Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

Kajian Penyempurnaan Potensi Ruang


Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka
Biru (RTB) Peraturan Gubernur Nomor 31
Tahun 2022

Budi Siswanto
budisiswanto@gmail.com
LAPORAN PENDAHULUAN

Kajian Penyempurnaan Potensi Ruang Terbuka


Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Biru (RTB)
Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2022

Disusun Oleh : Budi Siswanto S.T.,M.T.

November 2023

1
DAFTAR ISI

1. PENDAHULUAN .............................................................................................................................. 3
a. Maksud ........................................................................................................................................... 4
b. Tujuan dan Sasaran ......................................................................................................................... 4
c. Lingkup Kegiatan............................................................................................................................ 4
d. Keluaran .......................................................................................................................................... 4
2. METODOLOGI .................................................................................................................................. 4
a. Metodologi Analisis Temperatur Permukaan .................................................................................. 4
b. Metodologi Analisis Banjir ............................................................................................................. 7
3. TINJAUAN TEORI DAN PRESEDEN .............................................................................................. 9
a. Teori dan Preseden tentang Temperatur Permukaan ........................................................................ 9
b. Teori dan Preseden tentang Banjir ................................................................................................. 10
4. KESIMPULAN TEORI DAN PRESEDEN ...................................................................................... 13
5. ANALISIS SPASIAL DAMPAK PERUBAHAN IKLIM ................................................................. 13
a. Pengolahan Data dan Analisis Temperatur Permukaan ................................................................. 14
b. Pengolahan Data Analisis Banjir ................................................................................................... 15
6. ANALISIS SPASIAL POTENSI RTH-RTB ..................................................................................... 15
a. Analisis Spasial RTH dari data tutupan lahan ............................................................................... 17
b. Analisis Spasial RTB dari data tutupan lahan................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................ 19

2
1. PENDAHULUAN

Berdasarkan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 14 Tahun 2022 tentang Penyediaan dan
Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau, luas RTH paling sedikit 30% dari luas wilayah kota atau
kawasan perkotaan. Terdiri dari RTH publik paling sedikit 20% dan RTH privat paling sedikit
10%. Hal ini dikarenakan RTH merupakan salah satu elemen penting pembentuk kota, tidak hanya
sebatas pembentuk citra dan estetika kota tetapi memiliki peran yang lebih penting yaitu sebagai
ruang yang menjaga kelestarian lingkungan alami dan ketersediaan lahan kawasan resapan air
perkotaan. Selain itu, ketersediaan RTH memberikan berbagai manfaat dalam berbagai aspek
fungsi, seperti fungsi ekologis, resapan air, ekonomi, sosial budaya, estetika, dan penanggulangan
bencana, yang mana secara ideal semua fungsi ini terpenuhi dalam suatu wilayah kota atau
kawasan perkotaan.
Sebagaimana tercantum pada Pergub Nomor 31 Tahun 2022 tentang RDTR WP Provinsi DKI
Jakarta, RTH pada Provinsi DKI Jakarta hanya mencapai angka 7.56%, yang mana masih jauh
dibawah angka minimal luasan RTH, yaitu 30%. Angka ini harus ditingkatkan untuk pemenuhan
minimal luasan serta peningkatan kualitas RTH berdasarkan IHBI, yang mana IHBI adalah metode
perhitungan RTH dengan menilai kualitas ruang berdasarkan fungsi ekologis dan sosial. Oleh
karena itu, kegiatan Penyusunan Kebijakan Penataan Ruang dan Pertanahan ini dapat menjadi
impuls awal dalam upaya peningkatan angka luasan RTH di Provinsi DKI Jakarta dengan
menciptakan RTH yang ideal.
Kegiatan Kajian Penyempurnaan Potensi Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Biru
(RTB) akan memiliki luaran yang berupa kajian dan pemetaan terkait potensi RTH dan RTB yang
ideal dalam upaya mitigasi bencana banjir dan dampak perubahan iklim di DKI Jakarta. RTH yang
ideal umumnya memiliki beberapa karakteristik utama, yaitu keberlanjutan secara ekologis,
aksesibilitas yang mudah, dan keragaman fungsi. Bencana banjir dan perubahan iklim di Jakarta
bukanlah masalah yang baru, yang mana disebabkan oleh kurangnya daerah resapan air dan polusi
udara sehingga diperlukan tindakan mitigasi agar tidak memburuk. Kajian penyempurnaan potensi
ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka biru (RTB) yang ideal dalam upaya mitigasi bencana
banjir dan dampak perubahan iklim di DKI Jakarta ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi
pemerintah dan swasta dalam peningkatan kualitas dan pembuatan RTH di Provinsi DKI Jakarta.
Hal ini bersifat urgen dikarenakan kawasan perkotaan DKI Jakarta berperan sebagai kota global
yang mana terdapat banyak kawasan industri dan aktivitas-aktivitasnya, yang mana menghasilkan
banyak polusi udara sehingga dibutuhkannya fungsi ekologis RTH. Selain itu, rencana pemerintah
dalam pemindahan IKN (Ibu Kota Negara) dari Jakarta ke Kabupaten Kutai Kartanegara dan
Kabupaten Penajam Paser Utara di Kalimantan Timur, yang mana berpotensi menjadi peluang bagi
Provinsi DKI Jakarta untuk mengalihkan fokus ke penghijauan kota dan pembangunan kota
berkelanjutan, salah satu caranya dengan meningkatkan kualitas RTH dan membuat RTH di
Provinsi DKI Jakarta.

