Anda di halaman 1dari 83

DRAFT

LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN
NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR XX TAHUN 2022

TENTANG PEDOMAN PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN RUANG


TERBUKA HIJAU DI WILAYAH KOTA DAN DI KAWASAN
PERKOTAAN DI WILAYAH KABUPATEN

1
BAB I
KETENTUAN UMUM

1.1. Latar Belakang

Permasalahan global yang terjadi saat ini tidak terlepas dari peran semua pihak
dalam memanfaatan sumber daya alam dan lingkungan. Akibat dari produksi gas
CO2 berlebih sebagai salah satu penyebab utama kerusakan, telah berdampak pada
kenaikan suhu yang mengakibatkan pemanasan dalam skala global (global
warming). Kondisi ini tidak hanya menyebabkan pada perubahan iklim (climate
change), akan tetapi besar dampaknya pada berbagai aspek lingkungan lainnya,
seperti terjadinya kenaikan permukaan air laut (sea level rise), hilangnya
keanekaragaman hayati (biodiversity loss), kelangkaan air dan tanah (land and
water scarcity), juga terganggunya sistem ekologi yang dapat berpotensi pada
perubahan unsur maupun elemen pembentuknya.

Sistem ekologi yang sehat (healthy ecosystem) yang sesuai dengan daya dukung
dan tampungnya, dapat menjamin keberlangsungan kehidupan baik di lingkungan
alami maupun terbangun. Dalam kedua konteks lingkungan tersebut, keberadaan
ruang terbuka hijau (RTH) memiliki peran penting dalam menyediakan jasa
lingkungan (ecosystem services) sebagai ruang berfungsi ekologi, sosial-budaya,
ekonomi, estetika, serta fungsi ekstrinsik lainnya seperti mitigasi bencana dan
pembentuk identitas sebuah kota. Mengingat manfaat penting dari RTH tersebut,
maka penyediaan RTH perlu mempertimbangkan keterhubungannya dalam sistem
ekologi yang utuh yang dapat melampaui batas administrasi pemerintahan. Oleh
karena itu, pendekatan kawasan atau skala lanskap (ecoregion) menjadi hal
penting dalam perencanaan RTH, sehingga dapat membentuk jejaring hijau dan biru
multiskala baik di lingkungan perkotaan hingga skala regional di lingkungan
perdesaan di sekitarnya.

Megingat pentingnya peran RTH bagi keberlangsungan kehidupan dan


keberlanjutan lingkungan, Undang-Undang Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007
yang telah dirubah dalam Undang-Undang Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020
mengamanatkan bagi pemerintah daerah untuk menyediakan RTH paling sedikit

2
30% dari luas wilayah kota dengan proporsi 20% RTH Publik dan 10% RTH Privat.
Sebagai arahan teknis penyelenggaraan RTH, Kementerian Pekerjaan Umum
mengeluarkan Peraturan Menteri No. 5 Tahun 2008 tentang Pedoman
Penyelenggaraan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan. Dalam rangka
memperkuat pentingnya penyelenggaraan RTH, maka dikeluarkan Peraturan
Pemerintah No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang yang
menekankan adanya sanksi bagi pemerintah daerah yang tidak dapat mencapai
target pencapaian RTH Publik yang direncanakan dalam rencana tata ruang
wilayah.

Dalam perjalanannya, peraturan tersebut telah menjadi payung hukum dan acuan
dalam penyelenggaraan RTH mulai dari tahap perencanaan, perancangan, hingga
pengelolaan RTH. Namun demikian, keterbatasan lahan atau harga lahan yang
tinggi, serta kurangnya kesadaran terkait pentingnya RTH yang berdampak pada
rendahnya partisipasi seluruh pihak penyelenggara RTH, menjadi tantangan dalam
penyediaan maupun pemanfaatan RTH yang optimal. Bagi pemerintah daerah di
wilayah kota besar dan metropolitan, target minimal 20% RTH Publik yang
diamanatkan Undang-Undang, menjadi isu pembangunan yang perlu ditemukan
solusi yang lebih baik, cepat, dan tepat. Begitu pun bagi wilayah kota sedang, kecil,
maupun kawasan perkotaan di wilayah kabupaten, amanat menyediakan RTH
Publik perlu direncanakan dengan tepat agar tetap menjamin proporsi ruang hijau
ideal sebagai penyeimbang bagi keberlanjutan lingkungan dalam konteks kawasan
(ecoregion).

Isu permasalahan dalam penyelenggaraan RTH di kawasan perkotaan telah


menjadi permasalahan bersama bagi kota-kota di dunia. Sebagai respon dari isu
strategis tersebut, skema penghijauan kota (urban greening scheme) beralih
dengan mendefinisikan kembali RTH sebagai ruang dengan nilai hijau (green
values) yang berkualitas. Kualitas maupun kuantitas dari RTH dinilai dengan
perhitungan indeks sebagai indikator pencapaian dengan faktor hijau sebagai nilai
dari RTH tersebut. Melalui definisi ini, maka berbagai bentuk ruang baik ruang
permukaan alas, dinding, maupun atap dapat dihitung sebagai RTH. Begitu pun
ruang terbuka biru (RTB) sebagai bagian dari jejaring hijau dan biru dapat dihitung
sebagai bagian dari RTH. Lebih lanjut, setiap elemen pengisi RTH dapat dinilai

3
kualitasnya sesuai dengan pengaruhnya terhadap lingkungan baik dari aspek
ekologi maupun sosial, termasuk penggunaan material penutup tanah ramah
lingkungan yang dapat diperhitungkan pula sebagai bagian dari RTH. Pendekatan
baru dalam perhitungan RTH ini menjadi solusi yang tepat bagi kawasan perkotaan
dengan permasalahan kepadatan yang tinggi, pembangunan berskala besar dan
cepat, atau kota dengan permasalahan spesifik seperti banjir, kekurangan area
hijau, atau kehilangan sumber daya hayati, yang dapat diperburuk tanpa adanya
perencanaan penyelenggaraan RTH yang tepat.

Selain merespon perkembangan skema penghijauan kota di dunia, permasalahan


sulitnya penyelenggaraan RTH perlu dilihat dari target pencapaian RTH untuk setiap
kategori kota atau kawasan perkotaan. Perhitungan yang adil (fairness
measurement) perlu dilakukan tidak hanya untuk menjamin pencapaian target
minimal, namum juga menjamin luasan RTH eksisting yang melebih batas minimal
30%. Oleh karena itu, pendekatan fairness measurement perlu dilakukan dengan
kategorisasi kota dan kawasan perkotaan di wilayah kabupaten sesuai dengan
karakteristik wilayahnya.

Pendekatan kawasan sebagai konteks perencanaan RTH dipandang perlu


dipertimbangkan mengingat hubungan ekologis yang kuat antara wilayah kota
dengan kawasan perkotaan di wilayah kabupaten sebagai satu kawasan
ekoreginal. Daerah aliran sungai (DAS) dapat menjadi pengikat kesatuan sistem
ekologi sebagai deliniasi perencanaan RTH skala kawasan. Pendekatan ini dapat
menjadi alternatif solusi bagi kota-kota besar maupun metropolitan yang sangat
kesulitan mendapatkan proporsi 30% RTH di wilayah administrasinya untuk
menjalin kerja sama menyediakan RTH kolaboratif melalui skema pengakuan
bersama (jointly claimed).

Seiring dengan dinamika perkembangan perkotaan di Indonesia, maka


penyelenggaraan RTH perlu direncanakan secara optimal dengan pendekatan yang
tepat. Dengan demikian, keberadaan pedoman sebagai acuan penyediaan dan
pemanfaatan RTH di wilayah kota maupun kawasan perkotaan di wilayah
kabupaten perlu disesuaikan dengan mempertimbangkan kebutuhan pengguna
sebagai ruang interaksi sosial, serta daya dukung dan daya tampung ruang

4
ekologis guna mendukung keberlangsungan kehidupan dan keberlanjutan
lingkungan.

Melalui Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah


Kota dan Kawasan Perkotaan di Wilayah Kabupaten, diharapkan dapat membantu
pemerintah daerah tidak hanya dalam mencapai target minimal luasan RTH yang
diamanahkan Undang-Undang, namun juga dalam menyediakan RTH yang
berkualitas.

1.2. Acuan Normatif

1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja;


2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
3 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan yang diubah dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020;
4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkretaapian yang diubah
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020;
5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 tentang Bangunan dan Gedung yang
diubah dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020;
6 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang diubah dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020;
7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman yang diubah dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020;
8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang
diubah dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020;
9 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010
tentang Penyelanggaraan Pemanfaatan Ruang;
10 Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan
Perumahan dan Kawasan Permukiman;
11 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota;
12 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai;
13 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
02/PRT/M/2015 Tentang Bangunan Gedung Hijau

5
14 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Pedoman Pengembangan Kawasan
Berorientasi Transit.

1.3. Maksud dan Tujuan Pedoman

Pedoman ini dimaksudkan sebagai:

a. Acuan bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bagi penyediaan dan
pemanfaatan RTH dalam Rencana Tata Ruang.
b. Dasar hukum penyelenggaraan pedoman penyediaan dan pemanfaatan RTH
di Wilayah Kota dan di Kawasan Perkotaan di Wilayah Kabupaten.

Pedoman ini bertujuan untuk:

a. Mewujudkan penyediaan dan pemanfaatan RTH di Wilayah Kota dan di


Kawasan Perkotaan di Wilayah Kabupaten sesuai dengan kebutuhan secara
proporsional (fit for purpose);
b. Menjamin keberlanjutan fungsi dan manfaat RTH; dan
c. Menjaga keseimbangan ekosistem kota dan meningkatkan estetika kota
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bidang penataan
ruang

1.4. Ruang Lingkup Pedoman

Ruang Lingkup Pedoman Ini, meliputi:

a. Fungsi, Manfaat dan Tipologi RTH;


b. Tata Cara Pemenuhan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang;
c. Tata Cara Perencanaan RTH;
d. Tata Cara Penyediaan dan Pemanfaatan RTH;
e. Kerjasama Antar Stakeholder;

1.5. Kedudukan Pedoman

Melaksanakan amanat UU No 26 Tahun 2007 dan UU CK No 11 Tahun 2020 tentang


penataan ruang serta PP No 21 Tahun 2021 mengenai penyelenggaraan
pemanfaatan ruang, dijelaskan bahwa dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
dan Wilayah Kabupaten memuat rencana penyediaan ruang terbuka hijau di
6
Kawasan Perkotaan yang nantinya akan menjadi acuan dalam penyusunan
Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan
(RTBL) dan Panduan Rancang Kota (PRK/UDGL).

UU No 26 Tahun 2007 dan UU CK No 11 Tahun 2020 tentang penataan ruang


menjelaskan bahwa Ruang Terbuka Hijau dalam rencana penyediaan ruang
terbuka hijau Kawasan Perkotaan terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan
ruang terbuka hijau privat. Dalam RTRW Wilayah Kota; Ruang Terbuka Hijau publik
paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari luas wilayah kota, Ruang Terbuka Hijau
privat paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari luas wilayah kota, dengan total luas
ruang terbuka hijau minimal 30 % dari luas wilayah kota, apabila luas ruang
terbuka hijau, memiliki total luas lebih besar dari 30% (tiga puluh persen),
proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya.

Gambar 1.1 Kedudukan Rencana Penyediaan dan Pemanfaatan RTH

7
1.6. Istilah dan Definisi

1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah,
tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan dan
memelihara kelangsungan hidupnya.

2. Rencana Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RTR adalah hasil


perencanaan tata ruang.

3. Perencanaan Tata Ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur


ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana
tata ruang.

4. Rencana Tata Ruang Wilayah yang selanjutnya disingkat RTRW adalah hasil
perencanaan tata ruang pada wilayah yang merupakan kesatuan geografis
beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif.

5. Rencana Detail Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RDTR adalah


rencana secara terperinci tentang tata ruang wilayah kabupaten/kota yang
dilengkapi dengan peraturan zonasi kabupaten/kota.

6. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan adalah Rencana Tata Bangunan


dan Lingkungan (RTBL) adalah panduan rancang bangun suatu
lingkungan/kawasan yang dimaksudkan untuk mengendalikan
pemanfaatan ruang, penataan bangunan dan lingkungan, serta memuat
materi pokok ketentuan program bangunan dan lingkungan, rencana
umum dan panduan rancangan, rencana investasi, ketentuan pengendalian
rencana, dan pedoman pengendalian pelaksanaan pengembangan
lingkungan/kawasan.

7. Kawasan Perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama


bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

8. Koefisien Daerah Hijau yang selanjutnya disingkat KDH adalah rangka

8
persentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar
bangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan dan
luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana
tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.

9. Koefisien Dasar Bangunan yang selanjutnya disingkat KDB adalah angka


persentase perbandingan antara luas seluruh lantai dasar bangunan
gedung dan luas lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang
dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan
lingkungan.

10. Koefisien Lantai Bangunan yang selanjutnya disingkat KLB adalah angka
persentase perbandingan antara luas seluruh lantai bangunan gedung dan
luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana
tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.

11. Insentif adalah perangkat untuk memotivasi, mendorong, memberikan


daya tarik, dan/atau memberikan percepatan terhadap kegiatan
Pemanfaatan Ruang yang memiliki nilai tambah pada zona yang perlu
didorong pengembangannya.

12. Disinsentif adalah perangkat untuk mencegah dan atau memberikan


batasan terhadap kegiatan pemanfaatan ruang yang sejalan dengan RTR
dalam hal berpotensi melampaui daya dukung dan daya tampung
lingkungan.

13. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang


kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh
Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

14. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara


pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah otonom.

15. Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok


yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik

9
yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam, dengan
mempertimbangkan aspek fungsi ekologis, resapan air, ekonomi, sosial
budaya, dan estetika.

16. Ruang Terbuka Hijau Publik adalah ruang terbuka hijau yang dimiliki dan
dikelola oleh pemerintah daerah kota yang digunakan untuk kepentingan
masyarakat secara umum.

17. Ruang Terbuka Hijau Privat adalah kebun atau halaman rumah/gedung
milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan.

18. Ruang Terbuka Biru adalah lanskap badan air yang berbentuk aliran
sungai, kanal, danau detensi dan retensi, kolam atau balong detensi dan
retensi, waduk, embung, setu, empang, mata air, rawa/wetland,
constructed wetland, biopori, sumur resapan, bioswale, rain garden, yang
memiliki potensi sebagai penyedia jasa lanskap (landscape services).

19. Ruang Terbuka Hijau Publik Kolaboratif G to P adalah halaman gedung milik
masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan yang dapat digunakan untuk
kepentingan masyarakat secara umum melalui skema ruang publik
kepemilikan privat (Privately-owned Public Space/PoPS).

