Kebijakan Nasional
Perubahan Iklim
Disusun Oleh :
Natural Resources Development Center
Tim Penyusun:
Tim Editor:
Nurtjahjawilasa
Kusdamayanti Duryat
Irsyal Yasman
Yani Septiani
Lasmini
Ade Soekadis
Delon Marthinus
Wahjudi Wardojo
Rizal Bukhari
MODUL:
Modul ini diproduksi oleh The Nature Conservancy dengan dukungan dari Pemerintah
Australia melalui Program Responsible Asia Forestry & Trade (RAFT).
MODUL:
Kebijakan Nasional
Perubahan Iklim
Disusun Oleh :
Natural Resources Development Center
Tim Penyusun:
Nurtjahjawilasa
Kusdamayanti Duryat
Irsyal Yasman
Yani Septiani
Lasmini
Tim Editor:
Ade Soekadis
Delon Marthinus
Wahjudi Wardojo
Rizal Bukhari
KATA PENGANTAR
Untuk memberikan arahan dalam kegiatan pembelajaran, perlu disusun suatu modul yang dapat
digunakan sebagai pedoman dan kumpulan informasi selama proses pembelajaran. Penyusunan
modul ini dimaksudkan untuk membantu peserta workshop/seminar/sosialisasi pendidikan dan
pelatihan dalam memahami kebijakan-kebijakan nasional khususnya dari sektor kehutanan yang
terkait dengan perubahan iklim, sehingga diharapkan setelah mengikuti kegiatan tersebut peserta
dapat lebih memahami dan menerapkannnya dalam pelaksanaan tugas pengelolaan kawasan hutan.
Materi yang disampaikan dalam modul Kebijakan Nasional Perubahan Iklim ini baru
merupakan pengetahuan dasar yang terkait dengan kesepakatan internasional dan kebijakan
nasional menyikapi isu perubahan iklim dan pemanfaatan karbon hutan. Masih diperlukan referensi
yang lebih banyak untuk memahami lebih lengkap dan lebih mendalam, karena perkembangan isu
ini sangat cepat, dan saat ini masih dalam tahap penyusunan konsep-konsep yang bisa diterima
dan diterapkan oleh semua negara. Khusus untuk Indonesia, proses ini juga masih terus berjalan,
sehingga informasi harus terus diperbaharui.
Semoga modul ini dapat berkontribusi dalam upaya membangun kesamaan pemahaman para
pemangku kewenangan kehutanan, khususnya dalam pengelolaan hutan produksi, terhadap isu
perubahan iklim dan peluang memainkan peran dalam pengurangan target emisi GRK di Indonesia.
Jakarta, November 2013
DAFTAR ISI
Tujuan Pembelajaran
Manfaat Pembelajaran
Latar Belakang
Tujuan UNFCCC
Kelembagaan UNFCCC
19
27
30
Keterkaitan antara RPJP, RPJM, RENSTRA dengan RAN dan RAD GRK
31
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Tabel 2
Rencana aksi penurunan emisi gas rumah kaca (RAN GRK) sampai dengan
tahun 2020 (PP Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK)
28
Tabel 3
36
21
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3
Gambar 4
Gambar 5
Skema Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca sampai dengan Tahun 2020
20
Gambar 6
Grafik Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca sampai dengan Tahun 2020
20
Gambar 7
21
Gambar 8
22
Gambar 9
22
30
31
32
34
37
38
I
Pendahuluan
Memberikan bekal pengetahuan kepada peserta diklat untuk dapat mewujudkan komitmen
penurunan emisi karbon dari sektor kehutanan dengan skema 26% (BAU) dan 41% (dukungan
internasional) dalam pelaksanaan tugas
Manfaat Pembelajaran
Manfaat setelah mengikuti pembelajaran materi ini adalah bahwa peserta dapat memahami dengan
jelas tentang :
Kesepakatan Internasional Menghadapi Perubahan Iklim
Komitmen Nasional Menyikapi Kesepakatan Internasional Perubahan Iklim
Kerangka Kebijakan dan Acuan Normatif Pemerintah dalam Mewujudkan Komitmen Nasional
Terkait dengan Perubahan Iklim
Rencana Aksi Nasional terkait Gas Rumah Kaca (RAN GRK)
Rencana Aksi Daerah terkait Gas Rumah Kaca (RAD GRK)
Keterkaitan antara RPJP, RPJM, RENSTRA dengan RAN GRK dan RAD GRK
Kerangka Insitusi Pendukung Pelaksanaan RAN dan RAD GRK
Latar Belakang
Terkait dengan isu perubahan iklim, semua orang pasti sepakat bahwa dampak yang ditimbulkannya
menjadi sangat serius apabila tidak diantisipasi, namun pada kenyataannya sangat sulit mencari
titik temu tentang penyebabnya. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), lembaga di
bawah Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui World Meteorological Organization (WMO) dan
United Nations Environment Programme (UNEP) menyebutkan bahwa perubahan iklim disebabkan
oleh berbagai hal yang satu dan lainnya saling terkait. Sektor energi merupakan penghasil emisi
karbon yang menggelontorkan 12.628 Mt CO2e ke atmosfer. Selain itu deforestasi dan degradasi
hutan dituding sebagai penyumbang emisi karbon terbesar kedua yang menyebabkan terjadinya
perubahan iklim global. Negara-negara seperti Brazil dianggap menyumbang emisi yang cukup
tinggi, masing-masing sebesar 2.563 dan 1.372 MtCO2e. Peringkat ketiga penghasil emisi adalah
sektor pertanian, dengan total emisi sebesar 2.912 MtCO2e yang didominasi negara Cina, diikuti
Brasil dan India. Sedangkan emisi karbon yang berasal dari sampah diperkirakan sebesar 635
MTCO2e yang sebagian besar berasal dari Amerika Serikat, Cina dan India. Total emisi karbon yang
dihasilkan empat sektor tersebut mencapai kurang lebih 20.645 MTCO2e (IPCC, 2000).
Berdasarkan data Human Development Report yang dirilis United Nations Development Programme
(UNDP) tahun 2008, Indonesia ditempatkan sebagai negara dengan peringkat ke-14 untuk
penghasil emisi karbon di dunia, jauh dibawah negara-negara maju yang menggelontorkan karbon
ke atmosfer dari aktivitas industrinya. Besar kecilnya jumlah emisi di suatu negara tentu juga
dipengaruhi luas wilayah dan jumlah penduduk di negara tersebut. Dengan demikian, apabila emisi
yang diperhitungkan adalah jumlah emisi per satuan luas wilayah atau per kapita penduduk tentu
Indonesia bukan termasuk negara penghasil emisi yang besar. Tidak berarti Indonesia hanya akan
berdiam diri menghadapi ancaman perubahan iklim, tetapi dengan logika seperti ini diharapkan kita
dapat membuat perencanaan dan strategi adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim secara lebih
rasional dan proporsional dalam kerangka pembangunan nasional berkelanjutan.
