OLEH :
TYAS DWI BEKTI DININGRUM
OLEH :
TYAS DWI BEKTI DININGRUM
NRP. 51155211148
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala,
karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktik
Integrasi tepat waktu. Laporan Praktik Integrasi ini dengan judul “Analisis
Keberlanjutan Perikanan Cumi-cumi (Loliginidae) di Pantai Timur Sumatera
Utara dengan Pendekatan Ecosystem Approach To Fisheries Management
(EAFM)”.
Laporan Praktik Integrasi ini terdiri dari Pendahuluan, Tinjauan Pustaka, Metode
Praktik, Hasil dan Pembahasan serta Kesimpulan. Laporan ini diharapkan bisa menjadi
bahan bacaan yang bermanfaat dalam rangka pengembangan, pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkesinambungan.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Laporan Praktik Integrasi ini masih
banyak kekurangan, oleh karena itu bantuan berupa kritik saran yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan.
Penulis
UCAPAN TERIMAKASIH
1. Ir. Mochammad Heri Edy, MS. Selaku Ketua Sekolah Tinggi Perikanan.
2. Maria Goreti EK, S.St.Pi., M.MPi. Selaku Ketua Jurusan Teknologi Pengelolaan
Sumberdaya Perairan.
3. Heri Triyono, A.Pi., M. Kom. Selaku Ketua Program Studi Teknologi Pengelolaan
Sumberdaya Perairan.
4. Kedua orang tua yang telah memberikan dukungan baik moral maupun materil.
5. Keluarga Bapak Selamat Sihombing, Bapak Salim, Ibu Evi Aryanti S.Pd, Bapak M.
Yunus, S.T.,M.T, Bapak Sofyan S.Pd.I dan Bapak Sunaryo sebagai induk semang
selama praktik integrasi.
6. Dinas Kelautan Perikanan Provinsi dan Daerah Sumatera utara, Pelabuhan
Perikanan Samudera Belawan dan Satuan Pengawas Sumberdaya Kelautan
Perikanan Belawan dan staf di daerah yang telah membantu dalam penyediaan
data.
7. Coral AUP STP Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan selama
melaksanakan praktik integrasi.
8. Semua pihak yang turut membantu maupun mendukung terselesaikannya Praktik
Integrasi.
DAFTAR ISI
Halaman
Gambar Halaman
Tabel Halaman
1.2 Tujuan
Tujuan praktik Integrasi ini adalah:
1. Mengetahui potensi sumberdaya 3 spesies cumi-cumi dari famili Loliginidae yakni
Uroteuthis chinensis Gray, 1849; Uroteuthis duvaucelii D’Orbigny, 1835 dan
Sepioteuthis lessoniana Ferussac,1831 di Pantai Timur Sumatera Utara.
2. Mengetahui tingkat pemanfaatannya meliputi jumlah produksi, armada dan alat
tangkap, musim penangkapan dan daerah penangkapan.
3. Mengkaji bentuk pengelolaan cumi-cumi (Loliginidae) dengan Pengelolaan Perikanan
Berbasis Ekosistem (EAFM).
Sumber: http://www.zen-ika.com/zukan/index2-e.html
Sumber: http://www.zen-ika.com/zukan/index2-e.html
Gambar 2. Jenis cumi-cumi (Sepioteuthis) yang ada di Indonesia
Famili Loliginidae terdiri dari beberapa genus, dimana 3 genus diantaranya bernilai
ekonomis penting yakni Loligo, Sepioteuthis dan Uroteuthis (Chodrijah & Budiarti,
2011;Hasmawati, 2015). Bentuk tubuh cumi-cumi pada umumnya adalah simetri
bilateral dan dapat dibedakan atas kepala, leher, dan mantel atau badan. Cumi-cumi
memiliki bagian kepala yang terdapat mulut dan dikelilingi oleh dua tangan panjang
(tentakel) dan delapan lengan yang lebih pendek (Rudiana et al., 2004). Mulut pada
Loliginidae terdapat di tengah kepala yang dikelilingi oleh tentakel dan tangan yang
mempunyai alat penghisap. Di dalam mulut terdapat paruh yang terbuat dari kitin (Dewi
et al., 2014) yang tajam dan lidah parut (radula) di bagian tengah mulut.
Terdapat mata pada sisi kiri dan kanan kepala. Pada leher bagian dorsal dapat
terlihat sangat jelas, sedangkan bagian ventral leher tidak jelas karena tertutup oleh
corong atau sifon yang keluar dari mantel. Pada bagian mantel atau badan terdapat
sirip pada bagian dorsal kanan dan kiri dengan bentuk seperti segitiga. Kantung tinta
yang dimiliki cumi-cumi melekat dan bermuara pada saluran pencernaan dekat anus,
sehingga cairan tinta keluar dari kantung tinta.
Cumi-cumi digolongkan sebagai organisme predator yang selalu melakukan
perburuan terhadap jenis-jenis organisme kecil (udang, ikan dan kepiting) sebagai
sumber makanannya (Ahmad et al., 2013).
2.1.2 Habitat, Persebaran dan kebiasaan makan
Cumi-cumi tergolong hewan neuritik (Silitonga et al., 2014) yang tersebar di daerah
intertidal, di samudra yang dalam, dan di lapisan permukaan laut, baik di perairan kutub
yang dingin maupun di perairan tropis yang hangat (Samudera et al., 2016). Hidup
bergerombol dan tertarik pada cahaya lampu (bersifat fototaksis positif) (Prasetyo et
al., 2014) sehingga biasa ditangkap dengan menggunakan bantuan cahaya. Thenu et
al. (2013) mengungkapkan cumi-cumi digolongkan sebagai organisme pelagis, dan
terkadang digolongkan sebagai organisme demersal karena sering terdapat di dasar
perairan. Cumi-cumi melakukan pergerakan diurnal pada siang hari dan berkelompok
dekat dasar perairan. Selanjutnya, cumi-cumi akan menyebar pada kolom perairan
pada malam hari.
Menurut Prasetyo et al. (2014) dan Febrianto et al. (2017) Daerah penyebarannya
meliputi perairan Laut Cina Timur, Laut Cina Selatan, Teluk Thailand, Laut Arafura,
Laut Timor dan perairan Australia, Pasifik barat, Filipina, dan hampir di semua perairan
Indonesia, salah satunya adalah Selat Malaka (Aceh, Sumatera Utara dan Riau), Selat
Karimata, Laut Jawa (Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan Laut Natuna.
Prasetyo et al. (2014) juga mengungkapkan bahwa sebaran cumi-cumi dipengaruhi
oleh pola rantai makanannya bukan dipengaruhi oleh sebaran klorofil-a. Sesuai dengan
Simbolon et al. (2010), Gustaman et al. (2012) dan Thenu et al. (2013) yang
mengatakan bahwa cumi-cumi dan sotong termasuk karnivora (Ismail et al., 2013) dan
predator yang menerkam mangsanya hidup-hidup. Mangsa dari kedua hewan ini
adalah ikan-ikan kecil, seperti teri, petek, japuh yang merupakan konsumen tingkat I
dan mengkonsumsi fitoplankton (Prasetyo et al., 2014). Sedangkan makanan larva
cumi-cumi di alam adalah zooplankton terutama jenis-jenis cepopoda, amphipoda,
mysid dan larva crustacean (Prasetyo et al., 2014). Hal ini sesuai dengan penjelasan
Ahmad et al. (2013) dan Silaen et al. (2013) yang menyebutkan ketersediaan makanan
akan mempengaruhi kelimpahan, migrasi dan distribusi cumi-cumi oleh karena itu
kelimpahan cumi-cumi pada suatu perairan akan meningkat selama musim penghujan.
Ini lebih disebabkan oleh keberadaan sumber makanan berupa plankton yang juga
sangat melimpah.
Menurut Puspito (2012), aktivitas makan organisme predator, termasuk cumi cumi,
mengalami peningkatan antara pukul 01.00-04.00 WIB. Kondisi cumi-cumi yang
sedang lapar akan lebih mudah dan cepat merespon sumber cahaya yang berada di
perairan. Hal ini yang menjadi penyebab meningkatnya hasil tangkapan pada interval
waktu penangkapan 01.00-05.00 WIT dalam penelitian Ahmad et al. (2013) di Maluku
Utara.
