Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

EMISI GAS RUMAH KACA DARI SECTOR PERTANIAN, DAN KEHUTANAN ,


ENERGI

DISUSUN OLEH :

ELISABETH VENI MARLIANA MAU

JURUSAN PENYULUHAN PERTANIAN BERKELANJUTAN

KEMENTRIAN PERTANIAN

BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN

POLITEKNIK PEMBANGUNAN PERTANIAN (POLBANGTAN) MANOKWARI

2020
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur yang telah memberikan penulis kemudahan sehingga dapat
menyelesaikan makalah dengan waktu yang telah di tentukan.tanpa pertolongannya tentunya
penulis tidak akan sanggup menyelesaikan makalah ini dengan baik
pembuatan makalah ini metode penyuluhan pertanian

penulis tentu menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih terdapat banyak
kesalahan serta kekurangan dalamnya,, untuk itu penulis mengharapakan kritikan serta saran dari
pembaca untuk makalah ini. Kemudian apabila terdapat kesalahan penulis pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya

penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang sudah membantu
penulis dalam tugas makalah ini.
Demikian, semoga bermanfaat makalah ini.
Terima kasih

Manokwari,oktober , 2020

Penulis
DAFTAR ISI

COVER...........................................................................................................................................1
KATA PENGANTAR...................................................................................................................2
DAFTAR ISI................................................................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................................4
1.2. Tujuan..................................................................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................6
BAB III PEMBAHASAN.............................................................................................................8
2.1 METODOLOGI INVENTARISASI GAS RUMAH KACA............................................8
2.1.1. Kelembagaan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK).............................................8
2.1.2. Metodologi Perhitungan Inventarisasi GRK.............................................................9
B. Metodologi Sektor Energi...................................................................................................10
C. Metodologi Sektor IPPU.....................................................................................................10
D. Metodologi Sektor Pertanian.............................................................................................11
1. Pertanian...........................................................................................................................11
E. Metodologi Sektor Kehutanan...........................................................................................15
F. Metodologi Sektor Limbah Tingkat emisi GRK..............................................................16
1. Sektor Energi....................................................................................................................17
2.Sektor IPPU.......................................................................................................................18
3.Sektor Pertanian................................................................................................................18
A. Metodologi Sektor Pertanian.............................................................................................19
B. Metodologi Sektor Kehutanan...........................................................................................20
BAB IV PENUTUP.....................................................................................................................22
KESIMPULAN............................................................................................................................22
SARAN..........................................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................23
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dari aspek meteorologis, perubahan iklim adalah kondisi beberapa unsur iklim yang
magnitude dan/atau intensitasnya cenderung berubah atau menyimpang dari dinamika dan
kondisi rata-rata menuju ke arah tertentu, meningkat atau menurun. Perubahan iklim terjadi
karena proses alam dan/ atau akibat kegiatan manusia secara terus-menerus yang mengubah
komposisi atmosfer dan tata guna lahan yang menyebabkan pemanasan global. Pemanasan
global disebabkan oleh peningkatan emisi gas rumah kaca yang berlangsung dalam jangka waktu
lama.

GRK adalah gas yang terkandung dalam atmosfer, baik alami maupun antropogenik, yang
menyerap dan memancarkan kembali radiasi inframerah. GRK utama dari pertanian adalah CO2
(karbondioksida), CH4 (metana), dan N2 O (dinitrogen oksida), CFCs (chlorofluorocarbon), dll.
Inventory atau Inventarisasi GRK adalah kegiatan untuk memperoleh data dan informasi
mengenai tingkat, status, dan kecenderungan perubahan emisi GRK secara berkala dari berbagai
sumber emisi (source) dan penyerapnya (sink), termasuk simpanan karbon (carbon stock). Emisi
GRK adalah lepasnya gas rumah kaca ke atmosfer pada area tertentu dalam jangka waktu
tertentu. Data Aktivitas adalah besaran kuantitatif kegiatan atau aktivitas manusia yang dapat
melepaskan dan/atau menyerap GRK. Faktor Emisi adalah besaran emisi GRK yang dilepaskan
ke atmosfer per satuan aktivitas tertentu.

Perubahan iklim menuntut perhatian ekstra umat manusia di muka bumi. Ada dua kata
kunci yang berakitan dengan perubahan iklim, yaitu (1) mitigasi dan (2) adaptasi. Kedua kata ini
sering disebut dalam tulisan tentang perubahan iklim dan di lapangan adakalanya tidak mudah
dibedakan. Mitigasi adalah usaha untuk menurunkan emisi dan atau meningkatkan penyerapan
GRK dari berbagai sumber emisi, dalam upaya pengendalian atau pengurangan dampak
perubahan iklim. Adaptasi adalah kemampuan manusia, ternak, dan tanaman atau organisme
untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan, baik bersifat mikro maupun makro, baik
langsung maupun tidak langsung akibat perubahan iklim, agar tetap dapat menjalankan fungsi
biologisnya secara wajar.
Pedoman Umum Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Mitigasi Perubahan Iklim Sektor
Pertanian berisikan berbagai informasi terkait dengan dinamika diplomasi perubahan iklim
internasional dan kebijakan nasional, emisi GRK, arah, strategi nasional, serta upaya dan
teknologi mitigasi perubahan ikllim, beberapa perangkat hukum, dan kelembagaan
pendukungnya.

