Anda di halaman 1dari 25

Laporan Pendahuluan

1. LATAR BELAKANG
a. Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terdiri dari 17.504 pulau dan diyakini masih ada pulaupulau yang belum diketahui. Belasan ribu pulau tersebut disatukan oleh perairan (laut) yang amat luas (5,8 juta km2 , lebih dari 3 kali luas daratan). Oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim terbesar di dunia. Sebagai negara maritim, Indonesia menyimpan potensi kekayaan sumber daya kelautan yang belum dieksplorasi dan dieksploitasi secara optimal, bahkan sebagian belum diketahui potensi sebenarnya. Letak geografis perairan NKRI yang berada di antara dua benua (AsiaAustralia) dan dua samudera (Pasifik-Hindia)serta merupakan penghubung Blok Barat (Eropa) dan Blok Timur (Asia), menjadikan perairan nusantara sering dilintasi tidak hanya kapal-kapal domestik tetapi juga kapal asing sejak dahulu kala. Sebagai perairan strategis, masalah-masalah yang menyangkut keamanan (security), keselamatan (safety) dan kelanggengan kelestarian lingkungan (environmental protection) laut seyogyanya menjadi perhatian penting pemerintah. Posisi yang strategis dan kekayaan alam laut yang besar ini memungkinkan besarnya peluang melakukan tindak kejahatan dan pelanggaran kedaulatan wilayah perairan nusantara, terutama pada alur-alur laut perlintasan internasional (Choke Points) atau aluralur laut kepulauan Indonesia (ALKI). Ada banyak bentuk kejahatan yang terjadi di perairan NKRI, antara lain penyelundupan (meliputi barang konsumsi, barang industri, narkoba, senjata ringan, dan manusia), terorisme, perompakan bersenjata di laut, illegal fishing (Indonesia kehilangan Rp. 20 trilyun akibat illegal fishing), illegal crossing, serta klaim kependudukan dan penguasaan asing). Banyak faktor penyebab maraknya kejahatan dan pelanggaran kedaulatan wilayah laut. Saat ini, institusi yang mengatur keamanan wilayah laut di Indonesia adalah Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla). Bakorkamla didirikan berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia No 81 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut. Badan ini beranggotakan 12 instansi sebagai Stakeholder yaitu Departemen Luar Negeri, Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, Departemen Perhubungan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAM,

Menteri Pertahanan, TNI AL, TNI AU, Polri dan Kejaksaan Agung. Namun Keberadaan badan tersebut belum didukung dengan tersedianya data mengenai wilayah laut Indonesia yang lengkap dan akurat. Bakorkamla dalam perjalanan menjaga perairan Indonesia telah melakukan beberapa kegiatan yang melibatkan seluruh stakeholder yang terkait. Dimulai dari kajian-kajian tentang sejarah keamanan laut dan studi mengenai operasi keamanan laut yang dilakukan di negara-negara lain. Dalam rangka peningkatan pertahanan dan keamanan laut Indonesia, maka dukungan suatu sistem informasi yang handal mengenai informasi karakteristik wilayah darat, pantai, dan perairan serta batas wilayah antar kabupaten, propinsi, dan negara guna mendukung keamanan wilayah laut Indonesia menjadi sangat penting. Tahap pra operasi ini kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan operasi keamanan laut oleh masing-masing stakeholder terkait. Sistem yang terbentuk dalam pelaksanaan operasi memerlukan evaluasi agar keamanan perairan Indonesia lebih baik. Maka dari itu diperlukan sistem data yang mengkaitkan antar masalah yang terdapat dalam pengamanan laut Indonesia dengan operasi-operasi yang telah dilakukannya serta kebutuhan baru sebagai bagian dari pasca operasi kamla. Kemanfaatan data ini akan menjadi bahan perencanaan operasi kamla selanjutnya.

b. Permasalahan
Dalam menjalankan fungsinya, Bakorkamla selaku institusi di bidang keamanan kemaritiman, dihadapkan pada tantangan tugas yang jauh lebih kompleks di masa kini dan akan datang. Pada masa kini, ancamam gangguan stabilitas keamanan yang berpotensi menjadi ancaman bagi kedaulatan serta keutuhan NKRI, tidak lagi berupa ancaman nyata , seperti pengerahan kekuatan militer asing atau kemungkinan menginvasi negara lain. Namun, lebih berupa ancaman yang bersifat asimetris, seperti kejahatan trans nasional, konflik horizontal dan terorisme. Tantangan terberat Bakorkamla tidak terbatas mendeteksi, mencegah dan menangkal sedini mungkin terjadinya aksi kriminal di laut dan pesisir pantai, namun lebih dari itu, yaitu mampu menghimpun seoptimal mungkin informasi kemaritiman (seperti kondisi hidro oseanografis di setiap daerah, kondisi sosial ekonomi masyarakat pulau terpencil dan terisolir), hingga pulau atau perairan yang belum terpetakan. Mengumpulkan dan mengintegrasikan informasi intelijen adalah merupakan bagian kegiatan yang sangat penting dalam mendeteksi, mencegah dan menangkal sedini mungkin setiap ancaman yang akan mengganggu keamanan dan kedaulatan suatu negara. Evaluasi dan menggali pembelajaran dari operas-operasi yang telah dilakukan akan menjadi masukan yang sangat baik untuk membuat

rencana operasi keamanan laut maupun strategi keamanan perairan Indonesia yang lebih besar. Kegiatan informasi intelijen pasca operasi kamla sangat jarang dilakukan, padahal itu sangat penting untuk merencanakan operasi kamla selanjutnya.

c. Maksud dan Tujuan


y Maksud Maksud kajian ini adalah untuk menelaah (review) guna mempersiapkan pembangunan (development), perluasan (expansion), dan pemaduan (integration) sistem informasi intelijen yang sudah ada saat ini paska operasi-operasi keamanan laut yang telah dilaksanakan dengan evaluasi sistem komando pergerakan (tracking and dispatching system) unsur patroli keamanan laut di Badan Koordinasi Keamanan Laut Republik Indonesia, sekaligus menjadi bagian rencana induk (master plan) pengembangan sistem informasi intelijen keamanan laut sehingga pengembangannya dapat dilakukan dengan strategi yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan.

y Tujuan Adapun tujuan kegiatan kajian ini adalah: 1. Menemukenali isu, permasalahan dan tantangan keamanan laut Indonesia kini dan masa mendatang dan pentingnya memadukan (integration) data dan informasi intelijen keamanan laut pasca operasi kamla dengan sistem komando pergerakan unsur patroli laut guna mendukung misi Bakorkamla. 2. Menemukenali stakeholders (unit kerja dan lembaga-lembaga pemangku kepentingan)

vertikal dan secara horizontal yang berperan sebagai pengelola , mitra kerja (misalnya penyedia data dan informasi ), dan pengguna data dan informasi intelijen keamanan laut. 3. Menelaah fungsi (kedudukan dan peran) para stakehoders , pencirian dan perincian manfaat pemaduan informasi intelijen dengan sistem komando pergerakan unsur patroli keamanan laut. 4. Menemukenali Sistem dan prosedur (baik manual maupun yang sudah dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi) berlangsung dan berjalan saat ini dalam pengumpulan, penyimpanan, pengolahan, dan pelaporan data dan informasi intelijen keamanan laut. 5. Menemukenali sistem-sistem informasi serta sumberdaya (manusia, software/hardware, sistem jaringan dan telekomunikasi, gedung, dlsb) yang telah dan akan digunakan dalam mendukung jalannya pengoperasian sistem informasi intelijen keamanan laut.