2.1.3 Tingkat Kematangan Gonad (TKG)
Informasi mengenai tingkat kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui atau
menentukan perbandingan ikan yang matang gonad atau belum dari ketersediaan ikan
yang ada di perairan. Disamping itu bisa digunakan untuk mengetahui tentang ukuran
atau umur ikan pertama kali matang gonad, waktu pemijahan, serta intensitas
pemijahan selama satu tahun (Saputra et al., 2009).
Tingkat kematangan gonad (TKG) adalah tahap tertentu perkembangan gonad
sebelum dan sesudah ikan memijah (Novianto et al., 2010; Mardlijah & Patria, 2012).
Pengamatan TKG pada cumi-cumi dilakukan secara morfologi (Sunarni, 2015)
berdasarkan ciri-ciri tingkat kematangan gonad oleh Lipinski (1979) (Perangin-angin et
al., 2015):
W = aLb
dimana:
W = berat tubuh (gr)
L = panjang total (mm)
a = intercept (perpotongan antara garis regresi y)
b = slope (tangen sudut kemiringan)
Σx
𝐱̅ = N
Σy
y
̅=
N
(Σx2 )
Σx2i =Σx2 -
N
(Σy2 )
Σy2i =Σy2 -
N
Σxi y
xi yi =Σx.y ( 2 i )
Σxi
a= y ̅)x
̅ -(b
dimana :
x = logaritma panjang
y = logaritma berat
a = Intercept
b = Slope
Persamaan dari garis regresinya menjadi (y= a +bx) atau (log W = log a + b log L).
Nilai b yang didapatkan bernilai b<3, b=3, atau b>3. Masing-masing harga b tersebut
memiliki artian sebagai berikut:
1. Nilai b<3, maka pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat
(Allometrik negatif).
2. Nilai b=3, maka pertambahan panjang dan berat seimbang (isometrik).
3. Nilai b>3, maka pertambahan panjang lebih lambat daripada pertambahan
berat (Alomertik positif).
Cara untuk mendapatkan nilai b sama atau tidak dengan 3 adalah dengan cara uji
t. Uji T digunakan untuk mengetahui apakai nilai b yang diperoleh berbeda nyata dengan
3 atau tidak, dengan menggunakan cara
(Ʃxy)²
Ʃd2yx=Ʃy2
Ʃx²
2 Ʃd²yx
S yx=
(N-2)
S²yx
S²b=
Ʃx²
Sb=√S²b
3-b
t=| |
Sb
dimana:
b = Nilai eksponen yang diperoleh
Sb = Simpangan baku dari nilai Y
(ƩXY)²
r² =
(ƩX²)(ƩY²)
r = √r²
dimana :
r = koefisien korelasi, merupakan ukuran abstrak dari derajat keeratan hubungan
antara peubah x dan y (-1≤ r ≤1)
r = 1, berarti terdapat hubungan yang erat dan positif
r = -1, berarti terdapat hubungan yang erat dan negatif
r = 0, berarti tidak terdapat hubungan yang erat
3-b
thitung = 2
S
dimana :
S2 = penduga ragam persamaan hubungan panjang berat
b = eksponen hubungan panjang berat
M
Nisbah Kelamin=
F
dimana:
M = jumlah ikan jantan (ekor)
F = jumlah ikan betina (ekor)
3.5.1.4 Tingkat Kematangan Gonad
Pengamatan terhadap tingkat kematangan gonad dilakukan secara morfologi yaitu
dengan cara membedah perut cumi-cumi dan membandingkannya dengan ciri-ciri dan
bentuk gonad sesuai dengan tabel klasifikasi tingkat kematangan gonad cumi-cumi
(Perangin-angin et al., 2015).
3.5.2 Domain EAFM
Data yang dikumpulkan berdasarkan tujuan penelitian ini meliputi enam dimensi
pengelolaan yaitu: (1) Dimensi sumberdaya ikan, (2) dimensi habitat dan ekosistem,
(3) dimensi teknologi penangkapan (4) dimensi sosial, (5) dimensi ekonomi, dan
dimensi (6) dimensi kelembagaan. Data yang dikumpulkan setiap dimensi adalah
sebagai berikut:
Tabel 3. Dimensi, metodologi dan kriteria setiap indikator (KKP, WWF, PKSPL-IPB,
2012)
3.5.2.1 Domain Sumberdaya Ikan
No. Indikator/atribut Penjelasan Metodologi Kriteria
1. CPUE Hasil tangkapan Fishlanding di 1 : menurun tajam
persatuan upaya PPI 2 : menurun sedikit
tangkap 3 : Stabil atau
meningkat
2. Ukuran Perubahan ukuran Panjang dan 1 : Ukuran ikan
Ikan panjang ikan (TL membandingka semakin kecil
atau SL) n ratarata 2 : Ukuran relatif
panjang selama tetap
10 3 : Ukuran semakin
– 15 tahun Panjang
yang lalu
3. Proporsi Persentase ikan Sampling dan 1 : Banyak sekali (>
Ikan Yuwana yang tertangkap pengukuran 60%)
yang belum matang TKG. 2 : Banyak (30-60%)
gonad 3 : Sedikit (<30%)
4. Komposisi Perbandingan jenis Observasi, 1 : Proporsi ikan
Spesies hasil ikan target dan non sampling target lebih
tangkapan target dan data sedikit
sekunder 2 : proporsi ikan
target sama
dengan
nontarget
3 : Proporsi ikan non
target
lebih besar
Lanjutan Tabel 3.
No. Indikator/atribut Penjelasan Metodologi Kriteria
5. Spesies ETP (Endangered survei, 1 : banyak
ETP yang Threatened sampling, tangkapan ETP
tertangkap Protected) spesies wawancara (>5 spesies)
2 : sedikit tangkapan
spesies ETP
(1-5 spesies)
3 : tidak ada
tangkapan
spesies ETP
6. Range SDI semakin jauh Survei dan 1: Fishing ground
collapse ditemukan wawancara sangat jauh
2: Fishing ground
Jauh
3: Fishing ground
relatif Tetap
Tabel 4. menunjukkan bahwa jenis cumi-cumi yang banyak didapatkan adalah jenis
Uroteuthis duvaucelii (51%), diikuti oleh Uroteuthis chinensis (33%), Sepioteuthis
lessoniana (16%). Keempat jenis ini bisa ditemukan diseluruh perairan Indonesia.
Identifikasi jenis cumi-cumi diambil dari berbagai literatur penelitian sebelumnya
yang membuat gambar terkait cumi-cumi dan deskripsi beberapa jenis cumi-cumi.
Gambar 4. Uroteuthis chinensis Gray, 1849
Uroteuthis chinensis memiliki kulit putih kusam dengan totol-totol coklat kemerah-
merahan sedikit mendominasi. Bentuk tubuh memanjang dan sirip berbentuk belah
ketupat. Sesuai dengan penelitian dari Perangin-angin (2015) bahwa loligo chinensis
memiliki bentuk mantel memanjang dengan sisi terlebar terletak pada bagian anterior.
Sirip berbentuk belah ketupat memanjang hingga 2/3 panjang mantel. Loligo chinensis
merupakan spesies cumi-cumi yang berukuran besar.
Sepioteuthis lessoniana memiliki sirip berbentuk oval mirip seperti sotong, namun
tidak memiliki tempurung didalam tubuhnya melainkan memiliki tulang tipis bening
berbentuk pen seperti cumi pada umumnya. Memiliki kepala yang besar, leher dan
mantel yang bersatu dengan bagian dorsal. Mantel berbentuk lonjong membundar pada
ujung posterior, lebar mantel sekitar 40% dari panjangnya. Memiliki mata yang agak
besar terletak disebalah kanan dan kiri kepala. Sirip-siripnya bersatu pada bagian
posterior di sekitar ujung mantel yang cukup besar dan tebal, memiliki lima pasang
lengan dimana satu pasang diantaranya lebih panjang dari yang lain yang disebut
tentakel (Ismail et al., 2013).
Cumi-cumi dijual berdasarkan ukuran, ukuran 0-4 inch biasa didistribusikan di pasar
lokal dengan harga beli dari nelayan Rp 30.000 – Rp 35.000/kg kemudian pengepul
menjual dengan harga Rp 50.000 – Rp 55.000/kg. sedangkan cumi-cumi ukuran 5 inch
keatas merupakan komoditas ekspor yang dibeli dengan harga Rp 55.000 – Rp
60.000/kg dari nelayan kemudian pengepul menjual ke perusahaan ekspor dengan
harga Rp 70.000 – Rp 80.000/kg. Hal ini sesuai dengan Theresia et al. (2013) dimana
ukuran ekonomis yang sesuai dengan kriteria ramah lingkungan disesuaikan dengan
berat bobot dan panjang tubuh.