Gambar 2. Kontribusi Emisi Nasional tiap Sektor tahun 2000 (Sumber: SNC, 2010).
Emisi GRK yang terjadi di sektor kehutanan Indonesia sebagian besar bersumber dari deforestasi
(konversi hutan untuk penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan, pemukiman, pertambangan,
prasarana wilayah) dan degradasi (penurunan kualitas hutan) akibat illegal logging, kebakaran,
over cutting, perladangan berpindah dan perambahan. Mengurangi laju deforestasi dan degradasi
hutan merupakan sebuah keniscayaan untuk mencegah bencana lingkungan dan mengurangi
dampak perubahan iklim, namun tuduhan bahwa deforestasi dan degradasi hutan adalah salah
satu sumber emisi karbon terbesar patut dipertanyakan dan dijelaskan secara teknis. Pertanyaan
ini patut dikemukakan karena konsekuensi dari diagnosa yang salah terhadap sumber emisi akan
mempengaruhi efektivitas mitigasi yang dilakukan. Implikasi dari kesalahan dalam mengidentifikasi
sumber emisi karbon ini pantas dikhawatirkan karena satu sisi cenderung membiarkan negaranegara industri emitter karbon terus menggelontorkan emisi, sementara pada saat yang sama
(berpotensi) mengesampingkan hak-hak ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di negara-negara
berkembang pemilik hutan.
Vegetasi hutan dan tanah menyimpan 7.500 Gt CO2 (> 2 x CO2 di atmosfer). Hutan menyimpan
~ 4.500 CO2 (> CO2 di atmosfer). Jumlah karbon yang dapat diserap hutan sangat tergantung
dari jenis/tipe dan karakteristik hutan. Hutan tropis dapat menyimpan karbon sekitar 40% dari hutan
dunia. Tegakan di hutan tropis dapat menahan karbon sekitar 50% lebih besar dari kapasitas tegakan
di luar hutan tropis. Itulah sebabnya hutan tropis memainkan peranan penting dalam menstabilkan
GRK karena kapasitasnya yang besar dalam menyimpan dan menyerap karbon.
Deforestasi mengemisi sekitar 8 Gt CO2 per tahun (WRI, 2002). Apabila deforestasi merupakan
17-18 % dari masalah (emisi GRK) maka yang perlu dilakukan adalah melakukan upaya-upaya
untuk mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan minimal 17-18% dalam rangka mengurangi
sumbangan emisi karbon ke atmosfer (WRI, 2002). Gambar 2 dan 3 berikut ini adalah ilustrasi
mengenai kondisi kawasan hutan di Indonesia dan tingkat penurunan tutupan lahan hutan dari tahun
1989 sampai dengan tahun 2009.
Gambar 3. Distribusi Kawasan Hutan di Indonesia (Sumber: Bahan Presentasi Rizaldi Boer)
Gambar 4. Tingkat Penurunan Tutupan Lahan Hutan dari Tahun 1989-2009 (Sumber: Bahan Presentasi Rizaldi Boer)
Karena pentingnya peran hutan dalam memitigasi perubahan iklim, maka tindakan-tindakan
seperti praktik pengelolaan hutan produksi lestari, pengelolaan kawasan konservasi dan lindung,
pembatasan konversi hutan, pemberantasan illegal logging dan penanggulangan kebakaran hutan
akan mengurangi emisi CO2 dan meningkatkan resiliensi ekosistem hutan terhadap perubahan iklim.
Rehabilitasi lahan dan hutan terdegradasi, pengembangan hutan tanaman industri dan perkebunan
di lahan-lahan yang terdegradasi, serta kegiatan restorasi hutan akan meningkatkan kapasitas hutan
dalam menyerap dan menyimpan karbon, yang pada akhirnya juga akan meningkatkan resiliensi
ekosistem hutan terhadap perubahan iklim. Dengan demikian, pengelolaan hutan lestari berkontribusi
positif terhadap upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Pengelolaan Hutan Lestari merupakan
kerangka kegiatan yang efektif untuk mengurangi dampak dan penyesuaian terhadap perubahan
iklim.
II
Kesepakatan
Internasional
Menghadapi
Perubahan Iklim
Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) tentang Lingkungan dan Pembangunan
Pada bulan Juni tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brasil, pada Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth
Summit) tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and
Development/UNCED), telah disepakati yang bersifat mengikat secara hukum (legally binding)
tentang Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim/ UNFCCC yang mulai berlaku sejak
21 Maret 1994. Pada KTT Bumi tersebut UNFCCC telah ditandatangani oleh 154 wakil negara.
Sejak tahun 1995, para pihak telah bertemu setiap tahun melalui Konferensi Para Pihak (Conference
on Parties, COP) guna menerapkan dan mengimplementasikan kerangka kerja tersebut.
Tujuan UNFCCC
Menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) antropogenik untuk menghindari ancaman
antropogonik yang berbahaya terhadap sistem iklim. Gas yang dikendalikan adalah metan, nitrogen
oksida, dan karbon dioksida.
Tujuan akhir konvensi adalah mencapai stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada
tingkat tertentu yang menghindari ancaman antropogenik yang berbahaya bagi sistem iklim
Kelembagaan UNFCCC
Kelembagaan yang mendukung proses negosiasi dibawah payung UNFCCC adalah Conference of
Parties (COP), Konferensi Para Pihak yang merupakan badan tertinggi, atau yang memiliki wewenang
tertinggi membuat keputusan sekaligus merupakan asosiasi para pihak yang meratifikasi konvensi.
COP bertanggung jawab untuk menjaga konsistensi upaya internasional dalam mencapai tujuan
utama konvensi. Dengan demikian COP memiliki kesempatan untuk meninjau pengaruh dari
tindakan yang dilakukan oleh para pihak dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan Konvensi. COP
diselenggarakan setahun sekali, kecuali dalam kondisi tertentu jika para pihak menghendaki lain.
Tempat penyelenggaraan COP didasarkan atas tawaran yang disampaikan oleh calon tuan rumah.
Jika tidak ada penawaran, secara otomatis COP akan diselenggarakan di sekretariat UNFCCC di
Bonn, Jerman.