6. Menemukenali lingkup perincian data dan informasi intelijen keamanan laut pasca operasi (apa, kapan, dari mana sumbernya, dan bagaimana perolehan, penyimpanan dan penyajiannya), serta hirarki dan tingkat kerahasiaannya. Menemukenali kebutuhan data dan informasi intelijen keamanan laut (format, prioritas, dan hirarkinya) untuk setiap jenjang organisasi stakeholders yang terlibat.

d. Sasaran dan Lingkup Kajian


y Sasaran Sasaran dari kajian ini dijabarkan sebagai berikut : 1. Tersedianya hasil telaah atau kajian integrasi informasi intelijen pasca operasi kamla yang meliputi : a. Telaah mengenai pentingnya memadukan (integration) data dan informasi itelijen

keamanan laut yang tersebar baik secara vertikal maupun horizontal. b. Telaah rinci mengenai terminologi, definisi dan deskripsi data dan informasi intelijen keamanan laut c. Telaah rinci mengenai Karakteristik, Kinerja (sumberdaya yang dimiliki, potensi, dan permasalahan), fungsi dan peran stakeholders. d. Telaah rinci mengenai pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi terkini (misalnya pemanfaatan satelit, GPS, Long-Range Identification and Tracking (LRIT) System), dalam mendukung pengumpulan data pergerakan unsur patroli keamanan laut. 2. Layout dan deskripsi Sistem Operasi dan Prosedur pengelolaan data dan informasi intelijen keamanan laut pasca operasi kamla yang meliputi : Kedudukan, lingkup, dan manfaat data dan informasi intelijen keamanan laut (secara rinci apa, dan dalam situasi apa, oleh dan dari siapa, serta bagaimana data dan informasi tersebut dimanfaatkan) y Lingkup Kajian Lingkup dari kajian yang akan dilaksanakan ini adalah seluruh kelautan Indonesia dan operasi keaamanan kelautan yang dilaksanakan oleh setiap pihak yang terkait di dalamnya.

e. Pendekatan Metodologi
Kombinasi pendekatan deduksi dan induksi dilakukan dalam pendekatan dalam Kajian Integrasi Informasi Intilijen dengan Keamanan Wilayah Paska Operasi Keamanan Laut, dimana tujuan dari kajian ini adalah menelaah sistem komando pergerakan (tracking and dispatching system) unsur patroli kemanan laut di Badan Koordinasi Kemanan Laut guna mempersiapkan pembangunan

(development), perluasan (expansion) dan pemanduan (integration) sistem informasi intilijen yang sudah ada melalui mekanisme meramalkan hasil dan pengaruh operasi keamanan laut dan mengevaluasi agar terwujud pengamanan laut yang sinergis, produktif, dan berkelanjutan. Kajian Integrasi Informasi Intilijen Keamanan Wilayah Paska Operasi Keamanan Laut dibuat berdasarkan pendekatan deduksi dilakukan dengan mempertimbangkan teori, kasus dan preseden tentang sistem dan prosedur operasi keamanan laut yang telah digunakan di luar negeri maupun dalam negeri. Kajian dengan pendekatan ini relatif cepat dihasilkan, tetapi hasilnya tidak selalu sesuai dengan kebutuhan pengamanan laut Indonesia karena adanya perbedaan karaktersitik. Dengan demikian, hasil dari pendekatan ini masih perlu disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan daerah. Cakupan pendekatan ini meliputi: a. Kajian literatur mengenai operasi keamanan laut meliputi pengertian, filosofi dasar, substansi/materi, kelemahan maupun kelebihan serta beberapa kasus studi baik di dalam negeri maupun di luar negeri; b. Kajian literatur mengenai sistem dan prosedur integrasi data, pengolahan data dan evaluasi data yang digunakan untuk data intilijen; c. Kajian mengenai kelembagaan yang terkait dalam operasi keamanan laut, tupoksi, kewenangan serta proses dan prosedur keberjalanan lembaga, secara konseptual maupun empiris (tupoksi stakeholder) d. Kajian terhadap Standar, Ketentuan Teknis, Panduan, dan Peraturan perundangan yang berlaku. Kajian Integrasi Informasi Intilijen Paska Operasi Keamanan Laut dengan pendekatan induksi didasarkan pada kajian yang menyeluruh, rinci dan sistematik terhadap karakterisitik operasi

keamanan laut dan persoalan keamanan laut yang dihadapi Indonesia. Untuk mendapatkan hasil yang lengkap dan akurat, pendekatan ini memerlukan waktu, tenaga, dan biaya yang sangat besar. Cakupan pendekatan ini meliputi: a. Kajian seluruh operasi keamanan laut yang dilakukan di Indonesia; b. Penjabaran masalah keamanan laut yang dihadapi Indonesia setelah operasi keamanan laut; c. Kajian (penjabaran, evaluasi dan identifikasi kebutuhan) kegiatan dan kepemilikan informasi yang ada pada setiap stakeholder dalam operasi keamanan laut; d. Kajian (penjabaran, evaluasi dan identifikasi kebutuhan) tentang sistem dan prosedur integrasi data dalam operasi keamanan laut yang dilakukan di Indonesia;

Pendekatan ini memanfaatkan hasil kajian dengan pendekatan deduksi yang dikoreksi dan divalidasi dengan kondisi dan persoalan empirik yang terjadi di laut Indonesia. Kombinasi pendekatan ini mengurangi waktu, biaya, dan tenaga yang dibutuhkan dibandingkan dengan pendekatan induksi.

2. TANGGAPAN TERHADAP KAK


a. Terhadap Latar Belakang
Ketika Republik Indonesia diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945, wilayah negara adalah tinggalan Hindia Belanda, dan belum menjadi negara kepulauan. Menurut Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939, maka batas laut teritorial Indonesia adalah 3 mil laut dari pantai. Dengan demikian maka perairan antar pulau pada waktu itu adalah wilayah internasional. Wilayah laut kita dengan rezim hukum laut seperti disebut di atas hanyalah seluas kira-kira 100.000 km2. Secara fisik pulau-pulau Indonesia dipisahkan oleh laut, walaupun secara kultur konsep kewilayahan kita tidak membedakan penguasaan antara laut dan darat. Bangsa Indonesia adalah satu-satunya bangsa di dunia yang menamakan wilayahnya sebagai tanah air. Pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah RI melalui deklarasi Perdana Menteri Ir. Djuanda mengklaim seluruh perairan antar pulau di Indonesia sebagai wilayah nasional. Deklarasi di atas yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda, adalah pernyataan jati diri sebagai negara kepulauan, di mana laut menjadi penghubung antar pulau, bukan pemisah. Klaim ini bersamaan dengan upaya memperpanjang batas laut teritorial menjadi 12 mil dari pantai, kemudian diperjuangkan oleh Indonesia untuk mendapat pengakuan internasional di PBB, suatu perjuangan panjang yang meliwati 3 rezim politik yang berbeda yaitu Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru. Kendati prinsip negara kepulauan mendapat tentangan dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat, akhirnya pada tahun 1982 lahirlah Konvensi kedua PBB tentang Hukum Laut (2nd United Nations Convention on the Law of the Sea, disingkat UNCLOS) yang mengakui konsep negara kepulauan, sekaligus juga mengakui konsep Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang diperjuangkan oleh Chili dan negaranegara Amerika Latin lainnya. Setelah diratifikasi oleh 60 negara maka UNCLOS kemudian resmi berlaku pada tahun 1994. Berkat perjuangan yang gigih dan memakan waktu, Indonesia mendapat pengakuan dunia atas tambahan

