Anda di halaman 1dari 14

Urgensi Transisi Energi Indonesia

1. Latar Belakang Masalah


Dalam kehidupan sehari-hari, energi merupakan kebutuhan utama yang menjadi
kepentingan banyak orang. ESDM menyebutkan bahwa menurut proyeksi dari IEA
(International Energy Agency) permintaan energi secara global cenderung meningkat
signifikan. Data tersebut menyebutkan bahwa hingga tahun 2030 permintaan energi dunia
meningkat sebesar 45%, yang memiliki arti bahwa rata-rata per tahunnya mengalami
peningkatan sebesar 1,6%. Selain itu didapati dari IEA bahwa sekitar 80% kebutuhan energi
secara global masih dipasok dari bahan bakar fosil. Hal ini berarti pola konsumsi energi
secara global saat ini masih didominasi energi fosil. Energi tersebut adalah umumnya dalam
bentuk minyak bumi, gas, dan batu bara. Terkait fakta tersebut, data terbaru milik IEA (2022)
menunjukkan bahwa perkiraan permintaan gas alam global tumbuh rata-rata 0,8% per tahun
hingga tahun 2025, hal ini disebabkan oleh penurunan kegiatan ekonomi selama pandemi,
serta sebagai akibat peralihan konsumsi energi dari batubara dan minyak. Di lain sisi,
ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, ternyata dapat memicu perubahan iklim.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, IEA kemudian menyerukan kepada seluruh negara agar
mulai melakukan peningkatan terhadap pemakaian energi bersih guna menekan emisi gas
karbon sehingga lingkungan dapat tetap terjaga.
Setiap pemerintah mulai mempersiapkan kondisi dalam menghadapi peningkatan
kebutuhan energi secara global yang membuat persediaan cadangan energi menjadi semakin
menipis, hal ini tentu dikarenakan energi merupakan sumber daya yang bisa habis kapan saja.
Isu terkait pemanasan global juga mulai mendorong adanya trend peningkatan terhadap
pemanfaatan energi terbarukan, dalam rangka membangun sistem energi yang tangguh,
bersih, terjangkau dan berkelanjutan. Hal ini dibuktikan dengan data dari IEA bahwa
penambahan kapasitas energi terbarukan di dunia cenderung terus meningkat di setiap
tahunnya. Dikutip dari Katadata, IEA memproyeksikan bahwa pertumbuhan energi global
rata-rata berkisar 2%-45% setiap tahun sepanjang 2013-2020. Terdapat fakta menarik dari
data pertumbuhan energi tersebut, yaitu permintaan pasar global terhadap energi terbarukan
yang juga mulai menuju angka positif. Salah satu contohnya adalah permintaan bahan bakar
hijau atau biofuel pada tahun 2019 untuk sektor transportasi yang secara global totalnya
mencapai 159,1 juta kiloliter (kl) (IEA,2019).

Konsumsi Energi Indonesia


Tabel Cadangan Minyak Indonesia (2011-2021)

Sumber: katadata

Indonesia adalah pemain besar penghasil dan pengekspor minyak dan gas bumi,
namun kini cadangannya mulai berkurang dan sudah tidak lagi menjadi negara penghasil
minyak dalam kondisi surplus. Bayangan krisis energi mulai mengancam Indonesia. Bila
diteropong jauh ke depan, Indonesia bahkan berpotensi menjadi negara pengimpor minyak,
jika perilaku masyarakat terhadap konsumsi energi sehari-hari tidak ada pembaharuan dan
terus bergantung pada minyak bumi. Kondisi sumber energi dalam negeri yang masih
tergolong melimpah khususnya untuk sektor batu bara dan gas bumi, sayangnya disertai
dengan pola konsumsi yang tidak efektif. Berdasarkan grafik data di atas, ESDM
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun 2021 menemukan
bahwa cadangan minyak Indonesia sebesar 3,95 miliar barel. Dikutip dari katadata (2021)
cadangan minyak Indonesia yang tersisa tersebut terdiri dua jenis yaitu cadangan terbukti dan
cadangan potensial. Untuk cadangan terbukti sejumlah 2,25 miliar dan untuk cadangan
potensial senilai 1,7 miliar. Jika dibandingkan dengan tahun 2011, jumlah cadangan tersebut
turun jauh dari 7,73 miliar barel yaitu 4,04 miliar barel cadangan terbukti dan 3,69 barel
cadangan potensial. Kabar buruknya adalah cadangan minyak Indonesia diperkirakan hanya
mampu bertahan bertahan hingga sekitar 8 tahun saja. Hal ini menjadi persoalan bersama
yang mengancam hajat hidup banyak orang.

