batubara Untuk Bahan bakar


Batubara untuk bahan bakar, disebut batubara bahan bakar
(steaming coal, fuel coal, atau energy coal). Sebagai bahan bakar,
batubara dapat dimanfaatkan untuk mengubah air menjadi upa didalam
suatu ketel uap atau boiler PLTU, untuk membakar bahan pembuat
klinker dipabrik semen, dan sebagaibahan bakar di industri-industri
kecil.Pada saat ini, Indonesia telah mencoba memanfaatkan batubara
untuk menggantikan minyak tanah sebagai bahan bakar tidak berasap
(smokeless fuel) di rumah tangga. Untuk keperluan tersebut, batubara
dikarbonisasikan pada suhu rendah, digerus dan diberi bahan perekat,
kemudian dicetak dan dibentuk menjadi briket batubara.
2. Batubara Untuk Kokas
Kokas ialah residu padat yang tertinggal bila batubara dipanaskan
tanpa udara sampai sebagian zat yang mudah menguapnya hilang.
Batubara kokas adalah batubara yang bila dipanaskan tanpa udara sampai
suhu tinggi akan menjadi lunak, terdevolatilasasi, mengembang, dan
memadat kembali membentuk material yang porous. Material ini
merupakan padatan kaya karbon yang disebut kokas. Kebanyakan kokas
digunakan dalam pembuatan besi dan baja karena memberikan energi
panas dan sekaligus bertindak sebagai zat pereduksi (reduktor) terhadap
bijih besi yang dikerjakan didalam tanur suhu tinggi atau tungku
pembakaran (blast furnace).
3. Batubara Konversi
Batubara konversi ialah batubara yang dimanfaatkan tidak sebagai
bahan bakar padat, tetapi energi yang dikandungnya, disimpan dalam
bentuk lain, yakni gas dan cairan. Dalam proses gasifikasi, semua zat
organik dalam batubara diubah kedalam bentuk gas, terutama karbon
monoksida, karbon dioksida, dan hidrogen. Gas-gas ini kemudian dapat
pula diubah menjadi bahan-bahan kimia, seperti pupuk dan metanol.
2.2.2 Produk Turunan Batubara

 Patent fuel (Bahan bakar paten)


 Kokas coke-oven (dapur kokas)
 Gas coke (kokas gas)
 Gas kilang gas (Gas-works gas)
 Gas coke-oven (dapur kokas)
 Gas blast-furnace (tanur tinggi)
 Gas basic oxygen steel-furnace (tanur baja oksigen basa)

2.2.3 Residu Batubara terdiri dari abu batubara dan kokas


Abu dalam batubara merupakan residu anorganik yang tidak dapat
terbakar (non-combustible) sebagai sisa hasil pembakaran batubara.
Kandungan abu dalam batubara memberikan gambaran tentang kandungan
mineral residu setelah komponen zat terbang, seperti CO2 dari karbonat,
SO2 dari sulfida, dan H2O, dihilangkan dengan pemanasan suhu tinggi.
Pengertian Abu Batubara (Fly Ash) Fly ash batubara
adalah limbah industri yang dihasilkan dari pembakaran batubara dan terdiri
dari partikel yang halus. Gradasi dan kehalusan fly ash batubara dapat
memenuhi persyaratan gradasi AASTHO M17 untuk mineral filler.
Penggunaan mineral filler dalam campuran aspal beton adalah untuk
mengisi rongga dalam campuran, untuk meningkatkan daya ikat aspal
beton, dan untuk meningkatkan stabilitas dari campuran. Dari penelitian
tentang penggunaan fly ash batubara sebagai mineral filler untuk
menggantikan filler bubuk marmer pada campuran aspal beton
menunjukkan kadar optimum lebih rendah dari pada filler bubuk
marmer, yaitu
3.5 % untuk filler fly ash batubara dan 4.5 % untuk filler bubuk marmer.
Fly-ash atau abu terbang yang merupakan sisa-sisa pembakaran batu bara,
yang dialirkan dari ruang pembakaran melalui ketel berupa semburan asap,
yang telah digunakan sebagai bahan campuran pada beton. Fly-ash atau
abu terbang di kenal di Inggris sebagai serbuk abu pembakaran. Abu terbang
sendiri tidak memiliki kemampuan mengikat seperti halnya semen. Tetapi dengan
kehadiran air dan ukuran partikelnya yang halus, oksida silika yang dikandung oleh
abu terbang akan bereaksi secara kimia dengan kalsium hidroksida yang terbentuk
dari proses hidrasi semen dan menghasilkan zat yang memiliki kemampuan
mengikat.
Limbah Padat Abu Terbang Batubara ( Fly Ash ) Abu batubara
sebagai limbah tidak seperti gas hasil pembakaran, karena merupakan bahan
padat yang tidak mudah larut dan tidak mudah menguap sehingga akan
lebih merepotkan dalam penanganannya. Apabila jumlahnya banyak dan
tidak ditangani dengan baik, maka abu batubara tersebut dapat mengotori
lingkungan terutama yang disebabkan oleh abu yang beterbangan di udara
dan dapat terhisap oleh manusia dan hewan juga dapat mempengaruhi
kondisi air dan tanah di sekitarnya sehingga dapat mematikan tanaman.
Saat ini abu terbang batubara digunakan dalam pabrik semen
sebagai salah satu bahan campuran pembuat beton. Selain itu, sebenarnya
abu terbang batubara memiliki berbagai kegunaan yang amat beragam:
1. Penyusun beton untuk jalan dan bendungan
2. Penimbun lahan bekas pertambangan
3. Recovery magnetic, cenosphere, dan karbon
4. Bahan baku keramik, gelas, batu bata, dan refraktori
5. Bahan penggosok (polisher)
6. Filler aspal, plastik, dan kertas
7. Pengganti dan bahan baku semen
8. Aditif dalam pengolahan limbah (waste stabilization)
9. Konversi menjadi zeolit dan adsorben

