KATA PENGANTAR
Puji dan syukur tim penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
sehingga Laporan Hasil Impact Assesment Rehabilitasi Hutan dan Lahan dapat
diselesaikan tepat waktu. Kegiatan Impact Assesment Rehabilitasi Hutan dan
Lahan telah dilaksanakan oleh tim BPDAS Sei Jang Duriangkang Tahun Anggaran
2022 dengan mengacu pada Peraturan Direktur Jendral Pengendalian DAS dan
Hutan Lindung Nomor P.7/PDASHL/SET/KUM-1/8/2018 Tentang Petunjuk Teknis
Analisis Dampak (Impact Assesment) Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
Ucapan terima kasih tim penyusun sampaikan kepada :
1. Kepala BPDAS Sei Jang Duriangkang atas motivasi dan arahannya selama
rangkaian kegiatan Impact Assesment Rehabilitasi Hutan dan Lahan;
2. Seluruh pihak yang memberikan masukan selama rangkaian kegiatan
Impact Assesment Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak.
Tim Penyusun
i
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
BPDASHL SEI JANG DURIANGKANG
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI .................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................ 2
1.3 Maksud dan Tujuan ..................................................................... 3
1.4 Ruang Lingkup dan Sasaran Kegiatan .......................................... 4
1.5 Definisi/Pengertian ...................................................................... 4
BAB II. METODOLOGI .............................................................................. 10
2.1 Dasar Pelaksanaan ..................................................................... 10
2.2 Lokasi dan Waktu ....................................................................... 10
2.3 Pendekatan Monitoring ................................................................ 10
2.4 Prosedur Monitoring..................................................................... 11
BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 29
3.1 Karakteristik Biofisik Micro Catchment di Lokasi RHL ..................... 31
3.2 Keadaan Hidrologis Micro Catchment Sebelum Penanaman RHL .... 39
3.3 Dampak Penerapan RHL Terhadap Kondisi Hidrologi Micro
Catchment ................................................................................. 43
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 50
1. Kesimpulan ................................................................................. 50
2. Saran .......................................................................................... 51
BAB V. LAMPIRAN ...................................................................................... 52
ii
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
BPDAS SEI JANG DURIANGKANG
I. PENDAHULUAN
DAS (daerah aliran sungai) merupakan suatu hamparan lahan yang dibatasi
punggung gunung, bukit atau batas topografi pemisah aliran lainnya yang
menangkap curah hujan kemudian menyimpan dan mengalirkannya melalui
saluran-saluran pengaliran ke satu titik patusan (outlet) berupa muara sungai di
laut ataupun di danau. Pembangunan dengan unit kelola DAS, ditujukan sebagai
upaya perlindungan terhadap sumberdaya lahan dan air karena dampak hidrologis
sebagai akibat intervensi manusia terhadap sumber daya alam di suatu DAS dapat
diukur karena faktor masukan (curah hujan) dan faktor keluaran (limpasan dan
erosi) dapat dipantau secara berkelanjutan. Dengan demikian, pembangunan
dengan unit DAS diharapkan mampu memberikan arahan pembangunan yang
mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial dan ekologi serta bermanfaat terutama
dalam mengurangi resiko bencana banjir, kekeringan dan tanah longsor.
Sebanyak 108 Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia dalam keadaaan
kritis/rusak dicirikan dengan meningkatnya potensi serta frekuensi berbagai
bencana hidrometeorologi seperti banjir dan kekeringan. Berdasarkan sudut
pandang sektor kehutanan, meningkatnya frekuensi bencana hidrometeorologi
disebabkan oleh meningkatnya lahan kritis khususnya deforestasi. Deforestasi
merupakan alih guna lahan hutan menjadi penggunaan lahan lainnya, baik di dalam
maupun di luar kawasan hutan. Deforestasi umumnya terjadi akibat menurunnya
produktivitas hutan yang disebabkan pemanfaatan hasil hutan kayu tanpa
mempertimbangkan kemampuan ekosistem hutan untuk memulihkan kondisinya.
Berdasarkan data Ditjen PKTL (Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan),
Kementerian LHK pada periode 2019-2020 laju deforestasi di Indonesia telah
mengalami penurunan hingga 75% di angka 115,46 ribu ha. Hal ini tidak terlepas
dari upaya Pemerintah dalam mengurangi deforestasi, salah satunya dengan
mendorong kegiatan reforestasi.
Reforestasi dikerangkakan melaui kegiatan RHL (Rehabilitasi Hutan dan
Lahan). RHL merupakan upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan
meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan
perannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Berkaitan
dengan Pengelolaan DAS, RHL merupakan salah satu bentuk pemulihan daya
dukung DAS yang mengalami kerusakan akibat intervensi manusia dalam bentuk
pemanfaatan SDA (sumberdaya alam) di dalamnya. Oleh sebab itu, kegiatan RHL
umumnya dilaksanakan di lahan dikategorikan dan ditetapkan sebagai lahan kritis.