Di balik ketergantungan terhadap konsumsi energi yang terus meningkat, Indonesia


merupakan negara dengan jumlah konsumsi energi terbesar di Asia Tenggara menurut Dewan
Energi Nasional pada tahun 2019. Indonesia menempati urutan ke-lima di Asia Pasifik dalam
konsumsi energi primer. Posisi tersebut merupakan realita yang miris di tengah kabar bahwa
Indonesia memiliki jumlah cadangan energi minyak yang terus menipis. Di Indonesia,
transportasi adalah sektor dengan persentase yang mengakibatkan konsumsi energi terbesar,
dan jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat hingga mencapai angka 41% pada tahun
2025. Langkah Indonesia untuk transisi energi kemudian mulai dilakukan dengan
meningkatkan penggunaan batubara dan gas bumi, hal ini kemudian cukup berhasil dalam
menurunkan pangsa konsumsi minyak bumi. Langkah tersebut bukan merupakan langkah
tepat karena justru membuat terjadinya krisis batubara dan semakin menambah daftar
panjang kekurangan pasokan energi di Indonesia. Transisi energi seharusnya dilakukan
dengan pemanfaatan EBT (Energi Baru dan Terbarukan). Di Indonesia, batubara utamanya
digunakan dalam memenuhi konsumsi tenaga listrik yang sangat bergantung pada produksi
batubara di setiap tahunnya. Dilansir dari Kompas.com (2022), sebagai akibat dari krisis
pasokan batubara ke PLTU PLN yang mengancam pemutusan aliran listrik 10 juta pelanggan
membuat pemerintah pernah melarang ekspor batubara selama 1 bulan pada Februari lalu.
Tekait hal tersebut, pada tahun 2022, proyeksi kebutuhan batubara untuk sektor
ketenagalistrikan membutuhkan hingga 119,19 juta ton yang sebagian besar dibutuhkan
PLTU milik PLN dan sisanya untuk PLTU IPP. Hal yang sama juga terjadi pada pasar global
yang mendongkrak nilai ekspor batubara pada tahun 2021 hingga Rp420,32 triliun atau naik
90,5 persen dari tahun 2021 dan membuat nilai ekspor batubara semakin tinggi. Hal tersebut
berarti bahwa tidak hanya Indonesia namun seluruh negara juga melakukan peningkatan
konsumsi terhadap batubara. Dari segi ekonomi pertumbuhan nilai ekspor batubara tentu
juga menguntungkan bagi Indonesia, namun di balik nilai ekspor batubara yang tinggi
tersebut akan sia-sia jika hanya digunakan secara masif tanpa memperhatikan kebutuhan
dalam negeri. Keuntungan yang dirasakan oleh Indonesia hanya terjadi sesaat, selebihnya
dihantui oleh bayangan krisis batubara dan atau krisis energi secara umum.
Sumber: katadata

