Anda di halaman 1dari 3

URGENSI PERALIHAN ENERGI DI INDONESIA GUNA

MEWUJUDKAN NOL EMISI KARBON


Oleh: Annisa Kamila

Setiap tahun manusia melepaskan sekitar 55 gigaton gas rumah kaca. Apabila
dibiarkan terjadi kemungkinan besar bumi tidak bertahan lama. Perubahan iklim
dan penggunaan energi baru terbarukan (EBT) menjadi tantangan yang harus
dihadapi seluruh negara. Energi merupakan fokus utama untuk mencapai program
Net Zero Emission 2060 dan meningkatkan persebaran EBT tahun 2030. Program
Net Zero Emission atau nol emisi karbon ialah jumlah emisi karbon yang
dilepaskan ke atmosfer tidak melebihi jumlah emisi yang diserap bumi. Beberapa
negara, termasuk Indonesia, telah menyesuaikan peraturan baru terkait penyediaan
energi listrik dengan Net Zero Emission. Maka, dibutuhkan dukungan PLN
sebagai perusahaan listrik dan produsen emisi di Indonesia.
Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan dalam dokumen Nationally
Determined Contribution (NDC) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar
31,89% dengan usaha sendiri dan sebesar 43,2% dari dukungan internasional,
sehingga Net Zero Emission 2060 terealisasikan dengan baik bahkan secepatnya.
Strategi transisi energi dirancang untuk menunda dan menghentikan penggunaan
bahan bakar fosil, terutama yang memiliki emisi karbon relatif tinggi, serta
dikelola secara hati-hati untuk menghindari fluktuasi ekonomi yang
mempengaruhi kebutuhan transisi energi di seluruh negara. Demi mengurangi
jejak karbon dan mencapai nol emisi di tahun 2060, pemerintah menerapkan lima
prinsip utama berupa peningkatan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT),
pengurangan energi fosil, penggunaan transportasi listrik, peningkatan konsumsi
listrik, dan menerapkan Carbon Capture and Storage (CCS), yaitu teknologi
penangkapan dan pemindahan emisi CO2 ke dalam simpanan di perut bumi.
Masyarakat sebagai konsumen energi harus memperhatikan jumlah emisi karbon
untuk mendorong kebijakan pemerintah dalam pemanfaatan EBT.
Upaya transisi sistem energi berupa peralihan dari sumber energi fosil menuju
EBT yang ramah lingkungan dan menghentikan risiko global warming akan
perubahan iklim dan emisi karbon. Darmawan Prasodjo, Direktur Utama PLN,
mengatakan bahwa transisi energi di Indonesia harus menjalani beberapa tahapan
agar terlaksananya Net Zero Emission tahun 2060. Periode pertama tahun
2021-2025 merupakan masa publikasi perundangan terkait penghentian dini
PLTU, perluasan co-firing di 52 PLTU, serta konversi diesel ke gas dan EBT.
Pemerintah menerbitkan aturan bagi masyarakat yang telah memasang
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di atap rumah sebagai perkembangan
penerapan transisi energi. Sebagian masyarakat menyadari dampak global
warming dengan usaha pemasangan panel surya di setiap rumah untuk kebutuhan
listrik. Pemerintah juga mulai memperkenalkan pajak karbon untuk mencegah gas
rumah kaca dan mengubah aktivitas ekonomi.
Periode tahun 2026-2030, Indonesia tidak menambah kapasitas PLTU dan
mengembangkan PLTS. Pemerintah mendukung electric vehicle dengan target
kendaraan beroda empat sebanyak 2 juta dan 13 juta kendaraan beroda dua.
“Harapannya kegiatan hari ini merupakan awal dari percepatan agar EV di
Indonesia bisa ditargetkan 20% minimal di tahun 2030. Untuk ekosistem EV, PLN
diharapkan untuk menyiapkan baterainya, termasuk electric charge. Harus ada
satu standar untuk charging station dalam waktu dekat,” ungkap Airlangga,
Menko Bidang Perekonomian Indonesia.
Selanjutnya, tahun 2031-2035 pemerintah mulai menghentikan PLTU secara
bertahap dan menggantinya dengan pembangkit EBT mencapai target 57%,
seperti energi surya, hidro, dan geothermal. Pada tahun 2036-2040, pembangkit
listrik EBT diperkirakan meningkat menjadi 66% didominasi oleh tenaga surya,
hidro, dan bioenergi. Pemerintah akan tetap mengurangi jumlah kendaraan roda
dua konvensional dan melanjutkan pemberhentian PLTU. Jelang tahun