3
a. Maksud
Maksud dari kegiatan ini adalah terlaksananya kegiatan kajian penyempurnaan materi
potensi Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Biru (RTB) Peraturan Gubernur
Nomor 31 Tahun 2022 tentang Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Perencanaan (RDTR
WP) Provinsi DKI Jakarta.

b. Tujuan dan Sasaran


Tujuan dari kegiatan ini adalah tersusunnya dokumen kajian penyempurnaan materi
potensi Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Biru (RTB) Peraturan Gubernur
Nomor 31 Tahun 2022 tentang Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Perencanaan (RDTR
WP) Provinsi DKI Jakarta. Adapun sasaran kegiatan adalah tersedianya kajian dan
pemetaan terkait potensi RTH dan RTB ideal dalam upaya mitigasi bencana banjir dan
dampak perubahan iklim.
c. Lingkup Kegiatan
1. Identifikasi dan analisis terhadap potensi dan permasalahan RTH dan RTB eksisting di
Provinsi DKI Jakarta. 2. Identifikasi kriteria dan indikator daerah potensi RTH dan RTB.
3. Melakukan analisis spasial terhadap daerah potensi RTH dan RTB. 4. Penyusunan
dokumen materi kajian terkait potensi RTH dan RTB yang ideal dalam upaya mitigasi
bencana banjir dan dampak perubahan iklim di DKI Jakarta. 5. Penyusunan pemetaan
potensi RTH dan RTB di DKI Jakarta

d. Keluaran
Hasil/Produk yang akan dihasilkan dari kegiatan ini adalah dokumen materi kajian terkait
potensi RTH dan RTB yang ideal dalam upaya mitigasi bencana banjir dan dampak
perubahan iklim di DKI Jakarta dan peta potensi RTH dan RTB di DKI Jakarta.

2. METODOLOGI
a. Metodologi Analisis Temperatur Permukaan

Suhu permukaan tanah atau Land Surface Temperature (LST) merupakan salah satu unsur
iklim yang penting dalam neraca energi. Sehingga apabila terjadi perubahan variasi suhu
permukaan maka akan berpotensi mengubah unsur-unsur iklim yang lainnya. Peningkatan
suhu permukaan dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung akibat kegiatan
manusia. Peningkatan jumlah penduduk akan diiringi dengan banyaknya proses
pembangunan. Dalam proses pembangunan ini lahan vegetasi akan diubah menjadi lahan
non-vegetasi, yang digunakan sebagai tempat tinggal dan tempat berkegiatan manusia.
Akibat dari semakin sedikitnya lahan non-vegetasi, maka suhu permukaan menjadi
meningkat karena tidak ada vegetasi yang menyerap panas. Selain itu, dengan banyaknya
pabrik yang dibangun dan banyaknya penggunaan kendaraan bermotor mengakibatkan
kadar CO2 semakin banyak di atmosfer dan suhu permukaan pun menjadi ikut meningkat.