20. Ruang Terbuka Hijau Publik Kolaboratif G to G adalah ruang terbuka hijau
yang dimiliki dan dikelola bersama oleh pemerintah daerah kota yang
digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum melalui skema
pengakuan bersama (jointly clamied).

21. Area Hijau non Ruang Terbuka Hijau adalah lahan yang sebagian atau
seluruhnya ditutupi oleh rumput, pohon, semak dan tanaman lainnya yang
berlokasi diluar Kawasan Perkotaan di Wilayah Kabupaten dapat berupa
hutan lindung, pertanian, perkebunan, sawah, dan lain sebagainya.

22. Indeks Hijau-Biru Indonesia yang selanjutnya disingkat IHBI adalah


panduan pengembangan untuk mencapai ruang terbuka hijau yang
berkualitas.

23. Pengadaan Tanah adalah kegiatan kegiatan menyediakan tanah dengan


cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.

10
24. Kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat
yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat.

25. Badan Bank Tanah selanjutnya disebut Bank Tanah adalah badan khusus
(sui geneis) yang merupakan badan hukum Indonesia yang dibentuk oleh
pemerintah pusat yang diberi kewenangan khusus untuk mengelola tanah.

1.7. Fungsi RTH

RTH memiliki delapan fungsi sebagai berikut:

1. Fungsi Ekologis;

 sebagai bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota);

 sebagai pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air
secara alami dapat berlangsung lancar;

 sebagai peneduh;

 sebagai produsen oksigen;

 sebagai penyerap air hujan;

 sebagai penyedia habitat flora dan fauna;

 sebagai penyerap polusi udara, air dan tanah; dan/atau

 sebagai penahan angin.

2. Fungsi Sosial Budaya;

 Sebagai ruang interaksi masyarakat;

 Sebagai ruang kegiatan rekreasi dan olahraga;

 Sebagai wadah ekspresi budaya;

 Sebagai wadah meningkatkan kreativitas dan produktivitas warga


lokal; dan/atau

 Sebagai wadah dan obyek pendidikan, penelitian, dan pelatihan.

11
3. Fungsi Pengelolaan Limpasan Air Hujan (stormwater management):
resapan air, rain water harvesting, rain garden, bioswale;

 Sebagai area resapan air;

 Sebagai area pengisian air tanah (groundwater recharge);

 Sebagai pengelola limpasan air hujan/run off; dan/atau

 Sebagai pengendali banjir;

4. Fungsi Ekonomi;

 Memberi jaminan peningkatan nilai tanah;

 Memberi nilai tambah lingkungan kota; dan/atau

 Sebagai wadah untuk produksi pertanian, perkebunan, kehutanan,


dan wisata alam;

5. Fungsi Estetika;

 Meningkatkan kenyamanan;

 Memperindah lingkungan dan lanskap kota secara keseluruhan;


dan/atau

 Sebagai pembentuk faktor keindahan elemen kota; dan/atau

 menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun


dan tidak terbangun;

6. Fungsi Penanggulangan Bencana;

 Prabencana: menyediakan ruang perlindungan


(pencegahan/mitigasi bencana);

 Saat Bencana: sebagai ruang tanggap darurat yang menyediakan


Ruang evakuasi dan Jalur evakuasi bencana;

 Pasca bencana: sebagai ruang pemulihan setelah terjadi bencana.

7. Fungsi Ketahanan Pangan dan Energi;

8. Fungsi sebagai Ruang kesehatan dan Kesejahteraan (health & well being).

12
1.8. Manfaat RTH

Manfaat RTH dibagi atas:

1. Manfaat langsung
 membentuk keindahan dan kenyamanan (teduh, segar, sejuk); dan
 mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga, buah).
2. Manfaat tidak langsung
 pembersih udara yang sangat efektif;
 pemeliharaan akan kelangsungan persediaan air tanah;
 pelestarian fungsi lingkungan beserta segala isi flora dan fauna yang ada
(konservasi hayati atau keanekaragaman hayati);
 sebagai ruang mitigasi, evakuasi dan rehabilitasi bencana.

1.9. Tipologi RTH

Tipologi RTH yang dimaksud dalam Pedoman ini adalah:

a. RTH Taman
RTH Taman merupakan bagian dari ruang terbuka publik sebagai wadah
interaksi sosial dan rekreasi. RTH Taman merupakan RTH Publik yang
disediakan untuk mendukung fungsi ekologis, sosial budaya, pengelolaan
limpasan air hujan/run off, ekonomi, estetika, penanggulangan bencana,
ketahanan pangan dan energi, serta ruang kesehatan dan kesejahteraan.
Proporsi setiap kategori RTH taman adalah 70% tutupan hijau dan 30%
tutupan non hijau dari luas area RTH. Berdasarkan lokasi dan skala
pelayanannya, tipologi RTH Taman dibagi menjadi lima kategori, yaitu:
1. RTH Taman Rukun Tetangga (RT)
2. RTH Taman Rukun Warga (RW)
3. RTH Taman Kelurahan
4. RTH Taman Kecamataan
5. RTH Taman Kota

Setiap kategori RTH Taman memiliki tingkat aksesibilitas dan kelengkapan


fasilitas yang berbeda.

b. RTH Fungsi Khusus


13
RTH fungsi khusus merupakan RTH yang memiliki fungsi istimewa dan
penting sebagai pendukung keberlanjutan di wilayah kota dan kawasan
perkotaan di wilayah kabupaten. Proporsi setiap kategori RTH fungsi
khusus adalah 80% tutupan hijau dan 20% tutupan non hijau dari luas area
RTH. Berdasarkan keistimewaan fungsi, tipologi RTH fungsi khusus dibagi
menjadi lima belas kategori, yaitu:
1. RTH Rimba Kota;
2. RTH Sabuk Hijau;
3. RTH Pemakaman;
4. RTH Sempadan Sungai;
5. RTH Sempadan Danau;
6. RTH Sempadan Waduk;
7. RTH Sempadan Pantai;
8. RTH Sempadan Mata Air;
9. RTH Sempadan Rel Kereta Api;
10. RTH Jalur Hijau Jaringan Listrik Tegangan Tinggi;
11. RTH Sempadan Jalan Tol;
12. RTH Sempadan TPST;
13. RTH Sempadan SPBU;
14. RTH Kawasan hijau lindung (Natural Reserve); dan
15. RTH Pertanian Kota.

c. RTH Jalur Hijau Jalan


RTH Jalur Hijau Jalan adalah ruang terbuka hijau berbentuk memanjang
atau koridor berupa penempatan tanaman serta elemen lanskap lainnya,
yang terletak didalam ruang milik jalan (RUMIJA) maupun di dalam ruang
pengawasan jalan (RUWASJA). Perencanaan RTH Jalur Hijau Jalan
disediakan mengikuti pola tata ruang berupa jalur aksesibilitas dan
rencana infrastruktur wilayah perkotaan. RTH Jalur Hijau Jalan disediakan
dengan proporsi tutupan hijau (vegetasi)minimal 20-30% dan maksimal 70-
80% tutupan non hijau dari ruang milik jalan (rumija) sesuai dengan kelas
jalan. RTH Jalur Hijau Jalan terdiri dari pulau jalan dan median jalan, jalur
hijau pejalan kaki, dan jalur hijau di bawah jalan layang.
14
d. RTH pada Bangunan

1. Roof Garden, Sky garden,

2. Podium garden,

3. Balcony garden,

4. Corridor garden,

5. Green wall/vertical garden

6. Planter box

e. RTH pada Kavling

Ruang Terbuka Hijau Pada Kavling merupakan ruang terbuka hijau di luar
bangunan tempat beraktifitas berupa pekarangan, plaza dengan material
yang dapat menyerap atau meneruskan air ke dalam tanah (porous), area
parkir dengan material porous, serta lapangan baik berupa rumput dan
juga berupa perkerasan dengan material porous. tipologi RTH pada
Kavling dibagi menjadi empat kategori, yaitu

f. Ruang Terbuka Biru


Ruang Terbuka Biru merupakan ruang terbuka berupa cekungan berbentuk
bidang ataupun memanjang serta lubang vertikal dengan fungsi
menampung ataupun menyalurkan air di dalam nya. Ruang Terbuka Biru
berupa badan air atau cekungan menerus seperti Aliran Sungai, Kanal,
Bioswale, dll. RTB berbentuk bidang cekungan seperti Danau Retensi dan
Detensi, Waduk/Embung, Setu/Empang, Mata Air dan imbuhan,
Rawa/Wetland, Constructed Wetland, dan Rain Garden. RTB berupa lubang
vertikal diantaranya Lubang Biopori, dan Sumur resapan,

15
Kategori Tipologi RTH berdasarkan Kepemilikan Lahan

No Tipologi RTH RTH Publik RTH Privat RTH POPs

A. RTH Taman

1. Taman RT v

2. Taman RW v

3. Taman Kelurahan v

4. Taman Kecamatan v

5. Taman Kota v

B. RTH Fungsi Khusus

1. Hutan Kota v

2. Sabuk Hijau v

3. Pemakaman v v

4. Sempadan Sungai v

5. Sempadan Danau v v

6. Sempadan Waduk v v

7. Sempadan Pantai v v

8. Sempadan Mata Air v v

9. Sempadan Rel Kereta v


Api

10. Jalur Hijau Jaringan v


Listrik Tegangan
Tinggi

11. Sempadan Jalan Tol

16
12. Sempadan TPST v v

13. Sempadan SPBU v v

14. Kawasan hijau v


lindung (Natural
Reserve)

15. Pertanian Kota v v v


(urban farming,
edible garden,
tanaman obat,
tanaman pangan,
hortikutur,
perkebunan kota)

No Tipologi RTH RTH Publik RTH Privat RTH POPs

A. RTH Taman

1. Taman RT v

2. Taman RW v

3. Taman Kelurahan v

4. Taman Kecamatan v

5. Taman Kota v

B. RTH Fungsi Khusus

1. Hutan Kota v

2. Sabuk Hijau v

3. Pemakaman v v

4. Sempadan Sungai v

17
5. Sempadan Danau v v

6. Sempadan Waduk v v

7. Sempadan Pantai v v

8. Sempadan Mata Air v v

9. Sempadan Rel Kereta v


Api

10. Jalur Hijau Jaringan v


Listrik Tegangan
Tinggi

11. Sempadan Jalan Tol

12. Sempadan TPST v v

13. Sempadan SPBU v v

14. Kawasan hijau v


lindung (Natural
Reserve)

15. Pertanian Kota v v v


(urban farming,
edible garden,
tanaman obat,
tanaman pangan,
hortikutur,
perkebunan kota)

No Tipologi RTH RTH Publik RTH Privat RTH POPs

F. RTB/RTH Perairan

1. Biopori v v v

2. Sumur resapan v v v

18
3. Bioswale v v v

4. Rain garden v v v

5. Constructed wetland v v v

6. Mata air v v v

7. Kolam retensi dan v v v


detensi

8. Danau/situ retensi v v v
dan detensi

9. Waduk v v v

10. Sungai v v v

11. Rawa/Wetland v v v

19
BAB II
KETENTUAN TEKNIS

2.1. Arahan Teknis Tipologi RTH


2.1.1 Arahan Teknis RTH Taman
RTH Taman merupakan bagian dari ruang terbuka publik sebagai wadah
interaksi sosial dan rekreasi dalam dalam lokasi dan skala pelayanan yang
beragam. RTH Taman merupakan RTH Publik yang disediakan untuk
mendukung fungsi ekologis, sosial budaya, pengelolaan limpasan air
hujan/run off, ekonomi, estetika, penanggulangan bencana, ketahanan
pangan dan energi, serta ruang kesehatan dan kesejahteraan. RTH sebagai
salah satu komponen penghijauan perkotaan memiliki peran utama dalam
menyediakan ruang tumbuh tanaman dalam kawasan terbangun, sehingga
proporsi ruang untuk tumbuh tanaman harus mendominasi di dalam proses
pembangunannya. Proporsi RTH taman adalah 70% tutupan hijau dan 30%
tutupan non hijau dari luas area RTH.
Kriteria pemilihan vegetasi untuk RTH Taman adalah memiliki stratifikasi
beragam, terdiri dari pohon besar (tinggi lebih dari 15 m), pohon sedang
(tinggi 8-15 m), pohon kecil (tinggi 6-8 meter), perdu (tinggi 1-6 m), semak
(tinggi 0,3 – 1 m), dan groundcover (tinggi 0,05 – 0,3 m). Pemilihan jenis
vegetasi yang ditanam sebaiknya dipilih jenis yang tidak beracun, tidak
berduri, tidak mudah tumbang, jenis vegetasi lokal khas daerah dan ditanam
pada jarak minimal 2 meter dari bangunan.

RTH Taman dibagi menjadi lima kategori, yaitu:

1. RTH Taman Rukun Tetangga (RT)


RTH Taman Rukun Tetangga (RT) merupakan RTH publik terkecil dalam
skala rukun tetangga (RT) konteks wilayah kota dan kawasan perkotaan
di wilayah kabupaten, yang berperan dalam upaya pemenuhan
kebutuhan ruang aktivitas dan interaksi warga. RTH Taman Rukun
Tetangga (RT) harus disediakan dalam skala RT, yaitu dalam radius
pelayanan 100 m dengan luas minimal 250-1.000 m2. Proporsi RTH taman

20
adalah 70% tutupan hijau dan 30% tutupan non hijau dari luas area RTH.
Area hijau (70%) yang ada di RTH Taman Rukun Tetangga (RT) Area Hijau
minimal ditanami 1 pohon besar (diameter tajuk >15 meter), atau 3 pohon
sedang (diameter tajuk 8-15 meter), atau 10 pohon kecil (diameter tajuk
4-8 meter), yang dikombinasikan dengan perdu, semak, dan tanaman
groundcover. Pengembangan Area Non Hijau (30%) untuk fungsi sosial
budaya, ekonomi, estetika, atau mitigasi bencana. Setiap RTH Taman
Rukun Tetangga (RT) harus mampu menyesuaikan desain dengan
mempertimbangkan kebutuhan penduduk RT beragam, sehingga harus
dilengkapi dengan fasilitas multifungsi yang waktu dan jenis
pemanfaatannya dapat diatur dengan fleksibel agar bisa dimanfaatkan
oleh masyarakat. RTH Taman Rukun Tetangga (RT) dapat dilengkapi
dengan fasilitas rekreasi dan olahraga serta ruang terbuka biru berupa
sumur resapan dan biopori.