Kebijakan Pemerintah Tentang Pertambangan Batubara

Kewenangan Pemerintah dalam pengelolaan pertambangan mineral dan


batubara, diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara sebagai pengganti Undang-undang Nomor
11 Tahun 1967. Pemerintah Indonesia memandang bahwa pengusahaan batubara
masih diperlukan untuk menunjang pembangunan, sehingga pengembangan
tambang batubara masih akan terus berlanjut. Pelaksanaan UU Mineral dan
Batubara yang baru ditujukan untuk mendorong realisasi hal itu. Di bawah ini
adalah poin – poin penting dalam UU tersebut:
 Selain menteri, penerbitan ijin pengusahaan batubara dapat dilakukan oleh
gubernur, bupati / walikota. (Menyesuaikan dengan otonomi daerah).
 Kewajiban meningkatkan nilai tambah hasil pertambangan di dalam
negeri, dalam hal ini adalah kewajiban membangun fasilitas pengolahan
dan pemurnian hasil tambang (Belum ada kewajiban untuk membangun
fasilitas prepasi batubara/coal preparation plant).
 Kewajiban bagi pengusaha pertambangan untuk melakukan pembangunan
daerah (community development) dan penanganan lingkungan yang terkait
dengan pelaksanaan pertambangan.
 Pemberian wewenang kepada pemerintah untuk mengatur jumlah
produksi, volume ekspor, serta harga batubara. Pemberlakukan kewajiban
suplai untuk kebutuhan domestic (Domestic Market Obligation / DMO)
dan regulasi harga batubara (Indonesia Coal Price Reference / ICPR).
 Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang memprioritaskan BUMN
dan perusahaan dalam negeri untuk melakukan penambangan di Wilayah
Pencadangan Negara (WPN) diterbitkan oleh pemerintah pusat.
 Wewenang penyelidikan memasukkan unsur kepolisian dan pejabat
publik. Aturan hukum menjadi lebih keras, dari yang bersifat toleran
menjadi lebih tegas, serta memungkinkan hukuman pidana bagi badan
hukum.

Pemerintah melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun


2006 telah mencanangkan kebijakan energi nasional yang bertujuan untuk
menjamin pasokan energi dalam negeri dan untuk mendukung pembangunan yang
berkelanjutan. Salah satunya adalah dengan mengembangkan energi baru yang
dihasilkan oleh teknologi baru baik yang berasal dari energi terbarukan maupun
energi tak terbarukan, antara lain : Hidrogen, Coal Bed Methane, Coal
Liquifaction, Coal Gasification dan Nuklir. Hal ini dilakukan agar penggunaan
batubara dapat digantikan dengan teknologi baru, sehingga pasokan batubara di
Indonesia masih tersedian untuk jangka waktu yang panjang.

2.3.1 Prosedur hukum yang dilakukan jika pihak perusahaan melakukan


pelanggaran dalam penanganan lingkungan diatur dalam PERMEN nomor
13 tahun 2012 yaitu dalam pasal 76 dan 119 :

Pasal 119
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan
usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:
a.       perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b.      penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
c.       perbaikan akibat tindak pidana;
d.      pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
e.       penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.