Negara-negara dan aktor utama
Dalam Konvensi Perubahan Iklim terdapat 2 blok besar yang terdiri atas negara maju (developed
atau industrialized countries) dan negara berkembang (developing countries). Kedua kelompok
ini merupakan kelompok negara-negara yang memiliki hak suara dalam konvensi. Di samping itu
terdapat pula organisasi non-pemerintah (non-governmental organization) dan lembaga internasional
(international organization) yang tidak memiliki hak suara dalam setiap pertemuan tertutup konvensi
tetapi dapat melakukan proses interaksi dengan setiap negara baik secara individu maupun kelompok
melalui kesempatan-kesempatan di luar acara formal (side events atau special events).
a. Pihak dalam Konvensi
b. Kelompok Pihak di Bawah Konvensi
Pihak Annex I
Pihak AnnexII
Pihak yang Tidak Termasuk ke dalam Annex 1 (Non-Annex Parties)
Negara Transisi Ekonomi
Negara-negara Terbelakang (Least Developed Countries/LDCs)
c. Kelompok Regional
d. Kelompok-kelompok Negosiasi Politik
Group 77 + Cina
Kelompok Afrika
Kelompok Negara-negara Pulau Kecil (AOSIS)
Uni Eropa
Kelompok Payung
Environment Integrity Group (EIG)
OPEC
Negara-negara Pengamat
e. Organisasi Non-Pemerintah
f. Organisasi Internasional
Pertemuan Para Pihak yang telah dilaksanakan beberapa kali sejak tahun 1995:
COP 1 tahun 1995 di Berlin, Jerman, yang menghasilkan Berlin Mandate.
Catatan pentingnya adalah:
Fase uji coba kegiatan joint implementation (JI) yang dikenal Activities Jointly Implementation
(AJI).
Komitmen negara maju untuk mengurangi emisi mulai dibicarakan secara substansial.
Tidak ada tuntutan komitmen bagi negara berkembang dalam protokol.
Koalisi G77 (minus OPEC)
COP 2 tahun 1996 di Jenewa, Swiss yang menghasilkan Geneva Declaration.
Deklarasi Jenewa memuat hasil-hasil antara lain:
Pengakuan dan penerimaan para menteri dan ketua delegasi atas Laporan IPCC sebagai
laporan ilmiah yang dapat diandalkan sebagai pijakan untuk mengambil tindakan global,
nasional dan lokal, khususnya oleh negara-negara Annex 1 dalam rangka menurunkan emisi
Gas Rumah Kaca.
Ajakan untuk mengembangkan protokol dan instrumen legal lainnya berdasarkan temuan
ilmiah.
Instruksi kepada para pihak untuk mempercepat negosiasi terhadap teks protokol yang secara
hukum akan mengikat.
COP 3 Tahun 1997 di Kyoto, Jepang yang menghasilkan Kyoto Protocol.
Hasil penting dari COP 3 adalah diadopsinya Protokol Kyoto pada Desember 1997 setelah
melalui perdebatan dan negosiasi yang panjang dan melelahkan.
COP 4 tahun 1998 di Buenos Aires, Argentina
Tujuan utama COP 4 adalah untuk merancang tindak lanjut implementasi Protokol Kyoto, antara
lain dalam alih teknologi dan mekanisme keuangan.
10
11
12
13
14
15
16
Kesepakatan:
Kesepakatan untuk melakukan adopsi keluaran legal pada tahun 2015
Rencana kerja termasuk membahas penurunan emisi antara 2013 - 2020
Penyelesaian mandat Bali Action Plan, dengan beberapa keputusan yang terkait dengan
implementasinya, termasuk mengenai pendanaan, teknologi, dan adaptasi.
Keputusan utamanya adalah sebagai berikut:
Implementasi aksi penanganan perubahan iklim melalui beberapa institusi yang disepakati di
Cancun dan Durban termasuk Green Climate Fund, Standing Committee on Finance, Adaptation
Committee dan Climate Technology Center
Qualitative reassurance dari negara maju untuk realisasi komitme pendanaan jangka panjang,
antara lain melalui mid-term financing 2013 - 2015.
Diberikannya mandat kepada SBSTA dan/atau SBI untuk membahas elemen - elemen dari Bali
Action Plan yang belum selesai termasuk REDD+
Keputusan-keputusan ini memberikan beberapa peluang bagi Indonesia, diantaranya adalah:
Pengembangan kegiatan untuk pasar karbon dapat semakin ditingkatkan; demikian juga jenis
kegiatan lain yang akan dapat berperan dalam berbagai pendekatan.
Pengembangan aksi mitigasi di bawah Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
untuk selanjutnya disampaikan melalui NAMAs Registry
Peluang dukungan pendanaan bagi kegiatan-kegiatan mitigasi dan adaptasi
Peluang dalam pengembangan dan alih teknologi dengan disepakatinya CTC (Climate
Technology Center) serta jaringannya.
Berdasarkan laporan dari DNPI 2012, hasil perundingan COP 18/CMP 8 di Doha yang terkait pasar
karbon dan pengembangannya di Indonesia adalah sebagai berikut:
CMP (Conference Meeting of the Parties), hasil pertemuan ini adalah telah diambil beberapa
keputusan terkait peningkatan efisiensi dari tata kelola CDM. Keputusan - keputusan ini antara
lain adalah sebagai berikut.
Meminta para pihak untuk mengirimkan submission terkait efisiensi tata kelola CDM.
Implementasi dari hasil keputusan sidang CDM Executive Board/CDM - EB ke 70, yang terkait
dengan masalah lembaga verifikasi (DOE), panduan pembangunan berkelanjutan, dan metode
melakukan pemeriksaan bagi DNA termasuk wewenang pencabutan LoA.
17
18
SBSTA selanjutnya diminta untuk membahas dan menguraikan program kerja untuk pendekatan
tersebut, termasuk laporan serta masalah teknis berdasar pengalaman dari mekanisme yang ada.
Mempertimbangkan bahwa setiap FVA tersebut akan dikembangkan di bawah otoritas dari COP.
New Market Mechanism (NMM) di LCA keputusan utamanya terutama termaktub dalam teks AWG
- LCA, paragraf 51. Dalam paragraf ini disebutkan bahwa program kerja yang akan dibahas dalam
SBSTA untuk pertemuan berikutnya akan terdiri dari elemen-elemen sebagai berikut :
Operasi kegiatan NMM yang akan berada di bawah otoritas COP.
Partisipasi dari voluntary dalam mekanisme.
Standarisasi yang memberikan hasil mitigasi yang nyata, permanen, memiliki nilai tambah dan
dapat diverifikasi hasilnya.
Memenuhi persyaratan dalam melaporkan, mengukur secara akurat dan verifikasi pengurangan emisi.
NMM akan sebagai sarana untuk merangsang mitigasi dari segi ekonomi. Kriteria NMM,
termasuk penerapan metode konservatif untuk pendirian, persetujuan serta penyesuaian
secara berkala (batas crediting).
Kriteria untuk merekam keakuratan dan konsistensi unit.
Supplementarity.
Pembagian untuk menutupi biaya administrasi dan membantu mengembangkan ketahanan
adaptasi negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Peningkatan pembangunan berkelanjutan;
Partisipasi secara efektif dari badan swasta dan publik;
Fasilitasi awal dari mekanisme.
