Anda di halaman 1dari 16

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/372469754

PENERAPAN PAJAK KARBON DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI


INDONESIA

Research Proposal · February 2023


DOI: 10.13140/RG.2.2.29375.07841

CITATIONS READS

0 24

2 authors:

Revilda Nevinahdani Anagata Publisher


Universitas Dian Nuswantoro Semarang Universitas Dian Nuswantoro Semarang
1 PUBLICATION 0 CITATIONS 35 PUBLICATIONS 1 CITATION

SEE PROFILE SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Anagata Publisher on 20 July 2023.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


DINUS INTERNATIONAL YOUTH CONFERENCE
“Sustainability For The Future”
Vol. 1 No. 1, January 2023

PENERAPAN PAJAK KARBON DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI


INDONESIA
DIYC-012023022

Revilda Nevinahdani
revildanevi22@gmail.com

Universitas Dian Nuswantoro,Indonesia

Abstract: Pajak karbon merupakan upaya pemerintah untuk mengatasi eksternalitas


negative yang ditimbulkan atas emisi karbon Pigouvian Tax. Dalam dunia ideal,
pajak Pigouvian akan dikenakan dengan jumlah yang sama dan biaya terkait dengan
eksternalitas negative. Ketika pajak Pigouvian diberlakukan, pasokan kegiatan
ekonomi yang menghasilkan eksternalitas negative akan berkurang. Oleh karena itu,
penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tarif dan mekanisme pengenaan pajak
karbon yang diterapkan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian
kualitatif deskriptif. Data diperoleh dari data sekunder dengan metode pengumpulan
kajian literatur. Hasil studi menunjukkan bahwa terdapat potensi yang besar dari
pajak karbon bagi penerimaan negara. Indonesia mulai menerapkan pajak karbon
sejak April 2022 untuk sector Pembangkit Listrik Tenaga Uap – Batubara dengan
mekanisme yang diterapkan yaitu cap trade dan cap tax yakni gabungan antara
perdagangan karbon dan emisi karbon. Tarif pajak karbon yang diterapkan adalah
sama dengan harga karbon di pasar karbon namun tidak boleh kurang dari Rp 30
per kilogram CO 2 ekuivalen.

Keywords: Pajak Karbon, Pembangunan Berkelanjutan, Perubahan Iklim

LATAR BELAKANG
Konsep pembangunan berkelanjutan menjadi konsep fokus dunia
internasional yang popular sejak dipertegasnya pendekatan ini pada KTT Bumi di
Rio de Jenairo pada tahun 1992 [7] . Negara-negara yang tergabung dalam
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) termasuk Indonesia menyepakati suatu aksi
global, yaitu Sustainable Development Goals (SDGs) yang fokusnya tidak hanya

QR CBN : 62-1829-1215-867 | 137


DINUS INTERNATIONAL YOUTH CONFERENCE
“Sustainability For The Future”
Vol. 1 No. 1, January 2023

pada dimensi ekonomi dan sosial, namun juga berfokus pada dimensi lingkungan
[20] . Tujuan Pembagunan Berkelanjutan (SDGs) ini berisi 17 tujuan dengan 169
target yang dilaksanakan sampai tahun 2030. Salah satu agenda untuk menangani
perubahan iklim adalah Paris Agreement atau Perjanjian Paris, perjanjian ini
menetapkan untuk melakukan tindakan dalam rangka mengindari perubahan iklim
dengan membatasi pemanasan global di bawah 2 0 C dan target akhirnya pada 1,5
0 C. Paris Agreement menghasilkan kesepakatan mengenai Nationally Determined
Contribution (NDC) yang mengatur dan memproyeksikan potensi penurunan emisi
Gas Rumah Kaca. Dalam NDC, di tahun 2030, Indonesia menargetkan pengurangan
emisi sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% apabila terdapat bantuan asing
[14]

Dalam ilmu ekonomi, dampak dari kegiatan bisnis dan industri dikenal dengan
istilah eksternalitas. Eksternalitas adalah dampak tidak terkompensasi dari tindakan
seseorang pada kesejahteraan pengamat [9] . Eksternalitas negatif adalah
kerusakan ekonomi dan sosial yang disebabkan oleh pelaku ekonomi, pihak ketiga,
perorangan dan/atau badan hukum. Contoh eksternalitas negatif adalah
pencemaran udara di kota-kota besar yang disebabkan oleh kegiatan industri.

Kegiatan produksi dari semua sektor usaha memiliki potensi dalam


menghasilkan banyak gas yang dilepaskan ke udara terbuka. Gas-gas tersebut
bertanggungjawab menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim [3] . Hal ini
yang disebut dengan efek gas rumah kaca (EGRK). Gas rumah kaca utama ialah
karbon dioksida (CO 2 ), metana (CH 4 ), dan dinitrogen oksida (N 2 O). Gas rumah
kaca yang kurang lazim dan sangat kuat yaitu hidrofluorokarbon (HFC),
klorofluorokarbon (CFC), perfluorocarbon (PFC), dan sulfur heksafluorida (SF 6 ).
Sejak tahun 2014, tercatat sebagai tahun terpanas di Bumi dan mengalami
peningkatan suhu setiap tahunnya. Pada tahun 2050, Organisasi untuk Kerjasama
Ekonomi dan Pembangunan (Organization for Economic Co-Operation and
Development /OECD), dalam Environmental Outlook, memperkirakan empat miliar
orang (40% dari populasi global) akan tinggal di daerah langka air [20]. Emisi karbon
membawa efek gas rumah kaca yang merusak lingkungan manusia.

Pemerintah dapat memperbaiki eksternalitas dengan meminta atau melarang


aktivitas tertentu [9] . Alternatif lainnya adalah otoritas mengeluarkan kebijakan
peraturan lingkungan, berupa penetapan batas maksimum polusi atau pengadopsian
teknologi tertentu. Kesulitan yang dihadapi dalah regulator perlu mengetahui detil
industri dan teknologi alternatif yang dapat diadopsi oleh industri tersebut. Solusi
yang memungkinkan adalah dengan menarik pungutan terhadap aktivitas yang
memiliki eksternalitas negatif dan mensubsidi aktivitas yang memiliki eksternalitas
positif.

QR CBN : 62-1829-1215-867 | 138


DINUS INTERNATIONAL YOUTH CONFERENCE
“Sustainability For The Future”
Vol. 1 No. 1, January 2023

PERMASALAHAN
Isu perubahan iklim yang disebabkan oleh emisi gas menjadi perhatian
seluruh negara, termasuk Indonesia. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh
(Katadata, 2021) [1] salah satu negara yang masuk ke dalam sepuluh besar
produsen emisi GRK adalah Indonesia. Emisi gas yang disumbangkan oleh
Indonesia sejumlah 102,562 GtCO 2 kumulatif (Giga ton CO 2 ekuivalen – setara
dengan satuan miliar ton).

Sumber : Katadata, 2021 (Carbon Brief)

Perubahan iklim semakin meluas dirasakan negara-negara di dunia. Emisi


karbon didominasi oleh perubahan penggunaan lahan dan kehutanan. Pada
2021,Carbon Brief mengungkapkan penghasil emisi terbesar terutama adalah
negara-negara yang secara geografis luas yang banyak menebang hutan iklim untuk
lahan pertanian dan bahan bakar. Indonesia menempati urutan kelima sebagai
negara penghasil emisi karbon kumulatif terbanyak di dunia mencapai 102,562
GtCO2. Indonesia berperan terhadap perubahan lingkungan global.

Berdasarkan NDC, Indonesia telah menetapkan target pengurangan emisi di


tahun 2030 sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% apabila ada bantuan asing.
Pengurangan EGRK (Efek Gas Rumah Kaca) ini bertujuan untuk menjaga
lingkungan dari dampak buruk global warming dan climate change. Selain itu untuk
mengurangi eksternalitas negative demi tercapainya tujuan pembangunan
berkelanjutan (SDGs).

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kajian literatur dengan teknik analisis data
kualitatif deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian merupakan data sekunder
yang diperoleh melalui jurnal nasional, jurnal internasional, buku, situs internet,

QR CBN : 62-1829-1215-867 | 139


DINUS INTERNATIONAL YOUTH CONFERENCE
“Sustainability For The Future”
Vol. 1 No. 1, January 2023

berita-berita dalam portal media nasional dan internasional, serta berbagai laporan
negara terkait potensi penerimaan dan penerapan pajak karbon.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Total Emisi Karbon di Indonesia

Secara lebih rinci, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)


menggolongkan emisi GRK berdasarkan enam sektor [14] .

Emisi Gas Rumah Kaca menurut jenis sektor (dalam satuan ribu ton CO2e) selama
sepuluh tahun 2000-2019 (Sumber: Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan
MPV 2020, Kementerian LHK)

QR CBN : 62-1829-1215-867 | 140


DINUS INTERNATIONAL YOUTH CONFERENCE
“Sustainability For The Future”
Vol. 1 No. 1, January 2023

Pada 2019, Indonesia menghasilkan 1.866 juta ton [14] . Data laporan
inventarisasi emisi gas rumah kaca Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) menunjukkan bahwa sektor energi, sektor kehutanan, dan Pemanfaatan
Lahan Lainnya (forestry and other land uses/ FOLU) menghasilkan emisi karbon
tertinggi dengan rata-rata sekitar 521 juta ton CO 2 e. Laju emisi karbon konsisten
terendah di antara semua sektor adalah proses industri dan penggunaan produk
(industrial processes and product use/ IPPU), yang menghasilkan sekitar 44 juta ton
emisi CO 2 e. Rata-rata emisi karbon pada setiap sektor tiap tahunnya dalam angka
yang relative stabil, kecuali angka emisi karbon dari FOLU dan kebakaran hutan.
Tingkat emisi karbon dalam rentang 2000-2019 menunjukan pada tahun 2015 terjadi
peningkatan yang signifikan pada kedua sektor tersebut, namun kembali turun di
tahun 2016 dan mengalami fluktuatif setiap tahunnya.

Apabila sektor pertanian dan kebakaran hutan dikecualikan, rata-rata emisi


gas rumah kaca Indonesia akan menjadi 1.300 juta ton CO2e per tahun. Sektor
pertanian dikecualikan karena Indonesia merupakan negara agraris sehingga perlu
diberikan insentif sebelum dikenakan tarif pajak karbon pada sektor ini. Efek dari
pajak karbon akan meningkatkan biaya produksi dan menyebabkan kenaikan harga
dari produk. Oleh sebab itu, pertanian di Indonesia yang sebagian besar masih
tradisional akan mengalami pukulan ekonomi bagi pelakunya. Sedangkan untuk
kebakara hutan, pemerintah berusaha menekan kejadian kebakaran hutan ke depan
tidak lagi terjadi secara signifikan dan pengurangan emisi karbon pada sektor ini
akan relatif kecil.

Pajak Karbon dan Implementasinya di Beberapa Negara

Pajak karbon adalah turunan dari konsep Pigouvian Tax atau pajak atas
aktivitas perekonomian yang menimbulkan eksternalitas negatif (Pigou, 1992) [24]
.Pigouvian tax diterapkan sebagai kebijakan yang memaksa pihak pencemar
lingkungan untuk menanggung biaya atas perbuatan pencemaran yang
dilakukannya. Dengan artian bahwa Pigouvian tax dapat dijadikan sebagai
instrument untuk mengatur atau mengelola, serta meminimalisir aktivitas yang
menimbulkan eksternalitas negatif. Dengan adanya kebijakan yang mengikat,
individu dipaksa untuk mempertimbangkan semua konsekuensi atas tindakan yang
dilakukan. Oleh karena itu, pelaksanaan pajak karbon sebagai implementasi turunan
pajak Pigouvian diharapkan dapat mengurangi eksternalitas negates dari emisi
karbon, melalui pembebanan biaya tambahan atau pajak aktivitas terkait.

Merunut pada IBFD International Tax Glossary [28] , pajak karbon


didefinisikan sebagai pajak yang dikenakan pada bahan bakar fosil dan ditujukan
untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) diikuti dengan penurunan polusi

QR CBN : 62-1829-1215-867 | 141


DINUS INTERNATIONAL YOUTH CONFERENCE
“Sustainability For The Future”
Vol. 1 No. 1, January 2023

udara dan juga pencegahan perubahan iklim. Dengan begitu, pengenaan pajak
karbon dapat dijadikan sebagai suatu langkah mitigasi yang cukup efektif dalam
mengurangi emisi karbon. Hal ini didukung dengan hasil analisa (Shapiro,2021) [29]
yang menyatakan bahwa per tahun 2030, pelaksanaan pajak karbon dapat
mengurangi emisi karbon dunia hingga 35%.

Pajak karbon mulai diimplementasikan sejak 30 tahun yang lalu, Finlandia


adalah negara pertama yang memperkenalkan kebijakan pajak karbon. Tidak lama
setelah kebijakan tersebut, negara-negara lain mulai mengikuti hingga saat ini.
Terdapat total 27 negara yang menerapkan kebijakan pajak karbon dimana empat
diantaranya adalah Swedia, Finlandia, Jepang, dan Ethiopia. Meskipun
pengimplementasian pajak karbon berlandaskan pada tujuan yang sama, namun
setiap negara memiliki ketentuan masing-masing dalam penerapan dan
penyesuaiannya baik dari segi tarif, objek yang dikenakan, hingga hal-hal terkait
lainnya.

Penelitian atas penerapan pajak karbon di Ethiopia pernah dilakukan


olah(Mengistu, 2019) [21] . Melalui kebijakan pajak karbon, Ethiopia menargetkan
penurunan emisi Gas Rumah Kaca sebesar 64% di tahun 2030. Sebagai hasil
implementasinya pada tahun 2015, jumlah Emisi Gas Rumah Kaca (EGRK) dari
bahan bakar fosil di Ethiopia mencapai 9.54 juta ton karbon dioksida. Tarif yang
ditetapkan adalah 5 dollar per ton atau setara dengan kurang lebih Rp 76.000, total
penerimaan yang diperoleh mencapai 47,7 juta dollar. Nominal tersebut
menunjukkan hasil yang signifikan dan menjanjikan terhadap penerimaan Ethiopia.
Dapat dikatakan bahwa, pelaksanaan pajak karbon dapat membantu penerimaan
negara, khususnya negara berkembang yang umumnya berpendapatan rendah.

Penelitian atas penerapan pajak karbon di Jepang pernah dilakukan oleh


(Gokhale, 2021) [10] . Melalui kebijakan pajak karbon, Jepang menargetkan
pengurangan emisi Gas Rumah Kaca sebesar 26% di tahun 2030. Per tahun 2020,
jika dibandingkan dengan tahun 1990, Jepang berhasil mengurangi emisi karbon
sebesar 0,5%. Angka ini dirasa belum cukup optimal dan tidak sesuai dengan target
yang ditetapkan. Jepang sebagai negara Asia pertama yang mulai
mengimplementasikan pajak karbon pada 2012. Dalam penerapanya, pajak karbon
dikenakan untuk produk bahan bakar fosil seperti minyak bumi, produk minyak, gas
alam, dan juga batubara. Penerimaan yang didapat dari pajak karbon akan langsung
dialokasikan untuk proyek energi terbarukan dan peningkatan penghematan energi.
Secara keseluruhan, Jepang menerapkan tarif yang cukup rendah dibandingkan
dengan negara-negara Eropa, yakni hanya 289 yen per ton karbon dioksida
ekuivalen atau setara dengan kurang lebih Rp 38.000 per ton.

QR CBN : 62-1829-1215-867 | 142


DINUS INTERNATIONAL YOUTH CONFERENCE
“Sustainability For The Future”
Vol. 1 No. 1, January 2023

Swedia adalah negara dengan tarif pajak karbon tertinggi di dunia.Penelitian


atas penerapan pajak karbon di Swedia pernah dilakukan oleh (Kossoy et al., 2015)
[16] . Pada tahun 1991, Swedia mulai menerapkan pajak karbon dengan tarif 26
dollar per ton karbon dioksida ekuivalen atau setara dengan Rp 390.000 dengan
asumsi kurs Rp 15.000. Berdasarkan data yang diperoleh dari (Tax Foundation,
2021) [31] diketahui bahwa Swedia mengenakan tarif pajak karbon sebesar 137
Dollar atau setara dengan Rp 2.055.000 per ton karbon dioksida ekuivalen. Regulasi
mengenai penerapan pajak karbon di Swedia sudah mengalami perubahan
berkali-kali dalam 30 tahun penerapannya. Awalnya tarif yang dikenakan adalah $26
per ton karbon dioksida ekuivalen [12] . Peningkatan tarif ini kemudian terus
dilakukan secara perlahan-lahan hingga pada tahun 2021 mencapai angka 137
dollar per ton karbondioksida ekuivalen.

Setahun lebih cepat daripada Swedia, Finlandia telah menerapkan pajak


karbon sejak tahun 1990. Finlandia adalah negara pertama di dunia yang
mengenakan pajak karbon. Penelitian atas penerapan pajak karbon di Finlandia
dilakukan oleh (Khastar et al., 2020) [15] yang menyebutkan bahwa Finlandia
menerapkan taarif sebesar 1,12 Euro atau setara dengan 1,20 Dollar atau setara
dengan Rp 18.000 per ton karbondioksida ekuivalen. Pemerintah Finlandia terus
melakukan perubahan dan pembaharuan kebijakan serta secara perlahan
meningkatkan tarif pajak karbon hingga per tahun 2021 tarif pajak karbon di
Finlandia berada di angka 62 Euro atau setara dengan 73,02 Dollar atau setara
dengan 1.095.300 per ton karbondioksida ekuivalen.

Keempat negara tersebut sudah mengimplementasikan pajak karbon terlebih


dahulu, sebab mereka memiliki faktor persamaan dan korelasi. Finlandia dan
Swedia merupakan salah dua negara yang menerapkan kebijakan pajak karbon
lebih dulu dibandingkan negara lain. Jepang merupakan negara Asia pertama yang
menerapkan pajak karbon. Dengan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan tergolong
lebih sedikit. Sedangkan, Jepang dan Ethiopia memiliki kesamaan korelasi dengan
Indonesia. Jepang dan Indonesia memiliki jumlah emisi

Gas Rumah Kaca yang dihasilkan tidak jauh berbeda (tertuang pada table 10
Negara Penyumbang Emisi Karbon Kumulatif Terbesar di Dunia tahun 2021).
Kemudian, antara Indonesia dan Ethiopia pun sama-sama diklasifikasikan dalam
negara berkembang. Jadi, meskipun keadaan negara Indonesia tidak bisa dikatakan
sama persis, namun melalui pengalaman keempat negara tersebut,setidaknya
Indonesia memiliki gambaran atas pelaksanaan pajak karbon.

QR CBN : 62-1829-1215-867 | 143


DINUS INTERNATIONAL YOUTH CONFERENCE
“Sustainability For The Future”
Vol. 1 No. 1, January 2023

Indonesia dapat menganalisis serta mengevaluasi pelaksanaan kebijakan


pajak karbon sehingga dapat mengoptimalkan penerimaan juga meminimalisir
eksternalitas demi tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan.

Penerapan Pajak Karbon di Indonesia

Penerapan pajak karbon di Indonesia mulai berlaku secara bertahap mulai 1


Juli 2022 secara terbatas pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara.
Pajak karbon adalah pungutan yang dikenakan dengan tujuan untuk mengurangi
emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya. Tujuan utama dari pengenaan
pajak karbon adalah mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada
aktivitas ekonomi ramah lingkungan rendah karbon (green economy). Hal tersebut
sejalan dengan upaya pemerintah mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca
(EGRK) sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dukungan negara lain
hingga puncaknya pada tahun 2030.

Penerapan pajak karbon di Indonesia memakai skema cap and tax. Dimana
ditetapkan tarif Rp 30 per kilogram karbondioksida ekuivalen diterapkan pada jumlah
emisi yang melebihi cap yang ditetapkan. Pengenaan pajak karbon di Indonesia
diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan
Pajak (UU HPP). UU HPP menjadi landasan pertama bagi penerapan pajak karbon
di Indonesia, selain jumlah regulasi lain yang merupakan peraturan Pajak Karbon
sebagai aturan turunan UU HPP. Selain UU HPP, terdapat sejumlah aturan turunan
dari UU HPP yang mengatur pajak karbon,namun masih dalam tahap penyusunan
teknis oleh Kemenkeu (KementerianKeuangan, 2021). Aturan teknis pelaksanaan
pajak karbon dimaksud seperti tarif dan dasar pengenaan, cara penghitungan,
pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, serta peta jalan pajak
karbon.

Sementara itu, aturan teknis lainnya seperti Batas Atas Emisi untuk subsector
PLTU dan tata cara penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon pada pembangkit
tenaga listrik akan ditetapkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM). Pemerintah juga menyusun berbagai aturan turunan dari Perpres 98/2021
agar instrument pengendalian iklim berjalan optimal, antara lain terkait tata laksana
penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Dilansir dari laman Money Kompas
[11] , Nationally Determined Contributions (NDC) di Kementerian Lingkungan Hidup
(KLHK) dan Komite Pengarah Nilai Ekonomi Karbon di Kementerian Koordinator
Bidang Kemaritiman dan Investasi. Merunutpada penjelasan Badan Kebijakan Fiskal
Kementerian Keuangan, isu iklimmerupakan isu lintas sektor yang memerlukan
koodinasi untuk menjaga dan memperkuat agar peraturan yang melengkapi satu

QR CBN : 62-1829-1215-867 | 144


DINUS INTERNATIONAL YOUTH CONFERENCE
“Sustainability For The Future”
Vol. 1 No. 1, January 2023

sama lain dapatmengoptimalisasi upaya pemerintah dalam mengendalikan


perubahan iklim.

Tujuan utama pengenaan pajak karbon bukan hanya menambah penerimaan


APBN saja, melainkan sebagai isntrumen pengendalian iklim dalam mencapai
pertumbuhan ekonomi/ pembangunan berkelanjutan sesuai prinsip bahwa pencemar
membayar (polluter pays principle). [11] Menurut penelitian (K. M. Kristianti & P.
B. Saptanto, 2022) [17] Mekanisme pengenaan pajak karbon terkait carbon pricing di
Indonesia adalah skema cap and tax. Skema tersebut menggabungkan system
perdagangan (cap and trade) dan sistem pengenaan pajak atas emisi karbon
(carbon tax) . Sistem cap and trade mengatur jumlah emisi maksimum (cap) yang
dapat diproduksi oleh perusahaan. Dengan artian bahwa perusahaan memperoleh
hak untuk menghasilkan emisi sampai batasan tertentu. Apabila suatu perusahaan
dapat menurunkam emisi di bawah cap yang telah ditentukan, maka selisih kurang
antara batasan emisi maksimum dengan emisi yang dihasilkan menjadi aset bagi
perusahaan. Pemerintah akan memberikan Sertifikat Izin Emisi (SIE) atas selisih
kurang yang dihasilkan. Namun, apabila perusahaan menghasilkan emisi karbon
melebih cap yang telah ditetapkan, maka perusahaan wajib membayar pajak atas
selisih lebih yang dihasilkan. Penghitungan pajak karbon dilakukan dengan
mengalikan selisih lebih emisi dengan tarif pajak karbon pemerintah memberikan
pengurang atas pajak karbon terutang bagi perusahaan yang berpartisipasi dalam
perdagangan karbon di pasar karbon. Perdagangan karbon tersebut merupakan
kegiatan pembelian emisi atau SIE dari perusahaan lain yang menghasilkan emisi di
bawah batasan maksimum. Besar pengurangan atas pajak karbon disesuaikan
dengan jumlah SIE yang berhasil dibeli perusahaan yang memiliki selisih lebih emisi.

Pajak karbon memiliki fungsi utama yaitu regulerend [2] . Fungsi tersebut
menempatkan pajak karbon untuk mengatur membatasi, dan mengubah perilaku
masyarakat dan pelaku usaha untuk ramah lingkungan dengan tujuan untuk
menurunkan emisi karbon dan emisi GRK yang terdapat di Indonesia. Menurut (D.
Ratmawati, 2016) [26] terdapat dua alternatif alokasi pendapatan yang diterapkan di
Indonesia. Pertama, komponen penerimaan pajak karbon dapat ditambahkan pada
rancangan APBN. Pemerintah akan terbantu dalam mengelola pendapatan yang
diperoleh dari pajak karbon dan menetapkan proporsi belanja terkait pembangunan
berkelanjutan. Keuda, mengalokasikan sebagian penerimaan untuk mendukung
industri ramah lingkungan. Pemerintah dapat meningkatkan fasilitas riset atau
penelitian di bidang energi terbarukan dan investasi pada mesin hemat energi dan
rendah emisi karbon.

Potensi Pajak Karbon dalam Pembangunan Berkelanjutan Pajak dan subsidi


merupakan salah satu solusi kebijakan publik yang diterapkan dalam mengatasi

QR CBN : 62-1829-1215-867 | 145


DINUS INTERNATIONAL YOUTH CONFERENCE
“Sustainability For The Future”
Vol. 1 No. 1, January 2023

eksternalitas [30] . Menurut (B. Fischoff, 2009), pajak karbon bersifat transparan,
sederhana, dan dapat dipercaya [8] . Pajak mempunyai tujuan yang jelas sehingga
pencapaian target dapat berjalan dengan optimal.

Berdasarkan hasil penelitian (N. Rivers & B. Schaufule, 2015), pajak


karbon berhasil mengurangi permintaan bahan bakar gas sebesar 12,5% di Kanada
[27] .Pajak karbon sukses menekan emisi CO2 pada sektor manufaktur sebesar
1%-5% dalam kurun waktu 2014-2018 di Perancis [5] . Pengaruh positif pajak
karbon atas tingkat emisi karbon juga tercapai di Finlandia dengan berkurangnya
tingkat emisi karbon sebesar 10% dari sektor transportasi dan emisi tersebut
berkurang mencapai 20% setelah lima tahun implementasi pajak karbon [6] .

Dengan meninjau keberhasilan penerapan pajak karbon dari beberapa


negara, Indonesia berupaya mempersiapkan diri untuk menjalankan pajak
karbon.Salah satu tujuan penerapan pajak karbon adalah mendukung penurunan
emisi dalam jangka menengah dan panjang. Penurunan emisi tersebut dapat
mendukung pembangunan berkelanjutan – yaitu dimensi ekonomi, sosial, dan
lingkungan.

Salah satu pilarnya adalah mendukung pelestarian lingkungan, terkhususnya


menjaga kualitas udara dari pencemaran emisi karbon. Sebagai salah satu jenis
pajak lingkungan, pajak karbon berfungsi sebagai instrument pajak untuk
mengoreksi biaya sosial yang timbul dari eksternalitas negatif akibat pencemaran
lingkungan. Koreksi terhadap eksternalitas negatif kerap dikaitkan dengan Pigouvian
tax. Implementasi pajak karbon di Indonesia memberikan biaya tambahan kepada
pihak yang menghasilkan emisi karbon.

Penerapan kebijakan pajak karbon dan perdagangan karbon juga harus


memiliki desain dan mekanisme yang kompatibel dan sinergis dengan struktur
perekonomian di Indonesia. Hal ini ditujukan untuk mencapai kebijakan yang adil
dan mewujudkan a just and affordable transition. Beberapa hal yang harus
diperhatikan dlam mendesain pajak lingkungan menurut (OECD, 2001) [32] dalam
Environmental Taxation a Guide for Policy Makers adalah sebagai berikut:

1. Memfokuskan dasar peengenaan kebijakan pajak lingkungan pada perilaku


polusi atau poluta.

2. Memastikan cakupan kebijakan pajak lingkungan sepadan dengan


cakupan kerusakan lingkungan yang dihasilkan

3. Menentukan tarif pajak yang sepadan dengan kerusakan lingkungan yang


dihasilkan

QR CBN : 62-1829-1215-867 | 146


DINUS INTERNATIONAL YOUTH CONFERENCE
“Sustainability For The Future”
Vol. 1 No. 1, January 2023

4. Memastikan tarif pajak dapat diprediksi dan dipercaya mampu dijadikan


sebagai dorongan perbaikan lingkungan

5. Pendapatan atas kebijakan pajak lingkungan harus dapat membantu


konsolidasi fiscal atau membantu mengurangi beban pajak lainnya

6. Dampak distribusional atas pajak lingkungan harus dapat diatasi oleh


instrumen kebijakan lainnya

Dalam penerapan kebijakan pajak karbon terdapat tantangan lain yaitu harus
menciptakan regulasi yang kuat agar memberikan kepastian hukum bagi subjek
pajak, menetapkan tarif pajak karbon dan cap trade karbon yang efektif dan sehat,
serta menciptakan sistem monitoring, reporting and measurement (MRV) yang
akuntabel sehingga menimbulkan kepercayaan pada wajib pajak dan meningkatkan
kepatuhan wajib pajak lebih lanjut.

Searah dengan komitmen Indonesia yang tertuang dalam National


Determined Contribution (NDC), pajak karbon diharapkan dapat membantu
pencapaian target penurunan emisi karbon [17] . Kondisi tersebut bertujuan untuk
memitigasi dampak negatif perubahan iklim yang dapat mempengaruhi
keberlangsungan makhluk hidup di bumi. Selain mencegah kerusakan
lngkungan,pajak karbon dapat menjaga penerimaan ekonomi demi tercapainya
tujuan pembangunan berkelanjutan. Selain mampu meningkatkan kualitas
lingkungan (green dividend), pajak karbon juga dapat meningkatkan perekonomian
negara secara berkelanjutan (blue dividend.)

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Kebijakan pajak karbon sebagai Pigouvian Tax merupakan salah satu upaya
negara-negara untuk mengatasi eksternalitas negatif yang ditimbulkan atas emisi
karbon. Kebijakan pajak karbon sudah diimplementasikan sejak tahun 1990 oleh
negara maju maupun negara berkembang. Implementasi kebijakan tersebut
menunjukkan dampak yang signifikan bagi lingkungan dan penerimaan negara.

Sebagai salah satu negara yang berkomitmen untuk menurunkan emisi


karbon dunia sesuai Paris Agreement dan NDC, Indonesia memiliki tujuan untuk
menurunkan 29% dengan usaha sendiri dan 41% bantuan asing hingga 2030.

Indonesia mulai menerapkan kebijakan pajak karbon secara terbatas pada


tahun 2022 pada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara dengan
tarif Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO 2 e). Pendapatan atas pajak
karbon di Indonesia nantinya dapat digunakan untuk mendanai penelitian dan

QR CBN : 62-1829-1215-867 | 147


DINUS INTERNATIONAL YOUTH CONFERENCE
“Sustainability For The Future”
Vol. 1 No. 1, January 2023

pengembangan mengenai energi terbarukan dan pengurangan emisi Gas Rumah


Kaca atau dapat dialokasi untuk mengurangi dampak dari emisi karbon di masa
mendatang demi tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs)

Saran
Sebelum kebijakan pajak karbon resmi diterapkan, pemerintah sebaiknya
melakukan kegiatan sosialisasi agar seluruh masyarakat paham dan sadar akan
adanya kebijakan baru. Selain itu, penerapan pajak karbon diyakini dapat berimbas
pada kenaikan biaya ekonomi secara luas. Terdapat beberapa upaya yang dapat
dilakukan pemerintah, diantaranya adalah pemberian keringanan pada kebijakan
pajak lainnya. Selain itu, pemerintah dapat memberikan insentif pengurangan tarif
pajak bagi wajib pajak dengan industri energi terbarukan atau industri yang turut
serta mengurangi emisi karbon lingkungan.

REFERENSI
[1] Ahdiat, Adi. (2022) Akumulasi Nilai Pembiayaan Energi Fosil Negara-Negara G20
(2016-2021). Laporan Katadata Databoks. Akumulasi Nilai Pembiayaan Energi Fosil
Negara-Negara G20 (2016-2021) (Diakses pada 21/01/2023, 20:35 WIB)
[2] Barus, E. Bryken. & S. Wijaya. (2021). PENERAPAN PAJAK KARBON DI
SWEDIA DAN FINLANDIA SERTA PERBANDINGANNYA DENGAN INDONESIA.
Jurnal Pajak Indonesia (Indonesian Tax Review) Vol. 5, No. 2, (2021), h.256-279

[3] Batchelor, David. (2018). The Climate Resilience Handbook: Strategies for
Climate Resilience, Marsha & McLennan Companies.

[4] Baumol, William J. (1972). On Taxation and the Control of Externalities. The
American Economic Review. Vol.62, No.3 (Jun, 1972) p.307-322 Online (Diakses
pada 21/01/2023, 14:10 WIB)

[5] Dussaux. (2020). The joint effects of energy prices and carbon taxes on
environmental and economic performance: Evidence from the French manufacturing
sector. OECD Environment Working Papers. 154

[6] Elbaum, J.D. (2021). The effects of a carbon tax on per capita carbon dioxide
emissions: evidence from Finland. IRENE Working Papers.

[7] Fauzi, A., Oktavianus, A. (2014). Pengukuran Pembangunan Berkelanjutan di


Indonesia. Jurnal Mimbar, Vol. 30, No. 1 (Juni, 2014): 42-52. ISSN 0215-8175,
EISSN 2303-2499.

QR CBN : 62-1829-1215-867 | 148


DINUS INTERNATIONAL YOUTH CONFERENCE
“Sustainability For The Future”
Vol. 1 No. 1, January 2023

[8] Fischhoff, B. (2009). “Putting a Price on Carbon: An Emissions Cap or a Tax?”.


Connecticut: Yale University

[9] Gans, J., Stonecash, R. Byford, M., Mankiw, G., King, S., & Libich, J. (2017).
Principles of Economics Asia-Pasific Edition with Online Study Tools 12 Months.

Cengage AU.

[10] Gokhale, H. (2021). Japan’s Carbon Tax Policy : Limitations and Policy
Suggestions.Current Research in Environmental Sustainability, 3, 100082.

[11] Idris, Muhammad. (2022). Mengenal Pajak Karbon di Indonesia dan


Perhitungannya.Money Kompas. Pajak Karbon di Indonesia dan Perhitungannya
(Diakses pada 21/01/2023, 14:23 WIB)

[12] Jonsson, S., Ydstedt, A., & Asen, E. (2020). Looking Back on 30 Years of
Carbon Taxes in Sweden.

[13] Katadata. 2016. 10 Negara Penyumbang CO 2 Terbesar 2016. Laporan


Katadata Databoks. 10 Negara Penyumbang CO2 Terbesar 2016 (Diakses pada
21/01/2023, 20:30 WIB)

[14] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2020). Laporan Inventarisasi


Gas Rumah Kaca (GRK) dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV)

[15] Khastar, M., Aslani, A., & Nejati, M. (2020). How does carbon tax affect
social welfare and emission reduction in Finland? Energy Reports, 6, 736-744.

[16] Kossoy, A., Peszko, G., Oppermann, K., Prytz, N., Klein, N., Blok, K., Lam, L.,
Wong, L., & Borkent, B. (2015). State and Trends of Carbon Pricing 2015.

[17] Kristanti, K.M., & Saptono, P.B. (2022) Pajak Karbon dalam Langkah
Pelestarian Lingkungan. Jurnal Akuntansi Keuangan dan Bisnis Vol. 15, No. 2,
November 2022, 538-547.

[18] Kristiaji, B. Bawono. (2016). Urgensi Pigouvian Tax untuk Indonesia. Portal
Pajak DDTC. Pigouvian Tax (Diakses pada 21/01/2023, 14:32 WIB)

[19] Larasati, Endang. (2021). Kenalkan Pajak Karbon untuk Mengenalikan


Perubahan Iklim, Indonesia Ambil Manfaat Sebagai Penggerak Pertama di Negara
Berkembang. Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan: Jakarta. Pajak
Karbon (Diakses pada 21/01/2023, 14:19 WIB)

QR CBN : 62-1829-1215-867 | 149


DINUS INTERNATIONAL YOUTH CONFERENCE
“Sustainability For The Future”
Vol. 1 No. 1, January 2023

[20] Maghfirani, dkk. (2022). Analisis Tantangan Penerapan Pajak Karbon di


Indonesia. Departemen Ilmu Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia: Jakarta. Vol
1 No. 4 Januari 2022.

[21] Mengistu, A.T., Benitez, P., Tamru, S., Medhin., H., & Toman, M., (2019).
Exploring Carbon Pricing in Developing Countries: A Macroeconomic Analysis in
Ethiopia. Sustainability (Switzerland), 11-16

[22] Mutia, Annissa. 2022. 10 Negara Penyumbang Emisi Karbon Terbesae di Dunia.
Laporan Katadata Databoks. 10 Negara Penyumbang Emisi Karbon Terbesae di
Dunia (Diakses pada 21/01/2023, 20:20 WIB)

[23] Nuraini, Ratna. (2022). Menunda Pajak Karbon untuk Dampak Optimal. Portal
Informasi Indonesia. Menunda Pajak Karbon untuk Dampak Optimal (Diakses pada
21/01/2023, 14:31 WIB)

[24] Pigou, Arthur Cecil. (1993). The Economics of Welfare. The Economic Journal,
43 (170), h.329

[25] Pratiwi, Rachel Yolanda. (2022). Rencana Penerapan Pajak Karbon di


Indonesia. Portal Pajak Rencana Penerapan Pajak Karbon di Indonesia (Diakses
pada 21/01/2023, 14:29 WIB)

[26] Ratmawati, D. (2016). Carbon Tax sebagai Alternatif Kebijakan Mengatasi


Eksternalitas Negatif Emisi Karbon di Indonesia. Indonesian Treasury Review
Journal. 53-67.

[27] Rivers, N. & Scaufele, B. (2015). Salence of Carbon Taxes in the Gasoline
Market. Journal of Environmental Economics and Management, 74. p. 23-36

[28] Rogers-Glabush, Julie. (2015). IBFD International Tax Glossary (Edisi ke-7).
Amsterdam: IBFD.

[29] Shapiro, A. F., Metcalf G. (2021). The Macroeconomics Effects of a Carbon Tac
to Meet the US Paris Agreement Target: The Role of Firm Creation and Technology
Adoption. Washington DC: Resources for the Future.

[30] Stiglitz, J. E., (2000). Economics of the Public Sector. New York: Norton &
Co.

[31] Tax Foundation. (2021). Carbon Taxes in Europe. European Countries with a
Carbon Tax | Tax Foundation (Diakses pada 21/01/2023, 20:40 WIB)

QR CBN : 62-1829-1215-867 | 150


View publication stats

DINUS INTERNATIONAL YOUTH CONFERENCE


“Sustainability For The Future”
Vol. 1 No. 1, January 2023

[32] Organisation for Economic Co-operation and Development. (2001).


Environmentally Related Taxes in OECD Countries-Issues and Strategies. OECD
Publishing, p.1

QR CBN : 62-1829-1215-867 | 151

Anda mungkin juga menyukai