LAPORAN AKHIR
INSENTIF PENINGKA
KATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PE
PEREKAYASA
RISET
ET ADAPTIF PENANGKAPAN
N
DII WILAYAH
W PENGELOLAAN
REHABILIT
ITASI TERUMBU KARANG BUA
UATAN
(Tinjauan Aspekk Penggunaan
Pe Bubu Laut Dalam
md dan Rawai
Dasarr sserta Aspek Sosial Ekonominya)
ya)
KEMENT
NTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
AN
PENELITI/PREKAYASA
INSENTIF PENINGKA
KATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PE
PEREKAYASA
KEMENT
NTERIAN RISET DAN TEKNOLOG
GI
2012
BALAI PENELITIAN PERIKANAN LAUT
BADAN RISET KELAUTAN DAN PERIKANAN
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN AKHIR
Pangkat jabatan
Fungsional : Peneliti Madya
2
EXECUTIVE SUMMARY
3
pengeluaran dana pada termin pertama sebesar 100 %. Selanjutnya kegiatan masuk
pada termin kedua yang menyelesaikan 45 % dari fisik kegiatan seperti pengadaan
alat bantu peneltian dan assesoris alat tangkap, distribusi alat tangkap,
pengumpulan data, monitoring, evaluasi, dan pelaporan. Proporsi pengeluaran dana
termin kedua sebesar 80,2 %. Kendala yang dihadapi adalah cuaca dan kondisi laut
yang tidak kondusif, oleh karena itu masih tersisa kegiatan pengumpulan data yang
harus diselesaikan pada termin berikut.
Metode pencapaian target kinerja litbangyasa meliputi (a) kerangka
penelitian yang terfokus pada analisis alat tangkap dan analisis pengguna alat
tangkap; (b) pendekatan yang mengacu pada pola agribisnis dan partisipasi
masyarakat dalam seluruh fase kegiatan; (c) Wawancara yang menghimpun
persepsi nelayan partisipan; dan (d) Analisis finansial yang menjadi tolok ukur
kelayakan ekonomi pada usaha perikanan.
Sinergi Koordinasi Kelembagaan-Program terbentuk dari integrasi pengkajian
secara partnership dari tiga komponen penting dalam pengembangan dan penelitian
sektor perikanan, seperti peneliti, perekayasa dan nelayan. Dengan jalan ini,
program pemerintah dapat diterjemahkan secara cepat dan tepat sasaran, sehingga
terjadi difusi informasi dua arah yang mempercepat transfer dan adopsi teknologi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa CPUE bubu rata-rata 1,1 kg/unit/trip
untuk perairan Pulau Pari dan 2,4 kg/unit/trip untuk perairan Pulau Pramuka. CPUE
pancing rawai rata-rata 5 kg/unit/trip. Perikanan bubu dan rawai tergolong layak
ekonomi jika terintegrasi dengan perikanan multi alat tangkap. Nilai tambah
pendapatan dari penggunaan bubu berkisar pada Rp 196.000 – Rp 400.000 per trip
penangkapan, sedangkan nilai tambah rawai Rp 250.000,- per trip. Bubu laut dalam
dan rawai dasar horizontal memiliki prospek untuk dikembangkan dalam skala
besar, tetapi dengan beberapa catatan yang perlu diperbaiki. Perbaikan menyangkut
pola usaha perikanan, karena kedua alat tangkap tersebut tidak bisa berdiri sendiri
dan masih membutuhkan teknologi pendukung atau alat bantu lain atau alat tangkap
lain agar usaha menjadi lebih efisien dan efektif.
Oleh karena itu pengembangan bubu dan rawai harus dalam bentuk paket
perikanan multi sarana dan prasarana yang menjamin peningkatan nilai tambah
ekonomi. Pengembangan juga termasuk paket restrukturisasi kelembagaan
agribisnis perikanan setempat.
4
DAFTAR ISI
Bab Halaman
EXECUTIVE SUMMARY 3
DAFTAR ISI ........................................................................... 5
I PENDAHULUAN
Latar Belakang ................................................................ 6
Pokok Permasalahan ....................................................... 8
Maksud dan Tujuan Kegiatan .......................................... 10
Metodologi Pelaksanaan ................................................ 10
II PELAKSANAAN KEGIATAN 13
Tahapan Pelaksanaan Kegiatan .................................... 13
Pengelolaan Administrasi Manajerial ............................ 15
III METODE PENCAPAIAN TARGET KINERJA 18
Metode Pencapaian Target Kinerja ................................. 18
Potensi Pengembangan Ke Depan ................................. 28
IV SINERGI PELAKSANAAN KEGIATAN ................................... 31
Sinergi Koordinasi Kelembagaan-Program ..................... 31
Kerangka Pemanfaatan Hasil Litbangyasa ..................... 33
V PENUTUP ............................................................................ 36
Kesimpulan ..................................................................... 36
S aran ....................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA ............................................................. 39
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran Tabel Ikan ...................................................... 42
Lampiran Uji Statistik ANOVA ........................................ 44
Lampiran Analisis Finansial .......................................... 45
Lampiran Foto Dokumentasi .......................................... 49
5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
6
pendapat nelayan di Jawa Tengah dan Kepulauan Seribu menunjukkan bahwa
wilayah tangkap di areal rehabilitasi terumbu buatan masih dianggap sebagai
wilayah cadangan sumberdaya, sebab mayoritas mereka masih menyukai
menangkap di areal terumbu karang. Sebagian mereka masih mempertimbangkan
wilayah rehabilitasi sebagai lokasi rekreasi pancing dan sebagian yang lain masih
ragu-ragu menggunakan jaring di wilayah TKB. Nelayan pulau Seribu pernah pula
mencoba muroami dengan hasil yang cukup besar. Namun alat ini sudah dilarang
digunakan karena cepat menguras sumberdaya ikan. Nelayan pulau Pari malah
belum secara penuh untuk menangkap ikan di area TKB, karena masih terbiasa
dengan penangkapan tongkol. Rumah tangga perikanan di Pulau Pari adalah 70 %
penangkap tongkol dan hanya 10 dari mereka memiliki pancing dasar atau nyaris
diantaranya malah tidak mempunyai pancing rawai dasar. Catatan penggunaan
bubu oleh segelintir nelayan Pulau Pari masih di area sekitar goba dan terumbu
karang. Aplikasinya di wilayah TKB belum populer, sementara fungsi TKB adalah
untuk mengalihkan pemanfaatan terumbu karang agar tetap lestari.
Sebagian besar perhatian kegiatan pemerintah pada TKB masih dalam tahap
monitoring karena proses rehabilitasi masih berlangsung (Anonimous, 2007). Umur
TKB di pulau Seribu dan Jawa Tengah baru sekitar 10 tahun, sementara di
Karangasem Bali berumur 21 tahun pada tahun 2011. Evaluasi dampak baru
mencakup TKB Bali (Edrus, 2002). Diseminasi hasil rehabilitasi cukup baik
disediakan oleh kegiatan pengadaan TKB di Bali (Edrus & Suprapto, 2005) dan
Pulau Seribu (Anonimous, 2007). Hasil monitoring menunjukkan hal positif dalam
perbaikkan habitat. Namun, informasi perikanan tangkap di wilayah TKB masih sulit
diperoleh, karena belum sepenuhnya wilayah TKB dimanfaatkan, sementara
masyarakat membutuhkan proses pembelajaran dari hasil riset penangkapan di TKB
untuk mengaplikasi alat tangkap yang prospektif namun ramah lingkungan.
