Anda di halaman 1dari 13

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/330212969

Desain Pasar Karbon Domestik untuk Penyediaan Insentif Penurunan Emisi di


Tingkat Sub-Nasional 1

Preprint · January 2019

CITATIONS READS

0 1,103

1 author:

Deden Djaenudin
Forestry and Environmental Reserach and Development (FOERDIA)
56 PUBLICATIONS   113 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

ACIAR Project View project

RPPI EKONOMI/DAYA SAING PRODUK HUTAN & TATAKELOLA LINGKUBGAN View project

All content following this page was uploaded by Deden Djaenudin on 08 January 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Desain Pasar Karbon Domestik untuk Penyediaan Insentif
Penurunan Emisi di Tingkat Sub-Nasional1

Oleh
Deden Djaenudin2
A. Pendahuluan
Upaya pemenuhan target pemenuhan komitmen pemerintah Indonesia
untuk menurunkan emisi 26% (kemampuan sendiri) dan 41% (dengan bantuan
internasional) pada tahun 2020 yang kemudian ditingkatkan menjadi 29% (kemam-
puan sendiri) dan 41% (bantuan internasional) pada tahun 2030. Target ini meru-
pakanbukti komitmen pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah
kaca setelah melakukan ratifikasi Kesepakatan Paris pada tahun 2016.
Pasar karbon dipercaya mampu menyediakan insentif untuk menurunkan
emisi yang paling efisien dan efektif (Busch et al., 2009). Negara-negara yang ter-
libat dalam pasar karbon termotivasi untuk meningkatkan penurunan emisinya.
Pembentukan pasar karbon untuk REDD+ dapat mencapai beberapa tujuan
sekaligus, yaitu menciptakan insentif yang kuat untuk melindungi hutan tropis,
mengendalikan dinamika hutan, mendorong pengurangan emisi, dan membantu
tujuan global untuk mencegah pemanasan global lebih dari 2 derajat Celcius. Tid-
aklah berlebihan jika pasar karbon diharapkan mampu berkontribusi terhadap per-
tumbuhan dan pembangunan ekonomi negara-negara berkembang.
Berbagai inisiatif pasar karbon wajib telah berkembang seperti Mekanisme
Pembangunan Bersih dan Sistim Perdagangan Emisi Uni Eropa. Akan tetapi ini-
siatif pasar karbon ini tidak dapat berjalan secara efektif untuk kegiatan mitigasi
perubahan iklim berbasis lahan seperti kegiatan aforestasi dan reforestasi. Dalam
rangka mempersiapkan pasar karbon berbasis lahan, kemudian berkembang
berbagai inisiatif pendanaan internasional mitigasi perubahan iklim berbasis la-
han. Meskipun demikian pendanaan internasional tersebut belum cukup mem-
berikan kompensasi sebagai penyeimbang tekanan ekonomi yang mendorong ter-
jadinya konversi hutan di banyak negara (Keohane, 2008). Selain itu berkembang
juga pasar karbon sukarela, tetapi volume transaksi yang masih sangat kecil.
Potensi kredit karbon melalui REDD+ telah menunjukkan kecenderungan
yang meningkat di Indonesia. Dimulai dengan komitmen Indonesia dengan Norwe-
gia dalam bentuk Letter of Intent untuk memberikan bantuan sebesar USD 1 milyar
untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di Indonesia. Di samping itu tawaran ker-
jasama dari beberapa negara maju ke berbagai sektor pembangungan baik melalui
pemerintah pusat maupun langsung ke pemerintah daerah bahkan dari pihak-pihak
swasta maupun donor internasional semakin banyak. Kementerian Energi,

