Anda di halaman 1dari 70

PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN

DAERAH INISIATIF DPRD DIY TENTANG PENGENDALIAN


PENDUDUK
TAHUN 2020

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Penduduk merupakan komponen atau aspek yang strategis dalam mendorong dinamika kemajuan
daerah dan bangsa, sehingga keberadaannya merupakan modal dasar pembangunan. Oleh karena
itu pembangunan yang dirancang haruslah pembangunan yang “population-responsive”, atau ada
yang menyebut “people centered development” yaitu pembangunan yang senantiasa mengacu
atau merujuk kepada dinamika dan tren perkembangan kependudukan Kependudukan.
Strategisnya masalah kependudukan diakui oleh seluruh negara termasuk Indonesia, sehingga
pada akhirnya dalam sidang Persatuan bangsa-Bangsa (PBB) Tahun 1989 disepakati sebagai hari
kependudukan.

Jika berbicara terkait kependudukan, secara singkat Kependudukan bisa digambarkan sebagai
sebuah fenomena baik di hulu maupun di hilir pemerintahan. Sejauh mana kemampuan
pemerintah dalam mengantisipasi dan mengendalikan kependudukan pada gilirannya dapat
mengatasi atau mengurangi fenomena yang terjadi di hilir, seperti pengangguran, kemiskinan,
ketimpangan, kriminalitas, krisis lingkungan hidup dan sebagainya. Besarnya jumlah penduduk
dengan selang usia produktif yang di satu sisi menjadi sebuah keuntungan, bila penduduk usia
produktif dikatakan berkualitas. Tetapi di sisi lain dapat menjadi bencana ketika penduduk usia
produktif dalam kondisi pendidikan rendah, keahlian rendah, serta kondisi kesehatan yang buruk,
sehingga tidak dapat berproduksi secara optimum.

Setelah memahami pentingnya kependudukan maka tentu harus dilakukan Pembangunan


kependudukan yaitu upaya mewujudkan sinergi, sinkronisasi, dan harmonisasi pengendalian
kuantitas, peningkatan kualitas, pembangunan keluarga, penataan persebaran dan pengarahan
mobilitas, serta penataan administrasi kependudukan. Secara garis besar pembangunan
kependudukan meliputi 5 (lima) pilar pokok, yaitu:

1. Pengendalian kuantitas penduduk, yang dilakukan antara lain dengan:


a. pengaturan fertilitas.
b. penurunan mortalitas.
2. Peningkatan kualitas penduduk yang berhubungan dengan status kesehatan, pendidikan,
agama, ekonomi, dan sosial budaya.
3. Pembangunan Keluarga yang berkeketahanan, sejahtera, sehat, maju, mandiri, dan
harmoni.
4. Pengarahan mobilitas penduduk yang terkait dengan persebaran penduduk.
5. Pengembangan Sistem Informasi Kependudukan.

Kelima hal tersebut di atas saling berkaitan dan saling mempengaruhi, misalnya saja kuantitas
penduduk juga dipengaruhi dengan kualitas penduduk, yang contoh konkritnya adalah seseorang
yang berpendidikan tinggi, memiliki kecenderungan untuk menikah pada usia yang cukup
matang, dan juga ketika sudah berkeluarga memiliki kecenderungan untuk mempunyai jumlah
anak yang sedikit. Sedangkan untuk fokus terkait pertumbuhan penduduk akan terkait 3 (tiga) hal
yaitu fertilitas, mortalitas, dan mobilitas penduduk.

Selanjutnya terkait Pengendalian Kuantitas Penduduk, maka dari data yang ada pada akhir Tahun
2020 Indonesia akan dihuni 269,6 juta jiwa (proyeksi penduduk 2015-2045 hasil Survei
Penduduk Antar Sensus (Supas) 2015). Berdasarkan jumlah tersebut berarti Indonesia menjadi
negara peringkat ke-empat di dunia dengan jumlah penduduk terbanyak setelah China, India, dan
Amerika.

Banyaknya jumlah penduduk dimaksud dapat dipandang dari dua sisi: sebagai modal
pembangunan atau sebagai tantangan pembangunan. Tantangan pembangunan tersebut meliputi
permasalahan-permasalahan kependudukan:

 Tekanan penduduk dan lingkungan, yaitu berkurangnya lahan pertanian dan rusaknya
lingkungan akibat permukiman yang semakin padat dan perilaku manusia yang tidak
peduli lingkungan.
 Kemiskinan. Penduduk yang sangat banyak tidak seluruhnya mampu untuk memperoleh
kebutuhan ekonomi.
 Pengangguran. Terjadi karena lapangan kerja tidak sebanyak pencari kerja. Banyaknya
pencari kerja muncul akibat semakin meningkatnya jumlah penduduk.
 Rawan pangan. Terjadi karena kebutuhan pangan semakin meningkat dengan adanya
pertambahan penduduk, sedangkan luas pertanian akan berkurang. Akibatnya, produksi
padi tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan seluruh penduduk
 Berkurangnya daya dukung dan daya tampung lingkungan ditandai dengan
menyempitnya lahan produktif. Penduduk yang besar akan meningkatkan kebutuhan
penduduk terhadap tempat tinggal. Akibatnya, semakin luas lahan yang diperlukan untuk
bangunan permukiman dan fasilitas sosial-ekonomi penunjang kebutuhan manusia, di
antaranya sekolah, fasilitas kesehatan, gedung-gedung perkantoran, pasar dan fasilitas
umum lainnya. Terbatasnya lahan menyebabkan lahan pertanian akan berkurang karena
telah berubah fungsi. ( Jurnal Keluarga Edisi Keempat, 2018, BKKBN).

Permasalahan kependudukan yang diakibatkan besarnya jumlah penduduk dan laju pertumbuhan
penduduk yang tinggi, bisa dianalogikan jika sebuah rumah berisikan 8 anggota keluarga
tentunya akan lebih sempit. Akan lebih terasa luas jika sebuah rumah diisi oleh 3 atau 4 anggota
keluarga. Sama halnya dengan sebuah wilayah, oleh karena itu perlu pengendalian penduduk
agar daya tampung sama dengan jumlah penduduk. Pengendalian Penduduk juga penting untuk
mewujudkan keseimbangan dengan daya dukung lingkungan sehingga tercapai masyarakat
bahagia dan sejahtera.

Lebih jauh lagi berbicara terkait pengendalian kuantitas penduduk terdapat beberapa strategi
yang bisa dilakukan antara lain:

1. Penurunan angka mortalitas pada ibu dan anak, yang diprioritaskan antara lain pada:
 Penurunan angka kematian ibu hamil.
 Penurunan angka kematian ibu melahirkan.
 Penurunan angka kematian pasca melahirkan.
 Penurunan angka kematian bayi dan anak.
2. Pengaturan fertilitas melalui Program Keluarga Berencana Program Keluarga Berencana
membutuhkan kepedulian masyarakat karena mencakup:
 Pendewasaan usia perkawinan/pengarahan usia ideal perkawinan. Pendewasaan
usia perkawinan penting dilakukan agar penduduk mencapai usia yang ideal pada
saat perkawinan. Pendewasaan merupakan upaya untuk mendewasakan usia
perkawinan pertama baik fisik, psikis, maupun ekonomi.
 Usia ideal melahirkan.
 Jarak ideal melahirkan.
 Jumlah ideal anak yang dilahirkan.
3. Menekan angka kehamilan yang tidak diinginkan.

Program Keluarga Berencana merupakan program yang diluncurkan sejak tahun 1970 untuk
menekan laju pertumbuhan penduduk. Sampai dengan akhir tahun 1990 Program Keluarga
Berencana telah berhasil menekan laju pertambahan penduduk dari semula sekitar 4,6 pada tahun
1970 menjadi sekitar 2,6 pada akhir tahun 1990. Keberhasilan Pogram Keluarga Berencana di
Indonesia telah diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan pada sidang majelis umum
PBB menganugerahkan penghargaan kepada pemerintah Indonesia sebagai negara yang berhasil
mengatasi laju pertambahan penduduk.

Namun sayang pelaksanaan Program Keluarga Berencana tidak diteruskan dengan baik sehingga
gemanya menjadi surut, seiring dengan pergantian rezim “Orde Baru” dan pelaksanaan otonomi
daerah. Oleh karena itu akibatnya laju pertumbuhan penduduk di Indonesia kembali meningkat
jika dibandingkan sebelum reformasi, dan Indonesia dikhawatirkan akan mengalami ledakan
penduduk, jika tidak segera mengambil langkah-langkah konkrit. Situasi yang ada pada akhirnya
menggugah kembali kesadaran semua pihak akan pentingnya memberikan perhatian yang besar
kepada permasalahan jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk.

Pada akhirnya, kesadaran Pemerintah akan pentingnya masalah terkait jumlah penduduk
mendorong Pemerintah mengeluarkan kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan,
diantaranya:

1. Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan


Pembangunan Keluarga. Beberapa ketentuan yang diatur:
 Pasal 8 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) menyebutkan
(1) Pemerintah daerah menetapkan kebijakan dan program jangka menengah dan
jangka panjang yang berkaitan dengan perkembangan kependudukan dan
pembangunan keluarga sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing.
(2) Kebijakan dan program jangka menengah dan jangka panjang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus mengacu pada kebijakan nasional.
(3) Kebijakan dan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
pemerintah daerah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
 Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) menyebutkan
(1) Pemerintah provinsi bertanggung jawab dalam:
a. menetapkan kebijakan daerah;
b. memfasilitasi terlaksananya pedoman meliputi norma, standar, prosedur,
dan kriteria;
c. memberikan pembinaan, bimbingan dan supervisi; dan
d. sosialisasi, advokasi, dan koordinasi; pelaksanaan perkembangan
kependudukan dan pembangunan keluarga sesuai dengan kebutuhan,
aspirasi, dan kemampuan masyarakat setempat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab pemerintah provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah.
 Pasal 19 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) menyebutkan
(1) Pengendalian kuantitas penduduk berhubungan dengan penetapan perkiraan:
a. jumlah, struktur, dan komposisi penduduk;
b. pertumbuhan penduduk; dan c. persebaran penduduk.
(2) Pengendalian kuantitas penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sesuai dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan
melalui:
a. pengendalian kelahiran;
b. penurunan angka kematian; dan
c. pengarahan mobilitas penduduk.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2014 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga, Keluarga Berencana, dan Sistem Informasi Keluarga.
 Pasal 8 menyebutkan:
(1) Penetapan kebijakan nasional perkembangan kependudukan harus
memperhatikan:
a. pengendalian kuantitas penduduk;
b. pengembangan kualitas penduduk; dan
c. pengarahan mobilitas penduduk.
(2) Pengendalian kuantitas penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dilaksanakan melalui sinkronisasi kebijakan kependudukan di
tingkat nasional dan daerah.
(3) Sinkronisasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berhubungan dengan:
a. penetapan perkiraan jumlah, struktur, dan komposisi penduduk;
b. penurunan laju pertumbuhan penduduk; dan
c. persebaran penduduk.
(4) Pengembangan kualitas penduduk dan pengarahan mobilitas penduduk
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 Pasal 9 menyebutkan: Daiam rangka pelaksanaan sinkronisasi kebijakan
pengendalian kuantitas penduduk, Pemerintah Daerah Provinsi dapat menetapkan
kebijakan dengan mengacu dan berpedoman kepada kebijakan Pemerintah.
 Pasal 17 menyebutkan:
(1) Dalam rangka meningkatkan akses dan kualitas penyelenggaraan
perkembangan kependudukan, pembangunan keluarga dan pelayanan
Keluarga Berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pemerintah dan
Pemerintah Daerah:
a. menyediakan sarana dan prasarana perkembangan kependudukan,
pembangunan keluarga dan pelayanan Keluarga Berencana;
b. memberikan pengayoman; dan
c. memberikan rujukan bagi peserta Keluarga Berencana yang
membutuhkan.
(2) Penyediaan sarana dan prasarana penyelenggaraan perkembangan
kependudukan, pembangunan keluarga dan pelayanan Keluarga Berencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. KIE;
b. alat dan obat kontrasepsi; dan
c. Pencatatan dan Pelaporan Pelayanan Keluarga Berencana.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 153 Tahun 2014 tentang Grand Design Pembangunan
Kependudukan
 Pasal 4 menyebutkan Strategi Pelaksanaan GDPK dilakukan melalui:
a. pengendalian kuantitas penduduk;
b. peningkatan kualitas penduduk;
c. pembangunan keluarga;
d. penataan persebaran dan pengarahan mobilitas penduduk; dan
e. penataan administrasi kependudukan.
 Pasal 5 menyebutkan
(1) Untuk mengendalikan kuantitas penduduk sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf a dan pencapaian penduduk tumbuh seimbang, dan keluarga
berkualitas, Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan:
a. pengaturan fertilitas; dan
b. penurunan mortalitas.
(2) Pengaturan fertilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
program keluarga berencana.
(3) Program keluarga berencana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. pendewasaan usia perkawinan;
b. pengaturan kehamilan yang diinginkan;
c. pembinaan kesertaan keluarga berencana;
d. peningkatan kesejahteraan keluarga;
e. penggunaan alat, obat, dan atau cara pengaturan kehamilan;
f. peningkatan akses pelayanan keluarga berencana; dan
g. peningkatan pendidikan dan peran wanita.
(4) Pengaturan fertilitas dilaksanakan melalui upaya pembudayaan norma
keluarga kecil, bahagia, dan sejahteraa.
(5) Penurunan mortalitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. penurunan angka kematian ibu hamil;
b. penurunan angka kematian ibu melahirkan;
c. penurunan angka kematian pasca melahirkan; dan
d. penurunan angka kematian bayi dan anak.

Beranjak pada kondisi Daerah Istimewa Yogyakarta, beberapa data juga mengindikasikan bahwa
DIY harus melakukan langkahlangkah berkaitan dengan pengendalian penduduk:

 Menurut hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015- 2045, proyeksi jumlah
penduduk DIY pada tahun 2015 sejumlah 3.669.200 jiwa meningkat menjadi 3.868.600
jiwa jiwa pada tahun 2019, dengan persentase jumlah penduduk laki-laki 49,4 persen dan
penduduk perempuan 50,6 persen.
 Laju pertumbuhan penduduk DIY pada tahun 2018 dibandingkan tahun 2017 sebesar 1,08
persen sedangkan terhadap tahun 2010 mencapai 1,16 persen, dan laju pertumbuhan
penduduk DIY pada tahun 2019 dibandingkan tahun 2018 sebesar 1,05 persen, sedangkan
terhadap tahun 2010 mencapai 1,15 persen (Aplikasi Dataku Bappeda DIY). Sedangkan
data lain menunjukkan laju pertumbuhan penduduk DIY tahun 2010-2019 sebesar 1,18
persen per tahun lebih tinggi dibanding angka laju pertumbuhan penduduk DIY pada
periode tahun 2000-2010 sebesar 1,03 persen per tahun (Daerah Istimewa Yogyakarta
Dalam Angka, BPS, 2020).
 Dengan luas wilayah 3.185,80 km2, kepadatan penduduk di DIY pada tahun 2019 tercatat
1.206,27 jiwa per km2. Kepadatan tertinggi terjadi di Kota Yogyakarta yakni 13.290,43
jiwa per km2 dengan luas wilayah hanya sekitar satu persen dari luas DIY. Sedangkan
Kabupaten Gunungkidul yang memiliki wilayah terluas mencapai 46,63 persen, memiliki
kepadatan penduduk terendah yang dihuni rata-rata 500,03 jiwa per km2. (Aplikasi dataku
Bappeda DIY).
 Menurut hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015- 2045 (data diolah),
komposisi penduduk D.I. Yogyakarta pada tahun 2019 menurut kelompok umur
didominasi oleh kelompok usia dewasa yaitu umur 25-29 tahun sebesar 8,0 persen.
Kelompok umur 0-24 tahun tercatat 35,81 persen, kelompok umur 30-59 tahun 41,4 persen,
dan lanjut usia yaitu umur 60 tahun ke atas sebesar 14,8 persen. Besarnya proporsi mereka
yang berusia lanjut mengisyaratkan tingginya usia harapan hidup penduduk DIY yang
mencapai 74,92 pada tahun 2019 (Aplikasi dataku, Bappeda DIY), dan ke depan tentu akan
semakin banyak penduduk lanjut usia di DIY.
 Angka Fertilitas Total (TFR) di DIY berdasarkan hasil survey demografi dan kesehatan
menunjukkan tren kenaikan yaitu tahun 2007 adalah 1,8 kemudian tahun 2012 adalah 2,0
dan pada saat ini berada pada angka 2,2 anak per wanita meskipun angka tersebut lebih
rendah daripada angka nasional dan mendekati ideal (2,1 anak per wanita) (Laporan SDKI
2017).
 Kepesertaan ber KB all method meningkat menjadi 76% namun KB modern mengalami
penurunan (57,3%), hal ini karena adanya peningkatan metode KB tradisional dari 10,3%
menjadi 18,6% (laporan SDKI 2017).
 Angka putus pakai KB masih tinggi yaitu sebesar 28,4% (laporan SDKI 2017).
 Capaian peserta KB baru (PB) tidak berdampak terhadap penambahan peserta KB aktif
(PA) modern (Laporan SDKI 2017).
 Prevelensi KB MJKP mengalami penurunan sebesar 2,5% dan saat ini menjadi 18,6%
terutama penurunan pemakaian KB IUD/AKDR/spiral (Laporan SDKI 2017).
 Masih rendahnya indeks pengetahuan remaja tentang masa subur yaitu 64,4% (laporan
SKAP 2018).
 Unmet need di Kabupaten/Kota yang masih tinggi yaitu 10,25% Kulon Progo, 10,55%
Bantul, 9,48% Gunungkidul, Sleman 9,04%, Yogyakarta 14,15% (data tahun 2019, sumber
aplikasi dataku, Bappeda DIY).

