Anda di halaman 1dari 8

Mahasiswa dan Energi Baru Terbarukan Sebagai

Solusi Permasalahan Energi di Indonesia

Energi merupakan elemen penggerak tak tergantikan


dalam setiap aspek kehidupan, dan keberadaannya selalu dalam
suatu daur yang disebut daur energi yang memastikan
kekekalannya. Keterbatasan teknologi menyulitkan
pendayagunaan semua bentuk dan jumlah energi oleh manusia.
Itu sebabnya, sumberdaya berjumlah besar dengan suplai yang
konstan tetap dibutuhkan.

Dari segi keterbaruannya (renewability), energi dapat


dibagi ke dalam dua kategori dasar yaitu energi tak terbarukan
(non-renewable) dan energi terbarukan (renewable). Energi tak
terbarukan merupakan sumber energi yang tidak dapat dibuat,
ditumbuhkan serta dikonsumsi lebih cepat daripada kecepatan
pembuatannya. Sedangkan energi terbarukan adalah sumber
energi berasal dari alam yang kecepatan pembaruannya mampu
mengimbangi kecepatan konsumsinya, misalnya angin dan air.

Potensi Energi di Indonesia

Persebaran sumber energi baik yang terbarukan maupun


yang tidak, tidaklah merata. Energi terbarukan berkaitan dengan
keadaan geografisnya, sementara energi tak terbarukan
berkaitan dengan kondisi dan sejarah geologis wilayah tersebut.

Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak di


khatulistiwa dan berada pada pertemuan 3 lempeng benua
memiliki banyak potensi kedua macam energi tersebut. Energi
tak terbarukan mencakup energi fosil seperti minyak, gas, dan
batu bara, sedangkan energi terbarukan berhubungan dengan
letak dan kondisi geografis Indonesia. Karena letaknya di
khatulistiwa, negeri ini selalu mendapat sinar matahari
sepanjang tahun. Ini sangat potensial untuk Pembangkit Listrik
Tenaga Surya. Sementara itu, kondisi geografis Indonesia yang
berupa kepulauan menyebabkan Indonesia memiliki cukup
banyak garis pantai dan wilayah berupa laut sehingga
memungkinkan pembangkitan energi melalui tenaga ombak,
angin maupun pemanfaatan atas perbedaan salinitas (kadar
garam). Sedangkan letaknya di pertemuan tiga lempeng
memastikan bahwa Indonesia memiliki cukup banyak manifestasi
panas bumi untuk mencukupi kebutuhan listrik dan pemanasan
langsung, apabila dibangun PLTP dan instalasi pendukungnya.
Keanekaragaman flora juga sangat mendukung untuk
berkembangnya biofuel, biomassa, dan biogas.

Selama ini, Indonesia telah memanfaatkan potensi kedua


macam energi tersebut di atas. Meski demikian, harus diakui,
khusus untuk potensi energi terbarukan belum tergarap secara
optimal. Fakta menunjukkan bahwa penggunaan energi fosil
persentasenya masih cukup besar dalam segala bidang mulai
dari transportasi, pembangkitan listrik, hingga kebutuhan rumah
tangga. Pertanyaannya sekarang “Mengapa peranan energi fosil
masih sedemikian besar? Tidak adakah kelebihan yang
ditawarkan oleh energi terbarukan?

Energi Baru

Sebelum membahas kelebihan energi terbarukan, ada jenis


energi lain yang juga merupakan calon pengganti energi fosil,
yaitu energi baru. Energi baru ialah energi terbarukan maupun
tidak terbarukan yang ditemukan dengan teknologi baru (recent
technology). Energi baru ini juga merupakan potensi yang sangat
menjanjikan karena selama ini belum banyak dieksploitasi secara
komersial. Sumber-sumber energi yang termasuk dalam jenis ini
misalnya CBM (Coal Bed Methane), hydrate gas, oil shale, dan
nuklir. Bersama dengan energi terbarukan, energi baru sering
disebut Energi Baru Terbarukan (EBT). Keduanya adalah solusi
permasalahan energi Indonesia.

