Anda di halaman 1dari 77

PENYUSUNAN RENCANA AKSI DAERAH (RAD) PEGENDALIAN EMISI GAS

RUMAH KACA (GRK)


BAB I
PENDEKATAN TEKNIS DAN METODOLOGI
1.1 LATAR BELAKANG
Komitmen Indonesia terhadap perubahan iklim telah disampaikan pada
pertemuan G-20 Pittsburgh dan COP15 dengan 26% (dua puluh enam persen)
pengurangan GRK menggunakan sumberdaya dalam negeri dan 41% (empat
puluh persen) pengurangan GRK dengan kerjasama internasional di tahun
2030. Pemerintah berupaya mengintegrasikan perubahan iklim melalui
pengarusutamaan isu ini ke dalam 3 (tiga) prioritas nasional yaitu pemenuhan
ketersediaan pangan, energi, dan manajemen bencana dan lingkungan. Masing-
masing prioritas tersebut telah difokuskan kepada program mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim (khususnya ketersediaan pangan), pengembangan
energi alternatif, dan program konversi gas (khususnya energi).
Komitmen Pemerintah Pusat dalam pengarusutamaan perubahan iklim
telah dicantumkan dalam Rencana Aksi Nasional Percepatan Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan melalui perumusan Rencana Aksi
Nasional (RAN) – Gas Rumah Kaca. Rencana aksi ini bahkan lebih bersifat teknis
dan implementatif dengan menempatkan Pemerintah Daerah sebagai bagian
terintegrasi upaya penurunan emisi Gas Rumah Kaca.
Peran dan komitmen pemerintah kabupaten/kota merupakan hal yang
krusial dalam pengarusutamaan perubahan iklim. Kabupaten/Kota sebagai
pusat pertumbuhan ekonomi dan konsentrasi penduduk secara geografis
merupakan penyumbang utama emisi gas rumah kaca sekaligus yang paling
rentan terhadap dampak perubahan iklim. Hal ini menjadikan masalah
ketersediaan udara bersih, air bersih, makanan, dan energi menjadi prioritas
yang perlu mendapatkan perhatian setiap tahunnya.
Kabupaten Cilacap merupakan salah satu lokasi Proyek Strategis
Nasional (PSN), Sebagai salah satu lokasi PSN selain meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah,
disisi lain juga berpotensi meningkatkan emisi Gas Rumah Kaca. Berdasarkan
Inventarisasi emisi GRK Tahun 2020, pada tahun 2014 Kabupaten Cilacap
berkonstribusi terhadap emisi GRK sebesar 10.118.049,55 ton CO2e dan tahun
2018 naik menjadi 21.398.494,36 ton CO2e atau setara dengan 28% dari total
emisi GRK Kabupaten Jawa Tengah sebesar 74.672.900 ton CO2e. Status dan
tingkat emisi terkini juga akan memberikan gambaran mengenai keberhasilan
rencana aksi/program mitigasi yang telah dilakukan. Kabupaten Cilacap telah
menyusun Business As Usual (BAU) berupa proyeksi emisi GRK tahun 2020-
2030. Hasil penyusunan BAU digunakan untuk menentukan rencana aksi dan
target penurunan emisi GRK akan melaksanakan kegiatan pengarusutamaan
perubahan iklim melalui Rencana Aksi Daerah (RAD) Mitigasi Penurunan
Emisi GRK dan Rencana Aksi Daerah (RAD) Adaptasi Dampak Perubahan
Iklim.
1.2 MAKSUD, TUJUAN DAN SASARAN
1. Maksud
Penyusunan Kajian RAD Penurunan Emisi GRK dan RAD Adaptasi
Dampak Perubahan Iklim Kabupaten Cilacap dimaksudkan sebagai acuan
bagi penyelenggara, dan pemangku kepentingan lainnya dalam
melaksanakan penyelenggaraan rencana aksi upaya penurunan emisi GRK
( mitigasi ) dan upaya adaptasi dampak perubahan iklim secara terpadu
dengan semua pemangku kepentingan yang terlibat baik dari pemerintah,
organisasi kemasyarakatan, masyarakat, swasta dan lain-lain.
2. Tujuan
Penyusunan Kajian RAD Penurunan Emisi GRK dan RAD Adaptasi
Dampak Perubahan Iklim Kabupaten Cilacap antara lain :
a. Memberikan arahan untuk pengarusutamaan isu mitigasi dan adaptasi
dampak perubahan iklim dalam proses pembangunan daerah.
b. Menyediakan arahan tiap sektor dan lintas sektor untuk aksi mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim yang sinergis dan upaya membangun sistem
komunikasi serta koordinasi yang lebih efektif dalam perencanaan jangka
pendek, jangka menengah dan jangka panjang.
c. Menyelenggarakan sistem fisik (teknik) dan non fisik (kelembagaan,
manajemen, keuangan, peran masyarakat, dan hukum) dalam kesatuan
yang utuh dan terintegrasi dengan prasarana dan sarana.
d. Memenuhi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia secara
berkelanjutan dalam rangka upaya pemeliharaan lingkungan yang sehat
dan nyaman.
3. Sasaran
Sasaran dari kegiatan ini bagi Pemerintah Kabupaten Cilacap
khususnya Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Cilacap adalah menyediakan
informasi dan data rencana aksi daerah dalam upaya pencapaian target
penurunan emisi GRK sebesar 1-2 % pertahun atau 10% sampai tahun 2030
berdasarkan kegiatan yang telah teridentifikasi di Kabupaten Cilacap.
1.3 DAERAH/LOKASI PEKERJAAN
Lokasi pekerjaan di Kabupaten Cilacap

1.4 RUANG LINGKUP PEKERJAAN


Ruang lingkup Pekerjaan Penyusunan Identifikasi dn Inventarisasi Aksi
Mitigasi Penurunan Gas Rumah Kaca Kabupaten Cilacap antara lain :
1. Regulasi Pengendalian Dampak Perubahan Iklim yaitu :
a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations
Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja
Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim) (Lembara
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3557);
b. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto
Protokol to the United Nations Framework Convention on Climate Change
(Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-
Bangsa tentang Perubahan Iklim (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4403);
c. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846);
d. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi
dan Geofisika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5058);
e. Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa Pemerintah, Pemerintah Propinsi,
Kabupaten/Kota melakukan inventarisasi emisi GRK (pasal 63);
f. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris
Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate
Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan
Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim) (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 204, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5939);
g. Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan
Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional;
h. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 8);
i. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia No. 15 Tahun
2013 tentang Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi Aksi Mitigasi
Perubahan Iklim Nasional;
j. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
Nomor P.18/MENLHK-II/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 713);
k. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia
Nomor : P.73 / Menlhk / Setjen / Kum.1 / 12 / 2017 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Dan Pelaporan inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional;
l. Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 43 Tahun 2012 tentang Rencana
Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca.
2. Acuan data dasar yang digunakan dalam penyusunan Rencana Aksi Daerah
(RAD) Penurunan Emisi GRK dan Rencana Aksi Daerah (RAD) Adaptasi
Dampak Perubahan Iklim di Kabupaten Cilacap adalah RPJPD Kabupaten
Cilacap tahun 2017- 2022; RTRW Kabupaten Cilacap tahun 2011-2030;
Renstra Perangkat Daerah Terkait; Laporan Profil GRK Kabupaten Cilacap
tahun 2014; Laporan Inventarisasi GRK Kabupaten Cilacap Tahun 2015-
2019; Kajian Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan; Data lainnya
yang terkait; serta Beberapa studi terdahulu apabila memungkinkan dapat
digunakan sebagai acuan/referensi untuk kegiatan.
3. Penghitungan penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) Penurunan Emisi
GRK (Mitigasi) dan Adaptasi Dampak Perubahan Iklim di Kabupaten Cilacap
dilakukan dengan metode dari IPCC yang juga digunakan oleh nasional
sesuai dengan Pedoman umum dan petunjuk teknis Pemantauan, Evaluasi
dan Pelaporan Pelaksanaan RAN dan RAD-GRK. Penghitungan capaian
rencana aksi penurunan emisi GRK dan adaptasi dampak perubahan iklim
akan dilakukan oleh tenaga ahli. Hasil penghitungan akan disusun dalam
sebuah laporan yang akan dikonsultasikan kembali dengan OPD terkait
untuk mendapatkan masukan dan revisi.
4. Bentuk keluaran yang diharapkan dalam kegiatan ini antara lain :
a. Rekomendasi Rencana Aksi Daerah (RAD) Penurunan Emisi GRK
(Mitigasi) dan Adaptasi Dampak Perubahan Iklim, dilakukan
berdasarkan Standar Teknis Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan
Iklim (RANAPI), Pedoman Penyusunan Rencana Aksi Nasional
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Pedoman Penyusunan Rencana
Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca.
Memberikan arahan untuk pengarusutamaan isu mitigasi dan
adaptasi dampak perubahan iklim dalam proses pembangunan daerah
yang dapat dilakukan Kabupaten Cilacap dalam Perencanaan
Pembangunan Rendah Karbon untuk 5 tahun ke depan ( Tahun 2023-
2028 ).
b. Sosialisasi hasil penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) Penurunan
Emisi GRK (Mitigasi) dan Adaptasi Dampak Perubahan Iklim,
Hasil masukan dan revisi dari SKPD terkait akan digunakan untuk
penyempurnaan laporan hingga menjadi Laporan Akhir Rencana Aksi
Daerah (RAD) Penurunan Emisi GRK (Mitigasi) dan Adaptasi Dampak
Perubahan Iklim Kabupaten Cilacap Tahun 2021 dan rekomendasi aksi
mitigasi untuk penyusunan dokumen perencanaan pembangunan
rendah karbon.
1.5 PROFIL WILAYAH STUDI
Profil Geografi dan Demografi

Kabupaten Cilacap merupakan daerah yang cukup luas. Kabupaten Cilacap


terletak pada 108º4’30“– 109º22’30“garis Bujur Timur dan 7º30’20“ – 7º45’
Garis Lintang Selatan, dengan luas wilayah 225.361 Km2. Kabupaten Cilacap
secara geografis berada di bagian wilayah selatan Kabupaten Jawa Tengah
berhadapan langsung dengan perairan Samudera Hindia, dengan panjang garis
pantai sekitar 105 km, yang dimulai dari bagian timur pantai Desa Jetis
Kecamatan Nusawungu ke arah barat hingga Ujung Kulon Pulau
Nusakambangan berbatasan dengan Kabupaten Jawa Barat.
Wilayah Kabupaten Cilacap ini terbagi atas 24 Kecamatan, 269 Desa dan
15 Kelurahan. Pemerintah juga didukung oleh Lembaga tingkat desa/kelurahan
yaitu RT dan RW. Lembaga tingkat desa / kelurahan tersebut terdiri dari 10.445
Rukun Tetangga (RT) dan 2.319 Rukun Warga (RW). Secara administratif
Kabupaten Cilacap berbatasan dengan:
- Batas Utara: Kabupaten Brebes, Kabupaten Kuningan
- Batas Selatan: Samudera Hindia
- Batas Timur: Kabupaten Kebumen, Kabupaten Banyumas
- Batas Barat: Kabupaten Ciamis (Kabupaten Jawa Barat)
Gambar 1. Peta Wilayah Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah

Sepanjang tahun 2020, curah hujan terbesar terjadi di Bulan November


yang tercatat 826,70 mm, sementara hari hujan terbanyak terjadi di Bulan
Desember sebanyak 28 hari. Suhu minimum sepanjang tahun 2020 terjadi pada
bulan Agustus (20,50°C) dan suhu maksimum terjadi pada Bulan Januari
sebesar 34,10°C. Rata-rata suhu udara pada tahun 2020 sekitar 27,61°C.

Jumlah penduduk kabupaten Cilacap pada September 2020 sebanyak


1.944.857 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,84 persen
per tahun. Jumlah tersebut menduduki peringkat kedua pada Kabupaten Jawa
Tengah, setelah Kabupaten Brebes. Jumlah penduduk di Kabupaten Cilacap
selalu mengalami peningkatan selama 5 dasawarsa terakhir. Laju pertumbuhan
penduduk Kabupaten Cilacap bernilai positif pada kisaran 1 persen. Laju
pertumbuhan penduduk pada tahun 2020 mencapai 1,84 persen, lebih tinggi
dari Jawa Tengah yang bernilai 1,17 persen. Merupakan laju
pertumbuhan penduduk paling tinggi semenjak pelaksanaan Sensus 1980.
Komposisi penduduk Kabupaten Cilacap pada tahun 2020 didominasi oleh
usia produktif dan jumlah bayi yang lebih sedikit dibandingkan tahun 2010.

Sumber: Potret Sensus Penduduk 2020 Kabupaten Cilacap

Jumlah dan pertumbuhan penduduk Kabupaten Cilacap dari tahun 1980-2020

Sumber: Potret Sensus Penduduk 2020 Kabupaten Cilacap

Gambar 2. Piramida Penduduk Kabupaten Cilacap tahun 2020

Rasio jenis kelamin adalah perbandingan jumlah penduduk laki-laki


dibandingkan perempuan dalam suatu wilayah. Rasio jenis kelamin penduduk
Kabupaten Cilacap tahun 2020 adalah 102, artinya jumlah penduduk laki-laki
lebih banyak dibandingkan perempuan. Jika dibagi berdasarkan kelompok
umur, rasio jenis kelamin penduduk sampai dengan kelompok usia 40 tahun
masih menunjukkan dominasi penduduk laki-laki. Untuk kelompok umur di
atas 40 tahun, komposisi penduduk perempuan lebih banyak.

Sebaran penduduk Kabupaten Cilacap menurut kelompok umur


terkonsentrasi pada usia produktif yaitu 15-54 tahun. Persentase terbesar
terdapat pada kelompok umur 20-24 tahun yaitu sebesar 8,14 persen dari total
jumlah penduduk. Jika melihat dari sebarannya, maka Cilacap sudah memasuki
fase bonus demografi dimana struktur penduduk ditopang oleh dominasi
kelompok muda. Hal tersebut harus dimanfaatkan untuk mempercepat
pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.

Berdasarkan hasil Sakernas, jumlah angkatan kerja di Kabupaten Cilacap


Tengah tahun 2020 mencapai 888.218 jiwa. Tingkat partisipasi angkatan kerja
penduduk Kabupaten Cilacap tercatat sebesar 67,79 persen. Sedangkan tingkat
pengangguran terbuka di Kabupaten Cilacap sebesar 9,10 persen. Jumlah
penduduk yang bekerja pada Agustus 2020 sebesar 807.407 orang. Sektor 3
(Jasa) merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja, dengan
menyerap 321.065 orang (39,76 persen) pekerja, sementara sektor 2
(Manufaktur) yang paling sedikit menyerap tenaga kerja, yaitu hanya menyerap
230.001orang (31,75 persen) pekerja.

Proporsi terbesar pekerja pada Agustus 2020 masih didominasi oleh


buruh/karyawan/pegawai sebesar 24,24 persen atau 195.679 orang.
Sementara proporsi terkecil pekerja adalah pekerja berusaha dibantu buruh
tetap/buruh dibayar hanya sebesar 2,93 persen atau 23.639 orang.