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta memandang perlunya sebuah Peraturan Daerah tentang
Pengendalian Penduduk.

1.2. MAKSUD DAN TUJUAN


Maksud
Maksud penyusunan Naskah Akademik dan Draf Raperda adalah :

1. dihasilkannya dokumen kajian (Naskah Akademik) Pengendaian Penduduk, yang


setidaknya dapat menguraikan dan menjawab beberapa hal sebagai berikut:
a. Melakukan kajian yang komprehensif secara teoritis terkait pengendalian penduduk
(misal terkait pertumbuhan penduduk dan laju pertumbuhan penduduk, pengendalian
pertumbuhan penduduk, demografi dan bonus demografi, fertilitas, mortalitas,
migrasi dan mobilitas penduduk, rasio/angka ketergantungan, hubungan kualitas
penduduk dengan kuantitas penduduk, angkatan kerja dan lapangan kerja, kebijakan
kependudukan, dll) dan disertai analisis kemungkinan penerapannya terkait kondisi
pengendalian penduduk di DIY.
b. Data program dan kegiatan yang telah dilakukan termasuk anggarannya baik oleh
instansi vertikal yang ada di DIY maupun Organisasi Perangkat Daerah DIY dan
Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Kota terkait pengendalian penduduk (paling
tidak 3 tahun terakhir).
c. Melakukan pencermatan dan analisis terhadap data-data kependudukan yang terkait
dengan pengendalian penduduk apakah ada permasalahan yang tersirat dari data-data
tersebut termasuk merumuskan implikasi kebijakan untuk menyelesaikan
permasalahan yang ada terkait masingmasing data (misal data jumlah penduduk,
proyeksi penduduk, data laju pertumbuhan penduduk, struktur penduduk, jumlah
penduduk usia kerja, jumlah penduduk usia remaja, jumlah penduduk lanjut usia,
angka fertilitas, angka mortalitas, mobilitas penduduk di kab/kota, rasio/angka
ketergantungan, angka kepesertaan KB, angka putus KB, angka penambahan peserta
aktif KB modern, angka prevelasi KB MJKP, angka pengetahuan remaja tentang
masa subur, angka unmeet need, angka kepadatan penduduk DIY dan kab/kota, angka
rata-rata usia perkawinan di DIY, angka perkawinan dini/dispensasi perkawinan,
angka perceraian, profil penduduk, dll).
d. Melakukan pengambilan data primer dengan metode yang memenuhi standar
akademik, untuk mengetahui permasalahan dan tantangan terkait pengendalian
penduduk (misal kenapa masyarakat enggan menjadi peserta aktif KB modern,
kenapa suami sangat jarang menjadi peserta aktif KB, pengetahuan masyarakat terkait
pengendalian penduduk dan KB, dll) dan selanjutnya merumuskan rekomendari
penyelesaian permasalahan dan tantangan yang ada.
e. Rumusan Strategi, Kebijakan mengoptimalkan lima pihak (pentahelix) dalam
pengendalian penduduk, yaitu Pemerintah Daerah DIY, Swasta, Akademisi,
Masyarakat atau Komunitas, dan Media serta ditambah pelibatan Kabupaten/Kota
serta instansi vertikal kependudukan.
f. Melakukan kajian dan analisis secara komprehensif terhadap peraturan perundang-
undangan yang berlaku termasuk terkait pembagian urusan pemerintahan di bidang
pengendalian penduduk dan keluarga berencana, sehingga dihasilkan rekomendasi
apa saja hal-hal yang bisa dilakukan oleh Pemerintah Pusat (dalam hal ini intsnasi
vertikal kependudukan yang ada di DIY), Pemerintah Daerah DIY, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota.
g. Melakukan kajian dan menggali unsur budaya atau kearifan lokal yang ada di DIY,
yang bisa dikaitkan dengan pengendalian penduduk, dan merumuskan upaya
mendorong unsur budaya atau kearifan lokal tersebut dalam raperda.
2. Menghasilkan Draf Raperda Inisiatif tentang Pengendalian Penduduk yang dalam
penormaannya mampu menjawab permasalahan terkait dengan masalah pengendalian
kuantitas penduduk, peningkatan kualitas penduduk serta pengarahan mobilitas penduduk
sesuai dengan lima pilar yang ada dalam grand design pembangunan kependudukan.

Tujuan

Tujuan penyusunan Naskah Akademis dan draf Raperda adalah :

1. Menyusun landasan ilmiah, memberikan arah dan menetapkan ruang lingkup bagi
penyusunan draf Raperda tentang Pengendalian Penduduk.
2. Menyusun konsep (draf) rancangan Peraturan Daerah tentang Pengendalian Penduduk.

1.3. SASARAN
Tersusunnya sebuah kebijakan dalam bentuk Peraturan Daerah tentang tentang Pengendaalian
Penduduk yang mempunyai landasan yang kuat baik secara teoritik, ilmiah, dan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang ada yang didukung pula dengan penelitian empiris.
1.4. REFERENSI HUKUM
Referensi hukum yang digunakan:

1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat (6);


2. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28B ayat (1);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan;
4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional Tahun 2005-2025;
5. Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga;
6. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta;
7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2014 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga, Keluarga Berencana, dan Sistem Informasi Keluarga;
9. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminstrasi Kependudukan;
10. Peraturan Presiden Nomor 153 Tahun 2014 tentang Grand Design Pembangunan
Kependudukan;
11. Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran
Penduduk dan Pencatatan Sipil;
12. Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2020- 2024;
13. Peraturan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Nomor
481/PER/G4/2016 tentang Sistem Informasi Keluarga;
14. Peraturan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Nomor 199
Tahun 2016 tentang Rencana Strategis Badan Kependudukan dan Keluarga Berenacna
Nasional;
15. Peraturan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Nomor 3
Tahun 2017 tentang Penyediaan Sarana Penunjang Pelayanan Kontrasepsi Dalam
Program Kependudukan. Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga;
16. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pelayanan Administrasi
Kependudukan secara Daring;
17. Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2015 tentang Penyelengaraan Administrasi
Kependudukan dan Kartu Identitas Anak;
18. Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pembangunan Ketahanan Keluarga;
19. Peraturan Gubernur Nomor 30 Tahun 2018 tentang Rencana Aksi Daerah Revitalisasi
Fungsi Keluarga.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. GAMBARAN UMUM LOKASI


Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Daerah Istimewa setingkat provinsi di Indonesia yang
merupakan peleburan Negara Kesultanan Yogyakarta dan Negara Kadipaten Paku Alaman.
Daerah Istimewa Yogyakarta terletak di bagian selatan Pulau Jawa, dan berbatasan dengan
Provinsi Jawa Tengah serta Samudera Hindia. Daerah Istimewa yang memiliki luas 3.185,80 km 2
ini terdiri atas satu kotamadya, dan empat kabupaten, yang terbagi lagi menjadi 78 kecamatan,
dan 438 desa/kelurahan. Menurut sensus penduduk 2010 memiliki populasi 3.452.390 jiwa
dengan proporsi 1.705.404 laki-laki, dan 1.746.986 perempuan, serta memiliki kepadatan
penduduk sebesar 1.084 jiwa per km2.
Penyebutan nomenklatur Daerah Istimewa Yogyakarta yang terlalu panjang menimbulkan
penyingkatan nomenklatur menjadi DI Yogyakarta atau DIY. Daerah Istimewa Yogyakarta
sering dihubungkan dengan Kota Yogyakarta sehingga secara kurang tepat sering disebut dengan
Jogja, Yogya, Yogyakarta, Jogjakarta. Walau secara geografis merupakan daerah setingkat
provinsi terkecil kedua setelah DKI Jakarta, Daerah Istimewa ini terkenal di tingkat nasional, dan
internasional, terutama sebagai tempat tujuan wisata andalan setelah Provinsi Bali. Daerah
Istimewa Yogyakarta mengalami beberapa bencana alam besar termasuk bencana gempa bumi
pada tanggal 27 Mei 2006, erupsi Gunung Merapi selama Oktober-November 2010, serta erupsi
Gunung Kelud, Jawa Timur pada tanggal 13 Februari 2014.
Gambar 2.1. Peta Provinsi DIY

Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta merupakan daerah yang mempunyai pemerintahan


sendiri atau disebut Zelfbestuurlandschappen/Daerah Swapraja, yaitu Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan oleh
Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1755, sedangkan
Kadipaten Pakualaman didirikan oleh Pangeran Notokusumo (saudara Sultan Hamengku
Buwono II) yang bergelar Adipati Paku Alam I pada tahun 1813. Pemerintah Hindia Belanda
mengakui Kasultanan, dan Pakualaman sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangganya
sendiri yang dinyatakan dalam kontrak politik. Kontrak politik yang terakhir Kasultanan
tercantum dalam Staatsblaad 1942 Nomor 47, sedangkan kontrak politik Pakualaman dalam
Staatsblaad 1941 Nomor 577. Eksistensi kedua kerajaan tersebut telah mendapat pengakuan dari
dunia internasional, baik pada masa penjajahan Belanda, Inggris, maupun Jepang. Ketika Jepang
meninggalkan Indonesia, kedua kerajaan tersebut telah siap menjadi sebuah negara sendiri yang
merdeka, lengkap dengan sistem pemerintahannya (susunan asli), wilayah, dan penduduknya.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), Sri Sultan Hamengkubuwana IX dan
Sri Paku Alam VIII menyatakan kepada Presiden RI, bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta, dan
Daerah Pakualaman menjadi wilayah Negara RI, bergabung menjadi satu kesatuan yang
dinyatakan sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sri Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri
Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah, dan Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab langsung
kepada Presiden RI. Hal tersebut dinyatakan dalam:
1. Piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal
19 Agustus 1945 dari Presiden RI.
2. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 5
September 1945 (dibuat secara terpisah).
3. Amanat Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 30 Oktober
1945 (dibuat dalam satu naskah).
Dalam perjalanan sejarah selanjutnya kedudukan DIY sebagai Daerah Otonom setingkat Provinsi
sesuai dengan maksud pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 (sebelum perubahan) diatur dengan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Undang-undang Pokok Pemerintahan Daerah.
Sebagai tindak lanjutnya kemudian Daerah Istimewa Yogyakarta dibentuk dengan Undang-
undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta Peraturan
Pemerintah Nomor 31 Tahun 1950 sebagaimana telah diubah, dan ditambah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1955 (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 71, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 1819) yang sampai saat ini masih berlaku. Dalam undang-undang
tersebut dinyatakan DIY meliputi Daerah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dan Daerah
Kadipaten Pakualaman. Pada setiap undang-undang yang mengatur Pemerintahan Daerah,
dinyatakan keistimewaan DIY tetap diakui, sebagaimana dinyatakan terakhir dalam Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004.
Dalam sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), DIY mempunyai peranan yang penting. Terbukti pada tanggal 4 Januari 1946 sampai
dengan tanggal 27 Desember 1949[7] pernah dijadikan sebagai Ibukota Negara Republik
Indonesia. Tanggal 4 Januari inilah yang kemudian ditetapkan menjadi hari Yogyakarta Kota
Republik pada tahun 2010. Pada saat ini Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dipimpin oleh
Sri Sultan Hamengkubuwana X dan Kadipaten Pakualaman dipimpin oleh Sri Paku Alam X
yang sekaligus menjabat sebagai Gubernur, dan Wakil Gubernur DIY. Keduanya memainkan
peran yang menentukan dalam memelihara nilai-nilai budaya, dan adat istiadat Jawa dan
merupakan pemersatu masyarakat Yogyakarta.
Geografi
DIY terletak di bagian tengah-selatan Pulau Jawa, secara geografis terletak pada 8º 30' - 7º 20'
Lintang Selatan, dan 109º 40' - 111º 0' Bujur Timur. Berdasarkan bentang alam, wilayah DIY
dapat dikelompokkan menjadi empat satuan fisiografi, yaitu satuan fisiografi Gunungapi Merapi,
satuan fisiografi Pegunungan Sewu atau Pegunungan Seribu, satuan fisiografi Pegunungan
Kulon Progo, dan satuan fisiografi Dataran Rendah.

Gambar 2.2. Rupa bumi yang berbentuk gunung api

Satuan fisiografi Gunungapi Merapi, yang terbentang mulai dari kerucut gunung api hingga
dataran fluvial gunung api termasuk juga bentang lahan vulkanik, meliputi Sleman, Kota
Yogyakarta dan sebagian Bantul. Daerah kerucut, dan lereng gunung api merupakan daerah
hutan lindung sebagai kawasan resapan air daerah bawahan. Satuan bentang alam ini terletak di
Sleman bagian utara. Gunung Merapi yang merupakan gunungapi aktif dengan karakteristik
khusus, mempunyai daya tarik sebagai objek penelitian, pendidikan, dan pariwisata.

Gambar 2.3. Karts mendominasi struktur rupa bumi di wilayah Gunungkidul bagian selatan
Satuan Pegunungan Selatan atau Pegunungan Seribu, yang terletak di wilayah Gunungkidul,
merupakan kawasan perbukitan batu gamping dan bentang alam karst yang tandus, dan
kekurangan air permukaan, dengan bagian tengah merupakan cekungan Wonosari yang telah
mengalami pengangkatan secara tektonik sehingga terbentuk menjadi Plato Wonosari (dataran
tinggi Wonosari). Satuan ini merupakan bentang alam hasil proses solusional (pelarutan), dengan
bahan induk batu gamping, dan mempunyai karakteristik lapisan tanah dangkal, dan vegetasi
penutup sangat jarang.

Satuan Pegunungan Kulon Progo, yang terletak di Kulon Progo bagian utara, merupakan bentang
lahan struktural denudasional dengan topografi berbukit, kemiringan lereng curam, dan potensi
air tanah kecil.

Satuan Dataran Rendah, merupakan bentang lahan fluvial (hasil proses pengendapan sungai)
yang didominasi oleh dataran aluvial, membentang di bagian selatan DIY, mulai dari Kulon
Progo sampai Bantul yang berbatasan dengan Pegunungan Seribu. Satuan ini merupakan daerah
yang subur. Termasuk dalam satuan ini adalah bentang lahan marin dan eolin yang belum
didayagunakan, merupakan wilayah pantai yang terbentang dari Kulon Progo sampai Bantul.
Khusus bentang lahan marin dan eolin di Parangtritis Bantul, yang terkenal dengan gumuk
pasirnya, merupakan laboratorium alam untuk kajian bentang alam pantai.