Keberhasilan kegiatan rehabilitasi habitat sumberdaya perikanan ditentukan
oleh tingkat pemanfaatan hasilnya oleh pengguna sasaran. Sebagai konsekuensinya
adalah bahwa keberhasilan tersebut sangat bergantung pada terjadinya difusi
inovasi dalam satu sistem sosial masyarakat sasaran yang sama dan proses adopsi
di antara satu atau lebih sistem sosial yang berbeda dalam pola kebiasaan
penangkapan ikan. Oleh karena itu, desiminasi teknologi dan informasi merupakan
suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan introduksi teknologi itu
sendiri. Hasil riset penangkapan, baik itu dalam skala mina bisnis maupun dalam
7
skala adaptif, akan berpengaruh dalam mempercepat proses adopsi suatu alat
tangkap. Sukses penerapan teknologi yang sesuai dengan kondisi habitat
sumberdaya perikanan yang diperkaya, seperti misalnya di area terumbu buatan
(shelter atau rumpon dasar), dapat menjadi dasar pijakan nelayan dalam membuat
keputusan untuk adopsi teknologi.
B. Pokok Permasalahan
8
negatifnya, sementara pengetahuan tentang kekuatannya berguna untuk
memperbesar keuntungannya.
Ini semua menjadi suatu hal yang menarik untuk dianalsis, yaitu apakah
introduksi suatu teknologi betul-betul memecahkan masalah teknis penangkapan,
kebutuhan dan sosial ekonomi rumah tangga perikanan. Di lain pihak juga timbul
pertanyaan bahwa apakah masyarakat nelayan sudah betul-betul dikondisikan
sebagai penerima teknologi TKB atau sudah betul-betul membuka diri terhadap
pola-pola penangkapan yang berbeda dari kebiasaannya. Jawabannya adalah
prospek alat tangkap harus jelas, di mana CPUE alat tangkap yang diadaptasi betul-
betul dapat menjadi pembelajaran yang baik agar mereka dapat menentukan pilihan
pada aplikasi selanjutnya.
Terumbu karang buatan (TKB) sebagai wilayah tangkap perikanan
diasumsikan rentan pada penangkapan berlebih. Kegiatan rehabilatasi perairan
pantai justru melakukan introduksi teknologi TKB untuk peningkatan produksi
perikanan, sehingga mulai dari alat tangkap muroami, jaring lingkar, pancing, rawai
dan bubu dan sebagainya dapat diterapkan pada wilayah tangkap TKB. Sifat-sifat
alat tangkap tersebut tentu akan berbeda dampaknya pada sediaan sumberdaya
ikan dan demikian pula respon masyarakat terhadap penggunaan alat tangkap
tersebut. Seberapa besar produksi yang diizinkan dalam pemanfaatan wilayah TKB
yang juga dianggap sebagai area rehabilitasi belum terdapat ketentuannya, karena
dampak dari penggunaan masing-masing alat tangkap belum terukur dan
pengukurannya perlu dilakukan untuk memberikan ketegasan dalam pengelolaan
wilayah tangkap yang direhabilitasi. Bubu dan rawai dapat dipandang sebagai alat
yang prospektif dan sekaligus aman untuk wilayah penangkapan di TKB. Oleh
karena itu, karakteristik hasil tangkapan bubu dan rawai, sifat ekonomis dan
penerimaan masyarakat atas teknologi ini dalam kaitannya dengan wilayah tangkap
TKB harus diekspose, agar cara pengelolaan perikanan tangkap di wilayah
rehabilitasi dapat diatur dan direkomendasikan untuk kepentingan pemanfaatan
jangka panjang.
9
C. Maksud dan Tujuan Kegiatan
D. Metodologi Pelaksanaan
1. Lokus Kegiatan
Wilayah uji coba dan pengkajian alat tangkap bubu dan rawai meliputi
perairan pulau Seribu (P. Pramuka dan Pari), Kabupaten Kepulauan Seribu. Wilayah
gelar teknologi meliputi perairan Baranglompo Sulawesi Selatan yang secara
geografis serupa dengan perairan Kepulauan Seribu, dimana pengaruh kota besar
cukup besar dan juga merupakan wilayah rehabilitasi dengan adanya penanaman
shleter fish.
2. Fokus Kegiatan
Isu Pokok : Besaran dampak dari aplikasi Terumbu Karang Buatan (TKB)
dan adopsi teknologi alat tangkap yang sesuai untuk wilayah TKB
tersebut perlu terukur dan sekaligus komparatif untuk mengungkap
sukses dari program rehabilitasi habitat. Indikator yang penting dari
keberhasilan itu adalah peningkatan produksi perikanan yang benar-
10
benar mampu meningkatkan kesejahteraan nelayan. Nelayan perlu
contoh untuk menentukan pilihan atas adopsi teknologi alat tangkap yang
diintroduksikan. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak
teknologi yang diintroduksikan untuk masyarakat pedesaan tidak dapat
digunakan karena alasan teknis (tidak familiar), sosiologis (faktor
kebiasaan) maupun ekonomis (faktor investasi).
Solusi: Adaptasi terhadap teknologi yang sudah ada, seperti bubu dan
pancing rawai untuk menguji wilayah rehabilitasi TKB perlu diintegrasikan
bersama nelayan guna sekaligus mengkaji efektifitas dan produktivitas
alat tangkap tersebut, sehingga nelayan memiliki keyakinan tinggi untuk
mengadopsi teknologi tersebut melalui pertimbangan kesesuaian teknis
(mudah), ekonomis (produktif, efisien dan menguntungkan) serta
sosiologis (preferensi yang tinggi untuk merubah pola penangkapan dan
adopsi teknologi).
3. Ruang Lingkup
Kegiatan ini berupa introduksi (pengadaan) alat tangkap bubu dan rawai,
percobaan penangkapan, dan kemudian dilakukan analisis hasil tangkapan dan
analisis finansial. Secara sinergis dengan proses penangkapan, dikumpulkan juga
informasi tentang pendapat dan sikap masyarakat, di mana dengar pendapat
dilakukan lebih awal sebelum proses pengadaan alat dan penangkapan dilakukan.
Percobaan penangkapan dilakukan dengan mengintegrasikan nelayan terpilih
berbasis area tangkap TKB dan dilakukan pula percobaan penangkapan komparatif
11
di luar area TKB. Lokasi percobaan kemudian ditentukan dengan jalan melakukan
penyelaman untuk memastikan prospek wilayah tangkap.
4. Bentuk Kegiatan
12
BAB II
PELAKSANAAN KEGIATAN
1. Perkembangan Kegiatan
13
Pramuka masih menunggu kondisi perairan menjadi lebih baik (arus lemah
dan air pasang tinggi, sekitar Oktober dan Nopember).
Pengumpulan data dan informasi hasil tangkapan sudah dilaksanakan
di akhir bulan Agustus dan awal bulan September. Sebagian data sudah
ditabulasi dan dianalisa.
Pembuatan diorama miniatur alat tangkap merupakan sebagian kecil
dari kegiatan. Pemanfatannya adalah sebagai panel gelar teknologi, baik
pada acara pameran Hari Teknologi Nasional bulan Agustus 2012 atau untuk
digelar saat temu lapang, khususnya di Baranglompo, Sulawesi Selatan pada
kegiatan termin ke tiga.
14
dalam pemanfaatan kawasan tangkap secara lokal, karena akan merugikan
nelayan bubu setempat.
Hambatan yang lain adalah bahwa penempatan alat tangkap tidak
mungkin mendekati fish shelters, karena disamping lokasinya sulit dipastikan
secara tepat oleh nelayan, respon ikan terhadap bubu lebih kecil dibanding
respon ikan terhadap konstruksi shelter itu sendiri. Terlebih lagi banyak jenis
ikan berkelas ekonomis tinggi seperti kerapu yang bersifat kriptik dan memiliki
afinitas yang kuat terhadap celah-celah shelter. Namun, hambatan seperti ini
dapat diatasi dengan suatu asumsi bahwa dampak adanya fish shelter
tersebut cukup luas pada kawasan perairan, terutama dalam peningkatan
populasi dan sumberdaya perikanan sekitarnya. Seperti diketahui dari
kegiatan penyelaman bahwa kawanan-kawanan ikan yang memiliki mobilitas
tinggi menjadi indikasi penting pada membaiknya kondisi sumberdaya
perikanan di wilayah rehabilitasi. Dengan demikian, lokasi penempatan alat
tangkap pada perairan dalam menjadi relatif luas dan mampu menjauhkan
nelayan pada pemanfaatan perairan pesisir atau terumbu karang.