Topografi wilayah Kabupaten Cilacap terdiri dari permukaan landau dan


perbukitan dengan ketinggian antara 6 – 198 m dari permukaan laut.
Wilayah topografi terendah pada umumnya di bagian selatan yang
merupakan daerah pesisir dengan ketinggian antara 6 – 12 m dpl, yang meliputi
dari wilayah Cilacap Timur yaitu Kecamatan Nusawungu, Binangun, Adipala,
Sebagian Kesugihan, Cilacap Utara, Cilacap Tengah, Cilacap Selatan,
Kampung Laut, dan sebagian Kawunganten. Sedangkan topografi yang
termasuk dataran rendah dan sedikit berbukit antara lain Kecamatan
Jeruklegi, Maos, Sampang, Kroya, Kedungreja, dan Patimuan dengan ketinggian
antara 8 – 75 m dpl.

Sedangkan topografi yang termasuk dataran tinggi atau perbukitan


meliputi wilayah Cilacap bagian barat yaitu Kecamatan Daeyeuhluhur,
Wanareja, Majenang, Cimanggu, Karangpucung, dengan ketinggian antara 75 –
198 m dpl, dan Kecamatan Cipari, Sidareja, Sebagian Gandrungmangu, dan
Sebagian Kawunganten dengan ketinggian antara 23 – 75 m dpl.

Daerah pesisir Kabupaten Cilacap merupakan kawasan yang mempunyai


suatu ekosistem sangat unik yang ada di bagian selatan Pulau Jawa. Kawasan
perairan pesisir yang banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik lingkungan
eksternal dari aktivitas daratan, pengaruh masa air sungai dan muatan sedimen
melalui proses hidro‐oseanografis yang terjadi hingga ke tengah laut pada
radius sekitar 5 mil, sehingga terjadi proses pengkayaan unsur hara seperti
nitrat dan posfat yang penting bagi fotosintesis biomasa fitoplankton perairan.

Berdasarkan ciri karakteristik litologi, lingkungan pengendapan, maupun


fasenya, sebagian Wilayah Kabupaten Cilacap termasuk ke dalam Lajur Zona
Pegunungan Selatan (Pulau Nusakambangan), sebagian Lajur Tekukan Tengah
(meliputi Wilayah Kecamatan Dayeuhluhur, Wanareja, Majenang, Sidareja dan
Kedungreja bagian utara), dan sebagian lagi termasuk dalam rangakain
Pegunungan Serayu Selatan. Pulau Nusakambangan merupakan kelanjutan
Pegunungan Selatan yang membujur di bagian selatan Pulau Jawa dari bagian
timur (sekitar Blambangan di Jawa Timur) hingga bagian barat (sekitar
Pelabuhan Ratu di Jawa Barat) namun terputus‐putus oleh blok turun (Graben)
di beberapa tempat antara lain Yogyakarta dan dataran aluvial Kebumen.
Penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan kejadian geologi kuarter di
wilyah Kabupaten Cilacap menunjukkan bawah, Kabupaten Cilacap sebagai
salah satu wilayah pesisir pantai selatan merupakan zona sesar Citanduy bagian
tenggara. Daerah ini merupakan pematang yang dibatasi oleh tinggian
Nusakambangan dan Jeruklegi. Sedimetasi di daerah ini diisi oleh sedimentasi
gravitasi, endapan kuarter berupa satuan endapan pantai, endapan fluvial dan
endapan sungai tua. Di wilayah Kabupaten Cilacap terdapat 2 fasies litologi,
yaitu fasies pasit dengan lingkungan pengendapan pantai dan fasies lempung
dengan lingkungan laut dangkal (shallow marine), sedangkan dari palinologi
mencerminkan lingkungan mangrove. Sifat lapisan pasir menunjukkan tingkat
kepadatan dari agak padat hingga padat dan beberapa daerah sangat padat
dengan nilai ekuatan 9 hingga 23 tumbukan. Sedangkan pada lapisan lempung
dengan tingkat kepadatan dari agak padat hingga padat dengan nilai kekuatan
11 hingga 15 tumbukan. Semakin dalam daya dukung tanah di wilayah
Kabupaten Cilacap cenderung semakin kecil nilai kekuatan tumbukan maupun
sifat keteknikannya, sehingga memerlukan perbaikan pemadatan, terutama
untuk konstruksi infrastruktur dengan beban yang cukup besar.

Profil Pariwisata

Pada tahun 2020 banyaknya usaha akomodasi hotel di Jawa Tengah


sebanyak 56 usaha dimana 14 adalah hotel dengan klasifikasi bintang dan 42
dengan klasifikasi non bintang. Jumlah kamar hotel tercatat 1.597 kamar terdiri
dari 875 kamar hotel dengan klasifikasi bintang dan 722 kamar non bintang.
Sedangkan jumlah tempat tidur tercatat 2.294 tempat tidur, terdiri dari 1.330
tempat tidur hotel bintang dan 964 tempat tidur hotel non bintang.
Sumber: Cilacap dalam angka, 2021

Gambar 3. Banyaknya Hotel/Losmen, Kamar tidur Dirinci menurut Kecamatan


di Kabupaten Cilacap tidur dan tempat, 2020
Sumber: Cilacap dalam angka, 2021

Gambar 4. Persentase akomodasi Hotel Menurut Bulan di Kabupaten Cilacap


tingkat Penghunian Kamar (tPK), 2020

Sumber: Cilacap dalam angka, 2021


Gambar 5. Rata-rata Lama Menginap tamu (hari) Pada akomodasi Hotel
Menurut Bulan di Kabupaten Cilacap, 2020

Pengunjung obyek wisata di Kabupaten Cilacap dalam beberapa tahun


terakhir mengalami fluktuasi. Pada tahun 2017, jumlah wisatawan sebanyak
638.395 pengunjung, tahun 2018 turun menjadi 424.900 pengunjung, tahun
2019 kembali turun cukup tajam menjadi 46.799 pengunjung. Jumlah
pengunjung obyek wisata di tahun 2020 naik kembali menjadi 270.908
pengunjung. Obyek wisata di daerah pesisir selatan pada tahun 2020 tidak
tercatat pemasukan/retribusinya dikarenakan adanya perubahan pengelola
dari pemerintah kabupaten kepada pihak TNI Angkatan darat selaku pengelola
lahan pesisir pantai.

Sumber: Cilacap dalam angka, 2021


Gambar 6. Jumlah Kunjungan wisatawan Menurut Obyek wisata di Kabupaten
Cilacap, 2020

Sumber: Kab. Cilacap dalam angka, 2021

Gambar 7. Banyaknya Pengunjung Obyek yang Dihasilkan dirinci per Bulan


wisata dan Pendapatan tahun 2020
Sumber: Kab. Cilacap dalam angka, 2021
Gambar 8. Banyaknya Pengunjung Obyek yang Dihasilkan dirinci per Bulan
wisata dan Pendapatan tahun 2020
1.6 TINJAUAN PUSTAKA
1.6.1. Pengertian Gas Rumah Kaca
Gas rumah kaca adalah gas yang terkandung dalam atmosfer,
baik alami maupun dari kegiatan manusia ( antropogenik), yang
menyerap dan memancarkan kembali radiasi inframerah. Sebagian
radiasi matahari dalam bentuk gelombang pendek yang diterima
permukaan bumi dipancarkan kembali ke atmosfer dalam bentuk
radiasi gelombang panjang (radiasi infra merah). Radiasi gelombang
panjang yang dipancarkan ini oleh GRK yang ada pada lapisan
atmosfer bawah, dekat dengan permukaan bumi akan diserap dan
menimbulkan efek panas yang dikenal sebagai efek rumah kaca
(Kementerian Lingkungan Hidup, 2012).
Menurut UNFCCC, ada 6 jenis gas yang digolongkan menjadi
GRK, yaitu karbon dioksida (CO2), dinitro oksida (N2O), metana (CH4),
sulfurheksaflorida (SF6), perflorokarbon (PFCs), dan hidroflorocarbon
(HFCs). Dari semua jenis gas tersebut, GRK utama ialah CO 2, CH4, dan
N2O. Dari ketiga jenis gas ini, yang paling banyak kandungannya di
atmosfer ialah CO2 sedangkan yang lainnya sedikit. Meskipun
konsentrasi gas CH4 dan N2O sedikit, tetapi kemampuan potensi
pemanasan global gas tersebut lebih tinggi. Berikut ini adalah
kemampuan potensi pemanasan global menurut IPCC.
Tabel 1. Jenis-jenis GRK dan Nilai Potensi Pemanasan Global

Gas Rumah Rumus Nilai Potensi Masa Hidup di


Kaca Kimia Pemanasan Global Atmosfer

Karbon dioksida CO2 1 variabel


Metana CH4 25 12,2
tahun
Dinitro oksida N2O 298 120 tahun

Sumber: IPCC dalam Kementerian Lingkungan


Hidup, 2012 Hardy, 2003
Berdasarkan podoman yang dikeluarkan oleh Panel antar Pemerintah untuk
Perubahan Iklim, sumber emisi dan rosot (sink) yang masuk dalam
inventarisasi GRK berasal dari 4 sektor, yaitu:
1. Pengadaan dan penggunaan energi
2. Proses industri dan penggunaan produk
3. Pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (AFOLU)
4. Limbah.
Dari empat sektor tersebut, kegiatan yang merupakan sumber dan penyerap
GRK adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Kategori Kegiatan dengan Sumber dan Penyerap GRK

No. Kategori Sub-Kategori Sumber/Rosot

1 Pengadaan danKategori ini mencakup seluruh emisi GRK yang


Penggunaan dihasilkan dari pengunaan dan pengadaan energi:
Energi - Kegiatan Pembakaran Bahan Bakar
- Emisi Fugitive
- Transportasi dan Penyimpanan Karbon dioksida

2 Proses IndustriEmisi dari Proses Industri Dan Penggunaan Produk:


dan Penggunaan - Industri Mineral
Produk - Industri Kimia
- Industri Logam
- Produk-produk Non Energi dan Penggunaan
Solvent/ Pelarut
- Industri Elektronik
- Penggunaan produk yang mengandung senyawa
pengganti bahan perusak ozon
- Produk Manufacture lain dan Penggunaannya
3 Pertanian, Termasuk di dalamnya emisi dari:
Kehutanan, dan - Peternakan
No Kategori Sub-Kategori Sumber/Rosot

Penggunaan - Lahan: Lahan Hutan, Lahan Pertanian,


Lahan Lainnya Padang Rumput, Lahan basah, Pemukiman

- Emisi dari pembakaran biomassa


- Pengapuran
- Penggunaan Urea
- Emisi N2O langsung dari pengelolaan tanah
- Emisi N2O tidak langsung dari pengelolaan
tanah dan pengelolaan pupuk

- Pengelolaan sawah
4 Limbah Emisi berasal dari kegiatan pengelolaan
limbah:
- Pembuangan Akhir Sampah Padat
- Pengolahan Limbah Padat secara Biologi
- Pembakaran Sampah melalui Insinerator dan
Pembakaran Sampah secara Terbuka
- Pengolahan
5 Lainnya (emisi Semua dugaan emisi termasuk emisi N 2O
tidak langsung dari deposisi nitrogen (N) dari NOx/NH3
dari deposisi dimana saja ada deposit dan dari sumber apa
nitrogen dari saja tetapi tidak dihitung di sektor tersebut di
sumber non- atas, termasuk N yang dideposit di lautan.
pertanian)
Dugaan emisi ini diperlukan karena faktor
emisi untuk deposit Nitrogen hampir sama
besarnya dengan emisi nitrogen dari sumber-
sumber emisi pertanian lainnya.

Sumber: IPCC, 2006


1.6.2. Emisi Gas Rumah Kaca dari Kegiatan Pertanian
Berdasarkan Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi GRK
Nasional sektor pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan
lainnya (AFOLU), emisi GRK dari sektor pertanian diduga dari
emisi:

1. Metana (CH4) dari budidaya padi sawah,

2. Karbon dioksida (CO2) karena penambahan bahan kapur dan pupuk


urea,

3. Dinitrogen oksida (N2O) dari tanah, termasuk emisi N2O tidak


langsung dari penambahan N ke tanah karena
penguapan/pengendapan dan pencucian, dan
4. Gas Non-CO2 dari biomassa yang dibakar pada aktivitas pertanian.
1.6.3. Emisi Gas Metana (CH4) dari Budidaya Padi
Gas metana adalah salah satu GRK yang dihasilkan melalui
dekomposisi bahan organik secara anaerobik pada lahan sawah. Emisi
gas CH4 dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik itu faktor kondisi fisik
lahan maupun kegiatan budidaya padi itu sendiri. Faktor-faktor yang
mempengaruhi emisi gas CH4 dari sawah adalah sebagai berikut:
1. Jenis Tanah
Tanah merupakan salah satu faktor penting dalam produksi gas
CH4. Pada jenis tanah vertisol (grumusol) yang terolong liat berat
menyebabkan tanah tersebut mampu menahan air dalam jumlah yang
cukup besar. Keadaan ini menyebabkan drainase tanah sawah menjadi
buruk, sehingga terjadi penggenangan air di sawah. Penggenangan
menyebabkan keadaan sawah menjadi anaerobik yang selanjutnya
mendukung terjadinya pembentukan gas CH4 pada tanah sawah
(Bachelet dan Neue dalam Naharia, 2004)
2. Suhu
Suhu tanah memegang peranan penting dalam aktivitas
mikroorganisme tanah. Sebagian besar bakteri metanogenik adalah
mesofilik dengan suhu optimum antara 30-40 oC. Penggenangan diam
adalah lingkungan yang cocok untuk pembentukan CH 4 terutama di
daerah tropis karena penggenangan diam meningkatkan suhu tanah
dan suhu air di lahan sawah pada siang hari dengan kisaran 30 oC
hingga 40oC. Meningkatnya suhu tanah dan air disebabkan oleh efek
rumah kaca di lahan tersebut di mana genangan air akan meneruskan
radiasi gelombang pendek (ultra ungu) matahari ke tanah dan
mengurangi pancaran gelombang panjang (infra merah) ke atas.
Suhu tanah dapat meningkat hingga 40oC bila tidak ditanami. Suhu
tinggi ini dapat diturunkan melalui penutupan oleh tanaman, aliran air
dan hujan (Setyanto, 2004.)
3. Derajat Keasaman (pH) Tanah
Reaksi tanah yang penting adalah masam, netral dan alkalin. Hal
ini didasarkan pada jumlah ion H + dan OH- dalam larutan tanah. Bila
dalam larutan tanah ditemukan ion H + lebih banyak dari OH- maka
tanah disebut masam, kondisi sebaliknya disebut alkalin. Bila
konsentrasi ion H+ dan OH- seimbang maka disebut netral. Untuk
menyeragamkan pengertian, sifat reaksi tersebut dinilai berdasarkan
konsentrasi ion H+ dan dinyatakan dengan sebutan pH.
Sebagian besar bakteri metanogenik adalah neutrofilik, yaitu
hidup pada kisaran pH antara 6-8. Wang et al. (1993) dalam Setyanto
(2004), menemukan bahwa pembentukan CH4 maksimum terjadi pada
pH 6,9 hingga 7,1. Perubahan kecil pada pH akan menyebabkan
menurunnya pembentukan CH4. Pada pH di bawah 5,75 atau di atas
8,75 menyebabkan pembentukan CH4 terhambat.
4. Varietas Padi
Tanaman padi memegang peranan penting dalam emisi gas CH 4
dari lahan sawah. Diduga 90% CH4 yang dilepas dari lahan sawah ke
atmosfer dipancarkan melalui tanaman dan sisanya melalui
gelembung air (ebullition). Ruang udara pada pembuluh aerenkima
daun, batang dan akar yang berkembang dengan baik menyebabkan
pertukaran gas pada tanah tergenang berlangsung cepat. Pembuluh
tersebut bertindak sebagai cerobong (chimney) bagi pelepasan CH4 ke
atmosfer. Suplai O2 untuk respirasi pada akar melalui pembuluh
aerenkima dan demikian pula gas-gas yang dihasilkan dari dalam
tanah, seperti CH4 akan dilepaskan ke atmosfer juga melalui pembuluh
yang sama untuk menjaga keseimbangan termodinamika (Raimbault
et al., 1977; Wagatsuma et al.,1990 dalam Setyanto, 2004). Mekanisme
ini terjadi akibat perbedaan gradien konsentrasi antara air di sekitar
akar dan ruang antar sel lisigenus pada akar dan menyebabkan CH 4
terlarut di sekitar perakaran terdifusi ke permukaan cairan akar
menuju dinding sel korteks akar. Pada dinding korteks akar, CH 4
terlarut akan berubah menjadi gas dan disalurkan ke batang melalui
pembuluh aerenkima dan ruang antar sel lisigenus. Selanjutnya CH 4
akan dilepas melalui pori-pori mikro pada pelepah daun bagian
bawah. (Setyanto, 2004)
Biomassa akar dan tanaman juga berpengaruh terhadap emisi
CH4 terutama pada stadium awal pertumbuhan tanaman padi karena
pada fase awal pertumbuhan banyak eksudat akar yang dilepas ke
rizosfir sebagai hasil samping metabolisme karbon oleh tanaman.
Selain itu Jumlah anakan dapat meningkatkan kerapatan dan jumlah
pembuluh aerenkima sehingga kapasitas angkut CH 4 menjadi besar
(Aulakh et al. 2000 dalam Setyanto, 2004). Varietas-varietas padi yang
memiliki biomassa dan anakan rendah dapat menekan pembentukan
dan pelepasan CH4 dari dalam tanah.
5. Umur Tanaman
Umur tanaman juga merupakan salah satu faktor penentu tingkat
emisi CH4 dari lahan sawah. Semakin lama periode tumbuh tanaman,
semakin banyak eksudat dan biomassa akar yang terbentuk sehingga
emisi CH4 menjadi tinggi. Eksudat dan pembusukan akar merupakan
sumber karbon bagi bakteri metanogenik. Pembentukan eksudat ini
erat kaitannya dengan biomassa akar, dalam arti semakin banyak
biomassa akar, semakin banyak pula CH4 terbentuk (Setyanto, 2004).
6. Rejim Air Sebelum dan Selama Periode Budidaya
Tanah tergenang merupakan kondisi ideal bagi bakteri
metanogen dalam pembentukan gas CH4. Emisi gas CH4 tertinggi
dicapai pada kondisi tanah sawah yang digenangi secara terus-
menerus, baik dengan sistem tanam pindah maupun tanam benih
langsung. Sistem irigasi berselang terputus ( intermitten) dapat
menekan emisi gas CH4. Jenis sawah dapat dikelompokkan menjadi
tiga rejim air yaitu sawah irigasi (teknis, setengah teknis dan
sederhana), sawah tadah hujan, dan sawah dataran tinggi. Hal ini perlu
dipertimbangkan karena kondisi rejim air mempengaruhi emisi CH 4
(Setyanto, 2004)