wilayah nasional sebesar 3,1 juta km2 wilayah perairan dari hanya 100.000 km2 warisan Hindia Belanda, ditambah dengan 2,7 juta km2 Zone Ekonomi Eksklusif yaitu bagian perairan internasional dimana Indonesia mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber daya alam termasuk yang ada di dasar laut dan di bawahnya. Konsep Negara Kepulauan (Nusantara) memberikan kita anugerah yang luar biasa. Letak geografis kita strategis, di antara dua benua dan dua samudra dimana paling tidak 70% angkutan barang melalui laut dari Eropa, Timur Tengah dan Asia Selatan ke wilayah Pasifik, dan sebaliknya, harus melalui perairan kita. Wilayah laut yang demikian luas dengan 17.500-an pulau-pulau yang mayoritas kecil memberikan akses pada sumber daya alam seperti ikan, terumbu karang dengan kekayaan biologi yang bernilai ekonomi tinggi, wilayah wisata bahari, sumber energi terbarukan maupun minyak dan gas bumi, mineral langka dan juga media perhubungan antar pulau yang sangat ekonomis. Panjang pantai 81.000 km (kedua terpanjang di dunia setelah Canada ) merupakan wilayah pesisir dengan ekosistem yang secara biologis sangat kaya dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Secara metereologis, perairan nusantara menyimpan berbagai data metrologi maritim yang amat vital dalam menentukan tingkat akurasi perkiraan iklim global. Di perairan kita terdapat gejala alam yang dinamakan Arus Laut Indonesia (Arlindo) atau the Indonesian throughflow yaitu arus laut besar yang permanen masuk ke perairan Nusantara dari samudra Pasifik yang mempunyai pengaruh besar pada pola migrasi ikan pelagis dan pembiakannya dan juga pengaruh besar pada iklim benua Australia. Sayangnya keuntungan yang luar biasa di atas sebagai konsekuensi jati diri bangsa nusantara tidak disertai dengan kesadaran dan kapasitas yang sepadan. Bangsa Indonesia masih mengidap kerancuan identitas. Di satu pihak mempunyai persepsi kewilayahan tanah air, tetapi memposisikan diri secara kultural sebagai bangsa agraris dengan puluhan juta petani miskin yang tidak sanggup kita sejahterakan, sedangkan kegiatan industri modern sulit berkompetisi dengan bangsa lain, antara lain karena budaya kerja yang berkultur agrarian konservatif, disamping berbagai inefisiensi birokrasi dan korupsi. Industri pun kita bangun tidak berdasar pada keunggulan kompetitif namun pada keunggulan komparatif, tanpa kedalaman struktur dan tanpa masukan keilmuan dan teknologi yang kuat. Tradisi kepelautan kita dinyatakan dengan kemampuan melayari Samudra Pasifik dengan kapal Pinisi Nusantara dan selamat sampai Vancouver, tapi kapal yang sama pecah dan tenggelam menabrak karang di Kepulauan Seribu dalam perjalanan lokal yang sederhana.

Di zaman Bung Karno Angkatan Laut kita pernah menjadi keempat terbesar di dunia setelah Amerika Serikat, Uni Soviet dan Iran. Tetapi kekuatan itu tidak riel dan hanya temporer karena tidak dibangun atas kemampuan sendiri, namun karena bantuan Uni Soviet dalam kerangka permainan geopolitik. Selama itu, berbagai rencana di bidang kelautan dan kemaritiman dibuat dan dideklarasikan namun kelembagaan kelautan, pembangunan perekonomian maritim dan pembangunan sumber daya manusia tidak pernah dijadikan arus utama pembangunan nasional, yang didominasi oleh persepsi dan kepentingan daratan semata. Dewan Kelautan Nasional memang dibuat tetapi dengan mandat terbatas dan menduduki hirarki yang tidak signifikan dalam kelembagaan pemerintahan. Segala paradoks tadi terus menerus memunculkan gugatan demi gugatan yang makin nyaring dari masyarakat kelautan kita yang kemudian menciptakan kelembagaan berupa Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 1999 dan juga Dewan Maritim Indonesia pada tahun yang sama, dengan ruang lingkup tugas yang lebih luas dibandingkan dengan Dewan Kelautan Nasional di zaman Orde Baru. Mudah-mudahan era presidensi Susilo Bambang Yudhoyono merupakan titik balik menentukan dalam kehidupan maritim kita. Melalui Inpres 5 tahun 2005 asas cabotage dihidupkan kembali. [ asas cabotage adalah prinsip hukum yang dianut oleh sebagian besar negara maritim dunia yang

menyatakan bahwa angkutan di dalam suatu negara hanya dapat diangkut oleh kapal yang berbendera dari negara yang bersangkutan Red]. Demikian juga otoritas moneter telah menetapkan kapal sebagai

benda yang boleh diagunkan. Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) sedang dalam penyusunan termasuk visi maritim didalamnya, seiring dengan langkah-langkah konkrit lanjutan menyangkut industri strategis dan kelembagaan pelabuhan. Perlu diterangkan bahwa antara istilah kelautan dan maritim harus dibedakan. Kelautan merujuk kepada laut sebagai wilayah geopolitik maupun wilayah sumber daya alam, sedangkan maritim merujuk pada kegiatan ekonomi yang terkait dengan perkapalan, baik armada niaga maupun militer, serta kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan itu seperti industri maritim dan pelabuhan. Dengan demikian kebijakan kelautan merupakan dasar bagi kebijakan maritim sebagai aspek aplikatifnya. Terlepas dari rumusan final visi maritim Indonesia, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Antara lain, pertama, negara perlu mempunyai kebijakan kelautan yang jelas dan bervisi ke depan karena menyangkut geopolitik bangsa dan dengan demikian berwawasan global dan menyangkut pula kebijakan-kebijakan dasar tentang pengelolaan sumber daya alam di samping sumber daya ekonomi

pada umumnya. Demi daya saing bangsa kita perlu berangkat dari keunggulan kompetitif yang bisa berbasis lokal. Kedua, kebijakan kelautan adalah kebijakan negara kepulauan sehingga variabel keruangan harus lengkap, tidak hanya monodimensional laut. Konsep tri-matra (darat-laut-udara), karena kemajuan ilmu dan teknologi serta peningkatan kesadaran lingkungan hidup menjadi tidak lengkap untuk sekarang dan masa depan. Yang lebih mengena adalah variabel multi-matra (darat termasuk pegunungan; permukaan air dari mata air di hulu sampai permukaan laut; kolom air di sungai, danau maupun laut; pesisir; dasar laut; bawah dasar laut; atmosfir; stratosfir dan angkasa luar), jumlahnya 9 matra. Sejak Presiden Soeharto meluncurkan satelit Palapa pada dekade 1970-an sebenarnya kita telah masuk ke era ruang angkasa, tidak sekedar tri-matra, demikian juga sekarang ketika kita mulai merentang kabel telekomunikasi bawah laut, masuk ke matra dasar laut. Tetapi tetap saja kita menggunakan tri-matra sebagai acuan keruangan, mungkin karena terlanjur menjadi manusia penghafal. Sesuai kemampuan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik yang lebih kompleks, serta kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi tentunya variabel keruangan bisa dikembangkan. Dengan demikian kebijakan kelautan bukanlah pengganti kebijakan masa lampau yang terkesan kuat dominan berorientasi daratan. Ketiga, hirarki ruang juga perlu ditentukan, yaitu ruang di mana kita berdaulat penuh, ruang di mana kita punya hak berdaulat, dan ruang di mana kita perlu punya pengaruh baik eksklusif maupun melalui kerjasama politik, ekonomi dan pertahanan. Keempat, pemerintah perlu menuntaskan seluruh kewajiban yang tercantum dalam UNCLOS, karena penting artinya bagi effektifitas kedaulatan kita. Adalah ironis bahwa Indonesia sebagai pelopor konsep negara kepulauan lantas nantinya tertinggal dalam pengamanan kedaulatan wilayahnya. Sekiranya hal ini terjadi maka posisi kita secara geopolitik akan lemah, serta memicu berbagai sengketa di wilayah laut yang sulit kita atasi, apalagi dengan kekuatan militer maritim yang demikian kecil. Peristiwa Sipadan/Ligitan dan peristiwa Ambalat merupakan peringatan dini terhadap kemungkinan masalah lebih besar di kemudian hari. Kelima, kalau semua hal di atas sudah jelas arahnya, maka visi maritim dapat dibangun dan kekuatan maritim dapat dibangkitkan sepadan dengan tuntutan geopolitik bangsa dan sesuai dengan persepsi keruangan kita dan juga persepsi tentang keunggulan kompetitif baik yang berbasis sumber daya alam, budaya, ilmu pengetahuan maupun geografi. Kebijakan perkapalan, pelabuhan, transportasi antar