1.2. Tujuan

Tujuan penyusunan pedoman umum mitigasi perubahan iklim di sektor pertanian adalah:

1. Memberikan arahan dan meningkatkan pemahaman tentang kebijakan pemerintah dalam


mitigasi perubahan iklim di sektor pertanian.

2. Mendorong dan mengarahkan program mitigasi pertanian dalam upaya menurunkan GRK atau
meningkatkan rosot karbon.

3. Mendorong dan mengarahkan upaya identifikasi teknologi eksisting dan sederhana, serta
perakitan teknologi yang adaptif terhadap perubahan iklim.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Dampak perubahan iklim secara global telah menjadi perhatian utama masyarakat
internasional, termasuk Indonesia. Sebagai negara kepulauan yang memiliki berbagai sumber
daya alam, keanekaragaman hayati yang tinggi serta populasi penduduk yang sangat besar,
Indonesia sangat rentan terhadap dampak negatif meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di
atmosfer dan sekaligus memiliki potensi yang besar untuk turut andil dalam mengatasi
perubahan iklim. Salah satu langkah penting yang di lakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah
dengan mengesahkan Paris Agreement to the United Nation Framework Convention on Climate
Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai
Perubahan Iklim) melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 pada tanggal 24 Oktober
2016. Melalui kesepakatan tersebut, Indonesia bersama dengan negara-negara di dunia
berkomitmen untuk menahan laju peningkatan suhu global dibawah 2°C dan melanjutkan upaya
untuk menekan kenaikan suhu global ke 1,5°C diatas tingkat pra–industrialisasi. Untuk mencapai
tujuan Paris Agreement tersebut, Indonesia, telah menetapkan kontribusi target penurunan emisi
Gas Rumah Kaca (GRK), yang biasa disebut dokumen Nationally Determined Contribution
(NDC). NDC ini mencakup aspek aksi (mitigasi dan adaptasi) dan dukungan sumber daya
(pendanaan, peningkatan kemampuan dan alih teknologi perubahan iklim). Pada periode
pertama, target NDC Indonesia adalah mengurangi emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri dan
menjadi 41% dengan dukungan kerja sama internasional dari kondisi tanpa ada aksi (business as
usual) pada tahun 2030. Komitmen NDC Indonesia untuk periode selanjutnya ditetapkan
berdasarkan kajian kinerja dan harus menunjukkan peningkatan dari periode selanjutnya. Untuk
memantau perkembangan dan mengukur capaian target NDC tersebut, Pemerintah Indonesia
telah menetapkan Peraturan Presiden No 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi
GRK Nasional. Selanjutnya sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan dioperasionalisasikan melalui Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 18 tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, penyelenggaraan Inventarisasi GRK,
serta Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV) menjadi tugas pokok dan fungsi Direktorat
Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim. Dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan inventarisasi
GRK dan MPV mengacu pada pedoman yang ditetapkan Intergovernmetal Panel on Climate
Change (IPCC Guidelines) Tahun 2006. Inventarisasi GRK ditujukan untuk melaksanakan
kegiatan penyelenggaraan, perolehan dan pemutakhirkan data dan informasi emisi GRK secara
periodik dari berbagai sumber emisi (source), serapan (sink), dan simpanan (stock).

Pelaksanaan kegiatan inventarisasi ini secara umum bertujuan untuk

(i) mengetahui dan memantau tingkat dan status emisi GRK,


(ii) merancang dan mengevaluasi kegiatan mitigasi perubahan iklim, serta
(iii) menyusun laporan status emisi GRK nasional.

Inventarisasi GRK dilakukan terhadap 4 (empat) kategori sumber emisi, yaitu energi,
proses industri dan penggunaan produk, pertanian dan kehutanan serta perubahan penggunaan
lahan lainnya, serta pengelolaan limbah. Sementara pelaksanaan kegiatan monitoring, pelaporan
dan verifikasi diperlukan untuk menjamin bahwa kegiatan pengukuran, pelaporan, dan verifikasi
penurunan emisi GRK dari kegiatan aksi mitigasi perubahan iklim dilakukan sesuai prinsip-
prinsip yang telah diakui di tingkat internasional, dengan menggunakan metodologi yang dapat
dikomparasi dan diakui oleh para pihak penandatangan konvensi (UNFCCC, 1992).

Dokumen ini adalah Laporan Inventarisasi GRK dan MPV serta penurunan emisi yang
terverifikasi sampai dengan tahun 2017. Laporan ini disusun sebagai media untuk
menyampaikan hasil inventarisasi, capaian penurunan emisi GRK, capaian komitmen target
NDC Indonesia, serta rencana perbaikan dan pengembangan kepada stakeholder terkait dan
publik. Dalam penyusunannya, laporan ini memenuhi prinsip transparan, akurat, konsisten,
komprehensif dan komparabel (TACCC), serta melibatkan Kementerian/Lembaga terkait,
BAPPENAS, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, tim pakar dari akademisi dan
Lembaga Penelitian serta Pemerintah Daerah.
BAB III
PEMBAHASAN

2.1 METODOLOGI INVENTARISASI GAS RUMAH KACA

2.1.1. Kelembagaan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK)

Untuk mengatur pelaksanaan inventarisasi GRK, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan


Peraturan Presiden nomor 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi GRK Nasional.
Peraturan Presiden tersebut memberikan mandat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (LHK) untuk menetapkan pedoman penyelenggaraan inventarisasi GRK,
mengkoordinasikan penyelenggaraan inventarisasi GRK dan melaksanakan monitoring dan
evaluasi terhadap proses dan hasil inventarisasi GRK. Selanjutnya, dalam Peraturan Presiden
Nomor 16 Tahun 2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Pasal
28 disebutkan bahwa Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (Ditjen PPI) mempunyai
tugas untuk menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dibidang pengendalian
perubahan iklim, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria termasuk dibidang
inventarisasi GRK, koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan inventarisasi GRK,
pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi, serta pelaksanaan evaluasi dan pelaporan
penyelenggaraan inventarisasi GRK. Pengaturan lebih lanjut menyangkut tugas pokok dan fungsi
Ditjen PPI dalam inventarisasi GRK diatur didalam Peraturan Menteri LHK No. 18 Tahun 2015
Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Peraturan
Presiden dan Peraturan Menteri LHK sebagaimana disebutkan di atas memandatkan seluruh
sektor dan pemerintah daerah dibawah koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan untuk mengembangkan laporan pelaksanaan Inventarisasi GRK yang dapat
digunakan dalam penyusunan Laporan Inventarisasi GRK di tingkat Nasional dan Internasional
seperti National Communication (komunikasi nasional) dan Biennial Update Report (BUR).
Hasil inventarisasi GRK tersebut juga akan dipergunakan untuk pengembangan kebijakan dan
evaluasi pencapaian aksi mitigasi penurunan emisi GRK. Untuk memfasilitasi proses dan
meningkatkan kualitas inventarisasi GRK, diperlukan kelembagaan yang baik. Kelembagaan
tersebut juga akan berperan penting dalam proses penjaminan dan pengendalian mutu (Quality
Assurance dan Quality Control) (QA/QC) penyelenggaraan inventarisasi GRK. Dalam
pelaksanaannya, kelembagaan inventarisasi GRK Nasional, diatur dalam Peraturan Menteri LHK
Nomor P.73/MenLHK/Setjen/Kum.1/12/2017 tanggal 29 Desember 2017 tentang Pedoman
Penyelenggaraan dan Pelaporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca.

2.1.2. Metodologi Perhitungan Inventarisasi GRK

A. Metodologi Umum

Metodologi yang digunakan pada perhitungan emisi GRK mengacu pada metode yang
ditetapkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change Guidelines dalam IPCC Guidelines
2006. Penerapan metodologi ini telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri LHK Nomor
P.73/MenLHK/Setjen/Kum.1/12/2017 tanggal 29 Desember 2017 tentang Pedoman
Penyelenggaraan dan Pelaporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca. Laporan Inventarisasi Gas
Rumah Kaca dan MPV 2018 8 - Secara garis besar, perhitungan emisi/serapan GRK diperoleh
melalui perkalian data aktifitas dengan faktor emisi, atau dengan persamaan sederhana berikut:

Emisi/Penyerapan GRK = AD x EF

1. Data Aktifitas (AD) Penyelenggara Inventarisasi GRK mengembangkan mekanisme


kelembagaan dalam pengumpulan data aktifitas yang diperlukan pada perhitungan sebagaimana
rumus di atas. Lembaga dan divisi yang ditunjuk pada Kementerian/Lembaga dan Pemerintah
Daerah untuk melakukan pengumpulan data aktivitas mengidentifikasi jenis data dan tahun
ketersediaannya dan lembaga yang memiliki dan menyimpan data tersebut. Pengumpulan dan
pemutakhiran data dilakukan secara kontinyu dengan melibatkan K/L terkait.

2. Faktor Emisi Penyelenggara Inventarisasi GRK melakukan upaya pengumpulan dan


pengembangan faktor emisi lokal melalui kerjasama dengan instansi, lembaga, dan perguruan
tinggi yang melakukan penelitian faktor emisi. Dalam hal faktor emisi lokal belum tersedia,
maka digunakan faktor emisi lokal yang tersedia untuk daerah lain atau faktor emisi nasional
atau regional yang sudah tersedia atau default yang ditetapkan IPCC. Kompilasi faktor emisi dari
berbagai negara dan wilayah dihimpun dalam Basis Data untuk Faktor Emisi (Emission Factor
Database). Pemilihan metodologi Inventarisasi GRK dilakukan menurut tingkat ketelitian (Tier),
semakin tinggi kedalaman metode yang dipergunakan maka hasil perhitungan emisi/serapan
GRK yang dihasilkan semakin rinci dan akurat. Tingkat ketelitian (tier) terdiri dari:

a. Tier 1: metode perhitungan emisi dan serapan menggunakan persamaan dasar (basic
equation), data aktivitas yang digunakan sebagian bersumber dari sumber data global, dan
menggunakan faktor emisi default (nilai faktor emisi yang disediakan dalam IPCC Guideline)

b. Tier 2: metode perhitungan emisi dan serapan menggunakan persamaan yang lebih rinci, data
aktivitas berasal dari sumber data nasional dan/atau daerah, dan menggunakan faktor emisi lokal
yang diperoleh dari hasil pengukuran langsung.

c. Tier 3: metode perhitungan emisi dan serapan menggunakan persamaan yang paling rinci
(dengan pendekatan modeling dan sampling), dengan pendekatan modeling faktor emisi lokal
yang divariasikan dengan keberagaman kondisi yang ada, sehingga emisi dan serapan memiliki
tingkat kesalahan lebih rendah. Untuk estimasi Inventarisasi GRK Nasional tahun 2000-2017
yang menjadi lingkup pada laporan ini menggunakan metode IPCC Guidelines 2006 untuk Tier 1
dan Tier 2. Sedangkan nilai Global Warming Potential (GWP) digunakan untuk mengkonversi
data emisi GRK non-CO2 menjadi karbon dioksida ekuivalen (CO2e), dengan mengikuti Second
Assessment Report (2nd AR of IPCC).