Gambar 2.4. Dataran Pantai Parangtritis

Kondisi fisiografi tersebut membawa pengaruh terhadap persebaran penduduk, ketersediaan


prasarana, dan sarana wilayah, dan kegiatan sosial ekonomi penduduk, serta kemajuan
pembangunan antarwilayah yang timpang. Daerah-daerah yang relatif datar, seperti wilayah
dataran fluvial yang meliputi Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul
(khususnya di wilayah Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta) adalah wilayah dengan kepadatan
penduduk tinggi, dan memiliki kegiatan sosial ekonomi berintensitas tinggi, sehingga merupakan
wilayah yang lebih maju, dan berkembang.

Dua daerah aliran sungai (DAS) yang cukup besar di DIY adalah DAS Progo di barat, dan DAS
Opak-Oya di timur. Sungai-sungai yang cukup terkenal di DIY antara lain adalah Sungai Serang,
Sungai Progo, Sungai Bedog, Sungai Winongo, Sungai Boyong-Code, Sungai Gajah Wong,
Sungai Opak, dan Sungai Oya.

Ekonomi

Gambar 2.5. Pasar tradisional sebagai pusat perekonomian yang berbasis kerakyatan

Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta antara lain meliputi sektor Investasi; Perindustrian,
Perdagangan, Koperasi, dan UKM; Pertanian; Ketahanan Pangan; Kehutanan, dan Perkebunan;
Perikanan, dan Kelautan; Energi, dan Sumber Daya Mineral; serta Pariwisata.
 Penanaman modal dan industri
Penanaman modal di DIY dilaksanakan melalui program peningkatan promosi, dan kerja sama
investasi serta program peningkatan iklim investasi, dan realisasi investasi. Capaian investasi
total pada tahun 2010 mencapai Rp 4.580.972.827.244,00 dengan rincian PMDN sebesar Rp
1.884.925.869.797,00, dan PMA sebesar 2.696.046.957.447,00. Unit usaha di DIY pada tahun
2010 ada sekitar 78.122 unit dengan penyerapan tenaga kerja sebesar 292.625 orang, dan nilai
investasi sebesar Rp. 878.063.496.000,00
 Perdagangan dan UKM
Varian produk ekspor DIY andalan meliputi produk olahan kulit, tekstil, dan kayu. Pakaian jadi
tekstil dan mebel kayu merupakan produk yang mempunyai nilai ekspor tertinggi. Namun secara
umum ekspor ke mancanegara didominasi oleh produk-produk yang dihasilkan dengan nilai seni,
dan kreatif tinggi yang padat karya (labor intensive). Program pembangunan dalam
mengembangkan koperasi dan UKM di DIY, salah satunya adalah memberdayakan usaha mikro,
dan kecil, dan menengah yang disinergikan dengan kebijakan program dari pemerintah pusat.
Salah satu upaya pembinaan UKM adalah melalui kelompok (sentra) karena upaya ini lebih
efektif, dan efisien, di samping itu dengan sentra akan banyak melibatkan usaha mikro, dan kecil.
Pada 2010 tercatat koperasi aktif sebanyak 1.926 koperasi, dan UKM tercatat 13.998 unit usaha
 Pertanian dan kehutanan

Gambar 2.6. Pertanian tetap menjadi andalan


Tingkat kesejahteraan petani dalam bidang pertanian di DIY yang diukur dengan Nilai Tukar
Petani (NTP) NTP dapat menjadi salah satu indikator yang menunjukkan tingkat kesejahteraan
petani di suatu wilayah. Pada 2010 NTP sebesar 112,74%. Ketahanan pangan merupakan bagian
terpenting dari pemenuhan hak atas pangan sekaligus merupakan salah satu pilar utama hak asasi
manusia. Secara umum ketersediaan pangan di DIY cukup karena berkaitan dengan musim
panen sehingga diperlukan pengaturan distribusi oleh pemerintah. Pemenuhan kebutuhan ikan di
DIY dapat dipenuhi dari perikanan tangkap maupun budidaya. Untuk perikanan tangkap
dilakukan melalui pengembangan pelabuhan perikanan Sadeng dan Glagah. Produksi perikanan
budidaya tahun 2010 mencapai 39.032 ton, dan perikanan tangkap mencapai 4.906 ton, dengan
konsumsi ikan sebesar 22,06 kg/kap/tahun.
Hutan di DIY didominasi oleh hutan produksi, yang sebagian besar berada di wilayah Kabupaten
Gunungkidul. Persentase luas hutan di DIY pada tahun 2010 sebesar 5,87% dengan rehabilitasi
lahan kritis sebesar 9,93% dan kerusakan kawasan hutan sebesar 4,94%. Sektor perkebunan, dari
segi produksi tanaman perkebunan yang potensial di DIY adalah kelapa, dan tebu. Kegiatan
perkebunan diprioritaskan dalam rangka pengutuhan tanaman memenuhi skala ekonomi serta
peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu produk tanaman untuk meningkatkan pendapatan
petani.
 ESDM
Sumber daya mineral atau tambang yang ada di DIY adalah Bahan Galian C yang meliputi,
pasir, kerikil, batu gamping, kalsit, kaolin, dan zeolin serta breksi batu apung. Selain bahan
galian Golongan C tersebut, terdapat bahan galian Golongan A yang berupa Batu Bara. Batu bara
ini sangat terbatas jumlahnya, begitu pula untuk bahan galian golongan B berupa Pasir Besi (Fe),
Mangan (Mn), Barit (Ba), dan Emas (Au) yang terdapat di Kabupaten Kulon Progo. Dalam
bidang ketenagalistrikan, khususnya listrik, minyak, dan gas di DIY dipasok oleh PT PLN dan
PT Pertamina.
 Pariwisata

Gambar 2.7. Museum Hamengku Buwono IX di dalam kompleks Kraton Yogyakarta, sebuah
tujuan wisata

Pariwisata merupakan sektor utama bagi DIY. Banyaknya objek, dan daya tarik wisata di DIY
telah menyerap kunjungan wisatawan, baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan
nusantara. Pada 2010 tercatat kunjungan wisatawan sebanyak 1.456.980 orang, dengan rincian
152.843 dari mancanegara, dan 1.304.137 orang dari nusantara. Bentuk wisata di DIY meliputi
wisata MICE (Meeting, Incentive, Convention and Exhibition), wisata budaya, wisata alam,
wisata minat khusus, dan berbagai fasilitas wisata lainnya, seperti resort, hotel, dan restoran.
Tercatat ada 37 hotel berbintang, dan 1.011 hotel melati di seluruh DIY pada 2010. Adapun
penyelenggaraan MICE sebanyak 4.509 kali per tahun atau sekitar 12 kali per hari.
Keanekaragaman upacara keagamaan, dan budaya dari berbagai agama serta didukung oleh
kreativitas seni, dan keramahtamahan masyarakat, membuat DIY mampu menciptakan produk-
produk budaya, dan pariwisata yang menjanjikan. Pada tahun 2010 tedapat 91 desa wisata
dengan 51 di antaranya yang layak dikunjungi. Tiga desa wisata di kabupaten Sleman hancur
terkena erupsi gunung Merapi sedang 14 lainnya rusak ringan. Menurut Kepala Dinas Pariwisata
Yogyakarta pada September 2014, angka kunjungan mencapai 2,4 juta wisatawan domestik dan
1,8 juta wisatawan manca negara.
Secara geografis, DIY juga diuntungkan oleh jarak antara lokasi objek wisata yang terjangkau,
dan mudah ditempuh. Sektor pariwisata sangat signifikan menjadi motor kegiatan perekonomian
DIY yang secara umum bertumpu pada tiga sektor andalan yaitu: jasa-jasa; perdagangan, hotel,
dan restoran; serta pertanian. Dalam hal ini pariwisata memberi efek pengganda (multiplier
effect) yang nyata bagi sektor perdagangan disebabkan meningkatnya kunjungan wisatawan.
Selain itu, penyerapan tenaga kerja, dan sumbangan terhadap perekonomian daerah sangat
signifikan.
Sosial budaya
Kondisi sosial budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta antara lain meliputi Kependudukan;
Tenaga Kerja, dan Transmigrasi; Kesejahteraan Sosial; Kesehatan; Pendidikan; Kebudayaan; dan
Keagamaan
 Kependudukan dan tenaga kerja
Laju pertumbuhan penduduk di DIY antara 2003-2007 sebanyak 135.915 jiwa atau kenaikan
rata-rata pertahun sebesar 1,1%. Umur Harapan Hidup (UHH) penduduk di DIY menunjukkan
kecenderungan yang meningkat dari 72,4 tahun pada tahun 2002 menjadi 72,9 tahun pada tahun
2005. Ditinjau dari sisi distribusi penduduk menurut usia, terlihat kecenderungan yang semakin
meningkat pada penduduk usia di atas 60 tahun.
Proporsi distribusi peduduk berdasarkan usia produktif memiliki akibat pada sektor tenaga kerja.
Angkatan kerja di DIY pada 2010 sebesar 71,41%. Di sektor ekonomi yang menyerap tenaga
kerja paling besar adalah sektor pertanian kemudian disusul sektor jasa-jasa lainnya. Sektor yang
potensial dikembangkan yaitu sektor pariwisata, sektor perdagangan, dan industri terutama
industri kecil menengah serta kerajinan. Pengangguran di DIY menjadi problematika sosial yang
cukup serius karena karakter pengangguran DIY menyangkut sebagian tenaga-tenaga profesional
dengan tingkat pendidikan tinggi.
Salah satu cara untuk mengatasi masalah kependudukan, dan ketenagakerjaan adalah dengan
mengadakan program transmigrasi. Pelaksanaan pemberangkatan transmigran asal DIY sampai
pada tahun 2008 melalui program transmigrasi sejumlah 76.495 KK atau 274.926 jiwa. Ditinjau
dari pola transmigrasi sudah mencerminkan partisipasi, dan keswadayaan masyarakat, melalui
Transmigrasi Umum (TU), Transmigrasi Swakarsa Berbantuan (TSB) dan Transmigrasi
Swakarsa Mandiri (TSM). Untuk pensebarannya sudah mencakup hampir seluruh provinsi. Rasio
jumlah tansmigran swakarsa mandiri pada 2010 mencapai 20% dari total transmigran yang
diberangkatkan
 Kesejahteraan dan kesehatan
Sebagai salah satu aspek yang penting dalam kehidupan, pembangunan kesehatan menjadi salah
satu instrumen di dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tahun 2007 jumlah
keluarga miskin sebanyak 275.110 RTM dan menerima bantuan raskin dari pemerintah pusat
(meningkat 27 persen dibanding periode tahun 2006 sebanyak 216.536 RTM). Penduduk DIY
menurut tahapan kesejahteraan tercatat bahwa pada tahun 2007 kelompok pra sejahtera 21,12%;
Sejahtera I 22,70%; Sejahtera II 23,69%; Sejahtera III 26,83%; dan Sejahtera III plus 5,66%.
Tingkat kesejahteraan pada tahun 2010 meningkat dengan penurunan persentase penduduk
miskin menjadi 16,83%.
Arah pembangunan kesehatan di DIY secara umum adalah untuk mewujudkan DIY yang
memiliki status kesehatan masyarakat yang tinggi tidak hanya dalam batas nasional tetapi
memiliki kesetaraan di tataran internasional khususnya Asia Tenggara dengan mempertinggi
kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, peningkatan jangkauan, dan kualitas
pelayanan kesehatan serta menjadikan DIY sebagai pusat mutu dalam pelayanan kesehatan,
pendidikan pelatihan kesehatan serta konsultasi kesehatan. Hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional
Tahun 2010 menempatkan DIY sebagai daerah setingkat provinsi dengan indikator kesehatan
terbaik, dan paling siap dalam mencapai MDG’s.
Pada tahun 2010 capaian indikator kesehatan untuk umur harapan hidup berada pada level usia
74,20 tahun. Angka kematian balita sebesar 18/1000 KH, angka kematian bayi sebesar 17/1000
KH, dan angka kematian ibu melahirkan sebesar 103/100.000 KH. Prevalensi gizi buruk sebesar
0.70%, Cakupan Rawat Jalan Puskesmas 16% sedangkan Cakupan Rawat Inap Rumah Sakit
sebesar 1,32%.
Dari 118 Puskesmas, 20% puskesmas telah menerapkan sistem manajemen mutu melalui
pendekatan ISO 9001:200; 7% rumah sakit telah menerapkan ISO 9001:200; 25% rumah sakit di
DIY telah terakreditasi dengan 5 standar; 17% RS terakreditasi dengan 12 standar; dan 5% RS
telah terakreditasi dengan 16 standar pelayanan. Sarana pelayanan kesehatan yang memiliki unit
pelayanan gawat darurat meningkat menjadi 40% dan RS dengan pelayanan kesehatan jiwa
meningkat menjadi 9%. Meskipun demikian cakupan rawat jalan tahun 2006 baru mencapai 10%
(nasional 15%) sementara untuk rawat inap 1,2% (nasional 1,5%). Rasio pelayanan kesehatan
dasar bagi keluarga miskin secara cuma-cuma di Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan DIY
maupun Kabupaten/Kota telah mencapai 100%. Rasio dokter umum per 100.000 penduduk
menunjukkan tren meningkat sebesar 39,64 pada tahun 2006. Adapun program jamkesos tahun
2010 dianggarkan Rp. 34.978.592.000,00.
Penyakit jantung dan stroke telah menjadi pembunuh nomor satu di DIY sementara faktor risiko
penyakit jantung penduduk DIY ternyata cukup tinggi. Rumah tangga di DIY yang tidak bebas
asap rokok sebesar 56%, sedangkan remaja yang perokok aktif sebesar 9,3%. Sebanyak 52%
penduduk DIY kurang melakukan aktivitas olahraga, dan hanya 19,8% penduduk DIY yang
mengkonsumsi serat mencukupi. Dalam tiga tahun terakhir angka obesitas pada anak-anak di
DIY meningkat hampir 7%.
 Pendidikan
Penyebaran sekolah untuk jenjang SD/MI sampai Sekolah Menengah sudah merata, dan
menjangkau seluruh wilayah sampai ke pelosok desa. Jumlah SD/MI yang ada di DIY pada
tahun 2008 adalah sejumlah 2.035, SMP/MTs/SMP Terbuka sejumlah 529, dan SMA/MA/SMK
sejumlah 381 sekolah negeri maupun swasta. Ketersediaan ruang belajar dapat dikatakan sudah
memadai dengan rasio siswa per kelas untuk SD/MI: 22, SMP/MTs: 33, SMA/MA/SMK: 31.
Sedangkan tingkat ketersediaan guru di DIY juga cukup memadai dengan rasio siswa per guru
untuk SD/MI: 13, SMP/MTs: 11, SMA/MA/SMK: 9. Untuk tahun 2010 pembinaan guru jenjang
SD/MI sebanyak 3.900 guru telah memenuhi kualifikasi dari total 24.093 guru. Jenjang
SMP/MTs sebanyak 3.939 guru telah memenuhi kualifikasi dari total 12.971 guru. Dan untuk
SMA/MA sebanyak 4.826 guru telah memenuhi kualifikasi dari total 15.067 guru.
Para lulusan jenjang SD/MI pada umumnya dapat melanjutkan ke SMP/MTs, sejalan kebijakan
Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun yang dicanangkan pemerintah. Pada tahun 2010, angka
kelulusan SD/MI mencapai 96,47%, SMP/MTs mencapai 81,84% dan SMA/MA/SMK sebesar
88,98%. Sedangkan angka putus sekolah pada tahun yang sama sebesar 0,07% untuk SD/MI;
0,17% untuk SMP/MTs; dan 0,44% untuk SMA/MA/SMK[5]. Sementara itu jumlah perguruan
tinggi di DIY baik negeri, swasta maupun kedinasan seluruhnya sebanyak 136 institusi dengan
rincian 21 universitas, 5 institut, 41 sekolah tinggi, 8 politeknik dan 61 akademi yang diasuh oleh
9.736 dosen.
 Kebudayaan

