Anda di halaman 1dari 3

Emisi gas rumah kaca secara global disumbang dari beragam sektor.

Berdasarkan data
Climate Watch, energi merupakan kontributor terbesar emisi gas rumah kaca. Sektor tersebut
mampu menghasilkan 36,44 gigaton karbon dioksida ekuivalen (Gt CO2e) atau 71,5% dari
total emisi pada 2017 lalu. Besarnya kontribusi sektor energi terhadap emisi gas rumah kaca
terjadi di banyak negara. Di Uni Eropa misalnya, emisi gas rumah kaca dari sektor energi
disokong kegiatan industri, rumah tangga, dan transportasi. Kondisi serupa juga terjadi di
Amerika Serikat (AS) yang banyak disumbang pembakaran bahan bakar fosil, seperti dikutip
dari Badan Perlindungan Lingkungan AS (EPA). Agrikultur serta perubahan tata guna lahan
dan hutan (land-use change and forestry/LULUCF) turut berkontribusi terhadap emisi gas
rumah kaca global. Kedua sektor tersebut masing-masing berkontribusi menghasilkan emisi
gas rumah kaca sebesar 5,88 Gt CO2e dan 3,22 Gt CO2e.

Sektor energi diproyeksikan menjadi penyumbang emisi GRK terbesar di tahun 2030
dengan porsi 58-71% dari total emisi GRK nasional2. Dengan demikian, sektor energi pun
ditargetkan dapat menurunkan emisi GRK sebesar 11-14%, atau sekitar 314-398 juta ton
CO2e, terhadap skenario BAU pada 2030. Namun ternyata meskipun target penurunan 41%
terhadap BAU tercapai, peningkatan jumlah emisi GRK dari sektor energi pada 2030 yakni
tiga kali lipat jika dibandingkan dengan jumlah emisi GRK pada tahun 2010. Pada tahun
2018, laporan Inter-governmental Panel on Climate Change (IPCC) menunjukkan urgensi
untuk mengurangi emisi GRK dalam satu dekade mendatang demi menjaga kenaikan
temperatur global tidak melebihi 1,5°C. Berdasarkan skenario 1,5°C, emisi GRK global harus
turun sebesar 40-50% (high confidence) pada tahun 2030 jika dibandingkan dengan emisi
BAU atau setara 25-30 Gt CO2e per tahun, dan mencapai net zero emission pada tahun
20503. Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia memiliki kontribusi
penurunan emisi di sektor energi dengan batas waktu 2030 hanya 38%. Karena sektor yang
lain mulai dari waste, industri, agriculture, dan juga forest jika dijumlahkan mencapai 62%.
Adapun target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebagaimana komitmen sektor energi
yakni sebesar 314-398 Juta Ton Co2, pada tahun 2030, melalui pengembangan energi baru
terbarukan (EBT), pelaksanaan efisiensi energi, dan konservasi energi, serta penerapan
teknologi energi bersih. Target penurunan emisi GRK di sektor energi melalui pengembangan
EBT sebesar 170.42 Juta Ton CO2. Kemudian untuk energi efisiensi target penurunan emisi
mencapai 96.33 Juta Ton CO2. Selanjutnya, Clean Power (energi bersih) sebesar 31.80 Juta
Ton CO2; fuel switching sebesar 10.02 Juta Ton CO2, dan post mining
reclamation (perubahan lahan) sebesar 5.46 Juta Ton CO2. Sehingga jika dikalkulasikan
sebesar 314 Juta Ton CO2.

Indeks SRI KEHATI pada Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan adanya peningkatan
harga saham 10 persen lebih tinggi pada 25 emiten yang berkomitmen pada pengurangan
emisi karbon (Tempo.co, 2013). Bahkan, hingga akhir Oktober 2017, indeks ini telah tumbuh
17,19 persen menggungguli Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang hanya tumbuh
13,39 persen (Tribunnews.com, 2017). Fenomena ini menunjukkan informasi emisi karbon
mampu memberikan keyakinan pada stakeholder atas prospek perusahaan yang sustainable di
masa yang akan datang. Corporate action perusahaan yang tinggi ini selanjutnya akan
direspon positif oleh para pelaku pasar sehingga terjadi kenaikan harga saham yang melebihi
return yang diekspektasikan oleh investor.

Pada periode 2010 hingga 2012 hanya terdapat 37 atau setara dengan 10,91% saja
perusahaan non- keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia melakukan pengungkapan
emisi karbon. Kemudian pada periode 2012-2014 jumlah total perusahaan yang terdaftar di
BEI mengalami penurunan dan sebanding dengan penurunan jumlah perusahaan yang
mengungkapkan emisi karbon. Pada periode tersebut hanya 32 perusahaan non keuangan atau
setara dengan 9,63% yang mengungkapkan emisi karbon pada annual report atau
sustainibility report. (Akhiroh dan kiswanto (2016) ; Jannah dan Muid (2014).

Fenomena uap air yang kini sedang terjadi. Koordinator Bidang Diseminasi Informasi
Iklim dan Kualitas Udara BMKG, Hary Tirto Djatmiko, mengatakan dampak yang
diakibatkan oleh fenomena cuaca La Nina adalah terjadinya penambahan uap air. Level
penambahannya berkisar 20 - 70 atau bahkan 100 persen dari keadaan normal. Namun, tak
semua daerah akan sama merasakan dampak dari fenomena La Nina. Setiap wilayah punya
dampak berbeda, tergantung dari indeks atau kondisi La Nina pada wilayah tersebut. Ada
daerah yang alami hujan lebat dengan volume air besar, ada juga yang bahkan kekurangan
curah hujan. Bencana dari fenomena La Nina yang dominan terjadi ialah menyangkut
hidrometeorologi. Antara lain genangan, banjir, longsor, atau banjir bandang. (Hary Tirto
Djatmiko, 2021).

Anda mungkin juga menyukai