Pasal 76
(1)   Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi
administratif  kepada penangung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam
pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. 
(2)   Sanksi administratif terdiri atas:
a.       teguran tertulis; 
b.      paksaan pemerintah; 
c.       pembekuan izin lingkungan; atau 
d.      pencabutan izin lingkungan. 
BAB III
METODOLOGI

Pada penulisan makalah ini, penulis menngunakan jenis riset kepustakaan


(library research). Apa yang disebut dengan riset kepustakaan atau sering juga
disebut studi pustaka, ialah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode
pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan
penelitian. Sedangkan menurut Mahmud dalam bukunya Metode Penelitian
Pendidikan menjelaskan bahwa penelitian kepustakaan yaitu jenis penelitian yang
dilakukan dengan membaca buku-buku atau majalah dan sumber data lainnya
untuk menghimpun data dari berbagai literatur, baik perpustakaan maupun di
tempat-tempat lain. Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa penelitian
kepustakaan tidak hanya kegiatan membaca dan mencatat data-data yang telah
dikumpulkan. Tetapi lebih dari itu, peneliti harus mampu mengolah data yang
telah terkumpul dengan tahap-tahap penelitian kepustakaan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gasifikasi

Gasifikasi adalah suatu proses perubahan bahan bakar padat


secara termo kimia menjadi gas, dimana udara yang diperlukan lebih
rendah dari udara yang digunakan untuk proses pembakaran. Selama
proses gasifikasi reaksi kimia utama yang terjadi adalah endotermis
(diperlukan panas dari luar selama proses berlangsung). Media yang
paling umum digunakan pada proses gasifikasi ialah udara dan uap.
Produk yang dihasilkan dapat dikategorikan menjadi tiga bagian utama,
yaitu padatan, cairan (termasuk gas yang dapat dikondensasikan) dan gas
permanen. Media yang paling umum digunakan dalam proses gasifikasi
adalah udara dan uap. Gas yang dihasilkan dari gasifikasi dengan
menggunakan udara mempunyai nilai kalor yang lebih rendah tetapi disisi
lain proses operasi menjadi lebih sederhana.
Proses gasifikasi batubara adalah proses yang mengubah batubara
(bahan bakar padat) menjadi bahan bakar gas. Dengan mengubah batubara
menjadi gas, maka material yang tidak diinginkan yang terkandung dalam
batubara seperti senyawa sulfur dan abu, dapat dihilangkan dari gas
menggunakan metode tertentu sehingga dapat dihasilkan gas bersih dan
dialirkan sebagai sumber energi. Sebagaimana diketahui, saat bahan bakar
dibakar, energi kimia akan dilepaskan dalam bentuk panas. Pembakaran
terjadi saat Oksigen yang terkandung dalam udara bereaksi dengan karbon
dan hidrogen yang terkandung dalam batubara dan menghasilkan CO2 dan
air serta energi panas. Dalam kondisi normal, dengan pasokan udara yang
tepat akan mengkonversi semua energi kimia menjadi energi panas.
Jika pasokan udara dikurangi, maka pelepasan energi kimia dari
batubara akan berkurang, dan kemudian senyawa gas baru akan terbentuk
dari proses pembakaran yang tidak sempurna ini. Senyawa gas yang
terbentuk ini terdiri atas H2, CO, dan CH4 (methana), yang masih memiliki
potensi energi kimia yang belum dilepaskan. Dalam bentuk gas, potensi
energi ini akan lebih mudah dialirkan dan digunakan untuk sumber energi
pada proses lainnya, misalnya dibakar dalam boiler, mesin diesel, gas
turbine, atau diproses untuk menjadi bahan sintetis lainnya (menggantikan
bahan baku gas alam). Dengan fungsinya yang bisa menggantikan gas
alam, maka gas hasil gasifikasi batubara disebut juga dengan syngas
(syntetic gas). Dengan proses lanjutan, syngas ini dapat diproses menjadi
cairan. Proses ini disebut dengan coal liquefaction (pencairan batubara).
Untuk dapat menghasilkan gas dari batubara dengan maksimal, maka
pasokan oksigen harus dikontrol sehingga panas yang dihasilkan dari
pembakaran “setengah matang” ditambah energi yang terkandung pada
senyawa gas yang terbentuk setara dengan energi dari batubara yang
dipasok.

4.2. Pengertian dan Sejarah Gasifikasi


Gasifikasi adalah proses yang menggunakan panas, uap, dan
tekanan tinggi untuk mengkonversi batubara atau bahan baku yang
mengandung karbon lainnya menjadi gas sintesis, atau syngas. Syngas terdiri
dari hidrogen (H2) dan karbon monoksida (CO), gas yang dapat digunakan
sebagai bahan bakar untuk produksi listrik.

Proses gasifikasi telah dikomersialisasi selama lebih dari 200 tahun.


Para ilmuwan telah mengetahui tentang potensi gasifikasi sejak tahun 1609,
namun insinyur Skotlandia, William Murdock, merupakan pelopor
sebenarnya di bidang ini. Dia mengembangkan proses gasifikasi pada tahun
1792 dengan melakukan percobaan menggunakan berbagai jenis bahan
bakar, akhirnya menyimpulkan gas batubara adalah yang paling efektif.
Fasilitas gasifikasi batubara pertama di Amerika Serikat, the Gas Light
Company of Baltimore, didirikan pada tahun 1816. Fasilitas ini
menghasilkan town gas, yang diproduksi secara lokal dan dipasok ke kota
untuk kebutuhan memasak dan penerangan. Ketika industri lokal mulai
menggunakan town gas untuk menerangi pabrik-pabrik mereka, shift malam
bisa dijalankan, membantu untuk mengantarkan ke Era Industrialisasi.