matra, prioritas kegiatan ekonomi, pembangunan angkatan bersenjata (militer dan polisi), kebijakan fiskal, kebijakan investasi, kebijakan enersi, kebijakan dirgantara, kebijakan pembangunan daerah dan kawasan serta tatanan kelembagaan dan kebijakan pembangunan sumber daya manusia merupakan turunan dari visi maritim dan visi maritim juga adalah turunan dari kebijakan kelautan. Setelah semua itu selesai dan dirumuskan secara baik, kita mempunyai soal berikut, yaitu mewujudkannya dalam implementasi. Banyak hal yang mempengaruhi implementasi visi dan kebijakan maritim namun akar masalahnya berada dalam budaya agraris tradisional yang kita warisi. Masyarakat agraris tradisional di pedalaman cenderung statis, introvert dan feodal. Berlainan dengan budaya pesisir yang lebih terbuka dan egaliter serta biasa memanfatkan pengaruh luar karena interaksi niaga antar bangsa. Komunitas pesisir menjadi lemah di masa lampau karena tidak adanya persepsi bersama menghadapi merkantilisme Eropa sehingga kerajaan-kerajaan pesisir hancur ditaklukkan, menghadapi tekanan dari kolonialisme dan juga serangan dari pedalaman. Dengan demikian budaya yang dominan adalah budaya agraris tradisional, yang antara lain ditandai sampai sekarang oleh kebiasaan mayoritas anak-anak menggambar gunung, sawah dan matahari dan nyaris tidak penah menggambar pemandangan pantai dan laut. Mentalitas yang demikian tercermin pada orientasi pendidikan kita, yang cenderung melatih orang untuk menghafal (statis), dengan ketaatan di luar batas pada guru (feodal) dan kebiasaan guru untuk tidak terbuka dan tidak murah hati dalam mentransfer ilmu (introvert). Dengan kultur demikian sulit bagi bangsa kita untuk berubah maju atas kehendak sendiri. Perubahan selalu terjadi karena pengaruh eksternal yang tak tertahankan. Seringkali yang ditiru hanyalah tampak luarnya bukan esensinya. Visi dan program maritim hanya bisa sukses secara berkelanjutan jika terdapat basis kultur yang terbuka, egaliter, haus pengetahuan dan menyukai tantangan perubahan. Pada jangka pendeknya program maritim bisa berjalan dengan merekrut kalangan pengambil keputusan dan para pelaku utama dari kalangan yang mempunyai kultur itu. Bisa juga dengan mengundang investasi asing dari pihak yang lebih maju dalam hal di mana tidak terdapat kemampuan modal dan pengetahuan dalam bidang-bidang tertentu. Tetapi pada jangka panjangnya yang diperlukan adalah perubahan orientasi pendidikan, ke arah rasionalitas ilmu pengetahuan dan teknologi, kesadaran akan sumber-sumber keunggulan kompetitif, kepekaaan budaya, kedalaman budi pekerti dan penanaman sifat menyikapi tantangan perubahan secara positif.

Untuk menggambarkan betapa kita tidak siap menanggapi perubahan adalah tiadanya antisipasi terhadap kemungkinan rencana Thailand untuk membuat kanal di semenanjung Kra, yang pembangunannya bisa selesai kurang dari 10 tahun. Sekarang Thailand sedang berpikir keras apakah mereka akan melanjutkan rencana tersebut. Sekiranya mereka membuatnya, adanya kanal tersebut tentu amat mengurangi volume transportasi laut yang melalui perairan nusantara. Sepintas lalu Singapura akan terpukul. Tetapi jangan lupa bahwa Singapura selalu merencanakan dirinya berada di depan peristiwa. Mereka tidak perlu hanya mempertahankan keunggulannya sebagai pusat pelayanan perhubungan laut. Mereka berencana menjadikan Singapura sebagai pusat budaya dan pusat jasa bernilai tinggi sehingga corak ekonominya akan lebih canggih dan kehidupannya lebih menarik, bukan seperti Singapura sekarang yang amat tertib, effisien tapi membosankan. Menteri Luar Negeri Singapura di masa lalu, Rajaratnam pernah mengatakan bahwa Kami di Singapura harus selalu berusaha maju setengah langkah melebihi negara-negara tetangga kami' Para ahli geografi ekonomi dapat memperkirakan ke arah mana pusat pertumbuhan ekonomi regional Pasifik bergerak sekiranya kanal Kra menjadi kenyataan, tapi rasanya tidak pernah terdengar apakah kita mempunyai skenario tertentu. Pembangunan kanal Kra belum tentu merugikan Indonesia selama kita membangun kekuatan ekonomi maritim sejalan dengan dinamika perubahan. Sekiranya kita pintar menjalin interdependensi ekonomi antar wilayah dan selama kita lebih tergantung satu sama lain di antara kita, lebih kuat dari ketergantungan eksternal, maka keutuhan bangsa dan negara akan senantiasa terjamin. Dengan kekayaan sumber daya alam yang juga sekaligus unik, sekiranya kita punya komitmen kuat untuk membangun ekonomi berdaya saing, kita bisa menciptakan pasaran dalam negeri yang besar dengan jumlah orang yang nantinya melebihi 250 juta, serta masih punya peluang berperan dalam ekonomi global. Masalahnya, sudahkah kita berpikir dan bergerak ke sana? Beberapa waktu yang lalu kita pernah kedatangan tamu dari India yaitu kapal induk Angkatan Laut India INS Virat sebagai tamu TNI AL. Berlainan dengan TNI AL yang puncak kebesarannya di tahun 1960-an didongkrak oleh bantuan Uni Soviet dalam rangka geopolitik, kekuatan militer India sepenuhnya lahir dari kemampuan industri srategiknya yang sudah lama dibangun sejak awal kemerdekaannya. AL India dibesarkan supaya Kekuatan angkatan laut kami sepadan dengan kemajuan-kemajuan pesat India di bidang ekonomi , demikian kira-kira bunyi pernyataan Panglima Armada Timur India. Bisa

diduga bahwa India melalui AL-nya bermaksud menjadikan Lautan Hindia sebagai wilayah pengaruhnya, mungkin tidak sendirian, tetapi bersama-sama dengan Amerika Serikat. Indikasi ini terlihat dari sikap lunak Amerika Serikat terhadap pengembangan teknologi nuklir India. Dari contoh India kita mendapat penegasan akan keharusan memperkuat bukan saja armada niaga sesuai asas cabotage , tetapi juga memperkuat seluruh instansi terkait pengamanan perairan Indonesia karena di samping menyandang fungsi keamanan, namun juga mempunyai fungsi memproyeksikan kehadiran negara dan fungsi diplomasi, terlebih lagi karena status sebagai negara kepulauan mengharuskan kehadiran negara di wilayah perbatasan laut yang begitu luas. Indonesia berada ditengah kehadiran negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Australia, India dan Cina yang walaupun bukan negara kepulauan, namun sudah punya visi dan kebijakan maritim, serta negara kecil seperti Singapura yang akan meraup keuntungan ekonomi dari perkembangan itu, dan Thailand yang juga melakukan hal yang sama. Jadi masalahnya adalah bahwa kita harus menuntaskan jati diri bangsa sebagai penghuni negara kepulauan, dan perlu mempunyai visi dan strategi yang cerdas dan kreatif untuk keluar dari paradigma agraris tradisional ke arah paradigma maritim yang rasional dan berwawasan global. Bukan karena ingin menjadi negara superpower tetapi demi kesejahteraan rakyat dan harga diri serta keamanan bangsa. Bukan beralih ke laut karena sudah terlalu banyak problem di darat seperti pengurasan sumber daya alam dan involusi pertanian, namun karena ingin mengintegrasikan sumber daya terestial dengan sumber daya perairan untuk mencapai nilai ekonomi tertinggi.

b. Permasalahan
a. Masalah integrasi data : data tersebar di berbagai instansi Bakorkamla merupakan badan yang terdiri dari beberapa instansi yang tentu saja harus solid satu instansi dengan instansi lainnya. Dalam upaya melaksanakan tugasnya, Bakorkamla harus dapat mengintegrasikan data yang tersedia di berbagai instansi. Suatu keadaan dimana pengadaan data spasial masih bersifat sektoral. Artinya pengadaan data spasial pada suatu instansi hanya untuk memenuhi kebutuhan instansi tersebut dengan standar yang ditetapkan adalah standar bagi instansi tersebut. Keadaan ini sering mengakibatkan terjadinya duplikasi pengadaan data antar satu instansi dengan instansi lain untuk lokasi yang sama. b. Penyebab jarangnya kegiatan informasi intelijen paska operasi kamla