Penetapan lahan kritis dilakukan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
dengan mekanisme pengkategorian / pengelompokan yang didasarkan pada
Peraturan Direktur Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung Nomor
P.3/PDASHL/SET/KUM1/7/2018 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Peta Lahan
Kritis.
BPDAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai) Sei Jang Duriangkang
merupakan UPT (unit pelaksana teknis) Kementerian LHK di bidang pengelolaan
DAS yang salah satu tugasnya yaitu melaksanakan RHL. Wilayah kerja BPDASHL Sei
Jang Duriangkang meliputi seluruh wilayah di Provinsi Kepulauan Riau. Pada Tahun
2022 BPDAS Sei Jang Duriangkang melaksanakan penanaman RHL (P0) seluas 330
ha yang terbagi di 2 lokasi yang tersebar di Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau.
Mengingat alokasi sumberdaya kegiatan RHL cukup besar, maka perlu dilakukan
analisis dampak untuk mengukur efektivitas RHL terhadap upaya pemulihan DAS.
Pelaksanaan kegiatan Analisis Dampak RHL terhadap daya dukung DAS yang
selanjutnya disebut kegiatan impact assesmet RHL dilakukan di 14 micro
catchcment yang di dalamnya terdapat kegiatan RHL tahun 2022 dan tahun 2019.
Adapun kegiatan RHL Tahun 2022 berlokasi di Hutan Lindung Sei Tembesi seluas
300 ha dan Hutan Lindung Hulu Sei Gong seluas 30 ha, sedangkan kegiatan RHL
tahun 2019 yang dianalisis hanya di RHL Taman Buru Sembulang seluas 125 ha
(sebagai lokasi show window RHL tahun 2019).
1.5 Definisi/Pengertian
1. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung,
menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau
ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografi dan
batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktifitas
daratan;
2. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal balik
antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya,
agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya
kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan;
3. Karakteristik DAS adalah gambaran spesifik mengenai DAS yang dicirikan oleh
parameter yang berkaitan dengan keadaan morfometri, topografi, tanah,
geologi, vegetasi, penggunaan lahan, hidrologi, dan manusia;
4. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang
tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang
tersedia;
5. Program adalah instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang
dilaksanakan oleh instansi pemerintah/lembaga untuk mencapai sasaran dan
tujuan yang disertai penyediaan alokasi anggaran, atau kegiatan masyarakat
yang dikoordinasikan oleh instansi pemerintah;
6. Kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau
beberapa satuan kerja sebagai bagian untuk pencapaian sasaran yang terukur
pada suatu program dan terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan sumber
daya untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa;
7. Input adalah sumber daya yang diperlukan untuk melakukan kegiatan yang
diperlukan dalam rangka untuk menghasilkan keluaran (output);
8. Output atau Sasaran Kegiatan adalah barang atau jasa yang dihasilkan oleh
suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk mendukung pencapaian sasaran dan
tujuan kebijakan/program;
9. Outcome atau Sasaran Program adalah segala sesuatu yang dihasilkan dari
suatu program yang mencerminkan berfungsinya keluaran dari kegiatan-
kegiatan;
10. Impact (dampak) adalah perubahan jangka panjang pada masyarakat yang
ingin dituju sebagai akibat dari pelaksanaan pembangunan;
11. Pemantauan adalah kegiatan mengamati perkembangan pelaksanaan rencana
pembangunan, mengidentifikasi serta mengantisipasi permasalahan yang timbul
dan/atau akan timbul untuk dapat diambil tindakan sedini mungkin;
12. Evaluasi adalah penilaian yang sistematis dan objektif atas desain, implementasi
dan hasil dari intervensi yang sedang berlangsung atau yang telah selesai;
13. Analisis dampak (impact assessment) merupakan suatu proses identifikasi
konsekuensi atau dampak yang mungkin terjadi atau yang perlu diantisipasi di
masa depan akibat dari adanya suatu usulan kebijakan pembangunan;
14. Banjir adalah debit aliran sungai yang secara relatif lebih besar dari biasanya
akibat hujan yang turun di hulu atau di suatu tempat tertentu secara terus
menerus, sehingga air limpasan tidak dapat ditampung oleh alur/palung sungai
yang ada, maka air melimpah keluar dan menggenangi daerah sekitarnya;
15. Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan
tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan
air laut yang berada di darat;
16. Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah;
17. Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah
permukaan tanah;
18. Lahan kritis adalah lahan yang berada di dalam dan di luar kawasan hutan yang
telah menurun fungsinya sebagai unsur produksi dan media pengatur tata air
DAS;
19. Degradasi DAS adalah hilangnya nilai dengan waktu, termasuk menurunnya
potensi produksi lahan dan air yang diikuti tanda-tanda perubahan watak
hidrologi sistem sungai (kualitas, kuantitas, kontinuitas), yang akhirnya
membawa percepatan degradasi ekologi, penurunan peluang ekonomi, dan
peningkatan masalah sosial;
20. Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang selanjutnya disingkat RHL adalah upaya
untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan
sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem
penyangga kehidupan tetap terjaga;
21. Konservasi tanah dan air adalah upaya perlindungan, pemulihan, peningkatan
dan pemeliharaan Fungsi Tanah pada Lahan sesuai dengan kemampuan dan
peruntukan Lahan untuk medukung pembangunan yang berkelanjutan dan
kehidupan yang lestari;
22. Konservasi tanah adalah upaya penempatan setiap bidang tanah pada
penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan
memperlakukannya sesuai dengan syarat- syarat yang diperlukan agar tidak
terjadi kerusakan tanah sehingga dapat mendukung kehidupan secara lestari;
23. Infrastruktur hijau (green infrastructure) adalah pembangunan sarana dan
prasarana yang direncanakan secara strategis dengan memperhitungkan
ketersediaan ruang terbuka hijau yang berkualitas serta elemen lingkungan
lainnya;
45. Model Hidrologi adalah sebuah sajian sederhana dari sebuah sistem hidrologi
yang kompleks atau merupakan model yang menggambarkan secara abstrak
atau sederhana dari keadaan hidrologi yang mempunyai kesamaan dengan
keadaan hidrologi sebenarnya di lapang, dan model utama hidrologi meliputi
model fisik, analog dan digital (deterministik, stokastik, parametrik);
46. Model ”lumped” adalah suatu model hidrologi yang besaran dari variabel dan
parameter yang diwakilinya tidak mempunyai variabilitas ruang (spatial
variability), misalnya masukan berupa hujan rata-rata DAS;
47. Model ”distributed” adalah suatu model hidrologi yang besaran dari variabel dan
parameter yang diwakilinya mengandung variabilitas ruang dan waktu;
48. SIG (Sistem Informasi Geografi) adalah suatu sistem berbasis komputer yang
dapat digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, dan
memanipulasi informasi geografi.
Impact assesment RHL Tahun 2022 dilaksanakan selama periode Januari s.d
Desember 2022. Adapun lokasi kajian berada di lokasi penanaman RHL Hutan
Lindung Sei Tembesi (seluas 300 ha) dan RHL Hutan Lindung Sei Gong (seluas 30
ha) yang merupakan kegiatan penanaman RHL P0 tahun 2022 serta RHL Taman
Buru Sembulang (seluas 125 ha) yang merupakan kegiatan penanaman RHL P0
tahun 2019.
Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Secara umum dalam regulasi tersebut, metode
impact assesment RHL dilakukan melalui pendekatan prediksi dampak kegiatan RHL
terhadap nilai debit puncak, erosi, dan sedimentasi di suatu micro cathment yang di
dalamnya terdapat kegiatan RHL. Adapun prediksi di kegiatan impact assesment
RHL dilakukan menggunakan beberapa model prediksi debit puncak, erosi dan
sedimentasi.
faktor lereng (slope factor) yang dikembangkan oleh Benson (1962) yaitu
dengan menghitung lereng saluran antara 10% dan 85% jarak dari outlet
seperti ditujukkan pada Gambar 5.
6. Analisis Hidrologi
Intensitas Hujan
Intensitas curah hujan adalah tinggi atau kedalaman air hujan per satuan
waktu. Sifat umum hujan adalah makin singkat hujan berlangsung
intensitasnya cenderung makin tinggi, dan makin besar periode ulangnya
makin tinggi pula intensitasnya. Analisis intensitas curah hujan dapat
diproses dari data curah hujan yang terjadi. Intensitas hujan (mm/jam),
yaitu tinggi curah hujan yang terjadi sekian mm dalam kurun waktu 1 jam.
Apabila data hujan jangka pendek tidak tersedia, yang ada hanya data
b) Kapasitas Pengaliran
Perhitungan kapasitas pengaliran dilakukan dengan menghitung debit
maksimum (Qmaks) yang dapat ditampung suatu sungai / saluran drainase
di suatu DAS. Adapun persamaan yang digunakan menggunakan Rumus
Manning sebagai berikut :
Keterangan:
Qmaks = Debit maksimum (banjir puncak)(m3/detik),
A = Luas penampang sungai (m2),
n = Koefisien kekasaran dasar sungai rata-rata,
S = Kemiringan hidrolis sungai pada saat banjir maksimum (%),
R = Jari-jari hidrolis penampang sungai (m), dengan keterangan
R = A/p dan p = perimeter basah penampang sungai.