Gambar 2.8. Wujud cagar budaya yang msih dipergunakan sebagai tempat ibadah umat Hindu
Indonesia

DIY mempunyai beragam potensi budaya, baik budaya yang tangible (fisik) maupun yang
intangible (non fisik). Potensi budaya yang tangible antara lain kawasan cagar budaya, dan benda
cagar budaya sedangkan potensi budaya yang intangible seperti gagasan, sistem nilai atau norma,
karya seni, sistem sosial atau perilaku sosial yang ada dalam masyarakat.
DIY memiliki tidak kurang dari 515 Bangunan Cagar Budaya yang tersebar di 13 Kawasan
Cagar Budaya. Keberadaan aset-aset budaya peninggalan peradaban tinggi masa lampau
tersebut, dengan Kraton sebagai institusi warisan adiluhung yang masih terlestari keberadaannya,
merupakan embrio, dan memberi spirit bagi tumbuhnya dinamika masyarakat dalam
berkehidupan kebudayaan terutama dalam berseni budaya, dan beradat tradisi. Selain itu, DIY
juga mempunyai 30 museum, yang dua di antaranya yaitu Museum Ullen Sentalu, dan Museum
Sonobudoyo diproyeksikan menjadi museum internasional. Pada 2010, persentase benda cagar
budaya tidak bergeak dalam kategori baik sebesar 41,55%, seangkan kunjungan ke museum
mencapai 6,42%.
 Keagamaan
Penduduk DIY mayoritas beragama Islam yaitu sebesar 90,96%, selebihnya beragama Kristen,
Katholik, Hindu, Budha. Sarana ibadah terus mengalami perkembangan, pada tahun 2007 terdiri
dari 6214 masjid, 3413 langgar, 1877 musholla, 218 gereja, 139 kapel, 25 kuil/pura dan 24
vihara/klenteng. Jumlah pondok pesantren pada tahun 2006 sebanyak 260, dengan 260 kyai, dan
2.694 ustaz serta 38.103 santri. Sedangkan jumlah madrasah baik negeri maupun swasta terdiri
dari 148 madrasah ibtidaiyah, 84 madrasah tsanawiyah dan 35 madrasah aliyah. Aktivitas
keagamaan juga dapat dilihat dari meningkatnya jumlah jamaah haji dari tahun ke tahun, dan
pada tahun 2007 terdapat 3.064 jamaah haji.
 Suku bangsa
Persebaran Suku Bangsa di DIY dapat dilihat seperti pada tabel 2.1 di bawah ini.

Tabel 2.1. Daftar suku bangsa di Daerah Istimewa Yogyakarta


Sumber: Wikipedia, April 2018

Tata ruang dan infrastruktur

Gambar 2.9. Tugu Pal Putih, salah satu landmark tertua yang menandai tata ruang DIY, Gunung
Merapi-Tugu-Keraton-Panggung Krapyak-Laut selatan
Kondisi bentang alam DIY yang beragam, dan aspek filosofi kebudayaan memengaruhi
pengembangan tata ruang/wilayah, dan pembangunan infrastruktur di DIY.
 Tata ruang
Model yang digunakan dalam tata ruang wilayah DIY adalah corridor development atau disebut
dengan “pemusatan intensitas kegiatan manusia pada suatu koridor tertentu” yang berfokus pada
Kota Yogyakarta, dan jalan koridor sekitarnya. Dalam konteks ini, aspek pengendalian, dan
pengarahan pembangunan dilakukan lebih menonjol dalam koridor prioritas, terhadap kegiatan
investasi swasta, dibandingkan dengan investasi pembangunan oleh pemerintah yang dengan
sendirinya harus terkendali. Untuk mendukung aksesibilitas global wilayah DIY, maka diarahkan
pengembangan pusat-pusat pelayanan antara lain Pusat Kegiatan Nasional (PKN)/Kota
Yogyakarta, Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) Sleman, PKW Bantul, dan Pusat Kegiatan Lokal
(PKL). Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 tentang RTRW Prov DIY 2009-2029 mengatur
pengembangan tata ruang di DIY. Penataan ruang ini juga memiliki keterkaitan dengan mitigasi
bencana di DIY.
 Prasarana
Prasarana jalan yang tersedia di DIY tahun 2007 meliputi Jalan Nasional (168,81 Km), Jalan
Provinsi (690,25 Km), dan Jalan Kabupaten (3.968,88 Km), dengan jumlah jembatan yang
tersedia sebanyak 114 buah dengan total panjang 4.664,13 meter untuk jembatan nasional, dan
215 buah dengan total panjang 4.991,3 meter untuk jembatan provinsi. Di wilayah perkotaan,
dengan kondisi kendaraan bermotor yang semakin meningkat (rata-rata tumbuh 13% per tahun),
sedangkan kondisi jalan terbatas, maka telah mengakibatkan terjadinya kesemrawutan, dan
kemacetan lalu lintas, dan terjadinya kecelakaan lalu lintas yang terus meningkat setiap tahun.
 Transportasi

Gambar 2.10. Salah satu transportasi yang dikembangkan DIY


Pelayanan angkutan kereta api pemberangkatan, dan kedatangan berpusat di Stasiun Kereta Api
Tugu untuk kelas eksekutif, dan bisnis, sedangkan Stasiun Lempuyangan untuk melayani
angkutan penumpang kelas ekonomi, dan barang. Saat ini untuk meningkatkan layanan jalur
Timur-Barat sudah dibangun jalur ganda (double track) dari Stasiun Solo Balapan sampai
Stasiun Kutoarjo. Berkaitan dengan keselamatan lalulintas, permasalahan yang berkaitan dengan
layanan angkutan kereta api antara lain masih banyak perlintasan yang tidak dijaga. Selain kereta
api, Pemda DIY mengembangkan layanan Bus Trans Jogja yang menjadi prototipe layanan
angkutan massal pada masa mendatang.
Untuk angkutan sungai, danau dan penyeberangan, Waduk Sermo yang terletak di Kabupaten
Kulon Progo yang memiliki luas areal 1,57 km² dan mempunyai keliling ± 20 km menyebabkan
terpisahnya hubungan lintas darat antara desa di sisi waduk dengan desa lain di seberangnya. Di
sektor transportasi laut dI DIY terdapat Tempat Pendaratan Kapal (TPK) yang berfungsi sebagai
pendaratan kapal pendaratan pencari ikan, dan tempat wisata pantai. Terdapat 19 titik TPK yang
dilayani oleh ± 450 kapal nelayan.
Di sektor transportasi udara, Bandara Adisutjipto yang telah menjadi bandara internasional sejak
2004 menjadi pintu masuk transportasi udara bagi Daerah Istimewa Yogyakarta, baik domestik
maupun internasional. Keterbatasan fasilitas sisi udara, dan darat yang berada di Bandara
Adisutjipto menyebabkan fungsi Bandara Adisutjipto sebagai gerbang wilayah selatan Pulau
Jawa tidak dapat optimal. Status bandara yang “enclave civil” menyebabkan landas pacu yang
ada dimanfaatkan untuk dua kepentingan yakni penerbangan sipil, dan latihan terbang militer.
Mitigasi bencana

Gambar 2.11. Korban harta benda di Kawasan Rawan Bencana (KRB) Merapi
Terkait dengan potensi bencana alam, penanggulangan bencana memegang peranan yang sangat
penting, baik pada saat sebelum, saat, dan sesudah terjadinya bencana. Seiring dengan kemajuan
ilmu pengetahuan, dan teknologi, bencana dapat dilihat sebagai interaksi antara ancaman bahaya
dengan kerentanan masyarakat, dan kurangnya kapasitas untuk menangkalnya. Penanggulangan
bencana diarahkan pada bagaimana mengelola risiko bencana sehingga dampak bencana dapat
dikurangi atau dihilangkan sama sekali.
Secara geologis DIY merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang rawan terhadap bencana
alam. Potensi bencana alam yang berkaitan dengan bahaya geologi yang meliputi:
1. Bahaya alam Gunung Merapi, mengancam wilayah Kabupaten Sleman bagian utara, dan
wilayah-wilayah sekitar sungai yang berhulu di puncak Merapi;
2. Bahaya gerakan tanah/batuan, dan erosi, berpotensi terjadi pada lereng Pegunungan
Kulon Progo yang mengancam di wilayah Kulon Progo bagian utara, dan barat, serta
pada lereng Pengunungan Selatan (Baturagung) yang mengancam wilayah Kabupaten
Gunungkidul bagian utara, dan bagian timur wilayah Kabupaten Bantul.
3. Bahaya banjir, terutama berpotensi mengancam daerah pantai selatan Kabupaten Kulon
Progo, dan Kabupaten Bantul;
4. Bahaya kekeringan berpotensi terjadi di wilayah Kabupaten Gunungkidul bagian selatan,
khususnya pada kawasan bentang alam karst;
5. Bahaya tsunami, berpotensi terjadi di daerah pantai selatan Kabupaten Kulon Progo,
Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Gunungkidul, khususnya pada pantai dengan elevasi
(ketinggian) kurang dari 30m dari permukaan air laut.
6. Bahaya alam akibat angin berpotensi terjadi di wilayah pantai selatan Kabupaten Kulon
Progo, Kabupaten Bantul, dan daerah-daerah Kabupaten Sleman bagian utara, serta
wilayah perkotaan Yogyakarta;
7. Bahaya gempa bumi, berpotensi terjadi di wilayah DIY, baik gempa bumi tektonik
maupun vulkanik. Gempa bumi tektonik berpotensi terjadi karena wilayah DIY
berdekatan dengan kawasan tumbukan lempeng (subduction zone) di dasar Samudra
Indonesia yang berada di sebelah selatan DIY.
Selain itu secara geologi di wilayah DIY terdapat beberapa patahan yang diduga aktif. Wilayah
dataran rendah yang tersusun oleh sedimen lepas, terutama hasil endapan sungai, merupakan
wilayah yang rentan mengalami goncangan akibat gempa bumi.

Pemerintahan Daerah Istimewa


Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan metamorfosis dari Pemerintahan Negara
Kesultanan Yogyakarta dan Pemerintahan Negara Kadipaten Pakualaman, khususnya bagian
Parentah Jawi yang semula dipimpin oleh Pepatih Dalem untuk Negara Kesultanan Yogyakarta,
dan Pepatih Pakualaman untuk Negara Kadipaten Pakualaman. Oleh karena itu Pemerintahan
Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki hubungan yang kuat dengan Keraton Yogyakarta maupun
Puro Paku Alaman. Sehingga tidak mengherankan banyak pegawai negeri sipil daerah yang juga
menjadi Abdidalem Keprajan Keraton maupun Puro. Walau demikian mekanisme perekrutan
calon pegawai negeri sipil daerah tetap dilakukan sesuai mekanisme peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Menurut UU Nomor 22 Tahun 1948 (yang juga menjadi landasan UU Nomor 3 Tahun 1950
mengenai pembentukan DIY), Kepala, dan Wakil Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh
Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu[13], pada zaman sebelum Republik
Indonesia, dan yang masih menguasai daerahnya; dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran,
dan kesetiaan, dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu. Dengan demikian Kepala
Daerah Istimewa, sampai tahun 1988, dijabat secara otomatis oleh Sultan Yogyakarta yang
bertahta, dan Wakil Kepala Daerah Istimewa, sampai tahun 1998, dijabat secara otomatis oleh
Pangeran Paku Alam yang bertahta. Nomenklatur Gubernur, dan Wakil Gubernur Daerah
Istimewa baru digunakan mulai tahun 1999 dengan adanya UU Nomor 22 Tahun 1999. Saat ini
mekanisme pengisian jabatan Gubernur, dan Wakil Gubernur DIY diatur dengan UU 13/2012
tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Di bidang pengembangan kelembagaan Pemerintah DIY telah menetap Peraturan Daerah (Perda)
Nomor 5 Tahun 2008 tentang Organisasi, dan Tata Kerja Sekretariat Daerah, dan Sekretariat
DPRD DIY, Perda Nomor 6 Tahun 2008 tentang Organisasi, dan Tata Kerja Dinas Daerah DIY,
Perda Nomor 7 Tahun 2008 tentang Organisasi, dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah, Lembaga Teknis Daerah, dan Satuan Polisi Pamong Praja DIY; serta
menerapkannya mulai tahun 2009.
Perangkat daerah di DIY antara lain terdiri atas:
 Sekretariat Daerah
 Sekretariat DPRD
 Dinas Kebudayaan
 Dinas Kehutanan, dan Perkebunan
 Dinas Kelautan dan Perikanan
 Dinas Kesehatan
 Dinas Pariwisata
 Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Energi Sumber Daya Mineral
 Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, dan Aset
 Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga
 Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika
 Dinas Perindustrian, Perdagangan Koperasi, dan Usaha Kecil Menengah
 Dinas Pertanian
 Dinas Sosial
 Dinas Tenaga Kerja, dan Transmigrasi
 Inspektorat
 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
 Badan Kepegawaian Daerah
 Badan Kerja Sama, dan Penanaman Modal
 Badan Kesatuan Bangsa, dan Perlindungan Masyarakat
 Badan Ketahanan Pangan, dan Penyuluhan
 Badan Lingkungan Hidup
 Badan Pemberdayaan Perempuan, dan Masyarakat
 Badan Pendidikan, dan Pelatihan
 Badan Perpustakaan, dan Arsip Daerah
 Sekretariat Komisi Pemilihan Umum DIY
 Rumah Sakit Grhasia
 Satuan Polisi Pamong Praja
Selain itu di DIY dibentuk Ombudsman Daerah sejak tahun 2004 dengan keputusan Gubernur.
Lembaga Perwakilan Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta dirintis dengan pembentukan KNI
Daerah Yogyakarta pada tahun 1945. Pada Mei 1946 KNI Daerah Yogyakarta dibubarkan, dan
dibentuk Parlemen Lokal pertama di Indonesia dengan nama Dewan Daerah. Walaupun
anggotanya tidak dipilih melalui pemilihan umum, parlemen ini tetap bekerja mewakili rakyat
sampai tahun 1948 saat Invasi Belanda ke Kota Yogyakarta. Pada 1951, setelah melalui
pemilihan umum bertingkat terbentuklah parlemen lokal yang lebih permanen dengan nama
"Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta". Dalam menjalankan tugas sehari-
hari, DPRD DIY memiliki empat komisi (disebut Komisi A sampai Komisi D), dengan
dilengkapi Sekretariat, Badan Kehormatan, dan Badan Anggaran.
Keistimewaan DIY
Menurut UU Nomor 3 tahun 1950 yang dikeluarkan oleh negara bagian Republik Indonesia yang
beribukota di Yogyakarta pada maret 1950, keistimewan DIY mengacu pada keistimewaan yang
diberikan oleh UU Nomor 22 Tahun 1948 yaitu Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden
dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu pada zaman sebelum Republik Indonesia,
dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, dan kesetiaan,
dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu. Selain itu, untuk Daerah Istimewa yang berasal
dari gabungan daerah kerajaan dapat diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan
mengingat syarat-syarat sama seperti kepala daerah istimewa. Sebab pada saat itu daerah biasa
tidak dapat memiliki wakil kepala daerah. Adapun alasan keistimewaan Yogyakarta diakui oleh
pemerintahan RI menurut UU Nomor 22 Tahun 1948 (yang juga menjadi landasan UU Nomor 3
Tahun 1950 mengenai pembentukan DIY), adalah Yogyakarta mempunyai hak-hak asal usul,
dan pada zaman sebelum Republik Indonesia sudah mempunyai pemerintahan sendiri yang
bersifat Istimewa (zelfbestuure landschappen).
Saat ini Keistimewaan DIY diatur dengan UU Nomor 13 tahun 2012 yang meliputi:
1. tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur, dan Wakil
Gubernur;
2. kelembagaan Pemerintah Daerah DIY;
3. kebudayaan;
4. pertanahan; dan
5. tata ruang.
Kewenangan istimewa ini terletak di tingkatan Provinsi.
Dalam tata cara pengisian jabatan gubernur, dan wakil gubernur salah satu syarat yang harus
dipenuhi calon gubernur, dan wakil gubernur adalah bertakhta sebagai Sultan Hamengku
Buwono untuk calon Gubernur, dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil
Gubernur.
Kewenangan kelembagaan Pemerintah Daerah DIY diselenggarakan untuk mencapai efektivitas,
dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan, dan pelayanan masyarakat berdasarkan prinsip
responsibilitas, akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi dengan memperhatikan bentuk, dan
susunan pemerintahan asli yang selanjutnya diatur dalam Perdais.
Kewenangan kebudayaan diselenggarakan untuk memelihara, dan mengembangkan hasil cipta,
rasa, karsa, dan karya yang berupa nilai-nilai, pengetahuan, norma, adat istiadat, benda, seni, dan
tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat DIY yang selanjutnya diatur dalam Perdais.
Dalam penyelenggaraan kewenangan pertanahan Kasultanan Yogyakarta, dan Kadipaten
Pakualamanan dinyatakan sebagai badan hukum. Kasultanan, dan Kadipaten berwenang
mengelola, dan memanfaatkan tanah Kasultanan, dan tanah Kadipaten ditujukan untuk sebesar-
besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat.
Kewenangan Kasultanan, dan Kadipaten dalam tata ruang terbatas pada pengelolaan, dan
pemanfaatan tanah Kasultanan, dan tanah Kadipaten yang selanjutnya diatur dalam Perdais.
Perdais adalah peraturan daerah istimewa yang dibentuk oleh DPRD DIY dan Gubernur untuk
mengatur penyelenggaraan Kewenangan Istimewa. Selain itu, pemerintah menyediakan
pendanaan dalam rangka penyelenggaraan urusan Keistimewaan DIY dalam Anggaran
Pendapatan, dan Belanja Negara sesuai dengan kebutuhan DIY dan kemampuan keuangan
negara.
Pemerintahan Kabupaten dan Kota
Kabupaten dan Kota yang berada di wilayah DIY sekarang ini dibentuk pada kurun waktu 1950-
1951 dan 1957-1958. Tidak ada perbedaan antara pemerintahan kabupaten, dan kota yang berada
di wilayah DIY dengan di Indonesia pada umumnya. Adapun daftar kabupaten, dan kota di
wilayah DIY sebagai berikut.