Dampak dan implikasi dari hasil perundingan COP 18/CMP 8 di Indonesia diperkirakan akan cukup
luas dalam pengembangan pasar karbon ke depan. Secara umum, sebenarnya hasil perundingan
tersebut kurang menggembirakan dan malah diperhitungkan akan menurunkan pengembangan pasar
karbon di Indonesia. Hasil dari perundingan tersebut tidak menambah secara riil ambisi penurunan
emisi, sehingga pasar karbon tidak memiliki tambahan permintaan. Lebih jauh, tidak dibolehkannya
negara Jepang, Kanada, Selandia Baru, dan Rusia untuk menggunakan CDM sebagai mekanisme
mitigasi perubahan iklim, menyebabkan juga tidak adanya tambahan permintaan untuk CDM sampai
dengan periode komitmen kedua Protokol Kyoto berakhir (DNPI, 2012).
III
Komitmen Nasional
Menyikapi Kesepakatan
Internasional Tentang
Perubahan Iklim
Dalam pertemuan para pihak (COP) di Kopenhagen, November 2009, ada lima poin penting yang
diusulkan oleh Pemerintah Indonesia dan diakomodir dalam Copenhagen Accord, yaitu :
Perlunya melakukan upaya bagi seluruh negara di dunia untuk menahan agar dampak
perubahan iklim tidak sampai menaikkan suhu global sampai dua derajat Celcius pada tahun
2050.
Perlunya negara maju menyebutkan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) secara
ambisius
Perlu adanya pembiayaan dari negara maju untuk penanganan dampak perubahan iklim
oleh negara maju dan negara tertinggal.
Perlu adanya MRV (measurement, reporting, and verifying) pelaksanaan komitmen
penanganan perubahan iklim, dan masalah kehutanan.
Perlunya penerapan pola pembangunan yang ramah lingkungan.
Komitmen Pemerintah Indonesia untuk penurunan emisi gas rumah kaca telah di sampaikan oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya pada tanggal 25 September 2009 dalam
pertemuan G20 di Pittsburgh, Amerika Serikat yang menyebutkan bahwa Pemerintah Indonesia
sedang menyusun rangkaian kebijakan yang dapat menurunkan emisi Indonesia sebesar 26% dari
skenario business as usual (BAU) pada tahun 2020. Presiden juga menjelaskan bahwa dengan
dukungan dana internasional Indonesia bahkan dapat menurunkan emisi sampai dengan sebesar
41% pada tahun 2020.
20
Selanjutnya Presiden menjelaskan bahwa kebijakan tersebut akan terdiri dari peningkatan investasi
dalam energi terbarukan seperti pembangkit listrik dari tenaga panas bumi dan menurunkan emisi
dari deforestasi dan perubahan penggunaan lahan (land use). Selain itu Presiden menjelaskan
bahwa Indonesia sedang mengkaji kemungkinan menurunkan 1 miliar ton CO2 pada tahun 2050
dari skenario BAU, dan mengubah status hutan Indonesia dari penyumbang emisi bersih menjadi
penyerap emisi bersih pada tahun 2030
Gambar 5 . Skema Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca sampai dengan Tahun 2020 (Bappenas, 2012)
Gambar 6. Grafik Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca sampai dengan Tahun 2020n (sumber : Bappenas, 2012 )
Target 26%
(dengan usaha sendiri)
Target 41%
(dengan dukungan internasional)
0,672
87,6%
1,039
87,4%
Pertanian
0,008
6,3%
0,011
6,6%
0,036
1,0%
0,056
0,9%
Industri
0,001
0,1%
0,005
0,4%
Pengelolaan Persampahan
0,048
5,0%
0,078
4,7%
Total
0,767
100,0%
1,189
100,0%
Walaupun telah disampaikan kesangggupan pengurangan emisi karbon sebesar 26% dari Bussiness
As Usual (BAU) sejak tahun 2009 dan meskipun serangkaian perangkat hukum telah diterbitkan,
belum ada hasil-hasil yang terukur dari pemerintah untuk melihat sampai seberapa jauh capaian yang
diperoleh sampai saat ini. Satu-satunya yang bisa diketahui adalah pengakuan prestasi penurunan
laju deforestasi selama lebih dari 10 tahun terakhir ini.
Badan Planologi Kehutanan (2008) menyebutkan bahwa angka deforestasi Indonesia dari tahun
2003-2006 sebesar 1,17 juta ha/tahun. Angka deforestasi 1,17 juta ha/tahun ini berasal dari kawasan
hutan sebesar 0,76 juta ha (64,8%) dan 0,41 juta ha/tahun (35,2%) dari luar kawasan hutan.
21
22
Beberapa laporan terakhir menyebutkan bahwa laju deforestasi di Indonesia cenderung semakin
menurun. Santosa (2012) menyebutkan bahwa angka deforestasi Indonesia periode 2006-2009
sebesar 0,83 juta ha/tahun dan pada kurun waktu tahun 2009-2011 menurun menjadi 0,45 juta ha/
tahun. Sayangnya prestasi penurunan angka laju deforestasi ini tidak serta merta dapat diakui sebagai
angka pengurangan emisi GRK karena metodologi perhitungan dan sistem MRV yang digunakan
masih diperdebatkan oleh berbagai pihak.
Gambar 9. Laju Deforestasi Indonesia dari tahun 1990 2011 (Sumber: Santosa, 2012)
Memperhatikan kondisi tersebut diatas maka salah satu wujud upaya dan komitmen Indonesia
dalam menindaklanjuti dan mengimplementasikan Kesepakatan Kopenhagen (Copenhagen Accord)
adalah ditandatanganinya letter of intent (LoI) antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Kerajaan
Norwegia tentang Kerjasama dalam rangka Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan
Degradasi Hutan (REDD) pada tanggal 26 Mei 2010. Ada tiga tahap kerja sama dalam kerangka
LoI tersebut (DNPI 2010) yaitu :
Tahap Persiapan (Juli Desember 2010)
Penyusunan Strategi Nasional REDD+
Pembentukan Lembaga REDD+
Penetapan Lembaga Independen MRV
Penetapan Instrumen Pembiayaan
Penetapan Provinsi Percontohan
Tahap Transformasi (2011-2013)
Operasionalisasi instrumen pembiayaan
MRV tier 2 dan kemungkinan meningkatkan ke tier 3
Moratorium izin baru konversi hutan alam dan gambut
Pengembangan database hutan yang terdegradasi untuk investasi
Penegakan hukum illegal logging, timber trade dan pembentukan Satuan Tindak Kriminal
Kehutanan
Penyelesaian konflik lahan/masalah tenurial
23
IV
Kerangka Kebijakan
dan Acuan Normatif
Pemerintah Indonesia
dalam Mewujudkan
Komitmen Nasional Terkait
dengan Perubahan Iklim
Pemerintah Republik Indonesia (Pemerintah RI) telah menghasilkan beberapa peraturan dan
kebijakan mengenai adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Beberapa peraturan yang berkaitan
langsung dengan perubahan iklim antara lain adalah :
Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi
Gas Rumah Kaca (RAN GRK)
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah
Kaca Nasional
Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan
Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut
Permenhut No. P.68 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan
Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD).