Proses integrasi informasi intelijen paska operasi kamla jarang dilakukan. Permasalahan yang mungkin muncul dalam pelaksanaan di lapangan adalah penanggulangan tindak pidana dilakukan oleh instansi masing-masing sesuai dengan kepentingannya dalam mentertibkan dan menciptakan kepastian hukum. Selain itu, proses penyelesaian hukum dilakukan secara represif yaitu setiap perkara diajukan pada badan-badan peradilan dan badan-badan lainnya. c. Pencegahan kejahatan keamanan berbagai modus Belum tegasnya standar operasi yang diterapkan pada setiap kasus kejahatan/ pelanggaran di laut bisa jadi salah satu penghambat proses pencegahan kejahatan.

c. Terhadap Maksud, Tujuan, dan Sasaran


1. Maksud Bakorkamla sebagai badan yang bertugas dalam mengkoordinasikan lembaga-lembaga lain dalam pengamanan laut perlu untuk mengkaji tugasnya ini secara mendalam. Selain mendalam, kajian terhadap keamanan laut ini harus bersifat holistik dan melihat dari berbagai sudut pandang. Tentu saja kajian ini merupakan bagian dari rencana induk sehingga sangat berkaitan erat dengan berbagai konsep yang telah dibangun selama ini. Oleh karena itu, kajian kemanan laut ini harus terintegrasi dengan konsep yang telah ada. 2. Tujuan 1. Inventarisasi kasus-kasus yang selama ini terjadi dan melihat kecenderungan kasus-kasus tersebut dilatarbelakangi oleh modus apa saja. Selain itu, melihat juga kasus-kasus yang terjadi di negara lain terkait tindak kejahatan di kawasan laut. Dengan mengetahui kasus-kasus tersebut, kita dapat memperkirakan tantangan yang akan dihadapi di masa yang akan datang seperti apa. 2. Setiap stakeholders yang terkait dengan permasalahan keamanan laut harus terdata secara kelembagaan horizontal dan vertikalnya sehingga dapat diketahui hubungan keorganisasian antara stakeholders tersebut. 3. Menelaah fungsi setiap Stakeholders yang terkait dengan keamanan laut sehingga dapat terlihat fungsi yang masih belum terakomodir oleh stakeholders atau ada fungsi yang saling overlap antar stakeholders. Pemaduan informasi antar stakeholders data memberikan manfaat yang harus dirinci. 4. Menelaah perkembangan sistem dan prosedur operasi keamanan laut yang meliputi pengumpulan, penyimpanan, pengolahan dan pelaporan data dan informasi intelijen keamanan laut sehingga dapat diketahui sistem dan prosedur mana yang tepat untuk diterapkan di Indonesia.

5. Menelaah komponen-komponen yang membangun sistem informasi beserta fasilitas-fasilitas yang harus disediakan dalam pengoperasian sistem informasi keamanan laut. 6. Setiap data dan informasi yang dibutuhkan oleh para stakeholders harus dirinci metadatanya meliputi apa, kapan, darimana sumber datanya, dan bagaimana perolehan, penyimpanan, dan penyajian datanya serta tingkat kerahasiaannya. 7. Menelaah data dan informasi apa saja yang dibutuhkan oleh setiap stakeholders.

d. Terhadap Sasaran dan Lingkup Pekerjaan


1. Tersedianya hasil telaah atau kajian integrasi informasi intelijen pasca operasi kamla yang meliputi: a. Telaah mengenai pentingnya memadukan (integration) data dan informasi intelijen

keamanan laut yang tersebar baik secara vertical dan horizontal. Untuk memperoleh data dan informasi intelijen bisa sangat sulit didapatkan atau bahkan bersifat rahasia dan hanya bisa didapatkan melalui spionase (sumber tertutup). Selain itu ada juga data dan informasi intelijen yang bersifat terbuka yang dapat diperoleh dari media cetak ataupun elektronik. Mengintegrasi data yang berada di lembaga/dinas intelijen sangat penting berguna untuk memperbaiki dan mempercepat arus informasi yang ada. b. Telaah rinci mengenai terminologi, definisi dan diskripsi data dan informasi intelijen keamanan laut Data merupakan informasi tertentu yang akurat, lengkap, tepat, dan sesuai dengan yang sebenarnya sedangkan informasi intelijen adalah informasi yang dihargai atas ketepatan waktu dan relevasinya, bukan detail dan keakuratannya. Informasi intelijen mengacu pada perhatian dan pemahaman Negara terhadapa strategisnya, yang diperoleh melalui pengumpulan dan analisa yang bersifat rahasia maupun terbuka c. Telaah rinci mengenai karakteristik, kinerja, fungsi dan peran stokeholders Berdasarkan peraturan Presiden nomor 81 tahun 2005, terdapat 12 instansi yang terlibat dalam kegiatan di laut, di mana masing-masing instansi tersebut memliki kewenangan akan beberapa jenis kegiatan di laut. Setiap instansi mempunyai tugas pokok dan fungsi yang bersifat umum yang terkait dengan kelautan. Namun demikian, instansi yang terlibat langsung dalam operasi-operasi pengamanan laut Indonesia hanya 5 instansi. Instansi yang terlibat langsung dan melakukan operasi tersebut adalah TNI-AL, Polisi Indonesia, Departemen Keuangan (Bea Cukai), Kementrian Kelautan dan Perikanan serta Departemen Perhubungan.

d. Telaah rinci mengenai pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi terkini dalam mendukung pengumpulan data pergerakan unsur patrol keamanan laut. Mengingat luasnya wilayah laut Indonesia untuk melakukan pengawasan diperlukan system komunikasi yang lengkap, baik, berkelanjutan, andal dan akurat. Maka diperlukan sistem yang memberikan informasi cepat dan akurat yang dibutuhkan Bakorkamla. e. Telaah rinci mengenai lingkup dan persyaratan integrasi system jaringan dan komunikasi antar stakeholder. Salah satu bentuk kerjasama antar stakeholder adalah penggunaan data bersama (data sharing) maka diperlukan perangkat keras maupun perangkat lunak sebagai system komunikasi dan jaringan antar stakeholder. 2. Layout dan diskripsi system operasi dan prosedur pengelolaan data dan informasi intelijen keamanan laut pasca operasi kamla. Hasil akhir dari kajian ini berupa peta yang berisi informasi intelijen keamanan laut, pengambilan datanya diperoleh dari pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi terkini.

e. Terhadap Waktu Pelaksanaan


Sudah cukup jelas dari apa yang berkas yang tertulis pada KAK.

f. Terhadap Tenaga Pelaksana yang diperlukan


Sudah cukup jelas dari apa yang berkas yang tertulis pada KAK.

g. Terhadap Jumlah dan Jenis Laporan


Sudah cukup jelas dari apa yang berkas yang tertulis pada KAK.

3. LAUT INDONESIA
a. Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)
Indonesia sebagai negara kepulauan berarti suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Sebagai negara kepulauan Indonesia perlu menghormati perjanjian yang ada dengan negara lain dan harus mengakui hak perikanan tradisional dan kegiatan yang sah tetangga yang berdampingan dengan perairan Indonesia. Sesuai dengan pasal 53 tanpa mengurangi passal 50 UNCLOS 1982, bahwa semua kapal negara berhak menikmati lintas damai melalui perairan kepulauan. Suatu negara kepulauan dapat menentukan alur laut dan rute penerbangan diatasnya, yang cocok digunakan untuk lintas kapal dan pesawat udara asing yang terus menerus dan langsung serta secepat mungkin melalui atau di atas perairan kepulauannya dan laut teritorial yang berdampingan dengannya.

Penetapan ALKI dilakukan dengan mempertimbangkan aspek pertahanan keamanan negara dan kondisi hidro - oseanografi agar memungkinkan alur pelayaran yang aman untuk dilayari oleh setiap kapal. Keberadaan dua ALKI di KTI akan membuka peluang pengembangan ekonomi kawasan dengan menarik manfaat dari kondisi perekonomian di kawasan Asia Pasifik dan kerjasama ASEAN yang semakin berkembang, melalui pengoptimalan oulet/pelabuhan untuk ekspor maupun pembukaan jalur pelayaran sebagai akses ke pusat pasar dan perdagangan internasional (khususnya di kawasan Asia Pasifik dan ASEAN). ALKI sebagai salah satu alur laut perdagangan internasional perlu didukung dengan sistem transportasi laut nasional yang layak dan pengembangan outlet-outlet di KTI, serta dilakukan secara terpadu dengan pengembangan kawasan prioritas nasional, terutama Kawasan Andalan dan KAPET. Kebijakan pemerintah sangat dibutuhkan untuk mendukung pengembangan outlet/pelabuhan di KTI dengan prinsip: memantapkan daya saing, efisiensi usaha ekonomi, optimalisasi ALKI, pemantapan hirarki, peran dan fungsi pelabuhan laut, menjalin keterkaitan dengan outlet/pelabuhan negara lain (port to port), serta sinergis dengan Penataan Ruang Wilayah Nasional dan Sistem Transportasi Laut Nasional.