4.2.2. Distribusi Frekuensi Panjang
Sebaran distribusi panjang diperoleh dari pengukuran panjang mantel cumi-cumi
yang dilakukan selama bulan September sampai dengan Oktober 2018.
70
60 66
50
jumlah (ekor)
40 44
30 37
32
20
18
10 15 5
1 2
0
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa dari 220 sampel cumi-cumi
(Uroteuthis chinensis) yang didapatkan, Panjang kelas yang mendominasi adalah 16-
19,4 cm dengan rata-rata panjang 17,8 cm.
100
90
91
80
70
Jumlah (ekor)
60 70
62
50
40 48
30
31
20
22
10
13 3 2
0
5 - 8,0 8,1 - 11,2 - 14,3 - 17,4 - 20,5 - 23,6 - 26,7 - 29,8 -
11,1 14,2 17,3 20,4 23,5 26,6 29,7 32,8
Panjang kelas (cm)
40
36
35
30
Jumlah (ekor)
25
21
20
15 12
11 10 10
10 8
5 2
0
5-7,6 7,7-10,3 10,4-13 13,1-15,615,7-18,3 18,4-21 21,1-23,723,8-26,4
Panjang kelas
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa dari 110 sampel cumi-cumi
(Sepioteuthis lessoniana) yang didapatkan, Panjang mantel yang mendominasi adalah
12,9-15,5 cm dengan rata-rata panjang 14 cm.
(Amin et al. (2013) Menyatakan bahwa panjang cumi-cumi jantan dan betina
maksimal 36 cm dan beratnya bisa mencapai 1800 gram yang tertangkap di perairan
makasar, sedangkan pada pengamatan saya selama praktik didapatkan maksimal
ukuran panjang 40 cm dan berat 721 gram, Hal ini menujukkan bahwa besarnya populasi
ikan dalam suatu perairan antara lain ditentukan oleh makanan yang tersedia. Dari
makanan ini ada beberapa faktor yang berhubungan dengan populasi tersebut yaitu
jumlah dan kualitas makanan yang tersedia, ketersediaan makanan dan lama masa
pengambilan makanan oleh ikan dalam populasi tersebut. Makanan yang telah
digunakan oleh ikan tadi akan mempengaruhi sisa persediaan makanan dan sebaliknya
dari makanan yang diambilnya akan mempengaruhi pertumbuhan, kematangan bagi
tiap–tiap individu ikan serta keberhasilan hidupnya (survival). Adanya makanan dalam
perairan selain dipengaruhi oleh kondisi biotik seperti tersebut di atas, ditentukan pula
oleh kondisi abiotik lingkungan seperti suhu, cahaya, ruang dan luas permukaan (Gani
et al., 2015).
4.2.3 Hubungan Panjang Berat
Pengamatan terhadap panjang dan berat dari cumi-cumi berguna untuk mengetahui
komposisi ukuran, hubungan panjang berat serta faktor kondisi. Hasil perhitungan
panjang berat cumi-cumi yang didapatkan selama praktik integrasi dapat dilihat pada
Tabel 5.
Dari hasil analisis yang disajikan pada Gambar 11. Jika dilihat hubungan panjang
berat spesies Uroteuthis duvaucelii pada jantan adalah W= 0,6078L1,9527 yang berarti
setiap pertambahan berat sebesar W, maka akan diikuti dengan pertambahan panjang
mantel sebesar 0,6078L1,9527. Dari nilai b yang didapatkan yakni 1,9527 dan setelah
dilakukan uji t (a= 0,6078) terhadap nilai b diperoleh nilai t hitung = 11,35 dan t tabel
=1,99, maka t hitung > t tabel maka diketahui bahwa spesies Uroteuthis duvaucelii
jantan memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif yaitu tolak Ho adalah b =3 karena
b<3 (b=1,9527), artinya pertambahan panjang lebih cepat dari pada pertambahan berat
sehingga cumi-cumi cenderung memanjang. Dengan nilai r sebesar 0,9084 menunjukan
bahwa adanya hubungan yang erat dan positif antara panjang dan berat, bahwa setiap
pertambahan panjang cumi-cumi maka terjadi juga pertambahan beratnya.
Sedangkan pada betina didapatkan hubungan panjang berat W= 0,9129L1,8073 yang
berarti setiap pertambahan berat sebesar W, maka akan diikuti dengan pertambahan
panjang mantel sebesar 0,9129L1,8073. Dari nilai b yang didapatkan yakni 1,8073 dan
setelah dilakukan uji t (a= 0,9129) terhadap nilai b diperoleh nilai t hitung = 10,69 dan t
tabel =1,99, maka t hitung > t tabel maka diketahui bahwa spesies Uroteuthis duvaucelii
betina memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif yaitu tolak Ho adalah b =3 karena
b<3 (b=1,8073), artinya pertambahan panjang lebih cepat dari pada pertambahan berat
sehingga cumi-cumi cenderung memanjang. Oleh karena itu terlihat pada pengamatan
cumi-cumi ukurannya lebih banyak memanjang daripada melebar dan dengan nilai r
sebesar 0,8780 menunjukan bahwa adanya hubungan yang erat dan positif antara
panjang dan berat, bahwa setiap pertambahan panjang cumi-cumi maka terjadi juga
pertambahan beratnya.
Berdasarkan hasil pengukuran pada spesies Sepioteuthis lessoniana didapatkan
panjang rata-rata 16 cm dan berat rata-rata 268 gram. Grafik hubungan panjang dan
berat dapat dilihat pada Gambar 12.
Dari hasil analisis yang disajikan pada Gambar 12. Jika dilihat hubungan panjang
berat spesies Sepioteuthis lessoniana pada jantan adalah W= 0,4609L2,1925 yang berarti
setiap pertambahan berat sebesar W, maka akan diikuti dengan pertambahan panjang
mantel sebesar 0,4609L2,1925. Dari nilai b yang didapatkan yakni 2,1925 dan setelah
dilakukan uji t (a= 0,4609) terhadap nilai b diperoleh nilai t hitung = 11,46 dan t tabel =2,
maka t hitung > t tabel maka diketahui bahwa spesies Sepioteuthis lessoniana jantan
memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif yaitu tolak Ho adalah b =3 karena b<3
(b=2,1925), artinya pertambahan panjang lebih cepat dari pada pertambahan berat
sehingga cumi-cumi cenderung memanjang. Dengan nilai r sebesar 0,9708 menunjukan
bahwa adanya hubungan yang erat dan positif antara panjang dan berat, bahwa setiap
pertambahan panjang cumi-cumi maka terjadi juga pertambahan beratnya.
Sedangkan pada betina didapatkan hubungan panjang berat W= 0,5171L2,1723 yang
berarti setiap pertambahan berat sebesar W, maka akan diikuti dengan pertambahan
panjang mantel sebesar 0,5171L2,1723. Dari nilai b yang didapatkan yakni 2,1723 dan
setelah dilakukan uji t (a= 0,5171) terhadap nilai b diperoleh nilai t hitung = 7,73 dan t
tabel =2,06, maka t hitung > t tabel maka diketahui bahwa spesies Sepioteuthis
lessoniana betina memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif yaitu tolak Ho adalah b
=3 karena b<3 (b=2,1723), artinya pertambahan panjang lebih cepat dari pada
pertambahan berat sehingga cumi-cumi cenderung memanjang. Oleh karena itu terlihat
pada pengamatan cumi-cumi ukurannya lebih banyak memanjang daripada melebar dan
dengan nilai r sebesar 0,9698 menunjukan bahwa adanya hubungan yang erat dan
positif antara panjang dan berat, bahwa setiap pertambahan panjang cumi-cumi maka
terjadi juga pertambahan beratnya.
Pola pertumbuhan allometrik negatif dipengaruhi tingkat faktor dalam antara lain
perbedaan spesies, umum parasit dan penyakit, sedangkan faktor luar dipengaruhi oleh
suhu dan makanan, selain itu perbedaan spesies dan lingkungan juga mempengaruhi
pola pertumbuhan (Anjayanti et al., 2017).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Amin et al., 2013) menyatakan bahwa di
perairan Makasar diperoleh kisaran panjang mantel cumi-cumi hasil tangkapan mini
purse seine adalah 20,01 - 30,00 cm. Hal ini berbeda dengan hasil tangkapan di perairan
Pantai Timur Sumatera Utara adalah 5 - 40 cm. Ini berarti bahwa cumi-cumi yang
tertangkap di Pantai Timur Sumatera Utara cenderung berukuran lebih besar
dibandingkan dengan perairan Makasar.
