net/publication/372469754
CITATIONS READS
0 24
2 authors:
All content following this page was uploaded by Anagata Publisher on 20 July 2023.
Revilda Nevinahdani
revildanevi22@gmail.com
LATAR BELAKANG
Konsep pembangunan berkelanjutan menjadi konsep fokus dunia
internasional yang popular sejak dipertegasnya pendekatan ini pada KTT Bumi di
Rio de Jenairo pada tahun 1992 [7] . Negara-negara yang tergabung dalam
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) termasuk Indonesia menyepakati suatu aksi
global, yaitu Sustainable Development Goals (SDGs) yang fokusnya tidak hanya
pada dimensi ekonomi dan sosial, namun juga berfokus pada dimensi lingkungan
[20] . Tujuan Pembagunan Berkelanjutan (SDGs) ini berisi 17 tujuan dengan 169
target yang dilaksanakan sampai tahun 2030. Salah satu agenda untuk menangani
perubahan iklim adalah Paris Agreement atau Perjanjian Paris, perjanjian ini
menetapkan untuk melakukan tindakan dalam rangka mengindari perubahan iklim
dengan membatasi pemanasan global di bawah 2 0 C dan target akhirnya pada 1,5
0 C. Paris Agreement menghasilkan kesepakatan mengenai Nationally Determined
Contribution (NDC) yang mengatur dan memproyeksikan potensi penurunan emisi
Gas Rumah Kaca. Dalam NDC, di tahun 2030, Indonesia menargetkan pengurangan
emisi sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% apabila terdapat bantuan asing
[14]
Dalam ilmu ekonomi, dampak dari kegiatan bisnis dan industri dikenal dengan
istilah eksternalitas. Eksternalitas adalah dampak tidak terkompensasi dari tindakan
seseorang pada kesejahteraan pengamat [9] . Eksternalitas negatif adalah
kerusakan ekonomi dan sosial yang disebabkan oleh pelaku ekonomi, pihak ketiga,
perorangan dan/atau badan hukum. Contoh eksternalitas negatif adalah
pencemaran udara di kota-kota besar yang disebabkan oleh kegiatan industri.
PERMASALAHAN
Isu perubahan iklim yang disebabkan oleh emisi gas menjadi perhatian
seluruh negara, termasuk Indonesia. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh
(Katadata, 2021) [1] salah satu negara yang masuk ke dalam sepuluh besar
produsen emisi GRK adalah Indonesia. Emisi gas yang disumbangkan oleh
Indonesia sejumlah 102,562 GtCO 2 kumulatif (Giga ton CO 2 ekuivalen – setara
dengan satuan miliar ton).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kajian literatur dengan teknik analisis data
kualitatif deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian merupakan data sekunder
yang diperoleh melalui jurnal nasional, jurnal internasional, buku, situs internet,
berita-berita dalam portal media nasional dan internasional, serta berbagai laporan
negara terkait potensi penerimaan dan penerapan pajak karbon.
Emisi Gas Rumah Kaca menurut jenis sektor (dalam satuan ribu ton CO2e) selama
sepuluh tahun 2000-2019 (Sumber: Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan
MPV 2020, Kementerian LHK)
Pada 2019, Indonesia menghasilkan 1.866 juta ton [14] . Data laporan
inventarisasi emisi gas rumah kaca Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) menunjukkan bahwa sektor energi, sektor kehutanan, dan Pemanfaatan
Lahan Lainnya (forestry and other land uses/ FOLU) menghasilkan emisi karbon
tertinggi dengan rata-rata sekitar 521 juta ton CO 2 e. Laju emisi karbon konsisten
terendah di antara semua sektor adalah proses industri dan penggunaan produk
(industrial processes and product use/ IPPU), yang menghasilkan sekitar 44 juta ton
emisi CO 2 e. Rata-rata emisi karbon pada setiap sektor tiap tahunnya dalam angka
yang relative stabil, kecuali angka emisi karbon dari FOLU dan kebakaran hutan.
Tingkat emisi karbon dalam rentang 2000-2019 menunjukan pada tahun 2015 terjadi
peningkatan yang signifikan pada kedua sektor tersebut, namun kembali turun di
tahun 2016 dan mengalami fluktuatif setiap tahunnya.
Pajak karbon adalah turunan dari konsep Pigouvian Tax atau pajak atas
aktivitas perekonomian yang menimbulkan eksternalitas negatif (Pigou, 1992) [24]
.Pigouvian tax diterapkan sebagai kebijakan yang memaksa pihak pencemar
lingkungan untuk menanggung biaya atas perbuatan pencemaran yang
dilakukannya. Dengan artian bahwa Pigouvian tax dapat dijadikan sebagai
instrument untuk mengatur atau mengelola, serta meminimalisir aktivitas yang
menimbulkan eksternalitas negatif. Dengan adanya kebijakan yang mengikat,
individu dipaksa untuk mempertimbangkan semua konsekuensi atas tindakan yang
dilakukan. Oleh karena itu, pelaksanaan pajak karbon sebagai implementasi turunan
pajak Pigouvian diharapkan dapat mengurangi eksternalitas negates dari emisi
karbon, melalui pembebanan biaya tambahan atau pajak aktivitas terkait.
udara dan juga pencegahan perubahan iklim. Dengan begitu, pengenaan pajak
karbon dapat dijadikan sebagai suatu langkah mitigasi yang cukup efektif dalam
mengurangi emisi karbon. Hal ini didukung dengan hasil analisa (Shapiro,2021) [29]
yang menyatakan bahwa per tahun 2030, pelaksanaan pajak karbon dapat
mengurangi emisi karbon dunia hingga 35%.