1. Perencanaan Anggaran
15
Komposisi penggunaan anggaran termin pertama yang diterima
sejumlah Rp. 53.455.000,0 (Tabel 1) adalah sebagai berikut :
a. Gaji Upah 2 %
b. Bahan, alat Bantu dan jasa 90 %, terdiri atas
c. Komputer suplai/assesories 3 %
d. Pembuatan alat tangkap bubu dan pancing rawai 87 %
e. Perjalanan 8 %.
Tabel 1. Rencana dan realisasi penggunaan anggaran kegiatan PKPP 2012 Ristek
untuk kegiatan Riset Adaptif Penangkapan di Wilayah Rehabilitas Terumbu
Buatan (Tinjauan Aspek Penggunaan Bubu Laut Dalam, Rawai Dasar dan
Aspek Sosial Ekonominya) sampai dengan termin kedua 21 September
2012
TOTAL DANA RENCANA TERMIN 1 REALISASI TERMIN 1 RENCANA TERMIN ke 2 REALISASI TERMIN 2
No. MATA ANGGARAN
TERSEDIA Maret % Mar-Mei % Jun-Okt % Jun-Sept %
2 Bahan Habis pakai 71.400.000 55.484.000 92 48.180.000 90 15.055.000 15,1 14.091.500 14,1
16
sistem swakelola dan sudah sesuai dengan peraturan dan perundang-
undangan yang berlaku, seperti yang juga tertuang dalam Buku Panduan
Intensif PKPP 2012. Memperhatikan jumlah nominal harga barang dalam
setiap item pembelian per unit kebutuhan barang dan jasa yang masing-
masing bersifat spesifik (antara nominal yang terendah Rp 30.000 sampai
yang tertinggi Rp 10.000.000), maka pembelian dapat dilakukan langsung
tanpa perantaraan tender. Setiap pengeluaran dengan nominal yang
dipersyaratkan untuk pembayaran pajak, maka pengeluaran tersebut
diperhitungkan dan dikeluarkan pajaknya sesuai peraturan yang berlaku.
17
BAB III
METODE PENCAPAIAN TARGET KINERJA
18
khususnya dalam lokasi percobaan yang berbeda. Keberagaman dan komposisi
jenis ikan merupakan salah satu indikator penting untuk menyatakan bahwa proses
rehabilitasi atau pengkayaan habitat telah berhasil guna.
Percobaan penangkapan juga difokuskan pada jumlah alat, jumlah tawur dan
waktu/durasi operasional untuk menganalisis produktivitas alat tangkap, di mana
CPUE = produksi per unit alat per satuan waktu (Sparre and Venema. 1992;
Gulland, J.A. 1993).
Intensitas masyarakat dalam kegiatan dapat diukur dari integritasnya dalam
pertemuan, perencanaan, pelaksanaan, dan analisis hasil. Intensitas tersebut akan
disusun menurut rangking dari persentasi keterlibatan dan kemudian diberi
pembobotan dari setiap integritas tersebut. Integritas nelayan pada kegiatan sangat
penting, karena diharapkan mereka mampu mempertimbangkan untuk keberlanjutan
dan kemandirian usaha (WORLD BANK. 1996)
Input pada sistem produksi, baik berupa barang maupun jasa, berikut nilai
volume dari produksi ditetapkan dan kemudian dilakukan analisis finansial untuk
mendapatkan nilai Break Evan Point (BEP), Return of Invesment (ROI), B/C Ratio,
dan jangka waktu pengembalian modal (Balitbangtan. 2002; Kadariah. 1988).
19
3. Perkembangan dan Hasil Pelaksanaan Penelitian
Perikanan Bubu
20
hari sekali selama musim timur (Juli – September 2012). Trip pemasangan bubu
dalam musim timur tersebut bervariasi antara nelayan yang satu dengan yang lain,
yaitu mulai dari 5 trip sampai 18 trip penangkapan. Setiap trip penangkapan
menggunakan 5 sampai 10 unit bubu. Hasil tangkapan bubu untuk Pulau Pari
ternyata kurang dari separuh hasil tangkapan bubu di Pulau Pramuka. Rata-rata
CPUE bubu yang dipasang di Pulau Pari sebesar 1,1 kg/unit bubu/trip. CPUE bubu
yang dipasang di Pulau Pramuka sebesar 2,8 kg /unit bubu/trip. Alat bantu rumpon
pelepah kelapa yang digunakan nelayan Pulau Pramuka ternyata lebih membantu
dalam peningkatan hasil tangkapan.
Uji statistik ANOVA untuk perbedaan rata-rata CPUE pada masing-masing
lokasi tersebut pada tingkat kepercayaan α = 0,1 menghasilkan nilat F-hitung (3,95)
lebih besar dari F-tabel (3,17), karenanya uji ANOVA tersebut menunjukkan adanya
perbedaan rata-rata CPUE di 2 lokasi tersebut. Penyebabnya diasumsikan adalah
adanya penggunaan bubu bambu dan rumpon daun kelapa.
Menurut nelayan laju tangkap bubu bambu lebih cepat dari bubu kawat atau
bubu behel. Bubu bambu dalam dua hari sudah terisi ikan, sementara bubu kawat
dan bubu behel dalam 4 hari baru dapat ikan. Seluruh nelayan Pulau Pramuka
menggunakan bubu bambu, sedangkan nelayan Pulau Pari menggunakan jenis
bubu beragam seperti bubu kawat, bubu bambu dan bubu behel. Bubu kawat atau
bubu behel disenangi nelayan karena memiliki daya tahan cukup tinggi, sehingga
memberikan peluang lebih besar dalam pengembalian modal dibanding bubu bambu
yang hanya memiliki umur teknis 2 sampai 3 bulan yang bergantung pada lamanya
perendaman.
Hasil tangkapan bubu didominasi oleh ikan-ikan rucah (campuran) yang
dikategorikan sebagai ikan klas ekonomi sedang sampai rendah (Tabel 3). Namun,
keutamaan bubu adalah mampu menghasilkan ikan berkelas ekonomi tinggi dan
terhitung sebagai tangkapan hidup. Ikan berkelas ini walupun tidak mendominasi
hasil tangkapan, tetapi mampu memperbaiki pendapatan dan sekaligus menutup
biaya operasional. Data CPUE (Tabel 2) lebih condong sebagai CPUE dari ikan-ikan
berkelas ekonomi tinggi sampai sedang, karena ikan rucah tertentu yang tidak
berharga jarang dilaporkan ke pengumpul, tetapi digunakan untuk umpan.
21
Tabel 2. Produksi dan CPUE alat tangkap bubu menurut lokasi penangkapan Di
area rehabilitasi terumbu buatan di Pulau Pari dan rumpon di Pulau
Pramuka
AREA REHABILITASI DI
Pulau Pari Pulau Pramuka
No. Produksi CPUE Produksi CPUE
(kg) (kg/unit bubu/trip) (kg) (kg/unit bubu/trip)
1 30,4 1,2 45,5 0,9
2 67 1,2 25,7 1,3
3 40,2 1,3 202,2 5,1
4 27,4 1,4 25,3 0,8
5 22,4 0,5 69,5 2,0
6 24,7 1,2 161,3 4,0
7 20,9 0,5
Total 233 7,4 529,5 14,1
Rerata 39 1,1 88,25 2,4
Tabel 3. Komposisi (%) dan Frekuensi kemunculan (F) ikan hasil tangkapan bubu
nelayan Pulau Pari dan Pulau Pramuka.
