Anda di halaman 1dari 11

ENERGI BARU TERBARUKAN PENGGUNAAN MINYAK, GAS DAN BATU BARA DI

INDONESIA

Di Susun oleh:

Hamry Nur Ramadhani 2110331008

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER

2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia memiliki banyak potensi energi baik itu energi konvensional (Non renewale)
maupun energi terbarukan (renewable). Potensi energi yang kebanyakan digunakan untuk daerah
Indonesia masih menggunakan energi konvensional (Non Renewable) berupa bahan bakar fosil
(batu bara, gasa alam dana minyak bumi). Pada tahun 2006 kementrian ESDM menyebutkan
bahwa cadangan minyak bumi akan habis dalam kurum waktu 23 tahun, gas alam pada kurun
waktu 62 tahun, serta batu bara pada kurun waktu 146 tahun.[1]
Bahan bakar (minyak, gas dan batu bara) merupakan persoalan yang krusial di dunia.
Peningkatan pemakaian energy disebabkan oleh pertumbuhan populasi penduduk dan
menipisnya sumber cadangan minyak dunia. Disisi lain permasalahan emisi dari bahan bakar
fosil memberikan permasalahan kepada setiap negara untuk segera menggunakan energi
alternatif. Kebutuhan energi di dunia saat ini masih menggunakan bahan bakar fosil, yaitu:
minyak, gas alam dan batu bara.
Bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batubara merupakan sumber energi utama di
Indonesia, akan tetapi sumber energi tersebut berdampak merusak lingkungan termasuk
pencemaran udara, emisi gas rumah kaca dan pemanasan global. Permasalahan lain adalah
tingginya harga bahan bakar fosil, kenaikan jumlah impor minyak bumi akibat konsumsi bahan
bakar nasional, serta cadangan minyak bumi yang semakin menipis. Pada saat harga bahan bakar
minyak melonjak telah diusahakan adanya energi alternatif yang dapat mengganti minyak. Pada
waktu itu para pakar mencari energi alternatif yang murah dalam pengolahan dan mudah pula
dalam pengoperasiannya, misalnya konservasi energi BBM dari alkkohol, atau kembali ke bahan
bakar batubara.
Upaya penghematan energi untuk bahan bakar seharusnya telah digerakkan sejak dahulu
karena pasokan bahan bakar yang berasal dari minyak bumi, gas maupun batu bara adalah
sumber energi fosil yang tidak dapat diperbarui (unrenewable), sedangkan permintaan terus naik,
demikian pula dengan harganya sehingga tidak ada stabilitas keseimbangan antara permintaan
dan penawaran. Salah satu jalan untuk menghemat bahan bakar minyak dan sumber energi yang
unrenewable adalah dengan mencari sumber energi alternatif yang dapat diperbarui (renewable).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana kondisi sumber daya alam di Indonesia, termasuk jenis-jenisnya?
2. Seberapa besar ketergantungan Indonesia pada minyak, gas, dan batu bara sebagai
sumber energi utama?
3. Bagaimana kebijakan pemerintah dalam mengatur penggunaan minyak, gas, dan batu
bara?
4. Apa Indonesia telah mengembangkan sumber energi alternatif, seperti energi
terbarukan, untuk mengurangi ketergantungan pada sumber energi fosil?
BAB II
PEMBAHASAN
3.1 Sumber Daya Energi di Indonesia
1. Minyak Bumi

Minyak bumi merupakan komoditas strategis yang menjadi sumber energi bagi
perputaran roda perekonomian semua negara. Jika mengacu kepada teori ekonomi pasar
bebas, security of supply kebutuhan minyak bumi, seharusnya bisa terpenuhi lewat
mekanisme pasar. Namun, teori ini ternyata tidak sepenuhnya berlaku. Minyak bumi
terbukti bukan sekedar komoditas ekonomi biasa. Sejarah pun mencatat bahwa pasar
minyak tidak pernah bekerja sepenuhnya atas dasar mekanisme kompetisi pasar karena
selalu saja ada pihak yang mendistorsinya.

Sampai saat ini, pasokan energi Indonesia masih didominasi minyak bumi. Dari total
kebutuhan energi nasional Indonesia tahun 2005 yang berjumlah sekitar 764 juta setara
barel minyak (sbm), sekitar 50% lebih dipenuhi dari minyak dan sekitar 20% persen
dipenuhi dari gas bumi. Jadi 80 persen kebutuhan energi nasional dipasok dari sektor migas
(Awaludin dan Sukur, 2005).