Permenhut No. P.30 tahun 2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi &
Degradasi Hutan (REDD)
26
Permenhut No P.36 tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan
dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2010 tentang Satuan Tugas Persiapan
Pembentukan Kelembagaan REDD+
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian
Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut
Keputusan Presiden Nomor 25 tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan
REDD+
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 20/Menhut-II/2012 tentang
Penyelenggaraan Karbon Hutan
Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 2013 tentang perubahan atas keputusan Presiden
No 25 Tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan Reducing Emissions from
Deforestation and Forest Degradation (REDD+)
Selain itu telah ditetapkan dokumen-dokumen terkait dengan perubahan iklim antara lain: Rencana
Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) dan Indonesia Climate Change
Sectoral Roadmap (ICCSR). RAN GRK adalah dokumen perencanaan jangka panjang yang me
ngatur usahausaha pengurangan emisi gas rumah kaca yang terkait dengan substansi Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).
RAN-GRK merupakan acuan utama bagi aktor pembangunan di tingkat nasional, provinsi, dan kota/
kabupaten dalam perencanaan, implementasi, monitor, dan evaluasi pengurangan emisi gas rumah
kaca. Proses legalisasi RAN GRK dibuat melalui Peraturan Presiden.
RAN GRK mengamanatkan kepada Pemerintah Provinsi untuk menyusun rencana aksi pengurangan
emisi untuk tingkat provinsi, yang selanjutnya disebut dengan Rencana Aksi Daerah Pengurangan
Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK). Substansi pada RAN-GRK merupakan dasar bagi setiap
provinsi dalam mengembangkan RAD-GRK sesuai dengan kemampuan serta keterkaitannya
terhadap kebijakan pembangunan masingmasing provinsi. Dengan demikian, RAD-GRK kemudian
akan ditetapkan melalui Peraturan Gubernur. Penyusunan RAD-GRK diharapkan merupakan
proses bottom-up yang menggambarkan bagaimana langkah yang akan ditempuh setiap provinsi
dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, sesuai dengan kapasitas masingmasing. Lebih lanjut,
setiap pemerintah provinsi perlu menghitung besar emisi gas rumah kaca masingmasing, target
pengurangan, dan jenis sektor yang akan dikurangi emisinya.
Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan
Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK)
Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) berisi Dokumen Rencana
Kerja untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menurunkan
emisi gas rumah kaca sesuai dengan target pembangunan nasional.
Sesuai dengan komitmen Pemerintah Indonesia menyikapi kesepakatan internasional menghadapi
perubahan iklim, target penurunan emisi Gas Rumah Kaca melalui usaha sendiri (26 %) dari Sektor
Kehutanan adalah sebesar 0,672 Giga Ton CO2e, sedangkan target skema penurunan Emisi Gas
Rumah Kaca dengan dukungan internasional (41 %) dari Sektor Kehutanan adalah sebesar 1.039
Giga Ton CO2e (Perpres Nomor 61 Tahun 2011)
Kebijakan yang ditetapkan dalam rangka mewujudkan target penurunan emisi gas rumah kaca
dengan skema (26%) dan (41%) tersebut diatas adalah sebagai berikut :
Penurunan emisi Gas Rumah Kaca, meningkatkan kenyamanan lingkungan, mencegah
bencana, menyerap tenaga kerja dan menambah pendapatan masyarakat serta negara.
Pengelolaan sistem jaringan dan tata air pada rawa
Pemeliharaan jaringan reklamasi rawa (termasuk lahan gambut yang sudah ada)
Peningkatan produktivitas dan efisiensi produksi pertanian pada lahan gambut dengan emisi
serendah mungkin dan mengabsorpsi CO2 seoptimal mungkin.
Strategi yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 untuk pelaksanaan
Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) adalah sebagai berikut :
Menekan laju deforestasi dan degradasi hutan untuk menurunkan emisi GRK
Meningkatkan penanaman untuk meningkatkan penyerapan GRK
Meningkatkan upaya pengamanan hutan dari kebakaran dan pembalakan liar dan penerapan
Sustainable Forest Management (SFM)
Melakukan perbaikan tata air (jaringan) dan blok-blok pembagi, serta menstabilkan elevasi
muka air pada jaringan tata air rawa
Mengoptimalisasikan sumber daya lahan dan air tanpa melakukan deforestasi
Menerapkan teknologi pengelolaan lahan budidaya pertanian denga nemisi GRK serendah
mungkin dan mengabsorpsi CO2 seoptimal mungkin.