22
Golongan ikan rucah yang tertangkap bubu antara lain Buntal, Butana, Cucut,
Gebel, Gigi jarang, Janggut, Kambingan, Kea-kea, lingkis, kuniran, Biji nangka,
kurisi, Lencam, Lepu tembaga, Moa, Nuri/kenari, Pari, Sembilang, Serak, Pasir-
pasir, dan Tanda-tanda.
Komposisi hasil tangkapan bubu di Pulau Pari lebih didominasi kelompok
rucah (65%), sedangkan komposisi ikan rucah tangkapan bubu di Pulau Pramuka
(54%) sedikit di atas komposisi ikan berkelas ekonomi tinggi. Hal ini menujukkan
bahwa pasangan cara penangkapan antara bubu dan rumpon lebih baik dari pada
penggunaan bubu saja. Menurut nelayan, fish shelter memiliki daya tarik yang lebih
besar sebagai rumah ikan dari pada bentuk bubu yang kecil. Oleh karena itu,
pemasangan bubu terlampau dekat dengan shelter menjadi kurang baik. Dalam hal
ini, bahan atraktan sangat diperlukan untuk menarik keluar ikan-ikan yang
menggunakan shelter sebagai mikro habitat, seperti kebanyak jenis kerapu dan lodi.
Jenis ikan berkelas ekonomi tinggi yang mendominasi hasil tangkapan bubu
antara lain Kerapu lumpur, Lodi, Kaci-kaci, dan Ekor kuning, dimana frekuensi
tertangkapnya ikan-ikan berkelas tersebut juga sangat tinggi. Hal ini menunjukkan
bahwa bubu cukup efektif untuk digunakan menghasilkan ikan-ikan demersal
ekonomis tinggi. Dengan adanya percobaan ini, pemanfaatan bubu bersama-sama
dengan alat tangkap lain telah mendapat respon positif dari nelayan di kedua lokasi.
Pemanfaatan bubu ini merupakan usaha diversifikasi atau pelengkap dari
usaha perikanan saat ini yang dijalani nelayan di kedua tempat tersebut, seperti
perikanan cumi, perikanan pelagis (layang, gembung, tongkol dan tenggiri),
perikanan ekor kuning. Kontribusi dari perikanan bubu terhadap perikanan
utamanya dapat dipandang sebagai nilai tambah pendapatan. Variasi nilai tambah
ekonomi dari masing-masing nelayan yang melakukan diversifikasi alat tangkap dan
memilih pemanfaatan bubu disajikan dalam Tabel 4. Rata-rata nilai tambah
pendapatan hasil operasional bubu per trip adalah Rp. 195.975,-
Dengan adanya nilai tambah ini, pemanfaatan bubu direspon secara positif
oleh masyoritas nelayan binaan, dimana mereka berkeinginan untuk tetap
menggunakan bubu, seperti adanya penyisihan sebagian pendapatan untuk
investasi berikutnya. Bahkan, nelayan muroami di Pulau Pramuka yang mengalami
collapse beralih usaha pada perikanan bubu, sementara pemanfaatan muroami
sudah mulai dibatasi. Dari 10 unit usaha perikanan muroami, hanya tinggal 3 unit
usaha muroami yang masih bertahan. Sehingga dengan adanya usaha diversifikasi
23
bubu laut dalam, semua pihak baik masyarakat maupun pemerintah menyambut
baik adanya perubahan dalam sistem produksi perikanan, sehingga bubu yang
dahulunya ditinggal menjadi disenangi kembali.
Tabel 4. Nilai tambah pendapatan dari pemanfaatan bubu dalam usaha diversikasi
alat tangkap
24
72 trip penangkapan adalah 360 kg. Produktivitas rawai atau CPUE rata-ratanya
adalah 5 kg/unit/trip. Tabel 5 menunjukkan komposisi hasil tangkapan rawai.
Kontribusi hasil rawai pada perikanan multi alat tangkap tersebut mencapai 42 %
dari total biomassa atau 69 % dari nilai produksi atau setara dengan Rp 18.000.000
atau Rp 250.000 per trip.
Komposisi
No. Jenis Tangkapan Rawai
(%)
1 Kakap 7,7
2 Kerapu 15,4
3 Ketamba 38,5
4 Kaci-kaci/kaneke 23,1
5 Jenaha 7,7
6 Cucut 3,8
7 Pari 3,8
Pada fase dengar pendapat, mayoritas (100 %) partisipan bersedia ikut serta
dalam kegiatan percobaan, khususnya dalam mengoperasionalkan alat tangkap
dengan fasilitas mereka masing-masing. Ada tiga tipe alat tangkap bubu yang
mereka pilih untuk dibuat. Secara teknis, partisipan sudah mahir dengan bubu dan
rawai, tetapi masing-masing memiliki preferensi sendiri-sendiri terhadap jenis dan
tipe bubu dan rawai. Dengan demikian, diberikan kebebasan dalam penggunaan alat
tangkap yang disepakati.
Oleh karena sudah menjadi pilihan spesifik, perakitan alat tangkap benar-
benar (100%) telah mempertimbangkan partisipatif teknologi sesuai dengan
preferensi nelayan, sehingga disain alat tangkap secara teknis sudah sesuai dengan
keinginan nelayan binaan.
Pada fase implementasi, sebagian besar (70 %) partisipan di Pulau Pari
secara proaktif turut melakukan percobaan penangkapan dengan pola diversifikasi
alat tangkap, sedangkan sebagian kecil (30%) partisipan tidak melanjutkan kegiatan
dengan beragam alasan, terutama adanya kesibukan lain dalam kegiatan pariwisata.
25
Sebaliknya, mayoritas (100%) partisipan di Pulau Pramuka telah menjalankan
secara baik percobaan penangkapan dengan hasil yang memuaskan.
Pada fase evaluasi bersama partisipan, hasil percobaan yang posisif pada
peningkatan pendapatan lebih mendorong kebijakan nelayan untuk memilih dan
menggunakan alat tangkap bubu dan rawai pada usaha perikanan selanjutnya. Hal
ini dibuktikan oleh adanya upaya menyisihkan sebagian hasil untuk memesan bubu
baru dan bahkan ada yang membeli emas sabagai tabungan untuk investasi
berikutnya. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan adopsi teknologi sebagai
dampak dari kegiatan.
Tiga pendapat partisipan yang menonjol tentang teknologi terapan yang
diintroduksi adalah bahwa:
1) Fish Shelter tidak dapat digunakan untuk memperoleh kebutuhan ekonomi
jangka pendek atau harian secara langsung, kecuali untuk kepentingan
konservasi dan peningkatan sumberdaya perikanan dalam jangka panjang.
2) Pemanfaatan fish shelter untuk usaha perikanan masih menghadapi beragam
kendala, kecuali diikuti dengan pemanfaatan teknologi pendukung, seperti
GPS, alat selam, echo-sounder untuk mengatur dan menempatkan alat
tangkap secara tepat.
3) Respon ikan penghuni shelter masih terlampau kecil pada bubu karena
bangunan dan relung-relung pada shelter lebih baik sebagai habitat ikan
dibanding dengan bangunan bubu, oleh karena itu dibutuhkan atraktan
seperti umpan.
4) Skala dampak Shelter masih kecil, karena jumlah unit shelter dibanding ruang
pesisir pantai masih sedikit. Kecuali itu letaknya terpusat dan tidak menyebar
luas. Pemasangan rumpon yang menyebar mungkin lebih dapat membantu
memperluas dampak, tetapi bukan untuk konservasi habitat.