4
Distribusi LST perlu diketahui pada suatu wilayah, agar dapat diketahui daerah mana saja
yang mengalami kenaikan suhu permukaan dan selanjutnya dapat digunakan dalam proses
perencanaan penggunaan dan pemanfaatan lahan. Distribusi LST ini dapat dilakukan
menggunakan metode penginderaan jauh dengan memanfaatkan data citra satelit, seperti
Landsat, NOAA, dan MODIS.

Land Surface Temperature (LST) adalah suhu pada permukaan bumi yang merupakan
hasil pantulan objek yang terekam oleh citra satelit pada waktu tertentu. LST dapat
didefinisikan juga sebagai suhu permukaan rata – rata yang digambarkan dalam cakupan
suatu piksel dengan berbagai tipe permukaan yang berbeda. Besarnya nilai LST
dipengaruhi oleh panjang gelombang. Panjang gelombang yang paling sensitif terhadap
suhu permukaan adalah inframerah thermal. Namun, pada dasarnya setiap panjang
gelombang akan sensitif terhadap respon perubahan suhu yang mempengaruhi nilai pantul
objek. Untuk dapat mengetahui informasi LST, dilakukan proses identifikasi suhu
permukaan tanah dengan memanfaatkan gelombang thermal yang terdapat pada citra
satelit.

Gambar 1. Diagram alir perhitungan LST

5
Data yang diperlukan dalam proses pengidentifikasian LST menggunakan citra satelit
Landsat yaitu Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), citra Landsat 8 band 10,
dan citra Landsat 8 band 11. Proses pengidentifikasian dilakukan dengan mengubah nilai
digital ke nilai radian. Kemudian nilai radian yang telah didapatkan diubah menjadi satuan
temperatur agar dapat mengetahui besarnya suhu secara pasti.

Tahapan pengolahan data citra Landsat untuk mendapatkan peta LST adalah sebagai berikut :
1. Cropping citra. Pemotongan citra dilakukan untuk mendapatkan daerah penelitian dengan
tujuan untuk melakukan pengolahan data yang lebih focus.

2. Perhitungan normalized difference vegetation index (NDVI). Dalam perhitungan NDVI


untuk menghitung tingkat kehijauan menggunakan band 4 dan band 5 dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut :

Dimana NIR adalah band near-infrared (band 5 pada Landsat 9) dan RED adalah band red
(band 4 pada Landsat 9).

3. Koreksi radiometrik. Koreksi ini diperlukan atas dasar dua alasan, yaitu untuk
memperbaiki kualitas visual citra dan memperbaiki nilai-nilai piksel yang tidak sesuai
dengan nilai pantulan atau pancaran spektral objek. Untuk mengkonversi dari citra mentah
atau digital number ke top of atmosphere (TOA) spectral radiance menggunakan radiance
rescaling factors dalam file metadata Landsat 9 dengan menggunakan persamaan :

Dimana L𝛌 adalah TOA spectral radiance (Watts/m2 .srad.μm), Qcal adalah nilai piksel citra
satelit, ML adalah radiance_mult_band_x, dimana x adalah nomor band, dan A L adalah
radiance_add_band_x, dimana x adalah nomor band.

4. Temperature brightness (Tb). Dalam mengkonversi nilai spectral radiance ke temperature


brightness digunakan persamaan berikut :

Dimana Tb adalah temperature brightness (K), K1 adalah konstanta termal band 10 atau
band 11 (ada di metadata), K2 adalah konstanta termal band 10 atau band 11 (ada di
metadata) dan L𝛌 adalah spectral radiance pada band ke-i (Wm2 .sr.μm).

6
5. Perhitungan fractional vegetation cover (FVC). Nilai FVC berguna untuk mengetahui
kerapatan vegetasi dan dapat diestimasi menggunakan nilai NDVI. Persamaan untuk
menentukan nilai FVC adalah sebagai berikut :

Dimana FVC adalah fraction vegetation cover, NDVI adalah nilai NDVI yang sebelumnya
telah diperoleh, NDVIsoil adalah nilai NDVI untuk tanah= 0,2 dan NDVIveg adalah nilai
NDVI untuk vegetasi sama dengan nilai terbesar NDVI.