27
28
Tabel. 2. Rencana aksi penurunan emisi gas rumah kaca (RAN GRK) sampai dengan tahun 2020 (PP nomor 61 tahun
2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK)
NO
RENCANA AKSI
KEGIATAN/SASARAN
PERIODE
LOKASI
INDIKASI
PENURUNAN
EMISI GRK
(Juta Ton
CO2c)
PENANGGUNG
JAWAB
Pembangunan
Kesatuan Pengelolaan Hukum
(KPH)
2010 -2014
Seluruh Provinsi
31,15
Kementerian
Kehutanan
Perencanaan
pemanfaatan dan
peningkatan usaha
kawasan hutan
Terlaksananya pemberian
Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu - Hutan
ALam/Restorasi Ekosistem
(IUPHHK-HA/BE) pada
areal bekas tebangan
(Logged Over Area/LOA)
seluas 2,5 juta ha
2010 -2014
12 Provinsi: Jambi,
Sumba, Kalteng,
Kalbar, Kalsel, Sulbar,
Sulteng, Sultra, Sulut,
Gorontalo dan Papua
22,94
Kementerian
Kehutanan
Tercapainya peningkatan
produksi hasil hutan bukan
kayu/jasa lingkungan
2010 -2014
Seluruh Provinsi
1,38
Kementerian
Kehutanan
3,67
Kementerian
Kehutanan
123,41
Kementerian
Kehutanan
Pengembangan
pemanfaatan jasa
lingkungan
Terlaksananya demonstration
activity Reducing Emission
from Deforestation and
Degradation (REDD) di
kawasan konservasi (hutan
gambut) sebanyak 2
kegiatan
2010 -2014
Pengukuhan
kawasan hutan
Terlaksananya penataan
Batas Kawasan Hutan
(batas luar dan batas fungsi
kawasan hutan) sepanjang
25.000 km
2010 -2014
Seluruh Provinsi
Peningkatan,
rehabilitasi, operasi
dan pemeliharaan
jaringan reklamasi
rawa (termasuk
lahan bergambut)
a. Terlaksananya
peningkatan jaringan
reklamasi rawa seluas
10.000 ha
b. Terlaksananya rehabilitasi
jaringan reklamasi rawa
seluas 450.000 ha
c. Terlaksananya operasi
& pemeliharaan jaringan
reklamasi rawa seluas 1,2
juta ha
2010 - 2014
23 Provinsi: NAD,
Sumut, Riau, Sumbar,
Jambi, Bengkulu,
Sumsel, Babel, Lampung, Banten, Jabar,
Jateng, Jatim, Kalbar,
Kalteng, Kalsel, Kaltim,
Gorontalo, Sulbar,
Sulteng, Sultra, Sulsel
dan Papua
5,23
Pengelolaan lahan
gambut untuk
pertanian berkelanjutan
Penelitian dan
pengembangan sumber
daya lahan (termasuk
lahan gambut) untuk
pengembangan pengelolaan
lahan pertanian seluas
325.000 ha
2011 - 2020
11 Provinsi: NAD,
Sumut, Riau, Jambi,
Sumsel, Sumbar, Lampung, Kalbar, Kalsel,
Kaltim dan Kalteng
103,98
Kementerian
Pertanian
Pengembangan
pengelolaan lahan
pertanian di lahan
gambut terlantar
dan terdegradasi
untuk mendukung
sub-sektor
perkebunan,
peternakan dan
bertikultura
2011 - 2014
9 Provinsi: NAD,
riau, Jambi, Sumsel,
Sumbar, Kalbar, Kalsel,
Kaltim dan Kalteng
100,75
Kementerian
Pertanian
Kementerian
Pekerjaan Umum
Penyelenggaraan
rehabilitasi hutan
dan lahan dan
reklamasi hutan di
DAS prioritas
Pengembangan
perhutanan sosial
Terlaksananya rehabiltasi
hutan pada DAS prioritas
seluas 500.000 ha
2010 - 2014
Seluruh Provinsi
18,35
Kementerian
Kehutanan
Terlaksananya rehabilitasi
lahan pada DAS prioritas
seluas 1.954.000 ha
2010 - 2014
71,71
Kementerian
Kehutanan
2010 - 2014
0,22
Kementerian
Kehutanan
2010 - 2014
1,47
Kementerian
Kehutanan
Terfasilitasinya penetapan
areal kerja pengelolaan
Hutan Kemasyarakatan
(HKm)/Hutan Desa (HD)
seluas 2.500.000 ha
2010 - 2014
25 Provinsi: NAD,
Sumut, Sumbar, Riau,
Kepri, Jambi, Sumsel,
Babel, Bengkulu,
Lampung, DIY, NTB,
NTT, Kalbar, Kalteng,
Kalsel, Kaltim, Sulut,
Gorontalo, Sulteng,
Sulbar, Sulsel, Sultra,
Maluku dan Malut
91,75
Kementerian
Kehutanan
Terfasilitasinya pembentukan
kemitraan usaha dalam
hutan rakyat seluas 250.000
ha
2010 - 2014
11 Provinsi: Riau,
SUmsel, Banten, Jabar,
Jateng, DIY, Jatim,
Kalbar, Kalteng, Kalsel
dan Kaltim
9,18
Kementerian
Kehutanan
10
Pengendalian
kebakaran hutan
Tercapainya penurunan
jumlah hotspot di pulau
Kalimantan, Pulau Sumatera
dan Pulau Sulawesi sebesar
20% setiap tahun dari rerata
2005 - 2009, dengan tingkat
keberhasilan 67,20%
2010 - 2014
11 Provinsi: Sumut,
Riau, Kepri, Jambi,
Sumsel, Kalbar,
Kalteng, Kalsel, Kaltim,
Sulsel dan Sulbar
21,77
Kementerian
Kehutanan
11
Penyidikan dan
pengamanan
hutan
Terselesaikannya
penanganan kasus
baru tindak pidana
kehutanan (illegal logging,
penambangan ilegal
dan kebakaran) minimal
sebanyak 75%
2010 - 2014
10 Provinsi: Sumut,
Riau, Kepri, Jambi,
Sumsel, Kalbar,
Kalteng, Kalsel, Sulsel
dan Sulbar
2,30
Kementerian
Kehutanan
12
Pengembangan
kawasan konservasi, ekosistem
esensial dan
pembinaan hutan
lindung
Meningkatnya pengelolaan
ekosistem asensial sebagai
penyangga kehidupan
sebesar 10%
2010 - 2014
17 Provinsi: NAD
Sumut, Jambi, Babel,
Sumbar, Riau, Sulteng,
Kepulauan Seribu, Jabar, Jateng, Jatim, Bali,
NTB, Kalbar, Kalteng,
Gorontalo dan Papua
Barat
41,50
Kementerian
Kehutanan
Terlaksananya penanganan
perambahan kawasan
hutan konservasi dan hutan
lindung pada 12 Provinsi
prioritas
2010 - 2014
12 Provinsi: Sumut,
Riau, Jambi, Sumsel,
Sumbar, Lampung,
Kaltim, Kalteng, Kalsel,
Kalbar, Sultra dan
Sulteng
49,77
Kementerian
Kehutanan
Terlaksananya pencadangan
areal hutan tanaman industri
dan hutan tanaman rakyat
(HTI/HTR) seluas 3 juta ha
2010 - 2014
26 Provinsi: NAD,
Sumut, Sumbar,
Riau, Jambi, Sumsel,
Bengkulu, Lampung,
Babel, DIY, NTB, NTT,
Kalbar, Kalteng, Kalsel,
Kaltim, Sulut, Sultra,
Sulteng, Sulsel, Sulbar,
Gorontalo, Maluku,
Malut, Papua dan
Papua Barat
110,10
Kementerian
Kehutanan
13
Peningkatan usaha
hutan tanaman
29
30
Rencana Aksi Nasional penurunan emisi Gas Rumah Kaca dikembangkan untuk mencapai target
nasional, target sektoral, acuan dan aksi prioritas untuk mitigasi perubahan iklim semua sektor yang
memproduksi emisi. RAN GRK berfungsi sebagai sebuah panduan kebijakan pemerintah pusat pada
tahun 2010-2020 dan sektor-sektor yang terkait untuk mengurangi emisi sebanyak 26% dengan
usaha sendiri dan 41% jika mendapat bantuan internasional.