B. Metodologi Sektor Energi

Tingkat emisi GRK yang tercantum dalam inventarisasi sektor energi dihitung
menggunakan Tier 1 metode IPCC 2006 dengan nilai faktor emisi default dan data aktivitas
dalam unit energi (SBM, setara barel minyak) yang dikumpulkan dari Tabel Kesetimbangan
Energi (Energy Balance Table) pada Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia,
yang dipublikasikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM)

C. Metodologi Sektor IPPU

Estimasi nilai emisi GRK untuk sektor proses industri dan penggunaan produk
menggunakan metodologi yang tercantum pada pedoman IPCC 2006. Tier 1 memerlukan data
aktifitas berupa data agregat statistik produksi produk industri, jumlah penggunaan karbon,
pelumas, lilin dan lain-lain secara aktual dalam skala nasional. Pengumpulan data berdasarkan
pada jenis industri yang pada salah satu proses atau keseluruhan proses pembuatan produk
mengemisikan atau berpotensi mengemisikan GRK. Pengembangan menuju Tier 2 sudah
dilakukan untuk industri semen, ammonia dan alumunium. Ketiga industri tersebut sudah
mengembangkan faktor emisi lokal spesifik untuk industri mesin melalui penelitian dan proyek
Clean Mechanism Development (CDM). Adanya pengembangan nilai faktor emisi ini akan
mengakibatkan kualitas perhitungan emisi semakin baik, disamping menurunkan nilai
uncertainty

D. Metodologi Sektor Pertanian

1. Pertanian

Emisi GRK dari sumber agregat dan sumber emisi non-CO2 pada lahan dalam
inventarisasi emisi GRK diperkirakan menggunakan Tier 1 metode IPCC 2006 dengan nilai
faktor emisi default dan metode Tier 2 khusus untuk kategori budidaya padi sawah. Emisi Non-
CO2 dari biomas yang dibakar dibedakan dari pembakaran biomassa pada lahan pertanian
(cropland) dan pembakaran biomassa dari padang rumput (grassland) dan perhitungannya
dilakukan terpisah dengan menggunakan nilai faktor emisi default dari IPCC (Tier 1).

Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan MPV 2018 14 - tanaman karena kapur sangat
sulit didapatkan, sehingga diasumsikan hanya digunakan pada perkebunan besar saja. Emisi CO2
aplikasi pupuk urea dihitung dengan metodologi Tier 1 dengan data aktivitas konsumsi pupuk
urea pertanian. Jumlah pupuk urea yang digunakan dapat dihitung melalui dua pendekatan, yaitu
berdasarkan data konsumsi urea nasional untuk sektor pertanian yang dikeluarkan oleh Asosiasi
Produsen Pupuk Indonesia (APPI) atau berdasarkan luas tanam dan dosis rekomendasi. Pupuk
urea umumnya digunakan dalam budidaya tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan. Dalam
menghitung jumlah pupuk tersebut digunakan beberapa asumsi agar jumlah pupuk urea yang
dihitung sesuai dengan penerapan di lapangan. Emisi N2O dari tanah yang dikelola dihitung dari
emisi langsung (direct N2O) dan tidak langsung (indirect N2O) dengan metodologi Tier 1
menggunakan faktor emisi default dari IPCC. Peningkatan N-tersedia dalam tanah meningkatkan
proses nitrifikasi dan denitrifikasi yang memproduksi N2O. Peningkatan N-tersedia dapat terjadi
melalui penambahan pupuk yang mengandung N atau perubahan penggunaan lahan dan atau
praktek-praktek pengelolaan yang menyebabkan mineralisasi N organik tanah. Emisi CH4 dari
budidaya padi sawah dihitung berdasarkan data aktifitas berupa luas lahan persawahan, jenis
tanah pada lahan persawahan, dan sistem pengairan yang diterapkan. Metodologi yang
digunakan untuk kategori ini sudah termasuk ke dalam Tier 2 karena faktor emisi dan beberapa
parameter yang digunakan sudah dikembangkan sendiri di Indonesia. Parameter lokal yang
digunakan adalah faktor koreksi (correction factor) untuk jenis tanah, faktor skala (scalling
factor) untuk tiap jenis sistem pengairan. Faktor emisi lokal telah dikembangkan untuk setiap
varietas padi di Indonesia. Emisi CH4 dihitung dengan mengalikan faktor emisi harian dengan
lama budidaya padi sawah dan luas panen. Emisi metana dari budidaya padi dihitung dengan
menggunakan faktor emisi yang dirangkum dari nilai-nilai lokal sawah di Indonesia.