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang digunakan untuk melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan untuk pelayaran dari Laut Cina Selatan ke Samudera Hindia atau sebaliknya melintasi Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa dan Selat Sunda adalah ALKI I. ALKI I bercabang untuk pelayaran dari Selat Singapore melalui Laut Natuna dan sebaliknya. Alur Laut kepulauan yang dapat digunakan untuk melaksanakan hak lintas alur laut untuk pelayaran dari Laut Sulawesi ke Samudera Hindia atau sebaliknya melalui Selat Makasar, Laut Flores dan Selat Lombok adalah ALKI II. Alur Laut Kepulauan yang digunakan untuk melaksanakan hak pelayaran lintas laut Alur kepulauan dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia atau sebaliknya melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai dan Laut Sawu adalah ALKI III.

Gambar Alur Laut Kepulauan Indonesia

b. Masalah Laut Indonesia


Terdapat beberapa potensi permasalahan yang terjadi di perairan Indonesia1, antara lain:  Illegal, Unreported, Unregulated Fishing (IUUF) IIUF adalah kegiatan penangkapan ikan yang dilakuakan di wilayah yang tidak sesuai dengan izin, melebihi kuota atau tidak memiliki izin sama sekali. IUFF terjadi cenderung karena asalan ekonomi yang disebabkan oleh kurangnya sumber daya ikan yang dimiliki oleh pihak lain. Pihak lain ini adalah negara-negara yang berada di sekitar perairan Indonesia seperti China, Vietnam dan Thailand. Kapal yang pernah tertangkap oleh patrol keamanan laut Indonesia adalah kapal dengan kecepatan sedang dan persenjataan minim; akan tetapi dalam jumlah dan sebaran yang belum bisa ditangani oleh kapal patrol Indonesia. Kegiatan IUUF banyak didapati di Laut Arafuru, perairan Natuna dan perairan utara Sulawesi Utara.  Perompakan Kapal Dagang Posisi Indonesia yang strategis dalam jalur perdagangan dunia menyebabkan perairan Indonesia menjadi sasaran perompakan. Perompakan yang terjadi menghasilkan dampak reputasi yang kurang baik untuk Indonesia. Akibat persoalan ini produk dagang yang melintasi, berasal atau menuju Indonesia akan berkurang. Investasi asing untuk membangun pusat produksi baru di Indonesia juga berkurang sebagai dampak dari masalah tersebut. Wilayah

Studi Tipikal Infrastruktur Keamanan Laut di Pusat dan Daerah dalam Laporan Kajian Integrasi Informasi Intilijen dengan Sistem Komando Pergerakan Unsur Patroli Keamanan Laut

yang rawan akan perompakan antara lain adalah Selat Malaka, Pelabuhan Tanjung Priok, Pelabuhan Belawan dan Perairan Natuna.  Ekspor Ilegal Ekspor illegal muncul disebabkan oleh kelebihan sumber daya dan tersedianya subsidi terhadap beberapa komoditas di Indonesia. Komoditas yang banyak diekspor secara illegal adalah bahan bakar minyak, minyak kelapa sawit dan kayu. Bahan bakar minyak dan minyak kelapa sawit diekspor secara illegal ke Malaysia. Sedangkan China merupakan tujuan ekspor illegal komoditas kayu. Daerah yang rawan menjadi tempat ekspor illegal adalah pantai timur Sumatera, pantai utara Jawa dan perairan barat Irian.  Impor Ilegal Komoditas yang menjadi impor illegal ke Indonesia antara lain adalah telepon seluler, kendaraan, laptop dan barang elektronik lainnya. Kerugian yang ditimbulkan akibat kegiatan ini adalah berkurangnya bea masuk pemerintah dan meningkatnya persaingan bagi pengusaha dan industri dalam negeri. Wilayah yang rawan untuk kegiatan ini adalah pelabuhan yang letaknya sangat dekat dengan Negara tentangga seperti Pelabuhan Batam.

c. Operasi Keamanan Laut Indonesia


Sistem Komando Pergerakan Unsur Patroli Keamanan Perairan Indonesia yang luas dihadapkan kepada suatu masalah dalam usaja menjaga dan mengawasi perairan Indonesia yaitu penggunaan sarana dan prasarana terutama kapal patroli, sistem pengintaian dan pos pertahanan. Karena masalah ini, banyak masalah keamanan dan pelanggaran hukum yang tidak terjangkau oleh operasi pengamanan laut Indonesia sehingga banyak masalah yang tidak dapat ditangani. Hal ini juga dipengaruhi oleh intensitas operasi yang terbatas baik dilakukan secara terkoordinasi maupun mandiri oleh lembaga yang berwenang di laut. Akan tetapi, masalah keamanan perairan Indonesia terus berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi. Sistem komando patroli keamanan keamanan laut dilakukan untuk memadukan keguatan dan operasi keamanan laut yang dilakukan oleh instansi/lembaga sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Kegiatan keamanan laut Indonesia sendiri sendiri merupakan upaya dan tindakan terencana yang dilakukan secara fungsional dan rutin sesuai dengan lingkup tugas dan fungsi lembaga dalam menjaga, mengawasi, mencegah dan menindaki pelanggaran hukum serta keselamatan pelayaran dan pengamanan aktivitas massyarakat dan pemerintah di wilayah

perairan Indonesia. Sedangkan operasi keamanan laut adalah upaya dan tindakan terencana yang dilakukan secara khusus dan untuk tujuan dan sasaran tertentu oleh instansi yang berwenang (operasi mandiri) maupun beberapa instansi berbarengan (operasi bersama) dalam menjaga, mengawasi, mencegah dan menindaki pelanggaran hukum serta keselamatan pelayaran dan pengamanan aktivitas massyarakat dan pemerintah di wilayah perairan Indonesia. Kegiatan patroli keamanan laut berkaitan dengan fungsi penjagaan laut dan pantai sesuai yang dinyatakan dalam UU 17/2008 tentang Pelayaran, yaitu : y Melakukan pengawasan keselamatan dan keamanan pelayaran. y Melakukan pengawasan, pencegahan dan penanggulangan pencemaran di laut. y Pengawasan dan penertiban kegiatan serta lalu lintas kapal. y Pengawasan dan penertiban kegiatan salvage, pekerjaan bawah air serta eksplorasi dan eksploitasi keamanan laut. y Pengamanan sarana bantu dan navigasi pelayaran. y Mendukung pelaksanaan kegiatan pencarian dan pertolongan jiwa di laut.