Ilustrasi Pengembangan RTH Taman Rukun Tetangga (RT)

2. RTH Taman Rukun Warga (RW) merupakan RTH publik dalam skala
rukun warga (RW) konteks wilayah kota dan kawasan perkotaan di
wilayah kabupaten, yang berperan dalam upaya pemenuhan kebutuhan
ruang aktivitas dan interaksi warga. RTH Taman Rukun Warga (RW)
harus disediakan dalam skala RW, yaitu yaitu dalam radius pelayanan
350 m dengan luas minimal 1.000-5.000 m2. Proporsi RTH taman adalah
70% tutupan hijau dan 30% tutupan non hijau dari luas area RTH. Area
hijau (70%) yang ada di RTH Taman Kelurahan Area Hijau minimal
ditanami 3 pohon besar (diameter tajuk >15 meter), atau 10 pohon sedang
21
(diameter tajuk 8-15 meter), atau 40 pohon kecil (diameter tajuk 4-8
meter), yang dikombinasikan dengan perdu, semak, dan tanaman
groundcover. Pengembangan Area Non Hijau (30%) untuk fungsi sosial
budaya, ekonomi, estetika, atau mitigasi bencana. Taman Rukun Warga
(RW) dapat dilengkapi dengan fasilitas rekreasi dan olahraga serta
ruang terbuka biru berupa kolam retensi atau detensi, sumur resapan
dan biopori.

Ilustrasi Pengembangan RTH Taman Rukun Warga (RW)

3. RTH Taman Kelurahan


RTH Taman Kelurahan merupakan RTH publik dalam skala kelurahan
konteks wilayah kota dan kawasan perkotaan di wilayah kabupaten,
yang berperan dalam upaya pemenuhan kebutuhan ruang aktivitas dan
interaksi warga. RTH Taman Kelurahan harus disediakan dalam skala
Kecamatan, yaitu dalam radius pelayanan 700 m dengan luas minimal
5.000-50.000 m2 (0,5-5 Hektar). Proporsi RTH taman adalah 70% tutupan
hijau dan 30% tutupan non hijau dari luas area RTH. Area hijau (70%) yang
ada di RTH Taman Kelurahan Area Hijau minimal ditanami 15 pohon
besar (diameter tajuk >15 meter), atau 50 pohon sedang (diameter tajuk
8-15 meter), atau 200 pohon kecil (diameter tajuk 4-8 meter), yang
dikombinasikan dengan perdu, semak, dan tanaman groundcover.
Pengembangan Area Non Hijau (30%) untuk fungsi sosial budaya,
ekonomi, estetika, atau mitigasi bencana. RTH Taman Kelurahan dapat

22
dilengkapi dengan fasilitas rekreasi dan olahraga serta ruang terbuka
biru berupa kolam retensi atau detensi, sumur resapan dan biopori.

Ilustrasi Pengembangan RTH Taman Kelurahan

4. RTH Taman Kecamatan


RTH Taman Kecamatan merupakan RTH publik dalam skala kecamatan
konteks wilayah kota dan kawasan perkotaan di wilayah kabupaten,
yang berperan dalam upaya pemenuhan kebutuhan ruang aktivitas dan
interaksi warga. RTH Taman Kecamatan harus disediakan dalam skala
Kecamatan, yaitu radius pelayanan 2.500 m (2,5 km) dengan luas
minimal 50.000-100.000 m2 (5-10 Hektar). Proporsi RTH taman adalah
70% tutupan hijau dan 30% tutupan non hijau dari luas area RTH. Area
hijau (70%) yang ada di RTH Taman Kecamatan Area Hijau minimal
ditanami 150 pohon besar (diameter tajuk >15 meter), atau 500 pohon
sedang (diameter tajuk 8-15 meter), atau 2000 pohon kecil (diameter
tajuk 4-8 meter), yang dikombinasikan dengan perdu, semak, dan
tanaman groundcover. Pengembangan Area Non Hijau (30%) untuk
fungsi sosial budaya, ekonomi, estetika, atau mitigasi bencana. RTH
Taman Kecamatan dapat dilengkapi dengan fasilitas rekreasi dan
olahraga serta ruang terbuka biru berupa kolam retensi atau detensi,
sumur resapan dan biopori.

23
Ilustrasi Pengembangan RTH Taman Kecamatan

5. RTH Taman Kota


RTH Taman Kota merupakan RTH publik yang memiliki peran utama
untuk memenuhi kebutuhan rekreasi di lingkungan pusat kota RTH
Taman Kota perlu disediakan dalam radius pelayanan 5.000 m (5 km)
dengan luas minimal 100.000 m2 (10 Hektar). Proporsi RTH taman adalah
70% tutupan hijau dan 30% tutupan non hijau dari luas area RTH. Area
hijau (70%) yang ada di RTH Taman Kota Area Hijau minimal ditanami 300
pohon besar (diameter tajuk >15 meter), atau 1000 pohon sedang
(diameter tajuk 8-15 meter), atau 4000 pohon kecil (diameter tajuk 4-8
meter), yang dikombinasikan dengan perdu, semak, dan tanaman
groundcover. Pengembangan Area Non Hijau (30%) untuk fungsi sosial
budaya, ekonomi, estetika, atau mitigasi bencana. RTH Taman Kota dapat
dilengkapi dengan fasilitas rekreasi dan olahraga serta ruang terbuka
biru berupa kolam retensi atau detensi, sumur resapan dan biopori.

24
Ilustrasi Pengembangan RTH Taman Kota

2.1.2 Arahan Teknis RTH Fungsi Khusus


RTH fungsi khusus merupakan RTH yang memiliki fungsi istimewa dan
penting sebagai pendukung keberlanjutan di wilayah kota dan kawasan
perkotaan di wilayah kabupaten. Proporsi setiap kategori RTH fungsi khusus
adalah 80% tutupan hijau dan 20% tutupan non hijau dari luas area RTH.
Berdasarkan keistimewaan fungsi, tipologi RTH fungsi khusus dibagi
menjadi lima belas kategori, yaitu:

1. RTH Rimba Kota

RTH Rimba kota sebagaimana dikenal sebagai hutan kota merupakan


RTH yang hamparan lahannya yang didominasi oleh pepohonan yang
kompak dan rapat dengan fungsi sebagai penyangga wilayah kota.

2. RTH Sabuk Hijau

RTH Sabuk hijau berfungsi sebagai daerah penyangga atau perbatasan


25
antara dua kota, sehingga sabuk hijau dapat menjadi RTH bagi kedua
kota atau lebih tersebut. Sabuk hijau dimaksudkan sebagai kawasan
lindung dengan pemanfaatan terbatas dengan pemanfaatan utamanya
adalah sebagai penyaring alami udara bagi kota-kota yang berbatasan
tersebut.

3. RTH Pemakaman

RTH yang memiliki fungsi utama sebagai tempat penguburan jenazah


dan juga fungsi ekologis sebagai daerah reasapan air, tempat
pertumbuhan berabgai jenis vegetasi, pencipta iklim mikro, serta
tempat hidup burung, serta fungsi sosial masyarakat di sekitar seperti
beristirahat dan sebagai sumber pendapatan. Pemakaman memiliki
fungsi utama sebagai tempat pelayanan publik untuk penguburan
jenasah. Pemakaman juga dapat berfungsi sebagai RTH untuk
menambah keindahan kota, daerah resapan air, pelindung, pendukung
ekosistem, dan pemersatu ruang kota, sehingga keberadaan RTH yang
tertata di komplek pemakaman dapat menghilangkan kesan seram
pada wilayah tersebut.

4. RTH Sempadan Sungai

RTH Sempadan Sungai adalah jalur hijau yang terletak di bagian kiri
dan kanan sungai yang memiliki fungsi utama untuk melindungi sungai
tersebut dari berbagai gangguan yang dapat merusak kondisi sungai
dan kelestariannya. Secara alami, kawasan sempadan sungai
merupakan bagian dari ekosistem riparian,yang memiliki nilai ekologis
sebagai area dataran banjir (floodplain),yang berfungsi sebagai daerah
tampungan air ketika terjadi banjir,sebagai daerah filtrasi air
untukmengurangi sedimentasi sungai,dan juga pembentuk habitat
akuatik di sungai dan habitat riparian.

Penetapan garis sempadan dimaksudkan sebagai perlindungan dan


pengendalian atas sumber daya sungai, dengan tujuan:

• Mengurangi daya rusak air sungai dan mengurangi dampak bencana


banjir.
26
• Memelihara keberlanjutan dan fungsi hidrologis sungai sebagai air
permukaan agar terjaga kuantitas dan kualitasnya dalam memenuhi
air bersih untuk kebutuhan makhluk hidup.

• Melindungi sungai beserta lingkungan dari gangguan yang disebabkan


oleh pencemaran karena aktivitas manusia.

• Menjaga ekosistem sungai dengan menjaga kualitas tutupan vegetasi


pada dinding sungai dan sempadan sungai.

• Mengurangi daya rusak air sungai dan mengurangi dampak bencana


banjir.

Kawasan sempadan sungai merupakan RTH yang berperan sebagai


pengendali banjir dan merupakan bagian dari kawasan lindung geologi.
Pengelolaan sempadan sungai penting untuk menjamin tidak
terjadinya kerusakan pada pinggiran sungai dan tidak terganggunya
pengaliran air sungai dan beban kawasan sekitar. Berdasarkan
Kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai alami di bagi kedalam tiga
segmen yaitu Sungai Segmen Hulu, Sungai Segmen Tengah dan Sungai
Segmen Hilir. Pembagian segmen sungai ini juga membagi Sempadan
Sungai menjadi Sempadan Sungai Segmen Hulu, Sempadan Sungai
Segmen Tengah dan Sempadan Sungai Segmen Hilir.

Kawasan sempadan sungai merupakan RTH yang berperan sebagai


pengendali banjir dan merupakan bagian dari kawasan lindung geologi.
Pengelolaan sempadan sungai penting untuk menjamin tidak
terjadinya kerusakan pada pinggiran sungai dan tidak terganggunya
pengaliran air sungai dan beban kawasan sekitar. Berdasarkan
Kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai alami di bagi kedalam tiga
segmen yaitu Sungai Segmen Hulu, Sungai Segmen Tengah dan Sungai
Segmen Hilir. Pembagian segmen sungai ini juga membagi Sempadan
Sungai menjadi Sempadan Sungai Segmen Hulu, Sempadan Sungai
Segmen Tengah dan Sempadan Sungai Segmen Hilir.

Sungai di perkotaan terdiri dari sungai bertanggul dan sungai tidak


bertanggul.
27
1. Sungai bertanggul:

• Garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan


ditetapkan sekurang-kurangnya 3 m di sebelah luar sepanjang kaki
tanggul;

• Garis sempadan sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan


ditetapkan sekurang-kurangnya 5 m di sebelahluar sepanjang kaki
tanggul;

• Dengan pertimbangan untuk peningkatan fungsinya,tanggul dapat


diperkuat, diperlebar dan ditinggikan yangdapat berakibat bergesernya
garis sempadan sungai;

• Kecuali lahan yang berstatus tanah negara, maka lahanyang


diperlukan untuk tapak tanggul baru sebagai akibat dilaksanakannya
ketentuan sebagaimana dimaksud padabutir 1) harus dibebaskan.

2. Sungai tidak bertanggul:

Garis sempadan sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan


ditetapkan sebagai berikut:

• Sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 3 m, garis


sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 10 m dihitung dari tepi
sungai pada waktu ditetapkan;

• Sungai yang mempunyai kedalaman lebih dari 3 m sampai dengan 20


m, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 15 m dihitung dari
tepi sungai pada waktu ditetapkan;

• Sungai yang mempunyai kedalaman lebih dari 20 m,garis sempadan


ditetapkan sekurang-kurangnya 30 m dihitung dari tepi sungai pada
waktu ditetapkan.

Garis sempadan sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan


ditetapkan sebagai berikut:
28
• Sungai besar yaitu sungai yang mempunyai daerah pengaliran sungai
seluas 500 km2atau lebih, penetapan garis sempadannya sekurang-
kurangnya 100 m;

• Sungai kecil yaitu sungai yang mempunyai daerah pengaliran sungai


kurang dari 500 km2, penetapan garis sempadannya sekurang-
kurangnya 50 m dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.

5. RTH Sempadan Danau

RTH Sempadan Danau merupakan RTH yang memiliki fungsi penting


dalam menjaga ketersediaan air bersih di dalam danau agar tidak
berkurang volumenya dan menurun kualitas airnya. Untuk RTH
Sempadan Danau memiliki fungsi melindungi area yang membatasi
daratan dan muka air dan berperan penting bagi siklus air di dalam
danau. Area RTH sempadan danau adalah sekurang-kurangnya 50
meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

Danau adalah bagian dari sungai yang lebar dan kedalamannya secara
alamiah jauh melebihi ruas-ruas lain dari sungai yang bersangkutan.
Upaya konservasi air dalam skala danau dan situ di Kawasan Hulu DAS
Jakarta memiliki kepentingan untuk meningkatkan upaya penyimpanan
air yang berlebih pada musim hujan dan menjaga cadangan air bersih
pada badan air danau untuk mengurangi limpasan air ke sungai yang
akan berdampak pada bagian tengah dan hilir sungai.

Fungsi Sempadan Danau, yaitu:

• untuk perlindungan, penggunaan, dan pengendalian atas sumber


daya yang ada pada danau/situ .

• agar fungsi danau/situ tidak terganggu oleh aktifitas yang


berkembang di sekitarnya;

• mengarahkan kegiatan pemanfaatan dan upaya peningkatan nilai


manfaat sumber daya yang ada danau dapat memberikan hasil
secara optimal sekaligus menjaga kelestarian fungsi danau/situ.
29
• Sebagai ruang terbuka multifungsi yang dapat digunakan sebagai
ruang evakuasi bencana.

6. RTH Sempadan Waduk

RTH Sempadan Waduk merupakan RTH yang memiliki fungsi utama


untuk melindungi waduk agar tetap memiliki kualitas dan kuantitas
(debit) yang baik sehingga waduk tetap dapat berfungsi sebagaimana
mestinya.

7. RTH Sempadan Pantai

RTH sempadan pantai memiliki fungsi utama sebagai pembatas


pertumbuhan permukiman atau aktivitas lainnya agar tidak
menggangu kelestarian pantai. RTH sempadan pantai merupakan area
pengaman pantai dari kerusakan atau bencana yang ditimbulkan oleh
gelombang laut seperti intrusi air laut, erosi, abrasi, tiupan angin
kencang dan gelombang tsunami. Lebar RTH sempadan pantai minimal
100 m dari batas air pasang tertinggi ke arah darat. Luas area yang
ditanami tanaman (ruang hijau) seluas 90% - 100%.