System gasifikasi batubara modern digunakan untuk menghasilkan


bahan- bahan kimia seperti hidrogen dan metanol dan untuk menyediakan
sistem yang lebih bersih dan efisien. Beberapa tipe gasifier modern yang
sudah ada yaitu entrained-flow, fluidized-bed dan fixed-bed dan kondisi
ketiga sistem itu sangat berdasarkan pada tipe batubara yang digunakan.
Sampai akhir tahun 1920-an gas hasil gasifikasi diperoleh dengan oksidasi
sebagian (partial oxidation) coke dengan udara terhumidifikasi. Setelah Carl
von Linde mengkomersialkan pemisahan kriogenik dari udara selama tahun
1920-an, proses gasifikasi menghasilkan gas sintesa dan hidrogen
menggunakan oksigen blast, hal ini merupakan tonggak perkembangan
proses gasifikasi seperti prosesWinkle fluid-bed (1926), Lurgi pressurized
gasification (1931), dan Koppers-Totzek entrained-flow (1940- an).

Perkembangan gasifikasi selanjutnya dimulai selama perang dunia


kedua ketika insinyur Jerman menggunakan proses gasifikasi untuk
memproduksi bahan bakar sintetik. Teknologi ini diekspor ke Afrika Selatan
pada tahun 1950-an yang kemudian memicu berdirinya perusahaan
gasifikasi batubara terbesar sampai saat ini yaitu South African Coal Oil and
Gas Corporation (Sasol) dan menjadi pusat gasifikasi terbesar di dunia pada
akhir tahun 1970-an. Perusahaan ini menggunakan gasifikasi batubara dan
sintesis Fischer-Tropsch sebagai dasar dari pembuatan gas sintesis kompleks
dan industri petrokimia.

Pada tahun 1950-an, baik Texaco dan Shell oil juga


mengembangkan proses gasifikasi. Dengan keberadaan gas bumi dan
minyak yang banyak pada tahun 1950-an, peran gasifikasi batubara mulai
menurun. Menurunnya peran ini bukan hanya disebabkan oleh ketersediaan
gas bumi dan minyak yang banyak tetapi juga karena nilai kalor gas bumi
dan minyak yang lebih tinggi serta sedikitnya kandungan pengotor bila
dibandingkan dengan batubara.

Pemanfaatan tar dimulai pada pertengahan abad ke-19, ketika


perkembangan teknik kimia telah memungkinkan untuk melakukan distilasi
dan pemurnian tar menjadi produk pewarna sintetik dan bahan kimia. Jadi,
sebelum industri kimia yang berbahan baku migas atau disebut dengan
petrokimia berkembang, industri kimia berbasis batubara atau disebut
dengan coal-chemical telah lebih dulu eksis.

Kemudian awal tahun 1970-an krisis minyak pun mulai terjadi


sedangkan di pihak lain cadangan batubara masih dalam jumlah yang sangat
besar sehingga pengembangan teknologi proses batubara kembali dilirik. Hal
ini memicu berbagai teknologi proses alternatif pengembangan penggunaan
batubara seperti gasifikasi dan likuifaksi. Terdapat juga proses hidrogenasi
batubara dikonversi secara langsung menjadi metana sebagai pengganti gas
bumi atau Synthetic Natural Gas (SNG). Karena beroperasi pada tekanan
yang tinggi menjadikan proses hidrogasifikasi agak sulit untuk
dikomersialisasikan.

Setelah embargo minyak Timur Tengah terjadi tahun 1973.


Pemerintah Amerika menyediakan dukungan dana untuk konsep penelitian
gasifikasi, termasuk penelitian pertama Integrated Gasification Combine
Cycle (IGCC). Pada proses IGCC, batubara digasifikasi dimana produk dari
gasifikasi kemudian di purifikasi untuk menghilangkan asam dan partikulat
pengotor sebelum diinjeksi ke gas turbin. Karena pembakaran flue gas
berasal dari turbin gas hampir bebas dari asam dan partikulat pengotor,
IGCC dianggap sebagai teknologi pemusnah hujan asam. Tetapi yang lebih
penting, efisiensi dari IGCC lebih tinggi dari pada sistem konvensional serta
secara signifikan pula CO2 yang dihasilkan jauh lebih sedikit. Hal ini
membuat IGCC merupakan solusi bagi negara-negara yang harus
menurunkan emisi gas rumah kaca tetapi tidak bisa berganti ke sumber
energi lain. Pada awal 1990-an lembaga-lembaga pemerintahan Amerika dan
Eropa menyediakan dana penelitian untuk menguji kelayakan proses IGCC.
Kemudian tahun 2000–an IGCC mulai dikomersialkan.