2. Gas Alam
Selain minyak bumi Indonesia memiliki cadangan gas alam yang cukup besar, yaitu
sebesar 170 TSCF dan produksi per tahun mencapai 2,87 TSCF, dengan komposisi tersebut
Indonesia memiliki reserve to production(R/P) mencapai 59 tahun. Gas alam juga memiliki
harga yang stabil karena jauh dari muatan politis, tidak seperti minyak bumi. Produk dari
gas alam yang digunakan adalah LPG (Liquid Petroleum Gas), CNG (Compressed Natural
Gas). LNG (Liquid Natural Gas) dan Coal Bed Methane (CBM) yang merupakan sumber
non konvensional yang sedang dikembangkan di Indonesia (Syukur, H. 2016).
Compressed Natural Gas merupakan gas alam yang dikompresi tanpa melalui proses
penyulingan dan disimpan dalam tabung logam. CNG relatif lebih murah karena tanpa
melalui proses penyulingan dan lebih ramah lingkungan.
Pada tahun 2015 Indonesia memili 4 (empat) kilang pengolahan LNG, dengan kapasitas
terpasang 39 MTPA. Kilang LNG berlokasi di Arun (6,8 MTPA), Bontang Kalimantan
Timur (22,6 MTPA), Tangguh di Papua Barat (7,6 MTPA) dan Donggi Senoro Sulawesi
Tengah (2 MTPA).
3. Batu Bara
Indonesia merupakan salah satu produsen dan eksportir batubara terbesar di dunia,
Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral Indonesia, cadangan batubara Indonesia diperkirakan habis kira-kira dalam 83
tahun mendatang apabila tingkat produksi saat ini terus dilakukan. Sekitar 60 persen dari
cadangan batubara total Indonesia terdiri dari batubara kualitas rendah yang lebih murah
yang memiliki kandungan kurang dari 6.100 kal/gram. Oleh karena itu, jenis batubara ini
dijual dengan harga kompetitif di pasar internasional. Disisi lain, batubara dengan kualitas
rendah juga dapat dimanfaatkan untuk menciptakan program hilirisasi batubara guna
menganalisis potensi dan menciptakan diversifikasi batu bara sebagai Energi Alternatif.
Konsumsi Batu Bara dalam Negeri yaitu; Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara,
digunakan sebagai bahan bakar utama dalam pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) di
Indonesia. PLTU berkontribusi signifikan dalam penyediaan listrik untuk mendukung
pertumbuhan industri dan kebutuhan energi domestik. Industri dan Manufaktur, digunakan
dalam pembangkit listrik, batu bara juga digunakan dalam industri dan manufaktur,
terutama dalam proses pembuatan baja, semen, dan berbagai produk kimia (Afin, A. P., &
Kiono, B. F. T. 2021).

2.2 Ketergantungan Indonesia Pada Minyak, Gas, dan Batu Bara


Per tahun 2021, Indonesia memiliki tingkat ketergantungan yang signifikan pada minyak,
gas, dan batu bara sebagai sumber energi utama. Ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Minyak
Indonesia memiliki sejarah panjang sebagai produsen minyak dan ekspor minyak
mentah. Minyak merupakan sumber energi utama dalam sektor transportasi dan industri.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, produksi minyak mentah domestik telah
mengalami penurunan, sementara konsumsi dalam negeri terus meningkat. Hal ini
menyebabkan negara ini harus mengimpor minyak mentah dan produk minyak untuk
memenuhi kebutuhan energinya.
2. Gas
Indonesia juga mengandalkan gas alam sebagai salah satu sumber energi utama. Gas
digunakan dalam berbagai sektor seperti pembangkit listrik, industri, dan rumah tangga.
Selain itu, Indonesia juga mengekspor gas alam cair (LNG) ke pasar internasional. Seiring
dengan penurunan produksi minyak, pemerintah Indonesia telah berusaha untuk
meningkatkan produksi gas alam domestik.
3. Batu Bara
Batu bara telah menjadi sumber energi utama Indonesia, terutama dalam pembangkit
listrik. Meskipun ada upaya untuk diversifikasi sumber energi dengan mengembangkan
energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin, batu bara masih berperan penting dalam
menyediakan listrik untuk negara ini. Ketergantungan Indonesia pada minyak, gas, dan
batu bara memiliki dampak ekonomi dan lingkungan. Harga minyak yang fluktuatif dapat
mempengaruhi ekonomi negara ini, sementara penggunaan batu bara menyebabkan
masalah polusi udara dan dampak lingkungan negatif lainnya. Pemerintah Indonesia telah
berupaya untuk mengurangi ketergantungannya pada sumber energi konvensional ini
dengan mempromosikan energi terbarukan dan efisiensi energi sebagai bagian dari
kebijakan energi nasionalnya. Namun, perubahan signifikan dalam komposisi sumber
energi mungkin memerlukan waktu yang cukup lama untuk dicapai.