4. SISTEM INFORMASI INTILIJEN & ORGANISASI KOORDINASI


a. Informasi intilijen
Informasi intilijen adalah informasi yang bernilai berdasarkan ketepatan waktu dan relevansinya. Informasi intilijen mengacu pada perhatian dan pemahaman suatu organisasi/lembaga/negara terhadap lingkungan strategisnya. Informasi intilijen diperoleh melalui pengumpulan dan analisa informasi, baik berupa informasi yang bersifat terbuka maupun tertutup. Informasi intilijen cenderung berhubungan dengan rencana, keputusan atau kegiatan suatu pihak yang dianggap bernilai lebih atau penting dari organisasi pengumpul informasi intilijen tersebut. Di tingkat nasional pada negara Indonesia biasanya dihubungkan dengan konsep intilijen sosial yang biasanya terkait dengan kondisi politik, nasionalisme serta hukum. Informasi intilijen untuk dinas intilijent atau organisasi terkait lainnya memiliki fungsi yang lebih. Informasi intilijen merupakan data aktif yang ditambah dengan proses dan hasil dari pengumpulan serta analisa data tersebut. Data aktif ini diperlakukan sebagai komponen yang brsifat flexible (sebagai data yang bersifat konstan maupun data yang besifat variable). Data ini digunakan untuk

memahami rahasia lawan, kompetitor sehingga dapat melakukan pencegahan dan peringatan sebelum peristiwa dan gerakan penting.

b. Proses informasi intilijen


Informasi yang dikumpulkan bisa sangat sulit diperoleh , bahkan informasi dapat bersifat rahasia dan hanya diperoleh melalui sumber tertentu. Pengumpulan informasi juga bisa berasal dari data yang beredar bebas di berbagai media, baik media cetak maupun elektronik. Informasi yang dikumpulkan biasanya berupa informasi yang berasal dari berbagai sumber. Informasi ini kemudian disimpan dengan pengururtan informasi sehingga dapat berguna pada saatnya. Hasil pengumpulan informasi intilijen, sumber serta metoda pengumpulan biasanya dirahasiakan. Proses yang harus ditempuh untuk menghasilkan data intilijen melalui lime tahapan yaitu: perencanaan, pengumpulan, pengolahan, analisa dan produksi serta pendistribusian informasi. 1. Perencanaan; tahap ini merupakan manajemen upaya produksi data intilijen. Dalam tahap ini termasuk di dalamnya permintaan spesifik dari lembaga/organisasi, kebutuhan data yang berhubungan dengan permintaan serta pendefinisian data secara khusus. Tahap ini juga menyangkut prioritasi isu-isu serta identifikasi aktor-aktor yang dibutuhkan untuk pengumpulan data intilijen tersebut. 2. Pengumpulan; merupakan proses pencarian informasi dengan menggunakan metode seperti pengumpulan dan perakitan dari ruang publik, seperti dari media masa dan jurnal akademis. Metoda lainnya adalah dengan menggunakan manusia sebagai sumber data intilijen atau yang menggunakan data terdahulu seperti laporan hasil operasi intilijen, interogasi, diskusi dan lainnya. Metoda yang biasa digunakan juga adalah pengumpulan data dan imformasi melalui intersepsi, pemantauan dan melokalisisr radio, microwave, radar dan cara-cara emisi elektromagnetik lainnya seperti intilijen komunikasi, intilijen elektronik, intilijen

elektromagnetik, intilijen instrumentalisasi asing, intilijen pengukuran dan penandaan, intilijen pencitraan, intilijen fotografis dan eksploitasi jaringan komputer. 3. Pengolahan; merupakan proses merubah informasi yang sudah dikumpulkan menjadi bentuk yang lebih tepat untuk dianalisa dengan metoda tertentu. 4. Analisa dan Produksi; adalah proses merubah informasi menjadi prosuk intilijen akhir. Analisa dilakukan sesuai dengan relevansi kepentingan, tepat waktu dan akurat sehingga produk dapat digunakan. Analisa harus dapat menjelaskan bagaimana suatu kesimpulan dapat dicapai

dan menyebutkan sumber-sumber yang digunakan. Faktor utama yang digunakan dalam proses analisa juga harus dijelaskan dan juga memiliki alternatif-alternatif pilihan apabila terdapat faktor yang berubah. Produk intilijen juga harus mampu meberi kejelasan kepada segala sesuatu yang belum diketahui. 5. Pendistribusian; merupakan proses penyebarluasan produk intilijen akhir untuk ditelaah atau disetujui oleh pembuat keputusan. Tingkat intilijen dibagi menjadi tiga tingkat, yaitu : (1) strategis (nasional), (2) taktis, dan (3) counterintelligence. Intilijen yang paling luas adalah data intilijen strategis yang di dalamnya terkandung informasi mengenai kemampuan negara lain. Intilijen taktis merupakan informasi yang biasanya dibutuhkan oleh militan di lapangan yang cenderung bersifat operasional. Pemimpin lembaga harus memperhitungkan informasi dari intilijen taktis dan strategis dalam pengambilan keputusan. Kontra intilijen fokus kepada upaya pencegahan lembaga/kelompok intilijen asing/lain dalam melakukan aksi yang merugikan. Hal ini terdiri dari upaya pertahanan seperti: penyidikan, seleksi dan pengintaian, serta upaya penyerangan. Dalam perkembangannya, informasi yang dikumpulkan bukan hanya informasi yang bersifat kemiliteran namun juga terkait masalah sosial, ekonomi, teknologi bahkan tentang pertanian dan aspek bidang lainnya. Tujuan informasi intilijen juga berkembang selain untuk militer namun juga untuk tujuan diplomatik kerjasama antar negara. Selain untuk kepentingan negara, informasi intilijen juga berguna untuk kepentingan bisnis. Informasi intilijen untuk kepentinga bisnis dilakukan dengan mengumpulkan informasi yang bersifat terbatas untuk kepentingan bisnis seperti prospek usaha atau investasi, daya beli serta kekuatan ekonomi. Informasi intilijen juga digunakan oleh kepolisian untuk mengatasi kriminalitas yang terjadi di masyarakat dengan menggunakan unit-unit reserse atau kejaksaan yang masing-masing memiliki kode etik sendiri.

c. Sistem Informasi intilijen


Informasi imtilijen di Indonesia ditangani oleh masing-masing lembaga sesuai dengan fungsi dan perannya. Seluruh lembaga yang menjalankan fungsi intilijen tergabung dalam satu sistem mekanisme koordinasi terpadu. Pengelolaan informasi intilijen di Indonesia dibagi menjadi lima, yaitu : 1. Intilijen Nasional

Di Indonesia, intilijen nasional yang menanganinya adalah Badan Intilijen Negara (BIN). Fungsi badan intilijen ini adalah untuk mengantisipasi ancaman keamanan dalam negari. 2. Intilijen Strategis Intilijen ini memiliki peran dalam pertahanan negara dan mengatasi ancaman keamanan yang bersifat eksternal. Di Indonesia, peran ini dipegang oleh Badan Intilijen Strategis (BIS) 3. Intilijen Militer Intilijen ini mencakup pengumpulan, analisa dan pemanfaatan informasi sebagai elemen untuk merencanakan dan menjalankan aksi militer. Kegiatan ini biasanya melibatkan mata-mata, penngintaian, teknologi mutakhir serta agen-agen lainnya. Peran ini berada di bawah pada satuan TNI. 4. Intilijen Instantional Fungsi intilijen ini adalah menjalan fungsi yustisia dan kriminal. Lembaga yang menjalankan fungsi ini adalah Intilijen Kepolisian, Intilijen Bea Cukai, Intilijen Imigrasi dan Intilijen Kejaksaan. Kegiatan intilijen yustisia secara prinsip mengarah kepada kegiatan penyelesaian perkara pidana khusus, pidana umum dan perdata tata usaha negara. Sedangkan intilijen kriminal memiliki fungsi sebagai peringatan dini dan identifikasi ancaman dan gangguan khususnya dalam bidang kriminalitas. 5. Intilijen Lembaga Terkait Intilijen ini memiliki fungsi menunjang informasi yang terkait dengan masalah keamanan nasional seperti Lembaga Sandi Negara, Badan SAR Nasional, Badan Narkotik Nasional, BMKG, Badan Pusat Statistik, Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) serta Badan Tenaga Atom Nasional. Masing-masing dinas intilijen memiliki ruang lingkup kerja, fungsi dan misi khusus yang menjadi suatu sistem kerja dan koordinasi dalam Lembaga Koordinasi Intilijen Negara (LKIN). LKIN bertanggung jawab untuk menciptakan koordinasi antar lembaga yang efektif sehingga terjadi koordinasi yang efektif dan tidak tejadi overlay peran dan fungsi antara lembaga-lembaga yang terkait.