c) Hujan Wilayah
Informasi curah hujan pada masing-masing wilayah kerja dikumpulkan
semaksimal mungkin dari seluruh instansi yang mengoperasikan stasiun
cuaca atau pengamat dan pencatat curah hujan. Peta yang menunjukan
lokasi stasiun-stasiun pencatat hujan perlu disiapkan, untuk pengolahan data
spasial.. Informasi curah hujan meliputi jumlah curah hujan bulanan rata-
rata, banyaknya hari hujan rata-rata dalam satu bulan, dan curah hujan
harian maksimum untuk bulan tertentu. Untuk perhitungan diperlukan data
jangka panjang, minimal selama 10 tahun. Apabila data curah hujan antar
stasiun cuaca tersebut memberi indikasi tipe hujan orografis, maka dibuat
Metode Thiessen
Metode ini memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang
mewakili luasan di sekitarnya. Pada suatu luasan di dalam DAS dianggap
bahwa hujan adalah sama dengan yang terjadi pada stasiun yang
terdekat, sehingga hujan yang tercatat pada suatu stasiun mewakili
luasan tersebut. Metode ini digunakan apabila penyebaran stasiun hujan
di daerah yang ditinjau tidak merata, pada metode ini stasiun hujan
minimal yang digunakan untuk perhitungan adalah tiga stasiun hujan.
Hitungan curah hujan rata-rata dilakukan dengan memperhitungkan
daerah pengaruh dari tiap stasiun. Metode poligon Thiessen banyak
digunakan untuk menghitung hujan rata-rata kawasan. Poligon Thiessen
adalah tetap untuk suatu jaringan stasiun hujan tertentu. Apabila
terdapat perubahan jaringan stasiun hujan seperti pemindahan atau
penambahan stasiun, maka harus dibuat lagi poligon yang baru.
Perhitungan Sedimentasi
Muatan sedimen dapat diperoleh melalui pendekatan hasil prediksi erosi,
dengan menggunakan rumus :
8. Penyusunan Laporan
Tahapan ini dilakukan untuk menyampaikan informasi hasil impact assessment RHL
terhadap pemulihan DAS dalam bentuk laporan tertulis. Dengan ada tahapan
pelaporan ini diharapkan informasi mengenai manfaat RHL BPDAS Sei Jang
Duriangkang dapat diketahui dan dipahami khalayak umum.
merupakan sistem tempat terjadinya siklus hidrologi. Siklus hidrologi diawali dari
hujan yang jatuh ke bumi baik dalam bentuk hujan, embun maupun salju. Air hujan
langsung jatuh ke permukaan tanah apabila di daratan atau laut tersebut tidak ada
tumbuhan atau benda lainnya. Sedangkan pada tempat yang terdapat tumbuhan
atau benda lainnya, air hujan yang jatuh akan ditahan dan melekat di tajuk
tumbuhan atau benda tersebut. Bagian air yang ditahan dan melekat di permukaan
tumbuhan disebut air intersepsi (interception) dan peristiwa penahanan air di
permukaan tumbuhan disebut peristiwa intersepsi. Bagian air hujan yang ditahan
oleh tajuk tumbuhan maupun benda lainnya, sebagian akan tertahan dan menguap
ke udara, sebagian lagi akan terjatuh ke permukaan tanah. Bagian hujan yang
jatuh dari tajuk disebut lolosan tajuk (through fall), sedangkan bagian yang
mengalir di permukaan tumbuhan (ranting, batang) kemudian sampai ke
permukaan tanah, disebut aliran batang (stem flow). Pada kebanyakan studi
analisis neraca air, intersepsi dianggap penting untuk menentukan curah hujan
bersih (net precipitation) yang didefinisikan sebagai air tersedia untuk menjadi air
infiltrasi, aliran permukaan, aliran bawah permukaan dan air tanah.
Bagian air hujan yang sampai ke permukaan tanah sebagian akan masuk ke
dalam tanah dan sebagian lagi akan mengalir di permukaan tanah. Air hujan yang
masuk ke dalam tanah melaui permukaan tanah akibat gaya kapiler tanah dan gaya
gravitasi disebut infiltrasi. Sedangkan air hujan yang mengalir di permukaan tanah
disebut aliran permukaan (runoff). Air infiltrasi sebagian akan menguap (mengelami
evaporasi) dan sebagaian akan dimanfaatkan untuk proses transpirasi tumbuhan
sehingga kembali ke atmosfer (peristiwa evapotranspirasi). Air infiltrasi yang tidak
terevapotranspirasi sebagian akan terus mengalir ke tanah yang lebih dalam akibat
gaya gravitasi yang disebut perkolasi dan sebagian lagi akan mengalir horizontal
akibat gaya kapiler tanah yang disebut aliran lateral. Air perkolasi akan mengisi air
bawah tanah (ground water) yang kemudian akan masuk ke saluran air (sungai),
waduk maupun danau dalam bentuk aliran bawah tanah (ground water flow).
