BAB I
PENDAHULUAN
Jika berbicara terkait kependudukan, secara singkat Kependudukan bisa digambarkan sebagai
sebuah fenomena baik di hulu maupun di hilir pemerintahan. Sejauh mana kemampuan
pemerintah dalam mengantisipasi dan mengendalikan kependudukan pada gilirannya dapat
mengatasi atau mengurangi fenomena yang terjadi di hilir, seperti pengangguran, kemiskinan,
ketimpangan, kriminalitas, krisis lingkungan hidup dan sebagainya. Besarnya jumlah penduduk
dengan selang usia produktif yang di satu sisi menjadi sebuah keuntungan, bila penduduk usia
produktif dikatakan berkualitas. Tetapi di sisi lain dapat menjadi bencana ketika penduduk usia
produktif dalam kondisi pendidikan rendah, keahlian rendah, serta kondisi kesehatan yang buruk,
sehingga tidak dapat berproduksi secara optimum.
Kelima hal tersebut di atas saling berkaitan dan saling mempengaruhi, misalnya saja kuantitas
penduduk juga dipengaruhi dengan kualitas penduduk, yang contoh konkritnya adalah seseorang
yang berpendidikan tinggi, memiliki kecenderungan untuk menikah pada usia yang cukup
matang, dan juga ketika sudah berkeluarga memiliki kecenderungan untuk mempunyai jumlah
anak yang sedikit. Sedangkan untuk fokus terkait pertumbuhan penduduk akan terkait 3 (tiga) hal
yaitu fertilitas, mortalitas, dan mobilitas penduduk.
Selanjutnya terkait Pengendalian Kuantitas Penduduk, maka dari data yang ada pada akhir Tahun
2020 Indonesia akan dihuni 269,6 juta jiwa (proyeksi penduduk 2015-2045 hasil Survei
Penduduk Antar Sensus (Supas) 2015). Berdasarkan jumlah tersebut berarti Indonesia menjadi
negara peringkat ke-empat di dunia dengan jumlah penduduk terbanyak setelah China, India, dan
Amerika.
Banyaknya jumlah penduduk dimaksud dapat dipandang dari dua sisi: sebagai modal
pembangunan atau sebagai tantangan pembangunan. Tantangan pembangunan tersebut meliputi
permasalahan-permasalahan kependudukan:
Tekanan penduduk dan lingkungan, yaitu berkurangnya lahan pertanian dan rusaknya
lingkungan akibat permukiman yang semakin padat dan perilaku manusia yang tidak
peduli lingkungan.
Kemiskinan. Penduduk yang sangat banyak tidak seluruhnya mampu untuk memperoleh
kebutuhan ekonomi.
Pengangguran. Terjadi karena lapangan kerja tidak sebanyak pencari kerja. Banyaknya
pencari kerja muncul akibat semakin meningkatnya jumlah penduduk.
Rawan pangan. Terjadi karena kebutuhan pangan semakin meningkat dengan adanya
pertambahan penduduk, sedangkan luas pertanian akan berkurang. Akibatnya, produksi
padi tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan seluruh penduduk
Berkurangnya daya dukung dan daya tampung lingkungan ditandai dengan
menyempitnya lahan produktif. Penduduk yang besar akan meningkatkan kebutuhan
penduduk terhadap tempat tinggal. Akibatnya, semakin luas lahan yang diperlukan untuk
bangunan permukiman dan fasilitas sosial-ekonomi penunjang kebutuhan manusia, di
antaranya sekolah, fasilitas kesehatan, gedung-gedung perkantoran, pasar dan fasilitas
umum lainnya. Terbatasnya lahan menyebabkan lahan pertanian akan berkurang karena
telah berubah fungsi. ( Jurnal Keluarga Edisi Keempat, 2018, BKKBN).
Permasalahan kependudukan yang diakibatkan besarnya jumlah penduduk dan laju pertumbuhan
penduduk yang tinggi, bisa dianalogikan jika sebuah rumah berisikan 8 anggota keluarga
tentunya akan lebih sempit. Akan lebih terasa luas jika sebuah rumah diisi oleh 3 atau 4 anggota
keluarga. Sama halnya dengan sebuah wilayah, oleh karena itu perlu pengendalian penduduk
agar daya tampung sama dengan jumlah penduduk. Pengendalian Penduduk juga penting untuk
mewujudkan keseimbangan dengan daya dukung lingkungan sehingga tercapai masyarakat
bahagia dan sejahtera.
Lebih jauh lagi berbicara terkait pengendalian kuantitas penduduk terdapat beberapa strategi
yang bisa dilakukan antara lain:
1. Penurunan angka mortalitas pada ibu dan anak, yang diprioritaskan antara lain pada:
Penurunan angka kematian ibu hamil.
Penurunan angka kematian ibu melahirkan.
Penurunan angka kematian pasca melahirkan.
Penurunan angka kematian bayi dan anak.
2. Pengaturan fertilitas melalui Program Keluarga Berencana Program Keluarga Berencana
membutuhkan kepedulian masyarakat karena mencakup:
Pendewasaan usia perkawinan/pengarahan usia ideal perkawinan. Pendewasaan
usia perkawinan penting dilakukan agar penduduk mencapai usia yang ideal pada
saat perkawinan. Pendewasaan merupakan upaya untuk mendewasakan usia
perkawinan pertama baik fisik, psikis, maupun ekonomi.
Usia ideal melahirkan.
Jarak ideal melahirkan.
Jumlah ideal anak yang dilahirkan.
3. Menekan angka kehamilan yang tidak diinginkan.
Program Keluarga Berencana merupakan program yang diluncurkan sejak tahun 1970 untuk
menekan laju pertumbuhan penduduk. Sampai dengan akhir tahun 1990 Program Keluarga
Berencana telah berhasil menekan laju pertambahan penduduk dari semula sekitar 4,6 pada tahun
1970 menjadi sekitar 2,6 pada akhir tahun 1990. Keberhasilan Pogram Keluarga Berencana di
Indonesia telah diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan pada sidang majelis umum
PBB menganugerahkan penghargaan kepada pemerintah Indonesia sebagai negara yang berhasil
mengatasi laju pertambahan penduduk.
Namun sayang pelaksanaan Program Keluarga Berencana tidak diteruskan dengan baik sehingga
gemanya menjadi surut, seiring dengan pergantian rezim “Orde Baru” dan pelaksanaan otonomi
daerah. Oleh karena itu akibatnya laju pertumbuhan penduduk di Indonesia kembali meningkat
jika dibandingkan sebelum reformasi, dan Indonesia dikhawatirkan akan mengalami ledakan
penduduk, jika tidak segera mengambil langkah-langkah konkrit. Situasi yang ada pada akhirnya
menggugah kembali kesadaran semua pihak akan pentingnya memberikan perhatian yang besar
kepada permasalahan jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk.
Pada akhirnya, kesadaran Pemerintah akan pentingnya masalah terkait jumlah penduduk
mendorong Pemerintah mengeluarkan kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan,
diantaranya:
Beranjak pada kondisi Daerah Istimewa Yogyakarta, beberapa data juga mengindikasikan bahwa
DIY harus melakukan langkahlangkah berkaitan dengan pengendalian penduduk:
Menurut hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015- 2045, proyeksi jumlah
penduduk DIY pada tahun 2015 sejumlah 3.669.200 jiwa meningkat menjadi 3.868.600
jiwa jiwa pada tahun 2019, dengan persentase jumlah penduduk laki-laki 49,4 persen dan
penduduk perempuan 50,6 persen.
Laju pertumbuhan penduduk DIY pada tahun 2018 dibandingkan tahun 2017 sebesar 1,08
persen sedangkan terhadap tahun 2010 mencapai 1,16 persen, dan laju pertumbuhan
penduduk DIY pada tahun 2019 dibandingkan tahun 2018 sebesar 1,05 persen, sedangkan
terhadap tahun 2010 mencapai 1,15 persen (Aplikasi Dataku Bappeda DIY). Sedangkan
data lain menunjukkan laju pertumbuhan penduduk DIY tahun 2010-2019 sebesar 1,18
persen per tahun lebih tinggi dibanding angka laju pertumbuhan penduduk DIY pada
periode tahun 2000-2010 sebesar 1,03 persen per tahun (Daerah Istimewa Yogyakarta
Dalam Angka, BPS, 2020).
Dengan luas wilayah 3.185,80 km2, kepadatan penduduk di DIY pada tahun 2019 tercatat
1.206,27 jiwa per km2. Kepadatan tertinggi terjadi di Kota Yogyakarta yakni 13.290,43
jiwa per km2 dengan luas wilayah hanya sekitar satu persen dari luas DIY. Sedangkan
Kabupaten Gunungkidul yang memiliki wilayah terluas mencapai 46,63 persen, memiliki
kepadatan penduduk terendah yang dihuni rata-rata 500,03 jiwa per km2. (Aplikasi dataku
Bappeda DIY).