26
menggunakan sejumlah besar unit bubu dan umur teknis bubu yang mampu
mengimbangi biaya operasional. Bubu bambu memiliki umur teknis yang pendek,
karenanya disinyalir oleh nelayan partisipan rentan terhadap gagalnya
pengembalian modal sebelum keuntungan sesungguhnya diperoleh. Kejadian yang
sama dapat berlaku terhadap penggunaan bubu kawat dan rawai. Dengan demikian,
penggunaan bubu bambu dan rawai disarankan harus menjadi bagian dari
perikanan multi alat tangkap.
Pemanfaatan bubu behel jala lebih dipilih oleh nelayan partisipan, karena
umur teknisnya cukup panjang dan produktivitasnya juga cukup tinggi (1,2
kg/unit/trip). Pengembangan perikanan dalam skala besar disarankan untuk
menggunakan bubu behel jala dalam jumlah banyak (50 sampai 100 unit) agar
hasilnya signifikan dapat melebihi biaya operasional.
Di bawah ini disajikan hasil analisis finansial dari perikanan multi alat tangkap
(Tabel 6), dimana variasi alat tangkap meliputi pancing cumi, jaring insang
permukaan, bubu, bubu rajungan, otreks (pancing) kembung, otreks ekor kuning,
dan rawai, bahkan nelayan Pulau Pramuka penggunaan alat bantu rumpon yang
hasil tangkap menjadi lebih tinggi.
Tabel 6 menunjukkan bahwa pola perikanan multi alat tangkap umumnya
memiliki kalayakan ekonomi ditinjau dari indikator Break Even Point (BEP), Return of
Investment (ROI > 1) dan Benefit Cost Ratio (B/C Ratio > 1). Peningkatan kapasitas
penangkapan dengan mengoperasikan bubu dan rawai ternyata efektif untuk
peningkatan nilai tambah penambahan. Kontribusi hasil dari pemanfaatan bubu dan
rawai relatif tinggi dan bahkan mendominasi hasil tangkapan (Lihat Lampiran).
Namun perikanan ganda relatif kurang layak ditinjau dari indeks ROI yang
kurang dari 1 dan B/C ratio menunjukkan adanya sedikit saja keuntungan (1,1%),
dimana setiap penanaman modal 100 rupiah, pendapatannya hanya sebesar 101
rupiah. Pada pola perikanan ganda alat tangkap, kontribusi pendapatan (rupiah) dari
bubu ikan pada perikanan rajungan relatif besar atau dominan (62%), tetapi hasil
bubu rajungan baik produksi maupun pendapatan kurang signifikan dalam
meningkatkan nilai tambah pendapatan. Harga kepiting murah dan kapasitas atau
upaya perikanan rajungan kurang maksimal, sedangkan keperluan umpan masih
membebani biaya operasional. Peningkatan jumlah unit bubu rajungan diasumsikan
dapat memperbaiki pola perikanan ganda alat tangkap tersebut. Selayaknya
pemanfaatan jaring insang akan menambah “input”, tetapi sekaligus akan
27
meningkatkan “output” serta memenuhi kebutuhan umpan, seperti pada upaya yang
dilakukan oleh Hamdani di Pulau Pari (Tabel 6).
Tabel 6. Ringkasan hasil analisis finansial terhadap pola perikanan multi alat
tangkap yang di dalamnya termasuk upaya pemanfaatan bubu laut dalam
dan rawai dasar di Pulau Pari dan Pulau Pramuka
Perikanan Multi Alat tangkap Ganda alat tangkap Multi Alat tangkap Multi Alat tangkap
Pelaku Hamdani, P. Pari Masduki, P. Pari Furqon, P. Pari Moh. Yasin, P. Pramuka
Kontribusi Finansial tiap alat (%)
terhadap pendapatan: Pancing Ulur 12 % Bubu (62 %) Jaring (16%) Otrek kembung (22%)
Rawai 69 % Bubu Rajungan (38%) Pancing tonda (10%) Otrek ekor kuning (46%)
Bubu 11 % Bubu (74%) Tongkol (14%)
Jaring 7 % Bubu (18%)
Komoditas Utama Ikan Karang Ikan demersal Ikan Pelagis Ikan Pelagis
Ikan Demersal Rajungan Ikan Demersal Ikan Demersal
Cumi-cumi Ikan karang Ikan karang
Perikanan berskala agribisnis dengan aplikasi dua alat tangkap bubu dan
rawai yang diasumsikan cocok untuk dikembangkan di wilayah rehabilitasi perairan
pantai ternyata membuka wawasan positif bagi masyarakat dan pemerintah. Kedua
alat tangkap memiliki prospek untuk dikembangkan dalam skala besar, tetapi
dengan beberapa catatan yang perlu diperbaiki. Perbaikan menyangkut pola usaha
perikanan, karena kedua alat tangkap tersebut tidak bisa berdiri sendiri dan masih
membutuhkan teknologi pendukung atau alat bantu lain atau alat tangkap lain agar
usaha menjadi lebih efisien dan efektif.
28
Pada usaha perikanan dengan jenis tunggal alat tangkap, seperti misalnya
bubu, peningkatan kapasitas jumlah unit bubu diasumsikan layak ekonomi tanpa
penggunaan alat tangkap lain. Di mana, peningkatan kapasitas jumlah unit bubu
bergantung pada skala usaha dan jelajah wilayah tangkap yang luas.
Pada perikanan artisanal dengan zona terbatas (one day fishing), khususnya
masih di sekitar area rehabilitasi, peningkatan kapasitas jumlah unit alat tidak begitu
menjadi keharusan, tetapi lebih baik melakukan diversifikasi alat tangkap dalam 1
unit armada penangkapan. Sebaliknya pada tingkat pengembangan usaha
perikanan, keuntungan ekonomi sangat bergantung pada kapasitas bubu yang
dioperasionalkan, dimana jumlahnya harus signifikan untuk menutup biaya
operasional. Jumlah yang aman untuk penangkapan di zona terbatas adalah paling
kecil 200 unit bubu untuk 1 musim penangkapan atau untuk rawai dengan mata kail
200 – 400 buah. Jumlah tersebut termasuk untuk cadangan.
Pengembangan perikanan dengan pola diversifikasi alat tangkap perlu
diprogram lebih realistis, yaitu dengan memperhatikan sistem produksi lokal
(partisipatif teknologi) dalam kaitannya dengan pemanfaatan zona penangkapan
ikan demersal di wilayah perairan rehabilitasi sekitar pulau. Upaya diversifikasi alat
tangkap relatif lebih beralasan untuk pemanfaatan area tangkap pada zona terbatas
dekat pantai, dari pada peningkatan kapasitas jumlah unit alat tangkap.
Paket bantuan perikanan yang dianggap lebih memenuhi target kebutuhan
jangka pendek masyarakat nelayan dan realistis adalah kesatuan sistem produksi
perikanan antara penggunaan beragam jenis alat tangkap dan alat bantu
penangkapan. Hipotesa kerja yang perlu dikembangkan adalah :
1) “teknologi alat tangkap yang bersifat pasif akan lebih berhasil guna ketika alat
tangkap tersebut dikombinasikan pengguaannya dengan alat bantu
penangkapan (rumpon), sehingga memperbesar nilai produksi dan
memperkecil biaya bahan bakar minyak.
2) “teknologi alat tangkap yang bersifat pasif, memiliki umur teknis pendek, dan
membutuhkan umpan sebagai atraktan akan lebih berhasil guna ketika
dikombinasikan dengan beberapa alat tangkap pasif lainnya yang berumur
teknis panjang, dimana digunakan dalam satu unit usaha perikanan yang
terintegrasi”
29
3) “Pengembangan dalam skala besar teknologi alat tangkap yang bersifat pasif
dan membutuhkan umpan sebagai atraktan akan menjadi tidak kontroversial
ketika penggunaan umpannya tidak menguras sumberdaya perikanan atau
biota lain”
30
BAB IV
SINERGI PELAKSANAAN KEGIATAN
PENELITI
PROGRAM
PKPP
PEREKAYAS NELAYAN
31
2. Indikator Keberhasilan Sinergi Koordinasi
32
Pengumpulan data tangkapan. Semua nelayan partisipan yang telah
melakukan percobaaan penangkapan secara aktif mencatat dan
melaporkan data hasil tangkapan.