1
Disampaikan pada seminar “Penurunan Emisi Berbasis Lahan: Belajar dari Penelitian
REDD+ untuk Implementasi NDC di Sektor Kehutanan. Jakarta, 11 April 2018
2
Peneliti pada Puslitbang Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim, BLI-KLHK
1
Perdagangan,dan Industri (METI) Jepang dan Kementerian Lingkungan Jepang ak-
tif mempromosikan inisiatif Jepang untuk melakukan penurunan emisi melalui Bi-
lateral Offset Mechanism yang kemudian berubah menjadi Joint Crediting Mecha-
nism (JCM) dalam berbagai kegiatan studi kelayakan yang tersebar di wilayah In-
donesia. Selain itu Worldbank melalui skema Carbon Fund juga memfasilitasi per-
siapan pembayaran pasar karbon berbasis kinerja di Indonesia. Di samping itu
berbagai inisitaif kerjasama lain dengan Jerman, Korea, Australia dan berbagai
NGO internasional juga banyak dibangun melalui Demontration Activities (DA)
sebagai persiapan implementasi REDD+.
Hal lain yang dapat meningkatkan kepastian usaha karbon adalah adanya
dukungan kebijakan pemerintah. Pada fase persiapan implementasi REDD+,
pemerintah telah mengeluarkan berbagai regulasi, seperti Permenhut No. 30 Tahun
2009 tentang Tata Cara REDD, Permenhut 36 Tahun 2009 tentang Tata Cara Per-
izinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan Dan/Atau Penyimpanan Karbon Pada Hutan
Produksi Dan Hutan Lindung, dan Surat Keputusan Menhut No. 533 Tahun 2014
tentang tingkat emisi hutan acuan sebesar 0.816 giga tCO 2.
Dalam kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi, Peraturan Pemerin-
tah No. 12 Tahun 2014 tentang PNBP yang berlaku di Kementerian Kehutanan,
mengatur potensi penerimaan negara dari pasar karbon bahwa setiap ton karbon
hutan yang diperdagangkan akan menyumbang 10% terhadap PNBP. Untuk itu,
Kementerian Kehutanan memasukkan karbon sebagai komoditi hasil hutan yang
dapat diperdagangkan dalam bentuk SPEKHI (Sertifikat Penurunan Emisi Karbon
Hutan Indonesia) seperti telah diatur dalam Permenhut No. 50 Tahun 2014. Pem-
bayaran SPEKHI ini akan membantu dalam upaya pengurangan emisi khususnya
dari sektor kehutanan.
Pasar karbon sektor kehutanan belum berkembang seperti halnya untuk
sektor-sektor lain seperti energi, sampah, industri dan transportasi. Dimana pasar
karbon yang untuk sektor-sektor tersebut telah berkembang di dunia dan bersifat
wajib, seperti skema cap and trade (EU-ETS, China ETS, dan RGGI). Sementara
itu untuk pasar karbon sektor kehuutanan yang sudah berjalan adalah yang di
Selandia Baru dengan nama NZ ETS. NZ ETS menyediakan mekanisme insentif
untuk menanam pohon dan mempromosikan kegiatan sekuestrasi.
Pembiayaan REDD dapat berasal dari berbagai mekanisme. Mekanisme
pendanaan yang terjadi sekarang merupakan jembatan transisi dari pendanaan pasar
sukarela ke pasar karbon yang mandatory yang kemudian akan merupakan sumber
pembiayaan yang utama (Boucher, 2009). Dari hasil simulasi, diperkirakan bahwa
penyaluran dana sebesar $5 billion setahun, REDD dapat melindungi hamper 20%
hutan tropis dari bahaya deforestasi, jika tersedia anggaran sebesar $20 billion se-
tahun akan melindungi sekitar 50% dan jika sebesar $50 billion setahun, akan
menurunkan tingkat deforestasi sebesar 2/3 atau 67,7% (Boucher, 2009).
Pembiayaan melalui mekanisme pasar sangat tergantung pada permintaan
pasar. Dalam perkembangannya permintaan terhadap kredit karbon di Indonesia
tersebut adalah tinggi yang diindikasikan dengan banyaknya inisiatif internasional
untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Permintaan kredit karbon dapat ber-
sumber dari pasar maupun non-pasar. Permintaan berbasis pasar dapat berbentuk