6. Perhitungan Land Surface Emissivity (LSE). Perhitungan ini bertujuan untuk mengurangi
kesalahan estimasi temperatur permukaan dan menggambarkan kemampuan objek,
menggambarkan energi dengan menggunakan band 10 dan band 11. Ada pun persamaan
untuk menentukan nilai LSE adalah sebagai berikut :

Dimana LSE adalah land surface emissivity, FVC adalah nilai FVC yang sebelumnya
diperoleh, ɛs adalah emisivitas tanah band 10 dan band 11, nilainya disajikan pada Tabel 1
dan ɛv adalah emisivitas vegetasi band 10 dan band 11, nilainya disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1

7. Perhitungan LST
Setelah mendapatkan nilai emisivitas maka selanjutnya adalah menghitung nilai Land
Surface Temperature (LST) dari Bright Temperature Band 10 dan Bright Temperature Band
11 menggunakan persamaan:

b. Metodologi Analisis Banjir


Bahaya banjir dibuat berdasarkan data daerah rawan banjir dengan memperhitungkan kedalaman
genangan sesuai Perka No. 2 BNPB Tahun 2012. Daerah rawan banjir dibuat dengan menggunakan
data raster DEM berdasarkan metode yang dikembangkan oleh Manfreda et al (2009) melalui
indeks topografi modifikasi dengan persamaan:
7
Dimana TIm adalah indeks topografi modifikasi, ad adalah daerah aliran per satuan panjang kontur
(atau nilai akumulasi aliran berdasarkan analisis data DEM; nilai bergantung pada resolusi DEM),
tan (β) adalah lereng (berdasarkan analisis data DEM), dan n merupakan nilai eksponensial. Nilai
n dihitung dengan formula n = 0.016x0.46 , dimana x adalah resolusi DEM.

Gambar 2. Diagram alir proses penentuan indeska bahaya banjir


Setelah dihasilkan peta indeks topografi, daerah rawan banjir dapat diidentifikasi melalui
penggunaan nilai ambang batas (τ) dimana daerah rawan banjir adalah jika nilai indeks topografi
lebih besar dari nilai ambang batas (TIm > τ ). Adapun nilai dari τ, yaitu τ = 10.89n + 2.282. Indeks

8
bahaya banjir diestimasi berdasarkan kemiringan lereng dan jarak dari sungai pada daerah rawan
banjir tersebut dengan metode fuzzy logic.

3. TINJAUAN TEORI DAN PRESEDEN

a. Teori dan Preseden tentang Temperatur Permukaan

Dewasa ini, perubahan iklim dunia terus menjadi perbincangan di kalangan publik dunia.
Perubahan iklim ini berpengaruh terhadap perubahan pola musim dan cuaca, mencairnya
es di kutub, dan naiknya permukaan air laut. Perubahan iklim ini disebabkan karena
terjadinya peristiwa pemanasan global, yang berarti bumi mengalami kenaikan suhu dari
waktu ke waktu. Hal ini terlihat dari data Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC), pengingkatan suhu bumi saat ini sekitar 0,6 oC dibandingkan pada tahun
1750.
Satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah· bahwa pada abad 20, temperatur rata-rata
bumi naik O,4-O,8°C. Kenaikan ini diduga akan terus berlangsung, dan pada tahun 2100
temperatur rata-rata Flobal akan menjadi 1,4-5,8°C lebih hangat. Salah satu antisipasi
terhadap efek pemanasan global tersebut adalah pada naiknya kemungkinan frekuensi dan
intensitas kejadian cuaca ekstrem, seperti badai, banjir, dan kekeringan. (Harmoni, 2005)

Temperatur rata-rata global ini diproyeksikan akan terus meningkat sekitar 1.8-4.0oC di
abad sekarang ini, dan bahkan menurut kajian lain dalam IPCC diproyeksikan berkisar
antara 1.1- 6.4oC.