Menurut hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015- 2045 (data diolah),
komposisi penduduk D.I. Yogyakarta pada tahun 2019 menurut kelompok umur
didominasi oleh kelompok usia dewasa yaitu umur 25-29 tahun sebesar 8,0 persen.
Kelompok umur 0-24 tahun tercatat 35,81 persen, kelompok umur 30-59 tahun 41,4 persen,
dan lanjut usia yaitu umur 60 tahun ke atas sebesar 14,8 persen. Besarnya proporsi mereka
yang berusia lanjut mengisyaratkan tingginya usia harapan hidup penduduk DIY yang
mencapai 74,92 pada tahun 2019 (Aplikasi dataku, Bappeda DIY), dan ke depan tentu akan
semakin banyak penduduk lanjut usia di DIY.
Angka Fertilitas Total (TFR) di DIY berdasarkan hasil survey demografi dan kesehatan
menunjukkan tren kenaikan yaitu tahun 2007 adalah 1,8 kemudian tahun 2012 adalah 2,0
dan pada saat ini berada pada angka 2,2 anak per wanita meskipun angka tersebut lebih
rendah daripada angka nasional dan mendekati ideal (2,1 anak per wanita) (Laporan SDKI
2017).
Kepesertaan ber KB all method meningkat menjadi 76% namun KB modern mengalami
penurunan (57,3%), hal ini karena adanya peningkatan metode KB tradisional dari 10,3%
menjadi 18,6% (laporan SDKI 2017).
Angka putus pakai KB masih tinggi yaitu sebesar 28,4% (laporan SDKI 2017).
Capaian peserta KB baru (PB) tidak berdampak terhadap penambahan peserta KB aktif
(PA) modern (Laporan SDKI 2017).
Prevelensi KB MJKP mengalami penurunan sebesar 2,5% dan saat ini menjadi 18,6%
terutama penurunan pemakaian KB IUD/AKDR/spiral (Laporan SDKI 2017).
Masih rendahnya indeks pengetahuan remaja tentang masa subur yaitu 64,4% (laporan
SKAP 2018).
Unmet need di Kabupaten/Kota yang masih tinggi yaitu 10,25% Kulon Progo, 10,55%
Bantul, 9,48% Gunungkidul, Sleman 9,04%, Yogyakarta 14,15% (data tahun 2019, sumber
aplikasi dataku, Bappeda DIY).
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta memandang perlunya sebuah Peraturan Daerah tentang
Pengendalian Penduduk.
Tujuan
1. Menyusun landasan ilmiah, memberikan arah dan menetapkan ruang lingkup bagi
penyusunan draf Raperda tentang Pengendalian Penduduk.
2. Menyusun konsep (draf) rancangan Peraturan Daerah tentang Pengendalian Penduduk.
1.3. SASARAN
Tersusunnya sebuah kebijakan dalam bentuk Peraturan Daerah tentang tentang Pengendaalian
Penduduk yang mempunyai landasan yang kuat baik secara teoritik, ilmiah, dan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang ada yang didukung pula dengan penelitian empiris.
1.4. REFERENSI HUKUM
Referensi hukum yang digunakan:
Satuan fisiografi Gunungapi Merapi, yang terbentang mulai dari kerucut gunung api hingga
dataran fluvial gunung api termasuk juga bentang lahan vulkanik, meliputi Sleman, Kota
Yogyakarta dan sebagian Bantul. Daerah kerucut, dan lereng gunung api merupakan daerah
hutan lindung sebagai kawasan resapan air daerah bawahan. Satuan bentang alam ini terletak di
Sleman bagian utara. Gunung Merapi yang merupakan gunungapi aktif dengan karakteristik
khusus, mempunyai daya tarik sebagai objek penelitian, pendidikan, dan pariwisata.
Gambar 2.3. Karts mendominasi struktur rupa bumi di wilayah Gunungkidul bagian selatan
Satuan Pegunungan Selatan atau Pegunungan Seribu, yang terletak di wilayah Gunungkidul,
merupakan kawasan perbukitan batu gamping dan bentang alam karst yang tandus, dan
kekurangan air permukaan, dengan bagian tengah merupakan cekungan Wonosari yang telah
mengalami pengangkatan secara tektonik sehingga terbentuk menjadi Plato Wonosari (dataran
tinggi Wonosari). Satuan ini merupakan bentang alam hasil proses solusional (pelarutan), dengan
bahan induk batu gamping, dan mempunyai karakteristik lapisan tanah dangkal, dan vegetasi
penutup sangat jarang.
Satuan Pegunungan Kulon Progo, yang terletak di Kulon Progo bagian utara, merupakan bentang
lahan struktural denudasional dengan topografi berbukit, kemiringan lereng curam, dan potensi
air tanah kecil.
Satuan Dataran Rendah, merupakan bentang lahan fluvial (hasil proses pengendapan sungai)
yang didominasi oleh dataran aluvial, membentang di bagian selatan DIY, mulai dari Kulon
Progo sampai Bantul yang berbatasan dengan Pegunungan Seribu. Satuan ini merupakan daerah
yang subur. Termasuk dalam satuan ini adalah bentang lahan marin dan eolin yang belum
didayagunakan, merupakan wilayah pantai yang terbentang dari Kulon Progo sampai Bantul.
Khusus bentang lahan marin dan eolin di Parangtritis Bantul, yang terkenal dengan gumuk
pasirnya, merupakan laboratorium alam untuk kajian bentang alam pantai.
Dua daerah aliran sungai (DAS) yang cukup besar di DIY adalah DAS Progo di barat, dan DAS
Opak-Oya di timur. Sungai-sungai yang cukup terkenal di DIY antara lain adalah Sungai Serang,
Sungai Progo, Sungai Bedog, Sungai Winongo, Sungai Boyong-Code, Sungai Gajah Wong,
Sungai Opak, dan Sungai Oya.
Ekonomi
Gambar 2.5. Pasar tradisional sebagai pusat perekonomian yang berbasis kerakyatan
Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta antara lain meliputi sektor Investasi; Perindustrian,
Perdagangan, Koperasi, dan UKM; Pertanian; Ketahanan Pangan; Kehutanan, dan Perkebunan;
Perikanan, dan Kelautan; Energi, dan Sumber Daya Mineral; serta Pariwisata.
Penanaman modal dan industri
Penanaman modal di DIY dilaksanakan melalui program peningkatan promosi, dan kerja sama
investasi serta program peningkatan iklim investasi, dan realisasi investasi. Capaian investasi
total pada tahun 2010 mencapai Rp 4.580.972.827.244,00 dengan rincian PMDN sebesar Rp
1.884.925.869.797,00, dan PMA sebesar 2.696.046.957.447,00. Unit usaha di DIY pada tahun
2010 ada sekitar 78.122 unit dengan penyerapan tenaga kerja sebesar 292.625 orang, dan nilai
investasi sebesar Rp. 878.063.496.000,00
Perdagangan dan UKM
Varian produk ekspor DIY andalan meliputi produk olahan kulit, tekstil, dan kayu. Pakaian jadi
tekstil dan mebel kayu merupakan produk yang mempunyai nilai ekspor tertinggi. Namun secara
umum ekspor ke mancanegara didominasi oleh produk-produk yang dihasilkan dengan nilai seni,
dan kreatif tinggi yang padat karya (labor intensive). Program pembangunan dalam
mengembangkan koperasi dan UKM di DIY, salah satunya adalah memberdayakan usaha mikro,
dan kecil, dan menengah yang disinergikan dengan kebijakan program dari pemerintah pusat.
Salah satu upaya pembinaan UKM adalah melalui kelompok (sentra) karena upaya ini lebih
efektif, dan efisien, di samping itu dengan sentra akan banyak melibatkan usaha mikro, dan kecil.
Pada 2010 tercatat koperasi aktif sebanyak 1.926 koperasi, dan UKM tercatat 13.998 unit usaha
Pertanian dan kehutanan
Gambar 2.7. Museum Hamengku Buwono IX di dalam kompleks Kraton Yogyakarta, sebuah
tujuan wisata
Pariwisata merupakan sektor utama bagi DIY. Banyaknya objek, dan daya tarik wisata di DIY
telah menyerap kunjungan wisatawan, baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan
nusantara. Pada 2010 tercatat kunjungan wisatawan sebanyak 1.456.980 orang, dengan rincian
152.843 dari mancanegara, dan 1.304.137 orang dari nusantara. Bentuk wisata di DIY meliputi
wisata MICE (Meeting, Incentive, Convention and Exhibition), wisata budaya, wisata alam,
wisata minat khusus, dan berbagai fasilitas wisata lainnya, seperti resort, hotel, dan restoran.