Faktor emisi dari sawah Indonesia berkisar antara 0,67-79,86 g CH4/m2/musim dengan
nilai default rata-rata 160.9 kg CH4/ha/musim. Faktor skala tanah dimodifikasi, karena beberapa
penelitian yang dilakukan di Indonesia menemukan bahwa sifat-sifat tanah yang berbeda
diperoleh potensi yang berbeda produksi CH4. Selain itu, faktor skala untuk rezim air dan
varietas padi yang digunakan adalah faktor skala lokal (country specific) seperti disajikan pada
tabbel di bawah ini .
Berdasarkan berbagai data yang varietas yang digunakan oleh petani pada periode 2009- 2011
(sekitar 70% dari total luas tanam padi), diketahui bahwa rata-rata terbobot skala faktor untuk
varietas padi di sawah dengan irigasi terus menerus adalah 0,74. Nilai ini digunakan untuk
memperkirakan emisi dari daerah irigasi dimana tidak ada informasi tentang varietas padi. Untuk
sawah non-irigasi, SF untuk varietas padi akan sama dengan 1,0, karena pengaruh kondisi air
pada pengurangan emisi metana akan jauh lebih dominan dibanding varietas. Dengan demikian
pengaruh perubahan varietas dalam mengurangi emisi tidak akan signifikan di daerah non-
irigasi, sehingga SF yang digunakan adalah 1,0 untuk daerah non-irigasi (Kementerian
Lingkungan Hidup, 2010).
E. Metodologi Sektor Kehutanan

Metodologi yang digunakan untuk menghitung emisi GRK dari sektor kehutanan dan
penggunaan lahan lainnya adalah IPCC Guidelines 2006 (IPCC, 2006) dengan
mengkombinasikan faktor emisi country/site specific dan faktor emisi default IPCC. Persamaan
untuk menghitung perubahan stok karbon pada semua kategori penggunaan lahan adalah sebagai
berikut:

Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan MPV 2018 17 - ΔCAFOLU = ΔCFL +
ΔCCL + ΔCGL + ΔCWL + ΔCSL + ΔCOL Dimana ΔC = perubahan stok karbon; AFOLU =
Agriculture, Forestry and Other Land Use; FL = Forest Land; CL = Crop Land; GL =
Grassland; WL = Wetlands; SL = Settlements; dan OL = Other Land.

Estimasi perubahan stok karbon juga memperhatikan subdivisi dari area lahan (seperti zona
iklim, ecotype, management regime dll.) yang dipilih untuk sebuah kategori penggunaan lahan:
ΔCLU =∑ΔCLui Dimana ΔCLU = perubahan stok karbon untuk sebuah kategori penggunaan
lahan/landuse (LU) seperti dijelaskan pada persamaan diatas; I = denotasi dari stratum spesifik
atau subdivisi dalam kategori penggunaan lahan (dengan kombinasi species, zona iklim, ecotype,
management regime dll.); dan I = 1 ke n. Pada setiap kategori penggunaan lahan, perubahan stok
karbon diestimasi dari 5 (lima) tampungan karbon dengan menjumlahkan perubahan pada semua
tampungan karbon seperti persamaan dibawah:

ΔCLui = ΔCAB + ΔCBB + ΔCDW + ΔCLI + ΔCSO

Dimana ΔCLui = perubahan stok karbon untuk sebuah stratum dari sebuah kategori
penggunaan lahan; AB = above ground biomass; BB = below ground biomass; DW = deadwood;
LI = litter dan SO = soils. Emisi dari dekomposisi lahan gambut dihitung untuk setiap kategori
penggunaan lahan pada lahan gambut dengan mengalikan luas area gambut dengan faktor emisi.
L LU Organic =∑(A•EF) Dimana ΔCLU organic = Emisi CO2 dari dekomposisi gambut dari
suatu kategori penggunaan lahan di lahan gambut; A = Luas area dari suatu kategori penggunaan
lahan; dan EF = Faktor emisi dekomposisi gambut untuk suatu kategori penggunaan lahan. Emisi
dari kebakaran lahan gambut dihitung dengan menggunakan pendekatan yang dibangun oleh
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam menyusun FREL nasional. Persamaan
untuk menghitung emisi dari kebakaran lahan gambut mengikuti IPCC Wetlands Supplement
2013 (IPCC, 2013):

L fire = A x MB x CF X G ef

Dimana Lfire = emisi dari kebakaran lahan gambut; A = Luas area gambut yang terbakar;
MB = Massa bahan bakar yang tersedia untuk pembakaran; CF = Faktor pembakaran (nilai
default = 1.0); dan Gef = Faktor emisi. Pada periode 2000 – 2014 luasan area gambut yang
terbakar diestimasi berdasarkan data hotspot MODIS dengan tingkat kepercayaan (confidence
level) lebih dari 80%yang di overlay dengan peta raster dengan 1 × 1 km grid (ukuran pixel).
Hotspot yang berada dalam pixel mewakili daerah yang terbakar sekitar 76,9% dari grid 1 × 1
km (yaitu 7.690 ha). Hal ini berlaku untuk semua pixel terlepas dari jumlah hotspot yang ada
didalam pixel tersebut (KLHK, 2016). Sejak tahun 2015 luasan area yang terbakar ditentukan
dengan metode visual, dimana luasan area terbakar diestimasi berdasarkan data hotspot MODIS,
hotspot NOAA, data spasial laporan penanggulangan kebakaran, dan digitasi secara manual
visual pada citra landsat 8. Massa bahan bakar yang tersedia untuk pembakaran (MB)
diperkirakan dari perkalian rata-rata kedalaman gambut terbakar (D) dan bulk density (BD)
dengan mengasumsikan bahwa gambut yang terbakar rata-rata pada kedalaman 0,33 m (Ballhorn
et.al, 2009) dan bulk density adalah 0.153 ton/m3 (Mulyani et.al., 2012). Faktor emisi (Gef)
dihitung secara tidak langsung dari kandungan karbon organic (Corg), atau setara Corgx 3,67.
Sehingga total emisi dari kebakaran lahan gambut dihitung dari perkalian luasan area terbakar
sebesar 923.1 Ton CO2e/Ha. Kebakaran biomassa selain mengemisi gas CO2 juga mengemisi
gas NO2 dan CH4, untuk perhitungan emisi gas non CO2 juga mengikuti IPCC GL Equation
2.27 yaitu Lfire = A*MB*Cf*Gef*10-3