Sedangkan air yang aliran lateral akan keluar dari permukaan tanah dan mengisi
saluran air (sungai), waduk maupun danau dalam bentuk aliran bawah permukaan
(sub surface flow). Aliran permukaan terakumulasi di saluran air (sungai)
selanjutnya mengalir menuju danau atau waduk dan terus mengalir menuju laut
dalam bentuk over land flow. Ground water flow, sub surface flow dan over land
flow serta chanel precipitation (air hujan yang turun di badan air, yang umumnya
diabaikan) inilah yang merupakan unsur-unsur yang membentuk debit sungai.
Debit merupakan laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati
suatu penampang melintang sungai per satuan waktu. Data debit merupakan
informasi yang paling penting dalam pengelolaan DAS dan sumberdaya air. Debit
puncak diperlukan untuk merancang bangunan pengendali banjir, sedangkan debit
minimum digunakan sebagai dasar alokasi pemanfaatan air pada musim kemarau.
Sepanjang tahun debit mengalami fluktuasi akibat adanya masukan air dari air
hujan. Debit puncak dan debit minimum dibentuk oleh Ground water flow, sub
surface flow dan over land flow, yang ketiganya dipengaruhi oleh karakteristik DAS.
DAS yang baik memiliki fluktuasi debit pada musim penghujan dan musim kemarau
yang kecil karena aliran permukaan (over land flow) rendah. Dalam perjalanan air
dari hujan turun hingga bermuara ke lautan, sebagian air mengalami
evapotransipirasi (penguapan). Uap air bergerak keatas dan terkondensasi sehingga
terbentuklah awan dan terjadilah presipitasi (hujan, salju dan embun). Hal ini terus
berulang sehingga membentuk suatu sistem tertutup.
Kegiatan impact assessment memprediksi dampak kegiatan RHL terhadap
keadaan hidrologi micro catchment / DAS. Adapun keadaan hidrologi yang
diprediksi yaitu debit puncak, laju erosi dan sedimentasi. Untuk dapat memprediksi
dampak RHL terhadap parameter keadaan hidrologi tersebut perlu dipahami terkait
karskteristik biofisik micro catchment / DAS, keadaan hidrologi micro catchment
sebelum dilaksanakan kegiatan RHL dan prediksi keadaan hidrologi micro
catchment / DAS setelah kegiatan RHL.
kendala dalam analisis keadaan hidrologi di wilayah ini. Selain itu, lokasi RHL yang
berada di catchment area waduk serta ekosistem buatan lainnya juga menjadi
kendala dalam impact assessment. Oleh sebab itu, dalam kegiatan impact
assessment ini dilakukan beberapa justifikasi dalam pengukuran beberapa
parameter di lapangan, khususnya dalam pengambilan outlet micro catchment.
Karakteristik micro catchment / DAS dapat dikelompokkan menjadi dua
komponen utama yaitu 1) komponen yang relatif sulit dikendalikan dan 2)
komponen yang dapat dikendalikan. Kelompok pertama (relatif sulit dikendalikan)
terdiri dari komponen iklim, jenis dan struktur batuan (geologi), jenis dan sifat
tanah, topografi, kerapatan jaringan drainase/sungai dan luas DAS. Kondisi iklim
mencangkup suhu, kelembaban udara, angin, awan, radiasi dan hujan. Karakteristik
DAS lainnya yang meliputi sifat dan jenis tanah, struktur batuan dan topografi
mencerminkan kemampuan lahan alamiah dalam mendukung kehidupan.
Sedangkan komponen DAS yang dapat dikendalikan dan kerap mengalami dinamika
adalah penutupan lahan. Dalam konteks sumber daya DAS sebagai kesatuan
ekosistem, maka pemanfaatan lahan di DAS harus memperhatikan kemampuan dan
kepentingan / fungsi publik. Dengan demikian, hakekat pengelolaan DAS adalah
penatagunaan lahan untuk menciptakan keseimbangan distribusi air hujan di
daratan dalam kerangka ekosistem DAS.
Kegiatan penanaman RHL atau reforestasi merupakan suatu interfensi di
dalam DAS untuk menjadikan lahan tidak berhutan menjadi berhutan. Oleh sebab
itu, kegiatan impact assessment RHL terfokus pada simulasi dinamika perubahan
tutupan lahan dengan skenario reforestasi / RHL. Berkenaan dengan hal tersebut,
perlu dipahami beberapa tipe / kelas penutupan lahan di lokasi penanaman RHL
Hutan Lindung Sei Tambesi, RHL Hutan Lindung Hulu Sei Gong dan Taman Buru
Sembulang. Adapun karakteristik masing-masing tutupan lahan tersaji sebagaimana
Tabel 3.
0 125250
±500 750 1,000
.