Diskusi hasil kajian. Semua nelayan yang terlibat kegiatan memberikan
pendapat atau masukan secara terbuka dan aktif mengenai aspek
penangkapan.
Monitoring dan evaluasi. Semua nelayan memberikan penilaian, peringatan
dan saran untuk perbaikan pola penangkapan.
Adopsi teknologi. Sebagian besar partisipan merasa terdorong untuk
melanjutkan pola penangkapan yang dintroduksi. Sebagian partisipan
telah menetapkan untuk berinvestasi dengan jalan memesan bubu dan
sebagian yang lain menyisihkan sebagian pendapatan untuk melanjutkan
usaha. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan adopsi teknologi sebagai
dampak dari kegiatan.
Pasca percobaan. Seluruh partisipan masih melanjutkan percobaan
penangkapan dengan peralatan yang tersisa. Disisi lain, Suku Dinas
Perikanan dan Pertanian Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu telah
merencanakan program bantuan pengembangan penggunaan bubu laut
dalam.
33
d. Dari sisi modul pelatihan dan pemberdayaan masyarakat, kegiatan
akan mendukung perubahan sikap nelayan dalam usaha perikanan,
khususnya untuk mengembangan investasi.
3. Perkembangan Pemanfaatan
34
f. Peningkatan difusi informasi pada masyarakat perikanan di lokasi
terkait.
g. Tersedianya bahan-bahan publikasi dan substansi kebijakan publik.
35
BAB V
P E N U T U P
A. Kesimpulan
36
b. CPUE bubu rata-rata 1,1 kg/unit/trip untuk perairan Pulau Pari dan 2,4
kg/unit/trip untuk perairan Pulau Pramuka. CPUE rawai rata-rata 5
kg/unit/trip. Nilai rata-rata CPUE bubu di kedua lokasi tersebut berbeda
menurut uji ANOVA pada tingkal α = 0,1.
c. Perikanan bubu dan rawai tergolong layak ekonomi dalam integrasinya
dengan perikanan multi alat tangkap. Nilai tambah pendapatan dari
penggunaan bubu berkisar pada Rp 196.000 – Rp 400.000 per trip
penangkapan, sedangkan nilai tambah rawai Rp 250.000,- per trip.
d. Bubu laut dalam dan rawai dasar horizontal memiliki prospek untuk
dikembangkan dalam skala besar, tetapi dengan beberapa catatan
yang perlu diperbaiki. Perbaikan menyangkut pola usaha perikanan,
karena kedua alat tangkap tersebut tidak bisa berdiri sendiri dan masih
membutuhkan teknologi pendukung atau alat bantu lain atau alat
tangkap lain agar usaha menjadi lebih efisien dan efektif.
37
a. Sebagai prototype alat produksi yang mendukung industri hulu.
b. Sebagai rekomendasi hasil yang mendukung pemanfaatan wilayah
rehabilitasi perairan melalui introduksi alat tangkap yag efektif dan
ramah lingkungan.
c. Sebagai sarana publikasi yang mendukung akses pada informasi
tentang aplikasi alat tangkap pada wilayah yang direhabilitasi.
d. Sebagai sarana pembelajaran, pelatihan dan pemberdayaan
masyarakat, sehingga mampu merubah sikap nelayan untuk lebih
pengembangkan investasi usaha perikanan.
B. Saran
38
a. Uji coba lanjutan dengan menggunakan alat tangkap jenis lain seperti
jaring insang tetap dan jaring milenium untuk wilayah perairan yang
diperkaya.
b. Melakukan pengkajian tipe-tipe umpan sebagai atraktan alat tangkap.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 2007. Laporan kemajuan Monitoring Fish Shelter dan Rumpon Dasar.
Suku Dinas Perikanan dan Kelautan, Kab. Adm. Kepulauan Seribu.
Edrus, I.N. & Suprapto. 2005. The Current State of Artificial Reefs in Lebah Coastal
Waters, Karangasem, Bali: An Evaluation on the Coastal Resource
Rehabilitation Project. Indonesian Fisheries Research Journal Vol. 11 (1): 19
– 40.
Gulland, J.A. 1993. Fish Stock Assessment. A Manual of Basic Methods. Jhon Wiley
& Sons.
Kadariah. 1988. Evaluasi Proyek. Analisis Ekonomis. Edisi 2. Lembaga penerbit
Fakultas Ekonomi – UI, Jakarta.
Satapoomin, U. 2005. Fish visual census technique – an alterbative method for the
assessment of fish assemblages on artificial reefs. Proceedings of the 2nd
Regional Workshop on Enhancing Coastal Resources : Artificial reefsin
Southheast Asia. 9 – 12 Nov 2004, SEAFDEC, Thailand. P. 207-220.
Sparre, P. and S.C. Venema. 1992. Introduction to Tropical Fish Stock Assessment.
Part1. Manual. FAO Fish. Tech. Pap. (306/1) Rev. 1 : 376.
39
Syam, A.R., I.N. Edrus, S.T. Hartati. 2007. Coral fish population in vicinity of the
fifteen-year old artificial reefs submerged in the Lebah coastal water,
Karangasem County, Bali. JPPI Vol. 2 (2): 1 – 14.
Yulistyo, M.S. Baskoro, D.R. Monintja, B.H. Iskandar. 2006. Analisis kebijakan
pengembangan metoda penangkapan ikan berbasis ketentuan perikanan dan
tanggung jawab di Ternate, Maluku Utara. Buletin PSP, Vol XV (1): 70 – 84.