8. RTH Sempadan Mata Air

RTH Sempadan Mata Air merupakan RTH yang memiliki fungsi utama
untuk melindungi sumber air bersih agar tetap memiliki kualitas dan
kuantitas (debit) yang baik sehingga dapat dimanfaatkan sebagai
sumber air bersih bagi lingkungan di sekitarnya. Kawasan Sempadan
Mata Air melingkupi area dengan radius 200 meter di sekitar mata air.

RTH sempadan mata air ditentukan berdasarkan bentukan cekungan


daerah tangkapan air yang mengelilingi mata air. Hal tersebut
disebabkan kawasan mata air sangat dipengaruhi oleh kualitas
kawasan di sekitarnya. Bila kualitas ekologis di sekitar kawasan mata
air masih terjaga maka kuantitas dan kualitas air yang dihasilkan mata
air akan baik. Sebaliknya bila kawasan disekitarnya rusak, maka
kuantitas dan kualitas air yang dihasilkan oleh mata air akan terganggu
debitnya dan menurun kualitasnya.

30
9. Sempadan Rel Kereta Api

RTH yang memiliki fungsi utama untuk membatasi interaksi antara


kegiatan masyarakat dengan jalan rel kereta api. Sempadan rel kereta
api dapat dimanfaatkan sebagai pengamanan terhadap jalur lalu lintas
kereta api. Untuk menjaga keselamatan lalu lintas kereta api maupun
masyarakat di sekitarnya, maka jenis aktivitas yang perlu dilakukan
berkaitan dengan peranan RTH sepanjang rel kereta api adalah sebagai
berikut:

a. Memperkuat pohon melalui perawatan dari dalam, sehingga


jaringan kayu dapat tumbuh lebih banyak yang akan menjadi pohon
lebih kuat;

b. Menghilangkan sumber penularan hama dan penyakit serta


menghilangkan tempat persembunyian ular dan binatang
berbahaya lainnya;

c. Memperbaiki citra/penampilan pohon secara keseluruhan;

d. Membuat saluran drainase.

10. Jalur Hijau Jaringan Listrik Tegangan Tinggi

RTH jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi yang memiliki fungsi
utama menyediakan jarak bebas atau jarak aman dari SUTT/SUTET ke
obyek di dekatnya (pohon, bangunan, jalan, dll.). RTH jalur hijau
jaringan listrik tegangan tinggi dimanfaatkan sebagai pengaman listrik
tegangan tinggi dan kawasan jalur hijau dibebaskan dari berbagai
kegiatan masyarakat serta perlu dilengkapi tanda/peringatan untuk
masyarakat agar tidak beraktivitas di kawasan tersebut.

11. RTH Sempadan Jalan Tol

RTH sepanjang jalur hijau pada jalan tol. Jalan Tol adalah jalan umum
yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan
nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol. Sempadan Jalan
Tol terhadap bangunan paling sedikit berjarak lima meter dari pagar
jalan tol. Sempadan jalan tol terhadap bangunan industri dan atau
31
pergudangan paling sedikit 10 meter dari pagar Jalan Tol.

12. RTH Sempadan TPST (Tempat Pembuangan Sampah)

RTH yang memiliki fungsi utama sebagai area penyangga tempat


penampungan, pemilahan, dan pengolahan sampah.

13. RTH Sempadan SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum)

RTH yang memiliki fungsi utama sebagai area penyangga stasiun


pengisian bahan bakar.

14. RTH Kawasan hijau lindung (Natural Reserve)

RTH yang berfungsi sebagai kawasan hutan lindung, kawasan resapan air,
perlindungan setempat terhadap mata air, sungai, danau, dan pantai,
kawasan suaka alam, suaka margasatwa, cagar alam, taman, nasional,
taman hutan raya, taman wisata alam, kawasan cagar budaya,
kawasan perlindungan plasma nutfah, kawasan pengungsian satwa,
koridor satwa, kawasan lindung geologi, dan kawasan rawan bencana
alam.

15. RTH Pertanian Kota (urban farming, intergrated farming, edible garden,
tanaman obat, tanaman pangan, hortikutur, perkebunan kota)

RTH yang memiliki fungsi utama sebagai area produksi komoditas


pertanian perkotaan yang berasal dari tanaman, hewan, dan ikan.

2.1.3 Arahan Teknis RTH Jalur Hijau Jalan

RTH Jalur Hijau Jalan adalah ruang terbuka hijau berbentuk memanjang
atau koridor berupa penempatan tanaman serta elemen lanskap lainnya,
yang terletak didalam ruang milik jalan (RUMIJA) maupun di dalam ruang
pengawasan jalan (RUWASJA). Perencanaan RTH Jalur Hijau Jalan
disediakan mengikuti pola tata ruang berupa jalur aksesibilitas dan
rencana infrastruktur wilayah perkotaan.

RTH Jalur Hijau Jalan disediakan dengan proporsi tutupan hijau (vegetasi)
minimal 20-30% dan maksimal 70-80% tutupan non hijau dari ruang milik

32
jalan (rumija) sesuai dengan kelas jalan. RTH Jalur Hijau Jalan terdiri dari
pulau jalan dan median jalan, jalur hijau pejalan kaki, dan jalur hijau di
bawah jalan layang.

Ilustrasi penempatan RTH Jalur Hijau Jalan pada Jalan Arteri


dan Jalan Kolektor (ilustrasi masih on progress)

Ilustrasi penempatan RTH Jalur Hijau Jalan pada Jalan Lokal


dan Jalan Lingkungan (ilustrasi masih on progress)

33
Penyediaan RTH pada jaringan berupa RTH Jalur Hijau Jalan sebagai
salah satu komponen tata ruang bertujuan sebagai pembatas antara
aktivitas dengan aktivitas lainnya, pengamanan dari faktor sekitarnya,
serta menyediakan fungsi-fungsi RTH yaitu fungsi ekologis, resapan air,
sosial budaya, ekonomi, estetika, penanggulangan bencana, ruang
kesehatan dan kesejahteraan (health and wellbeing), dan pengelolaan air
hujan (stormwater management). Penyediaan RTH Jalur Hijau terintegrasi
dengan pembangunan infrastruktur jalan dan utilitas di kawasan
terbangun dan disesuaikan dengan kebutuhan/ karakteristik di setiap
jaringan prasarananya.

Sebagai bagian dari ekosistem perkotaan, perencanaan RTH Jalur Hijau


Jalan perlu memperhatikan aspek :

1. Konservasi air (water sensitive urban design), dengan


mengoptimalkan fungsi tangkapan air hujan, pengolahan air hujan, dan
resapan air hujan, yang perlu disediakan dalam bentuk elemen rain
garden, bioswale, sumur resapan, biopori.

2. Ameliorasi iklim mikro dengan mengoptimalkan penanaman vegetasi


dalam membentuk naungan kanopi pohon, pemilihan tanaman penutup
permukaan tanah, dan pemilihan material perkerasan/penutup lahan.
Kanopi pohon berfungsi untuk menurunkan suhu udara, menjaga
kelembaban udara, membentuk koridor angin, dan mereduksi polusi
udara. Penanaman tanaman penutup permukaan tanah berfungsi untuk
menurunkan suhu permukaan jalan dan menahan debu. Penggunaan
material perkerasan/penutup lahan berpori berfungsi untuk
mengurangi terjadinya kenaikan suhu permukaan jalan dan ruang kota
dan mereduksi dampak urban heat island pada kawasan perkotaan.

3. Konservasi keanekaragaman hayati melalui penanaman vegetasi lokal


dengan stratifikasi beragam (pohon besar, pohon sedang, perdu,
semak, dan tanaman penutup tanah/ groundcover), yang juga berperan
dalam konservasi flora fauna sesuai ekosistem setempat.

4. Penanggulangan bencana melalui penyediaan rute evakuasi melalui

34
kelengkapan tata informasi jalur evakuasi dan tempat evakuasi.

5. Pembentuk identitas kawasan melalui perencanaan koridor visual


yang merujuk pada estetika bentang alam kawasan serta penyediaan
elemen perabot lanskap tepi jalan (street furniture) dan vegetasi
lokal/khas yang membentuk karakter kawasan, misal tanaman
berdasarkan toponimi kawasan, dan/atau tanaman khas wilayah
kota/kabupaten.

6. Peningkatan nilai ekonomi kawasan melalui perencanaan yang


memperhatikan keselarasan dan keserasian

RTH Jalur Hijau Jalan direncanakan melalui penataan vegetasi lokal atau
vegetasi khas wilayah Wilayah Kota/Kabupaten, yang sesuai dengan
kriteria vegetasi untuk RTH Jalur Hijau Jalan, yaitu:

1. Mempertahankan pohon eksisting (yang masih dalam kondisi


layak/sehat) dan menambahkan pohon baru secara berkala untuk
meregenerasi pohon pada RTH Jalur Hijau Jalan

2. Peneduh/pembentuk naungan

3. Penyerap/pereduksi polusi udara dan penahan debu

4. Perendam kebisingan

5. Pemecah angin

6. Pembatas pandang

7. Penahan silau

8. Vegetasi pada kawasan rawan bencana dan rute evakuasi yang


disesuaikan dengan potensi bencana pada lokasi, misalnya vegetasi
pemecah kebakaran (firebreaks) pada kawasan rawan kebakaran,
vegetasi yang tahan tergenang pada kawasan rawan banjir

9. Vegetasi lokal dan/atau khas yang membentuk karakter kawasan


(toponimi) dan identitas Kota/Kabupaten

35
Ilustrasi Potongan RTH Jalur Hijau Jalan sebagai Koridor Visual
(Satu Jalur Kendaraan)

Ilustrasi Potongan RTH Jalur Hijau Jalan sebagai Koridor Visual (Dua Jalur Kendaraan)
(ilustrasi masih on progress)

A. Median Jalan

Median Jalan merupakan jalur pemisah yang membagi jalan menjadi dua
lajur atau lebih. Penempatan RTH Jalur Hijau Median Jalan sebagai bagian
dari RTH Jalur Hijau Jalan disesuaikan dengan persyaratan teknis
penghijauan di jalan raya dan fungsi tanamannya. RTH Jalur Hijau Median

36
harus memenuhi proporsi kehijauan sesuai dengan sistem jaringan dan
kelas jalan.

RTH Jalur Hijau Median Jalan memiliki beberapa fungsi sebagai berikut:

a) Area resapan air hujan

b) Penyerap polusi udara dan partikel debu

c) Penahan silau lampu kendaraan

d) Pengarah pergerakan kendaraan

e) Meningkatkan karakter kawasan

Elemen lanskap yang perlu disediakan pada RTH Jalur Hijau Median Jalan
adalah:

a) Area tangkapan air hujan berupa permukaan hijau yang dilengkapi


dengan elemen rain garden, bioswale, sumur resapan, dan/atau biopori

b) Perkerasan pada area penyeberangan pejalan kaki, menggunakan


material berpori berupa paving block berpori, beton berpori, dan/atau
grassblock

Ilustrasi Potongan RTH Median Jalan dengan aplikasi rain garden dan sumur resapan
(ilustrasi masih on progress)

37
Ilustrasi Potongan RTH Median Jalan sebagai pengarah pergerakan dan pembentuk
estetika kawasan (ilustrasi masih on progress)

B. RTH Pulau Jalan

RTH Pulau Jalan merupakan RTH yang terbentuk oleh geometris jalan
seperti pada persimpangan atau bundaran jalan. Penataan lansekap pada
persimpangan akan merupakan ciri dari persimpangan itu atau lokasi
setempat.

RTH Jalur Hijau Pulau Jalan memiliki beberapa fungsi jalur hijau tepi jalan,
yaitu:

a) Area resapan air hujan

b) Penyerap polusi udara dan partikel debu

c) Peneduh jalan untuk mengurangi kenaikan suhu permukaan jalan

d) Pembatas pandang

e) Pemecah angin

f) Peredam kebisingan

Penempatan dan pemilihan tanaman dan ornamen hiasan harus


38
disesuaikan dengan ketentuan geometrik persimpangan jalan. RTH Pulau
Jalan merupakan area bebas pandang, sehingga ornamen jalan dan
tanaman tidak boleh melebih ketinggian 80 cm dengan pertimbangan agar
tidak mengganggu penyeberang jalan dan tidak menghalangi pandangan
pengemudi kendaraan.

Kriteria penanaman vegetasi pada RTH Pulau Jalan adalah:

a) Daerah bebas pandang tidak diperkenankan ditanami tanaman yang


menghalangi pandangan pengemudi. Sebaiknya digunakan tanaman
rendah berbentuk tanaman perdu, semak, dan tanaman penutup tanah
(groundcover) dengan ketinggian <0.80 m.

b) Penanaman tanaman tinggi sebagai pengarah yaitu berbentuk tanaman


berbatang tunggal

Ilustrasi RTH Pulau Jalan pada simpang pertigaan (ilustrasi masih on progress)

39
Ilustrasi RTH Pulau Jalan pada simpang perempatan (ilustrasi masih on progress)

RTH Jalur Hijau berupa Pulau Jalan pada jalan tol juga perlu diatur
dengan ketentuan geometrik persimpangan jalan. RTH Jalur Hijau berupa
Pulau Jalan memiliki jarak pandang yang berbeda mengikuti bentuk
persimpangan. RTH Jalur Hijau berupa Pulau Jalan dengan bentuk
bundaran dan diamond lebih sesuai untuk penanaman vegetasi dengan
ketinggian kurang dari 50 cm, sedangkan bentuk terompet dan semanggi
masih memiliki ruang untuk penanaman vegetasi berukuran lebih dari
50cm pada bagian tengah pulau-pulau jalannya. Ilustrasi penanaman
pada masing-masing bentuk pulau jalan digambarkan berikut ini:

40
Ilustrasi RTH Jalur Hijau Pulau Jalan pada area bundaran dan area simpang susun
(ilustrasi masih on progress)

41
Ilustrasi RTH Jalur Hijau Pulau Jalan pada area simpang susun berbentuk diamond
(ilustrasi masih on progress)

Ilustrasi RTH Jalur Hijau Pulau Jalan pada area simpang susun berbentuk diamond dan
semanggi/clover leaf (ilustrasi masih on progress)

RTH Pulau Jalan pada simpang perempatan (ilustrasi masih on progress)

Selain vegetasi berupa semak dan tanaman penutup tanah (groundcover),


RTH Jalur Hijau Pulau Jalan juga perlu menyediakan elemen lanskap
berupa:

42
a) Area tangkapan air hujan berupa permukaan hijau yang dilengkapi
dengan elemen kolam detensi/retensi, rain garden, bioswale, sumur
resapan, dan/atau biopori

b) Perkerasan pada area penyeberangan pejalan kaki, menggunakan


material berpori berupa paving block berpori, beton berpori, dan/atau
grassblock

C. Jalur Hijau di Bawah Jalan Layang

RTH Jalur Hijau di Area Jalan Layang merupakan RTH yang terbentuk di
bawah, di samping, dan pada jalan layang sebagai area tangkapan dan
resapan air, area pereduksi polusi udara, serta pembentuk estetika
kawasan. Berdasarkan lokasi dan karakteristiknya, RTH Jalur Hijau di
Area Jalan Layang dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:

1) RTH Jalur Hijau Pada Jalan Layang

RTH pada jalan layang berfungsi untu memberikan kehijauan pada


area jalan layang sebagai upaya untuk penyerapan polusi udara dan
debu, serta membentuk estetika kawasan. Penyediaan jalur hijau
pada jalan layang harus mempertimbangkan beberapa aspek terkait
pemeliharaan dan keamanan pengguna jalan.