7. Penggunaan Bahan Organik dan Anorganik

Bahan organik tanah merupakan bahan amelioran penting dalam


menunjang kesuburan tanah baik secara fisik, kimia maupun biologi.
Menurut Soepardi (1983), setengah dari kapasitas tukar kation tanah
berasal dari bahan organik. Bahan organik juga merupakan salah satu
sumber hara mikro tanaman, selain sebagai sumber energi dari sebagian
mikroorganisme tanah. Dalam memainkan peran tersebut, bahan organik
sangat tergantung dari sumber bahan penyusunnya. Bahan organik yang
mudah terdekomposisi merupakan bahan baku utama bagi bakteri
metanogenik dalam membentuk CH4 di lahan sawah.
1.6.4. Emisi Gas Karbon Dioksida (CO2) dari Penggunaan Pupuk Urea
Emisi gas karbon dioksida (CO 2) dari sektor pertanian berasal
dari penambahan kapur pertanian (pengapuran) dan penggunaan
pupuk urea. Pengapuran bertujuan untuk mengurangi kemasaman
tanah dan meningkatkan pertumbuhan tanaman khususnya pada
lahan pertanian. Penambahan karbonat ke tanah dalam bentuk kapur,
misalnya batu kapur (CaCO3) atau dolomit (CaMg (CO3)2),
menyebabkan emisi CO2 karena kapur karbonat larut dan melepaskan
bikarbonat (2HCO3-), yang selanjutnya menjadi CO2 dan air (H2O).
Penggunaan pupuk urea pada budidaya pertanian menyebabkan
lepasnya CO2 yang diikat selama proses pembuatan pupuk. Urea
(CO(NH2)2) diubah menjadi amonium (NH4+), ion hidroksil (OH-),
dan bikarbonat (HCO3-) dengan adanya air dan enzim urease. Mirip
dengan reaksi tanah pada penambahan kapur, bikarbonat yang
terbentuk selanjutnya berkembang menjadi CO2 dan air (kementerian
Lingkungan Hidup, 2012)
1.6.5. Emisi Gas Dinitrogen Oksida (N2O) dari Pengelolaan Lahan
Dinitrogen oksida diproduksi secara alami dalam tanah melalui
proses nitrifikasi dan denitrifikasi. Nitrifikasi adalah oksidasi
amonium oleh mikroba aerobik menjadi nitrat, dan denitrifikasi
adalah reduksi nitrat oleh mikroba anaerob menjadi gas nitrogen
(N2). Dinitrogen oksida ini adalah gas antara dalam urutan reaksi
denitrifikasi dan hasil dari reaksi nitrifikasi yang lepas dari sel-sel
mikroba ke dalam tanah dan akhirnya ke atmosfer. Salah satu faktor
pengendali utama dalam reaksi ini adalah ketersediaan N anorganik
dalam tanah. Perkiraan emisi N 2O karena penambahan N kedalam
tanah (misalnya, pupuk sintetis atau organik, deposit kotoran ternak,
sisa tanaman, limbah lumpur), atau mineralisasi N dalam bahan
organik tanah melalui drainase/pengelolaan tanah, atau
budidaya/perubahan penggunaan lahan pada tanah mineral
(misalnya, forest land/grass land/settlement dikonversi menjadi
lahan pertanian).
Emisi gas N2O sebesar 94% bersumber dari lahan pertanian
tanaman pangan, dimana sumber utama emisi adalah pembakaran
sisa tanaman 41% dan aplikasi N anorganik 18%. Pertanaman padi di
lahan kering menghasilkan 86% emisi N 2O. Emisi dan produksi
dinitrogen oksida lahan sawah ditentukan oleh kondisi ekologis yaitu
interaksi antara faktor abiotik dan faktor biotik serta interaksi biofisik
air, tanah, tanaman, dan praktek budidaya (Wardhana, 2011).
Menurut pedoman penyelenggaraan inventarisasi GRK
nasional Kementerian Lingkungan Hidup (2012), emisi dari N 2O yang
dihasilkan dari penambahan N antropogenik atau mineralisasi N dapat
terjadi secara langsung dan tidak langsung.
a. Secara langsung
Emisi N2O secara langsung, yaitu langsung dari tanah dimana N
ditambahkan/ dilepaskan. Peningkatan N-tersedia dalam tanah
meningkatkan proses nitrifikasi dan denitrifikasi yang memproduksi
N2O. Peningkatan N-tersedia dapat terjadi melalui penambahan pupuk
yang mengandung N atau perubahan penggunaan lahan dan atau
praktek-praktek pengelolaan yang menyebabkan mineralisasi N
organik tanah. Sumber-sumber N yang menyebabkan emisi langsung
N2O dari tanah yang dikelola adalah sebagai berikut:
- Urin dan kotoran mengandung N yang disimpan di padang
rumput, padang pengembalaan atau tempat hewan merumput.
- N dalam sisa tanaman (di atas tanah dan di bawah tanah),
termasuk dari tanaman yang memfiksasi N dan dari
pembaharuan hijauan atau padang rumput.
- Mineralisasi N yang berhubungan dengan hilangnya bahan
organik tanah akibat perubahan penggunaan lahan atau
pengelolaan tanah mineral.
- Drainase atau pengelolaan tanah organik (histosol).
b. Secara tidak langsung
Emisi N2O secara tidak langsung langsung melalui:
- Volatilisasi NH3 dan NOx dari tanah yang dikelola dan dari
pembakaran bahan bakar fosil serta biomassa, yang kemudian
gas-gas ini berserta produknya NH4+ dan NO3– diendapkan
kembalike tanah dan air; dan
- Pencucian dan run off dari N terutama sebagai NO3- dari tanah
yang dikelola.
- Sumber-sumber N dari emisi N2O tidak langsung dari tanah
yang dikelola adalah sebagai berikut:
- Pupuk N sintetis (misalnya, Urea, ZA, NPK).
- N-organik yang digunakan sebagai pupuk (misalnya, pupuk
kandang, kompos, lumpur limbah, limbah).
- Urin dan kotoran mengandung N yang disimpan di padang
rumput, padang pengembalaan atau tempat hewan
merumput.
- N dalam sisa tanaman (di atas tanah dan di bawah tanah),
termasuk dari tanaman yang memfiksasi N dan dari
pembaharuan hijauan atau padang rumput.
- Mineralisasi N yang berhubungan dengan hilangnya bahan
organik tanah akibat perubahan penggunaanlahan atau
pengelolaan tanah mineral.
1.6.6. Emisi Gas Non-CO2 dari Pembakaran Biomassa
Emisi gas Non-CO2 dari kegiatan budidaya padi berasal dari
pembakaran biomassa pada lahan pertanian (cropland). Emisi Non-
CO2 dari biomassa yang dibakar (terutama CH 4, CO, NOx, dan N2O)
umumnya berkaitan dengan sisa pertanian (jerami padi) yang
dibakar. Emisi CO2 dari biomassa yang dibakar tidak dihitung karena
karbon yang dilepaskan selama proses pembakaran diasumsikan akan
diserap kembali oleh tanaman pada musim berikutnya.
1.6.7. Emisi Gas Rumah Kaca dari Sistem Budidaya Tanaman Padi
Sistem budidaya tanaman padi di Indonesia pada umumnya
masih menggunakan sistem pertanian konvensional, dimana kegiatan
ini menerapkan program intensifikasi padi. Program intensifikasi padi
atau yang dikenal dengan Panca Usaha Tani adalah suatu upaya dalam
meningkatkan sebuah produktivitas lahan yang meliputi pemilihan
bibit unggul, pengolahan tanah yang baik, pemupukan yang tepat,
pengendalian hama dan penyakit, dan pengairan atau irigasi yang
baik.
Pada sistem pertanian konvensional, dilakukan olah tanah setiap
akan ditanami padi. Hal ini dilakukan untuk membantu tanah dalam
menyediakan unsur hara, air, dan udara yang dibutuhkan oleh
tanaman. Pengelolaan tanah dilakukan dengan pembajakan sedalam
30 cm secara merata. Pembajakan dilakukan hingga benar-benar rata,
sehingga saat penanaman tidak ada permukaan tanah yang tergenang
air. Pembajakan dialkukan melalui dua cara, yaitu pembajakan secara
tradisional dengan menggunakan sapi/kerbau dan pembajakan
menggunakan alat dan mesin pengolah tanah (traktor). Selain
dilakukan pengolahan tanah, untuk mencapai hasil produksi yang
optimal maka petani akan cenderung menggunakan bibit unggul
dengan kualitas baik. Pemilihan bibit secara selektif sangat
dibutuhkan, sebab bibit tanaman merupakan cikal bakal untuk
menjadikan unggul atau tidaknya sebuah tanaman. Perbedaan cara
pengolahan lahan dan pemilihan bibit ini akan berpengaruh pada
besarnya emisi GRK yang dihasilkan.
Untuk mendukung hasil produksi padi yang maksimal, maka
diperlukan pemupukan dan pengendalian hama penyakit. Proses
pemupukan bertujuan untuk mengganti unsur hara yang hilang dari
tanah dikarenakan proses pemanenan, volatilisasi, pencucian, fiksasi,
dan sebagainya. Pemupukan yang baik dilakukan secara berimbang
dan dalam kurun waktu yang tepat. Agar efektif dan efisien,
penggunaan pupuk disesuaikan dengan kebutuhan tanaman dan
ketersediaan hara dalam tanah. Teknologi pertanian konvensional
yang pada dasarnya merupakan sistem monokultur telah mengubah
secara drastis ekosistem alami yang seimbang menjadi sistem binaan
yang tidak seimbang. Karena tidak ada ketidakseimbangan, maka
diterapkan suatu cara menjaga ekosistem binaan tersebut agar dapat
berlangsung. Intervensi akhirnya dilakukan dengan memberikan
berbagai senyawa kimia baik berupa pupuk (Urea, NPK, KCL, dan
sebaginya) dan pestisida. Tanpa intervensi ini sistem pertanian
monokultur tidak dapat berlangsung dan menghasilkan panen sesuai
yang di harapkan.
Pada akhirnya praktek pertanian konvensional akan berakibat
pada berkurangnya materi organik, tanah menjadi keras, kurangnya
porositas tanah, rendahnya nilai tukar ion tanah, rendahya daya ikat
air, rendahnya populasi dan aktifitas mikroba, dan secara keseluruhan
berakibat rendahnya tingkat kesuburan tanah. Kondisi ini akan
mengakibatkan terhambatnya proses serapan akar terhadap air dan
hara yang terlarut sehingga keberadaan hara dalam jumlah rendah
tidak dapat diambil oleh akar secara optimal. Dengan demikian perlu
dosis pupuk yang lebih tinggi untuk memungkinkan akar dapat
menyerap hara dalam jumlah yang cukup dari ketersediaan hara yang
terdapat dalam tanah (Nasrullah, 2009).
Hal yang tidak kalah penting dalam sistem pertanian adalah
pengairan. Pengairan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan air bagi
tanaman padi. Di Indonesia, sawah sering dikategorikan menjadi tiga
yaitu sawah beririgasi, sawah tadah hujan, dan sawah rawa (lebak dan
pasang surut). Sistem pengelolaan air pada ketiga macam sawah
tersebut sangat berbeda karena perbedaan kondisi hidrologi dan
kebutuhan air.
Menurut Greenland (1997), IRRI mengklasifikasikan ekosistem
tanah sawah kedalam empat kelompok, yaitu:
1. Tanah sawah beririgasi (irrigated rice ecosystem), dicirikan oleh
permukaan lahan yang datar, dibatasi oleh pematang dengan tata
air terkontrol, lahan tergenang dangkal dengan kondisi tanah
dominan anaerobik selama pertumbuhan tanaman dan
penanaman padi dilakukan dengan pemindahan bibit pada tanah
yang telah dilumpurkan.
2. Tanah sawah dataran tinggi (upland rice ecosystem), dicirikan
oleh lahan datar hingga agak berombak, jarang digenangi, tanah
bersifat aerobik dan penanaman padi dilakukan dengan
penyebaran benih pada lahan kering atau tanpa penggenangan
yang telah dibajak atau dalam keadaan lembab tanpa pelumpuran.
3. Tanah sawah air dalam peka banjir (flood-prone rice ecocystem),
dicirikan oleh permukaan lahan yang datar hingga agak berombak
atau cekungan, tergenang banjir akibat air pasang selama lebih
dari 10 hari berturut turut sedalam 50-300 cm selama
pertumbuhan tanaman, tanah bersifat aerobik sampai anaerobik
dan penanaman padi dilakukan dengan pemindahan bibit pada
tanah yang dilumpurkan atau sebar benih pada tanah kering yang
telah di bajak.
4. Tanah sawah tadah hujan dataran rendah (rainfed lowland rice
ecocystem), dicirikan oleh permukaan lahan datar hingga agak
berombak, dibatasi pematang, penggenangan akibat air pasang
tidak kontinyu dengan kedalaman dan periode bervariasi,
umumnya tidak lebih dari 50 cm selama lebih dari 10 hari
berturut-turut, tanah bersifat aerobik-anaerobik berselang seling
dengan frekuensi dan periode yang bervariasi, serta penanaman
padi dilakukan dengan pemindahan bibit pada tanah yang telah
dilumpurkan atau sebar benih pada tanah kering yang telah
dibajak atau dilumpurkan.
Untuk mengetahui jumlah air yang harus disediakan untuk
irigasi lahan pertanian, informasi atau data kebutuhan air tanaman
sangat diperlukan. Kebutuhan air tanaman tergantung jenis dan umur
tanaman, waktu atau periode pertanaman, sifat fisik tanah, teknik
pemberian air, jarak dari sumber air sampai lahan pertanian, dan luas
areal pertanian yang akan diairi. Oleh sebab itu, agar penggunaan air
irigasi lebih efisien dan efektif, maka sangat penting mengetahui
pemakaiaan air konsumtif tanaman (Subagyono et al., 2004).
Proses pemanenan yang sering dilakukan petani adalah dengan
cara pemotongan padi menggunakan sabit kemudian dilanjutkan
dengan merontokkan gabah menggunakan pedal thresher atau power
thresher. Selain itu beberapa petani juga melakukan panen dengan
menggunakan alat berupa combine harvester. Penggunaan power
thresher dan combine harvester tentunya akan menghasilkan emisi
GRK dari pnggunaan bahan bakar. Saat pasca panen, aktivitas yang
sering dilakukan petani adalah membakar limbah pertanian (jerami).
Lebih dari 40% limbah pertanian di negara berkembang dibakar oleh
petani (Nasrullah, 2009)
1.6.8. Emisi Gas Rumah Kaca dari Bidang Energi
Selama lima tahun terakhir, pasokan energi primer di Indonesia
telah berkembang pesat, meningkat dari 1.166.488 ribu BOE (barrel of oil
equivalent) pada tahun 2005 menjadi 1.270.904 ribu BOE pada tahun
2009. Untuk konsumsi batubara meningkat dari 173.673 ribu BOE pada
tahun 2005 menjadi 231.351 ribu BOE pada tahun 2009. Sementara,
untuk gas alam meningkat dari 191.189 ribu BOE pada tahun 2005
menjadi 220.930 ribu BOE pada tahun 2009. Untuk dua dekade
mendatang, seperti dijelaskan di dalam Target Energi (primer) mix
Nasional 2025 dan tren jalur energi nasional saat ini, maka bahan bakar
fosil akan tetap menjadi sumber energi dominan dan tetap menjadi
pangsa terbesar dalam campuran energi di Indonesia.