Tercatat ada 37 hotel berbintang, dan 1.011 hotel melati di seluruh DIY pada 2010. Adapun
penyelenggaraan MICE sebanyak 4.509 kali per tahun atau sekitar 12 kali per hari.
Keanekaragaman upacara keagamaan, dan budaya dari berbagai agama serta didukung oleh
kreativitas seni, dan keramahtamahan masyarakat, membuat DIY mampu menciptakan produk-
produk budaya, dan pariwisata yang menjanjikan. Pada tahun 2010 tedapat 91 desa wisata
dengan 51 di antaranya yang layak dikunjungi. Tiga desa wisata di kabupaten Sleman hancur
terkena erupsi gunung Merapi sedang 14 lainnya rusak ringan. Menurut Kepala Dinas Pariwisata
Yogyakarta pada September 2014, angka kunjungan mencapai 2,4 juta wisatawan domestik dan
1,8 juta wisatawan manca negara.
Secara geografis, DIY juga diuntungkan oleh jarak antara lokasi objek wisata yang terjangkau,
dan mudah ditempuh. Sektor pariwisata sangat signifikan menjadi motor kegiatan perekonomian
DIY yang secara umum bertumpu pada tiga sektor andalan yaitu: jasa-jasa; perdagangan, hotel,
dan restoran; serta pertanian. Dalam hal ini pariwisata memberi efek pengganda (multiplier
effect) yang nyata bagi sektor perdagangan disebabkan meningkatnya kunjungan wisatawan.
Selain itu, penyerapan tenaga kerja, dan sumbangan terhadap perekonomian daerah sangat
signifikan.
Sosial budaya
Kondisi sosial budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta antara lain meliputi Kependudukan;
Tenaga Kerja, dan Transmigrasi; Kesejahteraan Sosial; Kesehatan; Pendidikan; Kebudayaan; dan
Keagamaan
Kependudukan dan tenaga kerja
Laju pertumbuhan penduduk di DIY antara 2003-2007 sebanyak 135.915 jiwa atau kenaikan
rata-rata pertahun sebesar 1,1%. Umur Harapan Hidup (UHH) penduduk di DIY menunjukkan
kecenderungan yang meningkat dari 72,4 tahun pada tahun 2002 menjadi 72,9 tahun pada tahun
2005. Ditinjau dari sisi distribusi penduduk menurut usia, terlihat kecenderungan yang semakin
meningkat pada penduduk usia di atas 60 tahun.
Proporsi distribusi peduduk berdasarkan usia produktif memiliki akibat pada sektor tenaga kerja.
Angkatan kerja di DIY pada 2010 sebesar 71,41%. Di sektor ekonomi yang menyerap tenaga
kerja paling besar adalah sektor pertanian kemudian disusul sektor jasa-jasa lainnya. Sektor yang
potensial dikembangkan yaitu sektor pariwisata, sektor perdagangan, dan industri terutama
industri kecil menengah serta kerajinan. Pengangguran di DIY menjadi problematika sosial yang
cukup serius karena karakter pengangguran DIY menyangkut sebagian tenaga-tenaga profesional
dengan tingkat pendidikan tinggi.
Salah satu cara untuk mengatasi masalah kependudukan, dan ketenagakerjaan adalah dengan
mengadakan program transmigrasi. Pelaksanaan pemberangkatan transmigran asal DIY sampai
pada tahun 2008 melalui program transmigrasi sejumlah 76.495 KK atau 274.926 jiwa. Ditinjau
dari pola transmigrasi sudah mencerminkan partisipasi, dan keswadayaan masyarakat, melalui
Transmigrasi Umum (TU), Transmigrasi Swakarsa Berbantuan (TSB) dan Transmigrasi
Swakarsa Mandiri (TSM). Untuk pensebarannya sudah mencakup hampir seluruh provinsi. Rasio
jumlah tansmigran swakarsa mandiri pada 2010 mencapai 20% dari total transmigran yang
diberangkatkan
Kesejahteraan dan kesehatan
Sebagai salah satu aspek yang penting dalam kehidupan, pembangunan kesehatan menjadi salah
satu instrumen di dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tahun 2007 jumlah
keluarga miskin sebanyak 275.110 RTM dan menerima bantuan raskin dari pemerintah pusat
(meningkat 27 persen dibanding periode tahun 2006 sebanyak 216.536 RTM). Penduduk DIY
menurut tahapan kesejahteraan tercatat bahwa pada tahun 2007 kelompok pra sejahtera 21,12%;
Sejahtera I 22,70%; Sejahtera II 23,69%; Sejahtera III 26,83%; dan Sejahtera III plus 5,66%.
Tingkat kesejahteraan pada tahun 2010 meningkat dengan penurunan persentase penduduk
miskin menjadi 16,83%.
Arah pembangunan kesehatan di DIY secara umum adalah untuk mewujudkan DIY yang
memiliki status kesehatan masyarakat yang tinggi tidak hanya dalam batas nasional tetapi
memiliki kesetaraan di tataran internasional khususnya Asia Tenggara dengan mempertinggi
kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, peningkatan jangkauan, dan kualitas
pelayanan kesehatan serta menjadikan DIY sebagai pusat mutu dalam pelayanan kesehatan,
pendidikan pelatihan kesehatan serta konsultasi kesehatan. Hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional
Tahun 2010 menempatkan DIY sebagai daerah setingkat provinsi dengan indikator kesehatan
terbaik, dan paling siap dalam mencapai MDG’s.
Pada tahun 2010 capaian indikator kesehatan untuk umur harapan hidup berada pada level usia
74,20 tahun. Angka kematian balita sebesar 18/1000 KH, angka kematian bayi sebesar 17/1000
KH, dan angka kematian ibu melahirkan sebesar 103/100.000 KH. Prevalensi gizi buruk sebesar
0.70%, Cakupan Rawat Jalan Puskesmas 16% sedangkan Cakupan Rawat Inap Rumah Sakit
sebesar 1,32%.
Dari 118 Puskesmas, 20% puskesmas telah menerapkan sistem manajemen mutu melalui
pendekatan ISO 9001:200; 7% rumah sakit telah menerapkan ISO 9001:200; 25% rumah sakit di
DIY telah terakreditasi dengan 5 standar; 17% RS terakreditasi dengan 12 standar; dan 5% RS
telah terakreditasi dengan 16 standar pelayanan. Sarana pelayanan kesehatan yang memiliki unit
pelayanan gawat darurat meningkat menjadi 40% dan RS dengan pelayanan kesehatan jiwa
meningkat menjadi 9%. Meskipun demikian cakupan rawat jalan tahun 2006 baru mencapai 10%
(nasional 15%) sementara untuk rawat inap 1,2% (nasional 1,5%). Rasio pelayanan kesehatan
dasar bagi keluarga miskin secara cuma-cuma di Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan DIY
maupun Kabupaten/Kota telah mencapai 100%. Rasio dokter umum per 100.000 penduduk
menunjukkan tren meningkat sebesar 39,64 pada tahun 2006. Adapun program jamkesos tahun
2010 dianggarkan Rp. 34.978.592.000,00.
Penyakit jantung dan stroke telah menjadi pembunuh nomor satu di DIY sementara faktor risiko
penyakit jantung penduduk DIY ternyata cukup tinggi. Rumah tangga di DIY yang tidak bebas
asap rokok sebesar 56%, sedangkan remaja yang perokok aktif sebesar 9,3%. Sebanyak 52%
penduduk DIY kurang melakukan aktivitas olahraga, dan hanya 19,8% penduduk DIY yang
mengkonsumsi serat mencukupi. Dalam tiga tahun terakhir angka obesitas pada anak-anak di
DIY meningkat hampir 7%.
Pendidikan
Penyebaran sekolah untuk jenjang SD/MI sampai Sekolah Menengah sudah merata, dan
menjangkau seluruh wilayah sampai ke pelosok desa. Jumlah SD/MI yang ada di DIY pada
tahun 2008 adalah sejumlah 2.035, SMP/MTs/SMP Terbuka sejumlah 529, dan SMA/MA/SMK
sejumlah 381 sekolah negeri maupun swasta. Ketersediaan ruang belajar dapat dikatakan sudah
memadai dengan rasio siswa per kelas untuk SD/MI: 22, SMP/MTs: 33, SMA/MA/SMK: 31.
Sedangkan tingkat ketersediaan guru di DIY juga cukup memadai dengan rasio siswa per guru
untuk SD/MI: 13, SMP/MTs: 11, SMA/MA/SMK: 9. Untuk tahun 2010 pembinaan guru jenjang
SD/MI sebanyak 3.900 guru telah memenuhi kualifikasi dari total 24.093 guru. Jenjang
SMP/MTs sebanyak 3.939 guru telah memenuhi kualifikasi dari total 12.971 guru. Dan untuk
SMA/MA sebanyak 4.826 guru telah memenuhi kualifikasi dari total 15.067 guru.