Ilustrasi Jalur hijau di dinding pembatas jalan layang berupa planter box

43
(ilustrasi masih on progress)

Ilustrasi RTH Jalur Hijau Jalan pada dinding penahan tanah dan permukaan tanah
(ilustrasi masih on progress)

44
Kriteria vegetasi RTH jalur hijau jalan layang adalah:

 Dapat hidup pada cahaya matahari langsung dan suhu udara panas

 Dapat mereduksi polusi udara dan debu

 Dapat meningkatkan identitas dan karakter kota, misal tanaman bunga


lokal

Selain vegetasi berupa semak dan tanaman penutup tanah (groundcover),


RTH Jalur Hijau Pada Jalan Layang juga dapat menyediakan elemen
lanskap berupa:

a) Area permukaan hijau pada elevasi permukaan tanah, yang berfungsi


untuk tangkapan air hujan berupa permukaan hijau yang dilengkapi
dengan elemen drainase/bioswale yang berfungsi mengalirkan air ke
titik-titik sumur resapan atau penampungan air hujan.

b) Planter box pada dinding jalan layang, yang berfungsi sebagai


penangkap air hujan dan tempat tumbuh tanaman.

c) Rangka media tanaman rambat pada dinding jalan layang yang


terhubung dengan area permukaan hijau pada elevasi permukaan
tanah sebagai tempat penanaman tanaman rambat.

2) RTH Jalur Hijau di Bawah Jalan Layang

Penyediaan RTH di bawah jalan layang sebagai:

a) Area resapan air

b) Penataan ruang di bawah jalan layang agar tertata dan memiliki nilai
estetika

c) Menutupi bagian-bagian struktur jalan yang tidak menarik

d) Memperlembut bagian struktur bangunan yang berkesan kaku

e) Menghindari permukiman liar, kekumuhan dan lokasi tuna wisma

f) Menambah nilai ekologis berupa vegetasi yang berfungsi menyerap


45
polusi udara dan debu

RTH di bawah jalan layang berfungsi untuk mengoptimalkan ruang yang


terbentuk di bagian bawah jalan layang sebagai ruang penghijauan kota
dan pembentuk estetika kota. RTH yang disediakan pada area ini
memanfaatkan bidang vertikal pada dinding penahan jalan layang, bidang
vertikal kolom struktural penahan jalan layang, atau permukaan yang
tertutupi oleh badan jalan layang.

Kriteria vegetasi RTH jalur hijau di bawah jalan layang adalah:

 Dapat hidup di bawah naungan dan suhu udara panas

 Dapat mereduksi polusi udara dan debu

 Dapat meningkatkan identitas dan karakter kota, misal tanaman hias


daun lokal

Ilustrasi RTH Jalur Hijau di Bawah Jalan Layang (ilustrasi masih on progress)

46
Ilustrasi RTH Jalur Hijau pada tiang struktur di bawah jalan layang
(ilustrasi masih on progress)

Selain vegetasi berupa semak dan tanaman penutup tanah (groundcover),


RTH Jalur Hijau Pulau Jalan juga perlu menyediakan elemen lanskap
berupa:

a) Area tangkapan air hujan berupa permukaan hijau yang dilengkapi


dengan elemen kolam detensi/retensi, rain garden, bioswale, sumur
resapan, dan/atau biopori

b) Perkerasan pada area penyeberangan pejalan kaki, menggunakan


material berpori berupa paving block berpori, beton berpori, dan/atau
grassblock

D. Jalur Hijau Pejalan Kaki

RTH Jalur Hijau Pejalan Kaki adalah ruang terbuka hijau berupa jalur atau
koridor pada jalur yang disediakan bagi pejalan kaki pada tepi jalan atau
di dalam taman. Perencanaan RTH Jalur Hijau Pejalan Kaki harus
memenuhi hal-hal sebagai berikut:

a) Kenyamanan:
 Orientasi dan tata informasi, berupa tanda visual (landmark, marka
jalan pada konteks lingkungan)

47
 Kemudahan berpindah dari satu arah ke arah lainnya yang
dipengaruhi oleh kepadatan pejalan kaki/pedestrian, kehadiran
penghambat fisik, kondisi permukaan jalan, dan kondisi iklim.
 Jalur pejalan kaki harus aksesibel untuk semua orang termasuk
penyandang cacat (ramah difabel/universal design)

b) Karakter fisik, meliputi:

 Kriteria dimensional (standar ruang sirkulasi pejalan kaki),


disesuaikan dengan kondisi sosial dan budaya setempat, kebiasaan
dan gaya hidup, kepadatan penduduk, warisan, dan nilai yang
dianut terhadap lingkungan

 Kriteria pergerakan, jarak rata-rata orang berjalan di setiap


tempat umumnya berbeda dipengaruhi oleh tujuan perjalanan,
kondisi cuaca, kebiasaan, dan budaya. Pada umumnya orang tidak
mau berjalan lebih dari 400 m.

c) Karakter dan kondisi sosial budaya setempat, kebiasaan dan gaya


hidup, kepadatan penduduk, warisan dan nilai pada wilayah kota
dan kawasan perkotaan di wilayah kabupaten.

Pengembangan jalur hijau tepi jalan harus mengikuti arahan sebagai


berikut:

1) Koridor Jalan Arteri harus dilengkapi dengan jalur hijau, dengan


kriteria sebagai berikut:

a) Menyediakan jalur hijau menerus dengan lebar minimal 5 meter


sebagai pemisah jalur kendaraan dan jalur pejalan kaki

b) Menanam pohon besar yang berfungsi sebagai pohon peneduh,


penyerap polusi udara dan debu, serta peredam kebakaran
(firebreaks)

c) Menanam tanaman lokal berupa pohon kecil, perdu, dan semak


yang menghasilkan bunga atau menghasilkan daun yang berwarna
untuk meningkatkan estetika dan identitas kawasan

48
Ilustrasi Penyediaan RTH Jalur Hijau Jalur Pejalan Kaki pada Jalan Arteri
(ilustrasi masih on progress)

2) Koridor Jalan Kolektor harus dilengkapi dengan jalur hijau, dengan


kriteria sebagai berikut:

a) Menyediakan jalur hijau menerus dengan lebar minimal 2 meter


sebagai pemisah jalur kendaraan dan jalur pejalan kaki

b) Menanam pohon sedang yang berfungsi sebagai pohon peneduh,


penyerap polusi udara dan debu, serta peredam kebakaran
(firebreaks)

c) Menanam tanaman lokal berupa pohon kecil, perdu, dan semak


yang menghasilkan bunga atau menghasilkan daun yang berwarna
untuk meningkatkan estetika dan identitas kawasan

Ilustrasi Penyediaan RTH Jalur Hijau Jalur Pejalan Kaki pada Jalan Kolektor
(ilustrasi masih on progress)

49
3) Koridor Jalan Lokal dan Lingkungan harus dilengkapi dengan jalur
hijau, dengan kriteria sebagai berikut:

a) Menyediakan jalur hijau menerus dengan lebar minimal 2 meter


sebagai pemisah jalur kendaraan dan jalur pejalan kaki

b) Menanam pohon kecil-sedang yang berfungsi sebagai pohon


peneduh, penyerap polusi udara dan debu, serta peredam
kebakaran (firebreaks)

c) Menanam tanaman lokal berupa perdu dan semak yang


menghasilkan bunga atau menghasilkan daun yang berwarna
untuk meningkatkan estetika dan identitas kawasan

Ilustrasi Penyediaan RTH Jalur Hijau Jalur Pejalan Kaki pada Jalan Lokal dan
Lingkungan (ilustrasi masih on progress)

Pemilihan jenis pohon harus menyesuaikan dengan dimensi jalur hijau.


Semakin besar dimensi jalur hijau maka semakin besar pula jenis pohon
yang dapat ditanam. Berikut ini adalah arahan pemilihan jenis pohon
sesuai dimensi jalur hijau:

a) Jalur hijau digabung dengan jalur sirkulasi, dengan lubang tanam 1x1 m
: pohon berukuran kecil - sedang

b) Jalur hijau terpisah dengan lebar < 1.20 m : pohon berukuran sedang

c) Jalur hijau terpisah dengan lebar > 1.20 m : pohon berukuran sedang –
besar

50
Ilustrasi Arahan dimensi jalur hijau pejalan kaki pada jalur hijau berukuran lebih dari
1,20 meter (ilustrasi masih on progress)

Ilustrasi Arahan dimensi jalur hijau pejalan kaki pada jalur hijau berukuran kurang dari
1,20 meter (ilustrasi masih on progress)

51
Ilustrasi Arahan dimensi jalur hijau pejalan kaki pada jalur hijau yang digabung dengan
jalur pejalan kaki (ilustrasi masih on progress)

Pemilihan material pada jalur sirkulasi pejalan kaki perlu


mempertimbangkan kemampuan material dalam meresapkan air dan
keperluan mobilitas pejalan kaki. Jalur sirkulasi pejalan kaki tanpa jalur
utilitas dapat menggunakan material berpori yang memiliki kemampuan baik
dalam meresapkan air, sedangkan jalur sirkulasi pejalan kaki yang berada
di atas jalur utilitas perlu dibuat kedap air agar tidak mengganggu fungsi
utilitas (kabel listrik, kabel telepon, dll).

Jarak perletakan elemen jalan terhadap pohon/palem

52
2.1.4 Arahan Teknis RTH Kavling

Penyediaan RTH pada kavling bertujuan sebagai resapan air di setiap


kavling/tapak peruntukan serta merupakan persyaratan pada lingkungan
bangunan. Penyediaan RTH kavling ditentukan di dalam KDH di setiap
kawasan peruntukan/zona yang diarahkan sebagai kawasan terbangun.
Pemanfaatan ruang pada RTH kavling disesuaikan dengan ketentuan
luasan yang sudah ditetapkan dalam peraturan daerah dalam ketentuan
pengendalian pemanfataan ruang pada RTRW dan ketentuan peraturan
zonasi pada RDTR.
1. RTH Pekarangan
Merupakan lahan di luar bangunan, yang berfungsi untuk berbagai
aktivitas. Luas pekarangan disesuaikan dengan ketentuan Koefisien
Dasar Bangunan (KDB) di kawasan perkotaan, seperti tertuang di
dalam PERDA mengenai RTRW di masing-masing kota.
2 Plaza dengan material porous
Merupakan lahan di luar bangunan, yang berfungsi untuk berbagai
aktivitas. Area perkerasan menggunakan material berpori (paving
block, grass block, porous paving, porous asphalt, porous concrete,
dll) yang dapat menyerapkan atau meneruskan air permukaan
secara langsung kedalam tanah. Setiap material mempunyai nilai
hijau berdasarkan indeks hijau biru indonesia. Luas pekarangan
disesuaikan dengan ketentuan Koefisien Dasar Hijau (KDB) di
kawasan perkotaan, seperti tertuang di dalam PERDA mengenai
RTRW di masing-masing kota.
3 Area Parkir dengan material porous
Merupakan lahan di luar bangunan, yang berfungsi sebagai area
parkir kendaraan. Area perkerasan menggunakan material berpori
(paving, porous paving, porous asphalt, porous concrete, dll) yang
dapat menyerapkan atau meneruskan air permukaan secara
langsung kedalam tanah. Terdapat tanaman jenis pohon kategori
besar/sedang yang meneduhi. Dibawah lahan parkir dapat

53
ditambahkan elemen sumur resapan, dan atau bak
penampung/penyimpan air (reservoir/ground watertank).

Gambar. Ilustrasi Area Parkir (elemen material porous


paving/asphalt, rain garden, sumur resapan, ground water
tank/reservoir dan pohon peneduh bertajuk sedang-lebar)

4. Lapangan dengan material porous

Merupakan lahan di luar bangunan, yang berfungsi untuk berbagai


aktivitas berupa bidang, baik dengan tanaman penutup tanah
(groundcover) atau berupa bidang perkerasan. Pada Area
Perkerasan menggunakan material berpori (porous paving, porous
concrete, porous concrete dengan rubber floor/rubber mat dll)
yang dapat menyerapkan atau meneruskan air permukaan secara
langsung kedalam tanah. Luas lahan disesuaikan dengan
ketentuan Koefisien Dasar Hijau (KDB) di kawasan perkotaan,
seperti tertuang di dalam PERDA mengenai RTRW di masing-
masing kota.

2.1.4 Arahan Teknis RTH Pada Bangunan


RTH pada bangunan merupakan upaya penyediaan RTH dengan
memanfaatkan ruang terbuka non hijau seperti dinding, koridor, teras,
balkon, podium, dan atau atap bangunan. Pemanfaatan ruang pada RTH
Bangunan ditetapkan apabila berada pada kawasan dengan kepadatan tinggi

54
(KDB diatas 90%), serta disesuaikan dengan ketentuan ruang hijau pada
setiap jenis bangunan.
RTH pada bangunan disediakan dengan pemasangan instalasi atau media
khusus sesuai dengan kriteria teknis bangunan. Aspek yang harus dihatikan
dalam pembuatan RTH bangunan adalah:
1) Struktur bangunan, terkait tambahan beban karena pembuatan RTH
pada dinding, koridor, teras, balkon, podium, dan atau atap bangunan
2) Sistem utilitas bangunan, yaitu penyiraman dan drainase.
3) Konstruksi RTH pada bangunan, yaitu terkait rangka penyangka,
wadah/tempat penanaman, material, dan lapisan kedap air
(waterproofing)
4) Penanaman pada RTH bangunan, meliputi media tanam, peralatan,
tanaman, dan kemudahan pemeliharaan tanaman

RTH pada bangunan dapat dibagi menjadi tujuh tipologi, yaitu: Taman Atap
(Roof Garden/Green Roof/Sky Garden), Taman Podium (Podium Garden),
Taman Balkon (Balcony Garden), Taman Koridor/Koridor Hijau (Corridor
Garden), Taman Vertikal (Green Wall/Vertical Garden), Taman dalam Pot
(Planter Box) dan Taman Kontainer (Container Garden).