Geotermal sebagai EBT yang Potensial

Dari segi total biaya per satuan energi serta


ketersediaannya yang berlimpah di alam, EBT memiliki kelebihan
dibandingkan energi fosil. Misalnya, kita ambil contoh geotermal.
Saat ini, PLN baru saja diperintahkan untuk membeli listrik dari
PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) dari WKP (Wilayah
Kerja Pertambangan) yang baru beroperasi, dengan harga yang
sedikit lebih tinggi perkWh dari listrik-listrik hasil pembangkit
berbahan bakar minyak dan batubara. Namun hal ini belum
dihitung dengan biaya total untuk membersihkan polusi akibat
pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Di sisi lain PLTP hanya
memberikan sangat sedikit pencemar berupa karbondioksida dan
uap air. Demikian pula ketersediaan energinya, karena panasnya
berasal dari inti bumi. Hal ini berbeda dengan, misalnya, minyak
bumi. Sumber minyak bumi berupa reservoir minyak yang
memiliki kecenderungan normal untuk menurun (declining)
selama masa eksploitasinya, apabila tidak dilakukan usaha-
usaha lain dengan konsekuensi biaya ekstra.

Geotermal pada hakikatnya merupakan salah satu EBT


yang potensinya cukup besar di tanah air kita yaitu sekitar 28000
MW, dengan kapasitas terpasang 1194 MWe. Energi geotermal
dapat ditemukan dengan melihat manifestasi panas bumi di
permukaan, misalnya tanah beruap, geyser, dan mata air panas.
Wilayah yang memiliki manifestasi panas bumi ini oleh
pemerintah biasa ditenderkan menjadi WKP (Wilayah Kerja Panas
Bumi) untuk dikelola oleh kontraktor dalam jangka waktu 25-30
tahun. Kontraktor yang memenangi tender akan melakukan
survey lanjutan, pemboran, dan pembangunan fasilitas PLTP
untuk memperoleh listrik dari panas bumi. Dua jenis
pengusahaan utama yang sering dipakai adalah total project dan
penjualan uap. Total project artinya kontraktor menjual listrik jadi
kepada pengguna, sedangkan penjualan uap artinya menjual uap
pada pembangkit listrik.

Pertimbangan Pemilihan EBT

Secara alamiah, sejalan dengan pertumbuhan penduduk,


konsumsi energi masyarakat Indonesia akan selalu bertumbuh.
Pertumbuhan ini tidak mengikuti suatu garis linear konstan,
melainkan eksponensial. Artinya, pertumbuhan dan laju
pertumbuhannya bertambah. Energi fosil yang meliputi batubara,
minyak, dan gas memang akan tetap menempati persentase
yang besar dalam rencana bauran energi primer hingga 2025,
namun persentase EBT semakin diperbesar dalam rencana
energi primer tersebut. Ini dilakukan agar ketergantungan
Indonesia terhadap energi fosil semakin berkurang.

Terdapat banyak pertimbangan mengapa Indonesia dan


banyak negara lain di dunia perlahan-lahan mulai mengurangi
persentase pemakaian energi fosil dalam segala aspek. Di sini
hanya akan dibahas dua aspek, yaitu aspek polusi dan aspek
pemakaian energi. Aspek polusi telah sedikit disinggung
sebelumnya, bahwa energi fosil memang murah pada proses
pembangkitan energi. Dibandingkan dengan EBT, untuk
menghasilkan energi dalam jumlah yang sama energi fosil
membutuhkan nilai investasi lebih murah, belum termasuk
investasi yang dibutuhkan untuk membersihkan pencemar hasil
pembakaran energi fosil. Investasi ini berhubungan dengan
pembangunan fasilitas kesehatan bagi penduduk yang terpapar
pencemar, penanaman pohon untuk menyerap pencemar. Selain
itu, belum dihitung merosotnya kualitas udara akibat polutan,
sehingga biaya total pemakaian energi fosil jauh lebih mahal
daripada EBT.
Dua hal yang harus ditinjau di dalam aspek pemakaian
energi adalah penurunan produksi alami dan kenaikan
permintaan energi. Misalnya kita ambil contoh minyak yang
dihasilkan dari suatu sumur minyak. Secara alami, produksi
minyak akan menurun karena berkurangnya tekanan akibat
produksi itu sendiri. Sementara itu permintaan terhadap minyak
akan terus naik, sehingga terjadi kesenjangan antara suplai dan
permintaan. Hal inilah yang menyebabkan secara alami harga
minyak merangkak naik. Apabila harga minyak cukup tinggi,
maka perusahaan-perusahaan minyak akan cukup berani untuk
menanamkan modalnya untuk mencari cadangan minyak baru
dalam jumlah sedikit sekalipun, dan sesulit apapun.
Kekhawatiran yang timbul adalah bahwa penemuan cadangan
minyak baru tetap tidak akan seimbang dengan makin besarnya
permintaan akan sumber energi.

Beberapa tahun terakhir ini produksi minyak cenderung


menurun Lantaran sedikit cadangan baru ditemukan, berlawanan
dengan batubara yang belum mencapai puncak produksinya di
Indonesia. Inilah penyebab peningkatan persentase gas,
batubara, dan EBT di dalam rencana bauran energi primer.

