Anda di halaman 1dari 5

NAMA: FEBRIANTO WAHYU UTOMO

NIM: 202210552
ESSAY – I EKONOMI ENERGI KETENAGALISTRIKAN DAN EFISIENSI

Potensi EBT Intermiten di Indonesia dalam 10 Tahun ke Depan Ditinjau dari Sisi
Potensi & Kemajuan Teknologi serta Peran Pemerintah serta PLN agar LCoE dapat
Bersaing dengan Sumber Energi Fosil

Kementerian ESDM mencatat sejak 2018, pembangkit energi baru terbarukan (EBT) dengan
sifat intermiten atau tidak stabil mulai dikembangkan secara pesat. Direktur Jenderal Energi
Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM F.X. Sutijastoto
mengatakan sebelum 2018, pengembangan pembangkit EBT yang intermiten sangat rendah.
Adapun kapasitas pembangkit EBT intermiten pada 2017 hanya 0,8 MW. Saat itu,
pembangkit EBT yang dominan dikembangkan adalah tenaga air, panas bumi, dan biomassa
[1]. Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif kembali mengingatkan
kembali peran penting pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia dalam
penurunan emisi gas rumah kaca di sektor energi, sekaligus untuk mewujudkan Indonesia
Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat. Indonesia memiliki potensi EBT yang
sangat melimpah yaitu sekitar 3.000 giga watt (GW), di mana potensi panas bumi mencapai
24 GW. "Pada COP26 tahun 2021, Indonesia telah berkomitmen untuk melakukan penurunan
emisi gas rumah kaca yang dipertegas bahwa Indonesia akan mencapai Net Zero Emission
pada tahun 2060 atau lebih cepat. Untuk itu diperlukan upaya memitigasi perubahan iklim
dengan menurunkan emisi karbon (dekarbonisasi) namun dengan tetap menjaga ketahanan
energi," demikian dikatakan Menteri Arifin di acara the 8th Indonesia International Geothermal
Convention and Exhibition, hari ini, Rabu (14/9/22). Aksi mitigasi yang berperan paling besar
dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca di sektor energi adalah pengembangan EBT
sebagai langkah transisi menuju energi yang lebih bersih, minim emisi, dan ramah lingkungan.
Indonesia memiliki potensi EBT yang sangat melimpah yaitu sekitar 3.000 GW. Potensi panas
bumi sendiri sebesar 24 GW. Selama 5 tahun terakhir, Pembangkit EBT terus mengalami
peningkatan, saat ini kapasitas pembangkit EBT sebesar 12 GW, dan panas bumi
menyumbang sekitar 2,2 GW. Potensi EBT akan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk
mempercepat transisi energi. Pada tahun 2060 kapasitas pembangkit EBT ditargetkan
sebesar 700 GW yang berasal dari solar, hidro, bayu, bioenergi, laut, panasbumi, termasuk
hidrogen dan nuklir. Pembangkit panas bumi diperkirakan akan mencapai 22 GW yang
didorong dengan pengembangan skema bisnis baru, inovasi teknologi yang kompetitif dan
terjangkau, antara lain deep drilling geothermal development, enhanced geothermal system,
dan offshore geothermal development [2].
Perkembangan pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) akan bergantung pada
teknologi dan harga baterai, terutama untuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Dengan
perkembangan teknologi baterai yang makin murah, diprediksi perkembangan pembangkit
NAMA: FEBRIANTO WAHYU UTOMO
NIM: 202210552
ESSAY – I EKONOMI ENERGI KETENAGALISTRIKAN DAN EFISIENSI
EBT mulai marak pada 2028, lalu naik eksponensial pada 2040, dan pada 2045 porsi EBT
diperkirakan mendominasi total pembangkit di Tanah Air. PLN sendiri berkomitmen
mendukung pemerintah untuk mencapai target bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025
yang ditunjukkan pada pilar transformasi hijau (green) PLN. Yakni, dengan berupaya
memimpin transisi energi Indonesia melalui peningkatan EBT secara pesat dan efisien. Saat
ini sebaran sistem kelistrikan secara nasional semuanya surplus sangat tinggi di atas 30-40
persen. Bahkan ada yang surplus 109 persen di sistem Nias. Sedangkan untuk Jawa – Bali
surplusnya 50 persen. Sementara, hanya ada beberapa di sistem khatulistiwa yang sistem
reserve marginnya 9 persen. Ini menunjukkan cadangan kapasitas listrik banyak yang belum
terutilisasi. Andriah Feby Misna, Direktur Aneka EBT Kementerian ESDM mengatakan, untuk
sektor energi pemanfaatan EBT menjadi hal yang sangat kritikal untuk transisi energi. ESDM
mengestimasi pada 2060, untuk pemanfaatan pembangkit, sebanyak 60 persen akan berasal
dari energi surya. Dengan demikian, PLTS saat ini menjadi salah satu prioritas
pengembangan pembangkit EBT. Potensinya yang cukup besar dan waktu kontruksinya
cukup pendek membuat PLTS menjadi prioritas [3].
Levelized Cost Of Electricity (LCoE) adalah Ukuran rata-rata biaya pada nilai saat ini dari
pembangkitan listrik yang dihasilkan oleh suatu aset selama masa pakainya, umumnya
digunakan untuk membandingkan biaya antar teknologi pembangkit listrik yang berbeda.