2
pasar wajib atau pasar sukarela. Contoh dan ciri-ciri dari kedua pasar tersebut
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Tipe pasar dan karakteristik kredit karbon
Pasar Contoh Karakteristik
Wajib EU Emission Terdapat beragam jenis pasar karbon
Trading Scheme wajib
Kyoto Protocol Market Kredit Kyoto (CDM and JI) dapat di-
New Zealand Emission jual ke pasar Kyoto dan EU
Trading Scheme Likuiditas yang tinggi
Variasi harga yang terjadi relatif kecil
antar proyek.
Sukarela GS VERs Kredit karbon yang dihasilkan berbasis
VCUs pada standar karbon sukarela
VERs for Chicago Climate Tidak cocok untuk pasar wajib
Exchange Harga bervariasi sesuai dengan kuali-
tasnya dan sumber proyek.
Sumber: Butarbutar, 2012
Dalam perkembangannya permintaan terhadap kredit karbon lebih
didominasi oleh kredit karbon yang berasal dari luar sektor yang tidak berbasis la-
han. Kredit karbon yang ada di pasar secara global didominasi oleh sektor energi
(Butarbutar, 2011). Dalam perkembangannya nilai transaksi di pasar karbon
menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat sampai dengan tahun 2011,
akan tetapi menurun kembali pada tahun 2012. Kondisi ini juga mendorong ter-
jadinya kelebihan pasokan kredit karbon di pasar karbon Eropa .
Berdasarkan Protokol Kyoto, permintaan terhadap karbon Kyoto cenderung
menurun. Pada tahun 2011 diduga permintaan karbon terhadap karbon di bawah
mekanisme Kyoto berjumlah 136 juta ton CO2-eq oleh pemerintah Eropa. Nilai ini
41% lebih rendah dibandingkan tahun 2010 (WorlBank, 2011). Untuk alasan terse-
but juga Indonesia telah mempersiapkan kemungkinan pengembangan pasar karbon
domestik melalui pengembangan Skema Karbon Nusantara (Hindarto, 2013).
Implementasi mekanisme pasar untuk REDD+ mengharuskan adanya upaya
untuk menjaga kualitas dan kuantitas kredit karbon yang dihasilkan (result-based
market). Dengan menetapkan pembiayaan REDD+ melalui mekanisme pasar,
maka kinerja REDD+ tersebut akan sangat tergantung pada tingkat harga kredit
karbon yang berlaku. Volume kredit karbon yang dihasilkan sangat tergantung pada
baseline yang digunakan dan harga karbon. Semakin tinggi harga kredit karbon
yang berlaku dipasar akan meningkatkan volume kredit karbon. Penerapan skenario
baseline juga menentukan volume kredit karbon yang dihasilkan. Secara nasional
penerapan baseline dengan predited BAU akan memberikan nilai kredit karbon
yang tertinggi sementara dengan pendekatan BAU historis memberikan kredit kar-
bon yang terkecil (Djaenudin, et al., 2013).
Apabila harga karbon kredit tersebut meningkat maka kinerja penurunan
emisi gas rumah kaca melalui REDD+ akan semakin tinggi. Dalam perkem-
bangannya tren permintaan karbon kredit cenderung menurun, dikarenakan kondisi
pasar karbon dalam keadaan over supply. Terdapat kekuatiran bahwa jika REDD+

3
berjalan maka akan meningkatkan pasokan karbon kredit di pasar sehingga akan
mendorong harga kredit karbon yang semakin rendah.