40
LAMPIRAN Tabel Ikan
Tabel Lampiran 1. Jenis-jenis ikan yang memiliki afinitas pada terumbu karang
buatan dan teridentifikasi pada penyelaman di perairan Pulau
Pari Kab. Adm. Kepulauan Seribu
2 MUARAENIDAE
2 Gymnothorax javanicus Belut laut/Moa Di dalam shelter, sebagai mikro habitat Individual Rendah
3 G. Isingteena Belut laut/Moa s.d.a.
4 G. Favagineus Belut laut/Moa s.d.a.
3 HOLOCENTRIDAE
5 Myripristis spp Brajanata Di dalam dan di luar, 1 - 2 meter Individual Rendah
6 Sargocentron spp Swanggi Di dalam dan di luar, 1 - 2 meter, sebegai habitat Individual Rendah
4 SCORPAENIDAE
7 Scorpaenopsis sp Lepu tembaga Di lantai atas, sebagai habitat Individual Rendah
5 SERRANIDAE
8 Anyperodon leucogrammiscus Kerapu karang Di dalam dan di luar, 1 - 2 meter Individual Sedang
9 Cephalopholis boenack Balong hitam Di dalam, sebagai microhabitat Individual Rendah
10 Cephalopholis miniata Kerapu merah Di dalam, sebagai microhabitat Individual Tinggi
11 Chepalopholis polleni Kerapu lodi Di dalam dan di luar, 1 - 2 meter Individual Sedang
12 Ephinephelus caeruleopunctatus Kerapu lumpur Di dalam dan di luar, 1 - 2 meter Individual Sedang
13 Ephinephelus corallicola Kerapu lumpur Di dalam dan di luar, 1 - 2 meter Individual Sedang
14 Ephinephelus fasciatus Kerapu coco Di dalam dan di luar, 1 - 2 meter Individual Sedang
15 Ephinephelus fuscoguttatus Kerapu macan Di luar, 5 meter Individual Sedang
16 Ephinephelus ongus Coco hitam Di dalam dan di luar, 1 - 2 meter Individual Sedang
17 Ephinephelus quoyanus Kerapu Coco Di dalam, sebagai microhabitat Individual Rendah
18 Plecthropomus areolatus Lodi Di dalam dan di luar, 6 meter Individual Tinggi
19 Plecthropomus leopardus Lodi Di luar, 2 meter, sebagai habitat Individual Tinggi
20 Plecthropomus maculatus Lodi Di luar, 4 meter, dasar perairan, shelter sebagai Individual Tinggi
habitat
6 NEMIPTERIDAE
21 Nemipterus spp Serak-serak Di luar, sekitar kolom air samping shelter, 15 - 20 m Individual Rendah
22 Pentapodus emeryli Pasir-pasir Di luar, sekitar kolom air samping shelter, 15 - 20 m Individual Rendah
23 Pentapodus spp Pasir-pasir Di luar, sekitar kolom air samping shelter, 15 - 20 m Individual Rendah
24 Scolopsis spp Serak-serak Di luar, sekitar kolom air samping shelter, 15 - 20 m Individual Rendah
41
No SUKU DAN JENIS DISTRIBUSI DAN POSISI POPULASI KELAS
(Families & Species ) Nama Lokal IKAN DARI PUSAT SHELTER EKONOMI
7 HAEMULIDAE
25 Plectorhyncus chaetontoides Bibir tebal Di luar dan dalam, pada substrat , 1 - 20 meter Individual Sedang
26 Plectorhyncus flavomaculatus Bibir tebal Di luar dan dalam, pada substrat , 1 - 20 meter Individual Sedang
27 Plectorhyncus ficus Bibir tebal Di luar dan dalam, sedikit di atas substrat , 1 - 20 meter Individual Sedang
28 Diagramma malanacrum Kaci-kaci / Kaneke Di luar dan dalam, pada substrat dasar dan pada kolom air , 1 Individual Sedang
29 Diagramma fictum Kaci-kaci / Kaneke Di luar dan dalam, pada substrat dasar dan pada kolom air , 1 Individual Sedang
8 LUTJANIDAE
30 Lutjanus argentimaculatus Kakap batu Sekitar dan dalam shelter, 1 - 15 meter, Individual Sedang
31 Lutjanus carponatus Jenaha / Tanda-tandSekitar shelter, 1 - 4 meter,sebagai habitat Individual Sedang
32 Lutjanus kasmira Tanda-tanda Sekitar permukaan shelter, 2 - 6 meter Koloni Sedang
33 Lutjanus gibbus Jenaha/kakap Dalam dan luar, 5 - 15 meter Koloni Sedang
34 Lutjanus monostigma Jenaha / Tanda-tandDalam dan luar, sekitar 10 meter Individual Sedang
35 Lutjanus johnii Kakap Di luar, 12 meter Individual Sedang
36 Lutjanus sabae Jenaha/kakap Di dalam dan di luar, 4 meter Individual Sedang
37 Lutjanus vitta Tanda-tanda Disamping, 1 meter Koloni Sedang
9 CAESIONIDAE
38 Caesio spp Ekor kuning Di luar, di atas sekitar shelter - 5 - 30 meter Koloni Tinggi
10 LETHRINIDAE
39 Lethrinus harak Lencam Di luar, 5 meter Individual Sedang
40 Lethrinus erythropterus Lencam Di luar, 15 meter Individual Sedang
11 MULLIDAE
41 Upeneus spp Ikan janggut/KuniranDi luar, pada substrat perairan, 8 meter Individual Rendah
12 CHAETODONTIDAE
42 Chaetodon octofasciatus Kepe-kepe Sekitar shelter, 3 - 5 meter Individual Sedang
43 Chelmon rostratus Sumprit Dalam dan luar shelter, 1 - 4 meter Individual Sedang
13 POMACANTHIDAE
44 Pomacanthus sexstriatus Kambingan Di dalam, micro habitat Individual Rendah
14 LABRIDAE
45 Choerodon anchorago Di luar, 7 meter Individual Rendah
46 Epibulus insidiator Di luar, 3 meter Individual Rendah
15 SIGANIDAE
47 Siganus guttatus Baronang Di luar, atas, 8 meter Koloni Tinggi
48 Siganus vermicularis Manggilala Di luar, atas 12 meter Koloni Tinggi
42
No SUKU DAN JENIS DISTRIBUSI DAN POSISI POPULASI KELAS
(Families & Species ) Nama Lokal IKAN DARI PUSAT SHELTER EKONOMI
16 BALISTIDAE
# Abalistes stellatus buntal poge Di luar, dekat substrat dasar, 16 meter Individual Sedang
50 Balistes viridescens pakol Di luar, dekat substrat dasar, 4 meter Individual Sedang
17 DIODONTIDAE
51 Diodon spp Buntel duren Di dalam Individual Rendah
18 TETRAODONTIDAE
52 Arothron spp Buntel kelapa di Dalam Individual Rendah
19 EPHIPPIDAE
53 Platax teira Gebel Sekitar di atas shelter, 2 -15 meter Individual Rendah
54 Platax orbicularis Gebel Sekitar di atas shelter, 5 - 40 meter Individual Rendah
20 CARANGIDAE
55 Gnathonodon spaciosus Kuwe Sekitar, kolom air, 5 - 18 meter Koloni Tinggi
56 Sphyraena barracuda Barakuda Sekitar, kolom air, 1 - 30 meter Koloni Tinggi
57 Sphyraena forsteri Barakuda Sekitar, kolom air, 10 - 25 meter Koloni Sedang
43
LAMPIRAN Uji Statistik ANOVA
DATA
CPUE bubu P. Pari CPUE bubu P. Pramuka
1,22 0,91
1,22 1,29
1,34 5,06
1,38 0,84
0,5 1,99
1,24 4,03
0,52
RINGKASAN :
Grup Count Sum Average Variance
CPUE Pari 7 233 1,1 0,31
CPUE Pramuka 6 529,5 2,4 1,25
ANOVA
Sumber Variasi SS df MS F hitung FTabel α = 0,1
Antar Grup 5,48 1 5,48 3,95 3,17
Dalam Grup 16,64 12 1,4
Total 22,12 13,00 21
44
LAMPIRAN Analisis Finansial
ANALISA FINANSIAL