Proses komersialisasi gasifikasi batubara dimulai oleh 3 proses


gasifikasi yaitu proses Lurgi, Winkler, dan Koppers-Totzek. Proses Lurgi
beroperasi pada tekanan tinggi 20–30 atm dengan temperatur 1000 0C.
Winkler yang menggunakan gasifier tipe fluidized beroperasi pada
temperatur 800-900 0C dengan tekanan atmosfer, begitu juga dengan proses
Koppers-Totzek yang beroperasi pada tekanan atmosfer tetapi menggunakan
temperatur yang lebih tinggi lagi sekitar 1500-1800 0C tetapi proses
Koppers-Totzek hampir tidak menghasilkan produk samping dan yield gas
sintesis paling tinggi yaitu 95%. Adapun proses Otto-Rummel yang
menggunakan gasifier molten bath yang beroperasi pada temperatur 1400-
1700 0C dan tekanan atmosferik.

Pada masa sekarang ini pengembangan proses gasifikasi hampir


menyeluruh di seluruh benua. Di benua Afrika terdapat konsentrasi terbesar
di dunia terletak di Afrika Selatan (Sasol) dimana lebih dari 40% produksi
bahan bakar sintetik dan kimia dari gasifikasi batubara. Ada 3 pabrik Sasol
(Sasol I, II, III) yang berlokasi di Seconda dan Sasolburg. Di benua Asia,
pabrik terbesar berada di India, China, dan Jepang. Sedangkan di benua
Eropa ada 5 proyek besar IGCC beroperasi di Eropa Barat dengan
konsentrasi terbesar di Itali yang memiliki 3 proyek terbesar yaitu Priolo
(Sicily), Sarroch (Sardinia), dan Sannazzaro (Italia Utara). Sedangkan 2
proyek lainnya di Puertollano (Spanyol), dan Buggenum (Belanda). Di
Amerika Utara kebanyakan di Kingsport, Tennessee dan North Dakota.Di
Indonesia sendiri, sudah dibangun pilot plant gasifikasi batubara untuk
Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) sistem biofuel yaitu campuran
gas batubara dan solar. Pilot plant ini dibangun atas kerjasama antara
Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara dengan PT PLN (Persero) dan
PT Coal Gas Indonesia. Bila pilot plant ini berhasil maka dapat mengurangi
penggunaan BBM (solar) oleh PLTD milik PT PLN sehingga dapat
menekan biaya produksi listrik sekaligus mengurangi beban subsidi
pemerintah. Disamping itu juga akan meningkatkan nilai tambah batubara,
menambah devisa negara dan membuka lapangan kerja.

4.3. Tahapan Proses Gasifikasi


Tahapan gasifikasi batubara meliputi pengeringan, devolatilisasi,
oksidasi, dan reduksi. Taha pengeringan bertujuan untuk mengeluarkan atau
menghilangkan kandungan air yang terdapat pada batubara. Devolatilias
merupakan proses pemanasan batubara sampai terjadi dekomposisi menjadi
arang, tar, dan gas. Tahapan oksidasi merupakan proses pembakaran zat
terbang hasi devolatilisasi untuk memanaskan arang. Pemanasan ini
mengakibatkan sebagaian arang akan teroksidasi dan sisanya mengalami
proses reduksi.
Dalam gasifier, arang direduksi oleh steam atau kukus dan CO2
menghasilka gas H2 dan CO. Peningkatan jumlah atau laju steam atau kukus
mengakibatkan penurunan gas CO pada gas produk, namun akan
meningkatkan kandungan gas H2 dan CO2 melalui reaksi geser atau shift
reaction. Komposisi gas yang dihasilkan ditentukan oleh temperatur dengan
mengatur laju oksigen yang digunakan. Panas yang dihasilkan dari reaksi
oksidasi digunakan untuk tahapan yang melibatkan proses atau reaksi
endotermis seperti reaksi reduksi, proses devolatilisasi, dan tahapan
pengeringan. Skema prinsip gasifikasi batubara dalam gasifier dan zona
reaksi berdasarkan temperatur dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 2. Zona Reaksi Batubara Gasifier