EBT dan Mahasiswa sebagai Solusi

Kondisi ketahanan energi Indonesia saat ini sungguh


memprihatinkan karena sumber-sumber EBT potensial belum
tergarap dengan baik. Diversifikasi energi yang terlambat ini
menyebabkan bauran energi terlalu bertumpu kepada energi
fosil, terutama minyak. Keterlambatan antisipasi pemerintah,
kurangnya infrastruktur dan akses masyarakat terhadap energi,
disertai dengan insentif dan kebijakan pemerintah yang berbasis
minyak ikut menyebabkan EBT belum berkembang.

Pemecahan energi Indonesia seharusnya melibatkan


pemerintah dan masyarakat, termasuk di dalamnya adalah
mahasiswa. Mahasiswa adalah elemen penting yang
bertanggungjawab sebagai penghubung antara masyarakat dan
pemerintah, serta memiliki akses terhadap informasi, teknologi
dan kesempatan lebih banyak.

Sebagai elemen penghubung masyarakat dan pemerintah,


mahasiswa mempunyai kapabilitas untuk ikut memecahkan
masalah keenergian Indonesia. Ada berbagai macam cara dan
tingkatan analisis untuk memecahkan permasalahan ini. Pada
skala kecil, mahasiswa harus mampu menghasilkan pemikiran
yang dapat menggugah perhatian terhadap EBT. Pemikiran ini
dapat disalurkan dalam bentuk makalah maupun tulisan yang
dipaparkan dan dipublikasikan. Pada skala yang lebih besar,
mahasiswa dapat melakukan penelitian yang terkait langsung
dengan teknologi EBT, misalnya penemuan baru untuk
meningkatkan efisiensi kincir angin pembangkit listrik.

Hasil penelitian-penelitian mahasiswa ini kemudian


diproduksi secara massal dengan bantuan pemerintah, sehingga
menjadi sumbangan nyata bagi pengembangan EBT. Penelitian-
penelitian itu adalah seruan bagi pemerintah agar lebih serius
mengembangkan EBT. Mahasiswa juga dapat mengadakan
seminar, workshop, pelatihan, talkshow atau program lain yang
terkait dengan EBT, misalnya pelatihan pembuatan biofuel atau
seminar geotermal. Program-program tersebut bertujuan
membantu civitas akademika dan masyarakat luas mengenal
potensi EBT di Indonesia.

Untuk memanfaatkan keseluruhan potensinya sebagai


mahasiswa dalam membantu Indonesia, mahasiswa dapat pula
langsung melakukan pengabdian masyarakat, baik dalam bentuk
community development maupun community service dalam
pengembangan EBT, dengan melibatkan lintas disiplin ilmu.
Contohnya adalah pengabdian masyarakat dalam bidang
geotermal dapat melibatkan perusahaan yang mengusahakan
panas bumi pada lokasi tersebut. Kerjasama ini dapat berupa
penyaluran air panas sisa PLTP pada rumah kaca milik penduduk
atau sentra kegiatan penduduk sekitar lainnya yang
membutuhkan panas. Selain terjun langsung sebagai solusi,
pengabdian masyarakat ini juga mengandung pesan agar
pemerintah lebih memperhatikan pengembangan EBT.

Permasalahan diversifikasi energi dan pengembangan EBT


di Indonesia memang tidak sederhana. Selain permasalahan
teknis yang menyangkut teknologi dan keilmuan, faktor ekonomi
dan regulasi juga cukup berat. Pada sisi pemerintah sebagai
pelaku pembelanja EBT, APBN masih bertumpu pada penerimaan
sektor migas serta dipengaruhi oleh subsidi Bahan Bakar Minyak
(BBM) sehingga pengembangan EBT belum menjadi prioritas.
Situasi itu diperburuk oleh kenyataan bahwa di sisi regulasi,
pemerintah masih belum mampu menciptakan iklim investasi
yang kondusif bagi investor.

Sebagai bagian dari masyarakat yang kritis lagi pula


terdidik, mahasiswa tidak boleh berpangku tangan dalam upaya
mencari terobosan baru. Pemikiran kecil dan sesederhana
apapun dari mereka tetap akan berdampak besar bagi
pengembangan EBT jika dipadukan dengan dukungan publik
sebagai pengguna utama energi, dan pemerintah sebagai
regulator. Akhirnya, agar implementasinya berkelanjutan
diperlukan sinergi kolaboratif antar pemangku kepentingan
(stakeholders), yaitu pemerintah, masyarakat—dalam hal ini
mahasiswa—dan pelaku industri keenergian.

Anda mungkin juga menyukai