Saat cadangan minyak dan gas bumi Indonesia kian mengalami penurunan, ternyata
potensi energi terbarukan panas bumi yang dimiliki Indonesia justru sangat besar dan terus
menunjukkan nilai positif. Menurut hasil kajian dari Katadata, Indonesia berada dalam posisi
potensi panas bumi sebesar 29.543,5 MW. Dalam posisi tersebut, Indonesia menempati
urutan kedua setelah Amerika Serikat sebagai negara dengan potensi energi terbarukan
geothermal (panas bumi) terbesar di dunia. Merespon hal positif terkait potensi energi
terbarukan yang besar, sejumlah kebijakan pemerintah pun mulai direncanakan agar dapat
menarik investasi pembangunan pembangkit listrik berbasis EBT. Pemerintah menargetkan
porsi 23% dalam bauran energi pada tahun 2025. Hal ini berarti akan ada 46 gigawatt (GW)
listrik berasal dari pembangkit berbasis energi baru terbarukan pada tahun 2025. Namun di
lain sisi ternyata realisasi pengembangan EBT panas bumi Indonesia masih dalam angka
yang kecil, dan membutuhkan konsistensi serta komitmen bersama dalam mewujudkannya.
Dikutip dari Katadata (2017) aksi pengembangan panas bumi di Indonesia relatif tertinggal
dibandingkan dengan negara lain, seperti Filipina, Amerika Serikat, Selandia Baru, dan
Jepang. Sejauh ini kapasitas panas bumi yang terpasang di Filipina sudah mencapai 74% dari
total potensi yang ada di negara tersebut, dengan konteks potensi yang lebih besar tentunya
angka realisasi pengembangan panas bumi di Indonesia mampu untuk di atas Filipina.
Faktanya, Indonesia baru mencapai 4,8 persen pada tahun 2016. Data tersebut merupakan
realita yang miris di tengah kabar menggembirakan atas peluang besar yang dimiliki
Indonesia dalam mengelola energi terbarukan. Indonesia harus bisa memanfaatkan energi
potensial yang ada dalam jumlah besar tersebut agar tidak hanya bergantung pada batubara
dan minyak bumi yang nilai ekonomisnya semakin tidak efektif bagi keberlanjutan energi di
Indonesia kedepannya.
Kini Pemerintah Indonesia mulai mengambil sikap untuk mempercepat adanya transisi
energi menuju Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Dikutip dari esdm.go.id, pemerintah
Indonesia telah mengambil langkah dalam mendukung upaya strategis dan sinergy global
dalam menekan emisi gas karbon dari sub sektor batubara melalui pemanfaatan teknologi dan
EBT. Langkah yang ditempuh oleh Indonesia tersebut ini diharapkan dapat berkontribusi
terhadap pencapaian target nol berish dari emisi atau disebut Net Zero Emission (NZE) di
tahun 2060. Hal ini juga sejalan dengan agenda Energy Transitions Working Group (ETWG)
Presidensi G20 Indonesia.
Tantangan Multidimensional dalam Transisi Energi Indonesia
Transisi energi Indonesia tentu bukan lah hal yang mudah dan menghadapi banyak
tantangan multidimensional. Terlebih Indonesia merupakan negara kepulauan dengan
persebaran sumber daya alam yang variatif di setiap regionnya. Terkait tantangan dalam
melakukan transisi energi, sejalan dengan ungkapan Yang et al,. (2021) yaitu bahwa
dimulainya perubahan yang mendasar atas transisi energi fosil menjadi energi terbarukan
akan berdampak signifikan pada berbagai aspek kehidupan suatu negara. Aspek yang
dimaksud tersebut mencangkup seperti kondisi lingkungan, sosial dan ekonomi. Di sisi lain
sektor energi terbarukan bersifat padat modal karena infrastruktur struktur, start-up dan biaya
operasi dari energi terbarukan proyek lebih tinggi daripada bahan bakar fosil (Wang., 2021).
Hal tersebut menandakan bahwa sistem keuangan yang kuat dapat mempercepat
pengembangan energi terbarukan. Pemerintah memainkan peran penting dalam
mengalokasikan modal untuk sektor energi terbarukan. Dalam menuju transisi energi,
Indonesia masih memerlukan realisasi dan komitmen yang nyata dalam komitmen melakukan
transisi energi. Kebijakan Pemerintah yang diakui mendorong renewable energy realitanya
kontribusi dari sumber energi seperti hydropower, geothermal, angin dan solar hanya 12 %
dalam total energi final pada tahun 2022 (BPS,2022). Nilai tersebut masih tergolong rendah.
Sumber daya merupakan kapital yang penting dalam pengembangan teknologi untuk
mendukung transisi energi di Indonesia. Namun Indonesia sulit melakukan implementasi
terhadap penggunaan teknologi tersebut mengingat biaya teknologi yang dibutuhkan cukup
besar. Teknologi untuk mengimplementasikan sistem energi terbarukan tidak sederhana,
membutuhkan sistem yang akurat, kompleks dan tentunya memerlukan biaya yang tidak
sedikit. Prosesnya juga membutuhkan investasi yang besar di waktu awal (up-front costs),
nilai tersebut terlebih untuk pembangunan segala bentuk fasilitas yang dapat mendukung
kegiatan utama. Menurut perkiraan Kompas (2022), untuk mencapai 23 persen EBT pada
2025 diperlukan biaya sekitar Rp 518 triliun. Dari data tersebut untuk nominal 23 persen saja
memerlukan dana yang besar, padahal EBT Indonesia di masa mendatang sudah seharusnya
mendominasi sekitar 70 persen. Pada tahun-tahun selanjutnya hingga 2050, diperlukan dana
sebesar Rp 195 triliun per tahun untuk mencapai target EBT 168 GW. Target ini merupakan
target yang dialokasikan oleh Pemerintah guna mencapai target kesepakatan Internasional