2041-2050, pembangkit listrik EBT ditingkatkan menjadi 93%, kendaraan roda
empat konvensional dikurangi, serta dibangunnya pembangkit listrik arus laut
berskala besar dan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Terakhir, tahun 2051-2060, PLTU akan dihentikan total sehingga pembangkit
listrik dapat sepenuhnya memanfaatkan sumber transisi energi baru terbarukan.
Penyedia sumber energi seperti PT. PLN (Persero) harus menghadapi tantangan
geografis di Indonesia karena tersebarnya pulau-pulau kecil dan terpencil dengan
jaringan listrik yang masih belum memadai. Persebaran sumber energi yang tidak
merata mengakibatkan potensi tingkat kelistrikan nasional tiap daerah
berbeda-beda.
Indonesia berperan penting sebagai penghasil dan pengekspor minyak dan gas
bumi. Tetapi, semakin lama digunakan cadangannya mulai menurun. Menurunnya
ketahanan sumber energi fosil akan mendorong pemerintah dalam
memprioritaskan EBT untuk mencapai swasembada energi. Potensi EBT tenaga
air, angin, matahari, dan arus laut di Indonesia sangatlah besar, namun belum
dimanfaatkan secara maksimal. Bioenergi, biogas, dan biomassa dapat digunakan
untuk memasak dan keperluan industri. Meningkatnya penggunaan energi
terbarukan dapat mengurangi kebutuhan energi fosil di masa depan.
Bagi setiap negara penghasil emisi gas rumah kaca, transisi energi untuk
mencapai Net Zero Emission merupakan tantangan yang besar terutama jika
negara tersebut membangun perekonomian tanpa adanya batasan yang jelas.
Pemerintah daerah (RAD-GRK) menjadi kunci pada program Net Zero Emission
untuk berkomitmen besar dengan dana alokasi yang terbatas dari pemerintah pusat
maupun pendapatan asli daerah. Meningkatnya jumlah konsumsi bahan bakar
fosil per kapita di Indonesia tentunya berbanding lurus dengan jumlah emisi CO2
yang dihasilkan. Diperlukan inovasi anggaran untuk membantu mengurangi emisi
karbon dari tingkat daerah, baik di bidang pertanian, kehutanan dan lahan, energi
dan transportasi, industri, maupun pengelolaan limbah. Jika dilihat dari segi
perekonomian Indonesia, pemanfaatan SDA dan Net Zero Emission membutuhkan
biaya yang sangat tinggi. Hal tersebut ditunjukkan dengan lambatnya berbagai
program pemerintah untuk mengurangi emisi karbon, seperti meningkatkan
sumber EBT, menghentikan deforestasi, dan mengolah limbah.
Penerapan tahapan transisi energi fosil ke EBT tentunya memiliki tantangan yang
harus dihadapi, yaitu subsidi EBT lebih rendah dibandingkan subsidi energi fosil.
Maka, subsidi tersebut dikatakan tidak adil karena EBT tidak terjangkau oleh
banyak orang. Lalu, kemampuan menguasai teknologi pengolahan dan
pengendalian sumber energi belum optimal. Sebagian besar pembangkit listrik
EBT masih berskala kecil dan hanya mampu memenuhi kebutuhan lokal. Sumber
EBT memiliki stabilitas dan ketersediaan yang tinggi. Sayangnya, sejauh ini EBT
diperlakukan sebagai teknologi berskala kecil. Sasaran pembangkit listrik EBT
dalam waktu dekat akan sulit jika harga energi fosil masih rendah dibandingkan
harga EBT.
Selain itu, tantangan sosial memerlukan dukungan kuat dari masyarakat luas.
Namun, keterlibatan masyarakat masih terbatas seperti pada beberapa daerah
ditolak dengan alasan keamanan, konflik lahan, dan alasan lainnya. Banyak
masyarakat belum menyadari manfaat EBT, manfaat Net Zero Emission, dan
bahaya perubahan iklim global. Akibatnya, masyarakat kurang terampil dalam
pengembangan dan pemeliharaan teknologi EBT. Tidak banyak media yang
membahas EBT dan perubahan iklim untuk mempengaruhi persepsi masyarakat
karena kurangnya antusiasme.
Mahasiswa sebagai generasi muda berperan dalam mengubah persepsi masyarakat
agar lancarnya transisi energi dan Net Zero Emission. Mahasiswa dapat meneliti
penemuan baru dan manfaatnya bagi masyarakat. Kemudian, hasil penelitian
dipublikasikan melalui kampanye, sosialisasi, atau acara lainnya demi potensi
EBT di Indonesia lebih dikenal luas.

Anda mungkin juga menyukai