2.3 Kebijakan Pemerintah Dalam Mengatur Penggunaan Minyak, Gas, Dan Batu Bara

International Energy Agency (IEA) mendefinisikan ketahanan energi sebagai ketersediaan


sumber energi yang tidak terputus dengan harga yang terjangkau. Lebih lanjut, ukuran yang
dipakai untuk menilai suatu negara dikatakan memiliki ketahanan energi apabila memiliki
pasokan energi untuk 90 hari kebutuhan impor setara minyak. Ketahanan energi dianggap
penting karena energi merupakan komponen penting dalam produksi barang dan jasa. Segala
bentuk gangguan yang dapat menghambat ketersediaan pasokan energi dalam bentuk bahan
bakar primer (BBM, gas dan batubara) maupun kelistrikan dapat menurunkan produktivitas
ekonomi suatu wilayah dan jika magnitude gangguan sampai pada tingkat nasional dapat
membuat target pertumbuhan ekonomi meleset dari yang ditetapkan.

Menurut Yergin (2006) ketahanan energi mulai menjadi isu global ketika Arab Saudi
menghentikan ekspor minyak mentahnya ke negara-negara industri pada awal dekade 70-an.
Pada era tersebut, minyak merupakan sumber energi yang paling vital bagi negara-negara Eropa
Barat dan Amerika Serikat, sedangkan Arab Saudi merupakan eksportir utama. Tindakan sepihak
Arab Saudi tersebut praktis mengganggu aktivitas perekonomian negara-negara importir minyak
tersebut; yang waktu itu hanya bergantung pada minyak Saudi Arabia. Dunia internasional
kemudian menjadi sadar terhadap pentingnya menjaga pasokan agar tidak bergantung pada satu
jenis sumber energi dan satu produsen energi.

Mengacu kepada konsep ketahanan energi yang didefinisikan oleh IEA di atas dan merujuk
kepada teori dasar mikroekonomi, menurut penulis ada tiga komponen dasar dalam menjaga
keberlangsungan pasokan energi, yaitu: (1) estimasi permintaan energi yang presisi sebagai dasar
perencanaan penyediaan pasokan energi, (2) kehandalan (reliability) pasokan energi yang
diusahakan oleh badan usaha, dan (3) harga energi yang menjadi sinyal bagi badan usaha untuk
masuk dalam penyediaan energi. Harga energi menjadi begitu penting karena akan digunakan
oleh pihak produsen dalam menghitung estimasi imbal hasil atas investasi yang dikeluarkan
dalam penyediaan energi. Oleh karena itu, dalam kasus Pemerintah memberlakukan batasan atas
harga energi pada level tertentu, tidak jarang investasi dalam pembangunan pembangkit listrik,
kilang minyak, tambang batubara akan berkurang dan supply bahan bakar menghilang dari
pasaran. Kebijakan Pemerintah diperlukan agar ketiga komponen tersebut direspon dengan baik
oleh pelaku ekonomi (konsumen dan produsen) sehingga ketersediaan energi berada pada tingkat
keseimbangan sesuai dengan kebutuhan konsumsi di dalam perekoonomian.