55
Roof garden

Sky garden

Balcony garden
Corridor Garden

Podium garden

Green Wall

Ilustrasi Pembagian Tipologi RTH Bangunan (ilustrasi masih onprogress)

1. Taman Atap (Roof Garden/Green Roof/Sky Garden)

Taman atap merupakan RTH Bangunan yang dibuat pada atap


bangunan yang berada pada elevasi paling tinggi. Taman atap terdiri
dari taman atap ekstensif (intensive green roof) dan taman atap
intensif (extensive green roof), yang dibedakan berdasarkan
keragaman vegetasi dan ketebalan tanah.

Taman atap ekstensif merupakan ruang terbuka hijau pada atap


bangunan yang memiliki keterbatasan struktur bangunan dalam
menahan media tanam, sehingga menggunakan media tanam dengan
ketebalan 15-30 cm sebagai media penghijauan dengan stratifikasi
rendah, yaitu berupa vegetasi penutup tanah dan semak kecil (tinggi
10-30cm).

56
Taman atap intensif merupakan ruang terbuka hijau pada atap
bangunan dengan membuat tata penghijauan dengan stratifikasi
beragam (pohon kecil/perdu, semak, dan tanaman penutup
tanah/groundcover).

2. Taman Podium (Podium Garden)

Taman podium adalah taman yang berada pada lantai


tengah/podium bangunan tinggi, umumnya pada ketinggian 2-5
lantai di atas tanah, sebagai upaya menambah kehijauan pada
bangunan.

3. Taman Balkon (Balcony Garden)

Taman balkon adalah taman yang berada pada balkon bangunan


sebagai upaya menambah kehijauan pada lantai atas bangunan.

4. Taman Koridor/Koridor Hijau (Corridor Garden)

Taman koridor adalah taman yang disediakan pada koridor


sirkulasi bangunan. Taman koridor dapat dibuat pada elemen
permukaan vertikal berupa dinding pembatas koridor dan railing
koridor.

5. Taman Vertikal (Green Wall/Vertical Garden)

Taman vertikal adalah taman yang disediakan pada elemen-


elemen vertikal bangunan, berupa dinding, pagar, atau permukaan
vertikal lainnya, sebagai solusi penyediaan RTH pada lahan
terbatas.

57
Ilustrasi Vertical Garden tipe Climbers (ilustrasi masih onprogress)

58
Ilustrasi Vertical Garden tipe Trailer/Free Fall (ilustrasi masih onprogress)

59
Ilustrasi Vertical Garden tipe Pre-fab (ilustrasi masih onprogress)

6. Taman dalam Pot (Planter Box)

Taman dalam pot adalah penanaman yang disediakan dalam wadah


berukuran kecil (0,5-1m2) yang disediakan pada permukaan atap atau
lantai bangunan, sebagai upaya penambahan vegetasi pada
permukaan non hijau (atap dan lantai bangunan).

7. Taman Kontainer (Container Planter)

Taman container adalah taman yang dibuat dalam tempat/wadah


penanaman berukuran besar (>1m2) yang disediakan pada permukaan
atap atau lantai bangunan, sebagai upaya penambahan vegetasi pada
permukaan non hijau (atap dan lantai bangunan).

2.1.5 Arahan Teknis Ruang Terbuka Biru

Pendekatan penyediaan RTH pada perairan memiliki pendekatan berbeda


dengan penyediaan pada jenis RTH lainya. Penyediaan RTH pada perairan
memiliki dominasi sebagai ruang perairan/ruang biru yang memiliki
fungsi RTH. Penyediaan RTH perairan bertujuan sebagai ruang penyedia

60
ketersedian air, ruang retensi/pengendali banjir, ruang tampungan air
tanah, penyerap karbon, menurunkan suhu ekologi wilayah kota dan
memiliki fungsi tambahan berupa biodiversitas.

Pemanfaatan RTH pada perairan diarahkan pada pemanfaatan di badan


air. Selain badan air dapat difungsikan sebagai RTH, pemanfaatan badan
air pun dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan masyarakat,
contohnya untuk kegiatan perikanan, pertanian, wiasata dan lain
sebagainya. Pemanfaatan RTH pada peraiaran merupakan RTH yang
saling berkaitan fungsinya dengan kawasan peyangganya/kawasan
sekitarnya seperti sempadan waduk dan danau, sempadan sungai dan
lain sebagainya.

a. Aliran Sungai

Badan air yang mengalir pada cekungan memanjang, dan terbentuk


secara alami. Biasanya membentuk kerapatan alur yang relative tinggi
pada medan yang kasar dan berelevasi tinggi dan kerapatan alur yang
relative rendah, lebih lebar, pada medan yang lebih landai dan berelevasi
rendah (SNI 7645-1:2014-Klasifikasi penutup lahan - Bagian 1: Skala kecil
dan menengah). Pada badan sungai harus dipertahankan kealamiannya,
tidak dibolehkan membuat perkerasan yang kedap air pada badan air
serta sempadannya. Pada lokasi yang memungkinkan sebaiknya
disediakan area dataran banjir (floodplain). Pada sempadan sungai perlu
mempertahankan atau menanam vegetasi jenis tanaman asli (native)
dengan stratifikasi (penutup tanah, semak, perdu, pohon) yang berperan
sebagai bagian ekosistem sungai.

b. Kanal

Alur atau badan air buatan berupa saluran menerus dibatasi dinding fisik
(beton, batu kali, dll) beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai
muara. Berfungsi sebagai sebagai pengendali banjir, sebagai jalur
transportasi, sebagai ruang publik kota, sebagai habitat/ekosistem air,
dll. Fungsi ekologis pendukung selain pada sempadan kanal dapat
diaplikasikan pada area dinding kanal berupa planter box dengan vegetasi

61
menjuntai atau merambat. Pada badan kanal dapat ditambahkan elemen
bebatuan untuk menahan laju air serta sebagai habitat hewan air (ikan,
katak, siput, dll).

c. Danau Detensi dan Retensi

i) Danau Retensi berupa bidang atau cekungan dengan tanaman


berfungsi menyalurkan air, memperlambat laju air dengan
material yang bersifat menahan air (material kedap air). Danau
Detensi dapat diaplikasikan pada kondisi area yang kesulitan air.

ii) Danau Detensi berupa bidang atau cekungan dengan tanaman


berfungsi meresapkan air, memperlambat kecepatan larian air
melalui proses peresapan (infiltrasi). Cekungan Detensi bisa
berupa lapangan rumput, yang saat kering bisa menjadi area untuk
beratifitas. Danau detensi dapat diaplikasikan pada RTH taman,
RTH kavling, dll.

d. Waduk/Embung/Setu/Empang

Areal perairan yang bersifat artifisial, dengan penggenangan air yang


dalam dan permanen maupun penggenangan dangkal, dan difungsikan
untuk berbagai keperluan, termasuk pengendali banjir, penyedia air
irigasi, wisata, pembangkit listrik, ataupun perikanan.

(SNI 7645-1:2014-Klasifikasi penutup lahan - Bagian 1: Skala kecil dan


menengah)

e. Mata Air

Titik munculnya air dari dalam tanah yang bersumber dari akuifer menuju
permukaan tanah. Kawasan imbuhan mata air, yaitu kawasan yang
berfungsi menampung air yang berasal dari titik mata air. Mata air
berfungsi sebagai sumber air bersih yang digunakan untuk kebutuhan
mahluk hidup. Titik mata air beserta area imbuhannya harus dijaga dan
dilindungi. Perlindungan mata air dan imbuhannya dilakukan dengan
inventarisasi dan identifikasi mata air, penetapan batas sempadan mata
air, pencegahan pembuangan limbah pada batas dilindungi, pengendalian

62
kegiatan pembangunan dan pemanfaatan lahan.

f. Rawa/Wetland

Rawa alami yang berfungsi untuk mengendapkan material yang terbawa


oleh air dengan tanaman air dengan bantuan perakaran jenis tanaman
tertentu. Pada daerah yang kondisinya rawan banjir, dan memiliki rawa
harus dipertahankan secara fisik dan fungsinya. Area rawa tidak boleh
diganti manjadi area perkerasan kedap air, jenis tanaman air endemik
(native) harus dipertahankan baik untuk menahan, menjernihkan air serta
sebagai habitat hewan setempat.

g. Constructed wetland

Rawa buatan yang berfungsi untuk menyaring dan membersihkan air


secara alami dengan tanaman air (riparian) serta mendorong terciptanya
keanekaragaman hayati. pada rawa buatan perlu dibuatkan area Zona
masuk air (inlet) dengan fungsi mengendapakan partikel. Zona vegetasi
merupakan area genangan yang ditumbuhi jenis tumbuhan air yang
berfungsi untuk menyaring dan menjernihkan air dari zat polutan. Zona
saluran keluar (outlet) dibuatkan untuk menyalurkan limpasan air yang
sudah dijernihkan.

h. Biopori

Lubang resapan biopori merupakan lubang yang dibuat tegak lurus ke


dalam tanah. Lubang ini memiliki diameter antara 10-30 cm dan tidak
memiliki muka air tanah dangkal (kedalaman 0.8-1 m). Lubang Biopori
berfungsi menampung sampah organik serta dapat meneruskan air
limpasan pada permukaan ke dalam tanah. Menentukan lokasi
pembuatan berdasarkan elevasi rendah yang rawan terhadap genangan
air, atau pada bidang terbuka (pekarangan, lapangan, plaza, area parkir,
dll)

i. Sumur resapan

Merupakan prasarana drainase berupa lubang yang dibuat tegak lurus


kedalam tanah hingga muka air tanah (water table). Lubang ini memiliki

63
diameter antara 10 cm higga 2 m dengan kedalaman 1.5 m dengan struktur
tanah harus mempunyai kemampuan permeabilitas (menyerap air).
Sumur resapan berfungsi untuk meresapkan air hujan dari atap bangunan
ke dalam tanah melalui lubang sumuran.

j. Bioswale

Saluran air berupa jalur memanjang dengan tanaman (Vegetated Swale)


serta lapisan material penyaring (tanah lempung berpasir, pasir dan
kerikil) berfungsi untuk menyalurkan air sambal memperlambat dengan
metoda resapan melalui tanaman. Bioswale dapat diterapkan pada
sempadan jalan, median jalan, sempadan kereta api, taman, hutan kota,
area parkir, dll.

k. Rain garden

Taman hujan (Rain Garden) dengan tanaman di dalamnya yang berfungsi


untuk meangkap dan menyerapkan air hujan, serta menyaring dan
mengendapkan material pada limpasan air permukaan. Rain Garden
dapat diterapakan menjadi bagian RTH taman, pulau jalan, median jalan,
area sempadan, dll.

2.2. Tata Cara Pemenuhan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang


2.2.1 Tujuan pemenuhan RTH dalam RTRW dan RDTR
Penyediaan dan pemanfaatan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang (RTRW dan
RDTR) Kota dimaksudkan untuk menjamin tersedianya ruang yang cukup bagi:
1. Kawasan konservasi yang berfungsi untuk :
a. kelestarian hidrologi;
b. ekosistem perlindungan bagi flora dan fauna;
c. perlindungan cagar geologi; dan
d. perlindungan cagar budaya.
2. Kawasan penanggulangan bencana (longsor, gempa, tsunami, banjir, dll)
yang meliputi kawasan pelindung dari area rawan bencana, rute dan area
evakuasi, serta area rehabilitasi paska bencana
3. Area pengelolaan air hujan dan air larian permukaan melalui penyediaan

64
kolam, danau/situ, dan waduk dengan fungsi detensi/retensi
4. Area dengan fungsi ameliorasi iklim dan pereduksi polusi udara
5. Area perlindungan lahan kritis
6. Area pemakaman umum
7. Area rekreasi dan olahraga masyarakat
8. Area yang membentuk karakteristik bentang alam dan identitas wilayah
kota/kawasan perkotaan.

2.2.2 Kedalaman Muatan Rencana Penyediaan dan Pemanfaatan RTH

Jenis Rencana Tata Ruang Kedalaman Muatan

Rencana Tata Ruang 1. Kawasan yang harus dikonservasi


Wilayah Kota / Kabupaten 2. Lokasi, luas minimum yang harus dipenuhi,
tipologi RTH
3. Proporsi area hijau, non hijau, dan biru
4. Fungsi RTH yang harus disediakan
5. Tahap-tahap implementasi penyediaan RTH
6. Ketentuan pemanfaatan RTH secara umum
7. Arahan pengelolaan dan pemeliharaan RTH

RDTRK/RTR Kawasan 1. Ketentuan tentang peraturan zonasi


Strategis Kota 2. Arahan penyediaan RTH (jejaring hijau-biru,
RTR Kawasan Perkotaan keterjangkauan/ketersebaran )
(Rencana Rinci) 3. Penyediaan RTH sesuai lokasi, luas, tipologi
dengan arahan fungsi dan tata ruang yang
lebih detail
4. Fasilitas dan Elemen yang harus disediakan
RTH
5. Arahan pemilihan vegetasi pada area hijau
6. Arahan pemilihan material perkerasan dan
bangunan taman
7. Arahan utilitas taman (pengelolaan air hujan,
air untuk penyiraman, energi listrik, dan

65
persampahan)
8. Indikasi program untuk mewujudkan
penyediaan RTH pada masing-masing
kawasan
9. Arahan pengelolaan dan pemeliharaan RTH

2.2.3 Tata Cara Pemenuhan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang

Tata Cara Pemenuhan RTH dalam Perencanaan Tata Ruang meliputi:

a. Pemenuhan RTH berdasarkan luas wilayah (Fairness Measurement


Kategorisasi Wilayah Kota dan Kawasan Perkotaan di Wilayah
Kabupaten)

1. Perhitungan RTH Wilayah Kota dimungkinkan dengan


menambahkan RTH Pengakuan Bersama (jointly claimed) dari
Wilayah Kota / Kabupaten Sekitarnya dengan pendekatan
kawasan/ecoregion dalam konservasi lingkungan hidup berbasis
DAS, mengantisipasi berbagai bencana (mitigasi) yang terjadi di
wilayah Indonesia, maka pemenuhan RTH dapat dilakukan dengan
pendekatan kawasan/regional.

2. Kota dimaksud dalam poin 1 adalah kota dalam skala Kota Besar
dan/atau Kota Metropolitan (misal DKI Jakarta, Surabaya, Medan,
Yogyakarta, Bandung, Semarang, dll) yang memiliki RTH Publik di
bawah 10% dan memiliki kesulitan untuk meningkatkan RTH di
dalam wilayahnya.