4.2.4 Sex Ratio (Nisbah Kelamin)
Perbandingan jenis kelamin cumi-cumi dapat dilakukan dengan melihat lengan IV
pada cumi (Omar, 2017; Nuzapril et al., 2013) menggunakan mikroskop dan dengan
melakukan pembedahan untuk melihat ciri-ciri gonadnya. Pada betina biasanya memiliki
organ nidamental glands berwarna putih yang berfungsi memproduksi telur. Dari 672
sampel cumi 434 sampel diambil untuk diidentifikasi jenis kelaminnya.
jantan
62%
Untuk mengetahui apakah populasi cumi-cumi berada dalam kondisi ideal untuk
mempertahankan kelestariannya dengan asumsi bahwa satu cumi-cumi jantan akan
memijahi satu cumi-cumi betina, maka perlu dilakukan pengujian terhadap nilai sex ratio
yang bernilai 1,6 : 1 apakah bernilai 1 : 1. Pengujian ini menggunakan uji chi kuadrat
dengan derajat bebas (db) = 1 dan taraf kepercayaan 95 %.
Tabel 6. Tabel uji statistik perbandingan cumi-cumi (Uroteuthis chinensis) jantan dan
betina
Sampel fo fh Fo-fh (fo-fh)2 X2= X2=∑
Jantan 105 84 21 441 5,25 10,50
Betina 63 844 -21 441 5,25
fo = Frekuensi yang diamati
fh = Frekuensi yang diharapkan
Dari perhitungan nisbah kelamin dapat dilihat bahwa nilai chi-kuadrat (x2) hitung
yang diperoleh adalah sebesar 10,50 lebih besar dari nilai chi-kuadrat (x2) Tabel sebesar
3,84, itu berarti χ2 hitung > χ2 tabel. Kondisi ini menunjukkan bahwa Ho ditolak, H1
diterima yang artinya perbandingan antara jantan dan betina bukan 1:1. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara cumi-cumi jantan dengan
cumi-cumi betina dimana cumi-cumi jantan lebih banyak dari pada cumi cumi betina
dengan perbandingan 1,6 : 1
Pada spesies Uroteuthis duvaucelii ditemukan 97 ekor Jantan dan 80 ekor betina .
Perbandingan jenis kelamin antara jantan dan betina adalah 55% : 45%. Dari persentase
tersebut diketahui bahwa cumi-cumi (Uroteuthis duvaucelii) jantan lebih banyak dari
cumi-cumi betina dengan sex ratio antara cumi jantan dengan betina 1,2 : 1.
betina
45%
jantan
55%
Untuk mengetahui apakah populasi cumi-cumi berada dalam kondisi ideal untuk
mempertahankan kelestariannya dengan asumsi bahwa satu cumi-cumi jantan akan
memijahi satu cumi-cumi betina, maka perlu dilakukan pengujian terhadap nilai sex ratio
yang bernilai 1,2 : 1 apakah bernilai 1 : 1. Pengujian ini menggunakan uji chi kuadrat
dengan derajat bebas (db) = 1 dan taraf kepercayaan 95 %.
Tabel 7. Tabel uji statistik perbandingan cumi-cumi (Uroteuthis duvaucelii) jantan dan
betina
Sampel fo fh Fo-fh (fo-fh)2 X2= X2=∑
Jantan 97 88,5 8,5 72,25 0,81638 1,63
Betina 80 88,5 -8,5 72,25 0,81638
Dari perhitungan nisbah kelamin dapat dilihat bahwa nilai chi-kuadrat (x2) hitung
yang diperoleh adalah sebesar 1,63 lebih kecil dari nilai chi-kuadrat (x2) Tabel sebesar
3,84, itu berarti χ2 hitung < χ2 tabel. Kondisi ini menunjukkan bahwa Ho diterima, H1
ditolak yang artinya perbandingan antara jantan dan betina adalah 1:1. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara cumi-cumi jantan dengan
cumi-cumi betina (seimbang).
Pada spesies Sepioteuthis lessoniana ditemukan 61 ekor Jantan dan 28 ekor betina
. Perbandingan jenis kelamin antara jantan dan betina adalah 69% : 31%. Dari
persentase tersebut diketahui bahwa cumi-cumi (Sepioteuthis lessoniana) jantan lebih
banyak dari cumi-cumi betina dengan sex ratio antara cumi jantan dengan betina 2 : 1.
betina
31%
jantan
69%
Untuk mengetahui apakah populasi cumi-cumi berada dalam kondisi ideal untuk
mempertahankan kelestariannya dengan asumsi bahwa satu cumi-cumi jantan akan
memijahi satu cumi-cumi betina, maka perlu dilakukan pengujian terhadap nilai sex ratio
yang bernilai 2 : 1 apakah bernilai 1 : 1. Pengujian ini menggunakan uji chi kuadrat
dengan derajat bebas (db) = 1 dan taraf kepercayaan 95 %.
Tabel 8. Tabel uji statistik perbandingan cumi-cumi (Sepioteuthis lessoniana) jantan dan
betina
Sampel fo fh Fo-fh (fo-fh)2 X2= X2=∑
Jantan 61 44,5 16,5 272,25 6,11798 12,24
Betina 28 44,5 -16,5 272,25 6,11798
Dari perhitungan nisbah kelamin dapat dilihat bahwa nilai chi-kuadrat (x2) hitung
yang diperoleh adalah sebesar 12,24 lebih besar dari nilai chi-kuadrat (x2) Tabel sebesar
3,84, itu berarti χ2 hitung > χ2 tabel. Kondisi ini menunjukkan bahwa Ho ditolak, H1
diterima yang artinya perbandingan antara jantan dan betina bukan 1:1. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara cumi-cumi jantan dengan
cumi-cumi betina dimana cumi-cumi jantan lebih banyak dari pada cumi cumi betina
dengan perbandingan 2 : 1.
Pengamatan perbandingan jenis kelamin sangat penting untuk mengetahui struktur
suatu populasi. Jika secara pengujian statistik dan anggapan bahwa satu ekor jantan
memijah dengan satu ekor betina, maka apabila jantan dan betina seimbang atau betina
lebih banyak maka dapat diartikan bahwa populasi tersebut masih ideal untuk
mempertahankan kelestariannya.
4.2.5 Tingkat Kematangan Gonad
Untuk mengetahui Tingkat Kematangan Gonad pada cumi-cumi dapat diketahui
dengan melakukan pembedahan terhadap cumi-cumi baik jantan maupun betina.
Berdasarkan data hasil pengamatan dilapangan diperoleh bahwa tingkat kematangan
gonad (TKG) untuk cumi-cumi jantan dan betina yang tertangkap di Pantai Timur
Sumatera Utara mempunyai tingkat kematangan (TKG) yang bervariasi (Gambar 17 &
18).
Gambar 17. Tingkat kematangan gonad cumi-cumi jantan: a (TKG I), b (TKG II),
c (TKG III)
Dari Gambar 17 terlihat bahwa organ seksual jantan untuk tingkat I belum terlihat
hanya berupa cairan putih yang transparan, untuk organ seksual tingkat II sudah
berwarna jernih keputih-putihan, organ seksual tingkat III sudah terlihat jelas berwarna
keputih-putihan dan agak besar sedangkan organ seksual tingkat IV berkembang lebih
besar dan memanjang berwarna putih.
Gambar 18. Tingkat kematangan gonad cumi-cumi betina: a (TKG I), b (TKG II),
c (TKG III), d (TKG IV)
Gulungan
Tali utama
Swivel
Swivel
Tali cabang
Mata
pancing
dan umpan
palsu
Pemberat
timah
4.4 Analisis Tematik dan komposit Pengelolaan Perikanan Cumi-cumi di Pantai Timur
Sumatera Utara
4.4.1 Domain Sumberdaya Ikan
Aspek sumberdaya ikan yang di perhitungkan dalam analisis keragaan EAFM
meliputi 6 indikator yaitu CPUE baku, tren ukuran ikan, proporsi ikan yuwana (juvenile),
komposisi spesies hasil tangkapan, “Range collapse” sumberdaya ikan dan spesies
ETP.
1. CPUE baku
Dari data upaya (effort) dan produksi (yield) yang didapatkan dari PPS Belawan
akan menghasilkan fluktuasi CPUE (Catch Per Unit Effort) setiap tahunnya dapat dilihat
Gambar 23.