! Meters
1°3'0"N
1°3'0"N
1°2'15"N
1°2'15"N
.
!
.
!
.
!
1°1'30"N
1°1'30"N
.
!
.
!
1°0'45"N
1°0'45"N
.
!
Gambar 12. Morfometri dan tutupan lahan di micro catchment RHL HL Sei Tembesi
Tabel 5. Tutupan lahan micro catchment di RHL Hutan Lindung Sei Tembesi
Jenis Tutupan Lahan Luas (ha) Persentase (%)
Micro catchment 1 156.21
Hutan Lahan Kering Sekunder 66.19 42.4
Pemukiman 24.11 15.4
Pertanian Lahan Kering Campur 29.73 19.0
Semak/Belukar 26.42 16.9
Tanah Terbuka 9.75 6.2
Micro catchment 2 209.30
Hutan Lahan Kering Sekunder 81.44 38.9
Pertanian Lahan Kering Campur 81.84 39.1
Semak/Belukar 16.95 8.1
Tanah Terbuka 29.07 13.9
Micro catchment 3 126.26
Hutan Lahan Kering Sekunder 3.56 2.8
Pemukiman 78.56 62.2
Pertanian Lahan Kering Campur 44.15 35.0
Micro catchment 4 63.39
Pertanian Lahan Kering Campur 63.39 100.0
Micro catchment 5 69.22
Pertanian Lahan Kering Campur 57.73 83.4
Waduk 11.48 16.6
Micro catchment 6 122.64
Pemukiman 0.30 0.2
Pertanian Lahan Kering Campur 122.34 99.8
Micro catchment 7 198.93
Pertanian Lahan Kering Campur 195.91 98.5
Tanah Terbuka 3.02 1.5
Secara umum, bentuk lahan di micro catchment RHL HL Sei Tembesi berbukit
dengan kemiringan sungai yang relatif datar. Micro catchment di dominasi tutupan
lahan pertanian lahan kering campur. Bahkan di micro catchment 3 didominasi
Kegiatan RHL di Kawasan Hutan Lindung Hulu Sei Gong dilaksanakan mulai
Tahun 2022 dengan luas 30 ha. Secara administrasi wilayah, penanaman RHL ini
berada di Kelurahan Sijantung, Kecamatan Galang Baru, Kota Batam. Secara
ekosistem DAS, RHL di Kawasan Hutan Lindung Hulu Sei Gong terdiri dari 1 (satu)
micro catchment, yang bermuara ke Waduk / DAM Sei gong. Oleh sebab itu,
kegiatan RHL di Kawasan Hutan Lindung Hulu Sei Gong diharapkan mampu
mengurangi erosi dan sedimentasi yang masuk ke dalam Waduk Sei Gong. Adapun
gambaran dan kondisi morfometri serta penutupan lahan di micro catchment RHL
Hutan Lindung Hulu Sei Gong tersaji sebagaimana Gambar 13, Tabel 6 dan Tabel 7.
Gambar 13. Morfometri dan tutupan lahan di micro catchment RHL HL Hulu Sei
Gong
Tabel 6. Morfometri micro catchment di RHL Hutan Lindung Hulu Sei Gong
Morfometri DAS
No
Luas (ha) Panjang (m) Beda Tinggi (m) Kemiringan (%)
1 392.62 2382.31 74 3.11
Tabel 7. Tutupan lahan micro catchment di RHL Hutan Lindung Hulu Sei Gong
Secara umum, bentuk lahan di micro catchment RHL HL Hulu Sei Gong berbukit
dengan kemiringan sungai yang relatif datar. Micro catchment di lokasi ini dominasi
tutupan lahan tanah terbuka dan pertanian lahan kering campur. Bahkan di micro
catchment lokasi ini tidak terdapat tutupan lahan bervegetasi hutan. Oleh sebab
itu, kegiatan revegetasi sangat tepat dilaksanakan di lokasi ini, untuk Waduk Sei
Gong.
morfometri serta penutupan lahan di 6 micro catchment RHL Hutan Lindung Sei
Tembesi tersaji sebagaimana Gambar 14, Tabel 8 dan Tabel 9.
Secara umum, bentuk lahan di micro catchment RHL Taman Buru Sembulang
berbukit dengan kemiringan sungai yang relatif datar hingga landai. Micro
catchment di dominasi tutupan lahan semak belukar. Hanya di micro catchment 1
dan 6 yang masih terdapat tutupan hutan sekunder yang cukup banyak.