3. Persentase RTH dapat diklaim bersama (jointly claimed) antar


pemerintah daerah (Pemprov/Pemkab/Pemkot).

4. Persentase RTH yang diklaim bersama (jointly claimed) diatur


dengan ketentuan:

5. 50% untuk wilayah pemerintah daerah/Penerima Lahan (misal


Pemprov DKI Jakarta)

66
6. 50% untuk wilayah pemerintah daerah/Penyedia Lahan (misal
Pemprov Jabar, Pemprov Banten, Pemkab Bogor, Pemkot Bogor,
Pemkot Depok, Pemkot Tangerang, Pemkot Tangerang Selatan,
Pemkab Bekasi)

7. Pemerintah daerah/Penyedia Lahan (lokasi dimana lahan RTH


berada) perlu melakukan penyesuaian rencana tata ruang untuk
menjamin kawasan tersebut tetap menjadi RTH dan atau
ditingkatkan statusnya menjadi kawasan lindung, melalui proses
regulasi yang berlaku (Perda, Pergub, Perwal, Perbup).

8. Selain Pemenuhan RTH melalui skema diklaim bersama (jointly


claimed), pada Kota Metropolitan dan Kota Besar pemenuhan RTH
dapat dilakukan dengan perhitungan Indeks Hijau-Biru Indonesia
(IHBI)

9. Penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah di Wilayah Kota adalah


sebagai berikut:

10. Ruang terbuka hijau di perkotaan terdiri dari RTH Publik, RTH
Privat, dan RTH Publik pada Kepemilikan Privat

11. Pemenuhan proporsi RTH pada wilayah Kota terdiri dari tiga opsi:

12. Sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% RTH Publik dan 10% RTH
Privat

13. Sebesar minimal 30% yang terdiri dari 10% RTH Publik yang
menerapkan Indeks Hijau-Biru Indonesia (IHBI), 10% RTH Privat,
dan 10% RTH Publik pada Kepemilikan Privat

14. Sebesar minimal 10% RTH Publik yang menerapkan IHBI, 10% RTH
Privat, dan 10% RTH dari Kepemilikan Bersama (jointly claimed)
yang diatur dalam MoU Penyediaan RTH pada Wilayah Kota dengan
status defisit RTH yang disupervisi oleh Kementerian ATR BPN

15. Apabila luas RTH Publik dan RTH Privat di Wilayah Kota lebih besar
dari peraturan dan perundangan yang berlaku (Pemenuhan RTH
30%), maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan
67
keberadaannya dan atau diperkenankan dikerjasamakan atau
kelola bersama dalam penyediaan RTH untuk wilayah Kota yang
mengalami kekurangan RTH (wilayah defisit RTH) melalui
Penyediaan RTH dengan Skema Pengakuan Bersama (jointly
claimed RTH)

16. Apabila luas area hijau non RTH luar Kawasan Perkotaan di
Wilayah Kabupaten lebih besar dari peraturan dan perundangan
yang berlaku (Pemenuhan RTH 30%), maka proporsi tersebut
harus tetap dipertahankan keberadaannya atau diperkenankan
dikerjasamakan atau kelola bersama dalam penyediaan RTH untuk
wilayah Kota yang mengalami kekurangan RTH (wilayah defisit
RTH) melalui Penyediaan RTH dengan Skema Pengakuan Bersama
(jointly claimed RTH)

KATEGORI 1 (WK 5):


KOTA DENGAN KONDISI EKSISTING RTH SUDAH MEMENUHI PROPORSI 30%
UNTUK RTH PUBLIK MEMENUHI 20%
a. Kota dengan kondisi eksisting RTH Publik 20% diwajibkan untuk
mempertahankan RTH tersebut.
b. Kota tersebut harus dapat menjadi RTH melindungi Sumber Daya
Alam dan Ekosistem Alami, seperti hutan, ekosistem khusus,
mata air, sungai, danau, waduk, rawa, pantai, dll
c. Kota tersebut harus dapat menjamin RTH berfungsi dengan baik
serta terdistribusi secara merata sesuai dengan sebaran
penduduk dan hierarki pelayanan
Kota yang belum memenuhi poin-poin diatas diarahkan untuk dapat
meningkatkan RTHnya baik secara kuantitas maupun kualitas, dengan Indeks
Hijau-Biru Indonesia dan meningkatkan:
a. Pemenuhan fungsi ekologis, sosial, budaya, ekonomi, dan
estetika sesuai jumlah penduduk
b. Keterjangkauan dan ketersebaran RTH dalam wilayah kota
c. Konektivitas jejaring hijau-biru dalam wilayah kota dan ecoregion

68
yang lebih besar
d. Kontribusi terhadap penanggulangan bencana dalam wilayah
kota (perlindungan terhadap area rawan bencana, menyediakan
rute dan area evakuasi, dan rehabilitasi paska bencana)
e. Kontribusi RTH dalam membentuk karakteristik dan identitas
wilayah kota
f. Kontribusi RTH sebagai bagian dari area fasilitas umum, fasilitas
kesehatan, rekreasi
KATEGORI 2 (WK 1 s.d 4):
KOTA DENGAN KONDISI EKSISTING RTH BELUM MEMENUHI PROPORSI 30%,
UNTUK RTH PUBLIK MEMENUHI 20%
a. Kota yang belum dapat memenuhi RTH Publik sebesar 20%, wajib
mengidentifikasi kendala dalam pemenuhan RTH, seperti:
1. Identifikasi keterbatasan lahan untuk dijadikan RTH publik
2. mengidentifikasi ketersediaan lahan publik dan privat yang
potensial untuk dijadikan RTH
3. Identifikasi kemampuan keuangan daerah dalam pengadaan
lahan RTH
4. Identifikasi kemampuan lembaga daerah
5. Kota tersebut perlu meningkatkan kuantitas dan kualitas pada
RTH eksisting melalui perhitungan Indeks Hijau-Biru
Indonesia (IHBI)
b. Kota tersebut perlu meningkatkan kuantitas dan kualitas pada
asset lahan dan bangunan pemerintah melalui penerapan Indeks
Hijau-Biru Indonesia (IHBI)
c. Kota tersebut perlu meningkatkan kuantitas dan kualitas pada
asset lahan dan bangunan pemerintah melalui penerapan Indeks
Hijau-Biru Indonesia (IHBI)
d. Kota tersebut dapat meningkatkan RTH Publik melalui skema
perhitungan IHBI, skema pengakuan bersama (jointly claimed),
dan skema publik kepemilikan bersama

69
b. Pemenuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk
1. Wilayah Kota diarahkan untuk menyediakan RTH berdasarkan jumlah
penduduk dalam upaya pemenuhan 20% RTH Publik.
2. Berdasarkan rekomendasi WHO, standar minimal RTH Kota adalah 9
m2/jiwa.
3. Pertimbangan kebutuhan ekologis dalam menentukan kebutuhan RTH
dapat dihitung berdasarkan Daya Dukung Kawasan (Kebutuhan Air dan
Oksigen), Kebencanaan,
4. Pertimbangan kebutuhan Ruang Kesehatan dan Kesejahteraan (Health
and Well-being) yang mewadahi interaksi sosial dan budaya sebagai
bagian dari area fasilitas umum, fasilitas kesehatan, dan fasilitas
rekreasi dalam jarak tempuh pejalan kaki (per 350 m).

c. Pemenuhan RTH berdasarkan ketersebaran dan keterlayanan


1. Penyediaan RTH sebesar 30% dari wilayah, terdiri dari RTH Publik, RTH
Privat, dan RTH Publik pada Kepemilikan Privat secara keseluruhan
wilayah dengan mempertimbangkan sebaran penduduk dan hierarki
pelayanan.
2. RTH berdasarkan ketersebaran dan keterlayanan dalam skala
lingkungan harus memenuhi fungsi:
1) Pemenuhan fungsi ekologis, sosial, budaya, ekonomi, dan estetika
di dalam masing-masing area RTH
2) Keterjangkauan dan ketersebaran RTH dalam wilayah kota
3) Konektivitas jejaring hijau-biru dalam wilayah kota dan ecoregion
yang lebih besar
4) Kontribusi RTH dalam membentuk karakteristik dan identitas
wilayah kota
5) Kontribusi RTH sebagai bagian dari area fasilitas umum, fasilitas
kesehatan, rekreasi
3. Bila Wilayah Kota belum mampu menyediakan RTH sesuai sebaran
penduduk dan hierarki pelayanan maka Wilayah Kota wajib berupaya
mencapai proporsi RTH dengan membuat jejaring hijau-biru berupa
area RTH yang tersebar dan melayani penduduk dalam jarak tempuh

70
pejalan kaki (per 350 meter) yang terkoneksi dengan jalur atau koridor
hijau-bir

d. Pemenuhan RTH berdasarkan fungsi khusus


1. Penyediaan RTH berdasarkan kebutuhan fungsi tertentu dimaksudkan
untuk :
a) Perlindungan atau pengamanan sumber daya alam, ekosistem
khusus berfungsi mewadahi konservasi flora fauna, cagar
geologi, dan cagar budaya
b) Penyediaan sarana dan prasarana
2. RTH berdasarkan fungsi tertentu meliputi:

a) RTH Rimba Kota;


b) RTH Sabuk Hijau;
c) RTH Pemakaman;
d) RTH Sempadan Sungai;
e) RTH Sempadan Danau;
f) RTH Sempadan Waduk;
g) RTH Sempadan Pantai;
h) RTH Sempadan Mata Air;
i) RTH Sempadan Rel Kereta Api;
j) RTH Jalur Hijau Jaringan Listrik Tegangan Tinggi;
k) RTH Sempadan Jalan Tol;
l) RTH Sempadan TPST;
m) RTH Sempadan SPBU;
n) RTH Kawasan hijau lindung (Natural Reserve); dan
o) RTH Pertanian Kota.

e. Pemenuhan RTH berdasarkan penanggulangan kebencanaan


1. Penyediaan RTH berdasarkan kebencanaan dimaksudkan untuk :
a) Perlindungan atau pengamanan dari area rawan bencana
b) Penyediaan sarana dan prasarana evakuasi bencana (rute dan
area evakuasi)
c) Penyediaan area untuk rehabilitasi paska bencana
2. RTH berdasarkan kebencanaan meliputi:
71
a) RTH Kawasan Lindung Hidrogeologi (untuk pencegahan longsor
dan banjir bandang)
b) RTH Sempadan Sungai : perlindungan banjir dan longsor
c) RTH Sempadan Danau/Situ: perlindungan banjir dan longsor
d) RTH Sempadan Waduk: perlindungan banjir dan longsor
e) RTH Sempadan Pantai: perlindungan tsunami
f) RTH Hutan kota (untuk evakuasi bencana gempa, kebakaran,
banjir, dll)
g) RTH Taman (untuk evakuasi bencana gempa, kebakaran, banjir,
dll)
h) RTH Jalur Hijau Jalan (untuk rute evakuasi bencana, ruang
tangkapan dan resapan air, firebreaks, utilitas kebencanaan)

2.3. Tata Cara Perencanaan RTH


Tata Cara Perencanaan RTH, meliputi:

1. Penyediaan RTH harus disesuaikan dengan peruntukan yang telah


ditentukan dalam rencana tata ruang (RTRW Kota/RTR Kawasan
Perkotaan/RDTR Kota/RTR Kawasan Strategis Kota/Rencana Induk RTH)
yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat;

2. Penyediaan dan pemanfaatan RTH publik yang dilaksanakan oleh


pemerintah disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku;

3. Tahapan penyediaan dan pemanfaatan RTH publik meliputi:

a. Penyusunan Rencana Induk RTH;

b. Pengadaan lahan RTH;

c. Perancangan RTH;

d. Pelaksanaan Pembangunan RTH;

e. Pemanfaatan dan Pemeliharaan; dan

f. Pengawasan dan Evaluasi.

4. Penyediaan dan pemanfaatan RTH privat yang dilaksanakan oleh

72
masyarakat termasuk pengembang disesuaikan dengan ketentuan
perijinan pembangunan;

5. Penyusunan rencana induk RTH, meliputi:

a. Kajian terhadap penyusunan rencana induk RTH secara menyeluruh;

b. Kajian kriteria area prioritas penyediaan dan pemanfaatan RTH;

c. Penyusunan pemetaan area-area prioritas penyediaan dan


pemanfaatan RTH berdasarkan kajian analisis kebutuhan RTH terhadap
luas wilayah, jumlah penduduk, ketersebaran dan keterlayanan, fungsi
khusus, dan penanggulangan bencana.

d. Penyusunan tahapan pembangunan (rencana aksi) berdasarkan tingkat


prioritas.

6. Perancangan RTH sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c meliputi:

a. Inventarisasi lahan RTH;

b. Analisis lahan RTH;

c. Penyusunan konsep RTH;

d. Penyusunan Pra-Perancangan RTH (Preliminary Design);

e. Penyusunan Pengembangan Perancangan RTH (Design Development);

f. Penyusunan Gambar Teknik (Detail Engineering Design).

g. Penyusunan Dokumen Pelengkap

2.4. Tata Cara Penyediaan dan Pemanfaatan RTH


2.4.1 Skema Fairness Measurement Kategorisasi Wilayah Kota Dan Kawasan
Perkotaan Di Wilayah Kabupaten
RTH dihitung berdasarkan dua wilayah administratif yaitu; 1. RTH pada
kategorisasi Wilayah Kota dan 2. RTH pada Kawasan Perkotaan di Wilayah
Kabupaten (Pemerintahan Kabupaten).

1. RTH pada Kategorisasi Wilayah Kota Terdapat 5 kategorisasi Wilayah Kota

73
yaitu:

NO. KATEGORISASI WILAYAH KOTA DESKRIPSI


1 Wilayah Kota Metropolitan (WK-I):
Wilayah kota kategori Kota Metropiltan
(WK-I) dengan wilayah kota yang memiliki
prosentase RTH kurang atau sama dengan
10 persen dari wilayah administrasi
kotanya.

2 Wilayah Kota Besar (WK-II):


Wilayah Kota kategori Kota Besar (WK-II)
dengan wilayah kota yang memiliki
prosentase RTH kurang antara 10-15 persen
dari wilayah administrasi kotanya.

3 Wilayah Kota Sedang (WK-III): Wilayah kota


kategori Kota Sedang Me (WK-III) dengan
wilayah Kota yang memiliki prosentase RTH
antara 15-20 persen dari wilayah
administrasi kotanya.

Wilayah Kota Kecil (WK-IV):Adalah wilayah


kota kategori Kota Kecil (WK-IV) dengan
wilayah kota yang memiliki prosentase RTH
kurang dari 20-30 persen dari wilayah
administrasi kotanya

74
5 Wilayah Kota Sangat Kecil (WK-V):
Wilayah Kota kategori Sangat Kecil (WK-V)
dengan wilayah kota yang memiliki
prosentase RTH kurang dari 10 persen dari
wilayah administrasi kotanya.