Tabel 2.3. Pembagian Wilayah Administratif Daerah Istimewa Yogyakarta


Sumber: Wikipedia, April 2018

Kerjasama

Gambar 2.12. Prefektur Kyoto, sebuah kerja sama sister province yang telah berjalan lebih dari
25 tahun

Sampai tahun 2010, Pemda DIY memiliki kerja sama dengan daerah lain yang dituangkan dalam
tiga puluh perjanjian kerja sama yang masih berlaku. Dua puluh satu buah kerja sama dengan
daerah lain di dalam negeri, dan sembilan sisanya dengan daerah lain di luar negeri, seperti
program Sister Province dengan prefektur Kyoto Jepang dan Negara Bagian California Amerika
Serikat. Perjanjian kerja sama yang baru mulai 2010 dilakukan dengan delapan daerah di dalam
negeri, dan dua kesepakatan dengan daerah lain di luar negeri.
2.2. PENGENDALIAN PENDUDUK
Pengertian Pengendalian.

Pengendalian menurut Ussy dan Hammer, (dalamn Darwin, Muhajir 2000) mengemukakan
bahwa pengendalian merupakan usaha sistematik perusahaan untuk mencapai tujuan dengan cara
membandingkan prestasi kerja dengan rencana dan membuat tindakan yang tepat untuk
mengkoreksi perbedaan yang penting. Glen A. Welsch, Hilton, dan Gordon yang telah di
terjamahkan oleh Purwatiningsih dan Maudy Warouw 2000:3 adalah adalah suatu proses untuk
menjamin terciptanya kinerja yang efisien yangmemungkinkan terciptanya tujuan Berdasarkan
dari pengertianpengertian yang dikemukakan di atas dapat kita simpulkan bahwa pengendalian
adalah usaha untuk membandingkan prestasi kerja dengan rencana dan untuk mengkoreksi
perbedaan atau penyimpangan-penyimpangan yang terjadi agar tujuan perusahaan dapat tercapai.

Teori kependudukan.

Teori kependudukan di kembangkan oleh dua faktor yang sangat dominan yaitu, pertama adalah
meningkatnya pertumbuhan penduduk di negara-negara yang sedang berkembang dan hal ini
menyebabkan agar para ahli dapat memahami faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
penduduk. Sedangkan faktor kedua adalah adanya masala-masalah universal yang menyebabkan
para ahli harus banyak mengembangkan dan menguasai kerangka teori untuk mengkaji lebih
lanjut sejauh mana telah terjalin suatu hubungan antara penduduk dengan perkembangan
ekonomi dan sosial. Penduduk dapat di bagi sebagai berikut;

Teori pertumbuhan penduduk.

1. Marxist.
Teori ini mengemukakan bahwa semakin banyak jumlah manusia semakin tinggi
produksi yang di hasilkan
2. Paul Edric
Dalam bukunya yang berjudul (the population bomb) yang menggambarkan bahwa
penduduk dan lingkaran yang ada di dunia ini sebagai berikut. Pertama, dunia ini sudah
terlalu banyak manusia; kedua, keadaan bahan makanan sudah terbatas; ketiga, karena
terlalu banyak manusia di dunia ini lingkungan lngkungan sudah banyak yang rusak dan
tercemar. Pada tahun 1990 Edric merevisi bukunya dengan judul baru (The Population
Explotion), yang isinya adalah bom penduduk yang di khawatirkan pada tahun 1968, kini
sewaktu-waktu akan dapat meletus. Kerusakan dan pencemaran lingkungan parah karena
sudah banyak penduduk yang sangat merisaukan (Ida Bagoes Mantra, 2000: 71).
3. Robert Thomas Malthus (1766-1834).
Menurut Malthus (1766-1834) yang terkenal sebagai pelopor ilmu kependudukan yang
lebih populer disebut dengan prinsip kependudukan (the prinsiple of population) yang
menyatakan bahwa apabila tidak ada pembatasan akan berkembang biak dengan cepat
dan memenuhi dengan cepat beberapa bagian dari permukaan bumi ini dan ia juga
menyatakan bahwa manusia untuk hidup memerlukan bahan makanan sedangkan laju
pertumbuhan bahan makanan jauh lebih lambat di banding dengan laju pertumbuhan
penduduk dan apabila tidak ada pembatasan terhadap pertumbuhan penduduk maka
manusia akan mengalami kekurangan bahan makanan sehingga inilah yang menjadi
sumber kemelaratan dan kemiskinan manusia. (Ida Bagoes Mantra, 2000:62).

Demografi

Untuk memahami keadaan kependudukan suatu daerah atau negara maka perlu didalami kajian
demografi. Para ahli biasanya membedakan antara ilmu kependudukan (demografi) dengan
studi-studi tentang kependudukan (population studies).

Demografi berasal dari kata Yunani demos-penduduk dan Grafien -tulisan atau dapat diartikan
tulisan tentang kependudukan adalah studi ilmiah tentang jumlah, persebaran dan komposisi
kependudukan serta bagaimana ketiga faktor tersebut berubah dari waktu ke waktu.

Menurut Munir, dalam teori kependudukan dapat dikembangkan kemudian dipengaruhi dalam
dua faktor yang sangat dominan, pertama ialah meningkatkan pertumbuhan penduduk dinegara
negara yang sedang berkembang, dan ini meyebabkan tantangan dari beberapa para ahli dalam
mempengaruhi pertumbuhan penduduk. Kedua adalah masalah yang sifatnya universal yang
meyebabkan para ahli harus lebih banyak mengembangkan dan menguasai kerangka teori untuk
lebih lanjut sampai sejauh mana hubungan anatara penduduk dengan perkembangan ekonomi
dan sosial dalam kependudukan agar dapat diterima.

Sedangkan Hauser dan Duncan (1959) mengusulkan defenisi demografi sebagai berikut:
Demography is the study of the size, territorial distribution and composition of population,
changes there in and the components of such changes which maybe identified as natality,
teritorial movement (migration), and social mobility (change of states). Yang dalam Bahasa
Indonesia adalah teritorial dan komposisi penduduk serta perubahan-perubahannya dan sebab-
sebab perubahan itu, yang biasanya timbul karena natalitas (fertilitas), mortalitas, gerakan
teritorial (migrasi) dan mobilitas sosial (perubahan status). Dari kedua defenisi di atas dapatlah
disimpulkan bahwa demografi mempelajari struktur dan proses penduduk di suatu wilayah.
Sedangkan studi-studi kependudukan mempelajari secara sistematis perkembangan, fenomena
dan masalah-masalah penduduk dalam kaitannya dengan situasi sosial di sekitarnya.

Penduduk.

Penduduk merupakan suatu kumpulan masyarakat yang melakukan interaksinya dalam suatu
daerah atau orang yang berhak tinggal daerah, dengan syarat orang tersebut harus memiliki surat
resmi untuk tinggal di wilayah tersebut, sedangkan menurut UndangUndang Nomor 52 Tahun
2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga serta Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pedoman Pencatatan Perkawinan dan Pelaporan
Akta Yang Diterbitkan Oleh Negara Lain mendefenisikan penduduk yaitu warga negara
Indonesia atau orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.

Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun1994 tentang


Pengelolaan Perkembangan kependudukan mendefinisikan penduduk yaitu Penduduk adalah
orang dalam motranya sebagai diri pribadi, anggota keluarga, anggota masyarakat, warga negara,
dan himpunan kuantitas yang bertempat tinggal di suatu tempat dalam batas wilayah negara pada
waktu tertentu.

Robert Thomas Malthus, (dalam Said Rusli), mengemukakan suatu pendapat yang tercantum
dalam bukunya, penduduk akan selalu bertambah lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan
bahan makanan, kecuali terhambat oleh karena apa yang ia sebutkan sebagai moral restrains,
seperti misalnya wabah penyakit atau malapetaka. Dalam pernyatan ini secara tidak langsung
menyatakan kepadatan penduduk akan sulit dibendung apabila tidak ada kerjasama antara pihak
yang terkait dalam menyelesaikan permasalahan pertumbuhan kependudkan ini.

Permasalah Kependudukan.
Ada beberapa hal yang dapat memepengaruhi laju pertumbuhan penduduk yang ada di sekitar
kita, diantaranya:

1. Tingkat kelahiran yang cukup tinggi. Dalam hal ini salah satu faktor yang dapat
mengakibatkan angka kelahiran yang sangat tinggi yaitu kurangnya kesadaran
masyarakat dalam mengatur jarak kelahiran anak, padahal pemerintah sudah
menyarankan kepada masyarakat agar mengatur jaraknya yaitu dengan memanfaatkan
alat kontrasepsi yang telah disediakan oleh pemerintah.
2. Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap program yang dikeluarkan oleh pemerintah
khususnya yang berkaitan dengan laju pertumbuhan penduduk.
3. Pada indikator ini adanya ketidak pedulian masyarakat merupakan hal yang sangat
berpengaruh, hal ini coba diatasi pemerintah dengan cara lebih seringnya melakukan
sosialisasi kepada masyarakat.
4. Melangsungkan pernikahan di usia yang boleh dikatakan masih remaja.

Tujuan dan manfaat kependudukan

Menurut Guilard (1885), tujuan ilmu kependudukan / ilmu demografi digunakan oleh para ahli
terdiri dari empat pokok:

1. Mempelajari kualitas dan distribusi penduduk dalam suatu daerah tertentu.


2. Menjelaskan pertumbuhan penduduk, penurunannya dan persebarannya dengan sebaik-
baiknya dan dengan data yang tersedia.
3. Mengembangkan hubungan sebab akibat antara perkembanganya penduduk dengan
bermacam-macam aspek organaisasi sosial.
4. Mencoba meramalkan pertumbuhan penduduk dimasa yang akan datang dan
kemungkinan-kemungkinan konsekwensinya.

Manfaat Ilmu Kependudukan

1. Perencanaan pembangunan yang berhubungan pendidikan, perpajakan, kemiliteran,


kesejahteraan sosial, perumahan, pertanian dan lain-lain yang dilakukan pemerintah yang
menjadi tepat sasaran jika mempertimbangkan komposisi penduduk yang ada sekarang.
2. Evaluasi kinerja pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dengan melihat
perubahan komposisi penduduk yang ada sekarang dan yang lalu beserta faktor-faktor
yang mempengaruhinya.
3. Melihat peningkatan standar kehidupan melalui tingkat harapan hidup rata-rata penduduk
sebab tidak ada ukuran lebih baik kecuali lamanya hidup seseorang di negara yang
bersangkutan.
4. Melihat seberapa cepat perkembangan perekonomian yang dilihat dari ketersediaan
lapangan pekerjaan, persentase penduduk yang ada di sektor pertanian, industri dan jasa.

Dasar Konsep Kebijakan Kependudukan

1. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1)
Undang Undang Dasar Republi Indonesia mengatakan: Setiap orang berhak membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
2. Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga. Untuk masalah kebijakan keluarga pemerintah juga diatur dalam
Undang Undang ini yaitu pada Pasal 21 dan Pasal 22. Pada Pasal 21 ayat (1)
3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2010 Tentang Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Pada peraturan Presiden ini
menjelaskan Tugas dan Fungsi utama dari BPPKBKS sesuai yang tertera pada Pasal 2
dan Pasal 3 ayat (1) dan ayat(2).

2.3. DEFINISI DAN PENGERTIAN PERATURAN


Lydia Harlina Martono berpendapat bahwa peraturan merupakan pedoman agar manusia hidup
tertib dan teratur. Jika tidak terdapat peraturan, manusia bisa bertindak sewenang-wenang, tanpa
kendali, dan sulit diatur.

Joko Untoro & Tim Guru Indonesia mengatakan, peraturan merupakan salah satu bentuk
keputusan yang harus ditaati dan dilaksanakan. Jasi, kita harus menaati peraturan agar semua
menjadi teratur dan orang akan merasa nyaman. Peraturan adalah tindakan yang harus dilakukan
atau yang tidak boleh dilakukan.
I Wawang Setyawan menuliskan, peraturan adalah suatu hal yang sangat mutlak dan bersifat
membatasi ruang gerak atau "kemerdekaan" setiap individu.

Adapun Lydia Harlina Martono, Satya Joewana, dan Venus Khasanah memiliki pendapat bahwa
peraturan adalah cara membangun norma masyarakat sebagai pedoman agar manusia hidup tertib
dan teratur.

