Anda di halaman 1dari 8

Meneguhkan Komitmen Masa Depan Ekonomi Hijau

Energi yang lebih ramah lingkungan menjadi kebutuhan masa depan. Pembangunan dan
kesejahteraan tak bisa dilepaskan dari kepentingan kelestarian lingkungan. Butuh komitmen semua
pihak.

Oleh EREN MARSYUKRILLA

Konsepsi ekonomi hijau yang menjadi arah pembangunan Indonesia pada masa mendatang
memerlukan dukungan dan langkah nyata agar dapat terakselerasi dengan baik. Komitmen tersebut
tak hanya didorong pada keberpihakan investasi dan sektor penggerak ekonomi besar, tetapi juga
urgensi penyadaran publik untuk menggeser ketergantungan pada energi yang lebih ramah
lingkungan.

”Kita akan mengarah kepada yang namanya ekonomi hijau (green economy) karena kita mempunyai
kekuatan besar di sini. Strategi ini juga harus mulai ditata. Di tahun 2030 nanti Eropa-Amerika sudah
mulai stop, mereka tak mau menerima barang-barang yang berasal dari energi fosil.” Demikian
penggalan pidato kunci yang disampaikan Presiden Joko Widodo dalam Kompas100 CEO Forum pada
18 November 2021.

Secara garis besar, dalam forum yang memfasilitasi diskusi dari berbagai kalangan pengusaha swasta
dan pemerintah tersebut, Presiden ingin memberikan arahan mengenai arah perekonomian masa
epan yang mengacu pada konsepsi ekonomi hijau.
Ekonomi hijau atau green economy adalah suatu gagasan ekonomi yang bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan sosial masyarakat, sekaligus mengurangi risiko
kerusakan lingkungan secara signifikan.

Secara garis besar, konsepsi ekonomi hijau mengacu pada beberapa aspek mendasar seperti
menekan emisi, penghematan sumber daya dan berbasis energi terbarukan, hingga berlandaskan
keadilan sosial.

Komitmen untuk hal tersebut tentu perlu dibangun oleh seluruh pemangku kepentingan yang
terlibat di dalamnya sehingga di masa mendatang Indonesia benar-benar siap menerapkan konsep
ekonomi hijau yang berkelanjutan.

Merunut ke belakang, pada 22 April 2016, Indonesia menjadi satu dari 171 negara yang
menandatangani Kesepakatan Paris atau Paris Agreement di Markas Besar PBB, New York, Amerika
Serikat. Perjanjian Paris tersebut merupakan kesepakatan global dalam menghadapi persoalan besar
bersama berupa perubahan iklim.

Dalam forum global tersebut juga telah disampaikan bentuk perhatian Indonesia terhadap isu
perubahan iklim perlu diatasi dengan adanya pembenahan di sektor kehutanan dan pemanfaatan
lahan dengan luasan mencapai lebih dari 187 juta kilometer persegi.

Secara nyata, hal itu ditunjukkan melalui pembentukan badan restorasi gambut tahun 2016 yang
berada di bawah koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Selain itu, sebagai bentuk keberpihakan pada keberlanjutan ekonomi hijau, dilakukan pula sejumlah
langkah moratorium untuk perizinan di sektor sawit dan batubara.

Sudah bukan rahasia pula, Indonesia memang menjadi salah satu negara yang paling besar
menghasilkan emisi karbon. Oleh karena itu, desakan untuk mewujudkan komitmen penurunan
emisi karbon 29 persen pada tahun 2030 bukan hal yang mudah.
Sebagai contoh, pada tahun 2015, saat terjadi kebakaran hutan yang meludeskan 2,6 juta hektar
lebih lahan hutan menyebabkan pelepasan setidaknya 1,1 gigaton karbon dioksida. Hal itu baru
terjadi dari satu kasus dan masih banyak kondisi serupa di sektor lain yang memberikan kontribusi
pada kerusakan lingkungan. Termasuk pula dalam hal emisi di sektor energi terkait dengan
transportasi dan pembangkit listrik yang menjadi penyumbang utama emisi gas rumah kaca hari ini
hingga diperkirakan pada 2030. Persoalan terkait hal ini memang perlu mendapat perhatian lebih
oleh pemerintah agar dapat memenuhi target ambisius pengurangan emisi.

Dalam skenario yang optimistis, emisi di sektor energi ini paling tidak dapat ditekan 40-45 persen
atau setara dengan 0,6 gigaton karbon dioksida pada tahun 2030.

Terkait hal ini, melansir analisis data Institute for Essential Service Reform (IESR), salah satu strategi
yang dapat dilakukan untuk menggapai capaian itu dengan mendorong energi terbarukan.

Setidaknya sumbangsih energi terbarukan harus di atas 30 persen dan separuh kapasitas pembangkit
listrik telah menggunakan teknologi energi terbarukan.

Potensi ekonomi hijau

Dalam batas waktu yang tak lama, kurang dari satu dekade ke depan, diharapkan capaian Indonesia
dalam mengurangi emisi dapat sesuai harapan. Target itu tentulah bukan hanya sebagai bentuk andil
dari gerakan global, melainkan juga komitmen dan keberpihakan negara pada masa depan bangsa
yang lebih maju dan sejahtera.

Langkah Indonesia untuk terus membuktikan komitmennya menindaklanjuti kesepakatan di Paris


pun terus nyata ditunjukkan. Terbaru, saat menghadiri konferensi tingkat tinggi pemimpin dunia COP
26 di Glasgow, Skotlandia, Indonesia secara khusus melakukan pertemuan bilateral dengan Inggris
guna membahas kerja sama kedua negara yang berbasis ekonomi hijau.