Persentase luas RTH terhadap luas administrasi wiayah kota


Persentase luas wilayah kota
* Penyediaan RTH harus dihitung dengan pendekatan Indeks Hijau-Biru Indonesia

KETENTUAN:

1. Bagi Kategori Kota WK-I sd WK-IV, pemenuhan RTH minimal 30% sesuai
amanah UU No 26/2007 dan UUCK No 11/2020 selain dapat dilakukan
melalui penambahan lahan-lahan hijau baru melalui mekanisme
pembelian/pembebasan lahan, namun dapat juga dilakukan dengan cara,
misalnya: meningkatkan kualitas RTH existing dengan
menambahkan/melengkapi stratifikasi vegetasi di lokasi RTH existing,
penggunaan material perkerasan ramah lingkungan, peningkatan RTH
Bangunan. Mekanisme penambahan persentase RTH dilakukan dengan
menggunakan pendekatan Indeks Hijau Biru Indonesia (IHBI, lihat
pasal....ayat...). Selain itu, penambahan persentase RTH dapat dilakukan
dengan Pengakuan Bersama (Jointly Claimed) dan skema Ruang Publik
Kepemilikan Privat (Privately-owned Public Space) (Lihat pasal x ayat y).
Penjelasan Rinci dan tata cara penggunaan IHBI, skema Pengakuan
Bersama (Jointly Claimed) dan skema Ruang Publik Kepemilikan Privat
(Privately-owned Public Space) akan dijelaskan dalam Petunjuk Teknis
yang merujuk kepada Permen ini.

2. Bagi Kategori WK-V yang sudah memenuhi RTH lebih besar atau sama
dengan 30%, maka RTH existing harus dipertahankan dan ditingkatkan baik
kuantitas maupun kualitas melalui skema pengembangan Indeks Hijau-
75
Biru Indonesia (IHBI), skema Pengakuan Bersama (Jointly Claimed) dan
skema Ruang Publik Kepemilikan Privat (Privately-owned Public Space).

3. Bagi seluruh kategori WK I-V yang memiliki Ruang Terbuka Biru (RTB)
misalnya sungai, danau, situ, waduk, embung, empang, kolam, dsb.

2. RTH pada kategorisasi kawasan perkotaan di Wilayah kabupaten.


Terdapat 5 kategorisasi pada kawasan perkotaan di wilayah Kabupaten, yaitu:

NO. KATEGORISASI KAWASAN DESKRIPSI


PERKOTAAN DI WILAYAH KOTA
1 Kawasan Perkotaan di wilayah Kabupaten
kategori I (KP-I):
Wilayah kabupaten dengan persentase luas
kawasan perkotaan dari luas total wilayah
kabupatennya lebih kecil atau sama dengan
10% sedangkan luas area hijau non RTH di
luar kawasan perencanaanya adalah lebih
besar atau sama dengan 90%.

Bagi kawasan perkotaan di wilayah


kabupaten kategori I (KP-I), persentase
RTH di dalam kawasan perkotaan
diwajibkan mencapai minimal 10%.

2 Kawasan Perkotaan di wilayah Kabupaten


kategori II (KP-II):
Wilayah kabupaten yang persentase luas
kawasan perkotaan dari luas total wilayah
kabupatennya antara 10% - 20 % sedangkan
luas area hijau non RTH di luar kawasan
perencanaanya adalah antara 80%-90.

76
Bagi kawasan perkotaan di wilayah
kabupaten kategori II (KP-II), prosentase
RTH di dalam kawasan perkotaan
diwajibkan mencapai minimal atau lebih
besar dari 15%.

3 Kawasan Perkotaan di wilayah Kabupaten


kategori I (KP-III):
Wilayah kabupaten yang prosentase luas
kawasan perkotaan dari luas total wilayah
kabupatennya antara 20% - 30 % sedangkan
luas area hijau non RTH di luar kawasan
perencanaanya adalah antara 70%-80%.

Bagi kawasan perkotaan di wilayah


kabupaten kategori III (KP-III), persentase
RTH di dalam kawasan perkotaan
diwajibkan mencapai minimal atau lebih
besar dari 20%.

4 Kawasan Perkotaan di wilayah Kabupaten


kategori IV (KP-IV):
Wilayah kabupaten yang persentase luas
kawasan perkotaan dari luas total wilayah
kabupatennya antara 30% - 40 % sedangkan
luas area hijau non RTH di luar kawasan
perencanaanya adalah antara 60%-70%

Bagi kawasan perkotaan di wilayah


kabupaten kategori IV (KP-IV), persentase
RTH didalam kawasan perkotaan

77
diwajibkan mencapai minimal atau lebih
besar dari 25%
5 Kawasan Perkotaan di wilayah Kabupaten
kategori V (KP-V):
Wilayah kabupaten yang persentase luas
kawasan perkotaan dari luas total wilayah
kabupatennya antara 40% - 50 % dan luas
area hijau non RTH di luar kawasan
perencanaanya adalah antara 50%-60%.

Bagi kawasan perkotaan di wilayah


kabupaten kategori V (KP-V), persentase
RTH di dalam kawasan perkotaan
diwajibkan mencapai minimal atau lebih
besar dari 30%.
Persentase luas kawasan perkotaan terhadap luas wilayah kabupaten
Persentase luas area di luar kawasan perkotaan
Batas maksimalperkembangan kawasan perkotaan (50% dari total kawasan perkotaan)
* Penyediaan RTH harus dihitung dengan pendekatan Indeks Hijau-Biru Indonesia

2.5. Kerjasama Antar Stakeholder


2.5.1 Kerjasama antar stakeholder

Kegiatan penyediaan dan pemanfaatan RTH dilaksanakan oleh:

a. Perangkat Daerah;
b. BUMN/BUMD;
c. Badan Usaha;
d. Masyarakat;
e. Akademisi; dan
f. Pihak terkait lainnya.

Kegiatan penyediaan dan pemanfaatan RTH dapat dikoordinasikan melalui


supervisi pemerintah pusat.

78
Bentuk kerja sama dengan Perangkat Daerah termasuk dengan Pemerintah Pusat
dapat dilakukan dalam hal penyediaan lahan, koordinasi antar sektor, atau dalam
penyelenggaraan program dan kegiatan multisektor. BUMD termasuk badan
usaha milik swasta dapat berperan aktif dalam penyediaan dan pemanfataan RTH
melalui permodalan berupa hibah dana, sumber daya manusia, maupun sumber
daya teknologi, pembagian modal dan Corporate Social Responsibility (CSR), atau
dapat berupa sub-supplier dan product supplier dalam mengelola RTH. Kerja
sama dengan masyarakat dapat dilakukan dalam penyediaan lahan, sumber daya
manusia, serta pembentukan persatuan warga dan forum aspirasi warga.
Akademisi dapat dilibatkan dalam bantuan teknis maupun penelitian dan
pengembangan RTH. Begitu pula dengan pihak lain yang terkait dengan RTH
seperti lembaga donor dapat berpartisipasi dalam permodalan berupa hibah dana,
sumber daya manusia maupun teknologi.

Kesepakatan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi dengan mitra kerja sama
dapat didahului dengan nota kesepahaman (MoU) pada jangka waktu tertentu yang
kemudian dapat dilanjutkan sebagai perjanjian kerja sama yang mengikat
stakeholders terkait. Begitu pun dalam hal penyertaan modal yang digunakan baik
dalam pembangunan, pengembangan, maupun pengelolaan RTH.

2.5.2 Mekanisme Partisipasi Masyarakat

Penyediaan dan pemanfaatan RTH berbasis peran masyarakat (community-based


development) adalah penyediaan RTH yang mengedepankan keterlibatan
masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Masyarakat diberikan
kesempatan aktif beraspirasi dan berkontribusi dalam dalam setiap tahap
kegiatan. Melalui pelibatan aktif masyarakat, diharapkan dapat memberikan
manfaat besar dalam keberhasilan penyediaan dan pemanfaatan RTH. Beberapa
manfaat dari skema penyediaan dan pemanfaatan RTH secara partisipatif, di
antaranya, adalah:

1. Memupuk pemahaman dan kesadaran masyarakat akan hak, kewajiban, dan


peranannya di dalam proses pembangunan, sehingga tumbuh rasa memiliki
dan tanggung jawab yang kuat terhadap hasil-hasilnya;

79
2. Meminimalkan konflik, sehingga mempercepat proses kegiatan secara
keseluruhan, serta terbangunnya suatu ikatan di masyarakat;

3. Menghasilkan keputusan yang efektif dan efisien serta sesuai dengan kondisi
kebutuhan, keinginan, maupun sumber daya di masyarakat; dan

4. Memberdayakan masyarakat setempat, terutama dalam hal membentuk dan


membangun kepercayaan diri, kemampuan bermasyarakat dan bekerja sama.

Prinsip utama dalam penyediaan dan pemanfaatan RTH berbasis partisipatif,


adalah:

1. Berdasarkan kesepakatan dan hasil kerja sama


Kesepakatan yang dicapai adalah hasil dialog dan negosiasi berbagai pihak
yang terlibat atau pun pihak yang terkena dampak perencanaan.

2. Sesuai dengan aspirasi publik

Perencanaan disesuaikan dengan kebutuhan, keinginan dan kondisi


masyarakat.

3. Kejelasan tanggung jawab

a. Adanya sistem pemantauan (monitoring), evaluasi, dan pelaporan


yang transparan dan terbuka bagi publik.
b. Terbuka kemungkinan untuk mengajukan keberatan dan gugatan
melalui instansi yang berwenang menangani gugatan kepada
pemilik, pengelola, dan/atau pengguna atas penyelenggaraan
bangunan gedung dan lingkungannya.

4. Kesempatan yang sama untuk berkontribusi dalam proses pembangunan

Setiap anggota masyarakat atau pemangku kepentingan (stakeholders),


terutama yang akan terkena dampak langsung dari suatu kegiatan
pembangunan, memiliki akses dan kesempatan yang sama untuk
berkontribusi dalam penyediaan dan pemanfaatan RTH.

80
Tahapan perencanaan partisipatif dapat dilakuan sebagai berikut:

1. Persiapan: pengenalan program yang akan dilakukan kepada masyarakat


terkait, pembentukan kelompok, pendefinisian pihak terkait, penentuan
pendekatan pihak terkait, dan penyusunan strategi pengumpulan informasi.

2. Identifikasi aspirasi dan analisis permasalahan: penyusunan tujuan,


kebutuhan, dan kepentingan semua pihak, pelibatan seluruh pemangku
kepentingan (stakeholders), penciptaan dan sosialisasi mekanisme, serta
analisis kebutuhan dan sumber daya pengembangan RTH.

3. Analisis perilaku lingkungan: terutama mengenai interaksi RTH dengan


lingkungan sekitarnya.

4. Rencana pengembangan: pedoman utama, arahan pengembangan,


kepentingan prioritas, identifikasi hambatan, identifikasi sumber daya, dan
visi pengembangan RTH.

5. Strategi pengembangan dan publikasi: perencanaan tahapan, monitoring dan


evaluasi, persetujuan legal, strategi kerja sama dengan wakil-wakil
komunitas, penyebaran informasi dan publikasi program.

6. Penerapan rencana: publikasi rencana pelaksanaan, adaptasi perubahan,


peninjauan dan kaji ulang (review) berkala bersama dengan komunitas dan
seluruh masyarakat.

Tahapan perencanaan RTH partisipatif

81
2.5.3 Skema Insentif dan Disinsentif

Pemberian insentif dan disinsentif dilakukan sebagai alat untuk mencegah adanya
pelanggaran dalam tata ruang dan peningkatan kuantitas serta kualitas RTH di
Kawasan perkotaan. Terdapat beberapa pertimbangan dalam alokasi dan
distribusi insentif/disinsentif, di antaranya, adalah:

1. insentif harus murah terutama bagi penyedia, artinya beban untuk


menyediakan insentif jangan sampai meningkatkan harga barang dan jasa,
sehingga menyulitkan bagi stakeholders; dan
2. alokasi insentif harus tepat sasaran, tepat wilayah, dan tepat guna bagi
penerima.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengatur terkait


insentif dan disintensif sebagai berikut:

1. Insentif sebagai perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap


pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang, berupa:
a. Pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan, sewa ruang, dan
penyertaan modal;
b. Pembangunan atau penyediaan infrastruktur pendukung;
c. Kemudahan prosedur perizinan; serta
d. Pemberian penghargaan kepada masyarakat, swasta dan/atau unsur
pemerintah.
2. Disinsentif sebagai perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan,
atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang
wilayah, berupa:
a. Pengenaan pajak atau retribusi yang tinggi, disesuaikan dengan
besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang
ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang; serta
b. Pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi, dan
penalti.

Pengenaan insentif-disinsentif dalam implementasi pemanfaatan ruang dapat


dilakukan antar pemerintah daerah yang memiliki kerjasama dalam
pemanfaataan ruang, serta antara pemerintah daerah dengan masyarakat.

82
1. Insentif – Disinsentif Antar pemerintah Daerah

Insentif dan disinsentif dapat diberlakukan pada pola kerjasama antar pemerintah
daerah, baik yang berbatasan maupun tidak. Insentif diberikan kepada pemerintah
daerah lain menerima ketidaknyamanan dan ancaman dampak negatif
daripemanfaatan ruang secara bersama. Disinsentif dikenakan pada pemerintah
daerah yang lebih banyak merasakan keuntungan dari adanya kerja sama
pemanfaatan ruang atau sumber daya alam secara bersama. Kombinasi dari
model kerjasama ini adalah berupa subsidi silang dari daerah yang
penyelenggaraan pemanfaatan ruangnya memberikan dampak negatif kepada
daerah lain (yang dirugikan).

2. Insentif – Disinsentif Pemerintah Daerah dengan Stakeholders


Pembangunan Perkotaan

Insentif dan disinsentif dapat pula diberikan pemerintah kepada masyarakat


(termasuk swasta) dalam hal pemerintah memberikan mendorong partisipasi
masyarakat dan swasta dalam mendukung perwujudan rencana tata ruang.
Disinsentif pada umumnya berupa pengenaan pajak yang tinggi, yang dikenakan
pada pemanfaatan ruang yang tidak sesuai rencana tata ruang. Nilai pajak atau
denda bisaditentukan melalui penetapan nilai jual objek pajak (NJOP) dan nilai
jual kena pajak (NJKP), sehingga pemanfaat ruang membayar pajak lebih tinggi.

83

Anda mungkin juga menyukai