Anda di halaman 1dari 3

ESSAY SOSIOLOGI ENERGI

PRO KONTRA PROYEK PEMBANGUNAN ENERGI BARU


TERBARUKAN (EBT) DALAM TRANSISI ENERGI DI INDONESIA

Disusun oleh:
Dhomas Indiwara Prana Jhouhanggir
18/430653/PT/07808
PRO KONTRA ENERGI BARU TERBARUKAN (EBT)
DALAM TRANSISI ENERGI DI INDONESIA

Perubahan iklim atau Climate Change merupakan perubahan yang


terjadi pada pola keikliman yang tediri dari unsur-unsur berupa suhu,
radiasi matahari, kelembaban, hingga tekanan udara. Penyebab
utamanya adalah pemanasan global akibat peningkatan konsentrasi gas
karbondioksida (CO2) dan gas lainnya pada amtosfer bumi sehingga
membuat atmosfer bumi menahan lebih banyak panas dari matahari lalu
terjadi akumulasi panas di bumi. Adanya perubahan iklim sangat
memberikan dampak yang buruk bagi makhluk hidup. Perubahan iklim
dapat memicu terjadinya berbagai macam bencana alam, seperti angin
puting beliung, banjir, kekeringan, tanah longsor, hingga gelombang
tinggi.
Karbondioksida (CO2) adalah gas rumah kaca yang paling umum
diproduksi oleh aktivitas manusia, seperti pembakaran batu bara, minyak
dan gas. Peningkatan emisi gas rumah kaca oleh aktivitas manusia perlu
segera diatasi sebelum menjadi bencana yang nantinya akan terus
mengancam anak dan cucu kita. Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) Indonesia menyatakan bahwa Indonesia telah
berkomitmen untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar
29% dengan upaya sendiri dan 41% melalui kerjasama internasional pada
tahun 2030. Sektor energi dengan target sebesar 11% merupakan sektor
utama yang memegang peran penting dalam pencapaian NDC Indonesia
setelah sektor kehutanan, yaitu sebesar 17%. Hal ini terkandung dalam
dokumen kontribusi yang ditentukan secara nasional atau yang disebut
dengan Nationally Determined Contribution (NDC) dan tidak terpisahkan
dari ratifikasi Persetujuan Paris dalam Undang-Undang No. 16 Tahun
2016. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dan badan-
badan PBB lainnya telah memperingatkan agar negara-negara mulai
melakukan langkah-langkah konkret sesegera mungkin. Pada tahun 2030,
emisi gas rumah kaca global perlu dikurangi setengahnya, dan mencapai
netral karbon alias nol emisi pada tahun 2050.
Transisi energi merupakan usaha nyata yang dilakukan untuk
mencapai transformasi energi fosil menjadi energi non-fosil melalui
pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) dan peningkatan efisiensi
energi. Transisi energi merupakan langkah yang dilakukan untuk menuju
sistem energi yang lebih bersih, minim emisi, ramah lingkungan sekaligus
mencapai target tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable
Development Goals (SDGs). EBT ini merupakan sumber energi yang
berasal dari alam dan dapat diolah Kembali secara bebas serta dapat
diperbarui secara terus menerus dan tak terbatas. Hal tersebut sejalan
dengan Indonesia yang merupakan negara dengan potensi biomassa yang
begitu besar sehingga dapat dijadikan sebagai alternatif Energi Baru
Terbarukan.
Kebijakan transisi energi yang saat ini menjadi sorotan di
Indonesia, rupanya menuai pro kontra dari berbagai pihak dan berbagai
pandangan. Proyek pembangunan Energi Baru Terbarukan dinilai dapat
memberikan beban baru pada anggaran negara dan dipandang akan
memberatkan kantong keuangan negara. Sebagian besar masyarakatpun
masih tergantung pada sumber energi fosil karena dinilai lebih murah
dan mudah didapat. Indonesia sampai saat ini belum bisa terlepas dan
masih membutuhkan PLTU Batubara untuk menggerakkan perekonomian
nasional. PLTU masih menguasai sebagian besar wilayah seakan
menunjukkan proses transisi sulit dilakukan. Pelaksanaan transisi energi
di Indonesia semakin dinilai tidak mudah karena masih banyak
masyarakat yang belum tersentuh energi listrik. Sebelum melakukan
transisi energi, Indonesia harus bisa memberikan akses kepada mereka
yang belum terhubung dengan energi terlebih dahulu. Setelah itu,
barulah perlahan proses transisi energi mulai dilakukan. Namun kondisi
sekarang menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat di Indonesia
yang belum mendapatkan akses listrik sebagai salah satu alternatif
energi yang digunakan. Hal ini perlu dilakukan agar transisi energi dapat
dinikmati oleh semua masyarakat, tanpa adanya perbedaan “Si Kaya dan
Si Miskin”. Semua masyarakat harus memiliki hak akses mendapatkan
energi. Target investasi EBT di Indonesia juga dinilai sulit mendapatkan
dukungan dari para investor karena regulasi yang belum pasti, padahal
ketertarikan investor salah satunya bergantung pada isi regulasi
tersebut.
Ketergantungan masyarakat terhadap energi fosil selama
berpuluh-puluh tahun membuat transisi ini memerlukan waktu yang tidak
singkat dan harus secara bertahap untuk merubah kebiasaan masyarakat.
Pemerintah perlu melakukan sosialisasi dan edukasi secara sistematis
dan berkesinambungan untuk meminimalisir masyarakat yang anti
terhadap proyek pembangunan EBT di Indonesia. Pemerintah juga harus
pandai menarik investor agar transisi energi dapat berjalan lebih cepat
dengan mengeluarkan kebijakan yang tepat tanpa ada pihak yang merasa
dirugikan.

Anda mungkin juga menyukai