Gambar 3. Perubahan temperatur di Indonesia untuk tahun 1950 – 2100 (Susandi, 2004)
Perubahan temperatur atmosfer menyebabkan kondisi fisis atmosfer kian tak stabil dan
menimbulkan terjadinya anomali-anomali terhadap parameter cuaca yang berlangsung
lama. Dalam jangka panjang anomali-anomali parameter cuaca tersebut akan
menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Dampak-dampak yang ditimbulkan oleh
perubahan iklim tersebut diantaranya adalah :
1. Peningkatan temperatur akan mengakibatkan kebakaran hutan

9
2. Kenaikan muka laut menyebabkan banjir permanen dan kerusakan infrastruktur di
daerah pantai
3. Semakin banyak penyakit (Tifus, Malaria, Demam, dll.)
4. Meningkatnya frekuensi bencana alam/cuaca ekstrim (tanah longsor, banjir,
kekeringan, badai tropis, dll.)
5. Mengancam ketersediaan air
6. Mengakibatkan pergeseran musim dan perubahan pola hujan
7. Menurunkan produktivitas pertanian
8. Mengancam biodiversitas dan keanekaragaman hayati
Terdapat dua dampak yang menjadi isu utama berkenaan dengan perubahan iklim, yaitu
fluktuasi curah hujan yang tinggi dan kenaikan muka laut yang menyebabkan tergenangnya
air di wilayah daratan dekat pantai. Dampak lain yang diakibatkan oleh naiknya muka laut
adalah erosi pantai, berkurangnya salinitas air laut, menurunnya kualitas air permukaan,
dan meningkatnya resiko banjir.

b. Teori dan Preseden tentang Banjir

Analisis banjir melalui data citra satelit Sentinel

Gambar 4. Peta hasil monitoring kejadian banjir menggunakan Sentinel

10
Gambar xx Titik-titik genangan air dalam banjir Jakarta dan sekitarnya pada 2 Januari 2020
TU di wilayah DKI Jakarta, Kota Bekasi, Kab. Bekasi (sebagian besar), Kab. Tangerang
(sebagian), Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kota Depok dan Kab. Bogor
(sebagian) berdasarkan analisis citra radar Sentinel-1. Sumber: EOS & ARIA, 2020.

InSAR ARIA
Pada 2 Januari 2020 TU siang, manakala banjir di Jakarta dan sekitarnya masih hebat-
hebatnya, satelit Sentinel-1 melintas di langit. Satelit milik badan antariksa negara-negara
Eropa / ESA (European Space Agency) itu bergerak dari utara menuju ke selatan. Langit
Jakarta dan sekitarnya saat itu sepenuhnya tertutupi awan. Namun satelit ini bekerja dalam
segala cuaca dan kondisi siang malam tanpa terganggu seiring pemanfaatan gelombang
radar, sehingga mampu menembus pekatnya awan dan mencitra apa yang ada di
permukaan tanah. Terdiri atas sepasang satelit yang identik (Sentinel-1A dan Sentinel-1B)
yang menempati bidang orbit tersinkron Matahari yang sama, satelit Sentinel-1 selalu
melintas di atas tempat yang sama setiap 12 hari sekali.
Sifat orbit satelit Sentinel-1 dan gelombang radarnya memungkinkan para cendekiawan
Earth Observatory of Singapore (EOS) di Nanyang Technological University (NTU)
Singapura bekerja sama dengan tim ARIA (advanced rapid imaging and analysis) untuk
menguak apa yang terjadi pada daratan Jakarta dan sekitarnya saat banjir melanda. ARIA
adalah kolaborasi antara Jet Propulsion Laboratory NASA dengan California Institute of
Technology. Tim EOS dan ARIA memanfaatkan teknik InSAR (interferometry synthetic
apperture radar)
Sederhananya, teknik InSAR mencoba membandingkan dua citra radar pada daerah yang
sama yang diambil pada dua kesempatan berbeda. Sehingga perubahan yang terjadi pada
daratan di daerah tersebut dalam skala besar, baik yang bersifat temporer maupun
permanen, dapat dikuak. Teknik InSAR umum digunakan untuk mengevaluasi terjadinya
deformasi daratan dalam peristiwa gempa bumi tektonik, atau letusan gunung berapi,
maupun penurunan daratan (subsidence) akibat eksploitasi air bawahtanah yang
berlebihan. Namun belakangan juga berkembang penggunaan teknik ini untuk memonitor
bencana banjir.

Dalam menganalisis banjir Jakarta dan sekitarnya, tim EOS dan ARIA memanfaatkan dua
citra radar Sentinel-1. Masing-masing citra 21 Desember 2019 TU yang ditetapkan sebagai
citra pra-banjir dan citra 2 Januari 2020 TU yang dinyatakan sebagai citra saat banjir.
Resolusi citra adalah 30 meter per pixel mencakup seluruh DKI Jakarta, kota Depok, kota
Tangerang Selatan, kota Tangerang dan kota Bekasi. Sementara Kab. Tangerang, Kab.
Bekasi dan Kab. Bogor hanya dicitra separuhnya saja.