F. Metodologi Sektor Limbah Tingkat emisi GRK

Di sektor limbah bergantung pada jumlah sampah yang diolah, karakteristik dan tipe
pengolahannya. Emisi GRK yang dihitung juga bergantung pada metode penghitungannya.
Dalam laporan ini, sudah dilakukan perbaikan untuk mengestimasi emisi GRK dari pengelolaan
sampah di TPA yaitu dengan menggunakan metode FOD (First Order Decay) yang merupakan
perbaikan dari metode mass balance yang digunakan pada pelaporan SNC. Selain itu nilai
parameter lokal untuk komposisi sampah dan kandungan bahan kering (dry matter content) juga
telah digunakan dalam estimasi penghitungan emisi menggunakan metode FOD. Perbaikan juga
telah dilakukan untuk estimasi emisi GRK dari limbah cair industri, untuk beberapa jenis industri
sudah menggunakan parameter yang didapatkan dari industri secara langsung seperti debit air
limbah, COD dan tipe pengolahan limbah yang digunakan.

1. Sektor Energi

a. Sektor Energi Metodologi perhitungan untuk sektor energi yang dikembangkan oleh
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah mengikuti petunjuk dari Pedoman Umum
PEP, serta beberapa aksi mitigasi telah menggunakan metodologi dari UNFCCC. Direktorat
Konservasi, Ditjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) telah
mempublikasi buku metodologi penghitungan capaian reduksi emisi GRK untuk aksi mitigasi
yang dilaksanakan oleh Ditjen EBTKE. Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan MPV 2018
22 –

b. Sub-sektor Transportasi Perhitungan Penurunan Emisi GRK menggunakan proyeksi jumlah


populasi kendaraan BaU, asumsi % penurunan berdasarkan pengalaman data di luar negeri dan
penyesuaian kondisi di Indonesia, dsb. Dengan menggunakan parameter meliputi tingkat
pengurangan emisi, wilayah pengaruh (urban/ non urban/ nasional), jenis kendaraan yang
terpengaruh (mobil, motor, bus, truk), tahun evaluasi. Untuk metodologi perhitungan sektor
transportasi digunakan oleh Kementerian Perhubungan pada aksi mitigasi transportasi darat
khususnya untuk aksi mitigasi pembangunan ITS, reformasi sistem transit-BRT dan penerapan
pengendalian dampak lalu lintas (TIC) pada awalnya sudah berpedoman pada Petunjuk Teknis
Pengukuran, Evaluasi dan Pelaporan (PEP) Pelaksanaan RAD GRK kelompok bidang energi
yang diterbitkan Bappenas. Pada aksi mitigasi subsektor transportasi darat lainnya yaitu
pembangunan Non Motorized Transport (NMT) mengembangkan metode sendiri. Dalam
perkembangannya karena data aktivitas dari daerah belum terkomunikasikan dengan baik, maka
dilakukan perhitungan secara agregasi nasional (bukan local-based). Hal ini menyebabkan
beberapa parameter dilakukan rata-rata secara nasional. Untuk aksi mitigasi perkereta-apian,
Kementerian Perhubungan telah mengembangkan metode tersendiri. Metode tersebut ditetapkan
oleh Ditjen Perkereta-apian tahun 2011. Ada kajian yang mendukung perhitungan tersebut,
namun menggunakan market share pengalihan moda dari kendaraan pribadi ke kereta api yang
maksimal yaitu hampir 90%. Sedangkan untuk aksi mitigasi yang tercakup dalam subsektor
transportasi udara, Kementerian Perhubungan mengacu pada metodologi ICAO. Sejak tahun
2013, Ditjen Perhubungan Udara menghitung reduksi emisi dengan didampingi ICAO. Aksi
mitigasi emisi GRK yang dilakukan sub sektor transportasi laut perhitungan mengikuti metode
yang dikembangkan USEPA-ITF.

c. Sub-sektor Energi

di Industri Metodologi penghitungan emisi GRK, termasuk pengkategorian data aktivitas serta
faktor emisi yang digunakan mengacu pada World Business Council for Sustainable
Development (WBCSD) CSI Protokol CO2 and Energy versi 3 yang kompatibel dengan IPCC
2006 Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories yang telah diakui di tingkat nasional
maupun internasional (UNFCCC).

