LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN
NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR XX TAHUN 2022
1
BAB I
KETENTUAN UMUM
Permasalahan global yang terjadi saat ini tidak terlepas dari peran semua pihak
dalam memanfaatan sumber daya alam dan lingkungan. Akibat dari produksi gas
CO2 berlebih sebagai salah satu penyebab utama kerusakan, telah berdampak pada
kenaikan suhu yang mengakibatkan pemanasan dalam skala global (global
warming). Kondisi ini tidak hanya menyebabkan pada perubahan iklim (climate
change), akan tetapi besar dampaknya pada berbagai aspek lingkungan lainnya,
seperti terjadinya kenaikan permukaan air laut (sea level rise), hilangnya
keanekaragaman hayati (biodiversity loss), kelangkaan air dan tanah (land and
water scarcity), juga terganggunya sistem ekologi yang dapat berpotensi pada
perubahan unsur maupun elemen pembentuknya.
Sistem ekologi yang sehat (healthy ecosystem) yang sesuai dengan daya dukung
dan tampungnya, dapat menjamin keberlangsungan kehidupan baik di lingkungan
alami maupun terbangun. Dalam kedua konteks lingkungan tersebut, keberadaan
ruang terbuka hijau (RTH) memiliki peran penting dalam menyediakan jasa
lingkungan (ecosystem services) sebagai ruang berfungsi ekologi, sosial-budaya,
ekonomi, estetika, serta fungsi ekstrinsik lainnya seperti mitigasi bencana dan
pembentuk identitas sebuah kota. Mengingat manfaat penting dari RTH tersebut,
maka penyediaan RTH perlu mempertimbangkan keterhubungannya dalam sistem
ekologi yang utuh yang dapat melampaui batas administrasi pemerintahan. Oleh
karena itu, pendekatan kawasan atau skala lanskap (ecoregion) menjadi hal
penting dalam perencanaan RTH, sehingga dapat membentuk jejaring hijau dan biru
multiskala baik di lingkungan perkotaan hingga skala regional di lingkungan
perdesaan di sekitarnya.
2
30% dari luas wilayah kota dengan proporsi 20% RTH Publik dan 10% RTH Privat.
Sebagai arahan teknis penyelenggaraan RTH, Kementerian Pekerjaan Umum
mengeluarkan Peraturan Menteri No. 5 Tahun 2008 tentang Pedoman
Penyelenggaraan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan. Dalam rangka
memperkuat pentingnya penyelenggaraan RTH, maka dikeluarkan Peraturan
Pemerintah No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang yang
menekankan adanya sanksi bagi pemerintah daerah yang tidak dapat mencapai
target pencapaian RTH Publik yang direncanakan dalam rencana tata ruang
wilayah.
Dalam perjalanannya, peraturan tersebut telah menjadi payung hukum dan acuan
dalam penyelenggaraan RTH mulai dari tahap perencanaan, perancangan, hingga
pengelolaan RTH. Namun demikian, keterbatasan lahan atau harga lahan yang
tinggi, serta kurangnya kesadaran terkait pentingnya RTH yang berdampak pada
rendahnya partisipasi seluruh pihak penyelenggara RTH, menjadi tantangan dalam
penyediaan maupun pemanfaatan RTH yang optimal. Bagi pemerintah daerah di
wilayah kota besar dan metropolitan, target minimal 20% RTH Publik yang
diamanatkan Undang-Undang, menjadi isu pembangunan yang perlu ditemukan
solusi yang lebih baik, cepat, dan tepat. Begitu pun bagi wilayah kota sedang, kecil,
maupun kawasan perkotaan di wilayah kabupaten, amanat menyediakan RTH
Publik perlu direncanakan dengan tepat agar tetap menjamin proporsi ruang hijau
ideal sebagai penyeimbang bagi keberlanjutan lingkungan dalam konteks kawasan
(ecoregion).
3
kualitasnya sesuai dengan pengaruhnya terhadap lingkungan baik dari aspek
ekologi maupun sosial, termasuk penggunaan material penutup tanah ramah
lingkungan yang dapat diperhitungkan pula sebagai bagian dari RTH. Pendekatan
baru dalam perhitungan RTH ini menjadi solusi yang tepat bagi kawasan perkotaan
dengan permasalahan kepadatan yang tinggi, pembangunan berskala besar dan
cepat, atau kota dengan permasalahan spesifik seperti banjir, kekurangan area
hijau, atau kehilangan sumber daya hayati, yang dapat diperburuk tanpa adanya
perencanaan penyelenggaraan RTH yang tepat.
4
ekologis guna mendukung keberlangsungan kehidupan dan keberlanjutan
lingkungan.
5
14 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Pedoman Pengembangan Kawasan
Berorientasi Transit.
a. Acuan bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bagi penyediaan dan
pemanfaatan RTH dalam Rencana Tata Ruang.
b. Dasar hukum penyelenggaraan pedoman penyediaan dan pemanfaatan RTH
di Wilayah Kota dan di Kawasan Perkotaan di Wilayah Kabupaten.
7
1.6. Istilah dan Definisi
1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah,
tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan dan
memelihara kelangsungan hidupnya.
4. Rencana Tata Ruang Wilayah yang selanjutnya disingkat RTRW adalah hasil
perencanaan tata ruang pada wilayah yang merupakan kesatuan geografis
beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif.
8
persentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar
bangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan dan
luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana
tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.