11
Titik-titik Genangan
Secara umum banjir Jakarta dan sekitarnya memang terjadi di dataran rendah. Berdasarkan
luasan daerah yang tergenang, Kab. Bekasi menduduki peringkat pertama daerah yang
tergenangi banjir paling luas. Disusul kemudian Kab. Tangerang, Kota Tangerang, DKI
Jakarta (khususnya Jakarta Barat dan Jakarta Timur) serta terakhir Kota Bekasi.

Banjir di dataran rendah ini konsisten dengan curah hujan 24 jam (sepanjang 31 Desember
2019 TU 07:00 WIB – 1 Januari 2020 TU 07:00 WIB), yang tergolong ekstrim bagi Kab.
Bekasi dan Kota Bekasi (intensitas maksimum 151 mm/hari yang tercatat di Lemah Abang)
serta sebagian DKI Jakarta (intensitas maksimum 377 mm/hari yang tercatat di Jakarta
Timur). Sementara bagi Kab. Tangerang, hujan dikategorikan sangat lebat. Intensitas hujan
maksimum di DKI Jakarta dinyatakan sebagai yang tertinggi sepanjang 1,5 abad terakhir.
Meskipun jika dilihat dalam kacamata yang lebih lebar, selama 48 jam intensitas hujan
maksimum akumulatif yang tercatat berkisar 400 mm. Ini serupa dengan intensitas hujan
maksimum akumulatif pada peristiwa Banjir Kebumen 2013 (di bulan Desember 2013 TU)
dan juga banjir Jakarta 2014 (di bulan Januari 2014 TU).
Di kota Jakarta Barat, titik genangan luas menempati sebelah-menyebelah Jl. Daan Mogot
hingga mendekati perbatasan Kota Tangerang. Ke arah utara, titik-titik genangan menyebar
hingga ke bagian kota Jakarta Utara. Uniknya titik-titik genangan tersebut adalah berada
di sebelah barat dari alur Kanal Banjir Barat dan tidak banyak dijumpai di sisi timur kanal.

Selain di sisi barat Kanal Banjir Barat, titik-titik genangan di kota Jakarta Utara dapat
dijumpai di dua pelabuhan : Sunda Kelapa dan Tanjung Priok. Namun yang paling
menyolok adalah di bagian timur, yakni di Rorotan. Lagi-lagi genangan luas di sini
berimpit dengan kanal banjir, yakni di sisi barat Kanal Banjir Timur. Meski genangan di
Rorotan tak separah di Tarumajaya (Kab. Bekasi) yang berada di sebelah timur kanal.

Kota Jakarta Pusat tak separah Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Meski terdapat pula titik-
titik genangan, namun tidak banyak yang menonjol. Salah satunya di Gunung Sahari, yang
menggenangi baik jalan raya maupun rel KA. Juga di Karet Tengsin, tepat di sisi Kanal
Banjir Barat. Sebaliknya kota Jakarta Selatan, meski secara geografis lebih tinggi
ketimbang Jakarta Barat – Jakarta Pusat – Jakarta Utara, namun ternyata memiliki titik-
titik genangan yang cukup banyak dan tersebar acak dengan masing-masing berukuran
relatif kecil. Dua lokasi yang menonjol adalah Kemang dan bantaran barat Sungai
Ciliwung.

Dan kota Jakarta Timur pun demikian. Titik-titik genangan juga cukup banyak dan tersebar
acak. Titik paling ikonis adalah Bandara Halim Perdanakusuma, sehingga sempat
melumpuhkan penerbangan dari dan ke bandara ini. Sejumlah titik di bantaran timur

12
Sungai Ciliwung juga digenangi air. Mayoritas titik genangan di Jakarta Timur berada di
sisi selatan Kanal Banjir Timur. Di sisi utaranya hanya dijumpai sedikit.