2.4. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA


Peraturan perundang-undangan, dalam konteks negara Indonesia, adalah peraturan tertulis yang
dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.
JENIS DAN HIERARKI
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengenai jenis dan hierarki, dan pembentukan
Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia. Hierarki maksudnya peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Berikut adalah hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia menurut
UU No. 12/2011 (yang menggantikan UU No. 10/2004) tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan:
 UUD 1945, merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. UUD 1945
ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
 Ketetapan MPR
 Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
 Peraturan Pemerintah (PP)
 Peraturan Presiden (Perpres)
 Peraturan Daerah (Perda), termasuk pula Qanun yang berlaku di Aceh, serta Perdasus dan
Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua dan Papua Barat.
 Peraturan Desa
Dari Peraturan Perundang-undangan tersebut, aturan yang mengenai ketentuan pidana hanya
dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah.
Sedangkan peraturan perundang-undangan selain yang tercantum di atas, mencakup peraturan
yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan,
Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang
dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Wali kota, Kepala Desa atau yang setingkat diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Undang Undang Dasar 1945
UUD 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.
Naskah resmi UUD 1945 adalah:
 Naskah UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan
kembali dengan Dekret Presiden pada tanggal 5 Juli 1959
 Naskah Perubahan Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan Ketiga, dan Perubahan
Keempat UUD 1945 (masing-masing hasil Sidang Umum MPR Tahun 1999, 2000, 2001,
2002).
Undang-Undang Dasar 1945 Dalam Satu Naskah dinyatakan dalam Risalah Rapat Paripurna ke-
5 Sidang Tahunan MPR Tahun 2002 sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada
Opini.
Ketetapan MPR
Perubahan (Amendemen) Undang-Undang Dasar 1945 membawa implikasi terhadap kedudukan,
tugas, dan wewenang MPR. MPR yang dahulu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara,
kini berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya (seperti
Kepresidenan, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK).
Dengan demikian MPR kini hanya dapat menetapkan ketetapan yang bersifat penetapan, yaitu
menetapkan Wapres menjadi Presiden, memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan
Wapres, serta memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara
bersama-sama.
Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
Materi muatan Undang-Undang adalah:
 Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi: hak-hak asasi manusia, hak
dan kewajiban warga negara, pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta
pembagian kekuasaan negara, wilayah dan pembagian daerah, kewarganegaraan dan
kependudukan, serta keuangan negara.
 Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang Dasar 1945 untuk diatur dengan Undang-
Undang.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah Peraturan Perundang-undangan
yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Materi muatan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah sama dengan materi muatan Undang-
Undang.
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa (negara dalam keadaan darurat), dengan ketentuan sebagai berikut:
 Perpu dibuat oleh presiden saja, tanpa adanya keterlibatan DPR
 Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.
 DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan.
 Jika ditolak DPR, Perpu tersebut harus dicabut.
Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah (PP) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden
untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan
Pemerintah adalah materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Peraturan Presiden
Peraturan Presiden (Perpres) adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden.
Materi muatan Peraturan Presiden adalah materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau
materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.
Peraturan Daerah
Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah (gubernur atau bupati/wali kota).
Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran
lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
PENGUNDANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan dengan
menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik
Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.
BAHASA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Bahasa peraturan perundang-undangan pada dasarnya tunduk kepada kaidah tata Bahasa
Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan,
maupun pengejaannya. Namun bahasa Peraturan Perundang-undangan mempunyai corak
tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian,
dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum.
Penyerapan kata atau frasa bahasa asing yang banyak dipakai dan telah disesuaikan ejaannya
dengan kaidah Bahasa Indonesia dapat digunakan, jika kata atau frasa tersebut memiliki konotasi
yang cocok, lebih singkat bila dibandingkan dengan padanannya dalam Bahasa Indonesia,
mempunyai corak internasional, lebih mempermudah tercapainya kesepakatan, atau lebih mudah
dipahami daripada terjemahannya dalam Bahasa Indonesia.
ASAS DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Ada 4 asas peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
1. Asas legalitas
2. Asas Lex superior derogat legi inferior
3. Asas Lex specialis derogat legi generali
4. Asas Lex posterior derogat legi priori

2.5. PERATURAN DAERAH


Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (gubernur atau bupati/wali kota).
Peraturan Daerah terdiri atas: Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota .
Di Provinsi Aceh, Peraturan Daerah dikenal dengan istilah Qanun. Sementara di Provinsi Papua,
dikenal istilah Peraturan Daerah Khusus dan Peraturan Daerah Provinsi.

Pengertian peraturan daerah provinsi dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 7 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagai berikut:
Selanjutnya pengertian peraturan daerah kabupaten/kota disebutkan pula dalam pasal 1 angka 8
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
sebagai berikut :

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh


Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama
Bupati/Walikota.

Materi Muatan Peraturan Daerah

Materi muatan peraturan daerah merupakan materi pengaturan yang terkandung dalam suatu
peraturan daerah yang disusun sesuai dengan teknik legal drafting atau teknik penyusunan
peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 14, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa materi muatan Peraturan Daerah
Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah
dan atau penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Secara umum, materi muatan peraturan daerah dikelompokkkan menjadi: ketentuan umum;
materi pokok yang diatur; ketentuan pidana (jika memang diperlukan); ketentuan peralihan (jika
memang diperlukan); dan ketentuan penutup.[5] Materi muatan peraturan daerah dapat mengatur
adanya ketentuan pidana. Namun, berdasarkan pasal 15, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ketentuan pidana yang menjadi materi
muatan peraturan daerah dibatasi, yakni hanya dapat mengatur ketentuan pidana berupa ancaman
pidana paling lama 6 bulan kurungan penjara dan denda maksimal Rp. 50.000.000,00.

Mekanisme Pembentukan Peraturan Daerah

Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) dapat berasal dari DPRD atau kepala daerah (gubernur,
bupati, atau wali kota). Raperda yang disiapkan oleh Kepala Daerah disampaikan kepada DPRD.
Sedangkan Raperda Dprd yang muntahD dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh
Pimpinan DPRD kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk disahkan menjadi Perda, dalam
jangka waktu palinglambat 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama. Raperda tersebut disahkan
oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dengan menandatangani dalam jangka waktu 30 hari sejak
Raperda tersebut disetujui oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota. Jika dalam waktu 30
hari sejak Raperda tersebut disetujui bersama tidak ditandangani oleh Gubernur atau
Bupati/Walikota, maka Raperda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan.

2.6. NASKAH AKADEMIK DALAM MENDUKUNG PEMBENTUKAN


RANCANGAN PERATURAN DAERAH YANG BAIK
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan sebuah sistem, karena di dalamnya
terdapat beberapa peristiwa/tahapan yang terjalin dalam satu rangkaian yang tidak terpisahkan
antara satu dan lainnya. Tahapan tersebut yaitu tahap perencanaan, tahap penyusunan, tahap
pembahasan, tahap pengesahan, tahap pengundangan, dan tahap penyebarluasan.

Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa seharusnya norma hukum yang hendak dituangkan dalam
rancangan Peraturan Perundang-undangan, benar-benar telah disusun berdasarkan pemikiran
yang matang dan perenungan yang memang mendalam, semata-mata untuk kepentingan umum
(public interest), bukan kepentingan pribadi atau golongan. Sistem pemerintahan Indonesia
mengenal adanya jenis pembagian kewenangan baik antara kewenangan Pemerintah Pusat
maupun kewenangan Pemerintah Daerah. Dalam pembentukan produk hukum baik pusat
maupun daerah, undangundang memberikan peranan dan fungsi terhadap elemen pemerintahan
baik yang dipusat maupun daerah.

Kewenangan daerah membentuk peraturan daerah merupakan manfestasi dari otonomi daerah.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 mengakui adanya kewenangan daerah yang didasari pada
asas otonomi daerah. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Daerah diberikan wewenang untuk membentuk peraturan daerah sebagaimana diatur dan
dimaksud dalam Pasal 136 Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.

a. Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD.
b. Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/ kabupaten/kota
dan tugas pembantuan.
c. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas
masing-masing daerah.
d. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
e. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku setelah diundangkan dalam lembaran
daerah.

Pasal di atas menerangkan bagaimana kewenangan DPRD dalam membentuk suatu produk
hukum daerah berupa peraturan daerah (perda). Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,
Perda mempunyai fungsi antara lain :

a. Sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan
sebagaimana diamanatkan dalam UUD NKRI Tahun 1945 dan Undang-Undang tentang
Pemerintahan Daerah.
b. Merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dalam fungsi ini, Peraturan Daerah tunduk pada ketentuan hierarki Peraturan Perundang-
undangan. Dengan demikian Perda tidak boleh bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi.
c. Sebagai penampung kekhususan dan keragaman daerah serta penyalur aspirasi
masyarakat di daerah, namun dalam pengaturannya tetap dalam koridor NKRI yang
berlandaskan Pancasila dan UUD NRI tahun 1945.
d. Sebagai instrumen akselarasi pembangunan dan peningkatan kesejahteraan daerah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 136 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah ditentukan bahwa suatu peraturan daerah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Berdasarkan data pada Kementerian
Keuangan (Kemenkeu) pada tahun 2011, dari 14 ribu Peraturan Daerah yang ada,
terdapat lebih dari 4.000 Peraturan Daerah bermasalah dan harus dicabut. Namun,
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) hanya mencabut seribu delapan ratus
Peraturan Daerah dari jumlah yang seharusnya direkomendasikan oleh Kemenkeu.
Mengingat peranan perda yang demikian penting dalam penyelenggaraan otonomi daerah
maka penyusunannya perlu diprogramkan, agar berbagai perangkat hukum yang
diperlukan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dapat dibentuk secara
sistematis, terarah dan terencana berdasarkan skala prioritas yang jelas.

Selain agar peraturan daerah dapat dibentuk secara sistematis, juga untuk menghindari
banyaknya peraturuan daerah yang dicabut dan dibatalkan karena bertentangan dengan peraturan
yang tingkatannya lebih tinggi. Program legislasi daerah (Prolegda) merupakan pedoman
pengendali penyusunan peraturan daerah yang mengikat lembaga yang berwenang yakni
pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah untuk membentuk peraturan daerah.
Untuk itu prolegda dipandang penting untuk menjaga agar produk peraturan perundang-
undangan daerah tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional. Hal ini berarti bahwa
idealnya sebelum peraturan daerah hendak dirancang sudah terlebih dahulu harus ada rencana
pembentukan peraturan daerah tersebut dalam prolegda, sehingga angka pembatalan dapat lebih
diminimalisir. Prolegda adalah instrument perencanaan program pembentukan peraturan daerah
provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota yang disusun secara terencana, terpadu dan
sistematis.Secara operasional, prolegda memuat daftar rancangan peraturan daerah yang disusun
berdasarakan metode dan parameter tertentu sebagai bagian integral dari sistem peraturan
perundang-undangan. Hal ini menunjukkan bahwa prolegda mempunyai kedudukan hukum yang
penting dalam penyusunan peraturan daerah ditingkatan provinsi dan kabupaten/kota, hanya saja
arti penting kedudukan hukum prolegda ini belum dipahami dengan baik oleh pemerintah
daerah. Hal ini sesuai dengan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang mengatur
bahwa: “Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dilakukan dalam Prolegda
Kabupaten/Kota”. Tahap perencanaan merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk
mencapai tujuan pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik. Salah satu kegiatan
perencanaan pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah penyusunan Naskah
Akademik.

Melalui kajian dan penyusunan Naskah Akademik, diharapkan Peraturan Perundang-undangan


yang dibentuk dapat memenuhi pencapaian tujuan pembentukan, dapat dilaksanakan dan
ditegakkan. Naskah akademik merupakan penjelasan atau keterangan mengapa Perda tersebut
dibuat. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan mengharuskan mengenai adanya naskah akademik dalam proses pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Ketentuan tentang adanya naskah akademik dalam rancangan
peraturan daerah dapat dilihat dalam Pasal 56 ayat (2) yang menentukan bahwa rancangan
peraturan daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan penjelasan atau
keterangan dan/atau Naskah Akademik. Dasar hukum pembentukan Naskah Akademik yaitu
Pasal 57 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ditentukan bahwa :

a. Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan sesuai


dengan teknik penyusunan Naskah Akademik.
b. Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Undang-Undang ini.

Pentingnya Naskah Akademik sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum.
Pembentukan peraturan daerah yang baik diakomodir dalam Pasal 15, Pasal 17 dan Pasal 19
Permendagri No. 53 Tahun 2011, secara lengkap sebagai berikut: Pasal 15 Penyusunan produk
hukum daerah yang bersifat pengaturan berbentuk Perda atau nama lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dilakukan berdasarkan Prolegda. Paragraf 1 Persiapan
Penyusunan Perda di Lingkungan Pemerintah Daerah Pasal 17 (1) Pimpinan SKPD menyusun
Rancangan Perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 disertai naskah akademik dan/atau
penjelasan atau keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur. (2)
Rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada biro hukum provinsi
atau bagian hukum kabupaten/kota. Pasal 19 (1) Rancangan Perda yang disertai naskah
akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) telah melalui pengkajian dan
penyelarasan, yang terdiri atas: b. latar belakang dan tujuan penyusunan; c. sasaran yang akan
diwujudkan; d. pokok pikiran, ruang lingkup, atau objek yang akan diatur; dan e. jangkauan dan
arah pengaturan. (2) Naskah akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan sistematika
sebagai berikut:

1) Judul
2) Kata pengantar
3) Daftar isi
4) BAB I : Pendahuluan
5) BAB II : Kajian teoritis dan praktik empiris
6) BAB III : Evaluasi dan analis peraturan perundang-undangan terkait
7) BAB IV : Landasan filosofis, sosiologis dan yuridis
8) BAB V : Jangkauan, arah pengaturan dan ruang lingkup materi muatan perda
9) BAB VI : Penutup

Berdasarkan ketentuan di atas, naskah akademik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
penyusunan sebuah rancangan peraturan perundang-undangan. Selama ini naskah akademik
sering kurang diperhatikan, sehingga sekalipun sudah di arahkan bahwa setiap peraturan
perundang-undangan terutama UndangUndang dan Perda harus disertai naskah akademik. Dalam
praktiknya, naskah akademik sering dijadikan sebagai landasan dalam pembentukan suatu
peraturan perundang-undangan. Secara normatif, tidak ada keharusan bahwa persiapan
rancangan peraturan perundang-undangan harus disertai dengan Naskah Akademik. Misalnya,
Pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Rancangan
Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres No 68/2005) hanya
menyatakan bahwa pemrakarsa dalam menyusun RUU dapat terlebih dahulu menyusun Naskah
Akademik mengenai materi yang akan diatur dalam RUU. Kemudian, penyusunan Naskah
Akademik dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama dengan departemen yang tugas dan
tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan dan pelaksanaannya dapat
diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian untuk
itu.

Naskah Akademik sekurang-kurangnya memuat 8 dasar filosofis, sosiologis, yuridis tentang


pokok dan lingkup materi yang akan diatur. Tidak adanya keharusan untuk menyertakan Naskah
Akademik dalam Perpres No 68/2005 tidak dapat dilepaskan dari UU No 10/2004. Sebagaimana
diketahui, UU No 10/2004 tidak mengharuskan Naskah Akademik sebagai bagian proses
penyusunan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, dikaitkan dengan urgensi Naskah
Akademik dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, terjadi kemunduran dalam
signifikan dalam menempatkan Naskah Akademik.

Sebelumnya, dalam Keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Nomor: G-


159.Pr.09.10 Tahun 1994 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Naskah Akademik Peraturan
Perundang-Undangan ditegaskan bahwa Naskah Akademik merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari penyusunan sebuah rancangan peraturan perundang-undangan karena dimuat
gagasan-gagasan pengaturan serta materi muatan peraturan perundang-undangan bidang tertentu
yang telah ditinjau secara sistemik holistik dan futuristik dari berbagai aspek ilmu. Dengan
penegasan Naskah Akademik sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari penyusunan rancangan
peraturan perundang-undangan, Keputusan Nomor; G-159.Pr.09.10 Tahun 1994 menyatakan:
“...gagasan pengaturan suatu materi peraturan perundang-undangan (materi hukum) bidang
tertentu yang telah ditinjau secara-holistik-futuristik dan dari berbagai aspek ilmu, dilengkapi
dengan referensi yang memuat : urgensi, konsepsi, landasan, alas hukum dan prinsip-prinsip
yang digunakan serta pemikiran tentang norma-norma yang telah dituangkan ke dalam bentuk
pasalpasal dengan mengajukan beberapa alternatif, yang disajikan dalam bentuk uraian yang
sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan secara Ilmu Hukum dan sesuai dengan politik
hukum yang telah digariskan”.

Berdasarkan hal tersebut, maka semestinya naskah akademik merupakan naskah hasil penelitian
atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu
rancangan peraturan perundangundangan sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan
hukum masyarakat. Dengan adanya naskah akademik RUU atau Raperda, sebuah RUU atau
Raperda dapat terhindar dari penyusunan yang “asal jadi” atau tidak jelas konsepsinya.