10. Koefisien Lantai Bangunan yang selanjutnya disingkat KLB adalah angka
persentase perbandingan antara luas seluruh lantai bangunan gedung dan
luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana
tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.
9
yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam, dengan
mempertimbangkan aspek fungsi ekologis, resapan air, ekonomi, sosial
budaya, dan estetika.
16. Ruang Terbuka Hijau Publik adalah ruang terbuka hijau yang dimiliki dan
dikelola oleh pemerintah daerah kota yang digunakan untuk kepentingan
masyarakat secara umum.
17. Ruang Terbuka Hijau Privat adalah kebun atau halaman rumah/gedung
milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan.
18. Ruang Terbuka Biru adalah lanskap badan air yang berbentuk aliran
sungai, kanal, danau detensi dan retensi, kolam atau balong detensi dan
retensi, waduk, embung, setu, empang, mata air, rawa/wetland,
constructed wetland, biopori, sumur resapan, bioswale, rain garden, yang
memiliki potensi sebagai penyedia jasa lanskap (landscape services).
19. Ruang Terbuka Hijau Publik Kolaboratif G to P adalah halaman gedung milik
masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan yang dapat digunakan untuk
kepentingan masyarakat secara umum melalui skema ruang publik
kepemilikan privat (Privately-owned Public Space/PoPS).
20. Ruang Terbuka Hijau Publik Kolaboratif G to G adalah ruang terbuka hijau
yang dimiliki dan dikelola bersama oleh pemerintah daerah kota yang
digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum melalui skema
pengakuan bersama (jointly clamied).
21. Area Hijau non Ruang Terbuka Hijau adalah lahan yang sebagian atau
seluruhnya ditutupi oleh rumput, pohon, semak dan tanaman lainnya yang
berlokasi diluar Kawasan Perkotaan di Wilayah Kabupaten dapat berupa
hutan lindung, pertanian, perkebunan, sawah, dan lain sebagainya.
10
24. Kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat
yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat.
25. Badan Bank Tanah selanjutnya disebut Bank Tanah adalah badan khusus
(sui geneis) yang merupakan badan hukum Indonesia yang dibentuk oleh
pemerintah pusat yang diberi kewenangan khusus untuk mengelola tanah.
1. Fungsi Ekologis;
sebagai pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air
secara alami dapat berlangsung lancar;
sebagai peneduh;
11
3. Fungsi Pengelolaan Limpasan Air Hujan (stormwater management):
resapan air, rain water harvesting, rain garden, bioswale;
4. Fungsi Ekonomi;
5. Fungsi Estetika;
Meningkatkan kenyamanan;
8. Fungsi sebagai Ruang kesehatan dan Kesejahteraan (health & well being).
12
1.8. Manfaat RTH
1. Manfaat langsung
membentuk keindahan dan kenyamanan (teduh, segar, sejuk); dan
mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga, buah).
2. Manfaat tidak langsung
pembersih udara yang sangat efektif;
pemeliharaan akan kelangsungan persediaan air tanah;
pelestarian fungsi lingkungan beserta segala isi flora dan fauna yang ada
(konservasi hayati atau keanekaragaman hayati);
sebagai ruang mitigasi, evakuasi dan rehabilitasi bencana.
a. RTH Taman
RTH Taman merupakan bagian dari ruang terbuka publik sebagai wadah
interaksi sosial dan rekreasi. RTH Taman merupakan RTH Publik yang
disediakan untuk mendukung fungsi ekologis, sosial budaya, pengelolaan
limpasan air hujan/run off, ekonomi, estetika, penanggulangan bencana,
ketahanan pangan dan energi, serta ruang kesehatan dan kesejahteraan.
Proporsi setiap kategori RTH taman adalah 70% tutupan hijau dan 30%
tutupan non hijau dari luas area RTH. Berdasarkan lokasi dan skala
pelayanannya, tipologi RTH Taman dibagi menjadi lima kategori, yaitu:
1. RTH Taman Rukun Tetangga (RT)
2. RTH Taman Rukun Warga (RW)
3. RTH Taman Kelurahan
4. RTH Taman Kecamataan
5. RTH Taman Kota
2. Podium garden,
3. Balcony garden,
4. Corridor garden,
6. Planter box
Ruang Terbuka Hijau Pada Kavling merupakan ruang terbuka hijau di luar
bangunan tempat beraktifitas berupa pekarangan, plaza dengan material
yang dapat menyerap atau meneruskan air ke dalam tanah (porous), area
parkir dengan material porous, serta lapangan baik berupa rumput dan
juga berupa perkerasan dengan material porous. tipologi RTH pada
Kavling dibagi menjadi empat kategori, yaitu
15
Kategori Tipologi RTH berdasarkan Kepemilikan Lahan
A. RTH Taman
1. Taman RT v
2. Taman RW v
3. Taman Kelurahan v
4. Taman Kecamatan v
5. Taman Kota v
1. Hutan Kota v
2. Sabuk Hijau v
3. Pemakaman v v
4. Sempadan Sungai v
5. Sempadan Danau v v
6. Sempadan Waduk v v
7. Sempadan Pantai v v
16
12. Sempadan TPST v v
A. RTH Taman
1. Taman RT v
2. Taman RW v
3. Taman Kelurahan v
4. Taman Kecamatan v
5. Taman Kota v
1. Hutan Kota v
2. Sabuk Hijau v
3. Pemakaman v v
4. Sempadan Sungai v
17
5. Sempadan Danau v v
6. Sempadan Waduk v v
7. Sempadan Pantai v v
F. RTB/RTH Perairan
1. Biopori v v v
2. Sumur resapan v v v
18
3. Bioswale v v v
4. Rain garden v v v
5. Constructed wetland v v v
6. Mata air v v v
8. Danau/situ retensi v v v
dan detensi
9. Waduk v v v
10. Sungai v v v
11. Rawa/Wetland v v v
19
BAB II
KETENTUAN TEKNIS
20
adalah 70% tutupan hijau dan 30% tutupan non hijau dari luas area RTH.