Hal itu membuktikan bahwa pemerintah memang tengah serius membidik berbagai peluang untuk
pengembangan ekonomi hijau yang masif di dalam negeri.

.
Hal lain yang tak kalah penting dari menjalin kerja sama antarnegara, membangun komitmen dan
strategi yang tepat memang perlu dirumuskan oleh seluruh elemen yang berkepentingan, tentu
dengan tujuan mengakomodasi kepentingan yang mengedepankan prinsip pembangunan
berkelanjutan dan kesejahteraan bersama.

Meletakkan konsepsi ekonomi hijau sebagai arah pembangunan dan masa depan perekonomian
akan menjadi tantangan besar di tengah kondisi ketergantungan pada energi fosil yang masih begitu
kuat.

Kini, perlahan dengan menghimpun dukungan dan kekuatan investasi dan kerja sama pengusaha
swasta, diharapkan perwujudan terhadap energi terbarukan yang ramah lingkungan (green
energy) dapat terakselerasi dengan baik. Penekanan akan potensi-potensi besar yang dimiliki
Indonesia untuk menyokong masa depan green economy telah jamak digaungkan oleh pemerintah di
berbagai kesempatan, mulai dari potensi dari energi tenaga air, panas bumi, matahari, hingga tenaga
angin.

Sebagai salah satu contoh terbaru terkait itu, dalam waktu dekat pemerintah akan membangun
Green Industrial Park di Kalimantan Utara. Direncanakan, sumber energi dari fungsi kawasan itu
akan disokong dari potensi hydro power yang dimiliki Sungai Kayan dengan perkiraan produksi
mencapai 11.000-13.000 megawatt.

Indonesia sendiri memiliki lebih dari 4.400 sungai besar yang berpotensi untuk dijadikan sumber
energi yang ramah lingkungan.

Adaptasi energi

Selain mengakselerasi banyak pengembangan potensi green energy, hal lain yang kini juga turut
diupayakan adalah adanya adaptasi energi untuk menggeser ketergantungan masyarakat terhadap
penggunaan energi yang tak terbarukan.

Melalui berbagai program dan kebijakan yang diterapkan akhir-akhir ini, upaya pemerintah untuk
mendorong masyarakat beralih dari ketergantungan energi fosil sangat masif didengungkan.

Urgensi tersebut perlu dikedepankan bukan hanya berkaitan dengan bentuk keberpihakan pada
lingkungan, melainkan juga pengendalian konsumsi bahan bakar minyak.
Laporan ”The Economic, Social, and Environmental Benefits of Circular Economy in Indonesia” yang
diluncurkan pada Senin (25/1/2021) dalam webinar ”Ekonomi Sirkular untuk Mendukung Ekonomi
Hijau dan Pembangunan Rendah Karbon”.

Merujuk data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pada kuartal III tahun 2021 ini,
konsumsi bahan bakar minyak (BBM) tercatat meningkat 3,19 persen atau setara menjadi 48,59 juta
kiloliter dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Konsumsi BBM untuk kendaraan masih menjadi yang tertinggi, yaitu bensin mencapai 24,03 juta
kiloliter dan solar sebesar 23,32 juta kiloliter.

Dorongan penggunaan kendaraan listrik hingga kompor induksi di rumah tangga yang tak lagi
memanfaatkan bahan bakar minyak ataupun elpiji pun semakin jamak ditemui.

Dalam hal kendaraan listrik, misalnya, berbagai kebijakan yang ”istimewa” mulai dari keringanan
pajak kendaraan, pengisian baterai gratis, hingga bebas dari aturan ganjil genap untuk penggunaan
di ruas jalan Ibu kota menjadi cara yang dianggap jitu untuk menarik minat khalayak guna mengganti
kebiasaan berkendaranya.

Terlebih harga yang ditawarkan unit kendaraan ini pun mulai semakin murah mengikuti tren harga
pasar baterai litium serta terus bertumbuhnya pabrikan yang mulai memasarkan kendaraan listrik.

Pada tahun 2020 realisasi penjualan mobil listrik sebanyak 127 unit. Sekalipun demikian, Perusahaan
Listrik Negara (PLN) cukup optimistis dengan memproyeksikan penjualan mobil listrik di Indonesia
akan berpotensi meningkat hingga 16.000 unit pada tahun 2025. Jumlah tersebut akan terus
melonjak hingga menyentuh 65.000 unit penjualan pada tahun 2030.

Sementara untuk program penggunaan kompor listrik, saat ini PLN tengah menyiapkan program
konversi penggunaan kompor induksi listrik dengan target satu juta set.

Salah satu strategi yang dilakukan adalah dengan menggandeng sejumlah perusahaan properti
hunian agar dapat memberikan fasilitas kompor induksi dalam setiap penjualan unit.
Laporan ”The Economic, Social, and Environmental Benefits of Circular Economy in Indonesia” yang
diluncurkan pada Senin (25/1/2021) dalam webinar ”Ekonomi Sirkular untuk Mendukung Ekonomi
Hijau dan Pembangunan Rendah Karbon”.

Diperkirakan efisiensi energi dari penggunaan kompor induksi listrik dapat mencapai 84 persen atau
setara dua kali lipat dari penggunaan elpiji.

Pemerintah dan seluruh elemen sosial ekonomi tentulah sepakat bahwa visi besar ekonomi hijau
harus didukung dengan tindakan nyata, sehingga tujuan kesejahteraan dan keadilan sosial yang
berkelanjutan dengan berbasis lingkungan dapat benar-benar terwujud.

Terpenting dari itu semua, berbagai perubahan dan adaptasi yang berpihak pada kelestarian
lingkungan merupakan fase penting yang harus dilalui dengan penuh komitmen bersama. 

Anda mungkin juga menyukai