Rencana Aksi Daerah Gas Rumah Kaca (RAD GRK)
Dalam rangka tindak lanjut pelaksanaan lebih rinci, RAN GRK menganjurkan perlunya untuk membuat
RAD GRK sebagai dokumen kerja yang menjadi dasar untuk pemerintah daerah, masyarakat dan
swasta untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas langsung dan tidak langsung yang bermaksud
untuk mengurangi emisi GRK pada kurun waktu 2010-2020 dengan mengacu kepada rencana
pembangunan daerah.
Sebagaimana telah disebutkan dalam Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi
Penurunan emisi Gas Rumah Kaca pada pasal 2 ayat 2 yang mengamanatkan bahwa RAN GRK adalah
dasar bagi pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat dan sektor bisnis di dalam merencanakan,
melaksanakan, mengawasi dan mengevaluasi RAD GRK.
Oleh karenanya RAD GRK pada sektor kehutanan seharusnya disusun dengan memuat substansi
rencana aksi mitigasi yang meliputi :
Secara detail substansi dari RAD GRK mengacu kepada substansi yang telah diamanatkan dalam
RAN GRK, dimana secara garis besar dapat dijelaskan dalam bagan berikut ini :
2."BAU
Baseline"
Penurunan
Emisi GRK
1. Sumber Potensi
dan karakteris
Emisi GRK
3. Rencana
Aksi M gasi
yang
diusulkan
SUBSTANSI
RAD GRK
4. Skala
Prioritas dari
Rencana Aksi
Mi gasi yang
diusulkan
5. Kelembagaan
dan Pembiayaan
Keterkaitan antara RPJP, RPJM, RENSTRA dengan RAN GRK dan RAD GRK dan
REDD+
Rencana Jangka Panjang Kementerian Kehutanan (2006 2025) telah mengidentifikasi beberapa
strategi yang secara tidak langsung berkaitan dengan sumber emisi (kebakaran hutan, konservasi
hutan, dan manajemen hutan bakau). Setidaknya terdapat tiga strategi utama yang terkait dengan
hal tersebut:
1. SFM Strategi Mitigasi Hutan,
2. REDD Strategi Mitigasi Hutan, dan
3. Jenis tanaman Strategi Mitigasi Hutan
Strategi tersebut didukung dengan beberapa program seperti program riset dan pengembangan
hutan, perencanaan makro hutan, stabilisasi area hutan, dan program manajemen pendukung dan
teknis. Lebih lanjut, terdapat pula dua peraturan menteri; yakni Peraturan Menteri Nomor 68/2008
mengenai penyelenggaraan pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan dan
Peraturan Menteri Nomor 39/2009 mengenai tata cara pengurangan emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan (REDD). Beberapa peraturan terkait sektor kehutanan juga berasal dari Kementerian
Lingkungan Hidup.
Di dalam Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca, sektor kehutanan memiliki
potensi yang besar dalam upaya penurunan emisi GRK, diantaranya yaitu pengelolaan hutan yang
berkelanjutan dari hutan produksi, hutan konservasi, dan hutan lindung, serta pembatasan konversi
lahan hutan menjadi non-hutan dan degradasi kualitas hutan, pengelolaan hutan pada lahan gambut
31
32
dan pencegahan kebakaran hutan. Arah kebijakan untuk penurunan emisi GRK di bidang kehutanan
diarahkan untuk mensinergikan program-program bidang kehutanan seperti;
1. Mensinergikan kebijakan, perencanaan, dan program para pemangku kepentingan di bidang
kehutanan
2. Mempertajam kebijakan dan langkah-langkah pengurangan emisi karbon dari bidang kehutanan
yang secara efektif dapat menyelesaikan masalah penyebab deforestasi dan degradasi hutan.
3. Mendukung pengelolaan hutan berkelanjutan.
4. Merevitalisasi ekosistem hutan yang terdegradasi dengan pelibatan masyarakat.
5. Menekan laju deforestasi dari berbagai gangguan seperti penebangan liar, kebakaran hutan,
konversi hutan untuk kepentingan non-hutan.
6. Mengembangkan hutan tanaman untuk pemenuhan permintaan hasil hutan kayu untuk
keperluan industri kehutanan.
Berikut ini adalah kerangka keterkaitan antara dokumen/kebijakan Nasional-Daerah dengan RANRAD GRK.
Secara umum, Indonesia mengejar strategi ganda untuk upaya mitigasi pada sektor kehutanan, yang
mencerminkan dua fungsi utama hutan dalam konteks perubahan iklim, yaitu sebagai sumber karbon
dan penyerap karbon. Melindungi hutan dengan upaya-upaya reboisasi dan rehabilitasi hutan akan
meningkatkan kapasitas hutan sebagai penyerap karbon, sedangkan deforestasi dan degradasi
hutan akan meningkatkan emisi gas rumah kaca. Maka strategi mitigasi yang dirumuskan oleh sektor
kehutanan adalah sebagai berikut:
1. SFM Strategi Mitigasi Hutan 1: Meningkatan stok karbon hutan dan menghindari emisi
terkait dengan degradasi dan deforestasi yang tidak terencana.
2. REDD Strategi Mitigasi Hutan 2: Mengurangi jumlah emisi melalui manajemen konversi lahan
hutan.
3. Perkebunan Strategi Mitigasi Hutan 3: Meningkatkan kapasitas penyerapan karbon melalui
promosi perkebunan di lahan tutupan non hutan.
Dalam kebijakan saat ini banyak peran dari perkebunan untuk meningkatkan kapasitas penyerapan
karbon. Tetapi sedikit yang terencana, di luar pengembangan KPHs, untuk memastikan bahwa pohonpohon yang terpelihara dengan baik dan tumbuh, atau untuk memantau secara akurat pertumbuhan
perkebunan dan penyerapan karbon. Pembangunan dan pembentukan KPH merupakan sarana
penting untuk menjaga keabadian dari penyerapan karbon di hutan dan karena itu harus dilihat
sebagai prasyarat penting untuk semua aktivitas mitigasi.
Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kehutanan tahun 2010-2014 disusun berdasarkan
kondisi saat ini dan permasalahan serta isu-isu strategis dalam pembangunan kehutanan ke depan.
Berdasarkan arah kebijakan dan strategi pembangunan nasional mengenai peningkatan konservasi
dan rehabilitasi sumber daya hutan, Kementerian Kehutanan memiliki visi yang tertuang di dalam
Renstra Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014, yaitu Hutan Lestari untuk Kesejahteraan
Masyarakat yang Berkeadilan. Guna mewujudkan visi tersebut ditetapkan beberapa misi Kementerian
Kehutanan, dengan arah kebijakan prioritas pembangunan pada;
1. Pemantapan kawasan hutan.
2. Rehabilitasi hutan dan peningkatan daya dukung daerah aliran sungai (DAS).
3. Pengamanan hutan dan pengendalian kebakaran hutan.
4. Konservasi keanekaragaman hayati.
5. Revitalisasi pemanfaatan hutan dan industri kehutanan.
6. Pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan.
7. Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sektor kehutanan.