Para lulusan jenjang SD/MI pada umumnya dapat melanjutkan ke SMP/MTs, sejalan kebijakan
Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun yang dicanangkan pemerintah. Pada tahun 2010, angka
kelulusan SD/MI mencapai 96,47%, SMP/MTs mencapai 81,84% dan SMA/MA/SMK sebesar
88,98%. Sedangkan angka putus sekolah pada tahun yang sama sebesar 0,07% untuk SD/MI;
0,17% untuk SMP/MTs; dan 0,44% untuk SMA/MA/SMK[5]. Sementara itu jumlah perguruan
tinggi di DIY baik negeri, swasta maupun kedinasan seluruhnya sebanyak 136 institusi dengan
rincian 21 universitas, 5 institut, 41 sekolah tinggi, 8 politeknik dan 61 akademi yang diasuh oleh
9.736 dosen.
Kebudayaan
Gambar 2.8. Wujud cagar budaya yang msih dipergunakan sebagai tempat ibadah umat Hindu
Indonesia
DIY mempunyai beragam potensi budaya, baik budaya yang tangible (fisik) maupun yang
intangible (non fisik). Potensi budaya yang tangible antara lain kawasan cagar budaya, dan benda
cagar budaya sedangkan potensi budaya yang intangible seperti gagasan, sistem nilai atau norma,
karya seni, sistem sosial atau perilaku sosial yang ada dalam masyarakat.
DIY memiliki tidak kurang dari 515 Bangunan Cagar Budaya yang tersebar di 13 Kawasan
Cagar Budaya. Keberadaan aset-aset budaya peninggalan peradaban tinggi masa lampau
tersebut, dengan Kraton sebagai institusi warisan adiluhung yang masih terlestari keberadaannya,
merupakan embrio, dan memberi spirit bagi tumbuhnya dinamika masyarakat dalam
berkehidupan kebudayaan terutama dalam berseni budaya, dan beradat tradisi. Selain itu, DIY
juga mempunyai 30 museum, yang dua di antaranya yaitu Museum Ullen Sentalu, dan Museum
Sonobudoyo diproyeksikan menjadi museum internasional. Pada 2010, persentase benda cagar
budaya tidak bergeak dalam kategori baik sebesar 41,55%, seangkan kunjungan ke museum
mencapai 6,42%.
Keagamaan
Penduduk DIY mayoritas beragama Islam yaitu sebesar 90,96%, selebihnya beragama Kristen,
Katholik, Hindu, Budha. Sarana ibadah terus mengalami perkembangan, pada tahun 2007 terdiri
dari 6214 masjid, 3413 langgar, 1877 musholla, 218 gereja, 139 kapel, 25 kuil/pura dan 24
vihara/klenteng. Jumlah pondok pesantren pada tahun 2006 sebanyak 260, dengan 260 kyai, dan
2.694 ustaz serta 38.103 santri. Sedangkan jumlah madrasah baik negeri maupun swasta terdiri
dari 148 madrasah ibtidaiyah, 84 madrasah tsanawiyah dan 35 madrasah aliyah. Aktivitas
keagamaan juga dapat dilihat dari meningkatnya jumlah jamaah haji dari tahun ke tahun, dan
pada tahun 2007 terdapat 3.064 jamaah haji.
Suku bangsa
Persebaran Suku Bangsa di DIY dapat dilihat seperti pada tabel 2.1 di bawah ini.
Gambar 2.9. Tugu Pal Putih, salah satu landmark tertua yang menandai tata ruang DIY, Gunung
Merapi-Tugu-Keraton-Panggung Krapyak-Laut selatan
Kondisi bentang alam DIY yang beragam, dan aspek filosofi kebudayaan memengaruhi
pengembangan tata ruang/wilayah, dan pembangunan infrastruktur di DIY.
Tata ruang
Model yang digunakan dalam tata ruang wilayah DIY adalah corridor development atau disebut
dengan “pemusatan intensitas kegiatan manusia pada suatu koridor tertentu” yang berfokus pada
Kota Yogyakarta, dan jalan koridor sekitarnya. Dalam konteks ini, aspek pengendalian, dan
pengarahan pembangunan dilakukan lebih menonjol dalam koridor prioritas, terhadap kegiatan
investasi swasta, dibandingkan dengan investasi pembangunan oleh pemerintah yang dengan
sendirinya harus terkendali. Untuk mendukung aksesibilitas global wilayah DIY, maka diarahkan
pengembangan pusat-pusat pelayanan antara lain Pusat Kegiatan Nasional (PKN)/Kota
Yogyakarta, Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) Sleman, PKW Bantul, dan Pusat Kegiatan Lokal
(PKL). Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 tentang RTRW Prov DIY 2009-2029 mengatur
pengembangan tata ruang di DIY. Penataan ruang ini juga memiliki keterkaitan dengan mitigasi
bencana di DIY.
Prasarana
Prasarana jalan yang tersedia di DIY tahun 2007 meliputi Jalan Nasional (168,81 Km), Jalan
Provinsi (690,25 Km), dan Jalan Kabupaten (3.968,88 Km), dengan jumlah jembatan yang
tersedia sebanyak 114 buah dengan total panjang 4.664,13 meter untuk jembatan nasional, dan
215 buah dengan total panjang 4.991,3 meter untuk jembatan provinsi. Di wilayah perkotaan,
dengan kondisi kendaraan bermotor yang semakin meningkat (rata-rata tumbuh 13% per tahun),
sedangkan kondisi jalan terbatas, maka telah mengakibatkan terjadinya kesemrawutan, dan
kemacetan lalu lintas, dan terjadinya kecelakaan lalu lintas yang terus meningkat setiap tahun.
Transportasi
Gambar 2.11. Korban harta benda di Kawasan Rawan Bencana (KRB) Merapi
Terkait dengan potensi bencana alam, penanggulangan bencana memegang peranan yang sangat
penting, baik pada saat sebelum, saat, dan sesudah terjadinya bencana. Seiring dengan kemajuan
ilmu pengetahuan, dan teknologi, bencana dapat dilihat sebagai interaksi antara ancaman bahaya
dengan kerentanan masyarakat, dan kurangnya kapasitas untuk menangkalnya. Penanggulangan
bencana diarahkan pada bagaimana mengelola risiko bencana sehingga dampak bencana dapat
dikurangi atau dihilangkan sama sekali.
Secara geologis DIY merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang rawan terhadap bencana
alam. Potensi bencana alam yang berkaitan dengan bahaya geologi yang meliputi:
1. Bahaya alam Gunung Merapi, mengancam wilayah Kabupaten Sleman bagian utara, dan
wilayah-wilayah sekitar sungai yang berhulu di puncak Merapi;
2. Bahaya gerakan tanah/batuan, dan erosi, berpotensi terjadi pada lereng Pegunungan
Kulon Progo yang mengancam di wilayah Kulon Progo bagian utara, dan barat, serta
pada lereng Pengunungan Selatan (Baturagung) yang mengancam wilayah Kabupaten
Gunungkidul bagian utara, dan bagian timur wilayah Kabupaten Bantul.
3. Bahaya banjir, terutama berpotensi mengancam daerah pantai selatan Kabupaten Kulon
Progo, dan Kabupaten Bantul;
4. Bahaya kekeringan berpotensi terjadi di wilayah Kabupaten Gunungkidul bagian selatan,
khususnya pada kawasan bentang alam karst;
5. Bahaya tsunami, berpotensi terjadi di daerah pantai selatan Kabupaten Kulon Progo,
Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Gunungkidul, khususnya pada pantai dengan elevasi
(ketinggian) kurang dari 30m dari permukaan air laut.
6. Bahaya alam akibat angin berpotensi terjadi di wilayah pantai selatan Kabupaten Kulon
Progo, Kabupaten Bantul, dan daerah-daerah Kabupaten Sleman bagian utara, serta
wilayah perkotaan Yogyakarta;
7. Bahaya gempa bumi, berpotensi terjadi di wilayah DIY, baik gempa bumi tektonik
maupun vulkanik. Gempa bumi tektonik berpotensi terjadi karena wilayah DIY
berdekatan dengan kawasan tumbukan lempeng (subduction zone) di dasar Samudra
Indonesia yang berada di sebelah selatan DIY.
Selain itu secara geologi di wilayah DIY terdapat beberapa patahan yang diduga aktif. Wilayah
dataran rendah yang tersusun oleh sedimen lepas, terutama hasil endapan sungai, merupakan
wilayah yang rentan mengalami goncangan akibat gempa bumi.