6,000.00
5,000.00
3,000.00
2,000.00
1,000.00
-
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Tahun
Fenomena naik turunnya nilai CPUE dengan mengamati Upaya (effort) dan CPUE
sangat di pengaruhi oleh jenis dan ukuran tangkap, lokasi fishing ground, dan kondisi
alam saat melakukan penangkapan. Penggunaan indikator CPUE menunjukkan
kecenderungan penurunan merupakan indikasi tidak langsung terjadinya pemanfataan
yang berlebih, sebaliknya CPUE yang cenderung meningkat menunjukkan pemanfataan
sumberdaya yang masih dalam batasan aman dan berpotensi untuk pengembangan
lebih lanjut. Berdasarkan grafik, pada tahun 2015 nilai CPUE naik pesat hal ini
dikarenakan pada tahun-tahun sebelumnya cumi-cumi hanya didapatkan/ditangkap
dengan 2-3 jenis alat tangkap saja kemudian pada tahun 2015 jenis alat tangkap
bertambah menjadi 4-5 jenis. Kemudian nilai CPUE berangsur-angsur turun di tahun
2016 dan 2017 hal ini diindikasikan dengan adanya pemanfaatan berlebih disebabkan
bertambahnya effort. Data wawancara juga menyebutkan bahwa hasil tangkapan
mereka turun sekitar 25% sehingga untuk penilaian indikator CPUE ini diberikan skor 2.
2. Tren Ukuran Ikan
Data pengukuran panjang ikan dapat dijadikan sebagai data awal untuk pengelolaan
perikanan selanjutnya. Perhitungan distribusi frekuensi panjang ini dimaksudkan agar
kita bisa mengetahui ada berapa banyak dan berada pada kisaran berapa ikan
terpanjang dan terkecil dalam sampel yang kita gunakan. Hasil pengamatan terhadap
672 sampel yang didapatkan, didapatkan kisaran panjang mantel tertinggi yang
didaratkan di Pantai Timur Sumatera Utara adalah 12,2-15,7 cm dengan rata-rata
panjang 13,93 cm yang berjumlah 184 ekor. Sedangkan menurut (Amin et al., 2013)
dalam penelitiannya di perairan Makassar, panjang cumi-cumi jantan dan betina bisa
mencapai maksimal 36 cm dan beratnya bisa mencapai 1800 gram. Dan hasil
wawancara dengan nelayan dapat dilihat pada Gambar 24.
11%
Relatif Tetap
89%
Semakin
mengecil
Total nilai agregat yang diperoleh dari pengamatan domain sumberdaya ikan
adalah 3080 dengan nilai rata-rata skor likert 2 dan menghasilkan penilaian indikator
terhadap domain sumberdaya ikan ini berwarna kuning muda yang berarti dalam
kategori kurang untuk penerapan EAFM. Adapun grafik yang dapat menghubungkan
atau relasi antara semua indikator yang dapat dilihat Gambar 26.
1. CPUE Baku
3
7. Densitas/ 3
2 2. Tren Ukuran Ikan
Biomassa ikan… 2
1
1
0
3. Proporsi Ikan
6. Spesies ETP
Yuwana
Dari hasil analisis ini dapat disimpulkan bahwa dengan bertambahnya effort
menyebabkan nilai CPUE menurun, tren ukuran ikan semakin mengecil dan fishing
ground semakin jauh.
4.4.2 Domain Habitat dan Ekosistem Perairan
Aspek habitat dan ekosistem yang diperhitungkan dalam analisis keragaan EAFM
meliputi 6 indikator yaitu kualitas perairan, status ekosistem lamun, status ekosistem
mangrove, status ekosistem terumbu karang, Habitat unik/khusus dan perubahan iklim
terhadap kondisi perairan dan habitat.
1. Kualitas Perairan
Kualitas perairan mencakup karakteristik fisika, kimia dan biologi perairan yaitu
suatu ukuran tentang kondisi relatif suatu perairan terhadap standar yang ditentukan
untuk kesehatan ekosistem didalamnya. Kualitas perairan dapat ditentukan oleh
keberadaan dan kuantitas kontaminan serta oleh faktor fisik dan kimia seperti pH,
konduktifitas, oksigen terlarut, salinitas dan lain sebagainya.
Menurut (Sitorus, 2011), Perairan Pantai Timur Sumatera Utara tergolong tercemar
berat oleh limbah domestik, limbah industri, dan limbah pertanian termasuk limbah
tambak.
Tabel 13. Hasil uji kuallitas air tahun 2017 oleh DKP Provinsi Sumatera Utara
PARAMETER MINIMUM MAKSIMUM RATA-RATA
Suhu (oC) 29,5 32,7 30,88
Salinitas (psu) 24 32 29,11
pH 6,04 8,05 7,59
TSS (mg/l) 121 347 219,4
Kecerahan (m) 0,15 5,5 1,72
DO (mg/L) 3,26 11,07 6,23
BOD5 (mg/l) 2,32 30,5 4,21
COD (mg/L) 15,9 64,5 36,83
Nitrat (mg/L) 4,81 58,6 19,87
Chl-a (mg/m3) 27,8 125 72,97
Sumber: DKP Provinsi Sumatera Utara (2017)
Kemudian berdasarkan data uji kualitas air tahun 2017 yang didapatkan dari Dinas
Kelautan Perikanan Provinsi Sumatera Utara diketahui tingkat kekeruhan tinggi rata-rata
219,4 mg/l dengan kandungan klorofil-a tergolong tinggi berkisar antara 27,8-125 mg/m3.
Untuk indikator ini diberi skor 1.
2. Status Ekosistem Lamun
Wilayah Perairan Pantai Timur Sumatera Utara yang termasuk kedalam WPP 571
dan merupakan bagian dari Selat Malaka adalah perairan yang tergolong dangkal
dengan kedalaman yang berkisar antara 13,98 m – 63,48 m. Tipe substrat yang berada
di perairan ini terdiri dari lumpur dan lumpur berpasir (Wedjatmiko, 2010). Berdasarkan
data ekosistem yang didapatkan dari Dinas Kelautan Perikanan Provinsi Sumatera Utara
tidak ditemukan padang lamun di sepanjang perairan Pantai Timur Sumatera Utara hal
ini mungkin disebabkan oleh substrat dan kondisi lingkungan perairan yang tidak sesuai
dengan habitat lamun. Indikator ini diberi skor 1.
3. Status Ekosistem Mangrove
Hutan mangrove di Pulau Sumatera terutama tersebar di Pantai Timur, disebabkan
karena: 1) Pantai Timur mempunyai dataran lebih rendah dibanding pantai Barat
Sumatera. 2) banyak sungai-sungai besar di Sumatera yang mengalir ke Pantai Timur.
Kondisi ini mendorong pertumbuhan mangrove di muara sungai makin subur dan makin
luas, karena banyak endapan yang terbawa arus sungai (Razali, 2004). Walaupun dari
segi luasan kawasan, mangrove Indonesia merupakan yang terluas di dunia (FAO,
1992), namun kondisinya semakin menurun baik dari segi kualitas dan kuantitas dari
tahun ke tahun.
Onrizal & Kusmana (2008) melaporkan kerusakan mangrove di pulau Tapak Kuda
yang terletak di pantai timur Langkat (Sumatera Utara), mengakibatkan pulau tersebut
sekarang sudah hilang/tenggelam. Purwoko (2005) juga melaporkan bahwa kerusakan
mangrove di pantai kecamatan Secanggang, kabupaten Langkat, Sumatera Utara
berdampak pada penurunan volume dan keragaman jenis ikan yang ditangkap, dimana
56,32% jenis ikan menjadi langka/sulit didapat, dan 35,36% jenis ikan menjadi
hilang/tidak pernah lagi tertangkap, disertai penurunan pendapatan sebesar 33,89%
dimana kelompok yang paling besar terkena dampak adalah nelayan, dan sekitar 85,4%
respoden kesulitan dalam berusaha dan mendapatkan pekerjaan dibandingkan sebelum
kerusakan mangrove.
Berdasarkan data yang didapatkan dari DKP Provinsi Sumatera Utara, dari luas
lahan mangrove yang dimiiki yakni sebesar 147.199,44 ha, 92.815,04 ha diantaranya
masih dalam kedaan baik (63%) dan terdiri dari 6 jenis yakni Rhizophora spp., Bruguiera
spp., Avicennia, Jeruju, Sonneratia dan Nypa Fruticans Domain ini diberi skor 2.