Net Zero Emission. Dilansir dari Kompas (2022), pada tahun ini Kementerian Keuangan
menargetkan hanya sebesar Rp 102,5 triliun per tahun anggaran APBN untuk perubahan
iklim selama tahun 2018-2020. Dari data tersebut dapat ditemui sebuah kesenjangan yang
signifikan antara kebutuhan untuk mencapai target EBT dan kemampuan pendanaan yang
masih minimum. Tanpa ada upaya dan komitmen pemerintah untuk mengalokasikan
anggaran yang memadai pada pembangunan infrastruktur EBT, maka target untuk
menggantikan energi fosil dengan energi bersih akan melesat dari target.
Melanjutkan terkait biaya dan teknologi, aspek sumber juga penting untuk dapat
mendukung pelaksanaan pembangunan fasilitas-fasilitas baru EBT, dan faktor pendukung
paling utama adalah Sumber Daya Manusia. Roadmap tidaklah berarti apabila tanpa
didukung dengan tenaga yang berkompeten sebagai sosok eksekutornya. Terkait hal tersebut
Kementerian ESDM (2022) menuturkan bahwa pihaknya masih mempersiapkan rencana
kerjasama dengan perguruan tinggi demi mendapatkan talenta yang maksimal. Selain itu
terkait kebiasaan menjadi hal yang perlu untuk dijalani, dan prosesnya membutuhkan waktu
yang tidak singkat. Habit dari masyarakat pun perlu untuk didorong dalam penggunaan
energi yang efektif, efisien serta menyongsong transisi menuju EBT yang maksimal. Peran
dari komunitas masyarakat di akar rumput sangat berarti. Utamanya dalam menginisiasi
perubahan, sebagai penggerak dan promotor pengembangan teknologi skala mikro yang
capaiannya membutuhkan nilai tinggi dalam proses transisi energi ini. Sayangnya,
masyarakat pedesaan atau daerah tertinggal di Tanah Air yang seyogyanya menjadi pelaku
dan penerima manfaat dari pembangunan energi terbarukan tersebut masih kurang familiar
terhadap teknologi. Hal ini diakibatkan karena masyarakat tersebut belum berdaya secara
ekonomi. Sebagai dampaknya, gambaran mengenai keunggulan pembangunan energi
terbarukan sama sekali belum terlintas pada pikirannya. Hal ini merupakan sebuah tantangan
dan tentunya membutuhkan proses yang lama. Pemerintah perlu untuk memperhatikan
komunitas karena rencana tanpa implementasi yang efektif hanya akan menjadi kertas
rencana kebijakan.
Dinamika kendala koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah juga turut mewarnai
proses transisi energi di Indonesia. Bervariasinya jenis sumber daya alam antar daerah
menambah daftar panjang kompleksitas koordinasi terkait energi pada instansi pemerintah.
Selain itu bentuk negara Indonesia sebagai Negara Kepulauan juga mendukung adanya
kesenjangan yang membuat sulitnya implementasi transisi energi. Kondisi di Pulau Jawa
tentunya sangat berbeda dengan kondisi Pulau kalimantan secara kontekstual. Contoh lainnya
adalah terjadinya miss-match atau ketidakserrasian antara potensi tenaga air melimpah di
Papua sementara permintaan besar terhadap tenaga air justru berasal dari Pulau Jawa.
Koordinasi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam perencanaan pembangunan
hingga operasi dan pemeliharaan fasilitas energi terbarukan masih lemah dan membutuhkan
banyak biaya serta sinergi. Berbagai rencana aksi pada konvensi internasional dalam bentuk
roadmap negara yang dianut Indonesia kemudian ditransmisikan ke daerah melalui berbagai
macam rencana aksi atau program pemerintahan. Hal ini kemudian menjadi beban bagi
daerah yang kapasitas institusinya belum berkembang secepat permintaan pusat khususnya
untuk memenuhi dinamika perjanjian internasional tersebut. Terkadang untuk memenuhi
kebutuhan daerahnya saja masih sangat minim. Transisi energi memiliki dampak bagi daerah
yang selama ini memiliki ketergantungan terhadap sumber daya alam berbasis fosil seperti
Kalimantan Timur. Adanya ketergantungan terhadap sumber daya alam tersebut mendorong
daerah untuk mengalami kehilangan pendapatan daerah dan penurunan kontribusi produk
domestik regional bruto jika harus melaksanakan transisi energi menuju EBT. Hal seperti ini
yang perlu diperhatikan oleh pemerintah pusat agar kedepannya tidak terjadi kecemburuan,
dan menyangkut kesediaan untuk berpartisipasi menyongsong transisi energi. Problematika
lain adalah belum adanya energi pengganti dari energi terbarukan yang kapasitasnya cukup
untuk menggantikan energi fosil. Jika berkaca ke belakang, garis komando antara pusat dan
daerah yang tidak begitu kompleks seperti saat ini membuat kerjasama terkait energi di masa
lalu cenderung berjalan mudah. Selain itu persoalan yang dipecahkan tergolong sederhana,
pun tanpa adanya intervensi dari agenda internasional yang bersifat kompleks, mengingat
tidak semua hal yang ada di global bisa diterapkan dalam konteks Indonesia. Sementara itu,
konflik kepentingan antar institusi dan regulasi juga tidak banyak dijumpai, berbeda dengan
keadaan sekarang di mana institusi banyak mengambil peran sementara garis koordinasinya
sangat bertabrakan. Perlu adanya suatu misi bersama untuk mencapai transisi energi.
Terdapat kontradiksi antara menjamurnya produk kebijakan dan urgensi memprioritaskan
pengembangan energi terbarukan. Berdasarkan uraian tersebut maka penting untuk mengkaji
strategi kebijakan dalam menyongsong Transisi Energi Indonesia agar dapat berjalan efektif.