Gambar 1. Rata-rata Biaya Pembangkitan Listrik Energi Terbarukan Global dan Patokan Harga di
Indonesia* (2021-2022) [4]

Pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 112 Tahun 2022 tentang
Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik pada
Selasa (13/9/2022). Perpres tersebut mengatur banyak hal, salah satunya terkait harga
pembelian tenaga listrik oleh PT PLN dari beragam jenis pembangkit energi terbarukan.
NAMA: FEBRIANTO WAHYU UTOMO
NIM: 202210552
ESSAY – I EKONOMI ENERGI KETENAGALISTRIKAN DAN EFISIENSI
Harga listrik energi terbarukan di Perpres ini dipatok dengan besaran bervariasi, tergantung
pada jenis sumber energi, lokasi pembangkit, serta status kepemilikan pembangkit. Berikut
patokan harga tertinggi untuk pembelian listrik dari pembangkit energi terbarukan yang
sepenuhnya dibangun pemerintah (termasuk dari dana hibah):

- Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA): US$3,76 sen/kWh


- Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Fotovoltaik: US$5,63 sen/kWh
- Pembangkit Listrik Tenaga Angin/Bayu (PLTB): US$5,63 sen/kWh

Jika dilihat di skala global, patokan harga tersebut cenderung berada di atas rata-rata biaya
pembangkitan listrik atau levelized cost of electricity (LCOE) energi terbarukan dunia.

Menurut laporan Renewable Power Generation Costs in 2021 yang dirilis International
Renewable Energy Agency (IRENA) pada Juli 2022, sepanjang tahun lalu rata-rata LCOE
untuk PLTA di skala global sebesar US$4,8 sen/kWh. Angka ini lebih tinggi dari patokan harga
Indonesia. Kemudian rata-rata LCOE untuk PLTS Fotovoltaik global US$4,8 sen/kWh, lebih
rendah dari patokan harga Indonesia. Sedangkan rata-rata LCOE untuk PLTB onshore secara
global hanya US$3,3 sen/kWh, lebih rendah dari patokan harga Indonesia. Kendati demikian,
bukan berarti bahwa patokan harga Indonesia itu mahal. IRENA memperkirakan rata-rata
biaya pembangkitan listrik energi terbarukan pada 2022 memang cenderung meningkat
dibanding tahun lalu, dipengaruhi oleh situasi konflik Rusia-Ukraina yang mendorong
kenaikan harga komoditas. "Sektor energi termasuk konsumen utama material. Kenaikan
harga baja, aluminium, semen, polisilikon, dan material lainnya pasti akan berdampak pada
biaya pengembangan proyek energi," jelas IRENA dalam laporannya [4].