8. Penguatan kelembagaan kehutanan.
Khusus kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sektor kehutanan seperti Nomor 7 dalam
langkah-langkah strategis Kementerian Kehutanan sudah disusun kegiatan-kegiatan yang terkait
langsung dengan penurunan emisi GRK. Kegiatan-kegiatan yang dimaksud adalah:
33
34
V
Kerangka Insitusi
Pendukung Pelaksanaan
RAN dan RAD GRK
RAN GRK dan RAD GRK perlu dilaksanakan dalam kerangka institusi yang sesuai dan telah
ditetapkan sebelumnya. Kerangka institusi nasional yang berperan dalam mendukung pelaksanaan
RAN GRK telah ditetapkan dengan melibatkan beberapa komponen sebagai berikut:
Gambar 11. Para Pemangku Kepentingan RAN GRK dan RAD GRK
36
Institusi
Kementerian Koordinator
Perekonomian
Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional /
Kepala Bappenas
Tugas / Peran
a. Melakukan koordinasi pelaksanaan dan pemantauan RAN GRK
dengan melibatkan para menteri dan gubernur yang terkait
dengan upaya penurunan emisi gas rumah kaca.
b. Melaporkan pelaksanaan RAN GRK yang terintegrasi kepada
presiden paling sedikit satu tahun sekali.
a. Mengkoordinasikan evaluasi dan kaji ulang RAN GRK yang
terintegrasi
b. Melaporkan hasil evaluasi kepada Menteri Koordinator
Perekonomian
c. Menyusun pedoman RAD GRK yang akan diintegrasikan dalam
upaya pencapaian target nasional penurunan emisi GRK.
Kementerian Lingkungan
Hidup
Untuk memudahkan kegiatan MRV antar Kementerian dan lembaga teknis di daerah dan nasional,
Kementerian Perencanaan pembangunan Nasional (Bappenas) sudah membuat sistem koordinasi
untuk pelaksanaan Monitoring Reporting dan Verifying pelaksanaan RAN GRK dan RAD GRk
sebagaimana digambarkan sebagai berikut :
Presiden
Natcom
Kemenko Kesra
BUR
Kemenko
Perekonomian
UNFCCC
Focal
Poin/DNPI
Kemendagri
Kementrian/
Lembaga
BAPPENAS
Tim Koordinasi
Perubahan Iklim
KLH
Kemendagri
SIGN
Center
Sekretarian
RAN-GRK
Provinsi
Keterangan
Garis Koordinasi & Pelaporan
Sintesis RAN/RAD-GRK &
Inventarisasi GRK
Garis Pelaporan Inventarisasi
GRK
Garis Pemantauan & Evaluasi
Inventarisasi GRK
Garis Pelaporan
RAN/RAD-GRK
Garis Pemantauan & Evaluasi
RAN/RAD-GRK
Kabupaten/Kota
Gambar 14. Sistem Koordinasi pelaksanaan dan elaporan RAN/RAD GRK dan inventarisasi GRK (Bappenas, 2013)
37
38
Untuk mekanisme dan alur kerja pelaksanaan RAN GRK dan RAD GRK dapat dijelaskan melalui
bagan sebagai berikut:
Presiden
1) Nov mgg II
2) Feb mgg II
Kemenko
Perekonomian
1) Nov mgg II
2) Feb mgg II
Kemendagri
Kemenko Kesra
1) Okt mgg II
2) Jan mgg II
Kementrian/
Lembaga
BAPPENAS
KLH
Tim Koordinasi
Perubahan Iklim
1) Okt mgg II
2) Jan mgg II
Sekretarian
RAN-GRK
Keterangan:
Pelaporan RAN/
RAD-GRK & Penurunan
Emisi GRK
Pemantauan & Evaluasi
RAN-GRK
Gubernur
Pelaporan RAN-GRK
Pemantauan & Evaluasi
RAD-GRK
Pelaporan RAD-GRK
BAPPEDA
SKPD
Laporan RAD-GRK
Laporan RAN-GRK
Laporan Penurunan
emisi GRK
Gambar 15. Alur mekanisme pemantauan, evaluasi dan pelaporan pencapaian RAN GRK dan RAD GRK (Bappenas,
2013)
DAFTAR PUSTAKA
Basah, Hernowo. 2012. Indonesias National Action Plan for Reducing GHG Emission. Dipresentasikan
pada International Meeting Forest-Based Climate Change Policies and Action Plans in
Indonesia. Bappenas.
Daryanto, Hadi. 2012. National Strategy for REDD+ in Indonesia. Dipresentasikan pada International
Meeting Forest-Based Climate Change Policies and Action Plans in Indonesia. Kementerian
Kehutanan.
Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca.
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2011 tentang Penyelanggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca
Nasional.
Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan
Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Steni B. 2010. Perubahan Iklim, REDD dan Perdebatan Hak: Dari Bali sampai Copenhagen.
Perkumpulan HuMa.
Kuswandana Y, Prabowo H, Nurcahya BC. 2011. Kerangka Kerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari.
Witoelar, R dan Soekadri, D. 2012. Indonesias Perspective On The Global Climate Change Mitigation:
Forestry Sector. DNPI. Jakarta
Center for Forestry Research. 2010. Apakah itu? Pedoman CIFOR tentang hutan, perubahan iklim
dan REDD. CIFOR, Bogor, Indonesia.
Boer, R. 2012. Sustainable Forest Management in Relation to REDD+. Centre for Climate Risk and
Opportunity Management in Southeast Asia and Pacific, Bogor Agriculture University. Bogor.
Prasaja, H. 2010. COP 16 Cancun Langkah Mundur Indonesia dalam Perundingan Perubahan Iklim.
Dewan Nasional Perubahan Iklim. 2012. Pengaruh Keputusan Doha Climate Gateway Terhadap
Pengembangan Pasar Karbon di Indonesia. Dewan Nasional Perubahan Iklim. Devisi
Mekanisme Perdagangan karbon. Jakarta
40
Yasman I, Banowati L, Lasmini, dan Septiani Y. 2009. Peluang Pemanfaatan Potensi Karbon Hutan
Dalam Isu Perubahan Iklim (Materi Dasar Untuk Peningkatan Pemahaman Bagi Masyarakat).
Forest Governance and Multistakeholder Forestry Programme. Jakarta
Yasman I, Nurrochmat, DR, Septiani, Y, Lasmini 2013 (in press). Policy Paper : Peran Pengelolaan
Hutan Produksi Alam dalam Perubahan Iklim (REDD+, Pengelolaan Hutan Lestari, RIL-C).
The Nature Conservancy, Indonesia Terrestrial Program. Jakarta.