Komposisi energi (prmer) mix Indonesia menunjukkan bahwa


bahan bakar fosil masih merupakan pendorong utama untuk memenuhi
pertumbuhan permintaan energi nasional. Apabila ingin mencapai
pembangunan rendah karbon di bidang energi, maka pertumbuhan
permintaan energi fosil perlu dikurangi secara intensif. Berdasarkan Buku
Pegangan Statistik Ekonomi Energi Indonesia tahun 2005, emisi CO2 dari
bidang energi pada tahun 2005 adalah 293.300.000 ton dengan rata-rata
pertumbuhan sekitar 6,6% per-tahun dari tahun 1990-2005. Sebagai hasil
dari simulasi jangka panjang energi nasional yang ditunjukkan oleh
Gambar 15, skenario Bisnis Seperti Biasa (BAU) menunjukkan bahwa
emisi dari bidang energi nasional akan mencapai sekitar1.150 Mt CO2e
pada tahun 2025.

Gambar 9. Peningkatan Energi Mix Nasional 2025

Lebih lanjut, kebijakan energi nasional saat ini hingga tahun 2025
mengandung unsur-unsur utama berikut:

1. Perubahan komposisi energi nasional dengan mengurangi


ketergantungan terhadap minyak bumi.
2. Peningkatan peran energi terbarukan.
3. Pengurangan elastisitas energi di bawah satu, termasuk perbaikan
infrastruktur energi.

1.6.9. Emisi Gas Rumah Kaca dari Bidang Listrik


Berbicara tentang pasokan listrik dalam pengembangan sistem
listrik di Indonesia sangatlah bervariasi, mulai dari jalur listrik Jawa-Bali
yang terhubung sangat baik hingga sistem listrik skala kecil yang tersebar
di seluruh wilayah. Apabila berdasarkan sistem kelistrikan, maka wilayah
Indonesia terhubungkan oleh tujuh sistem listrik yang berada di empat
pulau besar yaitu, Jawa-Bali, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Sistem
listrik terbesar di Indonesia adalah sistem terinterkoneksi Jawa-Bali, yang
menyumbang lebih dari 77% dari produksi listrik negara. Namun, terkait
dengan rasio elektrifikasi, maka hanya sekitar 64% dari populasi memiliki
akses ke listrik di tahun 2009 dan telah meningkat menjadi 67% pada
tahun 2010. Dengan penyediaan tenaga listrik di Indonesia sebagian besar
disediakan oleh BUMN – PT. PLN (Persero), dengan kapasitas terpasang
sekitar 84% dari total kapasitas. Sementara, sekitar 18% merupakan
partisipasi dari perusahaan listrik swasta (PLS). Pada tahun 2009, PLN
memiliki hampir 40 juta konsumen dengan permintaan terbesar datang
dari perumahan sebesar 40,8%, diikuti oleh industri (34,3%), komersial
(18,5%), sosial (2,5%), penerangan jalan (2,2%), dan bangunan
pemerintah (1,7%).

Sementara, untuk konsumsi energi, pelanggan perumahan dan


komersial mencapai sekitar 60% dari kebutuhan listrik total di Indonesia.
Sehingga, total energi yang dihasilkan pada tahun 2009 adalah 156,8 TWh,
termasuk listrik yang dibeli dari PLS (36,2 TWh). Sekitar 36% dari energi
tersebut dihasilkan oleh batubara, 24% oleh gas, 29% dari minyak, 9%
dari hidro dan 3% dari panas bumi. Tarif listrik yang rendah yang
diberikan oleh PLN sejak tahun 2003 ternyata tidak dapat menarik
investor untuk berinvestasi di bisnis listrik, sehingga terjadi kekurangan
kapasitas khususnya di luar Jawa dalam beberapa tahun terakhir. Lebih
lanjut, dalam RUPTL dapat dilihat bahwa emisi CO2 terutama dari sistem
listrik yang terhubung dengan jaringan nasional Jawa-Bali akan meningkat
dari 97 juta ton di tahun 2010 menjadi 236 juta ton di tahun 2019.

Berdasarkan rencana pengembangan 10 tahun tersebut, peran


teknologi rendah karbon dan nol karbon telah ditingkatkan untuk
mempromosikan lebih banyak energi terbarukan yang akan dihubungkan
ke dalam sistem listrik.
Gambar 10. Emisi CO2 dari Sistem Listrik Terhubung dengan Jaringan
Nasional. RUPTL 2010- 2019

1.6.10. Emisi Gas Rumah Kaca dari Bidang Transportasi Indonesia


Sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan jumlah
populasi di perkotaan, maka pesatnya pertumbuhan kendaraan bermotor
tidak dapat dihindari, khususnya di daerah perkotaan. Di lain pihak,
belum tersedianya sistem transportasi umum dan fasilitas transportasi
tidak bermotor yang layak dan atraktif bagi masyarakat. Akhirnya,
masyarakat lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi yang nyaman
sebagai bagian dari kehidupan mereka. Akibat pilihan tersebut terjadi
kemacetan lalu lintas yang terus meningkat. Dampak lainnya adalah
dampak lingkungan, mulai dari kebisingan, polusi udara, dan emisi GRK,
kesehatan, ekonomi dan sosial. Tahun 2005, bidang transportasi di
Indonesia menjadi salah satu penyumbang utama emisi GRK, dengan
memberikan kontribusi sebesar 23% dari total emisi CO2 (sekitar 68 juta
ton CO2e) dari bidang energi atau 20,7% dari emisi CO2 global di negara
ini (ICCSR, 2010).
Gambar 11. Emisi CO2. di Bidang Transportasi. Revisi dari ICCSR,
Maret 2010

Angka tersebut menjadikan transportasi sebagai kontributor


terbesar ketiga emisi di bidang energi, setelah industri dan pembangkit
listrik. Sumber terbesar emisi CO2 dan pengguna energi dari bidang
transportasi berasal dari transportasi darat (jalan) yang menyumbang
sekitar 89% dari emisi CO2 dan 90,7% dari konsumsi energi. Sementara
itu, sub bidang transportasi lainnya yaitu udara, laut dan kereta api hanya
memiliki kontribusi jauh lebih kecil yakni sebesar 9,3% dari komsumsi
energi keseluruhan di sektor transportasi (lihat Gambar 12).
Gambar 12. Tren Pertumbuhan Kendaraan bermotor. ADB, 2006.

Lebih lanjut, perkiraan mengenai jumlah emisi bidang transportasi


di masa depan sangat bervariasi tergantung dari berbagai jenis studi yang
ada. Berdasarkan studi ADB (2006), jumlah kendaraan bermotor di
Indonesia diperkirakan tumbuh lebih dari dua kali lipat antara tahun 2010
dan 2035 dengan tingkat pertumbuhan yang terus bertambah pada jenis
kendaraan bermotor pribadi roda dua dan kendaraan ringan atau jenis
mobil penumpang (Lihat Gambar 21). Selain itu, Pemerintah Indonesia
telah mencanangkan penurunan emisi GRK nasional sebesar 26% dan
memasukkan target tersebut dalam Kesepakatan Kopenhagen, tanggal 31
Januari 2010, lebih lanjut juga berkomitmen untuk melakukan ‘peralihan
ke moda transportasi yang rendah karbon’ sebagai aksi mitigasi di bidang
transportasi.

1.6.11. Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi
Jawa Tengah (Pergub Jateng No. 43 Tahun 2012)
Menindaklanjuti Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011,
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah juga mempunyai komitmen yang
sama untuk upaya menurunkan emisi GRK, yaitu dengan diterbitkan
Peraturan Gubernur Provinsi Jawa Tengah Nomor 43 tahun 2012
tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
(RAD-GRK) Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2020.
Timbulnya emisi GRK di sektor pertanian terutama disebabkan
oleh tahap pemupukan dan pengolahan lahan. Pemupukan dan
pengolahan pada lahan pertanian yang tergenang air menyebabkan
timbulnya proses anaerob. Proses anaerob menyebabkan timbulnya
gas metana. Penggunaan pupuk, baik kimia maupun organik, pada
lahan-lahan yang terendam akan meningkatkan produksi gas metana
yang memiliki potensi pemanasan global cukup tinggi. Tingginya
produksi metana ini dipengaruhi oleh luas lahan yang tergenang dan
lamanya genangan. Selain itu, penyebab lain timbulnya emisi GRK
adalah aplikasi kapur. Namun demikian kontribusinya di Jawa Tengah
sangat kecil karena penggunaannya hanya untuk tambak. Pada
pertanian, penggunaan kapur untuk menetralkan pH tidak banyak
digunakan karena luasan lahan dengan masalah keasaman sangat
kecil.
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang
mempengaruhinya, maka kebijakan-kebijakan pengendalian emisi
GRK sektor pertanian meliputi:
1. Pengendalian alih fungsi lahan pertanian
2. Pengendalian dan optimalisasi pemakaian pupuk dan pestisida
3. Pemanfaatan kembali limbah pertanian dan peternakan sebagai
masukan kegiatan pertanian
4. Pengenalan dan penerapan sistem pengolahan tanah yang
meminimalkan emisi GRK
5. Pengembangan pengolahan limbah ternak dan pemanfaatan
biogas yang ditimbulkan.
Untuk mewujudkan kebijakan mitigasi emisi GRK sektor
pertanian, alternatif-alternatif mitigasi diusulkan sebagai berikut:
1. Pelatihan dan penerapan Metode System of Rice Intensification (SRI)
2. Pengendalian penggunaan pupuk kimia
3. Peningkatan penggunaan pupuk organik dan biomassa
4. Pengaturan pola dan Teknik pengairan
5. Pengembangan varietas padi rendah emisi
6. Penggunaan pupuk anorganik alternatif dan herbisida
7. Pembangunan biogas limbah ternak sapi
8. Penggunaan limbah pertanian dan makanan ternak lokal
9. Penggunaan probiotik dan suplemen lokal
10. Pemuliaan ternak jangka panjang
1.6.12. Proses Hirarki Analitik/Analytical Hierarchy Process (AHP)
Salah satu alat analisis yang digunakan untuk membantu
menyusun suatu prioritas pengambilan keputusan dari berbagai
pilihan adalah dengan menggunakan Proses Hirarki Analitik atau
Analytical Hierarchy Process (AHP). AHP adalah teori pengukuran
melalui perbandingan berpasangan dan bergantung pada penilaian
ahli untuk mendapatkan prioritas skala dalam pengambilan
keputusan.
AHP dikembangkan pertama kali oleh Thomas L. Saaty. Menurut
Saaty (1993), hirarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari
sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level
dimana level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria,
sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari
alternatif. AHP didesain untuk menangkap persepsi orang secara
rasional yang berhubungan dengan permasalahan tertentu melalui
sebuah tahapan yang dirancang sampai pada suatu skala preferensi
diantara berbagai alternatif. Pemilihan atau penyusunan prioritas
dilakukan dengan suatu prosedur yang logis dan terstruktur.
Penyusunan strategi tersebut dilakukan oleh ahli-ahli yang kompeten
dan mewakili yang berkaitan dengan alternatif yang akan disusun
prioritasnya. Analisis AHP ini digunakan untuk memecahkan
permasalahan yang terukur (kuantitatif), yang memerlukan pendapat
(judgement) maupun pada situasi yang kompleks.
Teknik AHP merupakan salah satu teknik pengambilan
keputusan yang baik dan fleksibel dengan menetapkan suatu prioritas
dalam pengambilan keputusan dimana mencakup penilaian secara
kualitatif dan kuantitatif sekaligus. Langkah-langkah dalam metode
AHP meliputi:

1. Indentifikasi masalah dan menentukan solusi yang diinginkan.


Identifikasi masalah dilakukan dengan berdiskusi dengan pakar
yang mengetahui permasalahan serta dari kajian referensi
sehingga diperoleh konsep yang relevan dengan permasalahan
yang ada.
2. Menentukan struktur hirarki dimulai dari tujuan umum, sub-
tujuan, kriteria sampai kepada penentuan sejumlah alternatif.
Penentuan tujuan dilakukan berdasarkan permasalahan yang
dihadapi, sedangkan penentuan kriteria dan alternatif diperoleh
dari hasil observasi dan diskusi dengan pakar.
3. Menyebarkan kuesioner kepada pakar untuk menentukan
pengaruh masing- masing elemen terhadap masing-masing aspek
atau kriteria dengan membuat seperangkat matriks perbandingan
berpasangan (pairwise comparison). Pengisian matriks
perbandingan berpasangan dengan menggunakan bilangan/skala
yang mengambarkan kepentingan suatu elemen dibanding elemen
yang lain.
4. Menyusun matrik pendapat individu dan gabungan dari hasil rata-
rata yang diperoleh responden kemudian diolah dengan bantuan
expert choice 11.0 untuk mengetahui inkonsistensi serta kriteria
dan alternatif yang prioritas. Jika nilai konsistensinya > 0,1 maka
hasil jawaban responden tersebut tidak konsisten, jika nilai
konsistensinya < 0,1 maka hasil jawaban responden tersebut
konsisten.
5. Selanjutnya prioritas kriteria dan alternatif yang telah didapatkan
tersebut digunakan untuk menyusun strategi pengurangan emisi
GRK yang ingin dicapai.