Kerjasama
Gambar 2.12. Prefektur Kyoto, sebuah kerja sama sister province yang telah berjalan lebih dari
25 tahun
Sampai tahun 2010, Pemda DIY memiliki kerja sama dengan daerah lain yang dituangkan dalam
tiga puluh perjanjian kerja sama yang masih berlaku. Dua puluh satu buah kerja sama dengan
daerah lain di dalam negeri, dan sembilan sisanya dengan daerah lain di luar negeri, seperti
program Sister Province dengan prefektur Kyoto Jepang dan Negara Bagian California Amerika
Serikat. Perjanjian kerja sama yang baru mulai 2010 dilakukan dengan delapan daerah di dalam
negeri, dan dua kesepakatan dengan daerah lain di luar negeri.
2.2. PENGENDALIAN PENDUDUK
Pengertian Pengendalian.
Pengendalian menurut Ussy dan Hammer, (dalamn Darwin, Muhajir 2000) mengemukakan
bahwa pengendalian merupakan usaha sistematik perusahaan untuk mencapai tujuan dengan cara
membandingkan prestasi kerja dengan rencana dan membuat tindakan yang tepat untuk
mengkoreksi perbedaan yang penting. Glen A. Welsch, Hilton, dan Gordon yang telah di
terjamahkan oleh Purwatiningsih dan Maudy Warouw 2000:3 adalah adalah suatu proses untuk
menjamin terciptanya kinerja yang efisien yangmemungkinkan terciptanya tujuan Berdasarkan
dari pengertianpengertian yang dikemukakan di atas dapat kita simpulkan bahwa pengendalian
adalah usaha untuk membandingkan prestasi kerja dengan rencana dan untuk mengkoreksi
perbedaan atau penyimpangan-penyimpangan yang terjadi agar tujuan perusahaan dapat tercapai.
Teori kependudukan.
Teori kependudukan di kembangkan oleh dua faktor yang sangat dominan yaitu, pertama adalah
meningkatnya pertumbuhan penduduk di negara-negara yang sedang berkembang dan hal ini
menyebabkan agar para ahli dapat memahami faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
penduduk. Sedangkan faktor kedua adalah adanya masala-masalah universal yang menyebabkan
para ahli harus banyak mengembangkan dan menguasai kerangka teori untuk mengkaji lebih
lanjut sejauh mana telah terjalin suatu hubungan antara penduduk dengan perkembangan
ekonomi dan sosial. Penduduk dapat di bagi sebagai berikut;
1. Marxist.
Teori ini mengemukakan bahwa semakin banyak jumlah manusia semakin tinggi
produksi yang di hasilkan
2. Paul Edric
Dalam bukunya yang berjudul (the population bomb) yang menggambarkan bahwa
penduduk dan lingkaran yang ada di dunia ini sebagai berikut. Pertama, dunia ini sudah
terlalu banyak manusia; kedua, keadaan bahan makanan sudah terbatas; ketiga, karena
terlalu banyak manusia di dunia ini lingkungan lngkungan sudah banyak yang rusak dan
tercemar. Pada tahun 1990 Edric merevisi bukunya dengan judul baru (The Population
Explotion), yang isinya adalah bom penduduk yang di khawatirkan pada tahun 1968, kini
sewaktu-waktu akan dapat meletus. Kerusakan dan pencemaran lingkungan parah karena
sudah banyak penduduk yang sangat merisaukan (Ida Bagoes Mantra, 2000: 71).
3. Robert Thomas Malthus (1766-1834).
Menurut Malthus (1766-1834) yang terkenal sebagai pelopor ilmu kependudukan yang
lebih populer disebut dengan prinsip kependudukan (the prinsiple of population) yang
menyatakan bahwa apabila tidak ada pembatasan akan berkembang biak dengan cepat
dan memenuhi dengan cepat beberapa bagian dari permukaan bumi ini dan ia juga
menyatakan bahwa manusia untuk hidup memerlukan bahan makanan sedangkan laju
pertumbuhan bahan makanan jauh lebih lambat di banding dengan laju pertumbuhan
penduduk dan apabila tidak ada pembatasan terhadap pertumbuhan penduduk maka
manusia akan mengalami kekurangan bahan makanan sehingga inilah yang menjadi
sumber kemelaratan dan kemiskinan manusia. (Ida Bagoes Mantra, 2000:62).
Demografi
Untuk memahami keadaan kependudukan suatu daerah atau negara maka perlu didalami kajian
demografi. Para ahli biasanya membedakan antara ilmu kependudukan (demografi) dengan
studi-studi tentang kependudukan (population studies).
Demografi berasal dari kata Yunani demos-penduduk dan Grafien -tulisan atau dapat diartikan
tulisan tentang kependudukan adalah studi ilmiah tentang jumlah, persebaran dan komposisi
kependudukan serta bagaimana ketiga faktor tersebut berubah dari waktu ke waktu.
Menurut Munir, dalam teori kependudukan dapat dikembangkan kemudian dipengaruhi dalam
dua faktor yang sangat dominan, pertama ialah meningkatkan pertumbuhan penduduk dinegara
negara yang sedang berkembang, dan ini meyebabkan tantangan dari beberapa para ahli dalam
mempengaruhi pertumbuhan penduduk. Kedua adalah masalah yang sifatnya universal yang
meyebabkan para ahli harus lebih banyak mengembangkan dan menguasai kerangka teori untuk
lebih lanjut sampai sejauh mana hubungan anatara penduduk dengan perkembangan ekonomi
dan sosial dalam kependudukan agar dapat diterima.
Sedangkan Hauser dan Duncan (1959) mengusulkan defenisi demografi sebagai berikut:
Demography is the study of the size, territorial distribution and composition of population,
changes there in and the components of such changes which maybe identified as natality,
teritorial movement (migration), and social mobility (change of states). Yang dalam Bahasa
Indonesia adalah teritorial dan komposisi penduduk serta perubahan-perubahannya dan sebab-
sebab perubahan itu, yang biasanya timbul karena natalitas (fertilitas), mortalitas, gerakan
teritorial (migrasi) dan mobilitas sosial (perubahan status). Dari kedua defenisi di atas dapatlah
disimpulkan bahwa demografi mempelajari struktur dan proses penduduk di suatu wilayah.
Sedangkan studi-studi kependudukan mempelajari secara sistematis perkembangan, fenomena
dan masalah-masalah penduduk dalam kaitannya dengan situasi sosial di sekitarnya.
Penduduk.
Penduduk merupakan suatu kumpulan masyarakat yang melakukan interaksinya dalam suatu
daerah atau orang yang berhak tinggal daerah, dengan syarat orang tersebut harus memiliki surat
resmi untuk tinggal di wilayah tersebut, sedangkan menurut UndangUndang Nomor 52 Tahun
2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga serta Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pedoman Pencatatan Perkawinan dan Pelaporan
Akta Yang Diterbitkan Oleh Negara Lain mendefenisikan penduduk yaitu warga negara
Indonesia atau orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
Robert Thomas Malthus, (dalam Said Rusli), mengemukakan suatu pendapat yang tercantum
dalam bukunya, penduduk akan selalu bertambah lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan
bahan makanan, kecuali terhambat oleh karena apa yang ia sebutkan sebagai moral restrains,
seperti misalnya wabah penyakit atau malapetaka. Dalam pernyatan ini secara tidak langsung
menyatakan kepadatan penduduk akan sulit dibendung apabila tidak ada kerjasama antara pihak
yang terkait dalam menyelesaikan permasalahan pertumbuhan kependudkan ini.
Permasalah Kependudukan.
Ada beberapa hal yang dapat memepengaruhi laju pertumbuhan penduduk yang ada di sekitar
kita, diantaranya:
1. Tingkat kelahiran yang cukup tinggi. Dalam hal ini salah satu faktor yang dapat
mengakibatkan angka kelahiran yang sangat tinggi yaitu kurangnya kesadaran
masyarakat dalam mengatur jarak kelahiran anak, padahal pemerintah sudah
menyarankan kepada masyarakat agar mengatur jaraknya yaitu dengan memanfaatkan
alat kontrasepsi yang telah disediakan oleh pemerintah.
2. Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap program yang dikeluarkan oleh pemerintah
khususnya yang berkaitan dengan laju pertumbuhan penduduk.
3. Pada indikator ini adanya ketidak pedulian masyarakat merupakan hal yang sangat
berpengaruh, hal ini coba diatasi pemerintah dengan cara lebih seringnya melakukan
sosialisasi kepada masyarakat.
4. Melangsungkan pernikahan di usia yang boleh dikatakan masih remaja.
Menurut Guilard (1885), tujuan ilmu kependudukan / ilmu demografi digunakan oleh para ahli
terdiri dari empat pokok:
1. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1)
Undang Undang Dasar Republi Indonesia mengatakan: Setiap orang berhak membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
2. Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga. Untuk masalah kebijakan keluarga pemerintah juga diatur dalam
Undang Undang ini yaitu pada Pasal 21 dan Pasal 22. Pada Pasal 21 ayat (1)
3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2010 Tentang Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Pada peraturan Presiden ini
menjelaskan Tugas dan Fungsi utama dari BPPKBKS sesuai yang tertera pada Pasal 2
dan Pasal 3 ayat (1) dan ayat(2).