4. Status Ekosistem Terumbu Karang
Berdasarkan data yang didapatkan dari DKP Provinsi Sumatera Utara, dari luas
terumbu karang yang dimiliki yakni sebesar 769.802 ha, 459.400 ha diantaranya dalam
keadaan baik (59,6%). Indikator ini diberi skor 3 untuk luas tutupannya yang masih
dalam keadaan baik sekitar hampir 60% dari luas keseluruhan yang ada dan diberi skor
2 untuk keanekaragaman yang sedang.
5. Habitat Unik dan Khusus
Berdasarkan hasil wawancara dengan seksi pengelola pesisir dan pulau-pulau kecil
daerah Serdang Bedagai. Didapatkan informasi bahwa Pulau Berhala beberapa kali
dijadikan tempat mendaratkan telur oleh penyu, pulau seluas 44,75 ha ini merupakan
salah satu pulau yang terletak di Selat Malaka dan masuk kedalam wilayah Kecamatan
Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai. Pulau Berhala termasuk salah satu
pulau terluar di Indonesia dengan jarak 25 mil dari ibukota Kecamatan Tanjung Beringin.
Berdasarkan informasi yang didapatkan, dari DKP Serdang bedagai indikator ini
diberi skor 2.
6. Perubahan Iklim Terhadap Kondisi Perairan dan Habitat
Berdasarkan survei, belum ditemukan studi tentang pengaruh iklim terhadap hasil
tangkapan cumi-cumi. Sementara itu menurut Ahmad & Sofiati (2017) tingkat kekeruhan
dan cuaca (angin dan bergelombang) mempengaruhi hasil tangkapan. Selain itu habitat
cumi-cumi adalah terumbu karang (Adibrata, 2013) dimana karang mempunyai
ancaman besar yakni coral bleaching yang disebabkan oleh berubahnya suhu
permukaan laut karena perubahan iklim (Rudi, 2010). Maka perubahan iklim ini sangat
berpengaruh pada keberlangsungan hidup cumi-cumi yang kemudian berpengaruh pada
hasil tangkapan nelayan cumi. Karena belum adanya studi mengenai dampak
perubahan iklim terhadap kondisi perairan atau hasil tangkapan cumi indikator ini diberi
skor 1.
Dari semua ulasan indikator dari domain habitat ekosistem dan perairan di dapatkan
analisis komposit domain habitat ekosistem dan perairan pada Tabel dibawah ini:
Total nilai agregat yang diperoleh dari pengamatan domain habitat dan ekosistem
perairan adalah 2441,6 dengan nilai rata-rata skor likert 1,7 dan menghasilkan penilaian
indikator terhadap domain habitat dan ekosistem perairan ini berwarna kuning muda
yang berarti dalam kategori kurang untuk penerapan EAFM. Adapun grafik yang dapat
menghubungkan atau relasi antara semua indikator yang dapat dilihat Gambar 27.
1. Kualitas Perairan
2.5
7. Perubahan iklim 2
2. Status Ekosistem
terhadap kondisi 1.5 Lamun
perairan
1
0.5
0
6. status dan
3. Status Ekosistem
produktivitas estuari
Mangrove
dan perairan…
Dari hasil analisis ini dapat disimpulkan bahwa diketahui adanya habitat khusus
yang harus dikelola dengan baik dan meski ekosistem terumbu karang dan mangrove
masih tergolong baik yang berarti belum adanya kerusakan besar yang dipengaruhi oleh
perubahan iklim, studi tentang pengaruh perubahan iklim terhadap kondisi perairan
sebaiknya segera dilakukan untuk menghindari atau meminimalisir kerusakan yang
mungkin terjadi dengan menyusun tahap-tahap adaptive management dan bila
memungkinkan mengadakan konservasi atau penanaman kembali lamun guna
meningkatkan produktivitas perairan.
4.4.3 Domain Teknik Penangkapan Ikan
Aspek teknik penangkapan ikan yang diperhitungkan dalam analisis keragaan
EAFM meliputi 6 indikator yaitu metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif,
modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan, kapasitas perikanan dan
upaya penangkapan, selektivitas penangkapan, kesesuaian fungsi dan ukuran kapal
penangkapan ikan dengan dokumen legal dan sertifikasi awak kapal perikanan sesuai
dengan peraturan.
1. Metode Penangkapan Ikan yang Bersifat Destruktif
Cumi-cumi pernah ditangkap dengan menggunakan pukat hela (Trawl), setelah
disahkannya PERMEN-KP No. 2 tahun 2015 tentang Larangan penggunaan alat
penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia kapal penangkapan ikan
yang menggunakan pukat hela mengganti alat penangkapnya dengan bouke ami
sehingga saat ini trawl sudah tidak digunakan dan tidak terdata lagi.
Berdasarkan data yang didapatkan dari Satuan Pengawas Sumberdaya Kelautan
Perikanan (PSDKP), frekuensi pelanggaran yang dilakukan oleh kapal penangkapan
cumi-cumi (Bouke ami dan Pancing cumi) adalah 5-10 kasus di tahun 2017. Pelanggaran
yang biasa dilakukan adalah pelanggaran wilayah penangkapan dan penggunaan alat
bantu penangkapan yang tidak sesuai dengan peraturan. Sehingga indikator ini diberi
skor 2.
2. Modifikasi Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan
Selama praktik integrasi tidak ditemukan adanya modifikasi alat penangkapan dan
alat bantu penangkapan ikan. Hal ini kemudian diperkuat dengan hasil wawancara yang
dilakukan kepada Satwas DKP yang menyatakan bahwa tidak adanya modifikasi alat
tangkap dan alat bantu penangkapan ikan.
Namun indikator ini dinilai dengan melihat Lc cumi yang dibandingkan dengan Lm
nya sehingga indikator ini diberi nilai 2 karena sekitar 25-50% ukuran cumi < Lm.
3. Kapasitas Perikanan dan Upaya Penangkapan
Hasil dari perhitungan rasio antara fishing capacity pada tahun dasar (2016) dan
fishing capacity pada tahun terakhir (2017) didapatkan nilai rasio sebesar 0,625
sehingga indikator ini diberi nilai 1 karena R = < 1.
4. Selektivitas Penangkapan
Untuk mengetahui tingkat selektivitas suatu alat tangkap perlu diadakan kajian atau
wawancara yang mengulas alat tangkap yang digunakan dengan memperhatikan luasan
daerah penangkapan, lama waktu penangkapan dan keragaman hasil tangkapan.
Berdasarkan hasil identifikasi lapangan dan wawancara dengan responden yang
mewakili, alat tangkap yang digunakan untuk menangkap cumi ada 2 jenis yakni Pancing
cumi dan Bouke ami. Pancing cumi dianggap cukup selektif karena mata pancing
memiliki ukuran tertentu yang akan menarik perhatian cumi dengan ukuran tertentu
untuk memakan umpan yang ada. Sedangkan Bouke ami dianggap kurang selektif
karena hanya menggunakan jaring dengan mesh size rata-rata 1 inch sehingga cumi
yang tertarik oleh cahaya lampu baik berukuran layak tangkap ataupun tidak tetap akan
terperangkap jaring. Sehingga indikator ini diberi skor 2.
5. Kesesuaian Fungsi Dan Ukuran Kapal Penangkapan Ikan Dengan Dokumen Legal
Berdasarkan hasil identifikasi di lapangan tidak ditemukan kapal penangkapan ikan
yang tidak memiliki dokumen legal atau memiiki dokumen yang tidak sesuai. Hal ini
disebabkan oleh peraturan mengurus surat izin berlayar setiap sebelum meninggalkan
pelabuhan perikanan, dimana dalam proses pelaporan izin berlayar ini akan dilakukan
pengecekan kelengkapan dokumen yang kemudian akan disesuaikan dengan kapalnya.
Sehingga indikator ini diberi skor 3.
6. Sertifikasi Awak Kapal Perikanan Sesuai Dengan Peraturan
Penerapan sertifikasi awak kapal dilakukan untuk menunjang kegiatan
penangkapan ikan yang bertanggungjawab oleh awak kapal perikanan. Penilaian dalam
indikator ini dilakukan dengan cara mengukur tingkat kepemilikan awak kapal terhadap
sertifikasi ANKAPIN dan ATKAPIN.
Berdasarkan hasil identifikasi di lapangan sesuai dengan indikator sebelumnya
bahwa tidak ditemukannya awak kapal yang tidak memiliki dokumen ANKAPIN atau
ATKAPIN. Hal ini dikarenakan setiap awak kapal yang akan melaut diperiksa
dokumennya untuk diberikan surat izin berlayar. Sehingga indikator ini diberi skor 3.