Salah satu contohnya adalah Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 276 Tahun 2009
tentang pembatalan Pasal 15 ayat (2) huruf b Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Selatan
Nomor 21 tahun 2001 tentang Retribusi Izin Pemutaran Film Keliling, Film Komersial, Usaha
Rental, VCD, Video dan Rental Video Game. Pertimbangan menteri dalam negeri membatalkan
peraturan daerah tersebut yaitu bahwa Pasal 15 ayat (2) huruf b Peraturan Daerah Kabupaten
Lampung Selatan Nomor 21 Tahun 2001 tentang Retribusi Izin Pemutaran Film Keliling, Film
Komersial, Usaha Rental, Vcd, Video dan Rental Video Game bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Karena itu, perlu ada penguatan posisi naskah akademik
sebagai prasyarat dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Naskah akademik benar-
benar menjadi dasar ilmiah pembentukan rancangan peraturan perundang-undangan, sehingga
naskah RUU dapat disusun secara lebih objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya, perlu ada kesamaan dalam hal teknis penyusunan naskah akademik serta materi
muatannya, sehingga naskah akademik benar-benar dapat dibuat secara lebih utuh, sistematis,
dan objektif sebagai landasan teoritik dan praktis dalam pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. LOKASI KEGIATAN


Lokasi pekerjaan adalah di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta

3.2. RUANG LINGKUP KEGIATAN


Serangkaian kegiatan yang akan dilaksanakan untuk dapat mengakomodasikan tujuan, sasaran
dan keluaran pekerjaan ini, mencakup:
a. Penyusunan Naskah Akademik tentang Pengendalian Penduduk dengan melaksanakan
setidaknya beberapa kegiatan sebagai berikut:
 Studi kepustakaan.
 Penyusunan rancangan pelaksanaan, meliputi: identifikasi permasalahan, metodologi
dan kerangka konsep analisis, instrumen penelitian, serta rencana kerja.
 Survey (observasi lapangan, FGD/ interview)
 Pengambilan data primer ke lapangan dengan mempertimbangkan kualitas sampel
sesuai kaidah akademik.
 Pengumpulan data dan informasi terkait pekerjaan serta melakukan pengolahan data
dan analisis serta perancangan visi, misi, tujuan, sasaran, arah kebijakan, strategi,
indikasi program.
 Pelibatan pemangku kepentingan terkait (Satuan Kerja Perangkat Daerah,
Organisasi/LSM, tokoh masyarakat, dll).
 Naskah akademik setidaknya menjawab dan mencakup hal-hal yang telah diminta
dalam maksud dan tujuan yang diuraikan di atas.
b. Penyusunan Draf Raperda tentang Pengendalian Penduduk.
c. Penyedia Jasa Konsultansi berkewajiban untuk melaksanakan rapat-rapat penyusunan yang
melibatkan Tim Fasilitasi Penyusunan Naskah Akademik dan Draf Raperda serta
melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) dan Workshop dengan melibatkan Alat
Kelengkapan DPRD dan pemangku kepentingan yang terkait dalam proses penyusunan
Naskah Akademik dan Draf Raperda serta menghadirkan Narasumber Akademisi yang
kompeten minimal berpendidikan S2 atau Kepala SKPD eselon II yang terkait dan/atau yang
mewakili dengan memberikan honorarium narasumber maupun honor peserta sesuai dengan
SHBJ dengan ketentuan sebagai berikut :
- Rapat-rapat penyusunan Naskah Akademik dan Draf Raperda minimal sebanyak 14 kali
melibatkan Tim Fasilitasi Penyusunan yang dibentuk Sekretaris DPRD DIY.
- FGD sebanyak 2 kali dengan rincian 1 kali untuk penyusunan Naskah Akademik dan 1
kali untuk penyusunan Draf Raperda, dengan melibatkan SKPD terkait di tingkat
Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta, dan anggota Alat Kelengkapan DPRD
pengusul Raperda Inisiatif.
- Workshop dilaksanakan sebanyak 1 kali (dengan melibatkan SKPD Pemda DIY terkait,
SKPD Kabupaten/Kota, Anggota Alat Kelengkapan DPRD Pengusul, LSM/Organisasi
Masyarakat, Perguruan Tinggi, dan stakeholders lainnya) yang dilaksanakan setelah
Naskah Akademik dan Draf Raperda mendekati final paling lambat 3 minggu sebelum
jadwal penyerahan hasil pekerjaan.
- FGD dan Workshop dilaksanakan minimal di hotel bintang 2 (dua).
d. Penyedia Jasa Konsultansi berkewajiban menyerahkan hasil pekerjaan sesuai waktu yang
ditentukan dalam kontrak.
e. Penyedia Jasa Konsultasi berkewajiban untuk memperbaiki dan menyempurnakan hasil
pekerjaan yang telah diserahkan dalam hal ada masukan dari Anggota DPRD, Alat
Kelengkapan DPRD, dan Sekretariat DPRD berdasarkan hasil dari rapat kerja, Workshop,
kunjungan kerja, dan konsultasi ke pemerintah pusat.
f. Hasil akhir pekerjaan berupa Naskah Akademik yang merupakan dokumen, dalam bentuk
laporan tertulis yang berisi uraian kajian secara teknis akademik tentang Pengendalian
Penduduk dan draf Raperda tentang Pengendalian Penduduk
g. Laporan akhir pekerjaan.

3.3. PENDEKATAN DAN METODOLOGI


Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan campuran (mix methode) antara kualitatif dan
kuantitatif dengan menggunakan data primer dan sekunder.
Metode pengumpulan data primer dilakukan dengan cara survei dan wawancara, sedangkan
pengumpulan data sekunder diperoleh dari instansi terkait serta dari penelitian terdahulu.

Penelitian kuantitatif adalah suatu proses menemukan pengetahuan yang menggunakan data
berupa angka sebagai alat menganalisis keterangan mengenai apa yang ingin diketahui.(Kasiram
(2008: 149) dalam bukunya Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif).

Penelitian kuantitatif didasarkan pada asumsi sebagai berikut (Nana Sudjana dan Ibrahim, 2001;
Del Siegle, 2005, dan Johnson, 2005).

a. Bahwa realitas yang menjadi sasaran penelitian berdimensi tunggal, fragmental, dan
cenderung bersifat tetap sehingga dapat diprediksi.
b. Variabel dapat diidentifikasi dan diukur dengan alat-alat yang objektif dan baku.

Karakteristik penelitian kuantitatif adalah sebagai berikut (Nana Sudjana dan Ibrahim, 2001: 6-7;
Suharsimi Arikunto, 2002 : 11; Johnson, 2005; dan Kasiram 2008: 149-150):

a. Menggunakan pola berpikir deduktif (rasional – empiris atau top-down), yang


berusaha memahami suatu fenomena dengan cara menggunakan konsep-konsep
yang umum untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang bersifat khusus.
b. Logika yang dipakai adalah logika positivistik dan menghundari hal-hal yang
bersifat subjektif.
c. Proses penelitian mengikuti prosedur yang telah direncanakan.
d. Tujuan dari penelitian kuantitatif adalah untuk menyususun ilmu nomotetik yaitu
ilmu yang berupaya membuat hokum-hukum dari generalisasinya.
e. Subjek yang diteliti, data yang dikumpulkan, dan sumber data yang dibutuhkan, serta
alat pengumpul data yang dipakai sesuai dengan apa yang telah direncanakan
sebelumnya.
f. Pengumpulan data dilakukan melalui pengukuran dengan mengguna-kan alat yang
objektif dan baku.
g. Melibatkan penghitungan angka atau kuantifikasi data.
h. Peneliti menempatkan diri secara terpisah dengan objek penelitian, dalam arti dirinya
tidak terlibat secara emosional dengan subjek penelitian.
i. Analisis data dilakukan setelah semua data terkumpul.
j. Dalam analisis data, peneliti dituntut memahami teknik-teknik statistik.
k. Hasil penelitian berupa generalisasi dan prediksi, lepas dari konteks waktu dan
situasi.
l. Penelitian jenis kuantitatif disebut juga penelitian ilmiah

Penelitian ini dalam pelaksanaannya berdasarkan prosedur yang telah direncanakan sebelumnya.
Adapun prosedur penelitian kuantitatif terdiri dari tahapan-tahapan kegiatan sebagai berikut.

a. Identifikasi permasalahan
b. Studi literatur.
c. Pengembangan kerangka konsep
d. Identifikasi dan definisi variabel, hipotesis, dan pertanyaan penelitian.
e. Pengembangan disain penelitian.
f. Teknik sampling.
g. Pengumpulan dan kuantifikasi data.
h. Analisis data.
i. Interpretasi dan komunikasi hasil penelitian.

Dalam melakukan penelitian, peneliti dapat menggunakan metoda dan rancangan (design)
tertentu dengan mempertimbangkan tujuan penelitian dan sifat masalah yang dihadapi.
Berdasarkan sifat-sifat permasalahannya, penelitian kuantitatif dapat dibedakan menjadi
beberapa tipe sebagai berikut (Suryabrata, 2000 : 15 dan Sudarwan Danim dan Darwis, 2003 : 69
– 78).

a. Penelitian deskriptif
b. Penelitian korelational
c. Penelitian kausal komparatif
d. Penelitian tindakan
e. Penelitian perkembangan
f. Penelitian eksperimen

Metode yang dipergunakan dalam penelitian kuantitatif, khususnya kuantitatif analitik adalah
metode deduktif. Dalam metoda ini teori ilmiah yang telah diterima kebenarannya dijadikan
acuan dalam mencari kebenaran selanjutnya.
Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik (2000:
6) menyatakan bahwa pada dasarnya metoda ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan
menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan : a) kerangka pemikiran yang bersifat logis
dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil
disusun; b) menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran tersebut;
dan c) melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud untuk menguji kebenaran
pernyataannya secara faktual.

Selanjutnya Jujun menyatakan bahwa kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logico-
hypothetico-verifikatif ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut
(Suriasumantri, 2005 : 127-128).

a) Perumusan masalah, yang merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang


jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di
dalamnya.
b) Penyusunan kerangka berpikir dalam penyusunan hipotesis yang merupakan
argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai
faktor yang saling mengait dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka
berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah
teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan
dengan permasalahan.
c) Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap
pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari dari
kerangka berpikir yang dikembangkan.
d) Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan
hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang
mendukung hipoteisis tersebut atau tidak.
e) Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah hipotesis yang diajukan itu
ditolak atau diterima.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek
alamiah, dimana peneliti merupakan instrumen kunci (Sugiyono, 2005). Perbedaannya dengan
penelitian kuantitatif adalah penelitian ini berangkat dari data, memanfaatkan teori yang ada
sebagai bahan penjelas dan berakhir dengan sebuah teori.

Moleong setelah melakukan analisis terhadap beberapa definisi penelitian kualitatif kemudian
membuat definisi sendiri sebagai sintesis dari pokok-pokok pengertian penelitian kualitatif.
Menurut Moleong (2005:6), penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan, dll secara holistic, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-
kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode alamiah.

Pada kesempatan ini saya akan jelaskan secara mendalam tentang teori penelitian kualitatif,
tujuan, jenis dan cara penelitiannya. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk
meneliti pada kondisi objek alamiah, dimana peneliti merupakan instrumen kunci (Sugiyono,
2005). Perbedaannya dengan penelitian kuantitatif adalah penelitian ini berangkat dari data,
memanfaatkan teori yang ada sebagai bahan penjelas dan berakhir dengan sebuah teori.

Moleong setelah melakukan analisis terhadap beberapa definisi penelitian kualitatif kemudian
membuat definisi sendiri sebagai sintesis dari pokok-pokok pengertian penelitian kualitatif.
Menurut Moleong (2005:6), penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan, dll secara holistic, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-
kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode alamiah.

Menurut Saryono (2010), Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang digunakan untuk
menyelidiki, menemukan, menggambarkan, dan menjelaskan kualitas atau keistimewaan dari
pengaruh social yang tidak dapat dijelaskan, diukur atau digambarkan melalui pendekatan
kuantitatif.

Menurut Sugiyono (2011), metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang
berlandaskan pada filsafat post positivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang
alamiah, (sebagai lawannya eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci,
pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snowball, teknik pengumpulan
dengan tri-anggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif atau kualitatif, dan hasil
penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.

Agar para pembaca memahami maknasesungguhnya dari bahasan kali ini, maka akan kita bahas
sedikit tentang perbedaan penelitian kualitatif dengan kuantitatif. Perbedaan yang paling
mendasar antara penelitian kualitatif dan kuantitatif adalah alur teori serta data. Di dalam
penelitian kuantitatif, penelitian bermula dari teori yang dibuktikan dengan data lapangan.
Sebailknya, di dalam penelitian kualitatif, penelitian berangkat dari data lapangan dan
menggunakan teori yang sudah ada sebagai pendukung, kemudian hasilnya akan memunculkan
teori dari data-data tersebut.

Menurut Williams (1988), ada 5 pandangan dasar perbedaan antara pendekatan kuantitatif dan
kualitatif. Kelima pendangan dasar perbedaan tersebut antara lain:

1. Bersifat realitas, pendekatan kuantitatif melihat realitas sebagai tunggal, konkrit,


teramati, serta dapat difragmentasi. Sebaliknya pendekatan kualitatif melihat realitas
ganda (majemuk), hasil konstruksi dalam pandangan holistik. Sehingga peneliti
kuantitatif lebih spesifik, percaya langsung pada obyek generalis, meragukan dan
mencari fenomena pada obyek yang realitas.
2. Interaksi antara peneliti dengan obyek penelitiannya, pendekatan kuantitatif melihat
sebagai independen, dualistik bahkan mekanistik. Sebaliknya pendekatan kualitatif
melihat sebagai proses interaktif, tidak terpisahkan bahkan partisipasif.
3. Posibilitas generalis, pendekatan kuantitatif bebas dari ikatan konteks dan waktu
(nomothetic statements), sedangkan pendekatan kualitatif terikat dari ikatan konteks
dan waktu(idiographic statements).
4. Posibilitas kausal, pendekatan kuantitatif selalu memisahkan antara sebab riil
temporal simultan yang mendahuluinya sebelum akhirnya melahirkan akibat-
akibatnya. Sedangkan pendekatan kualitatif selalu mustahilkan usaha memisahkan
sebab dengan akibat, apalagi secara simultan.
5. Peranan nilai, pendekatan kuantitatif melihat segala sesuatu bebas nilai, obyektif dan
harus seperti apa adanya. Sebaliknya pendekatan kualitatif melihat segala sesuatu
tidak pernah bebas nilai, termasuk si peneliti yang subyektif.
Menurut Kriyantono, tujuan penelitian kualitatif adalah untuk menjelaskan suatu fenomena
dengan sedalam-dalamnya dengan cara pengumpulan data yang sedalam-dalamnya pula, yang
menunjukkan pentingnya kedalaman dan detail suatu data yang diteliti.

Pada penelitian kualitatif, semakin mendalam, teliti, dan tergali suatu data yang didapatkan,
maka bisa diartikan pula bahwa semakin baik kualitas penelitian tersebut. Maka dari segi
besarnya responden atau objek penelitian, metode penelitian kualitatif memiliki objek yang lebih
sedikit dibandingkan dengan penelitian kuantitatif, sebab lebih mengedepankan kedalaman data,
bukan kuantitas data.

Asumsi Penelitian Kualitatif

Anggapan yang mendasari penelitian jenis kualitatif adalah bahwa kenyataan sebagai suatu yang
berdimensi jamak, kesatuan, dan berubah-ubah (Nana Sudjana dan Ibrahim, 2001: 7). Oleh
karena itu tidak mungkin dapat disusun rancangan penelitian yang terinci dan fixed sebelumnya.
Rancangan penelitian berkembang selama proses penelitian berlangsung.