d. Organisasi Koordinasi
Lembaga-lembaga yang terkait dalam upaya pengamanan laut Indonesia tergabung dalam suatu sistem struktur keorganisasian dimana masing-masing anggota yang ada di dalamnya memiliki fungsi dan perannya masing-masing. Dalam sebuah organisasi yang baik, struktur yang ada terbagi

menjadi lima fungsi : Strategic Apex, Middle Line, Technostructure, Supporting Staff dan Operating Core (Mintzberg, 1997). Pembagian fungsi ini memungkinkan terjadinya penyususnan struktur pembagian fungsi tersebut. Fungsi-fungsi tersebut akan membentuk aliran kewenangan yang memperlihatkan aliran informasi yang terjadi dalam struktur tersebut. Selanjutnya informasi akan digunakan sesuai tugas dan fungsi yang sudah ditetapkan oleh masing-masing lembaga sesuai dengan kesepakatan yang ditentukan. Strategi Appex merupakan kepala dari organisasi dimana Top Manajer dan jajaran direksi berada. Aktor-aktor ini bertindak sebagai kepala organisasi yang menentukan visi dan tujuan organisasinya. Tujuan utamanya adalah memaksimalkan kinerja organisasi yang ada. Middle Line adalah unit yang menterjemahkan kebijakan yang dikeluarkan oleh manajer/direksi untuk disampaikan ke pihak operasi. Jumlah anggota middle line tergantung kepada ukuran organisasi tersebut. Tujuan dari bagian struktut ini adalah mengelola dan mengkoordinasi unit-unit kerja dibawahnya serta memberikan feedback kepada strategic appex. Technostructure merupakan unit uang merumuskan kebijakan pimpinan dengan mengkaji dan menyarankan pedoman dan standarisasi tertentu. Sedangkan supporting staff merupakan unit yang memberikan dukungan untuk tugas organisasi secara keseluruhan. Tuntutan globalisasi dan kemajuan teknologi menuntut berbagai badan dan organisasi menata ulang strategi yang digunakannya dalam usaha melakukan kerjasama dengan badan dan oraganisasi lainnya. Keinginan untuk melakukan kerjasama dengan organisasi untuk menyusun kekuatan dan keunggulan baru dalam mengembangkan suatu tujuan tertentu menimbulkan suatu tindakan baru. Dalam kasus pengembangan sistem kemanan laut di Indonesia, tujuan untuk melindungi keamanan laut Indonesia menuntut kerjasama antar berbagai stakeholder, institusi pemerintah secara lintas sektor. Berdasarkan Evolusi Strategi Integrasi Sistem Informasi Ragam Konstitusi2 pendekatan yang dilakukan untuk melakukan integrasi terdapat enam tahap yang dijelaskan sebagai berikut :  Tahap I : Eksploitasi Kapabilitas Lokal Yang perlu dilakukan [ada tahap ini adalah melakukan pengembangan maksimal terhadap kapabilitas sistem informasi masing-masing organisasi. Tujuan dilakukannya tahapan ini adalah unuk memahami secara benar batasan maksimal kemampuan sistem informasi dalam
2

Indrajit, Richardus Eko, 2006 dalam Prosiding Konfrensi Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi untuk Indonesia 3-4 Mai 2006, Aula Barat & Timur Institut Teknologi Bandung

menghasilkan kebutuhan manajemen strategis dan operasional organisasi yang bersangkutan baik dilihat dari segi keunggulan maupun keterbatasannya. Tahapan ini bermanfaat bagi mereka yang belum benar-benar mengenali karakteristik dan spesifikasi sistem informasi yang dimiliki untuk dapat lebih mengerti kapabilitas kemampuan sistem yang sebenarnya3. Berbagai pendekatan teori manajemen dipakai untuk membatu proses ini, seperti : SWOT, risk assessment, gap analysis, value assessment dan lainnya. Esensi keluaran ini adalah pemhaman akan keunggulan dan keterbatasan sistem informasi yang dimiliki organisasi dalam memenuhi visi dan misi organisasi yang bersangkutan.  Tahap II : Lakukan Integrasi Tak Tampak Setiap kerjasama dua atau lebih organisasi cenderung mendatangkan kebutuhan baru yang tidak dapat dipenuhi oleh sebuah sistem informasi dalam suatu konsorsium. Tahapan ini dilakukan setelah tahapan pertama dengan mempertemukan CIO (Chief Information Officer) atau personel dengan otoritas tertinggi di bidang informasi untuk berdiskusi bersama mencari pemenuhan kebutuhan untuk mencapai tujuan. Secara teknis yang dihasilkan adalah ide-ide solusi dalam bentuk penambahan sejumlah komponen sebagai penhubung antar suatu sistem dengan sistem lainnya. Jadi yang dihasilkan secara vertikal, masing-masing sistem informasi tetap melayani setiap organisasi terkait, sementara secara horisontal telah dilakukan proses integrasi melalui penambahan komponen-komponen baru hasil diskusi beragam organisasi yang terlibat (misalnya: interface, middleware, application integration system, database clearing house, dsb).  Tahap III : Kehendak Berbagai Pakai Yang dilakukan pada tahap ini adalah melakukan evaluasi seberapa efisien dan optimum solusi tersebut berhasil dibangun terutama dalam kaitannya dengan pemanfaatan beraneka ragam sumber daya organisasi. CIO akan berkumpul dan melihat bahwa banyak peluang untuk meningkatkan kinerja solusi yang dihasilkan. Keluaran terpenting dari tahap ini adalah mulai bergesernya pemikiran-pemikiran yang didominasi oleh faktor emosional ke ide-ide brilian yang dipandu oleh pemikiran rasional.  Tahap IV : Redesain Arsitektur Proses Pada tahap ini penentu integrasi diuji kembali, karena yang akan terlibat tidak sekedar para CIO, melainkan pimpinan masing-masing organisasi. Dengan berpegang pada konsep dan teori BPR (Business Process Reengineering) sejumlah usaha untuk melakukan eliminasi, simplifikasi, integrasi, dan otomatisasi. Keluaran dari tahap ini adalah kesepakatan untuk melakukan kolaborasi secara
3

Indrajit, Richardus Eko, 2006

lebih jauh, yaitu dengan memperhatikan nilai pemegang kepentingan utama dari seluruh organisasi yang berkolaborasi. Ragam proses ini yang akan menjadi cikal bakal arsitektur sebuah sistem informasi terintegrasi yang dimaksud.  Tahap V : Optimalisasi Infrastruktur Rancangan baru yang dihasilkan pada tahap sebelumnya akan berjalan secara efektif, efisien, optimal, dan terkontrol apabila secara fundamental dilakukan penyesuaian terhadap infrastruktur organisasi yang ada dalam hal ini adalah arsitektur sistem informasi terintegrasi yang dimiliki.

Dalam kaitan inilah maka optimalisasi sistem informasi terintegrasi menghasilkan sebuah sistem dengan komponen-komponen lengkapnya seperti: perangkat keras, perangkat lunak, infrastruktur jaringan, sumber daya manusia, sistemdatabase terpadu, dan lain sebagainya. Keluaran dari tahap optimaliasi ini adalah sebuah sistem informasi terpadu yang dapat bekerja secara efektif melayani kepentingan vertikal maupun horisontal.  Tahap VI : Transformasi Organisasi Tahap terakhir yang akan dicapai sejalan dengan semakin eratnya hubungan antar organisasi adalah transformasi masing-masing organisasi. Transformasi yang mungkin terjadi antara lain : y Transformasi dari organisasi berbasis struktur dan fungsi menjadi organisasi berbasis proses; y Transformasi dari organisasi berbasis sumber daya fisik menjadi organisasi berbasis pengetahuan; y Transformasi dari organisasi berbasis kebutuhan pemilik kepentingan internal menjadi organisasi berbasis kebutuhan pemilik kepentingan eksternal; y Transformasi dari organisasi berbasis rantai nilai fisik menjadi organisasi berbasi rantai nilai virtual; dan lain sebagainya  Tahapan Setelah Integrasi Dengan memperhatikan rangkaian kejadian di atas, terlihat bahwa proses integrasi merupakan sebuah strategi transisi yang terjadi secara alami. Dalam prakteknya, rangakaian tahapan tersebut akan berlangsung membentuk siklus hidup yang tidak berkesudahan, sejalan dengan keinginan setiap organisasi untuk selalu memperbaiki kinerjanya dari waktu ke waktu. Setelah melalui proses evaluasi dan pembelajaran yang terjadi secara kontinyu dan berkesinambungan.

Anda mungkin juga menyukai