Area hijau (70%) yang ada di RTH Taman Rukun Tetangga (RT) Area Hijau
minimal ditanami 1 pohon besar (diameter tajuk >15 meter), atau 3 pohon
sedang (diameter tajuk 8-15 meter), atau 10 pohon kecil (diameter tajuk
4-8 meter), yang dikombinasikan dengan perdu, semak, dan tanaman
groundcover. Pengembangan Area Non Hijau (30%) untuk fungsi sosial
budaya, ekonomi, estetika, atau mitigasi bencana. Setiap RTH Taman
Rukun Tetangga (RT) harus mampu menyesuaikan desain dengan
mempertimbangkan kebutuhan penduduk RT beragam, sehingga harus
dilengkapi dengan fasilitas multifungsi yang waktu dan jenis
pemanfaatannya dapat diatur dengan fleksibel agar bisa dimanfaatkan
oleh masyarakat. RTH Taman Rukun Tetangga (RT) dapat dilengkapi
dengan fasilitas rekreasi dan olahraga serta ruang terbuka biru berupa
sumur resapan dan biopori.
2. RTH Taman Rukun Warga (RW) merupakan RTH publik dalam skala
rukun warga (RW) konteks wilayah kota dan kawasan perkotaan di
wilayah kabupaten, yang berperan dalam upaya pemenuhan kebutuhan
ruang aktivitas dan interaksi warga. RTH Taman Rukun Warga (RW)
harus disediakan dalam skala RW, yaitu yaitu dalam radius pelayanan
350 m dengan luas minimal 1.000-5.000 m2. Proporsi RTH taman adalah
70% tutupan hijau dan 30% tutupan non hijau dari luas area RTH. Area
hijau (70%) yang ada di RTH Taman Kelurahan Area Hijau minimal
ditanami 3 pohon besar (diameter tajuk >15 meter), atau 10 pohon sedang
21
(diameter tajuk 8-15 meter), atau 40 pohon kecil (diameter tajuk 4-8
meter), yang dikombinasikan dengan perdu, semak, dan tanaman
groundcover. Pengembangan Area Non Hijau (30%) untuk fungsi sosial
budaya, ekonomi, estetika, atau mitigasi bencana. Taman Rukun Warga
(RW) dapat dilengkapi dengan fasilitas rekreasi dan olahraga serta
ruang terbuka biru berupa kolam retensi atau detensi, sumur resapan
dan biopori.
22
dilengkapi dengan fasilitas rekreasi dan olahraga serta ruang terbuka
biru berupa kolam retensi atau detensi, sumur resapan dan biopori.
23
Ilustrasi Pengembangan RTH Taman Kecamatan
24
Ilustrasi Pengembangan RTH Taman Kota
3. RTH Pemakaman
RTH Sempadan Sungai adalah jalur hijau yang terletak di bagian kiri
dan kanan sungai yang memiliki fungsi utama untuk melindungi sungai
tersebut dari berbagai gangguan yang dapat merusak kondisi sungai
dan kelestariannya. Secara alami, kawasan sempadan sungai
merupakan bagian dari ekosistem riparian,yang memiliki nilai ekologis
sebagai area dataran banjir (floodplain),yang berfungsi sebagai daerah
tampungan air ketika terjadi banjir,sebagai daerah filtrasi air
untukmengurangi sedimentasi sungai,dan juga pembentuk habitat
akuatik di sungai dan habitat riparian.
Danau adalah bagian dari sungai yang lebar dan kedalamannya secara
alamiah jauh melebihi ruas-ruas lain dari sungai yang bersangkutan.
Upaya konservasi air dalam skala danau dan situ di Kawasan Hulu DAS
Jakarta memiliki kepentingan untuk meningkatkan upaya penyimpanan
air yang berlebih pada musim hujan dan menjaga cadangan air bersih
pada badan air danau untuk mengurangi limpasan air ke sungai yang
akan berdampak pada bagian tengah dan hilir sungai.
RTH Sempadan Mata Air merupakan RTH yang memiliki fungsi utama
untuk melindungi sumber air bersih agar tetap memiliki kualitas dan
kuantitas (debit) yang baik sehingga dapat dimanfaatkan sebagai
sumber air bersih bagi lingkungan di sekitarnya. Kawasan Sempadan
Mata Air melingkupi area dengan radius 200 meter di sekitar mata air.
30
9. Sempadan Rel Kereta Api
RTH jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi yang memiliki fungsi
utama menyediakan jarak bebas atau jarak aman dari SUTT/SUTET ke
obyek di dekatnya (pohon, bangunan, jalan, dll.). RTH jalur hijau
jaringan listrik tegangan tinggi dimanfaatkan sebagai pengaman listrik
tegangan tinggi dan kawasan jalur hijau dibebaskan dari berbagai
kegiatan masyarakat serta perlu dilengkapi tanda/peringatan untuk
masyarakat agar tidak beraktivitas di kawasan tersebut.