Kerja sama antara pemerintah dan stakeholder sektor energi diharapkan menjadi kunci utama
dalam percepatan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia. Sinergi
dan kolaborasi dalam mendorong transisi energi perlu diperkuat guna mencapai realisasi
bauran energi sebesar 23% di tahun 2025. Mewakili Menteri ESDM, Sekretaris Jenderal
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ego Syahrial partisipasi aktif seluruh
pihak memudahkan pemerintah dalam mengatasi berbagai tantangan dan dinamikan dalam
pengembangan EBT. "Untuk mengatasi berbagai tantangan dan dinamika dalam
pengembangan EBT diperlukan sinergi dan kolaborasi semua pihak sesuai peran masing-
masing," pada Webinar Science20-Energy Transition yang diselenggarakan oleh Universitas
Indonesia, Kamis (17/2/22).
NAMA: FEBRIANTO WAHYU UTOMO
NIM: 202210552
ESSAY – I EKONOMI ENERGI KETENAGALISTRIKAN DAN EFISIENSI
Pemerintah dan legislatif, imbuh Ego, tengah bersinergi dalam penguatan regulasi.
Sementara, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta harus mempersiapkan kondisi
pasar dan industri pengembangan regulasi. Selain itu, litbang dan akademisi harus
mendukung tersedianya alternatif opsi teknologi baru yang dapat diimplementasikan.
Beberapa tantangan dalam pengembangan EBT antara lain Pertama, keekonomian dan
teknologi dapat mendukung keandalan sistem tenaga listrik dan terciptanya harga yang
kompetitif. Kedua, kesiapan industri dalam negeri melalui pemanfaatan Tingkat Komponen
Dalam Negeri (TKDN). Ketiga, keseimbangan supply dan pertumbuhan demand dengan
harga terjangkau. Terakhir, kemudahan perizinan dan penyiapan lahan serta debottlenecking
dalam pelaksanaan proyek EBT. Di samping itu, terdapat pula berbagai pengembangan EBT,
diantaranya dana EBT, sharing jaringan melalui sistem power wheeling, harga dan insentif
EBT hingga harmonisasi perizinan. Arah kebijakan energi nasional saat ini adalah
melaksanakan transisi energi, yaitu dari energi fosil menuju energi yang lebih bersih, minim
emisi, dan ramah lingkungan, terutama melalui pengembangan Energi Baru Terbarukan
(EBT). Masih diperlukan usaha yang lebih intensif untuk mencapai target 23% pada tahun
2025.Guna mencapai tujuan tersebut, pentingnya peran ilmu pengetahuan dan teknologi
serta kegiatan riset sebagai dukungan utama pengembangan EBT. "Dalam siklus proyek
energi terbarukan, pelaksanaan litbang yang baik akan secara terus menerus menghasilkan
teknologi baru yang lebih efisien dan kompetitif, sehingga dapat menurunkan biaya Levelized
Cost of Electricity (LCoE) pembangkit, dan meningkatkan value added pada produk industri
EBT [5].

Tren penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) terus meningkat dari waktu ke waktu
seiring kemajuan teknologi yang membuat harga listrik bersih kian murah ketimbang berbahan
bakar fosil. Mantan Menteri Pertambangan dan Energi Kabinet Reformasi Pembangunan
Kuntoro Mangkusubroto mengatakan kemajuan teknologi akan membuat keseimbangan
persaingan usaha antara EBT dan energi fosil. PLTU lebih murah daripada energi baru
terbarukan, maka karena kemajuan teknologi energi baru terbarukan juga akan menjadi jauh
lebih murah daripada PLTU," ujarnya dalam seminar transisi energi dan sumber daya mineral
[6].

Jika dapat ditarik kesimpulan, Kemajuan teknologi berdampak signifikan terhadap LCoE EBT
sehingga dapat bersaing dengan Sumber Energi Fossil. Peran pemerintah dalam
Pengembangan Riset Pengembangan EBT serta Penguatan Regulasi juga sangat berperan
dalam kemajuan EBT di Indonesia.
NAMA: FEBRIANTO WAHYU UTOMO
NIM: 202210552
ESSAY – I EKONOMI ENERGI KETENAGALISTRIKAN DAN EFISIENSI

Referensi

[1] Bisnis.com. "Pengembangan Pembangkit EBT Intermiten Kian Pesat".


https://ekonomi.bisnis.com/read/20191203/44/1177322/pengembangan-pembangkit-
ebt-intermiten-kian-pesat. (Diakses Oktober 30, 2022).
[2] EBTKE ESDM. “Energi Baru Terbarukan Berperan Besar Dalam Upaya Penurunan
Emisi Di Sektor Energi”.
https://ebtke.esdm.go.id/post/2022/09/14/3260/energi.baru.terbarukan.berperan.besa
r.dalam.upaya.penurunan.emisi.di.sektor.energi. (Diakses Oktober 30, 2022).
[3] Kompas.com. “Perkembangan Pembangkit EBT Bergantung Pada Teknologi Baterai”.
https://money.kompas.com/read/2022/03/24/145124326/perkembangan-pembangkit-
ebt-bergantung-pada-teknologi-baterai?page=all. (Diakses Oktober 30, 2022).
[4] Databoks. “Harga Listrik Energi Terbarukan RI, Murah atau Mahal?”.
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/09/15/harga-listrik-energi-
terbarukan-ri-murah-atau-mahal. (Diakses Oktober 30, 2022).
[5] EBTKE ESDM. “Sekjen ESDM: Sinergi dan Kolaborasi Kunci Percepatan
Pengembangan EBT”.
https://ebtke.esdm.go.id/post/2022/02/19/3090/sekjen.esdm.sinergi.dan.kolaborasi.k
unci.percepatan.pengembangan.ebt?lang=en. (Diakses Oktober 31, 2022).
[6] Antaranews "Berkat teknologi, harga listrik EBT kian murah ketimbang fosil”.
https://www.antaranews.com/berita/2688781/berkat-teknologi-harga-listrik-ebt-kian-
murah-ketimbang-fosil (Diakses Oktober 31, 2022).

Anda mungkin juga menyukai