Secara umum proses gasifikasi batubara dilakukan dalam suatu


reaktor yang disebut gasifier dan prosesnya terdiri dari drying, pyrolysis,
reduksi, dan oksidasi. Reaktan utama pada proses gasifikasi batubara adalah
oksigen dalam udara dan uap air. Gas utama yang dihasilkan dari gasifikasi
batubara adalah CO, H2, dan gas lainnya seperti CH 4, CO2, dan nitrogen.
Reaksi-reaksi utama yang terjadi selama proses gasifikasi batubara akan
dijelaskan sebagai berikut.
4.4. Re
aksi Drying/Moisture Release
Drying merupakan proses pemanasan batubara pada temperatur 120
0
C. Pemanasan ini akan menghilangkan atau menguapkan air yang
terkandung dalam batubara. Proses Drying dilakukan untuk mengurangi
kadar air (moisture) yang terkandung di dalam batubara bahkan sebisa
mungkin kandungan air tersebut hilang. Kadar air pada batubara
dihilangkan melalui proses konveksi karena pada reaktor terjadi pemanasan
dan udara yang bergerak memiliki kelembaban yang relatif rendah sehingga
dapat mengeluarkan kandungan air batubara. Semakin tinggi temperatur
pemanasan akan mampu mempercepat proses difusi dari kadar air yang
terkandung di dalam batubara sehingga proses drying akan berlangsung
lebih cepat. Reaksi oksidasi, yang terdapat beberapa tingkat di bawah zona
drying, yang bersifat eksoterm menghasilkan energi panas yang cukup besar
dan menyebar ke seluruh bagian reaktor. Disamping itu kecepatan gerak
media pengering turut mempengaruhi proses drying yang terjadi
Mekanismenya mengikuti reaksi berikut :
Batubara + panas → batubara + air (H2O, uap air)
Panas yang diperlukan untuk penghilangan kandungan air ini
diperoleh dari panas hasil reaksi pembakaran char atau reaksi oksidasi
karbon dalam char dengan oksigen. Air dalam fas auap ini dapat bereaksi
dengan gas lain yang terjadi selama proses gasifikasi.

4.5. Reaksi Decomposition / Pyrolysis / Devolatilization


Setelah proses penghilangan air, batubara akan mengalami proses
pyrolysis yaitu penguraian batubara pada temperatur tinggi menjadi char,
tar, dan volatile metter. Pirolisis merupakan proses pembakaran tanpa
melibatkan oksigen. Produk yang dihasilkan oleh proses ini dipengaruhi
oleh banyak faktor seperti temperatur, tekanan, waktu, dan heat losses.
Pada zona ini Batubara mulai bereaksi dan membentuk tar dan senyawa
gas yang flammable. Komposisi produk yang tersusun merupakan fungsi
laju pemanasan selama pirolisis berlangsung. Proses pirolisis dilakukan
pada temperatur 150 < T < 550 0C, ketika komponen yang tidak stabil
secara termal, volatile matters pada batubara, pecah dan menguap
bersamaan dengan komponen lainnya. Produk cair yang menguap
mengandung tar dan PAH (polyaromatic hydrocarbon). Produk pirolisis
biasanya terdiri dari tiga jenis, yaitu gas ringan (H 2, CO, CO2, H2O, dan
CH4), tar, dan arang.Secara umum reaksi yang terjadi pada pirolisis beserta
produknya adalah :

Batubara →char + tar + gases (CO2; CO; H2O; H2; CH4; C2H2)
Pyrolysis merupakan proses yang sifatnya endotermik. Panas yang
diperlukan untuk terjadinya proses ini diperoleh dari reaksi oksidasi karbon
dalam char dengan oksigen dari udara. Proses ini biasa juga disebut dengan
devolatilisasi.

4.6. Reaksi Oxidation / Combustion


Proses oksidasi merupakan reaksi yang melibatkan reaktan oksigen
sebagai oksidatornya. Karbon dalam char akan dioksidasi menjadi gas
karbon dioksida atau karbon monoksida. Produk gas yang dihasilkan
tergantung dengan jumlah oksigen yang ditambahkan. Proses oksidasi
adalah proses yang menghasilkan panas (eksoterm) yang memanaskan
lapisan karbon di bawah. Proses ini terjadi pada temperatur yang relatif
tinggi, umumnya lebih dari 900ºC. Pada temperatur setinggi ini pada
downdraft gasifier, akan memecah substansi tar sehingga kandungan tar
yang dihasilkan lebih rendah. Reaksi kimia yang terjadi pada proses
oksidasi parsial ini menurut literatur adalah sebagai berikut :