RTH sepanjang jalur hijau pada jalan tol. Jalan Tol adalah jalan umum
yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan
nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol. Sempadan Jalan
Tol terhadap bangunan paling sedikit berjarak lima meter dari pagar
jalan tol. Sempadan jalan tol terhadap bangunan industri dan atau
31
pergudangan paling sedikit 10 meter dari pagar Jalan Tol.
RTH yang berfungsi sebagai kawasan hutan lindung, kawasan resapan air,
perlindungan setempat terhadap mata air, sungai, danau, dan pantai,
kawasan suaka alam, suaka margasatwa, cagar alam, taman, nasional,
taman hutan raya, taman wisata alam, kawasan cagar budaya,
kawasan perlindungan plasma nutfah, kawasan pengungsian satwa,
koridor satwa, kawasan lindung geologi, dan kawasan rawan bencana
alam.
15. RTH Pertanian Kota (urban farming, intergrated farming, edible garden,
tanaman obat, tanaman pangan, hortikutur, perkebunan kota)
RTH Jalur Hijau Jalan adalah ruang terbuka hijau berbentuk memanjang
atau koridor berupa penempatan tanaman serta elemen lanskap lainnya,
yang terletak didalam ruang milik jalan (RUMIJA) maupun di dalam ruang
pengawasan jalan (RUWASJA). Perencanaan RTH Jalur Hijau Jalan
disediakan mengikuti pola tata ruang berupa jalur aksesibilitas dan
rencana infrastruktur wilayah perkotaan.
RTH Jalur Hijau Jalan disediakan dengan proporsi tutupan hijau (vegetasi)
minimal 20-30% dan maksimal 70-80% tutupan non hijau dari ruang milik
32
jalan (rumija) sesuai dengan kelas jalan. RTH Jalur Hijau Jalan terdiri dari
pulau jalan dan median jalan, jalur hijau pejalan kaki, dan jalur hijau di
bawah jalan layang.
33
Penyediaan RTH pada jaringan berupa RTH Jalur Hijau Jalan sebagai
salah satu komponen tata ruang bertujuan sebagai pembatas antara
aktivitas dengan aktivitas lainnya, pengamanan dari faktor sekitarnya,
serta menyediakan fungsi-fungsi RTH yaitu fungsi ekologis, resapan air,
sosial budaya, ekonomi, estetika, penanggulangan bencana, ruang
kesehatan dan kesejahteraan (health and wellbeing), dan pengelolaan air
hujan (stormwater management). Penyediaan RTH Jalur Hijau terintegrasi
dengan pembangunan infrastruktur jalan dan utilitas di kawasan
terbangun dan disesuaikan dengan kebutuhan/ karakteristik di setiap
jaringan prasarananya.
34
kelengkapan tata informasi jalur evakuasi dan tempat evakuasi.
RTH Jalur Hijau Jalan direncanakan melalui penataan vegetasi lokal atau
vegetasi khas wilayah Wilayah Kota/Kabupaten, yang sesuai dengan
kriteria vegetasi untuk RTH Jalur Hijau Jalan, yaitu:
2. Peneduh/pembentuk naungan
4. Perendam kebisingan
5. Pemecah angin
6. Pembatas pandang
7. Penahan silau
35
Ilustrasi Potongan RTH Jalur Hijau Jalan sebagai Koridor Visual
(Satu Jalur Kendaraan)
Ilustrasi Potongan RTH Jalur Hijau Jalan sebagai Koridor Visual (Dua Jalur Kendaraan)
(ilustrasi masih on progress)
A. Median Jalan
Median Jalan merupakan jalur pemisah yang membagi jalan menjadi dua
lajur atau lebih. Penempatan RTH Jalur Hijau Median Jalan sebagai bagian
dari RTH Jalur Hijau Jalan disesuaikan dengan persyaratan teknis
penghijauan di jalan raya dan fungsi tanamannya. RTH Jalur Hijau Median
36
harus memenuhi proporsi kehijauan sesuai dengan sistem jaringan dan
kelas jalan.
RTH Jalur Hijau Median Jalan memiliki beberapa fungsi sebagai berikut:
Elemen lanskap yang perlu disediakan pada RTH Jalur Hijau Median Jalan
adalah:
Ilustrasi Potongan RTH Median Jalan dengan aplikasi rain garden dan sumur resapan
(ilustrasi masih on progress)
37
Ilustrasi Potongan RTH Median Jalan sebagai pengarah pergerakan dan pembentuk
estetika kawasan (ilustrasi masih on progress)
RTH Pulau Jalan merupakan RTH yang terbentuk oleh geometris jalan
seperti pada persimpangan atau bundaran jalan. Penataan lansekap pada
persimpangan akan merupakan ciri dari persimpangan itu atau lokasi
setempat.