Tabel 3. Skala Kepentingan Saaty

Intensitas Definisi Keterangan


kepentingan
1 Kedua faktor sama penting Dua aktivitas memberikan
kontribusi yang sama
terhadap tujuan
3 Faktor yang satu sedikit lebih Pengalaman dan penilaian
penting daripada faktor yang sedikit mendukung
lainnya kegiatan yang satu
daripada yang lain
5 Faktor yang satu sifat lebih Pengalaman dan penilaian
pentingnya kuat daripada sangat mendukung
faktor yang lainnya kegiatan yang satu
daripada yang lain
7 Faktor yang satu sangat penting Aktivitas yang satu sangat
daripada faktor yang lainnya disukai dibandingkan dengan
yang lain, dominasinya
nampak dalam kenyataan
9 Ekstrim penting Bukti bahwa antara yang
satu lebih disukai daripada
yang lain menunjukkan
kepastian tingkat tertingggi
yang dapat dicapai.
2,4,6,8 Nilai tengah diantara 2 nilai Diperlukan alasan yang
pertimbangan yang berdekatan masuk akal/kompromi
Nilai Jika aktivitas i mendapat angka
kebalikan 2 jika dibandingkan dengan
aktivitas j, maka j mempunyai
nilai ½ dibanding nilai i.
Sumber: Saaty, 2008

1.6.13 Strategi Nasional Penurunan Emisi GRK


1. Arah Kebijakan Umum (Cross-cutting)
Apabila melihat dari perspektif lintas bidang, maka hal terpenting
yang memerlukan perhatian lebih besar di masa mendatang adalah isu
penggunaan lahan karena problem terkait dengan konversi dan tata guna
lahan juga dibahas dalam bidang pertanian, kehutanan, dan energi.
Keterkaitan dan saling ketergantungan antar bidang tersebut akan
ditindak lanjuti dalam proses penyusunan RAN-GRK di masa depan yang
akan mencakup integrasi pemanfaatan tata ruang yang memuat isu
perubahan iklim, penguatan kapasitas kelembagaan, dan pengembangan
mekanisme untuk hukum dan perundang-undangan.
Lingkup Regional. RAN-GRK juga mempertimbangkan keragaman
pada kondisi fisik, ekonomi, politik dan budaya sehingga Indonesia
membutuhkan pendekatan kebijakan berdasarkan aspek kewilayahan
untuk perencanaan pembangunan nasional. Dengan demikian, pendekatan
kebijakan untuk masalah perubahan iklim disesuaikan dengan kondisi
karakter khusus yang dimiliki wilayah-wilayah di Indonesia, yaitu
Sumatera, Jamali (Jawa, Madura, Bali), Kalimantan, Sulawesi, Nusa
Tenggara, Maluku, dan Papua.
Keberhasilan menghadapi perubahan iklim ditentukan juga dari
seberapa jauh kebijakan iklim dipadukan ke dalam kebijakan
pembangunan nasional dan bidang. Oleh karena itu, pengarusutamaan
aksi mitigasi perubahan iklim dalam keputusan pembangunan yang
memberikan konsekuensi pada iklim menjadi penting untuk
pelaksanaannya demi mencapai pembangunan nasional rendah karbon.
Sebagai contoh, harga karbon yang efektif dapat mewujudkan
potensi aksi mitigasi yang signifikan di semua bidang karena tingkat
kelayakan nilai karbon dapat memberikan signal ekonomis yang
menguntungkan pada pasar karbon untuk menciptakan investasi dan
aliran keuangan dari negara maju ke negara berkembang.
Kebijakan yang dibutuhkan adalah kebijakan yang dapat
menciptakan insentif bagi para produsen dan konsumen ke arah
pembangunan yang rendah karbon. Pendekatan ini memerlukan
beberapa inovasi dan perubahan terhadap pendekatan
pembangunan yang tradisional.
Lebih lanjut, menerapkan pembangunan berkelanjutan yang rendah
karbon dapat memberi kontribusi besar pada mitigasi perubahan iklim,
tetapi pelaksanaannya mungkin membutuhkan sumber daya tambahan
untuk mengatasi banyaknya tantangan.
Tidak hanya itu, perlu adanya peningkatan pemahaman tentang
kemungkinan-kemungkinan untuk memilih dan melaksanakan opsi
mitigasi di berbagai bidang untuk mempertahankan tingkat sinergi dan
menghindari konflik dengan dimensi lain dari pembangunan
berkelanjutan.
Kebijakan terkait perubahan iklim jarang diterapkan secara terpisah
dengan kebijakan lain, melainkan dalam bentuk serangkaian kebijakan
dengan kebijakan lain misalnya dengan kebijakan terkait pembangunan.
Dalam melakukan aksi mitigasi perubahan iklim, maka satu atau lebih dari
instrumen kebijakan harus diterapkan. Berbagai kebijakan dan instrumen
nasional tersebut disediakan agar bisa menciptakan insentif bagi aksi
mitigasi yang dilakukan, contoh yang dilaksanakan di negara-negara lain,
yaitu dukungan pemerintah melalui kontribusi finansial, kredit pajak,
penetapan standar dan penciptaan pasar yang penting bagi
pengembangan, inovasi serta penggunaan teknologi yang efektif.
Akan tetapi, mengingat bahwa kebijakan publik seringkali
mengakibatkan efek samping yang tidak diharapkan atau jauh lebih kecil
dari yang diharapkan, maka pelaporan menjadi penting untuk integrasi
kebijakan perubahan iklim karena dapat meningkatkan akuntabilitas dan
pembelajaran. Kondisi yang stabil juga menjamin negara berkembang,
seperti Indonesia, mendapatkan bantuan lainnya, contohnya transfer
teknologi dan pendanaan.
Secara umum, NAMAs dapat menggunakan spektrum besar
instrumen kebijakan dari penurunan emisi GRK, seperti: (i)
Kebijakan ekonomi dan fiskal, misalnya pajak karbon ( carbon tax),
penghapusan subsidi bahan bakar minyak, atau perdagangan emisi;
(ii) Kebijakan ekonomi dan fiskal yang ditargetkan, misalnya
subsidi untuk investasi hemat energi, feed-in tariffs untuk teknologi
energi yang terbarukan, atau insentif keuangan; (iii) Standar,
misalnya konsumsi bahan bakar kendaraan, aturan dan sertifikasi
bangunan, atau standar perangkat dan pelabelan untuk efisiensi
energi; (iv) Informasi transfer pengetahuan dan pendidikan,
misalnya kampanye penyadaran publik, analisa energi (audit), atau
kegiatan demonstrasi dan pelatihan; dan (v) Riset dan
pengembangan teknologi rendah karbon dan energi baru yang
lebih layak untuk menghadapi isu perubahan iklim yang harus
dikaji di tingkat nasional untuk mengevaluasi penerapannya
sebelum tahap pelaksanaan.
Lebih lanjut, dampak dari pelaksanaan instrumen kebijakan yang
diusulkan tersebut perlu dikaji keefektifannya untuk mengetahui sejauh
mana bisa meningkatkan pembangunan ekonomi rendah karbon.
Dengan demikian, terlihat jelas bahwa penerapannya bergantung
pada kerangka kerja nasional dan bidang, situasi nasional, dan
pemahaman atas interaksi pada skala nasional dan skala internasional.
Gambar 13 menggambarkan alur logis integrasi kebijakan
perubahan iklim yang merupakan keterkaitan dari unsur-unsur
utama untuk mencapai aksi yang utuh di tingkat nasional dalam
memenuhi target penurunan emisi GRK di tingkat nasional.

Gambar 13. Alur Integrasi Kebijakan Perubahan Iklim

Menurut Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) pada pasal


3.4 disebutkan bahwa Para Pihak (Parties) memiliki hak atas, dan
seharusnya, mempromosikan pembangunan berkelanjutan.
Oleh karena itu, kebijakan dan langkah untuk melindungi dunia dari
perubahan iklim terutama yang dipengaruhi manusia seharusnya sesuai
dengan kondisi dari setiap masing-masing negara (pihak) dan terintegrasi
dengan program pembangunan nasional, sambil memperhatikan bahwa
pembangunan ekonomi sangat penting untuk mengadopsi langkah-
langkah dalam menanggapi perubahan iklim.
Namun demikian, pertanyaan tentang konsistensi antara sasaran
perubahan iklim dan tujuan kebijakan lainnya jarang dibahas di dalam
pembuatan strategi umum. Bahkan, ada pula kecenderungan untuk
mengabaikan terjadinya inkonsistensi antara isu perubahan iklim dengan
isu-isu lainnya, sementara potensi sinergi ditonjolkan dalam kebijakan
terkait perubahan iklim.

Beberapa cara untuk mengintegrasikan kebijakan dapat dilakukan


berupa integrasi kebijakan lintas bidang atau integrasi kebijakan per
bidang di dalam dan di seluruh tingkatan pemerintah (lihat Gambar 11).
Kebijakan lintas bidang merujuk pada langkah dan prosedur lintas
bidang untuk mengarusutamakan suatu integrasi menyeluruh dari
strategi perubahan iklim dan aksi mitigasi perubahan iklim ke dalam
kebijakan publik yang mencakup strategi perubahan iklim yang luas,
persiapan/adopsi peraturan-peraturan baru dan anggaran nasional
tahunan.
Sementara, integrasi bidang di dalam tingkatan pemerintah merujuk
pada integrasi kebijakan perubahan iklim ke dalam bidang tertentu oleh
berbagai entitas di bawah pengawasan suatu kementerian.
Aksi mitigasi perubahan iklim sering dilihat dalam konteks hanya
satu tingkat tata pemerintahan atau jika menyangkut beberapa tingkat
maka mereka dipandang hanya sebagai hirarki kendali yang atas-bawah
(top-down). Namun demikian, terlihat jelas bahwa aksi mitigasi menjadi
urusan semua tingkatan dari tingkat daerah hingga global dan memiliki
sifat interaksi yang kompleks dan multi-arah. Oleh karena itu, strategi
mitigasi harus dilaksanakan di dalam strategi dan langkah-langkah per
bidang.
Gambar 14. Integrasi Kebijakan Perubahan Iklim Lintas bidang dan Per Bidang

1.7 PENDEKATAN DAN METODE PENELITIAN


Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan campuran (mix methode)
antara kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan data primer dan
sekunder. Penelitian kuantitatif adalah suatu proses menemukan pengetahuan
yang menggunakan data berupa angka sebagai alat menganalisis keterangan
mengenai apa yang ingin diketahui.(Kasiram (2008: 149) dalam bukunya
Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif).

Penelitian kuantitatif didasarkan pada asumsi sebagai berikut (Nana


Sudjana dan Ibrahim, 2001; Del Siegle, 2005, dan Johnson, 2005).

a. Bahwa realitas yang menjadi sasaran penelitian berdimensi tunggal,


fragmental, dan cenderung bersifat tetap sehingga dapat diprediksi.
b. Variabel dapat diidentifikasi dan diukur dengan alat-alat yang
objektif dan baku.
Karakteristik penelitian kuantitatif adalah sebagai berikut (Nana Sudjana
dan Ibrahim, 2001: 6-7; Suharsimi Arikunto, 2002 : 11; Johnson, 2005; dan
Kasiram 2008: 149-150):

a. Menggunakan pola berpikir deduktif (rasional – empiris atau top-


down), yang berusaha memahami suatu fenomena dengan cara
menggunakan konsep-konsep yang umum untuk menjelaskan
fenomena-fenomena yang bersifat khusus.
b. Logika yang dipakai adalah logika positivistik dan menghundari hal-
hal yang bersifat subjektif.
c. Proses penelitian mengikuti prosedur yang telah direncanakan.
d. Tujuan dari penelitian kuantitatif adalah untuk menyususun ilmu
nomotetik yaitu ilmu yang berupaya membuat hokum-hukum dari
generalisasinya.
e. Subjek yang diteliti, data yang dikumpulkan, dan sumber data yang
dibutuhkan, serta alat pengumpul data yang dipakai sesuai dengan
apa yang telah direncanakan sebelumnya.
f. Pengumpulan data dilakukan melalui pengukuran dengan
mengguna-kan alat yang objektif dan baku.
g. Melibatkan penghitungan angka atau kuantifikasi data.
h. Peneliti menempatkan diri secara terpisah dengan objek penelitian,
dalam arti dirinya tidak terlibat secara emosional dengan subjek
penelitian.
i. Analisis data dilakukan setelah semua data terkumpul.
j. Dalam analisis data, peneliti dituntut memahami teknik-teknik
statistik.
k. Hasil penelitian berupa generalisasi dan prediksi, lepas dari konteks
waktu dan situasi.
l. Penelitian jenis kuantitatif disebut juga penelitian ilmiah
Penelitian ini dalam pelaksanaannya berdasarkan prosedur yang telah
direncanakan sebelumnya. Adapun prosedur penelitian kuantitatif terdiri dari
tahapan-tahapan kegiatan sebagai berikut.

a. Identifikasi permasalahan
b. Studi literatur.
c. Pengembangan kerangka konsep
d. Identifikasi dan definisi variabel, hipotesis, dan pertanyaan
penelitian.
e. Pengembangan disain penelitian.
f. Teknik sampling.
g. Pengumpulan dan kuantifikasi data.
h. Analisis data.
i. Interpretasi dan komunikasi hasil penelitian.

Dalam melakukan penelitian, peneliti dapat menggunakan metoda dan


rancangan (design) tertentu dengan mempertimbangkan tujuan penelitian dan
sifat masalah yang dihadapi. Berdasarkan sifat-sifat permasalahannya,
penelitian kuantitatif dapat dibedakan menjadi beberapa tipe sebagai berikut
(Suryabrata, 2000 : 15 dan Sudarwan Danim dan Darwis, 2003 : 69 – 78).

a. Penelitian deskriptif
b. Penelitian korelational
c. Penelitian kausal komparatif
d. Penelitian tindakan
e. Penelitian perkembangan
f. Penelitian eksperimen

Metode yang dipergunakan dalam penelitian kuantitatif, khususnya


kuantitatif analitik adalah metode deduktif. Dalam metoda ini teori ilmiah yang
telah diterima kebenarannya dijadikan acuan dalam mencari kebenaran
selanjutnya.
Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Ilmu dalam Perspektif Moral,
Sosial, dan Politik (2000: 6) menyatakan bahwa pada dasarnya metoda ilmiah
merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuannya
berdasarkan : a) kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi
yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil
disusun; b) menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka
pemikiran tersebut; dan c) melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud
untuk menguji kebenaran pernyataannya secara faktual.