4
B. Peraturan terkait perdagangan karbon
Negosiasi internasional terkait dengan isu perubahan iklim dimulai dengan
upaya yang dilakukan United Nations Environment Programme (UNEP) pada ta-
hun 1981 untuk pengembangan langkah-langkah internasional untuk melindungi
atmosfir. Upaya tersebut membuahkan hasil dengan tersusunnya Konvensi Wina
tentang Perlindungan Lapisan Ozon yang disahkan pada bulan Maret 1985, dan
kemudian ditindaklanjuti dengan pengesahan Protokol Montreal pada bulan Sep-
tember 1987. Konvensi Wina merupakan landasan hukum pelaksanaan perlin-
dungan lapisan ozon ditingkat internasional yang mensyaratkan seluruh negara
pihak untuk bekerjasama melaksanakan pengamatan, penelitian dan pertukaran in-
formasi guna memperoleh pemahaman yang lebih baik dan mengkaji dampak
kegiatan manusia terhadap lapisan ozon serta dampak penipisan lapisan ozon ter-
hadap kesehatan manusia dan lingkungan.
Protokol Montreal memuat aturan pengawasan produksi, konsumsi dan
perdagangan bahan-bahan perusak lapisan ozon. Pemerintah Indonesia telah merat-
ifikasi Konvensi Wina, Protokol Montreal dan Amandemen London melalui
penetapan Keppres no. 23 tahun 1992. Pelaksanaan program perlindungan lapisan
ozon di Indonesia difasilitasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup sebagai instansi
yang bertanggung jawab terhadap upaya pelestarian lingkungan.
Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan internasional mengenai pema-
nasan global. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk
mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya,
atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau
menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global.
Dari berbagai kesepakatan internasional tersebut, Indonesia
menindaklanjuti dengan penyusunan regulasi terkait dengan penanganan perubahan
iklim. Sebenarnya aturan-aturan khusus di bidang kehutanan terkait REDD telah
jelas, hanya saja perlu dituangkan dalam petunjuk teknis dan pelaksanaan yang
akan menjadi acuan bagi daerah untuk membuat Peraturan Daerah (Perda) provinsi
maupun kabupaten yang lebih seragam, sehingga didalam menjalin kerjasama
dengan lembaga-lembaga terkait perdagangan karbon menjadi lebih jelas, misalnya
ketetapan harga jual karbon dan lain-lain.
Kerangka regulasi yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam perdagangan
karbon hutan dari kegiatan REDD+ disajikan pada Tabel berikut:
Tabel 2. Daftar regulasi terkait perdagangan karbon
Peraturan Tentang Keterangan
Pemerintah
1 No. 12 / 2014 PNBP di sektor Ditetapkan bahwa apabila terjadi
kehutanan transaksi karbon, maka PNBPnya
adalah sebesar 10% dari total transaksi
2 No. 46 /2017 Instrumen Ekonomi Pemberlkan perdagangan emisi/limbah
Lingkugan Hidup
Menteri LHK
3 No 70 / 2017 Tatacara pelaksanaan Mekanisme pembayaran berbasis
REDD+ kinerja

5
Peraturan Tentang Keterangan
Pemerintah
4 No. 71/2017 Sistem Registri Na-
sional
5 No. 72 / 2017 MRV
6 No. 73 / 2017 Inventarisasi GRK

C. Peran perdagangan karbon dalam pembangunan kehutanan


Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki areal hutan hujan tro-
pis terluas di dunia. Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat 7 ETM+ ta-
hun 2011, total daratan Indonesia yang ditafsir adalah sebesar ± 187.840,9 Juta ha,
dengan hasil sebagai berikut dengan areal yang masih berhutan sekitar 98.072,7 juta
ha atau 52,2% (Kemenhut, 2014). Hutan hujan tropis sebagai paru-paru dunia men-
jadi komoditas yang vital dalam menyerap emisi gas rumah kaca untuk meminimal-
isir kerusakan atmosfer.
Deforestasi merupakan perubahan kondisi penutupan lahan dari hutan men-
jadi bukan hutan (termasuk perubahan untuk perkebunan, pemukiman, kawasan in-
dustri, dan lain-lain). Laju deforestasi di dalam dan di luar kawasan hutan setiap
tahun di Indonesia adalah sebesar 613.480,0 ha/tahun dimana 352.532,2 hektar
terjadi di dalam kawasan hutan dan sisanya terjadi di luar kawasan hutan (APL).
Laju deforestasi ini lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Penurunan laju deforestasi ini mengindikasikan terjadinya pengurangan emisi.
Dengan potensi hutan yang sedemikian besar, Indonesia memiliki potensi
yang vital dalam perdagangan karbon. Dalam mekanisme perdagangan karbon, In-
donesia sebagai negara berkembang memiliki peluang untuk meningkatkan inves-
tasi baik asing maupun domestik, terutama dari negara Annex I dalam mendukung
proyek berbasis lingkungan domestik. Beberapa keuntungan tersebut antara lain:
1) Sumber dana pembangunan: Indonesia sebagai negara non-Annex I mem-
iliki potensi menjadi negara tujuan utama investasi proyek berbasis
penurunan emisi dari negara Annex I dan investor swasta. Dengan
demikian, dana investasi ramah lingkungan akan meningkat mengalir untuk
mendukung proyek berbasis lingkungan di dalam negeri.
2) Fasilitas alih teknologi: Dalam Protokol Kyoto tercantum adanya klausul
kewajiban bagi negara-negara Annex I untuk menyediakan dana alih
teknologi kepada negara-negara non-Annex I. Dalam perkembangannya
terdapat kerjasama bilateral antara Indonesia dan Jepang dalam bentuk
business to business. Dimana dalam kerjasama tersebut terjadi introduksi
teknologi ramah lingkungan yang rendah emisi dari industri Jepang ke
industri di Indonesia.
3) Fasilitas peningkatan kemampuan (capacity building): Seperti halnya fasil-
itas alih teknologi, dimana negara-negara Annex I memiliki kewajiban me-
nyediakan dana untuk mendukung pengembangan kemampuan di negara-
negara non-Annex I dalam kaitannya dengan perubahan iklim, termasuk ke-
mampuan penelitian, pengukuran, pelaporan, pemantauan, verifikasi dan
adaptasi.