RTH Jalur Hijau Pulau Jalan memiliki beberapa fungsi jalur hijau tepi jalan,
yaitu:
d) Pembatas pandang
e) Pemecah angin
f) Peredam kebisingan
Ilustrasi RTH Pulau Jalan pada simpang pertigaan (ilustrasi masih on progress)
39
Ilustrasi RTH Pulau Jalan pada simpang perempatan (ilustrasi masih on progress)
RTH Jalur Hijau berupa Pulau Jalan pada jalan tol juga perlu diatur
dengan ketentuan geometrik persimpangan jalan. RTH Jalur Hijau berupa
Pulau Jalan memiliki jarak pandang yang berbeda mengikuti bentuk
persimpangan. RTH Jalur Hijau berupa Pulau Jalan dengan bentuk
bundaran dan diamond lebih sesuai untuk penanaman vegetasi dengan
ketinggian kurang dari 50 cm, sedangkan bentuk terompet dan semanggi
masih memiliki ruang untuk penanaman vegetasi berukuran lebih dari
50cm pada bagian tengah pulau-pulau jalannya. Ilustrasi penanaman
pada masing-masing bentuk pulau jalan digambarkan berikut ini:
40
Ilustrasi RTH Jalur Hijau Pulau Jalan pada area bundaran dan area simpang susun
(ilustrasi masih on progress)
41
Ilustrasi RTH Jalur Hijau Pulau Jalan pada area simpang susun berbentuk diamond
(ilustrasi masih on progress)
Ilustrasi RTH Jalur Hijau Pulau Jalan pada area simpang susun berbentuk diamond dan
semanggi/clover leaf (ilustrasi masih on progress)
42
a) Area tangkapan air hujan berupa permukaan hijau yang dilengkapi
dengan elemen kolam detensi/retensi, rain garden, bioswale, sumur
resapan, dan/atau biopori
RTH Jalur Hijau di Area Jalan Layang merupakan RTH yang terbentuk di
bawah, di samping, dan pada jalan layang sebagai area tangkapan dan
resapan air, area pereduksi polusi udara, serta pembentuk estetika
kawasan. Berdasarkan lokasi dan karakteristiknya, RTH Jalur Hijau di
Area Jalan Layang dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
Ilustrasi Jalur hijau di dinding pembatas jalan layang berupa planter box
43
(ilustrasi masih on progress)
Ilustrasi RTH Jalur Hijau Jalan pada dinding penahan tanah dan permukaan tanah
(ilustrasi masih on progress)
44
Kriteria vegetasi RTH jalur hijau jalan layang adalah:
Dapat hidup pada cahaya matahari langsung dan suhu udara panas
b) Penataan ruang di bawah jalan layang agar tertata dan memiliki nilai
estetika
Ilustrasi RTH Jalur Hijau di Bawah Jalan Layang (ilustrasi masih on progress)
46
Ilustrasi RTH Jalur Hijau pada tiang struktur di bawah jalan layang
(ilustrasi masih on progress)
RTH Jalur Hijau Pejalan Kaki adalah ruang terbuka hijau berupa jalur atau
koridor pada jalur yang disediakan bagi pejalan kaki pada tepi jalan atau
di dalam taman. Perencanaan RTH Jalur Hijau Pejalan Kaki harus
memenuhi hal-hal sebagai berikut:
a) Kenyamanan:
Orientasi dan tata informasi, berupa tanda visual (landmark, marka
jalan pada konteks lingkungan)
47
Kemudahan berpindah dari satu arah ke arah lainnya yang
dipengaruhi oleh kepadatan pejalan kaki/pedestrian, kehadiran
penghambat fisik, kondisi permukaan jalan, dan kondisi iklim.
Jalur pejalan kaki harus aksesibel untuk semua orang termasuk
penyandang cacat (ramah difabel/universal design)
48
Ilustrasi Penyediaan RTH Jalur Hijau Jalur Pejalan Kaki pada Jalan Arteri
(ilustrasi masih on progress)
Ilustrasi Penyediaan RTH Jalur Hijau Jalur Pejalan Kaki pada Jalan Kolektor
(ilustrasi masih on progress)
49
3) Koridor Jalan Lokal dan Lingkungan harus dilengkapi dengan jalur
hijau, dengan kriteria sebagai berikut:
Ilustrasi Penyediaan RTH Jalur Hijau Jalur Pejalan Kaki pada Jalan Lokal dan
Lingkungan (ilustrasi masih on progress)
a) Jalur hijau digabung dengan jalur sirkulasi, dengan lubang tanam 1x1 m
: pohon berukuran kecil - sedang
b) Jalur hijau terpisah dengan lebar < 1.20 m : pohon berukuran sedang
c) Jalur hijau terpisah dengan lebar > 1.20 m : pohon berukuran sedang –
besar
50
Ilustrasi Arahan dimensi jalur hijau pejalan kaki pada jalur hijau berukuran lebih dari
1,20 meter (ilustrasi masih on progress)
Ilustrasi Arahan dimensi jalur hijau pejalan kaki pada jalur hijau berukuran kurang dari
1,20 meter (ilustrasi masih on progress)
51
Ilustrasi Arahan dimensi jalur hijau pejalan kaki pada jalur hijau yang digabung dengan
jalur pejalan kaki (ilustrasi masih on progress)
52
2.1.4 Arahan Teknis RTH Kavling
53
ditambahkan elemen sumur resapan, dan atau bak
penampung/penyimpan air (reservoir/ground watertank).
54
(KDB diatas 90%), serta disesuaikan dengan ketentuan ruang hijau pada
setiap jenis bangunan.