2.4 Energi Terbarukan


1. Bioetanol, Biodiesel (CO2), Biomassa (Bioenergy)
Energi alternatif untuk mengurangi pemakaian minyak lebih banyak digunakan
untuk sektor transportasi dan industri. Pemerintah mempercepat pemanfaatan potensi
bioetanol dan biodiesel sebagai bahan bakar pengganti solar dan bensin untuk bidang
transportasi, industri, komersial, dan pembangkit listrik (Kholiq, 2015; Sihombing &
Susila, 2016). Pemanfaatan bioetanol di bidang industri pada tahun 2018 di Indonesia total
mencapai 40.000 Kiloliter, biodiesel total mencapai 12.059.369 Kiloliter, biodiesel total
produksi mencapai 6.168 Kiloliter (Kementerian ESDM, 2018). Tahun 2015 ditargetkan
pemanfaatan biosolar untuk transportasi mencapai 10%, industri mencapai 20%, dan
pembangkit listrik mencapai 30%. Sedangkan pemanfaatan biodiesel, pemerintah Republik
Indonesia melalui Kementerian ESDM meningkatkan target mandataris pemanfaatan
biodiesel di seluruh sektor, sehingga dengan rencana prospek bioetanol dan biodiesel ini
diharapkan akan menghemat devisa sebesar 3,1 juta dolar (Kholiq, 2015).
Pemerintah Republik Indonesia menargetkan pemanfaatan bioetanol untuk E5
hingga E100 dijadikan alternatif utama untuk diversifikasi (pengganti) energi berbahan
bakar minyak pada kendaraan bermotor, juga bioetanol diharapkan dapat mengurangi emisi
gas rumah kaca, dan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara lokal. Bioetanol
(E100/murni) adalah produk etanol yang dihasilkan dari bahan baku nabati dan biomassa
lainnya yang diproses secara bioteknologi. Biodiesel (B100/murni) adalah produk Fatty
Acid Methyl Ester (FAME) atau Mono Alkil Ester yang dihasilkan dari bahan baku nabati
dan biomassa lainnya yang diproses secara esterifikasi. Pemerintah Indonesia sendiri
menargetkan untuk tahun 2025 pemanfaatan biodiesel dan bioetanol melalui Permen
ESDM No. 12 Tahun 2015, biodiesel sebesar 30% dan bioetanol sebesar 20%. Sedangkan
tahun 2050, target pemanfaatan biodiesel diasumsikan mencapai 30% dan bioetanol 50%
(Tim Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional, 2019).
2. Energi Nuklir (Nuclear Energy)
Teknologi konversi energi untuk pembangkit listrik sudah banyak ditemukan dengan
berbagai skala (kapasitas) dan termasuk jenis energi baru terbarukan, salah satunya energi
nuklir dan termasuk pembangkit berskala besar (Kholiq, 2015; Persia, 2018; Syahputra,
2017; Wiranata et al., 2018) dan dapat juga berskala kecil (Laksmono & Widodo, 2017).
Secara teori, pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) untuk tipe combined cycle
dengan efisiensi 50% memiliki nilai intensitas energi sebesar 2 kWhprim/kWh. Adapun
alternatif pembangkit selain nuklir yang berpotensi yakni pembangkit listrik tenaga mini
hidro dan mikro hidro (Sihombing & Susila, 2016). Pembangunan PLTN sendiri
merupakan hasil dari keputusan strategis energi berupa kebijakan energi nasional, tepatnya
berdasarkan kepentingan nasional negara yang bersangkutan. Pembangunan PLTN di
Indonesia sendiri masih banyak pro-kontra terhadap masyarakat. Disisi lain, kepentingan
ekonomi dan politik serta militer sangat memerlukan tenaga nuklir. Adanya penolakan dari
masyarakat, belum mempercayai sepenuhnya bahwa PLTN itu aman dan dapat
dikendalikan dari pemerintah, dan belum ditemukan solusi energi nuklir tanpa
menimbulkan radiasi menjadikan masih sedikitnya pembangunan PLTN di Indonesia.
Bahkan dilaporkan Indonesia membeli energi nuklir dari PLTN ke negara tetangga seperti
Malaysia, Thailand, Singapura, dan Vietnam (Laksmono & Widodo, 2017).
3. Energi Surya (Solar Energy)
Sumber utama energi baru terbarukan juga termasuk energi surya (matahari)
(Kementerian ESDM, 2018; Kholiq, 2015; Kurniawan et al., 2018; Setiadanu et al., 2018;
Tim Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional, 2019; Widodo et al., 2010; Wiranata et
al., 2018) yang ramah lingkungan (Panunggul et al., 2018; Rozi et al., 2020). Potensi energi
surya di Indonesia mencapai 207,8 Gigawatt (Tim Sekretaris Jenderal Dewan Energi
Nasional, 2019) dengan penjabaran distribusi penyinaran untuk kawasan barat Indonesia
sebesar 4.5kWh/m2 .hari, variasi bulanan sekitar 10%, kawasan timur Indonesia sebesar
5.1kWh/m2 .hari, variasi bulanan sekitar 9%, sehingga rata-rata (mean) di Indonesia
sebesar 4.8 kWh/m2 .hari, variasi bulanan sekitar 9%.
Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa Indonesia disinari oleh radiasi
surya hampir merata di sepanjang tahunnya dan kawasan timur Indonesia memiliki potensi
penyinaran lebih baik dari pada kawasan barat Indonesia (Kholiq, 2015). Indonesia sendiri
merencanakan pada tahun 2025 kapasitas pembangkit yang bersumber dari energi surya
mencapai 296 Gigawatt (Kementerian ESDM, 2018; Panunggul et al., 2018; Tim Sekretaris
Jenderal Dewan Energi Nasional, 2019).
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Bahan bakar (minyak, gas dan batu bara) merupakan persoalan yang krusial di dunia.
Peningkatan pemakaian energy disebabkan oleh pertumbuhan populasi penduduk dan
menipisnya sumber cadangan minyak dunia. International Energy Agency (IEA) mendefinisikan
ketahanan energi sebagai ketersediaan sumber energi yang tidak terputus dengan harga yang
terjangkau. Lebih lanjut, ukuran yang dipakai untuk menilai suatu negara dikatakan memiliki
ketahanan energi apabila memiliki pasokan energi untuk 90 hari kebutuhan impor setara minyak.
Pemerintah mempercepat pemanfaatan potensi bioetanol dan biodiesel sebagai bahan bakar
pengganti solar dan bensin untuk bidang transportasi, industri, komersial, dan pembangkit listrik.
Secara teori, pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) untuk tipe combined cycle dengan
efisiensi 50% memiliki nilai intensitas energi sebesar 2 kWhprim/kWh. Adapun alternatif
pembangkit selain nuklir yang berpotensi yakni pembangkit listrik tenaga mini hidro dan mikro
hidro. Potensi energi surya di Indonesia mencapai 207,8 Gigawatt dengan penjabaran distribusi
penyinaran untuk kawasan barat Indonesia sebesar 4.5kWh/m2 .hari, variasi bulanan sekitar
10%, kawasan timur Indonesia sebesar 5.1kWh/m2 .hari, variasi bulanan sekitar 9%, sehingga
rata-rata (mean) di Indonesia sebesar 4.8 kWh/m2 .hari, variasi bulanan sekitar 9%.
DAFTAR PUSTAKA

