Anda di halaman 1dari 3

Komitmen Indonesia untuk mengembangkan energi baru terbarukan cukup jelas, sebagai

bagian menuju target netral karbon di 2060. Meski diakui, untuk menuju target itu
membutuhkan pendanaan yang cukup besar.

Tak henti-hentinya Kepala Negara mempromosikan dan mengajak investor asing agar
berinvestasi ke Indonesia sebagai komitmen untuk pengurangan emisi, sebagai cara untuk
menyelamatkan dunia. Dalam satu kesempatan, Kepala Negara menjelaskan, potensi
Indonesia sebagai kontributor energi bersih, baik di dalam perut bumi, di darat, maupun di
laut sangat besar.

Menurut presiden jokowi, negara membutuhkan investasi besar dan teknologi rendah
karbon untuk mendukung transisi menuju energi bersih yang cepat dan efektif. “Indonesia
membutuhkan setidaknya USD25 miliar–USD30 miliar untuk transisi energi delapan tahun
ke depan. Transisi ini bisa kita optimalkan sebagai motor pertumbuhan ekonomi, membuka
peluang bisnis, dan membuka lapangan kerja baru,”

Perubahan iklim akan menjadi masalah besar bagi negara kepulauan, termasuk Indonesia
yang memiliki 17.000 pulau. “Indonesia dan juga di negara-negara berkembang lainnya,
punya risiko terhadap perubahan iklim. Dukungan semua negara G7 di Presidensi Indonesia
di G20 sangat kami harapkan,” jelas Presiden Jokowi.

Presiden terus mendorong investasi di sektor itu sebagai bagian peluang usaha di negara ini.
Sayangnya investasi di sektor EBT masih kecil. Menurut data Kementerian ESDM,
pemerintah mentargetkan investasi di sektor EBT mencapai USD3,9 miliar tahun ini. Dari
total investasi itu, sektor panas bumi aneka EBT atau hidro, angin dan surya dapat
mencapai angka USD950 juta.

“Realisasi investasi memang masih cukup rendah, dan diharapkan di semester II-2022
dapat meningkat, terutama dengan akan terbitnya Perpres EBT yang sekarang sedang dalam
proses pemarafan oleh menteri terkait,” ujar Dadan Kusdiana, Dirjen EBTKE Kementerian
ESDM dalam satu kesempatan.
Berdasarkan laporan dari International Renewable Energy Agency (IRENA)
mengkonfirmasi realitas tersebut. Menurut lembaga itu, sepanjang tahun lalu biaya untuk
pengembangan energi baru terbarukan (EBT) terus menurun. IRENA mengungkapkan,
biaya listrik dari pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) darat turun sebesar 15 persen
dibandingkan 2020, sedangkan untuk PLTB lepas pantai dan pembangkit listrik tenaga
surya (PLTS) masing-masing turun 13 persen.

Dalam laporan bertajuk “Renewable Power Generation Cost in 2021”, IRENA


mengungkapkan bahwa sebanyak dua per tiga atau sebesar 163 gigawatt pembangkit EBT
yang terpasang pada tahun lalu memiliki biaya yang lebih rendah ketimbang pembangkit
listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang ada di negara-negara G20. IRENA
memproyeksikan, di tengah harga bahan bakar fosil yang masih tinggi pada tahun ini, maka
pembangkit EBT yang terpasang pada 2021 telah menghemat USD55 miliar dari biaya
pembangkitan energi global pada 2022.

Dalam keterangan Direktur Jenderal IRENA Francesco La Camera “EBT sejauh ini
merupakan bentuk energi paling murah saat ini. Tahun 2022 adalah contoh nyata betapa
ekonomisnya pembangkit EBT. Pembangkit ini membebaskan ekonomi dari volatilitas
harga dan impor bahan bakar fosil, menekan biaya energi dan meningkatkan ketahanan
pasar, terlebih jika krisis energi saat ini terus berlanjut,”. Dia menilai respons krisis
sementara mungkin memang diperlukan pada situasi saat ini, tetapi tidak untuk tujuan iklim
jangka menengah dan jangka panjang.

Menurutnya, situasi saat ini adalah pengingat bahwa EBT dan penghematan energi adalah
masa depan. “Dengan COP27 di Mesir dan COP28 di UEA (Uni Emirat Arab), energi
terbarukan memberi pemerintah energi yang terjangkau untuk menyelaraskan dengan emisi
nol bersih dan mengubah janji iklim mereka menjadi tindakan nyata dengan manfaat nyata
bagi orang-orang di lapangan,” jelasnya.

IRENA memperkirakan EBT bakal memberi dividen besar pada tahun ini. Bahkan di
negara-negara non-OECD, penambahan 109 gigawatt EBT pada tahun lalu bakal
mengurangi biaya setidaknya USD5,7 miliar per tahun selama 25—30 tahun ke depan.
Menurut IRENA, tingginya harga batu bara dan gas serta minyak pada 2021 dan 2022 akan
menurunkan daya saing bahan bakar fosil. Kondisi ini membuat energi surya dan energi
angin menjadi makin menarik. “Dengan lonjakan harga gas fosil Eropa yang belum pernah
terjadi sebelumnya, pembangkitan gas fosil baru di Eropa akan makin menjadi tidak
ekonomis selama masa pakainya, meningkatkan risiko aset terlantar,” tulis IRENA.

Laporan IRENA juga menunjukkan bahwa biaya bahan bakar dan CO2 untuk pembangkit
gas yang ada di Eropa mungkin rata-rata 4-6 kali lebih banyak pada 2022, ketimbang biaya
seumur hidup PLTS dan PLTB baru yang terpasang pada 2021. IRENA memproyeksikan
pada Januari hingga Mei 2022, PLTS dan PLTB Eropa telah menghemat impor bahan bakar
fosil Benua Biru yang besarnya tidak kurang dari USD50 miliar, terutama gas fosil. Data
IRENA juga menunjukkan, tidak semua kenaikan biaya material telah dimasukkan ke
dalam harga peralatan dan biaya proyek. Jika biaya material tetap tinggi, maka tekanan
harga pada 2022 akan lebih terasa.

Namun, IRENA menilai peningkatan itu dapat dikompensasi dengan keuntungan


keseluruhan dari EBT yang kompetitif dibandingkan dengan harga fosil yang lebih tinggi.
Penurunan biaya energi baru terbarukan tentu menjadi kabar yang menggembirakan bagi
rencana pengembangan energi bersih, termasuk Indonsia. “EBT sejauh ini merupakan
bentuk energi paling murah saat ini. Tahun 2022 adalah contoh nyata betapa ekonomisnya
pembangkit EBT. Pembangkit ini membebaskan ekonomi dari volatilitas harga dan impor
bahan bakar fosil, menekan biaya energi dan meningkatkan ketahanan pasar, terlebih jika
krisis energi saat ini terus berlanjut,” kata Direktur Jenderal IRENA Francesco La Camera,
dalam keterangannya.

Target pemerintah sampai dengan tahun 2025, konsumsi energi terbarukan (EBT) harus
memcapai 23 % dari jumlah keseluruhan pemakaian energi nasional.

Anda mungkin juga menyukai