6
4) Rehabilitasi kawasan hutan: Di bidang kehutanan, dana investasi CDM
dapat diarahkan untuk mendukung program penghijauan kawasan hutan,
seperti rehabilitasi hutan mangrove dan hutan gambut, Agroforestry, pen-
erapan Reduced Impact Logging (RIL), peningkatan permudaan alam.
5) Kompensasi untuk capaian penyerapan karbon dan/atau pengurangan emisi:
seperti halnya A//R CDM, dalam Protokol Kyoto juga disebutkan adanya
klausul bahwa negara-negara Annex I memberikan kompensasi kepada
negara pemilik hutan tropis untuk mencadangkan wilayah hutannya untuk
penyerapan karbon (carbon sequestration).
D. Perkembangan kesiapan perdagangan karbon REDD+
Perhatian global mengenai deforestasi yang terus berkembang. Perhatian te-
lah ditujukan dalam pengawasan hutan, untuk melindungi hutan dan memantau
emisi dari deforestasi. Berbagai infrastruktur implementasi REDD+ telah
dipersiapkan dalam fase readiness REDD+. Sementara untuk infrastruktur yang
terkait dengan pembiayaan implementasi REDD+ masih belum terbentuk.
Meskipun berbagai inisiatif mekanisme pembiayaan telah dimulai.
Mekanisme pembiayaan implementasi REDD+ mendapatkan perhatian
yang semakin meningkat. Hal ini terkait dengan kepastian transaksi karbon.
Semakin pasti mekanisme transaksi tersebut akan meningkatkan peluang pasar
karbon karena terkait dengan kepercayaan investor dan pembeli, dan dapat menye-
diakan kredit karbon yang dapat diperdagangkan secara bebas. Dari berbagai
diksusi yang dilakukan muncul kekuatiran akan keberhasilan perdagangan karbon
pada saat sekarang ini. Kekuatiran ini muncul sebagai akibat dari belum adanya
prosedur atau mekanisme yang jelas, protokol dan metodologi sedang dalam proses
penyempurnaan.
Pendanaan yang tersedia tersebut banyak yang dilaksanakan dalam bentuk
pilot percontohan yang tersebar di seluruh Indonesia. Beberapa pilot percontohan
tersebut sudah ada yang melakukan transaksi kredit karbon dengan embeli
internasional. Mekanisme yang digunakan adalah mekanisme pasar sukarela.
Mekanisme sukarela tersebut menggunakan dua jenis standar kredit karbon, yaitu
VCS dan PlanVivo.
Perkembangan pasar karbon sukarela yang menggunakan standar Plan Vivo
di dunia, yang sudah masuk di Plan Vivo pieline berjumalh 29 proyek dengan
rincian 28 proyek masih dalam tahap idea note (Project Idea Note, PIN) dan 1
proyek sudah Dokumen Rancangan Proyek atau Project Design Document. Dari 29
proyek tersebut 6 diantaranya berada di Indonesia, dengan rincian 3 proyek
didampingi oleh FFI, 1 proyek didaapingi oleh Warsi, 1 proyek didampingi oleh
SSS Pundi dan 1 proyek didampingi oleh SCF. Keenam proyek tersebut adalah
berlokasi di Hutan Desa Laman Satong (Kalimanta Barat), Hutan Desa Durian
Rambun (Jambi), Masyarakat Bujang Raba (Jambi), Lombok (NTB), Bulukumba
(Sulawesi Selatan), dan Dataran Tinggi Jangkat (Jambi).
Sementara itu untuk proyek karbon yang menggunakan standar VCS
tersebar di beberapa negara. Negara yang paling banyak mengajukan standar VCS
adalah Kolumbia (9 proyek), kemudian Brazil dan Peru (masing-masing 4 proyek).
Sementara di Indonesia terdapat 3 proyek. Meskipun demikian jumlah potensi