Afin, A. P., & Kiono, B. F. T. (2021). Potensi Energi Batubara serta Pemanfaatan dan
Teknologinya di Indonesia Tahun 2020–2050: Gasifikasi Batubara. Jurnal Energi Baru
Dan Terbarukan, 2(2), 144-122.

Kementerian ESDM. (2018). Handbook Of Energy & Economic Statistics Of Indonesia 2018
Final Edition. In Ministry of Energy and Mineral Resources.

Kholiq, I. (2015). Pemanfaatan Energi Alternatif Sebagai Energi Terbarukan Untuk Mendukung
Subtitusi BBM. Jurnal IPTEK, 19(2), 75–91.

Setiadanu, G. T., Firmansyah, A. I., & Hadiyono, A. (2018). Analisis Pembangkitan Listrik
Untuk Ekonomi Produktif Di Pulau Terluar (Studi Kasus Sentra Pengolahan Ikan di
Pulau Morotai). Ketenagalistrikan Dan Energi Terbarukan, 17(2), 35–46.

IEA. (2013). Southeast Asia Energy Outlook.

Laksmono, R., & Widodo, P. (2017). Pengambilan Keputusan Stratejik Energi Dan
Implementasinya. Ketahanan Energi, 3(1), 33–58.

Syukur, H. (2016). Potensi gas alam di Indonesia. Swara Patra: Majalah Ilmiah PPSDM
Migas, 6(1).

Sihombing, A. L., & Susila, I. M. A. D. (2016). Intensitas Energi Dan CO2 Serta Energy
Payback Time Pada Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro Dan Mikrohidro.
Ketenagalistrikan Dan Energi Terbarukan, 15(2), 105–116.

Syahputra, R. (2017). Transmisi Dan Distribusi Tenaga Listrik. LP3M UMY Yogyakarta, 28(4),
131.

Tim Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional. (2019). Indonesia Energy Out Look 2019.
Dewan Energi Nasional.

Yergin, D. (2006). Ensuring energy security. Foreign Affairs, 69-82.

Anda mungkin juga menyukai