Joko Untoro & Tim Guru Indonesia mengatakan, peraturan merupakan salah satu bentuk
keputusan yang harus ditaati dan dilaksanakan. Jasi, kita harus menaati peraturan agar semua
menjadi teratur dan orang akan merasa nyaman. Peraturan adalah tindakan yang harus dilakukan
atau yang tidak boleh dilakukan.
I Wawang Setyawan menuliskan, peraturan adalah suatu hal yang sangat mutlak dan bersifat
membatasi ruang gerak atau "kemerdekaan" setiap individu.
Adapun Lydia Harlina Martono, Satya Joewana, dan Venus Khasanah memiliki pendapat bahwa
peraturan adalah cara membangun norma masyarakat sebagai pedoman agar manusia hidup tertib
dan teratur.
Pengertian peraturan daerah provinsi dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 7 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagai berikut:
Selanjutnya pengertian peraturan daerah kabupaten/kota disebutkan pula dalam pasal 1 angka 8
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
sebagai berikut :
Materi muatan peraturan daerah merupakan materi pengaturan yang terkandung dalam suatu
peraturan daerah yang disusun sesuai dengan teknik legal drafting atau teknik penyusunan
peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 14, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa materi muatan Peraturan Daerah
Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah
dan atau penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Secara umum, materi muatan peraturan daerah dikelompokkkan menjadi: ketentuan umum;
materi pokok yang diatur; ketentuan pidana (jika memang diperlukan); ketentuan peralihan (jika
memang diperlukan); dan ketentuan penutup.[5] Materi muatan peraturan daerah dapat mengatur
adanya ketentuan pidana. Namun, berdasarkan pasal 15, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ketentuan pidana yang menjadi materi
muatan peraturan daerah dibatasi, yakni hanya dapat mengatur ketentuan pidana berupa ancaman
pidana paling lama 6 bulan kurungan penjara dan denda maksimal Rp. 50.000.000,00.
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) dapat berasal dari DPRD atau kepala daerah (gubernur,
bupati, atau wali kota). Raperda yang disiapkan oleh Kepala Daerah disampaikan kepada DPRD.
Sedangkan Raperda Dprd yang muntahD dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh
Pimpinan DPRD kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk disahkan menjadi Perda, dalam
jangka waktu palinglambat 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama. Raperda tersebut disahkan
oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dengan menandatangani dalam jangka waktu 30 hari sejak
Raperda tersebut disetujui oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota. Jika dalam waktu 30
hari sejak Raperda tersebut disetujui bersama tidak ditandangani oleh Gubernur atau
Bupati/Walikota, maka Raperda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan.
Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa seharusnya norma hukum yang hendak dituangkan dalam
rancangan Peraturan Perundang-undangan, benar-benar telah disusun berdasarkan pemikiran
yang matang dan perenungan yang memang mendalam, semata-mata untuk kepentingan umum
(public interest), bukan kepentingan pribadi atau golongan. Sistem pemerintahan Indonesia
mengenal adanya jenis pembagian kewenangan baik antara kewenangan Pemerintah Pusat
maupun kewenangan Pemerintah Daerah. Dalam pembentukan produk hukum baik pusat
maupun daerah, undangundang memberikan peranan dan fungsi terhadap elemen pemerintahan
baik yang dipusat maupun daerah.
Kewenangan daerah membentuk peraturan daerah merupakan manfestasi dari otonomi daerah.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 mengakui adanya kewenangan daerah yang didasari pada
asas otonomi daerah. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Daerah diberikan wewenang untuk membentuk peraturan daerah sebagaimana diatur dan
dimaksud dalam Pasal 136 Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
a. Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD.
b. Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/ kabupaten/kota
dan tugas pembantuan.
c. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas
masing-masing daerah.
d. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
e. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku setelah diundangkan dalam lembaran
daerah.
Pasal di atas menerangkan bagaimana kewenangan DPRD dalam membentuk suatu produk
hukum daerah berupa peraturan daerah (perda). Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,
Perda mempunyai fungsi antara lain :
a. Sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan
sebagaimana diamanatkan dalam UUD NKRI Tahun 1945 dan Undang-Undang tentang
Pemerintahan Daerah.
b. Merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dalam fungsi ini, Peraturan Daerah tunduk pada ketentuan hierarki Peraturan Perundang-
undangan. Dengan demikian Perda tidak boleh bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi.
c. Sebagai penampung kekhususan dan keragaman daerah serta penyalur aspirasi
masyarakat di daerah, namun dalam pengaturannya tetap dalam koridor NKRI yang
berlandaskan Pancasila dan UUD NRI tahun 1945.
d. Sebagai instrumen akselarasi pembangunan dan peningkatan kesejahteraan daerah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 136 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah ditentukan bahwa suatu peraturan daerah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Berdasarkan data pada Kementerian
Keuangan (Kemenkeu) pada tahun 2011, dari 14 ribu Peraturan Daerah yang ada,
terdapat lebih dari 4.000 Peraturan Daerah bermasalah dan harus dicabut. Namun,
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) hanya mencabut seribu delapan ratus
Peraturan Daerah dari jumlah yang seharusnya direkomendasikan oleh Kemenkeu.
Mengingat peranan perda yang demikian penting dalam penyelenggaraan otonomi daerah
maka penyusunannya perlu diprogramkan, agar berbagai perangkat hukum yang
diperlukan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dapat dibentuk secara
sistematis, terarah dan terencana berdasarkan skala prioritas yang jelas.
Selain agar peraturan daerah dapat dibentuk secara sistematis, juga untuk menghindari
banyaknya peraturuan daerah yang dicabut dan dibatalkan karena bertentangan dengan peraturan
yang tingkatannya lebih tinggi. Program legislasi daerah (Prolegda) merupakan pedoman
pengendali penyusunan peraturan daerah yang mengikat lembaga yang berwenang yakni
pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah untuk membentuk peraturan daerah.
Untuk itu prolegda dipandang penting untuk menjaga agar produk peraturan perundang-
undangan daerah tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional. Hal ini berarti bahwa
idealnya sebelum peraturan daerah hendak dirancang sudah terlebih dahulu harus ada rencana
pembentukan peraturan daerah tersebut dalam prolegda, sehingga angka pembatalan dapat lebih
diminimalisir. Prolegda adalah instrument perencanaan program pembentukan peraturan daerah
provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota yang disusun secara terencana, terpadu dan
sistematis.Secara operasional, prolegda memuat daftar rancangan peraturan daerah yang disusun
berdasarakan metode dan parameter tertentu sebagai bagian integral dari sistem peraturan
perundang-undangan. Hal ini menunjukkan bahwa prolegda mempunyai kedudukan hukum yang
penting dalam penyusunan peraturan daerah ditingkatan provinsi dan kabupaten/kota, hanya saja
arti penting kedudukan hukum prolegda ini belum dipahami dengan baik oleh pemerintah
daerah. Hal ini sesuai dengan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang mengatur
bahwa: “Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dilakukan dalam Prolegda
Kabupaten/Kota”. Tahap perencanaan merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk
mencapai tujuan pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik. Salah satu kegiatan
perencanaan pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah penyusunan Naskah
Akademik.
Pentingnya Naskah Akademik sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum.