RTH pada bangunan disediakan dengan pemasangan instalasi atau media
khusus sesuai dengan kriteria teknis bangunan. Aspek yang harus dihatikan
dalam pembuatan RTH bangunan adalah:
1) Struktur bangunan, terkait tambahan beban karena pembuatan RTH
pada dinding, koridor, teras, balkon, podium, dan atau atap bangunan
2) Sistem utilitas bangunan, yaitu penyiraman dan drainase.
3) Konstruksi RTH pada bangunan, yaitu terkait rangka penyangka,
wadah/tempat penanaman, material, dan lapisan kedap air
(waterproofing)
4) Penanaman pada RTH bangunan, meliputi media tanam, peralatan,
tanaman, dan kemudahan pemeliharaan tanaman
RTH pada bangunan dapat dibagi menjadi tujuh tipologi, yaitu: Taman Atap
(Roof Garden/Green Roof/Sky Garden), Taman Podium (Podium Garden),
Taman Balkon (Balcony Garden), Taman Koridor/Koridor Hijau (Corridor
Garden), Taman Vertikal (Green Wall/Vertical Garden), Taman dalam Pot
(Planter Box) dan Taman Kontainer (Container Garden).
55
Roof garden
Sky garden
Balcony garden
Corridor Garden
Podium garden
Green Wall
56
Taman atap intensif merupakan ruang terbuka hijau pada atap
bangunan dengan membuat tata penghijauan dengan stratifikasi
beragam (pohon kecil/perdu, semak, dan tanaman penutup
tanah/groundcover).
57
Ilustrasi Vertical Garden tipe Climbers (ilustrasi masih onprogress)
58
Ilustrasi Vertical Garden tipe Trailer/Free Fall (ilustrasi masih onprogress)
59
Ilustrasi Vertical Garden tipe Pre-fab (ilustrasi masih onprogress)
60
ketersedian air, ruang retensi/pengendali banjir, ruang tampungan air
tanah, penyerap karbon, menurunkan suhu ekologi wilayah kota dan
memiliki fungsi tambahan berupa biodiversitas.
a. Aliran Sungai
b. Kanal
Alur atau badan air buatan berupa saluran menerus dibatasi dinding fisik
(beton, batu kali, dll) beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai
muara. Berfungsi sebagai sebagai pengendali banjir, sebagai jalur
transportasi, sebagai ruang publik kota, sebagai habitat/ekosistem air,
dll. Fungsi ekologis pendukung selain pada sempadan kanal dapat
diaplikasikan pada area dinding kanal berupa planter box dengan vegetasi
61
menjuntai atau merambat. Pada badan kanal dapat ditambahkan elemen
bebatuan untuk menahan laju air serta sebagai habitat hewan air (ikan,
katak, siput, dll).
d. Waduk/Embung/Setu/Empang
e. Mata Air
Titik munculnya air dari dalam tanah yang bersumber dari akuifer menuju
permukaan tanah. Kawasan imbuhan mata air, yaitu kawasan yang
berfungsi menampung air yang berasal dari titik mata air. Mata air
berfungsi sebagai sumber air bersih yang digunakan untuk kebutuhan
mahluk hidup. Titik mata air beserta area imbuhannya harus dijaga dan
dilindungi. Perlindungan mata air dan imbuhannya dilakukan dengan
inventarisasi dan identifikasi mata air, penetapan batas sempadan mata
air, pencegahan pembuangan limbah pada batas dilindungi, pengendalian
62
kegiatan pembangunan dan pemanfaatan lahan.
f. Rawa/Wetland
g. Constructed wetland
h. Biopori
i. Sumur resapan
63
diameter antara 10 cm higga 2 m dengan kedalaman 1.5 m dengan struktur
tanah harus mempunyai kemampuan permeabilitas (menyerap air).
Sumur resapan berfungsi untuk meresapkan air hujan dari atap bangunan
ke dalam tanah melalui lubang sumuran.
j. Bioswale
k. Rain garden
64
kolam, danau/situ, dan waduk dengan fungsi detensi/retensi
4. Area dengan fungsi ameliorasi iklim dan pereduksi polusi udara
5. Area perlindungan lahan kritis
6. Area pemakaman umum
7. Area rekreasi dan olahraga masyarakat
8. Area yang membentuk karakteristik bentang alam dan identitas wilayah
kota/kawasan perkotaan.
65
persampahan)
8. Indikasi program untuk mewujudkan
penyediaan RTH pada masing-masing
kawasan
9. Arahan pengelolaan dan pemeliharaan RTH
2. Kota dimaksud dalam poin 1 adalah kota dalam skala Kota Besar
dan/atau Kota Metropolitan (misal DKI Jakarta, Surabaya, Medan,
Yogyakarta, Bandung, Semarang, dll) yang memiliki RTH Publik di
bawah 10% dan memiliki kesulitan untuk meningkatkan RTH di
dalam wilayahnya.