Karakteristik Penelitian Kualitatif

Penelitian jenis kualitatif disebut juga penelitian naturalistik, metode fenomenologis, metode
impresionistik, dan metode post positivistic. Adapun karakteristik penelitian jenis ini adalah
sebagai berikut (Sujana dan Ibrahim, 2001: 6-7; Suharsimi Arikunto, 2002: 11-12; Moleong,
2005: 8-11; Johnson, 2005, dan Kasiram, 2008: 154-155).

a. Menggunakan pola berpikir induktif (empiris – rasional atau bottom-up). Metode


kualitatif sering digunakan untuk menghasilkan grounded theory, yaitu teori yang
timbul dari data bukan dari hipotesis seperti dalam metode kuantitatif. Atas dasar
itu penelitian bersifat generating theory, sehingga teori yang dihasilkan berupa teori
substansif.
b. Perspektif emic/partisipan sangat diutamakan dan dihargai tinggi. Minat peneliti
banyak tercurah pada bagaimana persepsi dan makna menurut sudut pandang
partisipan yang diteliti, sehingga bias menemukan apa yang disebut sebagai fakta
fenomenologis.
c. Penelitian jenis kualitatif tidak menggunakan rancangan penelitian yang baku.
Rancangan penelitian berkembang selama proses penelitian.
d. Tujuan penelitian kualitatif adalah untuk memahami, mencari makna di balik data,
untuk menemukan kebenaran, baik kebenaran empiris sensual, empiris logis, dan
empiris logis.
e. Subjek yang diteliti, data yang dikumpulkan, sumber data yang dibutuhkan, dan alat
pengumpul data bisa berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan.
f. Pengumpulan data dilakukan atas dasar prinsip fenomenologis, yaitu dengan
memahami secara mendalam gejala atau fenomena yang dihadapi.
g. Peneliti berfungsi pula sebagai alat pengumpul data sehingga keberadaanya tidak
terpisahkan dengan apa yang diteliti.
h. Analisis data dapat dilakukan selama penelitian sedang dan telah berlangsung.
i. Hasil penelitian berupa deskripsi dan interpretasi dalam konteks waktu serta situasi
tertentu.
j. Penelitian jenis kualitatif disebut juga penelitian alamiah atau inquiri naturalistik.

Prosedur Penelitian Kualitatif

Prosedur pelaksanaan penelitian kualitatif bersifat fleksibel sesuai dengan kebutuhan, serta
situasi dan kondisi di lapangan. Secara garis besar tahapan penelitian jenis kualitatif adalah
sebagai berikut (Sudarwan Danim dan Darwis, 2003 : 80)

a. Merumuskan masalah sebagai fokus penelitian.


b. Mengumpulkan data di lapangan.
c. Menganalisis data.
d. Merumuskan hasil studi.
e. Menyusun rekomendasi untuk pembuatan keputusan.

Penelitian dengan pendekatan kualitatif dapat dibedakan menjadi lima tipe utama, yaitu:
phenomenology, ethnography, case study research, grounded theory, dan historical research
(Johnson, 2005 : 8). Berikut penjelasan dari kelima jenis penelitian kualitatif tersebut:

Fenomenologi

Phenomenology: a form of qualitative research in which the researcher attempts to understand


how one or more individuals experience a phenemenon.
Penelitian fenomenologi dapat dimulai dengan memperhatikan dan menelaah fokus fenomena
yang akan diteliti, yang melihat berbagai aspek subjektif dari perilaku objek. Selanjutnya,
peneliti melakukan penggalian data berupa bagaimana pemaknaan objek dalam memberikan arti
terhadap fenomena yang terkait. Penggalian data tersebut dilakukan dengan melakukan
wawancara yang mendalam kepada objek atau informan didalam penelitian, serta dengan
melakukan observasi secara langsung mengenai bagaimana objek penelitian menginterpretasikan
pengalamannya kepada orang lain.

Etnografi

Ethnography: is the form of qualitative research that focuses on describing the culture of a
group of people.

Metode penelitian etnografi adalah penelitian yang memiliki tujuan untuk mengkaji bentuk dan
fungsi bahasa yang tersedia dalam budaya yang selanjutnya digunakan untuk berkomunikasi oleh
individu didalamnya. Serta melihat bagaimana bentuk dan fungsi bahasa tersebut menjadi bagian
dari kehidupan sebuah masyarakat.

Metode etnografi menginterpretasikan kelompok sosial, sistem yang berlaku dan peran yang
dijalankan, serta interaksi sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat. Metode etnografi biasanya
digunakan untuk berfokus pada kegiatan atau ritual tertentu didalam masyarakat, bahasa,
kepercayaan, cara-cara hidup dan lain sebagainya.

Studi Kasus

Case study research: is a form of qualitative research that focused on providing a detailed
account of one or more cases.

Metode penelitian studi kasus meneliti suatu kasus atau fenomena tertentu yang ada didalam
masyarakat yang dilakukan secara mendalam untuk mempelajari latar belakang, keadaan, dan
interaksi yang terjadi.

Studi kasus dilakukan pada suatu kesatuan sistem yang bisa berupa suatu program, kegiatan,
peristiwa, atau sekelompok individu yang ada pada keadaan atau kondisi-kondisi tertentu.

Metode Teori Dasar


Grounded theory: is a qualitative approach to generating and developing a theory form data
that the researcher collects.

Penelitian Kualitatif Metode Teori Dasar adalah penelitian yang dilakukan untuk menemukan
suatu teori atau untuk menguatkan teori yang sudah ada dengan mengkaji prinsip dan kaidah
dasar yang ada. Selanjutnya dibuat kesimpulan dasar yang membentuk prinsip dasar dari suatu
teori.

Dalam melakukan metode teori dasar ini, peneliti perlu memilah mana fenomena yang dapat
dikatakan fenomena inti dan mana yang bukan untuk dapat diambil dan dibentuk suatu teori.

Pengumpulan data metode teori dasar ini dilakukan dengan observasi, studi lapangan,
pembandingan antara kategori, fenomena, dan situasi berdasarkan berbagai penilaian, seperti
kajian induktif, deduktif, dan verifikasi hingga datanya bersifat jenuh.

Metode Historis

Historical research: research about events that occurred in the past.

Penelitian metode historis adalah penelitian yang memiliki fokus penelitian berupa peristiwa-
peristiwa yang sudah berlalu dan melakukan rekonstruksi masa lalu dengan sumber data atau
saksi sejarah yang masih ada hingga saat ini.

Sumber data tersebut bisa diperoleh dari berbagai catatan sejarah, artefak, laporan verbal,
maupun saksi hidup yang dapat dipertanggungjawabkan kebenaran kesaksiannya.

Karena mengkaji peristiwa-peristiwa yang telah berlalu, maka ciri khas dari penelitian metode
historis ialah waktu. Dimana fenomena dilihat perkembangan atau perubahannya berdasarkan
pergeseran waktu.

Tahapan Dalam Penelitian Kualitatif

Ada lima tahap bagi para peneliti jika ingin melakukan penelitian jenis kualitatif, yaitu:

1. Mengangkat permasalahan.
2. Memunculkan pertanyaan penelitian.
3. Mengumpulkan data yang relevan.
4. Melakukan analisis data.
5. Menjawab pertayaan penelitian.

Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode wawancara dan/ atau kuisioner sedangkan
pengumpulan data sekunder diperoleh dari instansi terkait serta dari penelitian terdahulu.

Data primer adalah data yang diperoleh peneliti secara langsung (dari tangan pertama),
sementara data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari sumber yang sudah ada. Contoh
data primer adalah data yang diperoleh dari responden melalui kuesioner, kelompok fokus, dan
panel, atau juga data hasil wawancara peneliti dengan nara sumber. Contoh data sekunder
misalnya catatan atau dokumentasi perusahaan berupa absensi, gaji, laporan keuangan publikasi
perusahaan, laporan pemerintah, data yang diperoleh dari majalah, dan lain sebagainya

Metode pengumpulan data primer dilakukan dengan cara survei lapangan dengan observasi dan
wawancara, sedangkan pengumpulan data sekunder diperoleh dari instansi terkait serta dari
penelitian terdahulu.

3.4. SISTEMATIKA NASKAH AKADEMIK


Penyusunan Naskah Akademis Pengendalian Penduduk mengacu pada Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, yaitu
sebagai berikut:

Sistematika Naskah Akademik adalah sebagai berikut:

JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN TERKAIT
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH
BAB VI PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN: RANCANGAN PERATURAN DAERAH

Uraian singkat setiap bagian:


1. BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan memuat latar belakang, sasaran yang akan diwujudkan, identifikasi
masalah, tujuan dan kegunaan, serta metode penelitian.
A. Latar Belakang
Latar belakang memuat pemikiran dan alasan-alasan perlunya penyusunan
Naskah Akademik sebagai acuan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah.
Latar belakang menjelaskan mengapa pembentukan Rancangan Peraturan Daerah
memerlukan suatu kajian yang mendalam dan komprehensif mengenai teori atau
pemikiran ilmiah yang berkaitan dengan materi muatan Rancangan Peraturan
Daerah yang akan dibentuk yaitu terkait Pengendalian Penduduk. Pemikiran
ilmiah tersebut mengarah kepada penyusunan argumentasi filosofis, sosiologis
serta yuridis guna mendukung perlu atau tidak perlunya penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah.

B. Identifikasi Masalah
Rumusan masalah dengan memperhatikan permasalahan yang ada di
Pendahuluan KAK pada Nomor 2 “maksud dan Tujuan, dan dikembangkan sesuai
dengan temuan masalah pada saat melakukan kajian/penelitian.
Selanjutnya permasalahan ini kemudian diidentifikasi ke dalam 4 (empat) pokok
masalah, yaitu sebagai berikut:
1) Permasalahan apa yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat serta bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi.
2) Mengapa perlu Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar pemecahan masalah
tersebut, yang berarti membenarkan pelibatan negara dalam penyelesaian
masalah tersebut.
3) Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah.
4) Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan
arah pengaturan.
C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik Sesuai dengan
ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penyusunan
Naskah Akademik dirumuskan sebagai berikut:
1) Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat serta cara-cara mengatasi permasalahan tersebut.
2) Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan pembentukan
Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi
permasalahan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
3) Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah.
4) Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Peraturan Daerah.
Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai acuan
atau referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah.
D. Metode
Penyusunan Naskah Akademik pada dasarnya merupakan suatu kegiatan
penelitian sehingga digunakan metode penyusunan Naskah Akademik yang
berbasiskan metode penelitian hukum atau penelitian lain. Penelitian hukum dapat
dilakukan melalui metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris. Metode
yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian sosiolegal. Metode yuridis
normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder
yang berupa Peraturan Perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian,
kontrak, atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian,
dan referensi lainnya. Metode yuridis normatif dapat dilengkapi dengan
wawancara, diskusi (focus group discussion), dan rapat dengar pendapat. Metode
yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian yang diawali dengan penelitian
normatif atau penelaahan terhadap Peraturan Perundang-undangan (normatif)
yang dilanjutkan dengan observasi yang mendalam serta penyebarluasan
kuesioner untuk mendapatkan data faktor nonhukum yang terkait dan yang
berpengaruhterhadap Peraturan Perundang-undangan yang diteliti.

2. BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS


Bab ini memuat uraian mengenai materi yang bersifat teoretis, asas, praktik,
perkembangan pemikiran, serta implikasi sosial, politik, dan ekonomi, keuangan
negara dari pengaturan dalam suatu Peraturan Daerah.
Bab ini dapat diuraikan dalam beberapa sub bab berikut:
A. Kajian teoretis.
B. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma. Analisis
terhadap penentuan asas-asas ini juga memperhatikan berbagai aspek bidang
kehidupan terkait dengan Peraturan Daerah, yang berasal dari hasil penelitian.
C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan
yang dihadapi masyarakat.
D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam
Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap
aspek beban keuangan daerah.

3. BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-


UNDANGAN TERKAIT
Bab ini memuat hasil kajian terhadap Peraturan Perundang-undangan terkait yang
memuat kondisi hukum yang ada, keterkaitan Peraturan Daerah baru dengan
Peraturan Perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan horizontal, serta
status dari Peraturan Perundang-undangan yang ada, termasuk Peraturan Perundang-
undangan yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta Peraturan Perundang-
undangan yang masih tetap berlaku karena tidak bertentangan dengan Peraturan
Daerah yang baru. Kajian terhadap Peraturan Perundang-undangan ini dimaksudkan
untuk mengetahui kondisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai substansi atau materi yang akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui
posisi dari Peraturan Daerah yang baru. Analisis ini dapat menggambarkan tingkat
sinkronisasi, harmonisasi Peraturan Perundang-undangan yang ada serta posisi dari
Peraturan Daerah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan. Hasil dari
penjelasan atau uraian ini menjadi bahan bagi penyusunan landasan filosofis dan
yuridis dari pembentukan Peraturan Daerah yang akan dibentuk.

4. BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS


A. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran,
dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia
yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
B. Landasan Sosiologis.
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam
berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris
mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
C. Landasan Yuridis.
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau
mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada,
yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan
rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang
berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk
Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara
lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau
tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga
daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau
peraturannya memang sama sekali belum ada.
5. BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH
Naskah Akademik pada akhirnya berfungsi mengarahkan ruang lingkup materi
muatan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang akan dibentuk. Dalam Bab ini,
sebelum menguraikan ruang lingkup materi muatan, dirumuskan sasaran yang akan
diwujudkan, arah dan jangkauan pengaturan. Materi didasarkan pada ulasan yang
telah dikemukakan dalam bab sebelumnya. Selanjutnya mengenai ruang lingkup
materi pada dasarnya mencakup:
a. ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian istilah, dan
frasa;
b. materi yang akan diatur;
c. ketentuan sanksi; dan
d. ketentuan peralihan.

6. BAB VI PENUTUP
Bab penutup terdiri atas subbab simpulan dan saran.
A. Simpulan
Simpulan memuat rangkuman pokok pikiran yang berkaitan dengan praktik
Penyelenggaraan, pokok elaborasi teori, dan asas yang telah diuraikan dalam bab
sebelumnya.
B. Saran
Saran memuat antara lain:
1. Perlunya pemilahan substansi Naskah Akademik dalam suatu Peraturan
Perundang-undangan atau Peraturan Perundang-undangan di bawahnya.
2. Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah atau Produk Hukum Daerah lain
yang diperlukan.
3. Kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung penyempurnaan penyusunan
Naskah Akademik lebih lanjut.

7. DAFTAR PUSTAKA
Daftar pustaka memuat buku, Peraturan Perundang-undangan, dan jurnal yang
menjadi sumber bahan penyusunan Naskah Akademik.

8. LAMPIRAN RANCANGAN PERDA

3.5. KELUARAN
Adapun Keluaran dalam kegiatan ini adalah :

c. Laporan Pendahuluan diserahkan sebanyak 5 eksemplar.


d. Laporan Antara diserahkan sebanyak 5 eksemplar.
e. Laporan Akhir Penyusunan Naskah Akademik sebanyak 5 buah.
f. Naskah Akademik dan Draf Raperda tentang Pengendalian Penduduk diserahkan
sebanyak 5 eksemplar.
g. Flash Disk Naskah Akademik dimaksud sebanyak 2 buah.
h. Rapat-rapat penyusunan Naskah Akademik dan Draf Raperda minimal sebanyak 14 kali
melibatkan Tim Fasilitasi Penyusunan yang dibentuk Sekretaris DPRD DIY, dengan
jumlah peserta 25 orang, dilaksanakan di Gedung DPRD DIY.
i. FGD sebanyak 2 kali dengan rincian sebagai berikut:
 1 kali untuk penyusunan Naskah Akademik dan 1 kali untuk penyusunan Draf
Raperda.
 FGD melibatkan SKPD terkait di tingkat Pemerintah Daerah Daerah Istimewa
Yogyakarta, dan anggota Alat Kelengkapan DPRD pengusul Raperda Inisiatif,
LSM/Organisasi Masyarakat, Perguruan Tinggi, dan stakeholders lainnya. 
Dilaksanakan dihotel minimal bintang 2 serta jumlah peserta masing-masing
sejumlah 80 orang.

Anda mungkin juga menyukai