Dalam kegiatan impact assessment RHL ini, dikaji kondisi hidrologis micro
catchment RHL. Dalam analisia aspek hidrologis, perlu dipahami siklus hidrologi,
dimana curah hujan merupakan satu-satunya input dalam sistem DAS / micro
catchment untuk di wilayah tropis. Dalam kajian data curah hujan didapatkan dari
2 (dua) stasiun hujan yaitu Stasiun Meteorologi Hang Nadim dan Stasiun
Pengematan Aliran Sungai (SPAS) DAS Tiung di Kota Batam yang dirata-ratakan
secara aritmatik. Curah hujan di nyatakan dalam satuan tiap 1 mm, yang berarti
dalam 1 m2 bidang lahan, curah hujan yang turun sebanyak 1 liter. Untuk intensitas
hujan rencana didasarkan pada kejadian hujan ekstrim yang pernah terjadi di Kota
Batam dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Selanjutnya air mengalami proses di
dalam sistem DAS yang dicerminkan dengan nilai koefisien aliran (C). Nilai koefisien
aliran ditentukan dengan kondisi eksisting tutupan lahan di micro catchment.
Selanjutnya air berikut partikel yang terlarut, mengalir menuju outlet, dengan
waktu tempuh (dari jarak terjauh di dalam micro catchment menuju ke outlet
)disebut dengan waktu konsentrasi (Tc). Waktu konsentrasi (Tc) sangat
dipengaruhi kondisi morfometri micro catchment sebagaimana telah dibahas
sebelumnya. Di outlet, luaran / output dari sistem DAS berupa debit dan muatan
sedimen. Dalam kajian ini, yang prediksi dilakukan terhadap debit puncak (Qp) dan
dampak berupa sedimentasi yang diprediksi dengan prediksi erosi USLE (telah
dilaksanakan pada kegiatan di BPDAS Sei Jang Duriangkang sebelumnya) dan SDR
(sediment delivery ratio).
Berdasarkan kondisi tutupan lahan di RHL Hutan Lindung Hulu Sei Gong
didapatkan koefisien aliran. Sedangkan bentuk lahan, ukuran serta morfometri
micro catchment yang medambarkan dengan waktu konsentrasi (Tc) air. Secara
umum, waktu tempuh di micro catchment cukup singkat, sehingga air akan cepat
terakumulasi di outlet atau dengan kata lain debit puncak akan lebih sering terjadi.
Adapun keadaan hidrologis di micro catchment RHL Hutan Lindung Hulu Sei Gong
tersaji sebagaimana Tabel 11.
Tabel 11. Keadaan hidrologis di micro catchment RHL HL Hulu Sei Gong
Intensitas Curah Debit
Micro Koefisien Tc Mak Erosi Sedimentasi
Hujan Hujan SDR
Catchment Aliran (jam) 3 (Ton/ha/thn) (Ton/ha/thn)
(mm/jam) (mm/thn) (m /s)
1 0.56 15.10 2.95 2660.5 9.23 36.77 0.291 10.72
Kegiatan RHL yang telah dilaksanakan merupakan salah satu upaya dalam
rangka pemulihan daya dukung DAS yang mengalami kerusakan terutama dalam
meningkatkan infiltrasi tanah, mengurangi aliran permukaan, erosi dan sedimentasi.
Penanaman RHL yang dilakukan melalui reforestasi di kawasan hutan diharapkan
memberikan penutupan lahan yang optimal sehingga tujuan penanaman RHL
tercapai. Dalam pembahasan ini, dikaji perbedaan respon micro catchment
terhadap masukan (input) berupa curah hujan pada kondisi eksisting dan skenario
RHL. Informasi ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagi seluruh pemangku
kepentingan dan para pengambil kebijakan (policy maker) terkait manfaat yang
tidak terukur (intangible benefit) dari adanya tutupan lahan hutan.
Tabel 14. Perubahan keadaan hidrologis sebelum dan sesudan Penanaman RHL
Sebelum RHL Setelah RHL Selisih Perubahan
Micro Debit Erosi Sedimentasi Debit Erosi Sedimentasi Debit Erosi Sedimentasi
Catchment Mak Ton/ha/ Ton/ha/ Mak Ton/ha/ Ton/ha/ Mak Ton/ha/ Ton/ha/
3 3 3
(m /s) thn thn (m /s) thn thn (m /s) thn thn
1 5.24 23.50 7.96 5.04 20.07 6.80 0.20 3.42 1.16
2 10.58 29.39 9.64 9.16 25.15 8.25 1.42 4.24 1.39
3 6.47 28.39 9.79 6.47 27.47 9.47 0.00 0.92 0.32
4 2.55 17.42 6.22 2.43 14.74 5.27 0.13 2.68 0.96
5 3.68 8.24 2.93 3.07 3.62 1.29 0.60 4.62 1.65
6 4.09 14.41 4.98 3.37 5.90 2.04 0.72 8.50 2.94
7 6.49 27.37 9.04 6.22 24.14 7.97 0.28 3.23 1.07
Berdasarkan hasil simulasi memalui skenario penerapan RHL Hutan Lindung Sei
Tembesi sebagaimana Tabel 14, terjadi penurunan debit puncak yang signifikan
hampir di seluruh micro catchment. Penurunan debit puncak tidak signifikan terjadi
di micro catchment 3, sebab proporsi luasan RHL di lokasi ini hanya 4,2% dari total
luas micro catchment. Namun demikian, terjadi penurunan erosi dan sedimentasi di
micro catchment 3, tentu dengan asumsi dengan adanya RHL (vegetasi hutan)
terdapat stratifikasi tajuk dan serasah yang mampu mengurangi daya rusak air
hujan terhadap tanah serta dapat memperbaiki struktur tanah. Asumsi ini juga
berlaku pada penurunan erosi dan sedimentasi di micro catchment 6. Dengan
persentase penanaman RHL sebesar 87,9% berdampak terhadap penurunan erosi
hingga 8,5 ton/ha/tahun serta sedimentasi sebesar 2,94 ton/ha/tahun. Penurunan
debit yang cukup signifikan terjadi di micro catchment 2 yang berarti bahwa
penerapan RHL berada di lokasi yang tepat, yaitu di lokasi yang mempunyai potensi
aliran permukaan tinggi.