Selanjutnya Jujun menyatakan bahwa kerangka berpikir ilmiah yang berintikan


proses logico-hypothetico-verifikatif ini pada dasarnya terdiri dari langkah-
langkah sebagai berikut (Suriasumantri, 2005 : 127-128).

a) Perumusan masalah, yang merupakan pertanyaan mengenai objek


empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan
faktor-faktor yang terkait di dalamnya.
b) Penyusunan kerangka berpikir dalam penyusunan hipotesis yang
merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang
mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengait dan
membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini
disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang
telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor
empiris yang relevan dengan permasalahan.
c) Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau
dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya
merupakan kesimpulan dari dari kerangka berpikir yang
dikembangkan.
d) Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta
yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk
memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung
hipoteisis tersebut atau tidak.
e) Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah hipotesis
yang diajukan itu ditolak atau diterima.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk meneliti pada


kondisi objek alamiah, dimana peneliti merupakan instrumen kunci (Sugiyono,
2005). Perbedaannya dengan penelitian kuantitatif adalah penelitian ini
berangkat dari data, memanfaatkan teori yang ada sebagai bahan penjelas dan
berakhir dengan sebuah teori.

Moleong setelah melakukan analisis terhadap beberapa definisi penelitian


kualitatif kemudian membuat definisi sendiri sebagai sintesis dari pokok-pokok
pengertian penelitian kualitatif. Menurut Moleong (2005:6), penelitian
kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena
tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi,
motivasi, tindakan, dll secara holistic, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk
kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah.

Pada kesempatan ini saya akan jelaskan secara mendalam tentang teori
penelitian kualitatif, tujuan, jenis dan cara penelitiannya. Penelitian kualitatif
adalah penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek alamiah,
dimana peneliti merupakan instrumen kunci (Sugiyono, 2005). Perbedaannya
dengan penelitian kuantitatif adalah penelitian ini berangkat dari data,
memanfaatkan teori yang ada sebagai bahan penjelas dan berakhir dengan
sebuah teori.

Moleong setelah melakukan analisis terhadap beberapa definisi penelitian


kualitatif kemudian membuat definisi sendiri sebagai sintesis dari pokok-pokok
pengertian penelitian kualitatif. Menurut Moleong (2005:6), penelitian
kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena
tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi,
motivasi, tindakan, dll secara holistic, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk
kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah.
Menurut Saryono (2010), Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang
digunakan untuk menyelidiki, menemukan, menggambarkan, dan menjelaskan
kualitas atau keistimewaan dari pengaruh social yang tidak dapat dijelaskan,
diukur atau digambarkan melalui pendekatan kuantitatif.

Menurut Sugiyono (2011), metode penelitian kualitatif adalah metode


penelitian yang berlandaskan pada filsafat post positivisme, digunakan untuk
meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya eksperimen)
dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel sumber
data dilakukan secara purposive dan snowball, teknik pengumpulan dengan tri-
anggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif atau kualitatif, dan hasil
penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.

Agar para pembaca memahami maknasesungguhnya dari bahasan kali ini,


maka akan kita bahas sedikit tentang perbedaan penelitian kualitatif dengan
kuantitatif. Perbedaan yang paling mendasar antara penelitian kualitatif dan
kuantitatif adalah alur teori serta data. Di dalam penelitian kuantitatif,
penelitian bermula dari teori yang dibuktikan dengan data lapangan.
Sebailknya, di dalam penelitian kualitatif, penelitian berangkat dari data
lapangan dan menggunakan teori yang sudah ada sebagai pendukung,
kemudian hasilnya akan memunculkan teori dari data-data tersebut.

Menurut Williams (1988), ada 5 pandangan dasar perbedaan antara


pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Kelima pendangan dasar perbedaan
tersebut antara lain:

1. Bersifat realitas, pendekatan kuantitatif melihat realitas sebagai


tunggal, konkrit, teramati, serta dapat difragmentasi. Sebaliknya
pendekatan kualitatif melihat realitas ganda (majemuk), hasil
konstruksi dalam pandangan holistik. Sehingga peneliti kuantitatif
lebih spesifik, percaya langsung pada obyek generalis, meragukan
dan mencari fenomena pada obyek yang realitas.
2. Interaksi antara peneliti dengan obyek penelitiannya, pendekatan
kuantitatif melihat sebagai independen, dualistik bahkan mekanistik.
Sebaliknya pendekatan kualitatif melihat sebagai proses interaktif,
tidak terpisahkan bahkan partisipasif.
3. Posibilitas generalis, pendekatan kuantitatif bebas dari ikatan
konteks dan waktu (nomothetic statements), sedangkan pendekatan
kualitatif terikat dari ikatan konteks dan waktu(idiographic
statements).
4. Posibilitas kausal, pendekatan kuantitatif selalu memisahkan antara
sebab riil temporal simultan yang mendahuluinya sebelum akhirnya
melahirkan akibat-akibatnya. Sedangkan pendekatan kualitatif selalu
mustahilkan usaha memisahkan sebab dengan akibat, apalagi secara
simultan.
5. Peranan nilai, pendekatan kuantitatif melihat segala sesuatu bebas
nilai, obyektif dan harus seperti apa adanya. Sebaliknya pendekatan
kualitatif melihat segala sesuatu tidak pernah bebas nilai, termasuk si
peneliti yang subyektif.

Menurut Kriyantono, tujuan penelitian kualitatif adalah untuk


menjelaskan suatu fenomena dengan sedalam-dalamnya dengan cara
pengumpulan data yang sedalam-dalamnya pula, yang menunjukkan
pentingnya kedalaman dan detail suatu data yang diteliti.

Pada penelitian kualitatif, semakin mendalam, teliti, dan tergali suatu data
yang didapatkan, maka bisa diartikan pula bahwa semakin baik kualitas
penelitian tersebut. Maka dari segi besarnya responden atau objek penelitian,
metode penelitian kualitatif memiliki objek yang lebih sedikit dibandingkan
dengan penelitian kuantitatif, sebab lebih mengedepankan kedalaman data,
bukan kuantitas data.

Asumsi Penelitian Kualitatif

Anggapan yang mendasari penelitian jenis kualitatif adalah bahwa


kenyataan sebagai suatu yang berdimensi jamak, kesatuan, dan berubah-ubah
(Nana Sudjana dan Ibrahim, 2001: 7). Oleh karena itu tidak mungkin dapat
disusun rancangan penelitian yang terinci dan fixed sebelumnya. Rancangan
penelitian berkembang selama proses penelitian berlangsung.

Karakteristik Penelitian Kualitatif

Penelitian jenis kualitatif disebut juga penelitian naturalistik, metode


fenomenologis, metode impresionistik, dan metode post positivistic. Adapun
karakteristik penelitian jenis ini adalah sebagai berikut (Sujana dan Ibrahim,
2001: 6-7; Suharsimi Arikunto, 2002: 11-12; Moleong, 2005: 8-11; Johnson,
2005, dan Kasiram, 2008: 154-155).

a. Menggunakan pola berpikir induktif (empiris – rasional atau


bottom-up). Metode kualitatif sering digunakan untuk
menghasilkan grounded theory, yaitu teori yang timbul dari data
bukan dari hipotesis seperti dalam metode kuantitatif. Atas dasar
itu penelitian bersifat generating theory, sehingga teori yang
dihasilkan berupa teori substansif.
b. Perspektif emic/partisipan sangat diutamakan dan dihargai tinggi.
Minat peneliti banyak tercurah pada bagaimana persepsi dan
makna menurut sudut pandang partisipan yang diteliti, sehingga
bias menemukan apa yang disebut sebagai fakta fenomenologis.
c. Penelitian jenis kualitatif tidak menggunakan rancangan penelitian
yang baku. Rancangan penelitian berkembang selama proses
penelitian.
d. Tujuan penelitian kualitatif adalah untuk memahami, mencari
makna di balik data, untuk menemukan kebenaran, baik kebenaran
empiris sensual, empiris logis, dan empiris logis.
e. Subjek yang diteliti, data yang dikumpulkan, sumber data yang
dibutuhkan, dan alat pengumpul data bisa berubah-ubah sesuai
dengan kebutuhan.
f. Pengumpulan data dilakukan atas dasar prinsip fenomenologis,
yaitu dengan memahami secara mendalam gejala atau fenomena
yang dihadapi.
g. Peneliti berfungsi pula sebagai alat pengumpul data sehingga
keberadaanya tidak terpisahkan dengan apa yang diteliti.
h. Analisis data dapat dilakukan selama penelitian sedang dan telah
berlangsung.
i. Hasil penelitian berupa deskripsi dan interpretasi dalam konteks
waktu serta situasi tertentu.
j. Penelitian jenis kualitatif disebut juga penelitian alamiah atau
inquiri naturalistik.

Prosedur Penelitian Kualitatif

Prosedur pelaksanaan penelitian kualitatif bersifat fleksibel sesuai dengan


kebutuhan, serta situasi dan kondisi di lapangan. Secara garis besar tahapan
penelitian jenis kualitatif adalah sebagai berikut (Sudarwan Danim dan Darwis,
2003 : 80)

a. Merumuskan masalah sebagai fokus penelitian.


b. Mengumpulkan data di lapangan.
c. Menganalisis data.
d. Merumuskan hasil studi.
e. Menyusun rekomendasi untuk pembuatan keputusan.

Penelitian dengan pendekatan kualitatif dapat dibedakan menjadi lima


tipe utama, yaitu: phenomenology, ethnography, case study research, grounded
theory, dan historical research (Johnson, 2005: 8). Berikut penjelasan dari
kelima jenis penelitian kualitatif tersebut:

Fenomenologi

Phenomenology: a form of qualitative research in which the researcher


attempts to understand how one or more individuals experience a
phenemenon.
Penelitian fenomenologi dapat dimulai dengan memperhatikan dan
menelaah fokus fenomena yang akan diteliti, yang melihat berbagai aspek
subjektif dari perilaku objek. Selanjutnya, peneliti melakukan penggalian data
berupa bagaimana pemaknaan objek dalam memberikan arti terhadap
fenomena yang terkait. Penggalian data tersebut dilakukan dengan melakukan
wawancara yang mendalam kepada objek atau informan didalam penelitian,
serta dengan melakukan observasi secara langsung mengenai bagaimana objek
penelitian menginterpretasikan pengalamannya kepada orang lain.

Etnografi

Ethnography: is the form of qualitative research that focuses on describing the


culture of a group of people.

Metode penelitian etnografi adalah penelitian yang memiliki tujuan untuk


mengkaji bentuk dan fungsi bahasa yang tersedia dalam budaya yang
selanjutnya digunakan untuk berkomunikasi oleh individu didalamnya. Serta
melihat bagaimana bentuk dan fungsi bahasa tersebut menjadi bagian dari
kehidupan sebuah masyarakat.

Metode etnografi menginterpretasikan kelompok sosial, sistem yang


berlaku dan peran yang dijalankan, serta interaksi sosial yang terjadi dalam
suatu masyarakat. Metode etnografi biasanya digunakan untuk berfokus pada
kegiatan atau ritual tertentu didalam masyarakat, bahasa, kepercayaan, cara-
cara hidup dan lain sebagainya.

Studi Kasus

Case study research: is a form of qualitative research that focused on providing


a detailed account of one or more cases.

Metode penelitian studi kasus meneliti suatu kasus atau fenomena


tertentu yang ada didalam masyarakat yang dilakukan secara mendalam untuk
mempelajari latar belakang, keadaan, dan interaksi yang terjadi.
Studi kasus dilakukan pada suatu kesatuan sistem yang bisa berupa suatu
program, kegiatan, peristiwa, atau sekelompok individu yang ada pada keadaan
atau kondisi-kondisi tertentu.

Metode Teori Dasar

Grounded theory: is a qualitative approach to generating and developing a


theory form data that the researcher collects.

Penelitian Kualitatif Metode Teori Dasar adalah penelitian yang dilakukan


untuk menemukan suatu teori atau untuk menguatkan teori yang sudah ada
dengan mengkaji prinsip dan kaidah dasar yang ada. Selanjutnya dibuat
kesimpulan dasar yang membentuk prinsip dasar dari suatu teori.

Dalam melakukan metode teori dasar ini, peneliti perlu memilah mana
fenomena yang dapat dikatakan fenomena inti dan mana yang bukan untuk
dapat diambil dan dibentuk suatu teori.

Pengumpulan data metode teori dasar ini dilakukan dengan observasi,


studi lapangan, pembandingan antara kategori, fenomena, dan situasi
berdasarkan berbagai penilaian, seperti kajian induktif, deduktif, dan verifikasi
hingga datanya bersifat jenuh.

Metode Historis

Historical research: research about events that occurred in the past.

Penelitian metode historis adalah penelitian yang memiliki fokus


penelitian berupa peristiwa-peristiwa yang sudah berlalu dan melakukan
rekonstruksi masa lalu dengan sumber data atau saksi sejarah yang masih ada
hingga saat ini.

Sumber data tersebut bisa diperoleh dari berbagai catatan sejarah,


artefak, laporan verbal, maupun saksi hidup yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenaran kesaksiannya.
Karena mengkaji peristiwa-peristiwa yang telah berlalu, maka ciri khas
dari penelitian metode historis ialah waktu. Dimana fenomena dilihat
perkembangan atau perubahannya berdasarkan pergeseran waktu.

Tahapan Dalam Penelitian Kualitatif

Ada lima tahap bagi para peneliti jika ingin melakukan penelitian jenis
kualitatif, yaitu:

1. Mengangkat permasalahan.
2. Memunculkan pertanyaan penelitian.
3. Mengumpulkan data yang relevan.
4. Melakukan analisis data.
5. Menjawab pertayaan penelitian.

Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode wawancara dan/


atau kuisioner sedangkan pengumpulan data sekunder diperoleh dari instansi
terkait serta dari penelitian terdahulu.

Data primer adalah data yang diperoleh peneliti secara langsung (dari
tangan pertama), sementara data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti
dari sumber yang sudah ada. Contoh data primer adalah data yang diperoleh
dari responden melalui kuesioner, kelompok fokus, dan panel, atau juga data
hasil wawancara peneliti dengan nara sumber. Contoh data sekunder misalnya
catatan atau dokumentasi perusahaan berupa absensi, gaji, laporan keuangan
publikasi perusahaan, laporan pemerintah, data yang diperoleh dari majalah,
dan lain sebagainya

Metode pengumpulan data primer dilakukan dengan cara survei dan


wawancara, sedangkan pengumpulan data sekunder diperoleh dari instansi
terkait serta dari penelitian terdahulu

1.8 LUARAN YANG DIHARAPKAN


Laporan pekerjaan penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) Penurunan
Emisi GRK (Mitigasi) dan Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Kabupaten Cilacap
yang harus diserahkan oleh penyedia jasa dibuat dengan kertas A4 dengan
jenis, jumlah dan waktu penyerahan ditetapkan sebagai berikut:
1. Laporan Pendahuluan
Berisikan penjelasan terhadap metodologi, rencana kerja dan susunan
personal termasuk base line informasi yang telah di update terhadap kerangka
penugasan, konsepsi-konsepsi, referensi, peraturan-peraturan terkait, dan
program kerja/jadwal kegiatan. Laporan Pendahuluan harus disampaikan 15
(limba belas) hari kalender setelah SPMK. Laporan Pendahuluan dibuat
sebanyak 20 (dua puluh) buku.
2. Laporan Akhir
Berisikan penyempurnaan hasil diskusi dan kegiatan. Laporan Akhir ini
diserahkan paling lambat pada saat berakhirnya kontrak. Laporan Akhir dicetak
dalam hardcopy sebanyak 10 (sepuluh) buku dan dalam bentuk soft copy di
dalam 2 (dua) buah flasdisk.
BAB II
RENCANA KERJA

2.1 JANGKA WAKTU PELAKSANAAN


Jadwal pelaksanaan pekerjaan Penyusunan Identifikasi dan Inventarisasi
Aksi Mitigasi Penurunan Gas Rumah Kaca Kabupaten Cilacap direncanakan
akan dilaksanakan selama kurun waktu 90 (sembilan puluh) hari kalender
meliputi persiapan sampai dengan pelaporan.