Perikanan Multi Gears di Pulau Pari
Alat tangkap pancing cumi, rawai, bubu dan jaring
Nama Nelayan Hamdani, Pulau Pari
Produksi 850,4 kg cumi & ikan/musim
A MODAL TETAP Rupiah c. Biaya Penyusutan Teknis/musim
1 Kapal 2.000.000 1 Perahu 25.000
2 Mesin Honda 5,5 pk 1.600.000 2 Mesin 66.667
3 Box es 400.000 3 Box es 33.333
4 Pancing 90.000 4 Pancing 22.500
5 Jaring 830.000 5 Jaring 103.750
6 Rawai 500.000 6 Rawai 125.000
7 Kurungan ikan hidup 100.000 7 Kurungan 25.000
Total A 5.520.000 Total c 401.250
C. TOTAL BIAYA (a+b+c) 9.177.250
B BIAYA OPERASIONAL / MUSIM
D. NILAI PRODUKSI PER TAHUN
a. Biaya Operasional Hasil jual ikan dari 4 alat tangkap 26.223.500
1 BBM 648.000 Kontribusi Pancing 12%
2 Bekal 1.440.000 Kontribusi Rawai 69%
3 Oli 90.000 Kontribusi Bubu 11%
4 Busi 15.000 Kontribusi Jaring 7%
5 Tasi 10.000
6 Mata kail 63.000 E Analisis Lanjutan
7 Bubu 1.000.000 1 Biaya Operasional 7.766.000
8 Ikan umpan 540.000 2 Penyusutan teknis 401.250
9 Es 360.000 3 Penyusutan investasi 9 %/tahun 662.400
10 Upah 3.600.000 4 Biaya Perawatan 1.010.000
Total a 7.766.000 5 Jumlah modal usaha 14.296.000
6 Hasil Pendapatan/musim 26.223.500
b. Biaya Perawatan/musim 7 Pedapatan Bersih/musim 16.383.850
1 Perahu 900.000
2 Mesin 50.000 I Analisa Break Even Point (BEP) 8.899.607
3 Pancing cumi 30.000 II Analisa Return of Investment 1,15
4 Jaring 30.000 III Analisa Benefit Cost Ratio 1,8
Total b 1.010.000 IV Jangka Waktu Pengembalian Modal 0,8
45
Analisa Finansial Perikanan Diversifikasi alat tangkap
Alat tangkap Bubu Rajungan & Bubu ikan
Masduki, Pulau Pari
Produksi 123,2 kg rajungan & ikan laut/musim
A MODAL TETAP c. Biaya Penyusutan Teknis/musim
1 Kapal Pjg 4 m; lebar 1,2; lunas 1,2 m 2.000.000 1 Perahu 25.000
3 Mesin Honda 5,5 pk 1.600.000 2 Mesin 66.667
Kurungan 100.000 4 Kurungan 25.000
Total A 3.700.000 Total c 116.667
C. TOTAL BIAYA (a+b+c) 4.503.667
B BIAYA OPERASIONAL / MUSIM D. NILAI PRODUKSI PER TAHUN
Hasil jual dari 2 alat tangkap 8.736.000
a. Biaya Operasional Kontribusi Bubu Rajungan 38 %
1 BBM 252.000 Kontribusi Bubu Ikan 62 %
2 Bekal 280.000 E. Analisis Lanjutan
3 Oli 90.000 1 Biaya Operasional 3.737.000
4 Busi 15.000 2 Penyusutan teknis 116.667
5 Bubu Rajungan 2.000.000 3 Penyusutan investasi 12 %/tahun 444.000
6 Bubu bambu 1.000.000 4 Biaya Perawatan 650.000
7 Ikan umpan 100.000 5 Jumlah modal usaha 8.087.000
Total a 3.737.000 6 Hasil Pendapatan 8.736.000
7 Pedapatan Bersih/MUSIM 3.788.333
b. Biaya Perawatan/musim I Analisa Break Even Point 7.666.682
1 Perahu 600.000 II Analisa Return of Investment 0,47
2 Mesin 50.000 III Analisa Benefit Cost Ration 1,1
Total b 650.000 IV Jangka Waktu Pengembalian Modal 1,9
46
Analisa Finansial Perikanan Diversifikasi alat tangkap
Pancing tonda, Bubu & jaring
Nama Nelayan Furqon, Pulau Pari
Produksi 1306,2 kg rajungan & ikan laut/musim
A MODAL TETAP c. Biaya Penyusutan Teknis/musim
1 Perahu 100.000
1 Kapal 10.000.000 2 Mesin 37.500
2 Mesin Yandong R1-80 3.000.000 3 Pancing tongkol 187.500
3 Pancing tongkol 1.500.000 4 Jaring Cendro 137.500
4 Jaring Cendro 1.100.000 5 Kurungan 25.000
5 Kurungan 100.000 Total c 487.500
Total A 15.700.000 C. TOTAL BIAYA (a+b+c) 3.587.500
D. NILAI PRODUKSI PER TAHUN
B BIAYA OPERASIONAL /MUSIM Hasil jual dari 2 alat tangkap 24.234.000
Kontribusi Jaring 16%
a. Biaya Operasional Kontribusi pancing tongkol 10%
1 BBM 1.050.000 Kontribusi bubu 74%
2 Bekal 280.000 E Analisis Lanjutan
3 Oli 50.000 1 Biaya Operasional 2.580.000
4 Bubu 1.200.000 2 Penyusutan teknis 487.500
5 Mata kail 25.000 3 Penyusutan investasi 12 %/tahun 1.884.000
6 Tasi 50.000 4 Biaya Perawatan 520.000
Total a 2.580.000 5 Jumlah modal usaha 18.800.000
6 Hasil Pendapatan 24.234.000
b. Biaya Perawatan/musim 7 Pedapatan Bersih/MUSIM 18.762.500
1 Perahu 500.000 I Analisa Break Even Point (BEP) 18.561.932
2 Mesin 20.000 II Analisa Return of Investment 1,0
Total b 520.000 III Analisa Benefit Cost Ration (B/C) 1,3
IV Jangka Waktu Pengembalian Modal (JWP) 0,9
47
Analisa Finansial Perikanan Diversifikasi alat tangkap
Pancing Otrek, pancing tonda, bubu, rumpon
Nama Nelayan Moh Yasin, Pulau Pramuka
Produksi 2.902,4 kg /musim
A MODAL TETAP c. Biaya Penyusutan Teknis/musim
1 Perahu 18.750
1 Kapal 3.000.000 2 Mesin 145.833
2 Mesin Honda 5,5 pk 3.500.000 3 Otrek kembung 25.000
3 Otrek kembung 100.000 4 Otrek ekor kuning 25.000
4 Otrek ekor kuning 100.000 5 pancing tonda 25.000
5 Pancing tonda 100.000 6 Rumpon 250.000
6 Rumpon 1.000.000 7 Kurungan 75.000
7 Kurungan ikan hidup 300.000 Total c 564.583
Total A 8.100.000 C. TOTAL BIAYA (a+b+c) 15.323.583
D. NILAI PRODUKSI PER MUSIM
B BIAYA OPERASIONAL / MUSIM Hasil jual ikan dari 4 alat tangkap 39.716.000
Kontribusi Otrek kembung 22%
a. Biaya Operasional Kontribusi Otrek ekor kuning 46%
1 BBM 6.480.000 Kontribusi Tongkol 14%
2 Bekal 1.440.000 Kontribusi Bubu 18%
3 Oli 150.000 E Analisis Lanjutan
4 Bubu 750.000 1 Biaya Operasional 13.659.000
5 Tasi 15.000 2 Penyusutan teknis 564.583
6 Mata kail 864.000 3 Penyusutan investasi 9 %/tahun 972.000
7 Es 360.000 4 Biaya Perawatan 1.100.000
8 Upah 3.600.000 5 Jumlah modal usaha 22.859.000
Total a 13.659.000 6 Hasil Pendapatan 39.716.000
b. Biaya Perawatan/musim 7 Pedapatan Bersih/musim 23.420.417
1 Perahu 300.000 I Analisa Break Even Point (BEP) 13.788.620
2 Mesin 750.000 II Analisa Return of Investment 1
3 Pancing 50.000 III Analisa Benefit Cost Ration (B/C) 1,7
Total b 1.100.000 IV Jangka Waktu Pengembalian Modal 0,9
48
LAMPIRAN
FOTO DOKUMENTASI
KEGIATAN RISET ADAPTIF ALAT TANGKAP BUBU DAN RAWAI
49
Tipe Bubu Behel
Rangka Behel
Bubu Jala
50
Angkutan Darat di Pulau
Angkutan Laut di Pulau
51
Hasil Tangkapan Bubu, Ikan Rucah
dan bibit ikan Kerapu
Tangkapan Rawai,
Ikan Rucah / Lencam
52
Hasil Pancing Rawai, Kerapu Hasil Tangkapan Bubu, Kerapu
lumpur lumpur
Hasil Pancing Bubu, Kerapu Macan Hasil Pancing Bubu, Kerapu balong
Merah
53
Nelayan Partisipan Pulau Pramuka Wawancara dengan Partisipan
Pulau Pari
54