Kegiatan RHL di Hutan Lindung Hulu Sei Gong seluas 30 ha berada di 1 (satu)
micro cathment. Adapun sebaran RHL di tersaji di Tabel 15 dan Gambar 11.
Sedangkan informasi perubahan keadaan hidrologi sebelum dan sesudah kegiatan
Penanaman RHL (dengan asumsi lokasi RHL bervegetasi hutan) tersaji di Tabel 16.
Tabel 15. Kegiatan Penanaman RHL HL Hulu Sei Gong di setiap micro cathment
Micro Catchment Luas (ha) Luas RHL (ha) Prosentase Luas (%)
1 392.62 32.63 8.3
Tabel 16. Perubahan keadaan hidrologis sebelum dan sesudan Penanaman RHL
Sebelum RHL Setelah RHL Selisih
Micro Debit Erosi Sedimentasi Debit Erosi Debit Erosi Sedimentasi
Sedimentasi
Catchment Mak Ton/ha/ Ton/ha/ Mak Ton/ha/ Mak Ton/ha Ton/ha/
3 3 Ton/ha/ thn 3
(m /s) thn thn (m /s) thn (m /s) /thn thn
1 9.23 36.77 10.66 8.99 35.52 10.35 0.24 1.26 0.31
Berdasarkan hasil simulasi memalui skenario penerapan RHL Hutan Lindung Hulu
Sei Gong, terjadi penurunan debit puncak, erosi. Kegiatan RHL yang diterpakan
berkisar 8,3% dari total luas micro cathment ini mampu menurunkan debit puncak
sebesar 0.24 m3/s, erosi sebesar 1,26 ton/ha/tahun dan sedimentasi sebesar 0.31
ton/ha/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan RHL di Hutan Lindung Hulu
Sei Gong berada di lokasi yang tepat, yaitu di lokasi yang mempunyai potensi aliran
permukaan dan erosi yang tinggi.
Buru Sembulang tidak turun secara signifikan. Hal ini disebabkan beberapa faktor
diantaranya 1) bentuk lahan di wilayah ini berbukit dengan kemiringan lereng
curam hingga sangat curam sehingga berpotensi meningkatkan aliran permukaan
langsung; 2) kemiringan sungai di Taman Buru Sembulang cenderung landai (lebih
curam jika dibandingkan dengan HL Sei Tembesi dan HL Hulu Sei Gong), sehingga
Tc relatif cepat; 3)Taman Buru Sembulang didominasi jenis tanah kambisol dengan
solum yang dangkal sehingga cepat jenuh dan daya tampunya rendah; 4) batuan di
Taman Buru sembulang relatif impermeable, sehingga memungkinkan air yang
sudah terinfiltrasi mengalami aliran lateral dan menjadi aliran bawah permukaan
(sub surface runoff).
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
1. Debit puncak yang tinggi disebabkan karakteristik DAS yang bersifat given
(susah dikendalikan) seperti bentuk lahan berbukit, solum tanah yang dangkal,
batuan yang impermeable dan faktor iklim. Oleh sebab itu, sangat tepat apabila
di Provinsi Kepulauan Riau dilakukan pemanenan air hujan dengan waduk;
2. Untuk menjaga daya dukung, adaya tampung serta umur waduk, perlu
dilakukan pengendalian terhadap erosi dan sedimentasi di catchment area. Oleh
sebab itu, kegiatan penanaman RHL di catchment area waduk perlu digalakkan
untuk mengurangi potensi erosi dan sedimentasi.
LAMPIRAN
Gambaran aktivitas di lapangan dan penemuan pembalakan kayu dari pohon peredu
Kondisi tanaman RHL di Taman Buru Sembulang