66
6. 50% untuk wilayah pemerintah daerah/Penyedia Lahan (misal
Pemprov Jabar, Pemprov Banten, Pemkab Bogor, Pemkot Bogor,
Pemkot Depok, Pemkot Tangerang, Pemkot Tangerang Selatan,
Pemkab Bekasi)
10. Ruang terbuka hijau di perkotaan terdiri dari RTH Publik, RTH
Privat, dan RTH Publik pada Kepemilikan Privat
11. Pemenuhan proporsi RTH pada wilayah Kota terdiri dari tiga opsi:
12. Sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% RTH Publik dan 10% RTH
Privat
13. Sebesar minimal 30% yang terdiri dari 10% RTH Publik yang
menerapkan Indeks Hijau-Biru Indonesia (IHBI), 10% RTH Privat,
dan 10% RTH Publik pada Kepemilikan Privat
14. Sebesar minimal 10% RTH Publik yang menerapkan IHBI, 10% RTH
Privat, dan 10% RTH dari Kepemilikan Bersama (jointly claimed)
yang diatur dalam MoU Penyediaan RTH pada Wilayah Kota dengan
status defisit RTH yang disupervisi oleh Kementerian ATR BPN
15. Apabila luas RTH Publik dan RTH Privat di Wilayah Kota lebih besar
dari peraturan dan perundangan yang berlaku (Pemenuhan RTH
30%), maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan
67
keberadaannya dan atau diperkenankan dikerjasamakan atau
kelola bersama dalam penyediaan RTH untuk wilayah Kota yang
mengalami kekurangan RTH (wilayah defisit RTH) melalui
Penyediaan RTH dengan Skema Pengakuan Bersama (jointly
claimed RTH)
16. Apabila luas area hijau non RTH luar Kawasan Perkotaan di
Wilayah Kabupaten lebih besar dari peraturan dan perundangan
yang berlaku (Pemenuhan RTH 30%), maka proporsi tersebut
harus tetap dipertahankan keberadaannya atau diperkenankan
dikerjasamakan atau kelola bersama dalam penyediaan RTH untuk
wilayah Kota yang mengalami kekurangan RTH (wilayah defisit
RTH) melalui Penyediaan RTH dengan Skema Pengakuan Bersama
(jointly claimed RTH)
68
yang lebih besar
d. Kontribusi terhadap penanggulangan bencana dalam wilayah
kota (perlindungan terhadap area rawan bencana, menyediakan
rute dan area evakuasi, dan rehabilitasi paska bencana)
e. Kontribusi RTH dalam membentuk karakteristik dan identitas
wilayah kota
f. Kontribusi RTH sebagai bagian dari area fasilitas umum, fasilitas
kesehatan, rekreasi
KATEGORI 2 (WK 1 s.d 4):
KOTA DENGAN KONDISI EKSISTING RTH BELUM MEMENUHI PROPORSI 30%,
UNTUK RTH PUBLIK MEMENUHI 20%
a. Kota yang belum dapat memenuhi RTH Publik sebesar 20%, wajib
mengidentifikasi kendala dalam pemenuhan RTH, seperti:
1. Identifikasi keterbatasan lahan untuk dijadikan RTH publik
2. mengidentifikasi ketersediaan lahan publik dan privat yang
potensial untuk dijadikan RTH
3. Identifikasi kemampuan keuangan daerah dalam pengadaan
lahan RTH
4. Identifikasi kemampuan lembaga daerah
5. Kota tersebut perlu meningkatkan kuantitas dan kualitas pada
RTH eksisting melalui perhitungan Indeks Hijau-Biru
Indonesia (IHBI)
b. Kota tersebut perlu meningkatkan kuantitas dan kualitas pada
asset lahan dan bangunan pemerintah melalui penerapan Indeks
Hijau-Biru Indonesia (IHBI)
c. Kota tersebut perlu meningkatkan kuantitas dan kualitas pada
asset lahan dan bangunan pemerintah melalui penerapan Indeks
Hijau-Biru Indonesia (IHBI)
d. Kota tersebut dapat meningkatkan RTH Publik melalui skema
perhitungan IHBI, skema pengakuan bersama (jointly claimed),
dan skema publik kepemilikan bersama
69
b. Pemenuhan RTH berdasarkan jumlah penduduk
1. Wilayah Kota diarahkan untuk menyediakan RTH berdasarkan jumlah
penduduk dalam upaya pemenuhan 20% RTH Publik.
2. Berdasarkan rekomendasi WHO, standar minimal RTH Kota adalah 9
m2/jiwa.
3. Pertimbangan kebutuhan ekologis dalam menentukan kebutuhan RTH
dapat dihitung berdasarkan Daya Dukung Kawasan (Kebutuhan Air dan
Oksigen), Kebencanaan,
4. Pertimbangan kebutuhan Ruang Kesehatan dan Kesejahteraan (Health
and Well-being) yang mewadahi interaksi sosial dan budaya sebagai
bagian dari area fasilitas umum, fasilitas kesehatan, dan fasilitas
rekreasi dalam jarak tempuh pejalan kaki (per 350 m).
70
pejalan kaki (per 350 meter) yang terkoneksi dengan jalur atau koridor
hijau-bir
c. Perancangan RTH;
72
masyarakat termasuk pengembang disesuaikan dengan ketentuan
perijinan pembangunan;
73
yaitu:
74
5 Wilayah Kota Sangat Kecil (WK-V):
Wilayah Kota kategori Sangat Kecil (WK-V)
dengan wilayah kota yang memiliki
prosentase RTH kurang dari 10 persen dari
wilayah administrasi kotanya.