2.Sektor IPPU

Kementerian Perindustrian telah mengeluarkan Petunjuk Teknis Perhitungan dan Pelaporan


emisi CO2 di industri semen, yang mengacu kepada mengacu pada World Business Council for
Sustainable Development (WBCSD) CSI Protokol CO2 and Energy versi 3 yang kompatibel
dengan IPCC 2006 Guidelines for National Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan MPV
2018 23 - Greenhouse Gas Inventories yang telah diakui di tingkat nasional maupun
internasional (UNFCCC).

3.Sektor Pertanian

Verifikasi sektor pertanian dilakukan terhadap aksi/kegiatan mitigasi penurunan emisi GRK yang
dilakukan oleh Penanggung Jawab Aksi (Kementerian Pertanian). Aksi/kegiatan mitigasi yang
diverifikasi meliputi kegiatan:

(1) Budidaya Padi Sawah (SLPTT, SRI, Varietas Rendah Emisi),

(2) UPPO (Unit Penggunaan Pupuk Organik)

(3) Batamas (Biogas Ternak Asal Masyarakat). Perhitungan capaian penurunan emisi
GRK sektor kehutanan mengacu pada metode IPCC 2006 melalui pendekatan
penghitungan emisi baseline (emisi sebelum dilakukan aksi/kegiatan mitigasi) dikurangi
dengan emisi aktualnya (emisi setelah dilakukan aksi/kegiatan mitigasi).
(4)Sektor Kehutanan Verifikasi sektor kehutanan dilakukan terhadap aksi/kegiatan
mitigasi penurunan emisi GRK yang dilakukan oleh Penanggung Jawab Aksi (Ditjen
teknis lingkup KLHK dan BRG).

Aksi/kegiatan mitigasi yang diverifikasi meliputi kegiatan:

(1) penurunan deforestasi,

(2) peningkatan penerapan prinsip pengelolaan hutan berkelanjutan, baik di hutan alam
(penurunan degradasi hutan) maupun di hutan tanaman,

(3) rehabilitasi lahan terdegradasi,

(4) restorasi lahan gambut, dan

(5) pengendalian peat fire (kebakaran gambut).

Perhitungan capaian penurunan emisi GRK sektor kehutanan mengacu pada metode IPCC
2006 melalui pendekatan penghitungan emisi baseline (emisi sebelum dilakukan aksi/kegiatan
mitigasi) dikurangi dengan emisi aktualnya (emisi setelah dilakukan aksi/kegiatan mitigasi).

A. Metodologi Sektor Pertanian

1. Budidaya Padi Sawah (SLPTT, SRI, Varietas Rendah Emisi) Data aktivitas yang digunakan
dalam kegiatan budidaya padi sawah adalah:

 Luas panen

 Varietas dan umur budidaya padi

 Pengelolaan air selama budidaya padi sawah

 Jenis dan jumlah bahan organik yang dikembalikan ke lahan sawah

 Jenis tanah Emisi metane dihitung dengan rumus sebagai berikut:

CH4 rice = A x t x (Efc x SFw x Sfo x SFr x SFs) x 10 -6


Dimana: CH4 rice : Emisi metane dari budidaya padi sawah A : Luas panen padi sawah T : Lama
budidaya padi sawah untuk kondisi, hari Efc : Faktor emisi baseline untuk padi sawah dengan
penggenangan terus menerus dan tanpa pengembalian bahan organik SFw : Faktor skala yang
menjelaskan pengelolaan air selama periode budi daya Sfo : Faktor skala yang menjelaskan jneis
dan jumlah pengembalian bahan organik yang diterapkan pada periode budidaya padi sawah
SFr : Faktor skala varietas padi sawah SFs : Faktor skala jenis tanah. 2. UPPO (Unit Penggunaan
Pupuk Organik) Aksi mitigasi UPPO dihitung dengan mengaplikasikan pupuk organik dan
pupuk subsidi dengan asumsi pemupukan dilakukan sebesar 5 ton pupuk organik dan pupuk
subsidi setiap Ha lahan. Besarnya penurunuan emisi dari aksi mitigasi dilakukan dengan rumus:
C tanah = A X SOC x F LU X F mg x F1. C tanah : Jumlah penambahan carbon dalam tanah
A : Luas lahan dengan penambahan pupuk SOC Ref : Karbon tanah sebesar 47 ton C/Ha F LU :
faktor untuk long term management cultivated sebesar 0.48 F mg : Skala full tillage sebesar 1 F1.
: High with manure sebesar 1,44 Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan MPV 2018 30 -
Penurunan emisi dihitung dengan menghitung perbedaan antara aksi mitigasi dengan baseline
dibagi 20 tahun. Selanjutnya dilakukan konversi satuan menjadi Juta Ton CO2e dengan
menggunakan Global Warming Potential yang hasil akhirnya berupa CO2e. Data aktivitas yang
diperlukan untuk menghitung emisi dari aplikasi pupuk organik adalah:

 Jumlah pupuk urea yang digunakan sebelum aksi (baseline) dan sesudah aksi mitagasi dalam
ton  Jumlah pupuk organik yang digunakan, dalam ton

 Dosis pupuk urea dan pupuk organik, dalam ton/ha. 3.