C + O2 CO2

Proses ini dipengaruhi oleh distribusi oksigen pada area terjadinya


oksidasi karena adanya oksigen inilah dapat terjadi reaksi eksoterm yang
akan menghasilkan panas yang dibutuhkan dalam keseluruhan proses
gasifikasi ini. Distribusi oksigen yang merata akan menyempurnakan
proses oksidasi sehingga dihasilkan temperatur maksimal. Pada daerah
pembakaran ini, sekitar 20% arang bersama volatil akan mengalami
oksidasi menjadi CO2 dan H2O dengan memanfaatkan oksigen terbatas
yang disuplaikan ke dalam reaktor (hanya 20% dari keseluruhan udara
yang digunakan dalam pembakaran dalam reaktor). Sisa 80% dari arang
turun ke bawah membentuk lapisan reduction dimana di bagian ini hampir
seluruh karbon akan digunakan dan abu yang terbentuk akan menuju
tempat penampungan abu.
Proses ini dipengaruhi oleh distribusi oksigen pada area terjadinya
oksidasi karena adanya oksigen inilah dapat terjadi reaksi eksoterm yang
akan menghasilkan panas yang dibutuhkan dalam keseluruhan proses
gasifikasi ini. Distribusi oksigen yang merata akan menyempurnakan
proses oksidasi sehingga dihasilkan temperatur maksimal.
- Pembakaran sempurna
Pembakaran sempurna dari karbon dengan oksigen akan sesuai
dengan reaksi berikut :
C (char) + O2 (udara) → CO2 (gas) + panas
Gas karbon dioaksida dihasilkan ketika reaksi oksidasi berjalan
sesuai dengan stoikiometri pembakaran sempurna. Reaksi pembakaran
sempurna berjalan ketika satu mol karbon dibakar dengan satu mol
oksigen dan menghasilkan satu mol gas karbon dioksida. Gas hasil
pembakaran sempurna tidak memiliki nilai bakar atau tidak mampu
bakar, sehingga reaksi ini tidak diharapkan lagi.
- Pembakaran tidak sempurna
Pembakaran tidak sempurna terjadi ketika jumlah oksigen kurang
dari nilai stoikiometri pembakaran sempurna. Reaksi oksidasi karbon
dalam batubara menjadi tidak sempurna jika satu mol karbon direaksikan
dengan oksigen yang jumlahnya kurang dari satu mol. Reaksi
pembakaran satu mol karbon dengan oksigen yang hanya memenuhi
separuh dari kebutuhan stoikiometrinya akan menghasilkan produk
berupa satu mol gas karbon monoksida sesuai dengan reaksi berikut :
C (char) + 0,5 O2 (udara) → CO (gas) + panas
Persamaan reaksi di atas merupaka reaksi yang secara stoikiometrik
merubah seluruh larbon yang bereaksi dengan oksigen menjadi produk
yang hanya terdiri dari gas karbon monoksida. Setiap kelebihan oksigen
dari 0,5 mol dapat merubah reaksi dan membentuk gas karbon diokasida.
Sebaliknya, jika oksigen kurang dari 0,5 mol maka akan menyebabkan
sebagian karbon tidak bereaksi. Ada sisa karbon char. Gas hasil dari
pembakaran tidak sempurna menghasilkan gas yang memiliki nilai bakar
atau mampu bakar. Reaksi oksidasi atau pembakaran adalah reaksi yang
menghasilkan sumber panas yang dibutuhkan bagi proses gasifikasi
secara keseluruhan. Reaksi-reaksi lainnya merupakan reaksi yang dapat
diatur untuk mendapatkan gas sesuai dengan komposisi gas yang
diinginkan.

4.7. Reaksi Reduction / Gasification


Proses reduksi merupakan tahap utama dari proses gasifikasi.
Pada tahap ini gas mampu bakar akan dihasilkan. Proses reduksi adalah
reaksi penyerapan panas (endoterm), yang mana temperatur keluar dari
gas yang dihasilkan harus diperhatikan. Pada proses ini terjadi beberapa
reaksi kimia. Di antaranya adalah Bourdouar reaction, steam-carbon
reaction, water-gas shift reaction, dan CO methanation yang merupakan
proses penting terbentuknya senyawa – senyawa yang berguna untuk
menghasilkan flammable gas, seperti hidrogen dan karbon monoksida.
Proses ini terjadi pada kisaran temperatur 400°C– 900ºC. Gas hasil reaksi
reduksi ini biasa disebut sebagai gas producer atau syntetic gas atau
syngas. Reaksi-reaksi yang terjadi pada tahap inibersifat endotermik.
Panas yang dibutuhkan dipasok dari panas hasil reaksi oksidasi. Reaksi –
reaksi reduksi pada tahap ini secara stoikiometrik adalah sebagai berikut:

4.8. Reaksi uap air atau steam reaction ( Water – gas reaction)
yaitu rekasi reduksi antara karbon dalam char dengan uap air sesuai
dengan reaksi berikut :
C (char) + H2O + panas → CO(g) + H2(g)
Reaksi ini menghasilkan produk gas yang mampu bakar (syngas).
Secara stoikiometri karbon yang bereaksi dengan uap air akan menjadi gas
karbon monoksida dan gas hidrogen. Kedua gas ini merupakan komponen
utama dari hasil gasifikasi.
- Reaksi karbon dengan gas karbon dioksida (Boudouard reaction)
Pada tahap ini akan mengikuti reaksi berikut :
C (char) + CO2 + panas → 2CO
Reaksi ini menghasilkan produk gas yang mampu bakar yaitu gas
karbon monoksida. Karbon dalam char yang bereaksi dengan gas karbon
dioksida akan dikonversi menjadi gas mampu bakar karbon monoksida.
Reaksi ini biasa disebut sebagai Bounourard reaction.
- Reaksi Geser (Shift Reaction)
Uap air yang ditambahkan akan bereaksi dengan gas CO2
membentuk gas CO sesuai dengan reaksi berikut :
CO2(g) +H2O(uap) + panas →CO(g) + H2(g)
Kedua produk gas yang dihasilkan ini merupakan gas yang
memiliki nilai mampu bakar.
- Methanation
Merupakan reaksi pembentukan gas metan. Reaksi yang terjadi
pada methanation adalah:
C(char) + 2H2 → CH4
Pembentukan methan dipilih terutama ketika produk gasifikasi
akan ppdigunakan sebagai bahan baku indsutri kimia. Reaksi ini juga
dipilih pada aplikasi IGCC (Integrated Gasification Combined-Cycle)
yang mengacu pada nilai kalor methan yang tinggi.
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan dari makalah ini adalah potensi batubara yang terdapat