Pembentukan peraturan daerah yang baik diakomodir dalam Pasal 15, Pasal 17 dan Pasal 19
Permendagri No. 53 Tahun 2011, secara lengkap sebagai berikut: Pasal 15 Penyusunan produk
hukum daerah yang bersifat pengaturan berbentuk Perda atau nama lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dilakukan berdasarkan Prolegda. Paragraf 1 Persiapan
Penyusunan Perda di Lingkungan Pemerintah Daerah Pasal 17 (1) Pimpinan SKPD menyusun
Rancangan Perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 disertai naskah akademik dan/atau
penjelasan atau keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur. (2)
Rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada biro hukum provinsi
atau bagian hukum kabupaten/kota. Pasal 19 (1) Rancangan Perda yang disertai naskah
akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) telah melalui pengkajian dan
penyelarasan, yang terdiri atas: b. latar belakang dan tujuan penyusunan; c. sasaran yang akan
diwujudkan; d. pokok pikiran, ruang lingkup, atau objek yang akan diatur; dan e. jangkauan dan
arah pengaturan. (2) Naskah akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan sistematika
sebagai berikut:
1) Judul
2) Kata pengantar
3) Daftar isi
4) BAB I : Pendahuluan
5) BAB II : Kajian teoritis dan praktik empiris
6) BAB III : Evaluasi dan analis peraturan perundang-undangan terkait
7) BAB IV : Landasan filosofis, sosiologis dan yuridis
8) BAB V : Jangkauan, arah pengaturan dan ruang lingkup materi muatan perda
9) BAB VI : Penutup
Berdasarkan ketentuan di atas, naskah akademik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
penyusunan sebuah rancangan peraturan perundang-undangan. Selama ini naskah akademik
sering kurang diperhatikan, sehingga sekalipun sudah di arahkan bahwa setiap peraturan
perundang-undangan terutama UndangUndang dan Perda harus disertai naskah akademik. Dalam
praktiknya, naskah akademik sering dijadikan sebagai landasan dalam pembentukan suatu
peraturan perundang-undangan. Secara normatif, tidak ada keharusan bahwa persiapan
rancangan peraturan perundang-undangan harus disertai dengan Naskah Akademik. Misalnya,
Pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Rancangan
Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres No 68/2005) hanya
menyatakan bahwa pemrakarsa dalam menyusun RUU dapat terlebih dahulu menyusun Naskah
Akademik mengenai materi yang akan diatur dalam RUU. Kemudian, penyusunan Naskah
Akademik dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama dengan departemen yang tugas dan
tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan dan pelaksanaannya dapat
diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian untuk
itu.
Berdasarkan hal tersebut, maka semestinya naskah akademik merupakan naskah hasil penelitian
atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu
rancangan peraturan perundangundangan sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan
hukum masyarakat. Dengan adanya naskah akademik RUU atau Raperda, sebuah RUU atau
Raperda dapat terhindar dari penyusunan yang “asal jadi” atau tidak jelas konsepsinya.
Salah satu contohnya adalah Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 276 Tahun 2009
tentang pembatalan Pasal 15 ayat (2) huruf b Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Selatan
Nomor 21 tahun 2001 tentang Retribusi Izin Pemutaran Film Keliling, Film Komersial, Usaha
Rental, VCD, Video dan Rental Video Game. Pertimbangan menteri dalam negeri membatalkan
peraturan daerah tersebut yaitu bahwa Pasal 15 ayat (2) huruf b Peraturan Daerah Kabupaten
Lampung Selatan Nomor 21 Tahun 2001 tentang Retribusi Izin Pemutaran Film Keliling, Film
Komersial, Usaha Rental, Vcd, Video dan Rental Video Game bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Karena itu, perlu ada penguatan posisi naskah akademik
sebagai prasyarat dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Naskah akademik benar-
benar menjadi dasar ilmiah pembentukan rancangan peraturan perundang-undangan, sehingga
naskah RUU dapat disusun secara lebih objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya, perlu ada kesamaan dalam hal teknis penyusunan naskah akademik serta materi
muatannya, sehingga naskah akademik benar-benar dapat dibuat secara lebih utuh, sistematis,
dan objektif sebagai landasan teoritik dan praktis dalam pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian kuantitatif adalah suatu proses menemukan pengetahuan yang menggunakan data
berupa angka sebagai alat menganalisis keterangan mengenai apa yang ingin diketahui.(Kasiram
(2008: 149) dalam bukunya Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif).
Penelitian kuantitatif didasarkan pada asumsi sebagai berikut (Nana Sudjana dan Ibrahim, 2001;
Del Siegle, 2005, dan Johnson, 2005).
a. Bahwa realitas yang menjadi sasaran penelitian berdimensi tunggal, fragmental, dan
cenderung bersifat tetap sehingga dapat diprediksi.
b. Variabel dapat diidentifikasi dan diukur dengan alat-alat yang objektif dan baku.
Karakteristik penelitian kuantitatif adalah sebagai berikut (Nana Sudjana dan Ibrahim, 2001: 6-7;
Suharsimi Arikunto, 2002 : 11; Johnson, 2005; dan Kasiram 2008: 149-150):
Penelitian ini dalam pelaksanaannya berdasarkan prosedur yang telah direncanakan sebelumnya.
Adapun prosedur penelitian kuantitatif terdiri dari tahapan-tahapan kegiatan sebagai berikut.
a. Identifikasi permasalahan
b. Studi literatur.
c. Pengembangan kerangka konsep
d. Identifikasi dan definisi variabel, hipotesis, dan pertanyaan penelitian.
e. Pengembangan disain penelitian.
f. Teknik sampling.
g. Pengumpulan dan kuantifikasi data.
h. Analisis data.
i. Interpretasi dan komunikasi hasil penelitian.
Dalam melakukan penelitian, peneliti dapat menggunakan metoda dan rancangan (design)
tertentu dengan mempertimbangkan tujuan penelitian dan sifat masalah yang dihadapi.
Berdasarkan sifat-sifat permasalahannya, penelitian kuantitatif dapat dibedakan menjadi
beberapa tipe sebagai berikut (Suryabrata, 2000 : 15 dan Sudarwan Danim dan Darwis, 2003 : 69
– 78).
a. Penelitian deskriptif
b. Penelitian korelational
c. Penelitian kausal komparatif
d. Penelitian tindakan
e. Penelitian perkembangan
f. Penelitian eksperimen
Metode yang dipergunakan dalam penelitian kuantitatif, khususnya kuantitatif analitik adalah
metode deduktif. Dalam metoda ini teori ilmiah yang telah diterima kebenarannya dijadikan
acuan dalam mencari kebenaran selanjutnya.
Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik (2000:
6) menyatakan bahwa pada dasarnya metoda ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan
menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan : a) kerangka pemikiran yang bersifat logis
dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil
disusun; b) menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran tersebut;
dan c) melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud untuk menguji kebenaran
pernyataannya secara faktual.
Selanjutnya Jujun menyatakan bahwa kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logico-
hypothetico-verifikatif ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut
(Suriasumantri, 2005 : 127-128).
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek
alamiah, dimana peneliti merupakan instrumen kunci (Sugiyono, 2005). Perbedaannya dengan
penelitian kuantitatif adalah penelitian ini berangkat dari data, memanfaatkan teori yang ada
sebagai bahan penjelas dan berakhir dengan sebuah teori.
Moleong setelah melakukan analisis terhadap beberapa definisi penelitian kualitatif kemudian
membuat definisi sendiri sebagai sintesis dari pokok-pokok pengertian penelitian kualitatif.
Menurut Moleong (2005:6), penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan, dll secara holistic, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-
kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode alamiah.
Pada kesempatan ini saya akan jelaskan secara mendalam tentang teori penelitian kualitatif,
tujuan, jenis dan cara penelitiannya. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk
meneliti pada kondisi objek alamiah, dimana peneliti merupakan instrumen kunci (Sugiyono,
2005). Perbedaannya dengan penelitian kuantitatif adalah penelitian ini berangkat dari data,
memanfaatkan teori yang ada sebagai bahan penjelas dan berakhir dengan sebuah teori.
Moleong setelah melakukan analisis terhadap beberapa definisi penelitian kualitatif kemudian
membuat definisi sendiri sebagai sintesis dari pokok-pokok pengertian penelitian kualitatif.
Menurut Moleong (2005:6), penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan, dll secara holistic, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-
kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode alamiah.
Menurut Saryono (2010), Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang digunakan untuk
menyelidiki, menemukan, menggambarkan, dan menjelaskan kualitas atau keistimewaan dari
pengaruh social yang tidak dapat dijelaskan, diukur atau digambarkan melalui pendekatan
kuantitatif.
Menurut Sugiyono (2011), metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang
berlandaskan pada filsafat post positivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang
alamiah, (sebagai lawannya eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci,
pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snowball, teknik pengumpulan
dengan tri-anggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif atau kualitatif, dan hasil
penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.
Agar para pembaca memahami maknasesungguhnya dari bahasan kali ini, maka akan kita bahas
sedikit tentang perbedaan penelitian kualitatif dengan kuantitatif. Perbedaan yang paling
mendasar antara penelitian kualitatif dan kuantitatif adalah alur teori serta data. Di dalam
penelitian kuantitatif, penelitian bermula dari teori yang dibuktikan dengan data lapangan.
Sebailknya, di dalam penelitian kualitatif, penelitian berangkat dari data lapangan dan
menggunakan teori yang sudah ada sebagai pendukung, kemudian hasilnya akan memunculkan
teori dari data-data tersebut.
Menurut Williams (1988), ada 5 pandangan dasar perbedaan antara pendekatan kuantitatif dan
kualitatif. Kelima pendangan dasar perbedaan tersebut antara lain:
Pada penelitian kualitatif, semakin mendalam, teliti, dan tergali suatu data yang didapatkan,
maka bisa diartikan pula bahwa semakin baik kualitas penelitian tersebut. Maka dari segi
besarnya responden atau objek penelitian, metode penelitian kualitatif memiliki objek yang lebih
sedikit dibandingkan dengan penelitian kuantitatif, sebab lebih mengedepankan kedalaman data,
bukan kuantitas data.