2. Literature Review
A. Perubahan Kebijakan
Kondisi pandemi covid-19 yang memiliki dampak multidimensional turut serta
berpengaruh pada kondisi kebijakan. Perubahan situasi yang sangat signifikan baik saat
pandemi, maupun masa setelahnya membuat banyak pengambil keputusan perlu untuk
mengkaji ulang arah kebijakan yang dibuat agar tidak jauh dari sisi kontekstual. Perubahan
arah kebijakan juga didasarkan pada kepentingan untuk menanggulangi dampak dari krisis
itu sendiri. Situasi krisis dimaknai sebagai peristiwa langka yang berpotensi memicu
perubahan kebijakan secara massif (Knill,2022). Sementara itu, pemerintah memiliki
keterbatasan kognitif institusi yang membuatnya tidak mampu untuk menangani
permasalahan secara mandiri. Implikasinya pemerintah memiliki suatu prioritas atau
perhatian lebih terhadap sektor yang dianggap paling terdampak dengan mengorbankan
sektor yang lain. Pergeseran perhatian seperti itu, pada gilirannya menyiratkan bahwa,
perubahan kebijakan yang dipicu oleh krisis di satu subsistem memiliki potensi untuk
mendorong perubahan kebijakan di bidang lain. Hal ini dikarenakan pemerintah memiliki
perhatian atau fokus agenda hanya pada satu bidang yang dianggap sangat terpengaruh
oleh krisis, dan mengesampingkan sektor lain yang apabila ditinggalkan maka turut serta
menambah daftar panjang masalah. Situasi krisis mempengaruhi keputusan para pembuat
kebijakan untuk mengubah arah dan agenda mereka. Sebagai contoh, pada saat pandemi
berlangsung pemerintah melakukan upaya besar-besaran untuk melindungi perdagangan
domestik dan ekonomi untuk menekan laju krisis moneter. Isu-isu seperti perlindungan
iklim dan lingkungan, serta energi sebaliknya justru dijauhkan dari agenda kebijakan.
Semakin banyak substansi isu suatu bidang kebijakan yang terikat dengan masalah krisis,
maka semakin tinggi pula potensi perolehan perhatian dari pemerintah dan agenda
kebijakan (Knill, 2022). Sementara itu, bagi bidang kebijakan yang kehilangan perhatian
selama krisis jarang mendapat ganti rugi melalui peningkatan perhatian pada periode pasca
krisis. Padahal justru sektor ini yang kemudian tidak pernah luput dalam perhatian publik,
terlebih jika potensi masalahnya sudah mulai muncul ke permukaan perubahan kebijakan
yang melemahkan posisi substansinya pada agenda kebijakan maka tidak mungkin
menghasilkan mobilisasi politik yang signifikan. Alasan di balik fokus dominan pada
subsistem kebijakan ini adalah bahwa tipikal pembuatan kebijakan umumnya didorong
oleh dinamika yang bersifat endogen (Fernandez et al, 2019) . Agenda kebijakan biasanya
dikendalikan oleh jaringan yang stabil, politisi, birokrat, dan perwakilan kelompok
kepentingan yang beroperasi di lingkungan mereka sendiri. Akibatnya, kebijakan
menunjukkan stabilitas tinggi dari waktu ke waktu dan hanya mengalami peningkatan
ketika terjadi guncangan eksternal seperti krisis.
Dengan mengamati dinamika perubahan kebijakan dan arah agenda politik
pemerintah maka dapat menjadi kaca mata untuk melihat posisi sektor energi Indonesia
dalam subsistem kebijakan. Hal ini menjadi relevan mengingat arah menuju transisi energi
juga dilakukan atas dampak suatu perubahan iklim yang membuat perlunya reformasi di
bidang energi di Indonesia dan secara global. Dalam pengkajian tersebut harapannya dapat
secara sistematis menangkap saling ketergantungan perubahan kebijakan lintas sektor,
yang muncul dari keterbatasan ruang perhatian pemerintah Indonesia serta implikasinya
terhadap kebijakan dalam menyongsong transisi energi.
B. Adaptasi Kebijakan
Adaptasi kebijakan diperlukan dalam suatu kondisi yang mengharuskan adanya
perubahan yang cepat. Proses adaptasi dalam kebijakan digunakan untuk menyesuaikan
dengan kondisi ata subsistem yang telah dirancang atau disepakati oleh berbagai aktor politik.
Kondisi energi merupakan suatu subsistem yang tidak berada dalam posisi stagnan,
perubahannya selalu cepat dan semakin lama semakin kompleks mengingat sumber daya
yang kian menipis. Dalam proses energi secara global digunakan konsep flexible regulation
untuk menyesuaikan dengan kondisi dan tuntutan zaman pada kebijakan energi. Rhode et al
menemukan bahwa banyak pemangku kepentingan dalam kasus energi ini memilih peraturan
'berorientasi pasar' atau 'flexible regulation'. Regulasi yang fleksibel in tidak mengamanatkan
metode kepatuhan; sebagai gantinya, mereka mengizinkan entitas yang diatur untuk
mencapai target yang diperlukan secara mandiri. Menurut Rodhe et al (20210, peraturan yang
fleksibel ini dalam mengurangi emisi karbon dan dapat diterima secara politik. Peraturan
yang fleksibel memungkinkan perusahaan yang teregulasi kebebasan untuk memilih saluran
pengurangan biaya terendah, berinovasi. Hal ini cocok dengan sektor kebijakan yang multi
aktor dan erat kaitannya dengan profit-centered.