2.2 PROGRAM PELAKSANAAN PEKERJAAN


T ahapan proses penyusunan RAD terdiri dari: (1) Tahap Persiapan; (2)
Tahap Pengumpulan Data; (3) Tahap Penghitungan; (4) Tahap Perumusan
Rencana Aksi; dan (5) Tahap Penetapan. Setiap tahap memiliki berbagai
kegiatan penting yang saling terkait satu sama lain. Keseluruhan tahapan ini
diperlukan untuk melengkapi dan menghasilkan dokumen kerja (buku) RAD-
GRK yang diharapkan semuanya. Berikut tahapan pelaksanaan pekerjaan:

2.2.1 Tahap persiapan

Tahap persiapan merupakan tahap awal dan penting bagi Pemerintah


Kabupaten dalam menyiapkan RADGRK, karena pada tahap ini dilakukan
beberapa kegiatan baik yang bersifat administratif maupun teknis antara lain
seperti yang tertera pada Gambar 13. berikut ini.

Gambar 15. Tahapan Persiapan

1) Persiapan Awal
a. Pembentukan Tim Penyusun RAD-GRK Kabupaten
Tim Penyusun terdiri dari Tim Koordinasi dan Kelompok Kerja (Pokja).
Tugas-tugas yang harus dilakukan oleh kedua Tim pada tahap awal
tentang pengorganisasian penyusunan RAD-GRK.
b. Penyelenggaraan Sidang Pleno Awal
Sidang pleno atau rapat kerja pertama oleh tim penyusun untuk
membahas persiapan persiapan dan langkah-langkah yang harus
dilakukan oleh Pokja untuk penyusunan dokumen RAD-GRK.
Sidang/rapat ini dihadiri oleh seluruh anggota Tim Koordinasi dan
Pokja.
2) Identifikasi Awal
Pada tahap kajian awal ini terdapat 3 (tiga) hal yang perlu dilakukan
oleh Pemerintah Kabupaten (Tim Penyusun RAD-GRK), yaitu:
a. Identifikasi pemahaman terhadap perubahan iklim secara umum dan
kaitannya dengan upayaupaya penurunan emisi GRK.
b. Persiapan pembentukan tim dalam penyusunan RAD-GRK.
c. Identifikasi kegiatan penghasil/penyerap emisi GRK.
3) Persiapan Teknis
Persiapan teknis oleh Pokja yang didasarkan pada hasil Identifikasi Awal
diperlukan untuk merumuskan rencana kerja yang lebih rinci dalam
proses penyusunan RAD-GRK. Hal-hal yang tercakup ke dalam persiapan
teknis adalah sebagai berikut:
a. Penyimpulan data awal dari hasil proses indentifikasi awal mengenai
sumber-sumber emisi GRK, dari hasil Inventarisasi GRK (jika
tersedia), dan dari data/informasi umum tentang profil dan potensi
fisik daerah. Kesimpulan awal ini menggambarkan tentang
pengenalan potensi fisik bidang dan kegiatan yang menghasilkan
emisi GRK, cakupan wilayah emisi GRK, dan kewenangan pemerintah
daerah dalam upaya pengendalian emisi GRK3.
b. Identifikasi metodologi, yakni metodologi penhitungan emisi untuk
setiap bidang dan kegiatan penghasil emisi GRK yang akan digunakan
untuk pembuatan baseline, Skenario Aksi Mitigasi, penghitungan
penurunan emisi dan biayanya. Sebagai referensi dapat mengacu ke
Pedoman Teknis per bidang yang akan ditetapkan oleh Pokja
Nasional atau yang sudah tersedia dii K/L terkait, dan Pedoman
Penyelenggaraan Inventarisasi GRK yang akan ditetapkan oleh KLH.
c. Persiapan perangkat survey, yakni pembuatan dan penggandaan
alat-alat (instrumen) pengumpulan data primer untuk beberapa
bidang dan kegiatan tertentu (bila diperlukan) yang akan digunakan
untuk penyusunan RAD-GRK. Beberapa contoh jenis perangkat
antara lain terdiri dari lembar observasi, kuesioner, pedoman
wawancara. Apabila survey untuk jangka pendek tidak dapat
dilakukan dapat menggunakan data yang saat ini tersedia sebagai
“proxy”. Sementara survey dapat diposisikan untuk penyempurnaan
selanjutnya.
d. Penyusunan rencana kerja, yakni penyusunan secara rinci kegiatan-
kegiatan yang akan dilakukan oleh Pokja RAD-GRK sampai dengan
terumuskannya usulan kegiatan mitigasi daerah (tersusunnya
dokumen RAD-GRK).
4) Konsultasi Publik
Konsultasi publik mengenai adanya kegiatan penyusunan RAD-GRK,
melalui cara pemberitaan yang lazim dilakukan oleh suatu kabupaten.
Konsultasi yang dilakukan secara langsung setidaknya melibatkan
unsur-unsur dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
Kabupaten/Kota, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM)/sejenis, Asosiasi Profesi dan pelaku usaha/swasta. Kegiatan ini
dilakukan sebagai wujud transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan
penyusunan RAD-GRK, serta untuk membuka peluang kerjasama dengan
pihak-pihak terkait dan sekaligus untuk membuka komunikasi awal bagi
pengumpulan data.
2.2.2 Tahap Pengumpulan Data
Tahap pengumpulan data setidaknya dilakukan dalam jangka waktu 1-2
bulan, tergantung dari kondisi, ketersediaan data, maupun jenis metode yang
digunakan.

Gambar 16. Tahapan Pengumpulan Data

Kebutuhan data dan informasi yang harus dikumpulkan setidaknya harus


meliputi:

1) Data dan Informasi Umum Data dan informasi umum adalah gambaran
umum daerah beserta dengan kebijakan dan rencana strategis daerah
dan tata ruang kabupaten yang akan digunakan oleh Tim Penyusun. Data
yang dibutuhkan antara lain:
a. Profil atau gambaran umum wilayah perencanaan, dalam hal ini
wilayah kabupaten, contohnya sumber daya manusia, ekonomi, fisik,
dan lingkungan.
b. Kebijakan dan program pembangunan yang terkait dengan
kegiatan/sumber penghasil emisi GRK di daerah. Pada tahap ini,
Pemerintah Kabupaten (melalui Pokja) harus dapat mengindikasikan
kegiatan perencanaan tata ruang yang terkait dengan kegiatan
penyumbang emisi GRK yang kemungkinan dapat diintervensi.
Sejalan dengan hal ini, Pemerintah Kabupaten juga mengindikasikan
substansi kebijakan dan program pembangunan yang terkait dengan
penghasil emisi, serta peluangnya dengan usaha penurunan emisi
GRK. Contoh format untuk mengumpulkan data dan informasi
tentang kebijakan dan rencana pembangunan strategis Pemerintah
Kabupaten yang berkaitan dengan penghasil emisi/serapan GRK dan
berpeluang untuk dapat menurunkan emisi GRK.
Data dan informasi umum ini juga diperlukan oleh Pokja untuk
membuat identifikasi awal tentang bidang dan kegiatan yang
menghasilkan emisi GRK dan yang berpeluang untuk dapat
menurunkan emisi GRK. Disamping itu, data dan informasi ini
diperlukan juga sebagai masukan untuk membuat usulan-usulan
kegiatan dalam rencana aksi daerah.
2) Data dan Informasi Teknis
Data dan informasi teknis adalah data, informasi, dan asumsi per bidang
yang dibutuhkan untuk menyusun baseline, usulan-usulan aksi/kegiatan
penurunan emisi GRK dan perhitungan biaya mitigasi. Jenis data dan
informasi yang dibutuhkan akan berbeda-beda sesuai dengan bidang
dan kegiatan yang mengasilkan emisi GRK.
Sebagai acuan dapat dilihat di Pedoman Pelaksanaan Rencana Aksi
Penurunan Emisi GRK, serta di Pedoman Teknis yang akan dikeluarkan
oleh Pokja K/L terkait.
3) Pendataan Kelembagaan Publik Pokja RAD-GRK perlu mendata
kelembagaan publik (yaitu lembaga dan peraturan Pemda) yang terkait
dengan upaya-upaya penurunan emisi GRK di wilayah administratif
Kabupaten baik secara langsung maupun tidak langsung. Informasi ini
didapat dengan cara mendata: 1) Lembaga pemerintah yang terkait
dengan penurunan emisi, fungsi dan tugas pokoknya (Dinas/Badan/
Kantor), 2) Program kerja lembaga, 3) Peraturan-peraturan daerah yang
terkait dengan kelestarian lingkungan hidup, dan penghematan energi.
Selanjutnya data dan informasi ini dikaji lebih lanjut untuk mengetahui
apakah memiliki keterkaitan dan peluang untuk digolongkan sebagai
lembaga/ peraturan/program yang dapat menurunkan emisi GRK.
4) Pendataan Kelembagaan Masyarakat dan Pelaku Usaha Untuk
memperluas kerjasama dengan para pihak, Pemerintah Kabupaten
melalui Pokja perlu mengenali lembaga dan kegiatan dari pihak
swasta/pelaku usaha dan kelompok masyarakat yang memiliki
keterkaitan positif (berpeluang untuk mendukung upaya-upaya
penurunan emisi) ataupun negatif (tidak memiliki peluang untuk
mendukung upaya-upaya penurunan emisi GRK). Untuk itu, perlu
dilakukan pendataan kegiatan-kegiatan yang ada (telah/sedang)
dilakukan oleh para pihak
Data dan informasi untuk melakukan kajian ini diperoleh dari Lembaga
Masyarakat dan pelaku usaha secara langsung (melalui pertemuan-
pertemuan) atau secara tidak langsung dari laporan yang telah
dipublikasikan (melalui media cetak atau elektronik, serta website).
2.2.3 Tahap Penghitungan
Pokja masing-masing bidang melakukan penghitungan emisi GRK dengan
menggunakan data dan informasi umum dan teknis (per bidang) yang telah
dikumpulkan sebelumnya agar dapat menyusun baseline dan skenario mitigasi,
usulan penurunan emisi GRK, dan biaya serta jangka waktu pelaksanaanya.
Tahap penghitungan ini dilakukan untuk setiap bidang dan kegiatan yang telah
dipilih melalui proses identifikasi awal sumber-sumber emisi GRK, yang
hasilnya akan menjadi masukan utama untuk penulisan laporan dari dokumen
RAD-GRK. Pada tahap ini, penyelenggaraan kegiatan dapat dilakukan dalam
jangka waktu 1-2 bulan.
Gambar 17. Tahap Perhitungan

Beberapa kegiatan yang perlu dilakukan pada tahap ini, yaitu:

1) Penghitungan emisi baseline Penghitungan emisi baseline bertujuan


untuk menghitung tingkat emisi GRK sebelum adanya kegiatan penurunan
emisi dan proyeksinya di masa depan. Penghitungan ini dilakukan untuk
beberapa bidang dan kegiatan penghasil emisi GRK yang telah dipilih oleh
pemerintah daerah melalui identifikasi awal sumber-sumber emisi GRK
daerah. Secara teknis, penghitungan ini dilakukan dengan cara
menghitung tingkat (jumlah) emisi yang dihasilkan dari suatu bidang
/kegiatan berdasarkan pada: 1) Data historis (hasil inventarisasi emisi
GRK) dan 2) Data/informasi masa depan tanpa adanya intervensi
kebijakan/teknologi mitigasi perubahan iklim.
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa:
“baseline = proyeksi emisi GRK (data/informasi masa depan tanpa
intervensi mitigasi)”
Sejalan dengan penyusunan baseline adalah penyusunan tingkat emisi
GRK dengan skenario mitigasi, yaitu menghitung jumlah emisi/serapan
GRK yang akan dihasilkan dari suatu bidang/kegiatan pada suatu kurun
waktu tertentu berdasarkan: 1) Data historis (hasil inventarisasi GRK);
dan 2) Data proyeksi emisi/serapan GRK dengan asumsi data/informasi
masa depan yang sudah mengikutsertakan/setelah penerapan
kebijakan/teknologi penurunan emisi GRK.
Informasi mengenai metodologi penghitungan emisi GRK dengan baseline
dan skenario mitigasi, serta data/ informasi yang diperlukan untuk
beberapa bidang terkait dapat dilihat di Pedoman Pelaksanaan Rencana
Aksi Penurunan Emisi GRK.
2) Usulan Aksi Mitigasi
Pada bagian ini, Pokja masing-masing bidang mulai dapat memilah dan
memilih beberapa kegiatan mitigasi yang akan diusulkan untuk
dimasukan ke dalam dokumen RAD-GRK. Pada dasarnya penetapan
usulan aksi mitigasi ini menggabungkan usulan-usulan kegiatan yang
sudah ada dan yang baru baik yang berasal dari pemerintah pusat,
pemerintah daerah, pelaku usaha maupun dari masyarakat. Berikut
adalah ilustrasi dari proses pengusulan tersebut:

Gambar 18. Ilustrasi Proses Pengusulan Kegiatan Mitigasi

Secara terinci, ada beberapa langkah yang harus dilakukan oleh


Pokja per bidang dalam melakukan penetapan usulan kegiatan penurunan
emisi GRK sebagai mana yang diilustrasikan pada Gambar 12. di atas.
1. Mengidentifikasi aksi mitigasi yang terdapat pada Dokumen RAN-GRK.
Berdasarkan hasil identifikasi tersebut, apabila terdapat kegiatan
penurunan emisi GRK yang sudah tercantum yang dengan jelas
menyebutkan lokasinya berada pada Kabupaten tersebut maka Pemda
mendukung kegiatan yang tercantum dalam RAN-GRK dan dapat
melaksanakan kegiatan yang sama dengan program/kegiatan dari
pusat (menambah jumlah dan/atau volume untuk di wilayah
Kabupatennya) dari kegiatan yang ada. Hal tersebut berarti bahwa
kegiatan-kegiatan tersebut direncanakan akan dibiayai oleh
Pemerintah Pusat, melalui Kementerian/Lembaga terkait. Pada tahap
perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan, Pemerintah Pusat akan
berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah.
2. Langkah berikutnya, mengidentifikasi program dan kegiatan
pembangunan yang telah ada (existing actions) yang terdapat di dalam
dokumen rencana pembangunan strategis daerah untuk beberapa
sektor yang telah dipilih oleh Pemerintah Kabupaten pada proses
identifikasi awal. Apabila program/kegiatan tersebut diperkirakan
memiliki peran menurunkan emisi GRK, maka program/kegiatan
tersebut dapat dimasukan ke dalam dokumen RAD-GRK.
3. Mengusulkan beberapa kegiatan mitigasi yang baru dari beberapa
lembaga publik, swasta dan masyarakat untuk dimasukan ke dalam
dokumen RAD-GRK, sepanjang usulan-usulan tersebut layak untuk
dipertimbangkan dan diseleksi lebih lanjut.
Contoh-contoh usulan aksi mitigasi untuk setiap bidang dapat dilihat
di Pedoman Pelaksanaan Rencana Aksi Penurunan Emisi GRK.
Selanjutnya, penghitungan perkiraan jumlah emisi yang dihasilkan (dalam
satuan CO2 eq) dari setiap usulan kegiatan mitigasi (yang lama dan yang
baru) dilakukan dengan menggunakan metodologi penghitungan reduksi
emisi GRK yang akan ditetapkan dalam panduan teknis oleh K/L terkait.
Kemudian dilanjutkan dengan penghitungan perkiraaan biaya mitigasi
yang diperlukan (dalam satuan Rupiah) dari setiap usulan kegiatan
mitigasi (yang lama dan yang baru) dengan menggunakan metodologi
penghitungan biaya mitigasi sektoral yang tersedia.
Pokja juga harus memperkirakan jangka waktu yang dibutuhkan
untuk melaksanakan setiap usulan kegiatan mitigasi dimulai dari tahap
persiapan sampai dengan tahap operasionalisasi. Semua informasi ini
digunakan oleh Tim Penyusun untuk menyusun dokumen RADGRK.
3) Pemetaan Kelembagaan Daerah
Pemetaan kelembagaan (stakeholder mapping) dilakukan untuk
menganalisis lebih jauh tentang peran penting dan pengaruh setiap
lembaga/pelaku dari unsur pemerintah, swasta, dan kelompok
masyarakat yang berperan sebagai penghasil emisi GRK dan sekaligus
berperan sebagai pelaku penurunan emisi GRK di wilayah Kabupaten.
Kegiatan ini dilakukan oleh Pokja dengan menggunakan data dan
informasi yang telah dikumpulkan sebelumnya yaitu identifikasi
kelembagaan publik, swasta dan masyarakat. Informasi dari tabel ini
digunakan oleh Tim Penyusun sebagai masukan untuk Menyusun
dokumen RAD-GRK.
2.2.4 Tahap Perumusan Rencana Aksi
Pemerintah Kabupaten melalui Tim Penyusun RAD-GRK dapat
menetapkan dan memilih usulan-usulan mana yang akan diprioritaskan untuk
dimasukan ke dalam dokumen RAD-GRK. Penetapan tersebut menggunakan
beberapa kriteria yang merupakan gabungan antara aspek teknis dan non
teknis, misalnya ekonomi, sosial, politis, dll. Hal ini diperlukan untuk
memastikan bahwa pilihan yang dibuat berdasarkan pada berbagai
pertimbangan, khususnya kebijakan pembangunan berkelanjutan. Kriteria
umum yang dapat digunakan adalah: technically feasible (pelaksanaan aksi
dimungkinkan secara teknis), economically/ financially feasible (dimungkinkan
secara ekonomis/pembiayaan), politically/socially viable (diterima secara
politis dan sosial), serta administratively operable (dapat dilaksanakan sesuai
prosedur administrasi yang ada).
Tahap perumusan rencana aksi setidaknya terdiri dari beberapa kegiatan
dan berlangsung dalam jangka waktu 2-3 bulan. Prosesnya dapat dilihat dalam
Gambar 13.

Gambar 19. Tahap Perumusan Rencana Aksi Mitigasi

1) Konsolidasi hasil Pokja


Tahap perumusan rencana aksi diawali dengan mengadakan Sidang
pleno Tim yang ke-2 untuk mengkonsolidasikan hasil kerja dari setiap
Pokja, dan menyusun daftar usulan kegiatan penurunan emisi setiap
bidang berikut dengan hasil penghitungan penurunan emisi GRK, biaya
mitigasi dan jangka waktu implementasi.
2) Skala Prioritas Usulan Aksi Mitigasi
Tim Penyusun RAD-GRK dalam sidang pleno dapat melakukan
penentuan skala prioritas dari berbagai usulan aksi mitigasi yang telah
dihitung perkiraan jumlah penurunan emisi, biaya mitigasi, serta
perkiraan waktu implementasinya. Secara bersama-sama, Tim penyusun
dapat memilih dan menyusun daftar prioritas kegiatan inti mitigasi
sektoral yang beremisi rendah atau efektif menghasilkan penurunan emisi
dan berbiaya lebih rendah (efisiensi biaya) untuk dimasukan ke dalam
dokumen RAD-GRK. Gambar 14. mengilustrasikan mengenai proses
tersebut berdasarkan 2 (dua) kriteria utama yaitu: 1) Tingkat Kelayakan
Biaya, dan 2) Tingkat Kelayakan Pelaksanaan.
Gambar 20. Proses Penetuan Skala Prioritas Usulan-Usulan Aksi Mitigasi

3) Penentuan target penurunan emisi GRK


Penentuan perkiraan target penurunan emisi GRK per bidang atau
gabungan beberapa bidang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten dengan
menggunakan hasil penghitungan emisi dari aksi-aksi mitigasi sectoral.
Secara spesifik, Pokja menghitung jumlah penurunan emisi GRK dari
baseline untuk setiap kegiatan/aksi penurunan emisi GRK, kemudian
menjumlahkan semua perkiraan penurunan emisinya. Proses penentuan
target ini harus dikonsultasikan dengan para pemangku kepentingan di
daerah dalam suatu pertemuan khusus (konsultasi publik), serta
dikoordinasikan dengan K/L dan Sekretariat RAN-GRK di
Bappenas/Kementerian PPN. Informasi yang dihasilkan (penentuan
target) digunakan oleh Tim Penyusun untuk menyusun dokumen RAD-
GRK.
4) Formulasi strategi implementasi RAD-GRK
Pokja dengan arahan dari Tim Pengarah merumuskan (menetapkan)
kebijakan dan strategi umum yang diperlukan untuk melaksanakan RAD-
GRK di daerah. Untuk itu diperlukan beberapa langkah berikut ini:
1. Pemetaan kelembagaan publik dan swasta yang akan terlibat baik
secara langsung maupun tidak langsung dalam upaya penurunan emisi
GRK daerah.
2. Mengidentifikasi sumber-sumber pendanaan baik yang berasal dari
daerah (APBD), nasional (APBN), swasta serta bantuan hibah untuk
membiayai kegiatan penurunan emisi yang tercantum dalam RAD-
GRK.
3. Menyusun waktu/jadwal pelaksanaan dari rencana aksi yang telah
dibuat untuk keperluan pengukuran, pemantauan, evaluasi dan
pelaporan.
4. Sosialisasi rencana implementasi RAD-GRK agar mendapat tanggapan
yang sesuai dari masyarakat dan pelaku usaha atau
lembaga/organisasi yang mewakilinya.
Informasi ini (poin 1-4) digunakan oleh Tim Penyusun untuk menyusun
dokumen RAD-GRK. Secara khusus, untuk mendukung kebijakan dan
strategi implementasi RAD-GRK yang telah dirumuskan tersebut di atas,
maka Pemerintah Kabupaten dapat memfungsikan lembaga pemerintah
daerah yang telah ada untuk terlibat di dalam pelaksanaan, pemantauan
dan pelaporan RAD-GRK di masa yang akan datang, misalnya antara lain :
1. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Berperan sebagai koordinator umum pelaksanaan, pemantaun dan
pelaporan seluruh bidang/ kegiatan RAD-GRK
2. Instansi daerah yang menangani bidang Lingkungan Hidup
Berperan sebagai koordinator pelaksanaan, pemantauan dan
pelaporan penyelengaraan Inventarisasi GRK
3. Instansi daerah yang menangani bidang Industri
Berperan sebagai koordinator pelaksana dan pelaporan aksi mitigasi
daerah bidang industry
4. Instansi Daerah yang menangani pengelolaan Limbah Padat dan Cair
Berperan sebagai koordinator pelaksana dan pelaporan aksi mitigasi
daerah bidang limbah padat dan cair domestic
5. Instansi Daerah yang menangani bidang Perhubungan
Berperan sebagai koordinator pelaksana dan pelaporan aksi mitigasi
daerah bidang transportasi
6. Instansi Daerah yanng menangani bidang Energi dan Pertambangan
Berperan sebagai koordinator pelaksana dan pelaporan aksi mitigasi
daerah bidang energi/ pembangkit listrik
7. Instansi Daerah yang menangani bidang Kehutanan
Berperan sebagai koordinator pelaksana dan pelaporan aksi mitigasi
daerah bidang kehutanan dan lahan gambut
8. Instansi Daerah yang menangani bidang Pertanian
Berperan sebagai koordinator pelaksana dan pelaporan aksi mitigasi
daerah bidang pertanian
2.2.5 Tahap Penetapan
Pada tahap ini Pokja RAD-GRK bertugas menyusun Rancangan Naskah
Peraturan Bupati mengenai RAD-GRK Kabupaten. Rancangan ini selanjutnya
akan ditetapkan dalam kurun waktu tidak lebih dari 12 bulan sejak
diterbitkannya Perpres 61/2011. Setelah itu, RAD-GRK ini diserahkan kepada
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri
Dalam Negeri untuk dapat diintegrasikan ke dalam upaya-upaya pencapaian
target penurunan emisi GRK nasional. Penetapan RAD-GRK Kabupaten tersebut
perlu diikuti oleh kegiatan sosialisasi kepada publik, untuk meningkatkan
koordinasi dan partisipasi dari berbagai pihak yang terlibat dalam pelaksanaan
RAD-GRK sesuai jadwal yang telah ditentukan bersama.
2.3 DIAGRAM ALIR PERENCANAAN PELAKSANAAN PEKERJAAN
Seperti telah dijelaskan pada subbab sebelumnya, tahapan proses penyusunan
RAD terdiri dari: (1) Tahap Persiapan; (2) Tahap Pengumpulan Data; (3) Tahap
Penghitungan; (4) Tahap Perumusan Rencana Aksi; dan (5) Tahap Penetapan.
Setiap tahap memiliki berbagai kegiatan penting yang saling terkait satu sama
lain. Keseluruhan tahapan ini akan dijabarkan pada diagram alir berikut:
Start

Fiksasi metodologi dan


mobilisasi tim

Pengumpulan data:
- Gambaran lokasi (SDM, Sosial, Ekonomi,
Fisik, Lingkungan Kab. Cilacap)
- Kebijakan terkait upaya mitigasi emisi
GRK
- Program terkait upaya mitigasi emisi GRK
- Data sumber emisi GRK
- Hasil inventarisasi emisi GRK
- Lembaga dan kegiatan publik penghasil
emisi GRK
- Lembaga dan kegiatan publik terkait
upaya mitigasi emisi GRK
- Lembaga dan kegiatan masyarakat dan
swasta penghasil emisi GRK
- Lembaga dan kegiatan masyarakat dan
swasta terkait upaya mitigasi emisi GRK

Penghitungan emisi BAU Baseline

Pemetaan Kelembagaan Daerah

Tidak Data cukup

Ya

Penyusunan Usulan aksi mitigasi

End
2.4 SISTEMATIKA PELAPORAN
2.4.1 Laporan Pendahuluan (Inception Report)
 Berisikan penjelasan terhadap metodologi, rencana kerja dan susunan
personal termasuk base line informasi yang telah di update terhadap
kerangka penugasan, konsepsi-konsepsi, referensi, peraturan-peraturan
terkait, dan program kerja/jadwal kegiatan.
 Laporan Pendahuluan harus disampaikan 15 (limba belas) hari kalender
setelah SPMK.
 Laporan Pendahuluan dibuat sebanyak 20 (dua puluh) buku

2.4.2 Laporan Akhir (Final Report)

 Berisikan penyempurnaan hasil diskusi dan kegiatan.


 Laporan Akhir ini diserahkan paling lambat pada saat berakhirnya
kontrak.
 Laporan Akhir dicetak dalam hardcopy sebanyak 10 (sepuluh) buku

2.4.3 Soft Copy Laporan

Semua produk yang dihasilkan dari keseluruhan pelaksanaan kegiatan ini


disimpan ke dalam 2 (dua) unit flash disk untuk kemudian diserahkan kepada
pihak pengguna jasa.
BAB III
ORGANISASI DAN RENCANA PENGGUNAAN TENAGA AHLI

3.1. USULAN STRUKTUR, KOMPOSISI TIM, DAN BIDANG POKOK PEKERJAAN


Posisi Kualifikasi Bidang pokok pekerjaan
Ketua Tim (Team S2
 Mampu Mengkoordinir
leader): Tenaga memiliki pengalaman
seluruh aktifitas Tim dalam
ahli teknik menyusun dokumen
mengelola seluruh kegiatan
lingkungan RAD GRK dan/ atau
lapangan dan kantor.
IGRK selama 3 tahun
 Bertanggung jawab terhadap
terakhir dibuktikan
Pemberi Pekerjaan yang
dengan referensi
berkaitan terhadap kegiatan
serta pernah
tim pelaksana pekerjaan dan
menerima pelatihan
pelaksanaan pekerjaan yang
mengenai
berlangsung saat ini.
penyusunan
 Membuat schedule kegiatan
dokumen perubahan
pekerjaan.
Iklim dibuktikan
 Memonitor progress
dengan sertifikat
pekerjaan yang dilakukan
tenaga ahli.
 Mengarahkan seluruh anggota
team dalam menyiapkan
laporan yang diperlukan.
 Mengkaji ulang serta
pengecekan keseluruhan hasil
pekerjaan yang telah
dilaksanakan.
 Melaksanakan presentasi
dengan direksi pekerjaan dan
instansi terkait.
 Bertanggung jawab terhadap
hasil pekerjaan

 Bertanggung jawab dalam


S1 pelaksanaan pekerjaan sejak
pernah pengerjakan awal penugasan hingga hasil
kegiatan IGRK pekerjaan diterima dengan
utamanya bidang baik oleh pemberi pekerjaan.
kehutanan dibuktikan  Bekerjasama dengan tenaga
dengan referensi, ahli lainnya dibawah
pernah mengerjakan koordinasi ketua tim guna
RAD adaptasi menciptakan suasana kerja
perubahan Iklim yang harmonis dan efektif.
dibuktikan dengan  Melakukan koordinasi dan
Tenaga Ahli
referensi dan pernah asistensi dengan pemberi
Kehutanan
melakukan pekerjaan sesuai dengan
penyusunan kajian bidang keahliannya.
risiko perubahan  Melakukan pengumpulan data,
iklim serta pernah menganalisis data sampai
mendapatkan dengan pemecahan masalah.
pelatihan  Membuat daftar data primer
penyusunan dan sekunder yang
Dokumen Perubahan diperlukan.
Iklim dibuktikan  Melakukan analisis dan
dengan sertifikat menyusun rekomendasi
terkait bidang kehutanan
Tenaga Ahli S1
 Membuat daftar data primer
Planologi SKA Ahli
dan sekunder yang
Perencanaan Wilayah
diperlukan.
dan Kota, serta
 Melakukan analisis dan
memiliki pengalaman
menyusun rekomendasi
mengerjakan terkait bidang Perencanaan
kegiatan IGRK Wilayah dan Kota

 Bertanggung jawab dalam


pelaksanaan pekerjaan sejak
awal penugasan hingga hasil
pekerjaan diterima dengan
baik oleh pemberi pekerjaan.
 Bekerjasama dengan tenaga
ahli lainnya dibawah
S1 Geografi koordinasi ketua tim guna
keahlian dibidang GIS menciptakan suasana kerja
dan memiliki SKA yang harmonis dan efektif.
analisis GIS serta  Melakukan koordinasi dan
Tenaga Ahli
memiliki pengalaman asistensi dengan pemberi
Pemetaan/GIS
dalam analisis GIS pekerjaan sesuai dengan
dibuktikan dengan bidang keahliannya.
referensi Bidang  Melakukan pengumpulan data,
Analisis GIS menganalisis data sampai
dengan pemecahan masalah.
 Membuat daftar data primer
dan sekunder yang
diperlukan.
 Melakukan analisis dan
menyusun rekomendasi
terkait bidang Geografi

Lebih detail mengenai personil yang diusulkan, dibahas pada bab T-7 hingga T-
9.

Anda mungkin juga menyukai