Batamas (Biogas Ternak Asal Masyarakat) Verifikasi terhadap aksi mitigasi Batamas dilakukan
dengan menghitung emisi metane dari pemanfaatan kotoran ternak untuk menghasilkan biogas
dengan mengalikan jumlah kotoran ternak dengan faktor emisi dengan rumus: CH4 ternak = P
ternak x % pembuangan x FE ternak. Dimana: CH4 ternak : Emisi GRK dari kotoran ternak kg
CH4/tahun P ternak : Populasi ternak % pembuangan : Persentase populasi ternak yang
kotorannya dimanfaatkan untuk menghasilkan biogas dalam kegiatan mitigasi (%) FE ternak :
Faktor emisi CH4 kotoran ternak (kg CH4/ekor/tahun)
B. Metodologi Sektor Kehutanan

1. Penurunan deforestasi Verifikasi capaian penurunan emisi dari kegiatan penurunan


deforestasi dilakukan melalui pendekatan penghitungan dengan cara pengurangan tingkat
rujukan emisi hutan (TREH/FREL) dari deforestasi dengan emisi aktual dari deforestasi yang
terjadi pada tahun berjalan.

2. Peningkatan penerapan prinsip pengelolaan hutan berkelanjutan, baik di hutan alam


(penurunan degradasi hutan) maupun di hutan tanaman. Verifikasi capaian penurunan emisi dari
kegiatan peningkatan penerapan prinsip pengelolaan hutan berkelanjutan dilakukan melalui
pendekatan penghitungan dengan cara pengurangan tingkat rujukan emisi hutan (TREH/FREL)
dari degradasi hutan dengan emisi aktual dari degradasi hutan yang terjadi pada tahun berjalan.
Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan MPV 2018 31 –

3. Rehabilitasi lahan terdegradasi Verifikasi capaian penurunan emisi dari kegiatan


rehabilitasi lahan terdegradasi dilakukan melalui pendekatan penghitungan dengan cara
pengurangan emisi dari tutupan lahan nonhutan yang menjadi hutan dengan emisi aktual dari
tutupan lahan berupa hutan yang berasal dari non hutan pada tahun berjalan.

4. Restorasi lahan gambut Verifikasi capaian penurunan emisi dari kegiatan restorasi lahan
gambut dilakukan melalui pendekatan penghitungan dengan cara pengurangan tingkat rujukan
emisi hutan (TREH/FREL) dari dekomposisi gambut (peat decomposition) dengan emisi aktual
dari dekomposisi gambut (peat decomposition) pada tahun berjalan.

5. Pengendalian peat fire (kebakaran gambut) Verifikasi capaian penurunan emisi dari
kegiatan pengendalian peat fire (kebakaran gambut) dilakukan melalui pendekatan penghitungan
emisi baseline dari peat fire (kebakaran gambut) dengan emisi aktual dari dari peat fire
(kebakaran gambut) pada tahun berjalan.
BAB IV
PENUTUP

KESIMPULAN

Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca, Monitoring, Pelaporan dan Verifikasi ini memuat
profil emisi, hasil inventarisasi, capaian penurunan emisi, capaian komitmen target NDC
Indonesia, serta rencana perbaikan dan pengembangan inventarisasi GRK dan MRV, yang
disusun bersama dengan Kementerian/Lembaga terkait selaku penanggung jawab sektor,
Kementerian Perekonomian, dan BAPPENAS. Hasil analisis menunjukkan bahwa emisi GRK
tahun 2017 adalah sebesar 1.151 Juta ton CO2e dan kontribusi penurunan emisi secara nasional
pada tahun 2017 terhadap target yang ditetapkan dalam NDC tahun 2030 adalah sebesar 24,7%
dari target penurunan emisi sebesar 834 Juta Ton CO2e atau 29% dari BAU. Laporan ini
diharapkan dapat dipergunakan sebagai sumber informasi tentang pencapaian target dari
komitmen NDC, sebagai kontrol terhadap progress capaian NDC, serta monitoring dan evaluasi
progres implementasi NDC menuju pencapaian komitmen target penurunan emisi di tingkat
nasional maupun global.

SARAN

Saran Berdasarkan dari proses penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa hal yang
dapat dijadikan perbaikan pada penelitian ini adalah :
1. Perlu dilakukan analisis pada sumber untuk mengetahui potensi reduksi Pada sector
pertanian yang lebih representatif.

2. Perlu dipertimbangkan terkait emisi gas rumah kaca (GRK) selain karbon dioksida
(CO2) yang memberikan dampak terhadap lingkungan, meliputi CH4 dan NO2.

DAFTAR PUSTAKA

BAPPENAS. (2010). Policy scenarios of reducing carbon emission from Indonesia’s

peatland. National Development Planning Agency. UK-Aid and British Council.

Jakarta.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2016). Indonesia Third National

Communication Under the United Nations Framework Convention on Climate Change

(UNFCCC). Jakarta

Kementerian Lingkungan Hidup (2012). Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas

Rumah Kaca Nasional Buku II Volume 3 Pertanian, Kehutanan dan Penggunaan

Lahan Lainnya.

Krisnawati, H., Adinugroho, W.C., Imanuddin, R. and Hutabarat, S. (2014). Estimation of

Forest Biomass for Quantifying CO2 Emissions in Central Kalimantan: a comprehensive


approach in determining forest carbon emission factors. Research and Development Center
for Conservation and Rehabilitation, Forestry Research and Development Agency, Bogor.

Kementerian Pertanian (2014). Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan Pelaksanaan Rencana Aksi
Nasional (RAN) Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Sektor Pertanian.

Anda mungkin juga menyukai