Sumber Air?
Tujuan EOS dan ARIA menyajikan analisis citra satelit radar ini adalah untuk menunjang
respon penanganan dampak bencana banjir di lapangan. Meski demikian secara kasar dapat
pula dikatakan bahwa analisis ini cukup membantu dalam memetakan sumber air banjir
Jakarta dan sekitarnya. Sungai-sungai besar seperti Sungai Cisadane, Sungai Ciliwung,
Sungai Bekasi dan dua kanal banjir (Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur) yang
meluap merupakan salah satu sumber air banjir. Akan tetapi terdapat cukup banyak titik-
titik genangan yang cukup berjarak terhadap sungai manapun. Yang menyajikan kesan
bahwa genangan tersebut terjadi akibat situasi yang bersifat lokal.

Jika dibandingkan, secara kasar dapat dikatakan bahwa peringkat pertama luasan genangan
dalam banjir Jakarta dan sekitarnya diduduki oleh Kota Tangerang. Menyusul kemudian
kota Jakarta Utara dan Jakarta Barat di peringkat kedua. Selanjutnya kota Bekasi di
peringkat ketiga. Relatif keringnya kota-kota Jakarta Timur dan Jakarta Pusat
mengindikasikan bekerjanya Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur. Namun titik-titik
genangan di DKI Jakarta terjadi pada pemukiman padat penduduk dan pusat-pusat
perekonomian sehingga dampaknya lebih besar.

4. KESIMPULAN TEORI DAN PRESEDEN


Perubahan iklim disebabkan oleh terjadinya pemanasan global. Perubahan iklim tersebut
berdampak pada meningkatnya temperature permukaan yang dapat menyebabkan
kebakaran hutan. Perubahan iklim juga dapat menyebabkan terjadinya cuaca ekstrim
sehingga dapat terjadi curah hujan yang sangat tinggi dan berpotensi banjir.

Monitoring menggunakan citra satelit Sentinel cukup efektif memberikan gambaran


kondisi kejadian banjir. Berdasarkan pemantauan kejadian banjir menggunakan citra satelit
Sentinel, banjir di Jakarta bersumber dari beberapa sungai besar dan kanal banjir. Namun,
jika diperhatikan, terdapat juga area-area banjir yang cukup jauh dari sungai dan lokasinya
menyebar secara acak. Hal ini menunjukkan bahwa banjir juga terjadi bersifat local bukan
disebabkan luapan dari sungai besar.

5. ANALISIS SPASIAL DAMPAK PERUBAHAN IKLIM


Perubahan iklim sebagai implikasi pemanasan global, yang disebabkan oleh kenaikan gas-
gas rumah kaca terutama karbondioksida (CO2) dan metana (CH4), mengakibatkan dua
hal utama yang terjadi di lapisan atmosfer paling bawah, yaitu fluktuasi curah hujan yang
tinggi dan kenaikan muka laut. Sebagai negara kepulauan, Indonesia paling rentan terhadap
kenaikan muka laut. Telah dilakukan proyeksi kenaikan muka laut untuk wilayah
Indonesia, hingga tahun 2100, diperkirakan adanya kenaikan muka laut hingga 1.1 m yang

13
yang berdampak pada hilangnya daerah pantai dan pulau-pulau kecil seluas 90.260 km2.
(Susandi Dkk, 2008).

a. Pengolahan Data dan Analisis Temperatur Permukaan

Berikut ini adalah peta LST hasil pengolahan data citra Landsat 9. Citra Landsat ini adalah
citra dengan tanggal perekaman 16 Oktober 2023.

Gambar 5. Peta LST Jakarta


Pada gambar di atas tampak bahwa temperature permukaan tertinggi adalah 36.8 derajat
Celsius. Sedangkan temperature terendahnya adalah 17.2 derajat Celsius. Temperatur tersebut
hanya menunjukkan informasi dalam satu waktu, sehingg analisis yang digunakan bukan time
series, tetapi perbandingan temperature satu lokasi dengan lokasi yang lain. Wilayah Jakarta Timur
terlihat didominasi oleh warna merah, menunjukkan temperature permukaan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kota lainnya di Jakarta.

14
b. Pengolahan Data Analisis Banjir

Berikut ini adalah peta-peta yang menunjukkan perbandingan kerawanan banjir di


Jakarta. Data yang dibandingkan adalah data peta banjir dari portal Jakarta Satu, peta
dari BNPB, peta hasil plotting berita banjir online dan peta hasil analisis banjir
menggunakan DEM.