KETENTUAN:
1. Bagi Kategori Kota WK-I sd WK-IV, pemenuhan RTH minimal 30% sesuai
amanah UU No 26/2007 dan UUCK No 11/2020 selain dapat dilakukan
melalui penambahan lahan-lahan hijau baru melalui mekanisme
pembelian/pembebasan lahan, namun dapat juga dilakukan dengan cara,
misalnya: meningkatkan kualitas RTH existing dengan
menambahkan/melengkapi stratifikasi vegetasi di lokasi RTH existing,
penggunaan material perkerasan ramah lingkungan, peningkatan RTH
Bangunan. Mekanisme penambahan persentase RTH dilakukan dengan
menggunakan pendekatan Indeks Hijau Biru Indonesia (IHBI, lihat
pasal....ayat...). Selain itu, penambahan persentase RTH dapat dilakukan
dengan Pengakuan Bersama (Jointly Claimed) dan skema Ruang Publik
Kepemilikan Privat (Privately-owned Public Space) (Lihat pasal x ayat y).
Penjelasan Rinci dan tata cara penggunaan IHBI, skema Pengakuan
Bersama (Jointly Claimed) dan skema Ruang Publik Kepemilikan Privat
(Privately-owned Public Space) akan dijelaskan dalam Petunjuk Teknis
yang merujuk kepada Permen ini.
2. Bagi Kategori WK-V yang sudah memenuhi RTH lebih besar atau sama
dengan 30%, maka RTH existing harus dipertahankan dan ditingkatkan baik
kuantitas maupun kualitas melalui skema pengembangan Indeks Hijau-
75
Biru Indonesia (IHBI), skema Pengakuan Bersama (Jointly Claimed) dan
skema Ruang Publik Kepemilikan Privat (Privately-owned Public Space).
3. Bagi seluruh kategori WK I-V yang memiliki Ruang Terbuka Biru (RTB)
misalnya sungai, danau, situ, waduk, embung, empang, kolam, dsb.
76
Bagi kawasan perkotaan di wilayah
kabupaten kategori II (KP-II), prosentase
RTH di dalam kawasan perkotaan
diwajibkan mencapai minimal atau lebih
besar dari 15%.
77
diwajibkan mencapai minimal atau lebih
besar dari 25%
5 Kawasan Perkotaan di wilayah Kabupaten
kategori V (KP-V):
Wilayah kabupaten yang persentase luas
kawasan perkotaan dari luas total wilayah
kabupatennya antara 40% - 50 % dan luas
area hijau non RTH di luar kawasan
perencanaanya adalah antara 50%-60%.
a. Perangkat Daerah;
b. BUMN/BUMD;
c. Badan Usaha;
d. Masyarakat;
e. Akademisi; dan
f. Pihak terkait lainnya.
78
Bentuk kerja sama dengan Perangkat Daerah termasuk dengan Pemerintah Pusat
dapat dilakukan dalam hal penyediaan lahan, koordinasi antar sektor, atau dalam
penyelenggaraan program dan kegiatan multisektor. BUMD termasuk badan
usaha milik swasta dapat berperan aktif dalam penyediaan dan pemanfataan RTH
melalui permodalan berupa hibah dana, sumber daya manusia, maupun sumber
daya teknologi, pembagian modal dan Corporate Social Responsibility (CSR), atau
dapat berupa sub-supplier dan product supplier dalam mengelola RTH. Kerja
sama dengan masyarakat dapat dilakukan dalam penyediaan lahan, sumber daya
manusia, serta pembentukan persatuan warga dan forum aspirasi warga.
Akademisi dapat dilibatkan dalam bantuan teknis maupun penelitian dan
pengembangan RTH. Begitu pula dengan pihak lain yang terkait dengan RTH
seperti lembaga donor dapat berpartisipasi dalam permodalan berupa hibah dana,
sumber daya manusia maupun teknologi.
Kesepakatan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi dengan mitra kerja sama
dapat didahului dengan nota kesepahaman (MoU) pada jangka waktu tertentu yang
kemudian dapat dilanjutkan sebagai perjanjian kerja sama yang mengikat
stakeholders terkait. Begitu pun dalam hal penyertaan modal yang digunakan baik
dalam pembangunan, pengembangan, maupun pengelolaan RTH.
79
2. Meminimalkan konflik, sehingga mempercepat proses kegiatan secara
keseluruhan, serta terbangunnya suatu ikatan di masyarakat;
3. Menghasilkan keputusan yang efektif dan efisien serta sesuai dengan kondisi
kebutuhan, keinginan, maupun sumber daya di masyarakat; dan
80
Tahapan perencanaan partisipatif dapat dilakuan sebagai berikut:
81
2.5.3 Skema Insentif dan Disinsentif
Pemberian insentif dan disinsentif dilakukan sebagai alat untuk mencegah adanya
pelanggaran dalam tata ruang dan peningkatan kuantitas serta kualitas RTH di
Kawasan perkotaan. Terdapat beberapa pertimbangan dalam alokasi dan
distribusi insentif/disinsentif, di antaranya, adalah:
82
1. Insentif – Disinsentif Antar pemerintah Daerah
Insentif dan disinsentif dapat diberlakukan pada pola kerjasama antar pemerintah
daerah, baik yang berbatasan maupun tidak. Insentif diberikan kepada pemerintah
daerah lain menerima ketidaknyamanan dan ancaman dampak negatif
daripemanfaatan ruang secara bersama. Disinsentif dikenakan pada pemerintah
daerah yang lebih banyak merasakan keuntungan dari adanya kerja sama
pemanfaatan ruang atau sumber daya alam secara bersama. Kombinasi dari
model kerjasama ini adalah berupa subsidi silang dari daerah yang
penyelenggaraan pemanfaatan ruangnya memberikan dampak negatif kepada
daerah lain (yang dirugikan).
83