Peraturan yang fleksibel tersebut kontradiktif dengan realitas kondisi kebijakan yang
masih didominasi oleh kepentingan politik. Seorang agen politik dalam kebijakan publik
seringkali hanya mewakili pendapat kelompok yang mampu menguntungkan secara sosial
ekonomi daripada kelompok yang kurang beruntung. Terkait hal tersebut, dalam suatu sistem
dinamika demokrasi, Birchall dan Bonnett (2021) menegaskan bahwa suatu kelompok
perwakilan dengan status sosial ekonomi tinggi mewakili warganya lebih baik daripada
perwakilan dengan status sosial ekonomi rendah. Dengan demikian maka aspek kapital
sangat mempengaruhi agenda politik yang ada. Dalam hal ini peran perwakilan politik
sebagai faktor penting yang menghubungkan pendapat warga dan perubahan kebijakan.

Studi terbaru kemudian menunjukkan aspek lain yang mempengaruhi agenda politik
yaitu opini pemimpin mereka. Pemimpin dapat diartikan sebagai elite politik, yang kemudian
menjadi penggerak dari agenda kebijakan. Billnet (2021) kemudian menjelaskan bahwa
meskipun perwakilan dapat mewakili pendapat warga dengan baik, sistem politik dan
birokrasi mungkin tidak memberikan jenis perubahan kebijakan yang diinginkan warga.
Kembali lagi agenda diatur pada kepentingan elite daripada tuntutan publik. Selain itu
terdapat temuan bahwa warga berpendidikan tinggi lebih relevan dan terikat dengan
kebijakan yang diterapkan hal ini dikarenakan para politisi lebih baik dalam mewakili
pendapat warga tersebut. Dengan demikian maka kebijakan seringkali bias terhadap
keinginan kelompok warga yang diuntungkan. Bias semacam ini sudah terjadi sejak tahap
agenda setting. Dengan adanya kontradiksi terkait pentingnya perumusan agenda setting dan
perlunya mengakomodir kepentingan berbagai kelompok dalam kebijakan, maka
sesungguhnya peran perwakilan politik seperti parlemen tidak mampu mengubah arah
kebijakan sesuai dengan tuntutan publik atau kondisi kontekstual mengingat di baliknya
masih didominasi oleh agenda kepentingan. Dengan mengkaji proses adaptasi kebijakan
dapat diketahui proses perumusan kebijakan energi yang memiliki dampak multidimensional
ini seberapa dipengaruhi oleh kepentingan agenda politik suatu kelompok tertentu. Kondisi
kebijakan yang mengikat tertutup dan didominasi oleh kepentingan elite politik sudah tidak
lagi relevan untuk digunakan. Saat ini dengan kompleksitas isu mengenai energi, maka
peraturan yang fleksibel adalah instrumen kebijakan yang potensial sebagai bagian dari
produk kebijakan untuk diterapkan pada sektor-sektor dengan emisi tinggi seperti transportasi
dan listrik. BUMN di bidang transportasi dan listrik tentunya dapat mengatur arah
kebijakannya sehingga tetap mengacu pada target pemerintah untuk melakukan transisi
energi, karena sejatinya kebijakan yang mengikat dan rigid justru berpeluang menimbulkan
resistensi yang tinggi. Dengan demikian agenda transisi energi kemudian akan mendapatkan
dukungan publik yang tinggi. konsep tersebut dapat digunakan untuk membantu mendesain
regulasi yang sesuai dan efektif. bagi transisi energi agar masing-masing pemangku
kepentingan tidak merasa terbebani dan dapat melakukan sinergi.