7
penurunan emisi yang dihasilkan oleh Indonesia adalah yang tertinggi, yaitu sebesar
8,56 juta tCO2, sementara pengurangan emisi dari proyek di Kolumbia sebesar 3
juta tCO2 (Gambar 4) .
10 Jumlah Proyek Penurunan Emisi Tahunan 9,000,000
9 8,000,000

Dugaan Pengurangan Emisi


8 7,000,000

Tahunan (tCO2)
7
6,000,000
Junlah Proyek

6
5,000,000
5
4,000,000
4
3,000,000
3
2 2,000,000

1 1,000,000
- -

Sumber: v-c-s.org (diolah)


Gambar 1. Jumlah proyek dan penurunan emisi tahunan dengan standar VCS
E. Tantangan pasar karbon
Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa Indonesia telah
mempersiapkan infrastruktur implementasi REDD+ termasuk pasar karbon di
dalamnya. Pasar karbon sebagai tempat bertemunya kepentingan penjual dan
pembeli kredit karbon sangat, keberhasilannya tergantung pada kemudahan dan
kepastian untuk melakukan transaksi kredit karbon tersebut. Dari berbagai liteatur
maupun diskusi yang berkembang, beberapa tantangan yang dihadapi dalam pasar
karbon, yaitu sebagai berikut:
a) Ketidakstabilan harga kredit karbon yang berlaku
b) Pengurangan permintaan untuk kredit karbon karena perubahan kebijakan
iklim di negara-negara maju.
c) Ketidakpastian rezim kebijakan iklim termasuk CDM, dan ketidakpastian pasar
karbon oleh karenanya.
d) Ketidakmampuan untuk memberikan kontribusi terhadap pembangunan berke-
lanjutan karena jatuhnya harga kredit karbon dan penurunan keuntungan.
Disamping itu secara kelembagaan perdagangan karbon, berkaca dari
pengalaman CDM di Indonesia, kebijakan dan aturan CDM dalam negeri
merupakan faktor kendala yang berkaitan dengan sisi aturan CDM dan proses
operasional dalam negeri.
a) Kurangnya aturan yang jelas untuk persetujuan lembaga yang berwenang
(Designated National Authorityi, DNA).
b) Personil dan fasilitas DNA tidak mencukupi.
c) Belum tersedianya database yang mendukung pembuatan Dokumen
Rancangan Proyek (Project Design Document,PDD) tidak mencukupi.
d) Belum ditetapkan aturan dan operasional yang berkaitan dengan kontribusi ter-
hadap pembangunan berkelanjutan oleh DNA.