Gas Rumah Kaca yang dihasilkan tidak jauh berbeda (tertuang pada table 10
Negara Penyumbang Emisi Karbon Kumulatif Terbesar di Dunia tahun 2021).
Kemudian, antara Indonesia dan Ethiopia pun sama-sama diklasifikasikan dalam
negara berkembang. Jadi, meskipun keadaan negara Indonesia tidak bisa dikatakan
sama persis, namun melalui pengalaman keempat negara tersebut,setidaknya
Indonesia memiliki gambaran atas pelaksanaan pajak karbon.
Penerapan pajak karbon di Indonesia memakai skema cap and tax. Dimana
ditetapkan tarif Rp 30 per kilogram karbondioksida ekuivalen diterapkan pada jumlah
emisi yang melebihi cap yang ditetapkan. Pengenaan pajak karbon di Indonesia
diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan
Pajak (UU HPP). UU HPP menjadi landasan pertama bagi penerapan pajak karbon
di Indonesia, selain jumlah regulasi lain yang merupakan peraturan Pajak Karbon
sebagai aturan turunan UU HPP. Selain UU HPP, terdapat sejumlah aturan turunan
dari UU HPP yang mengatur pajak karbon,namun masih dalam tahap penyusunan
teknis oleh Kemenkeu (KementerianKeuangan, 2021). Aturan teknis pelaksanaan
pajak karbon dimaksud seperti tarif dan dasar pengenaan, cara penghitungan,
pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, serta peta jalan pajak
karbon.
Sementara itu, aturan teknis lainnya seperti Batas Atas Emisi untuk subsector
PLTU dan tata cara penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon pada pembangkit
tenaga listrik akan ditetapkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM). Pemerintah juga menyusun berbagai aturan turunan dari Perpres 98/2021
agar instrument pengendalian iklim berjalan optimal, antara lain terkait tata laksana
penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Dilansir dari laman Money Kompas
[11] , Nationally Determined Contributions (NDC) di Kementerian Lingkungan Hidup
(KLHK) dan Komite Pengarah Nilai Ekonomi Karbon di Kementerian Koordinator
Bidang Kemaritiman dan Investasi. Merunutpada penjelasan Badan Kebijakan Fiskal
Kementerian Keuangan, isu iklimmerupakan isu lintas sektor yang memerlukan
koodinasi untuk menjaga dan memperkuat agar peraturan yang melengkapi satu
Pajak karbon memiliki fungsi utama yaitu regulerend [2] . Fungsi tersebut
menempatkan pajak karbon untuk mengatur membatasi, dan mengubah perilaku
masyarakat dan pelaku usaha untuk ramah lingkungan dengan tujuan untuk
menurunkan emisi karbon dan emisi GRK yang terdapat di Indonesia. Menurut (D.
Ratmawati, 2016) [26] terdapat dua alternatif alokasi pendapatan yang diterapkan di
Indonesia. Pertama, komponen penerimaan pajak karbon dapat ditambahkan pada
rancangan APBN. Pemerintah akan terbantu dalam mengelola pendapatan yang
diperoleh dari pajak karbon dan menetapkan proporsi belanja terkait pembangunan
berkelanjutan. Keuda, mengalokasikan sebagian penerimaan untuk mendukung
industri ramah lingkungan. Pemerintah dapat meningkatkan fasilitas riset atau
penelitian di bidang energi terbarukan dan investasi pada mesin hemat energi dan
rendah emisi karbon.
eksternalitas [30] . Menurut (B. Fischoff, 2009), pajak karbon bersifat transparan,
sederhana, dan dapat dipercaya [8] . Pajak mempunyai tujuan yang jelas sehingga
pencapaian target dapat berjalan dengan optimal.
Dalam penerapan kebijakan pajak karbon terdapat tantangan lain yaitu harus
menciptakan regulasi yang kuat agar memberikan kepastian hukum bagi subjek
pajak, menetapkan tarif pajak karbon dan cap trade karbon yang efektif dan sehat,
serta menciptakan sistem monitoring, reporting and measurement (MRV) yang
akuntabel sehingga menimbulkan kepercayaan pada wajib pajak dan meningkatkan
kepatuhan wajib pajak lebih lanjut.
Saran
Sebelum kebijakan pajak karbon resmi diterapkan, pemerintah sebaiknya
melakukan kegiatan sosialisasi agar seluruh masyarakat paham dan sadar akan
adanya kebijakan baru. Selain itu, penerapan pajak karbon diyakini dapat berimbas
pada kenaikan biaya ekonomi secara luas. Terdapat beberapa upaya yang dapat
dilakukan pemerintah, diantaranya adalah pemberian keringanan pada kebijakan
pajak lainnya. Selain itu, pemerintah dapat memberikan insentif pengurangan tarif
pajak bagi wajib pajak dengan industri energi terbarukan atau industri yang turut
serta mengurangi emisi karbon lingkungan.
REFERENSI
[1] Ahdiat, Adi. (2022) Akumulasi Nilai Pembiayaan Energi Fosil Negara-Negara G20
(2016-2021). Laporan Katadata Databoks. Akumulasi Nilai Pembiayaan Energi Fosil
Negara-Negara G20 (2016-2021) (Diakses pada 21/01/2023, 20:35 WIB)
[2] Barus, E. Bryken. & S. Wijaya. (2021). PENERAPAN PAJAK KARBON DI
SWEDIA DAN FINLANDIA SERTA PERBANDINGANNYA DENGAN INDONESIA.
Jurnal Pajak Indonesia (Indonesian Tax Review) Vol. 5, No. 2, (2021), h.256-279
[3] Batchelor, David. (2018). The Climate Resilience Handbook: Strategies for
Climate Resilience, Marsha & McLennan Companies.
[4] Baumol, William J. (1972). On Taxation and the Control of Externalities. The
American Economic Review. Vol.62, No.3 (Jun, 1972) p.307-322 Online (Diakses
pada 21/01/2023, 14:10 WIB)
[5] Dussaux. (2020). The joint effects of energy prices and carbon taxes on
environmental and economic performance: Evidence from the French manufacturing
sector. OECD Environment Working Papers. 154
[6] Elbaum, J.D. (2021). The effects of a carbon tax on per capita carbon dioxide
emissions: evidence from Finland. IRENE Working Papers.
[9] Gans, J., Stonecash, R. Byford, M., Mankiw, G., King, S., & Libich, J. (2017).
Principles of Economics Asia-Pasific Edition with Online Study Tools 12 Months.
Cengage AU.
[10] Gokhale, H. (2021). Japan’s Carbon Tax Policy : Limitations and Policy
Suggestions.Current Research in Environmental Sustainability, 3, 100082.
[12] Jonsson, S., Ydstedt, A., & Asen, E. (2020). Looking Back on 30 Years of
Carbon Taxes in Sweden.
[15] Khastar, M., Aslani, A., & Nejati, M. (2020). How does carbon tax affect
social welfare and emission reduction in Finland? Energy Reports, 6, 736-744.
[16] Kossoy, A., Peszko, G., Oppermann, K., Prytz, N., Klein, N., Blok, K., Lam, L.,
Wong, L., & Borkent, B. (2015). State and Trends of Carbon Pricing 2015.
[17] Kristanti, K.M., & Saptono, P.B. (2022) Pajak Karbon dalam Langkah
Pelestarian Lingkungan. Jurnal Akuntansi Keuangan dan Bisnis Vol. 15, No. 2,
November 2022, 538-547.
[18] Kristiaji, B. Bawono. (2016). Urgensi Pigouvian Tax untuk Indonesia. Portal
Pajak DDTC. Pigouvian Tax (Diakses pada 21/01/2023, 14:32 WIB)
[21] Mengistu, A.T., Benitez, P., Tamru, S., Medhin., H., & Toman, M., (2019).
Exploring Carbon Pricing in Developing Countries: A Macroeconomic Analysis in
Ethiopia. Sustainability (Switzerland), 11-16
[22] Mutia, Annissa. 2022. 10 Negara Penyumbang Emisi Karbon Terbesae di Dunia.
Laporan Katadata Databoks. 10 Negara Penyumbang Emisi Karbon Terbesae di
Dunia (Diakses pada 21/01/2023, 20:20 WIB)
[23] Nuraini, Ratna. (2022). Menunda Pajak Karbon untuk Dampak Optimal. Portal
Informasi Indonesia. Menunda Pajak Karbon untuk Dampak Optimal (Diakses pada
21/01/2023, 14:31 WIB)
[24] Pigou, Arthur Cecil. (1993). The Economics of Welfare. The Economic Journal,
43 (170), h.329
[27] Rivers, N. & Scaufele, B. (2015). Salence of Carbon Taxes in the Gasoline
Market. Journal of Environmental Economics and Management, 74. p. 23-36
[28] Rogers-Glabush, Julie. (2015). IBFD International Tax Glossary (Edisi ke-7).
Amsterdam: IBFD.
[29] Shapiro, A. F., Metcalf G. (2021). The Macroeconomics Effects of a Carbon Tac
to Meet the US Paris Agreement Target: The Role of Firm Creation and Technology
Adoption. Washington DC: Resources for the Future.
[30] Stiglitz, J. E., (2000). Economics of the Public Sector. New York: Norton &
Co.
[31] Tax Foundation. (2021). Carbon Taxes in Europe. European Countries with a
Carbon Tax | Tax Foundation (Diakses pada 21/01/2023, 20:40 WIB)