C. Kebijakan Energi

Kebijakan terkait energi menjadi sebuah kebijakan yang vital di berbagai negara. Isu
ini bahkan menjadi isu global. Atsu & Adams (2021) melihat bahwa selama periode 1984-
2017, untuk negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan) selama
periode 1984–2017 memiliki jumlah konsumsi bahan bakar fosil yang meningkat di tengah
dan ketidakpastian kebijakan terkait energi. Hal ini kemudian berkontribusi pada
peningkatan emisi CO2. Lebih lanjut, diungkapkan bahwa selain ada tidaknya inovasi energi
terbarukan, kualitas dari birokrasi pemerintahan yang baik, dan kestabilan sistem keuangan
dapat mengurangi emisi CO2. Hal ini mengingat untuk menuju pengurangan konsumsi
energi fosil dibutuhkan suatu kebijakan yang strategis dan tentunya juga membutuhkan biaya
tinggi. Kebijakan energi diperlukan untuk menangani isu-isu pengembangan energi seperti
ditemukan bahwa bahan bakar fosil dapat mencemari lingkungan, sementara energi
terbarukan dapat mengurangi emisi CO2. Ortiz et al (2021) mengungkapkan bahwa salah
satu alat yang dapat digunakan untuk mendukung kebijakan energi yang efektif adalah
terkait memaksimalkan keanekaragaman hayati dengan bijak. Dengan bidang agrikultur yang
dikelola dengan baik, akan menekan bahan sintetis dan kemudian menekan pula peningkatan
emisi karbon.

3. Identifikasi Stakeholders

Stakeholders Peran dalam Transisi Energi

Kementerian ESDM Perumus Kebijakan utama energi nasional yang


menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi
dan sumber daya mineral untuk, selain itu sebagai sumber
penggerak kesiapan, koordinasi dan pengkajian terkait
energi nasional di Indonesia.

BAPPENAS Berperan dalam penyusunan master plan dan roadmap


transisi energi nasional. Bappenas juga berperan dalam
melibatkan berbagai stakeholders seperti PT, Industri,
masyarakat dan NGO dalam menyusun menyusun RUEN
(Rancangan Umum Energi Nasional) dan RUED (Rancangan
Umum Energi Daerah), dan memastikan konsep transisi energi
pada seluruh level kebijakan di Indonesia.

Kementerian Keuangan Mengalokasikan anggaran dan segala bentuk koordinasi


terkait ketetapan anggaran keuangan dalam proses transisi
energi Indonesia.

Dewan Energi Nasional Sebagai pemerhati dan pemberi masukan terhadap


permasalahan kebijakan energi nasional serta sebagai
regulator Kebijakan Energi Nasional (KEN). Dewan Energi
Nasional juga sebagai pengawas dalam proses implementasinya
yang juga berperan dalam menetapkan langkah-langkah
penanggulangan kondisi krisis energi di Nasional.

Pemerintah Daerah Sebagai policy maker dalam segala aspek kebijakan energi
yang diterapkan pada level daerah. Pemerintah daerah juga
memiliki tanggungjawab dalam mandat transisi energi
nasional dengan mengelolanya pada urusan dan anggaran
daerah yang dituangkan dalam RUED.