Gambar 6. Peta kejadian banjir dari berbagai sumber

6. ANALISIS SPASIAL POTENSI RTH-RTB


Analisis tutupan lahan dilakukan menggunakan data peta tutupan lahan dalam format SIG.
Analisis ini terdiri dari analisis prosentase pembagian wilayah dan sebarannya. Pembagian
wilayah dibagi menjadi 3 yaitu wilayah perairan, wilayah bervegetasi dan wilayah
terbangun.

Berikut ini hitungan prosentase wilayah terbangun, perairan dan vegetasi yang diperoleh
dari peta tutupan lahan. Wilayah perairan seluas 27.828.446 m2 yang terdiri dari :
- Daerah sedia air baku
- Danau
- Embung
- Empang
- Irigasi
- Kolam

15
- Rawa
- Sungai
- Tambak
- Waduk

Gambar 7. Potensi RTB berdasarkan peta tutupan lahan

Wilayah bervegetasi seluas 78.772.126 m2 yang terdiri dari :


- Hutan
- Hutan mangrove
- Hutan, jalur hijau, taman kota
- Kebun buah
- Kebun campuran
- Ladang/tegalan
- Makam
- Padang golf
- Sawah
- Semak belukar
- Herba
- Padang alang-alang
- Vegetasi herba lain

16
Gambar 8. Potensi RTH berdasarkan peta tutupan lahan

Sisanya adalah wilayah terbangun yaitu seluas 547.336.523 m2. Berdasarkan data yang
diperoleh melalui peta tutupan lahan, prosentase wilayah perairan, bervegetasi dan wilayah
terbangun masing-masing adalah 4%, 12% dan 83%.
Berikut ini sebaran wilayah perairan dan wilayah bervegetasi yang diperoleh dari peta
tutupan lahan. Secara umum, sebaran wilayah perairan cukup menyebar di seluruh wilayah
DKI Jakarta. Begitu pula dengan wilayah bervegetasi relative menyebar di seluruh
wilayah. Berikut ini adalah gambaran sebaran wilayah perairan dan wilayah bervegetasi di
DKI Jakarta.

Berdasarkan gambar di atas, dapat dilihat terdapat beberapa lokasi berwarna abu-abu yang
cukup minim wilayah perairan dan vegetasinya. Lokasi-lokasi tersebut dapat dijadikan
sebagai wilayah yang mendapat perhatian lebih di dalam pengembangan RTH dan RTB.
Analisis lahan potensial peruntukan RTH dan RTB yang dapat memitigasi banjir dan
perubahan iklim

a. Analisis Spasial RTH dari data tutupan lahan

Jika kita lihat pada peta tutupan lahan, terdapat wilayah bervegetasi dengan luas
78.772.126 m2 atau sekitar 12% dari luas DKI Jakarta. Sementara luas RTH yang
“teregistrasi” hanya sekitar 5%. Maka dapat kita analisis lebih jauh gap 7% yang
merupakan wilayah bervegetasi ini apakah dapat dijadikan sebagai RTH. Berikut
ini adalah rincian tutupan lahan bervegetasi yang dimaksud :

17
b. Analisis Spasial RTB dari data tutupan lahan

Lahan potensial RTB jika didekati dari data tutupan lahan adalah seluas 27.828.446
m2 atau sekitar 4% dari luas total DKI Jakarta. Berdasarkan data tersebut dapat kita
perdalam lagi potensi RTB pada jenis tutupan lahannya sebagai berikut :

18
DAFTAR PUSTAKA

Susandi A dkk, 2008. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ketinggian Muka Laut Di Wilayah
Banjarmasin. Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008. Program Studi Meteorologi -
Institut Teknologi Bandung.

Harmoni A, 2005. Dampak Sosial Ekonomi Perubahan Iklim. Proceeding. Seminar Nasional
PESAT 2005 Auditorium Universitas Gunadanna, Jakarta, 23-24 Agustus 2005 ISSN : 18582559.
Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi, Universitas Gunadanna
Kasha Patel. 2020. Torrential Rains Flood Indonesia. NASA Earth Observatory, 2 Januari 2020
diakses 5 Januari 2020.

Resiko Bencana Indonesia (RBI). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2016.

19

Anda mungkin juga menyukai