Anggapan yang mendasari penelitian jenis kualitatif adalah bahwa kenyataan sebagai suatu yang
berdimensi jamak, kesatuan, dan berubah-ubah (Nana Sudjana dan Ibrahim, 2001: 7). Oleh
karena itu tidak mungkin dapat disusun rancangan penelitian yang terinci dan fixed sebelumnya.
Rancangan penelitian berkembang selama proses penelitian berlangsung.
Penelitian jenis kualitatif disebut juga penelitian naturalistik, metode fenomenologis, metode
impresionistik, dan metode post positivistic. Adapun karakteristik penelitian jenis ini adalah
sebagai berikut (Sujana dan Ibrahim, 2001: 6-7; Suharsimi Arikunto, 2002: 11-12; Moleong,
2005: 8-11; Johnson, 2005, dan Kasiram, 2008: 154-155).
Prosedur pelaksanaan penelitian kualitatif bersifat fleksibel sesuai dengan kebutuhan, serta
situasi dan kondisi di lapangan. Secara garis besar tahapan penelitian jenis kualitatif adalah
sebagai berikut (Sudarwan Danim dan Darwis, 2003 : 80)
Penelitian dengan pendekatan kualitatif dapat dibedakan menjadi lima tipe utama, yaitu:
phenomenology, ethnography, case study research, grounded theory, dan historical research
(Johnson, 2005 : 8). Berikut penjelasan dari kelima jenis penelitian kualitatif tersebut:
Fenomenologi
Etnografi
Ethnography: is the form of qualitative research that focuses on describing the culture of a
group of people.
Metode penelitian etnografi adalah penelitian yang memiliki tujuan untuk mengkaji bentuk dan
fungsi bahasa yang tersedia dalam budaya yang selanjutnya digunakan untuk berkomunikasi oleh
individu didalamnya. Serta melihat bagaimana bentuk dan fungsi bahasa tersebut menjadi bagian
dari kehidupan sebuah masyarakat.
Metode etnografi menginterpretasikan kelompok sosial, sistem yang berlaku dan peran yang
dijalankan, serta interaksi sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat. Metode etnografi biasanya
digunakan untuk berfokus pada kegiatan atau ritual tertentu didalam masyarakat, bahasa,
kepercayaan, cara-cara hidup dan lain sebagainya.
Studi Kasus
Case study research: is a form of qualitative research that focused on providing a detailed
account of one or more cases.
Metode penelitian studi kasus meneliti suatu kasus atau fenomena tertentu yang ada didalam
masyarakat yang dilakukan secara mendalam untuk mempelajari latar belakang, keadaan, dan
interaksi yang terjadi.
Studi kasus dilakukan pada suatu kesatuan sistem yang bisa berupa suatu program, kegiatan,
peristiwa, atau sekelompok individu yang ada pada keadaan atau kondisi-kondisi tertentu.
Penelitian Kualitatif Metode Teori Dasar adalah penelitian yang dilakukan untuk menemukan
suatu teori atau untuk menguatkan teori yang sudah ada dengan mengkaji prinsip dan kaidah
dasar yang ada. Selanjutnya dibuat kesimpulan dasar yang membentuk prinsip dasar dari suatu
teori.
Dalam melakukan metode teori dasar ini, peneliti perlu memilah mana fenomena yang dapat
dikatakan fenomena inti dan mana yang bukan untuk dapat diambil dan dibentuk suatu teori.
Pengumpulan data metode teori dasar ini dilakukan dengan observasi, studi lapangan,
pembandingan antara kategori, fenomena, dan situasi berdasarkan berbagai penilaian, seperti
kajian induktif, deduktif, dan verifikasi hingga datanya bersifat jenuh.
Metode Historis
Penelitian metode historis adalah penelitian yang memiliki fokus penelitian berupa peristiwa-
peristiwa yang sudah berlalu dan melakukan rekonstruksi masa lalu dengan sumber data atau
saksi sejarah yang masih ada hingga saat ini.
Sumber data tersebut bisa diperoleh dari berbagai catatan sejarah, artefak, laporan verbal,
maupun saksi hidup yang dapat dipertanggungjawabkan kebenaran kesaksiannya.
Karena mengkaji peristiwa-peristiwa yang telah berlalu, maka ciri khas dari penelitian metode
historis ialah waktu. Dimana fenomena dilihat perkembangan atau perubahannya berdasarkan
pergeseran waktu.
Ada lima tahap bagi para peneliti jika ingin melakukan penelitian jenis kualitatif, yaitu:
1. Mengangkat permasalahan.
2. Memunculkan pertanyaan penelitian.
3. Mengumpulkan data yang relevan.
4. Melakukan analisis data.
5. Menjawab pertayaan penelitian.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode wawancara dan/ atau kuisioner sedangkan
pengumpulan data sekunder diperoleh dari instansi terkait serta dari penelitian terdahulu.
Data primer adalah data yang diperoleh peneliti secara langsung (dari tangan pertama),
sementara data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari sumber yang sudah ada. Contoh
data primer adalah data yang diperoleh dari responden melalui kuesioner, kelompok fokus, dan
panel, atau juga data hasil wawancara peneliti dengan nara sumber. Contoh data sekunder
misalnya catatan atau dokumentasi perusahaan berupa absensi, gaji, laporan keuangan publikasi
perusahaan, laporan pemerintah, data yang diperoleh dari majalah, dan lain sebagainya
Metode pengumpulan data primer dilakukan dengan cara survei lapangan dengan observasi dan
wawancara, sedangkan pengumpulan data sekunder diperoleh dari instansi terkait serta dari
penelitian terdahulu.
JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN TERKAIT
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH
BAB VI PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN: RANCANGAN PERATURAN DAERAH
B. Identifikasi Masalah
Rumusan masalah dengan memperhatikan permasalahan yang ada di
Pendahuluan KAK pada Nomor 2 “maksud dan Tujuan, dan dikembangkan sesuai
dengan temuan masalah pada saat melakukan kajian/penelitian.
Selanjutnya permasalahan ini kemudian diidentifikasi ke dalam 4 (empat) pokok
masalah, yaitu sebagai berikut:
1) Permasalahan apa yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat serta bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi.
2) Mengapa perlu Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar pemecahan masalah
tersebut, yang berarti membenarkan pelibatan negara dalam penyelesaian
masalah tersebut.
3) Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah.
4) Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan
arah pengaturan.
C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik Sesuai dengan
ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penyusunan
Naskah Akademik dirumuskan sebagai berikut:
1) Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat serta cara-cara mengatasi permasalahan tersebut.
2) Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan pembentukan
Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi
permasalahan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
3) Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah.
4) Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Peraturan Daerah.
Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai acuan
atau referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah.
D. Metode
Penyusunan Naskah Akademik pada dasarnya merupakan suatu kegiatan
penelitian sehingga digunakan metode penyusunan Naskah Akademik yang
berbasiskan metode penelitian hukum atau penelitian lain. Penelitian hukum dapat
dilakukan melalui metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris. Metode
yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian sosiolegal. Metode yuridis
normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder
yang berupa Peraturan Perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian,
kontrak, atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian,
dan referensi lainnya. Metode yuridis normatif dapat dilengkapi dengan
wawancara, diskusi (focus group discussion), dan rapat dengar pendapat. Metode
yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian yang diawali dengan penelitian
normatif atau penelaahan terhadap Peraturan Perundang-undangan (normatif)
yang dilanjutkan dengan observasi yang mendalam serta penyebarluasan
kuesioner untuk mendapatkan data faktor nonhukum yang terkait dan yang
berpengaruhterhadap Peraturan Perundang-undangan yang diteliti.
6. BAB VI PENUTUP
Bab penutup terdiri atas subbab simpulan dan saran.
A. Simpulan
Simpulan memuat rangkuman pokok pikiran yang berkaitan dengan praktik
Penyelenggaraan, pokok elaborasi teori, dan asas yang telah diuraikan dalam bab
sebelumnya.
B. Saran
Saran memuat antara lain:
1. Perlunya pemilahan substansi Naskah Akademik dalam suatu Peraturan
Perundang-undangan atau Peraturan Perundang-undangan di bawahnya.
2. Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah atau Produk Hukum Daerah lain
yang diperlukan.
3. Kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung penyempurnaan penyusunan
Naskah Akademik lebih lanjut.
7. DAFTAR PUSTAKA
Daftar pustaka memuat buku, Peraturan Perundang-undangan, dan jurnal yang
menjadi sumber bahan penyusunan Naskah Akademik.
3.5. KELUARAN
Adapun Keluaran dalam kegiatan ini adalah :