8
e) Terdapat kebijakan dalam negari yang tidak terkait dengan CDM, seperti tidak
adanya daya tarik dari pemerintah (political will) yang meningkatkan risiko
baik country risk atau iklim investasi.
f) Hukum dan peraturan yang ada tidak ditegakkan dengan benar.
g) Kurangnya koordinasi dan kerjasama kebijakan pemerintah di berbagai level
Tantangan lain yang dihadapi dalam perdagangan karbon adalah tingginya
pembiayaan untuk menghasilkan kredit karbon. Sementara harga karbon yang
berlaku di pasar tidak pasti. Oleh karena itu keuangan/pembiayaan merupakan
faktor kendala yang berkaitan dengan pembiayaan:
a) Lembaga keuangan dalam negeri kurang memahami tentang CDM.
b) Kurangnya pinjaman internasional untuk proyek CDM.
c) Hukum dan peraturan tentang keuangan dalam negeri kurang fleksibel.
d) Insentif keuangan untuk proyek-proyek yang berkontribusi tinggi terhadap
pembangunan berkelanjutan tidak mencukupi.
Peluang perdagangan karbon REDD+ di Indonesia terdapat beberapa
tantangan, yaitu:
a) Masih tingginya ancaman terhadap implementasi REDD+ baik yang bersifat
alami, yaitu kebakaran hutan dan lahan, juga yang diseabkan oleh aktivitas
manusia yaitu perambahan.
b) Pasar karbon yang berjalan di Indonesia masih bersifat sukarela. Sangat
beragamnya metodologi dan standar kredit karbon yan digunakan. Hal ini
berimplikasi pada potensial pembeli yang mau membeli kredit karbon yang
dihasilkan. Misalkan standar kredit VCS yang didaftarkan ke VCS registry
dan Plan Vivo yang didaftrakan ke Plan Vivo registry. Kedua standar kredit
ini mempunyai metodologi yang berbeda dan tingkat harga yang berlaku
untuk setiap tCO2 juga berbeda.
c) Pembayaran kredit karbon dilakukan pada saat kredit karbon itu sudah
dihasilkan (result-based payment). Padahal biaya yang diperlukan untuk
mengembangkan proyek REDD+ sangat tinggi. Sehingga perlu mekanisme
pembiayaan REDD+ yang jelas dari pemerintah. Sebagai misal pemerintah
dapat membentuk lembaga pengelola keuangan perubahan iklim yang dapat
memberikan fasilitasi keuangan kepada pengembang proyek di masa awal-
awal proyek.
F. Kepastian mekanisme transaksi karbon
Sampai dengan sekarang perdagangan karbon belum terbentuk. Meskipun
demikian dari beberapa kegiatan percontohan REDD+ sudah ada yang melakukan
perdagangan meskipun bersifat sukarela. Seperti yang terjadi di Provinsi Jambi dan
Kalimantan Timur. Dari kegiatan percontohan tersebut permasalahan yang dihadapi
oleh pengembang proyek adalah mencari kepastian pembeli kredit karbon yang
dihasilkan. Pengalaman yang dihadapi oleh percontohan REDD+, untuk
mendapatkan pembeli sangat tergantung pada penghubung dengan pembeli
(broker) atau kemampuan pendamping untuk meyakinkan pembeli melalui
penggunaan metodologi atau standar internasional kredit karbon yang digunakan.
Secara umum rantai transaksi karbon sukarela yang potensial dapat
dibedakan menjadi 3, yaitu transaksi langsung antara pengembang dan pembeli,
9
transaksi melalui broker, dan transaksi melalui agen yang mempunyai hak untuk
kepemilikan atas kredit karbon yang kemudian dijual kembali kepada pembeli.
Secara grafis mekanisme tersebut disajikan pada Gambar berikut.

Gambar 2. Mekanisme transaksi karbon di lapangan


Dari berbagai mekanisme transaksi yang terjadi tersebut, pemerintah tidak
dapat mengontrol arus kredit karbon tersebut. Hal ini terjadi sebagai akibat dari
belum tersedianya mekanisme pencatatan dari setiap pengurangan emisi yang
berhasil dicapai oleh pengembang, volume kredit karbon yang berhasil dijual, dan
siapa yang membeli kredit karbon tersebut. Kondisi ini memberikan kesulitan bagi
Indonesia untuk mengetahui informasi penurunan emisi yang berhasil dicapai.
Selain itu pemerintah juga tidak dapat membantu pengembang untuk
menghubungkan pengembang dengan pembeli yang potensial. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut maka keberadaan lembaga registrasi menjadi sangat penting.
Keberadaan lembaga registri ini dapat menghidarkan kegiatan penurunan emisi
terhitung dua kali (double counting).
Peningkatan peran swasta menjadi stratgeis dalam penyiapan pasar karbon
domestic. Secara umum peningkatan peran swasta terebut adalah mencakup:
• Scaling up yang kegiatan-kegiatan yang terkait dengan faktor-faktor pen-
dorong deforestasi dan degradasi hutan
• penyusunan standarisasi metodologi dan mekanisme pengumpulan
data dari unit managemen;
• penyediaan insentif (fiskal & non fiskal) atas inisiatif unit manage-
men seperti eg. pengalokasian DR untuk upaya rehabilitasi tingkat
tapak;
• kejelasan sharing benefit;
• responsif terhadap isu terkini : pengelolaan landscape, HCS dan
lain-lain;
• Kepastian kepemilika kredit karbon.
• community-private partnership: perusahaan dan masyarakat berkolaborasi
dalam implementasi REDD+
10
• Penyediaan Mekanisme distribusi manfaat
• Peningkatan rasa memiliki terhadap proyek