Dari semua ulasan indikator dari domain teknik penangkapan ikan di dapatkan
analisis komposit domain teknik penangkapan ikan pada Tabel dibawah ini:
Tabel 15. Analisis komposit domain Teknik penangkapan ikan
Indikator Data Isian Skor Bobot (%) Rangking Densitas Nilai
1. Metode Frekuensi
penangkapan pelanggaran
ikan yang mencapai 5- 2 30 1 21 260
bersifat 10 kasus
destruktif pertahun
2. Modifikasi API 25-50%
dan ABPI ukuran target 2 25 2 16 800
spesies<Lm
3. Kapasitas Rasio
Perikanan dan kapasitas
1 15 3 14 210
upaya penangkap
penangkapan an < 1
4. Selektivitas Selektivitas
penagkapan sedang (50- 2 15 4 16 480
75%
5. Kesesuaian Kesesuaian
fungsi dan tinggi > 70%
3 10 5 12 360
ukuran kapal
perikanan
6. Sertifikasi Kepemilikan
awak kapal sertifikat 3 5 6 12 180
> 75%
Total nilai agregat yang diperoleh dari pengamatan domain teknik penangkapan
ikan adalah 3290 dengan nilai rata-rata skor likert 2,1 dan menghasilkan penilaian
indikator terhadap domain teknik penangkapan ikan ini berwarna kuning muda yang
berarti dalam kategori kurang untuk penerapan EAFM. Adapun grafik yang dapat
menghubungkan atau relasi antara semua indikator yang dapat dilihat Gambar 28.
1. Metode
penangkapan yang
bersifat destruktif
3
2.5
6. Sertifikasi awak 2 2. modifikasi alat
kapal perikanan 1.5 penangkapan ikan
sesuai dengan… 1 dan alt bantu…
0.5
0
4. Selektivitas
penangkapan
Dari hasil analisis ini dapat disimpulkan bahwa tingkat kepatuhan nelayan sudah
baik ditandai dengan lengkapnya dokumen legal yang dimilki, baik dokumen lengkap
kapal maupun dokumen milik awak kapal. Frekuensi pelanggaran yang terjadi ditahun
2017 mencapai 5-10 kasus. Tidak adanya modifikasi alat tangkap dan selektivitas alat
tangkap tergolong sehingga tidak terlalu mempengaruhi ukuran hasil tangkapan.
4.4.4 Domain Ekonomi
Aspek ekonomi yang diperhitungkan dalam analisis keragaan EAFM meliputi 3
indikator yaitu kepemilikan aset, pendapatan rumah tangga perikanan (RTP) dan Rasio
tabungan.
1. Kepemilikan Aset
Berdasarkan hasil wawancara sekitar 78% RTP menyatakan bahwa aset yang
dimilikinya tetap, 8% menyatakan aset mereka bertambah, dan 14% menyatakan
berkurang atau menurun. Diagram persentase kepemilikan aset rumah tangga
perikanan dapat dilihat pada Gambar 29.
Kurang Tambah
14% 8%
Tetap
78%
Aset tetap terbagi menjadi 2 yakni aset produktif seperti kapal dan aset nonproduktif
seperti sepeda motor atau televisi. Aset yang berkurang terbagi menjadi 2 yakni alat
tangkap berupa jaring dan mata pancing yang apabila rusak perlu diperbaiki ulang dan
aset non produktif seperti RTP dulunya memilki lemari pendingin harus dijual untuk
memenuhi kebutuhan hidup di musim paceklik. Berdasarkan persentase diatas indikator
ini diberi skor 2.
2. Pendapatan Rumah Tangga Perikanan (RTP)
Berdasarkan hasil wawancara Rata-rata pendapatan nelayan yang paling tinggi
yaitu Rp 1.204.500 sedangkan yang paling rendah yaitu Rp 503.500. dengan rata-rata
keseluruhan adalah Rp 841.700. dengan rata-rata UMK di Provinsi Sumatera Utara
adalah Rp 2.100.000 maka indikator ini diberi skor 1.
3. Nilai Tukar Nelayan (NTN)
Nilai tukar nelayan (NTN) adalah mengukur kemampuan tukar barang-barang
(produk) perikanan yang dihasilkan nelayan dengan barang atau jasa yang diperlukan
untuk konsumsi rumah tangga dan keperluan dalam memproduksi barang-barang
perikanan (Budiono et al., 2015). Berdasarkan hasil wawancara, rata-rata perbandingan
penerimaan dari pengeluaran nelayan adalah 138. Angka ini lebih besar dari 100
sehingga indikator ini diberi nilai 3.
4. Rasio Tabungan
Berdasarkan hasil wawancara, 73% masyarakat nelayan tidak menabung dan 27%
menabung, hal ini menunjukkan bahwa manajemen nelayan akan pengeluaran dan
pendapatan mereka masih sangat kurang. Diagram persentase tabungan nelayan dapat
dilihat pada Gambar 30. Indikator ini diberi skor 1.
menabung
27%
Tidak
menabung
73%
Dari semua ulasan indikator dari domain ekonomi di dapatkan analisis komposit
domain ekonomi pada Tabel dibawah ini
Total nilai agregat yang diperoleh dari pengamatan domain ekonomi adalah 3400
dengan nilai rata-rata skor likert 1,75 dan menghasilkan penilaian indikator terhadap
domain ekonomi ini berwarna kuning muda yang berarti dalam kategori kurang untuk
penerapan EAFM. Adapun grafik yang dapat menghubungkan atau relasi antara semua
indikator yang dapat dilihat Gambar 31.
1. Kepemilikan aset
3
3
2
2
1
1
2. Nilai tukar
4. Rasio tabungan 0
nelayan
3. Pendapatan
Rumah Tangga
perikanan (RTP)
Dari hasil analisis ini dapat disimpulkan bahwa tingkat ekonomi nelayan di pesisir
pantai timur Sumatera Utara tergolong rendah hal ini ditandai dengan pendapatan
nelayan yang masih dibawah standar upah minimum regional (UMR) daerah Sumatera
Utara. Rendahnya pendapatan juga menjadi penyebab nelayan tidak menyisakan
uangnya untuk ditabung.
4.4.5 Domain Sosial
Aspek sosial yang diperhitungkan dalam analisis keragaan EAFM meliputi 3
indikator yaitu partisipasi pemangku kepentingan, konflik perikanan dan pemanfaatan
pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan.
1. Partisipasi Pemangku Kepentingan
Berdasarkan hasil wawancara, didapatkan informasi bahwa kegiatan sosialisasi
sangat jarang dilakukan. Beberapa responden menyatakan hanya dilaksanakan setahun
sekali dan beberapa lainnya menyampaikan bahwa tidak pernah ikut sama sekali. Hal
ini karena kegiatan pengelolaaan sumberdaya ikan atau sosialisasi yang berhubungan
tentang pengelolaan itu sendiri biasa dilakukan di tingkat provinsi, sehingga dari daerah
kabupaten hanya dipanggil beberapa perwakilan saja. Tentunya dalam setiap kegiatan
ini selalu dihadiri oleh beberapa pemangku kepentingan. Sehingga indikator ini diberi
skor 2.
2. Konflik Perikanan
Konflik perikanan dapat disebabkan karena perebutan fishing ground (resources
conflict), benturan alat tangkap (fishing gear conflict), pertentangan kebijakan (policy
conflict) pada kawasan yang sama atau pertentangan kegiatan antar sektor konflik.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Satwas DKP, konflik perikanan maksimal terjadi
2 kali dalam setahun sehingga dalam indikator ini diberi skor 2.
3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa tidak ada pengetahuan lokal atau
kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Pantai Timur Sumatera Utara.
Sehingga indikator ini diberi skor 1.
Dari semua ulasan indikator dari domain sosial di dapatkan analisis komposit
domain sosial pada Tabel dibawah ini:
Total nilai agregat yang diperoleh dari pengamatan domain sosial adalah 2945
dengan nilai rata-rata skor likert 1,6 dan menghasilkan penilaian indikator terhadap
domain sosial ini berwarna kuning muda yang berarti dalam kategori kurang untuk
penerapan EAFM. Adapun grafik yang dapat menghubungkan atau relasi antara semua
indikator yang dapat dilihat Gambar 32.
1. Partisipasi
pemangku
kepentingan
2
1.5
0.5
0
3. pemanfaatan
pengetahuan lokal 2. Konflik
dalam pengelolaan perikanan
sumberdaya
Dari hasil analisis ini dapat disimpulkan bahwa tidak adanya kearifan lokal atau
peraturan nonformal dalam pengelolaan perikanan dan rendahnya tingkat partisipasi
pemangku kepentingan mungkin menjadi sebab masih sering terjadi konflik perikanan di
pantai timur Sumatera Utara.
4.4.6 Domain Kelembagaan
Aspek sosial yang diperhitungkan dalam analisis keragaan EAFM meliputi 6 indikator
yaitu kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam
pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal,
kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan, mekanisme pengambilan
keputusan, rencana pengelolaan perikanan, tingkat sinergitas kebijakan dan
kelembagaan pengelolaan perikanan dan kapasitas pemangku kepentingan
1. Kepatuhan Terhadap Prinsip-Prinsip Perikanan Yang Bertanggung Jawab
Berdasarkan hasil wawancara tidak ada kasus pelanggaran nonformal karena
masyarakat Pantai Timur Sumatera Utara tidak memiliki peraturan non formal (kearifan
lokal). Sedangkan sesuai dengan data yang didapatkan dari Satwas DKP, pelanggaran
yang terjadi di tahun 2017 lebih dari 5 kasus sehingga indikator ini diberi skor 1.
2. Kelengkapan Aturan Main Dalam Pengelolaan Perikanan
Berdasarkan hasil wawancara di ketahui regulasi dalam pengelolaan perikanan
mengenai semua domain dalam indikator tidak berjalan sepenuhnya tetapi ada
beberapa domain yang berjalan dengan baik, sehingga ada penegakan aturan main dan
efektif. Dari penilaian indikator kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan
diberi skor 2 karena memiliki aturan main dalam pengelolaan namun tidak lengkap dan
diberi skor 3 karena adanya pertambahan aturan main secara berkala.
3. Mekanisme Pengambilan Keputusan
Berdasarkan hasil wawancara dengan staff perikanan bagian tangkap di DKP
Provinsi Sumatera Utara untuk mekanisme pengambilan keputusan baik itu untuk proses
penindakan pelanggaran atas hukuman sudah berjalan efektif sehingga diberi skor 3,
namun ada beberapa peraturan yang masih belum bisa dijalankan sepenuhnya seperti
pelarangan alat tangkap pukat tarik. Beberapa kapal dengan ukuran Gross tonnage
dibawah 10 masih ditemukan menggunakan pukat tarik secara sembunyi-sembunyi, hal
ini terjadi karena tidak adanya penggantian alat tangkap dari pemerintah sedangkan
sebagian besar nelayan merupakan nelayan penuh yang mata pencaharian sehari-
seharinya mencari nafkah dan menyambung hidup dengan menangkap ikan. Maka
dalam hal ini indikator ini diberi skor 2.
4. Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP)
Berdasarkan hasil wawancara dengan staff DKP Provinsi Sumatera Utara, RPP
yang digunakan adalah mengacu pada pengelolaan sesuai WPP yakni WPP 571 namun
belum sepenuhnya dijalankan. Indikator ini diberi skor 2
5. Tingkat Sinergitas Kebijakan Dan Kelembagaan Pengelolaan Perikanan
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa staff di DKP Provinsi Sumatera
Utara sudah adanya sinergitas antar lembaga dalam pengelolaan dengan baik. Misalnya
adalah dalam pemberian izin usaha yang sudah melalui satu pintu dimana pihak DKP
dilibatkan dalam memberi surat rekomendasi untuk pembuatan surat izin usaha oleh
Dinas Penanaman Modal pelayan perizinan terpadu satu pintu. Sehingga indikator ini
diberi skor 3.
6. Kapasitas Pemangku Kepentingan
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden dari tahun ke tahun
kegiatan penyuluhan atau sosialisasi terkait pengelolaan perikanan hanya dilakukan di
tingkat provinsi saja dan tidak dilanjutkan didaerah-daerah. Indikator ini diberi skor 1.
Dari semua ulasan indikator dari domain kelembagaan di dapatkan analisis
komposit domain kelembagaan pada Tabel dibawah ini:
Tabel 18. Analisis komposit domain kelembagaan
Indikator Data Isian Skor Bobot (%) Rangking Densitas Nilai
1. Kepatuhan Lebih dari 5
terhadap kasus
1
prinsip-prinsip pelanggaran/
yang tahun 25 1 20 750
bertanggung Lebih dari 3
jawab informasi 2
pelanggaran
2. Kelengkapan Ada aturan
2
aturan main dan lengkap
dalam Ada aturan
pengelolaan dan 3
perikanan bertambah
Ada
penegakan 22 2 15 858
2
aturan namun
tidak efektif
Ada alat, ada
orang, ada 3
tindakan
Ada teguran
2
atau hukuman
3. Mekanisme Ada
pengambilan mekanisme
3
Keputusan dan berjalan
efektif
18 3 10 540
Ada
keputusan 2
tidak semua
dijalankan
4. Rencana Ada RPP
Pengelolaan namun belum
2 15 4 20 600
Perikanan dijalankan
sepenuhnya
5. Tingkat Sinergi antar
sinergitas lembaga
kebijakan dan berjalan
3 11 5 18 594
kelembagaan dengan baik
pengelolaan
perikanan
Total nilai agregat yang diperoleh dari pengamatan domain kelembagaan adalah
3455 dengan nilai rata-rata skor likert 2,2 dan menghasilkan penilaian indikator terhadap
kelembagaan ini berwarna kuning muda yang berarti dalam kategori kurang untuk
penerapan EAFM. Adapun grafik yang dapat menghubungkan atau relasi antara semua
indikator yang dapat dilihat Gambar 33.
1. Kepatuhan terhadap
prinsip-prinsip
perikanan yang…
3
7.Keberadaan otoritas 2.5 2. Kelengkapan aturan
tunggal pengelolaan 2 main dalam
perikanan 1.5 pengelolaan perikanan
1
0.5
0 3. Mekanisme
6. Kapasitas pemangku
pengambilan
kepentingan
keputusan
5. Tingkat sinergitas
4. Rencana pengelolaan
kebijakan dan
perikanan
kelembagaan…
Dari hasil analisis ini dapat disimpulkan bahwa kelengkapan aturan main baik RPP
maupun alat lainnya sudah mumpuni namun dalam pelaksanaannya masih belum
terlaksana dengan baik, hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya tingkat keterlibatan
para pemangku kepentingan dalam kegiatan-kegiatan yang bersentuhan langsung
dengan nelayan atau stakeholder lainnya.
Tabel 19. Status Sumberdaya Perikanan Cumi-cumi di Pantai Timur Sumatera Utara
Domain Nilai Komposit Deskripsi
Sumberdaya Ikan 29 Kurang
Habitat & ekosistem 24 Kurang
Teknik Penangkapan Ikan 32 Kurang
Sosial 29 Kurang
Ekonomi 33 Kurang
Kelembagaan 34 Kurang
Agregat 30 Kurang
Rata-rata nilai agregat dari hasil analisa yang dilakukan adalah sebesar 30 dari
skala 100 yang diperoleh dari hasil perkalian skor (dengan nilai 1, 2 dan 3), bobot dan
skor densitas dimana skor dan skor densitas menjadi variabel penentu besar kecilnya
nilai pada tiap-tiap indikator tersebut.
Kondisi tiap-tiap indikator secara keseluruhan dalam kondisi kurang dapat dilihat dari
skor yang diberikan dalam skala skoring likert berbasis 1,2 dan 3 pada tiap-tiap indikator,
rata-rata skor likert terendah berada pada domain ekonomi dengan skor 1,5. Skor likert
tidak menjamin memiliki skor yang tinggi atau rendah pada perhitungan nilai agregat.
Interpretasi dari nilai agregat bisa dilihat dari dua sisi, yaitu karena atributnya yang
rendah atau karena konektivitasnya yang kurang. Pada penelitian ini, rendahnya nilai
agregat yang didapat cenderung dipengaruhi oleh konektivitas antar indikator yang
berarti pengaruh parameter di kawasan tersebut juga kurang dirasakan. Adapun grafik
keterkaitan antara domain yang satu dengan domain lainnya seperti Gambar 34.
Sumberdaya Ikan
35
30
25 Habitat &
Aggregat
20 ekosistem
15
10
5
-
Teknik
Kelembagaan
Penangkapan Ikan
Ekonomi Sosial