diIndonesia mencukupi untuk kebutuhan industri salah satunya untuk
menghasilkan gas melalui proses gasifikasi. Gasifikasi adalah suatu proses
perubahan bahan bakar padat secara termo kimia menjadi gas, dimana udara
yang diperlukan lebih rendah dari udara yang digunakan untuk proses
pembakaran. Selama proses gasifikasi reaksi kimia utama yang terjadi adalah
endotermis (diperlukan panas dari luar selama proses berlangsung). Media
yang paling umum digunakan pada proses gasifikasi ialah udara dan uap.
Produk yang dihasilkan dapat dikategorikan menjadi tiga bagian utama, yaitu
padatan, cairan (termasuk gas yang dapat dikondensasikan) dan gas
permanen. Media yang paling umum digunakan dalam proses gasifikasi
adalah udara dan uap. Gas yang dihasilkan dari gasifikasi dengan
menggunakan udara mempunyai nilai kalor yang lebih rendah tetapi disisi
lain proses operasi menjadi lebih sederhana.

5.2. Saran

Dari kesimpulan di atas, maka dapat diberikan saran yaitu masih


dibutuhkan teknologi dan kebijakan dari pemerintah supaya sumber dan
cadangan batubara di Indonesia dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk
meningkatkan ekonomi Indonesia.
33

DAFTAR PUSTAKA

Ali Abidin, Eko Budi Leksono. PEMANFAATAN LIMBAH FLY ASH


BATUBARA SEBAGAI KOAGULAN DENGAN KONSEP REVERSE
LOGISTICS. Vol 7 No 1, Juni 2021, 39-44.
Baquero, M.C., Giraldo, L., Moreno, J.C., Garcia, F.S., Alonso, A.M., Tascon,
J.M.D., (2003), Activated Carbon by Pyrolysis of Coffee Bean Husks in
Presence of Phosphoric Acid, Journal of Analytical and Applied Pyrolysis,
70, pp. 779-784.
Bambang Setiawan, Kebijakan Umum Pemanfaatan Batubara dan Rancangan
Undang-Undang Mineral dan Batubara, Direktorat Jenderal Mineral,
Batubara, dan Panas Bumi, Kementerian ESDM, 2006.
Edy Nursanto, Sudaryanto1 dan Untung Sukamto. Pengolahan Batubara dan
Pemanfaatannya untuk Energi. ISSN 1693-4393.
I Gede Agung Yudana, (2001), Minyak Batubara Sebagai Alternatif, Jurnal
Energi No.12 mei- juli 2001.
Kusmiyati, Lystanto, P.A., Pratiwi, K., (2012), Pemanfaatan Karbon Aktif
Arang Batubara (KAAB) untuk Menurunkan Kadar Ion Logam Berat
Cu2+ dan Ag+ pada Limbah Cair Industri, Reaktor, 14(1), pp. 51-60.
Machmud Hasjim, (2010), dilemma of multi energy resources In south sumatra
province, International Conference on Coalbed Methane (CBM),
Palembang, 8 desember 2010.
Media Data Riset, Tantangan dan Peluang Industri Batubara di Indonesia,
Maret, 2009.
Muksin, Saleh. (2004), Pengaruh tekanan awal hidrogen dan waktu reaksi
Terhadap co-processing batubara banko tengah dengan short residue,
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Kimia dan Proses 2004, Jurusan
Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang,.
Muhammad Said, A., dan Taufik Arief, Analisa Kebutuhan Batubara dan Gas
Bumi Sumatera Selatan Dalam Menunjang Pengelolaan Sumber Daya
34

Energi yang Berwawasan Lingkungan Sebagai Salah Satu Sumber


Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sumsel, Jurnal Pembangunan Manusia,
Edisi 5, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya, Palembang.
Sodikin Mandala Putra. 2011. TEKNOLOGI PEMANFAATAN BATUBARA
UNTUK MENGHASILKAN BATUBARA CAIR, PEMBANGKIT
TENAGA LISTRIK, GAS METANA DAN BRIKET BATUBARA.
ISBN : 979-587-395-4.

Anda mungkin juga menyukai