BUMN sektor migas, Sebagai pengguna aktif dari energi, maka perannya
transportasi, dan menjadi penting untuk turut menyongsong transisi energi
kelistrikan melalui inovasi EBT.

NGO Menciptakan ruang diskusi terkait transisi energi dan


sebagai penengah sekaligus penyalur antara dialog,
aspirasi, dan keresahan masyarakat terkait masalah energi
nasional. NGO juga seringkali berhasil mengangkat
masalah ke permukaan.

Komunitas masyarakat Sebagai basis ketahanan sumber daya sebagai gerakan akar
rumput yang dapat menentukan berhasil atau tidaknya
proses transisi energi nasional. Gerakan Masyarakat yang
massif dapat meningkatkan komitmen untuk menggunakan
energi secara bijak.

Perguruan Tinggi Sebagai pengkaji kebijakan terkait energi nasional, dan


memberikan rekomendasi kebijakan yang strategis.
Daftar Pustaka

IEA Gas Market Reports 2019. Diakses dari https://www.iea.org/reports/gas-market-report-


q3-2022/executive-summary
Wang, J., Zhang, S., & Zhang, Q. (2021). The relationship of renewable energy consumption
to financial development and economic growth in China. Renewable Energy, 897-904.
Xavier Fernández-i-Marín. (2019). Systemic Dynamics of Policy Change: Overcoming Some
Blind Spots of Punctuated Equilibrium Theory. Policy Studies Journal, Vol. 0, No. 0,
2019
Yang, D., Liu, D., Huang, A., Lin, J., & Xu, L. (2021). Critical transformation pathways and
socio-environmental benefits of energy substitution using a LEAP scenario modeling.
Renewable and Sustainable Energy Reviews, 110116.
Dewan Energi Nasional. (2020). Bauran Energi Nasional. Jakarta: Sekretaris Jenderal Dewan
Energi Nasional.
Dogan, E., Altinoz, B., Madaleno, M., & Taskin, D. (2020). The impact of renewable energy
consumption to economic growth: A replication and extension of Inglesi-Lotz (2016).
Energy Economics, 104866.
Dewan Energi Nasional (2019) Buku Ketahanan Energi.

Knill, C., & Steinebach, Y. (2022). What has happened and what has not happened due to the
coronavirus disease pandemic: a systemic perspective on policy change. Policy and
Society, 41(1), 25-39.

Birchall, S. J., & Bonnett, N. (2021). Climate change adaptation policy and practice: The role
of agents, institutions and systems. Cities, 108, 103001.

Rhodes, E., Scott, W. A., & Jaccard, M. (2021). Designing flexible regulations to mitigate
climate change: A cross-country comparative policy analysis. Energy Policy, 156,
112419.

Atsu, F., & Adams, S. (2021). Energy consumption, finance, and climate change: does policy
uncertainty matter?. Economic Analysis and Policy, 70, 490-501.
Persson, M. (2021). From opinions to policies: Examining the links between citizens,
representatives, and policy change. Electoral Studies, 74, 102413.

Ortiz, A. M. D., Outhwaite, C. L., Dalin, C., & Newbold, T. (2021). A review of the
interactions between biodiversity, agriculture, climate change, and international trade:
Research and policy priorities. One Earth, 4(1), 88-101.

Sovacool, B. K., Griffiths, S., Kim, J., & Bazilian, M. (2021). Climate change and industrial
F-gases: A critical and systematic review of developments, sociotechnical systems and
policy options for reducing synthetic greenhouse gas emissions. Renewable and
sustainable energy reviews, 141, 110759.

Website dan Berita:


https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/03/06/potensi-energi-terbarukan-indonesia-
kedua-tertinggi-di-dunia
https://www.kompas.tv/article/249066/larangan-ekspor-batu-bara-dari-presiden-jokowi-
menuai-polemik
https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/sambut-forum-energi-g20-menteri-
arifin-dukung-global-tekan-emisi-karbon-di-subsektor-minerba
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/07/22/cadangan-minyak-indonesia-terus-
menipis-dalam-10-tahun-terakhir
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/05/18/kapasitas-energi-terbarukan-dunia-
terus-bertambah
Kompas (2022). Diakses dari
https://money.kompas.com/read/2022/07/05/120000826/tantangan-mencapai-target-
energi-baru-terbarukan-ebt-23-persen?page=all.

Anda mungkin juga menyukai