PENUTUP

1. Efektivitas pasar karbon tergantung pada bisnis proses implementasi REDD+


mulai dari perencanaan sampai dengan penyaluran dana
2. Komitmen pemerintah daerah relatif tinggi yang ditunjukan dengan diben-
tuknya peraturan pendukung untuk kegiatan implementasi REDD+ meskipun
cenderung memaknai REDD+ dalam rangka menjaga hutan lestari dan sean-
dainya terjadi perdagangan karbon dan mendapatkan pembagian manfaat
hanya dianggap sebagai bonus.
3. Sudah terdapat beberapa inisiatif perdagangan karbon meskipun bersifat
sukarela (menghadapi permasalahan belum pastinya pembeli kredit karbon).
4. Ancaman terbesar terhadap REDD+ resiko kebocoran dan ketidakpermanenan
serta ketidakjelasan koordinasi antar sector : Public – Private Partnership dan
Community – Private Partnership.
5. Stakeholder pemerintah terutama pemda belum mengetahui secara pasti ten-
tang tatacara atau mekanisme pasar karbon, termasuk standar karbon (metod-
ologi) untuk menghasilkan kredit karbon yang dapat diperdagangkan.
6. Insentif yang diharapkan atas capaian penurunan emisi yang dihasilkan lebih
didasarkan pada kriteria penting secara berturut-turut adalah
pembangunan/kesejahteraan masyarakat, penurunan emisi (adisionalitas),
konservasi biodiversity dan harga → perlunya mekanisme distribusi manfaat
7. Stakeholder di sub nasional belum menjadikan harga karbon sebagai pemicu
motivasi implementasi REDD+.

II. DAFTAR PUSTAKA

Boucher, D. (2009) Estimating the cost and potential of reducing emissions from
deforestation. Vol. Briefing #1. Washington DC.: Tropical Forest and
Climate Iniative, Union of Concerned Scientists.
Busch, J., Cattaneo, B. S. A., Lubowski, R., Boltz, F., Ashton, R., Bruner, A., &
Rice, D. (2009). An economic modelling tool to support UNFCCC
negotiations on REDD reference levels.
Cacho, O. J., Marshall, G. R., & Milne, M. (2005). Transaction and abatement costs
of carbon-sink projects in developing countries. Environment and
Development Economics, 10(05), 597. doi: 10.1017/s1355770x05002056
Casey, J. F., Kahn, J. R., & Rivas, A. A. F. (2008). Willingness to accept
compensation for the environmental risks of oil transport on the Amazon: A
choice modeling experiment. Ecological Economics, 67(4), 552-559. doi:
10.1016/j.ecolecon.2008.01.006

11
Hindarto, D. E. (2013). Apa pengaruh Doha Climate Gateway terhadap
perkembangan pasar karbon di Indonesia? Dewan Nasional Perubahan
Iklim.
Kemenhut. (2014). Statistik Kementerian Kehutanan Tahun 2013.
Keohane, P. P. C. N. (2008). REDD Financing: Different Approaches for Different
National Circumstances. Environmental Defense Fund.
Laurance, W. F. (2007). A New Initiative to Use Carbon trading for Tropical Forest
Conservation. BIOTROPICA 39(1).
Laurance, W. F., Albernaz, A. K. M., Schroth, G. t., Fearnside, P. M., Bergen, S.,
Venticinque, E. M., & Costa, C. D. (2002). Predictors of deforestation in
the Brazilian Amazon. Journal of Biogeography, 29, 737-748.
Moutinho, P. (2008). [Tropical forest, deforestation and climate change: the
Amazon case].
WorlBank. (2011). State and Trens of the carbon market 2011. Carbon Finance at
the World Bank.

12

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai