Anda di halaman 1dari 4

Jakarta, 27 April 2021

Nomor : S.173/Menlhk/Setjen/KLN.0/4/2021
Lampiran : 1(satu) berkas
Perihal : Program tentang LEAF (Lowering Emissions by Accelerating Forest
finance) dari AMERIKA SERIKAT, INGGRIS dan NORWEGIA
SIFAT : PENTING, SANGAT SEGERA

Kepada
Yth. GUBERNUR PROVINSI
SE INDONESIA

Sehubungan dengan diluncurkannya Koalisi LEAF (Lowering Emissions by


Accelerating Forest finance) pada acara Leaders Summit on Climate tanggal 22 April
2021 digagas oleh Amerika Serikat, Inggris dan Norwegia, untuk maksud peningkatan
ambisi iklim global dan berkontribusi dalam menghentikan deforestasi dan degradasi
hutan pada tahun 2030, dengan hormat kami sampaikan kepada Gubernur untuk
kewaspadaan, dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Koalisi LEAF diprakarsai oleh Pemerintah Norwegia, Inggris dan Amerika Serikat,
bersama dengan beberapa kelompok usaha (Amazon, McKinsey, Nestle, Bayer,
Unilever, dsb), yang menawarkan pendanaan (kredit berbasis kinerja) melalui Call
for Proposals sebesar 1 milyar USD, ke negara-negara tropis dan sub-tropis yang
berhasil menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Dalam
penawaran itu termasuk yang menjadi sasaran adalah Pemerintah Daerah. Call
for Proposals awal dimaksud dengan panawaran harga 10 dolar USD per ton untuk
100 juta ton CO2, dengan persyaratan-persyaratan dari pemohon termasuk
persyaratan luasan areal dan perlunya jaminan program dari Pemerintah Daerah
dan Pemerintah Nasional (Items dari proposal dimaksud bersama ini kami
lampirkan).
2. Pemerintah Indonesia belum dapat menerima program LEAF ini sehingga tidak
menyatakan bergabung dalam Koalsi LEAF, dengan alasan-alasan berikut :
a. Terdapat metodologi dan standard (ART TREES) yang dipersyaratkan dalam
menilai karbon (hutan, deforestasi) yang tidak sesuai dengan kondisi riil wilayah
negara terpisah khususnya Indonesia.
b. Gambaran proses dan usulan serta maksud tersebut berkaitan dengan
persoalan jurisdiksi negara (dalam hal kewilayahan dan kewenangan urusan)
yang perlu sangat dan ekstra hati-hati menjadi pertimbangan bagi pemerintah
dan pemerintah daerah.

1
c. Berdasarkan konsultasi Menteri-Menteri Keuangan sedunia, diproyeksikan
bahwa harga kabron akan meningkat terus, dimana saat perjanjian Result
Based Payment (RBP) Norway, karbon masih dihargai USD 5 per ton CO2,
dan dalam proposal ditawarkan USD 10 per ton CO2; pada perkembangannya
negara yang telah mencapai harga karbon USD 40 per ton CO2; serta
selanjutnya diproyeksikan dapat menjadi USD 120 per ton CO2 dan bahkan
dalam KTT (Summit) Iklim yang lalu juga dijelaskan bisa mencapai USD 140
per ton CO2. Dalam kaitan ini maka setiap perjanjian yang sudah terbangun
akan stick kepada harga USD 10 per ton CO2 dimaksud, dan akan mengikat
dalam jangka waktu tertentu. Didalam proposal mereka ditegaskan bahwa
usulan harus masuk kepada Pengelola LEAF pada bulan Juli 2021 (ada unsur
ketergesaan dalam proses ini, dalam persyaratan ditegaskan pada harga USD
10 per ton CO2 dengan catatan harus dari pihak pengelola asing tersebut); dan
disebutkan bahwa harga USD 10 per ton CO2 untuk 100 juta ton CO2; (seperti
ada syarat bahwa harus 100 juta ton karbon dan sebagai gambaran untuk
Kalimantan Timur selama 5 tahun dihitung sebanyak lk 22 juta ton CO2; dan
untuk langkah RI dalam tahun 2020 s/d 2024 dalam kegiatan Forest Carbon
Partnership Facility-Carbon Fund (FCPF-CF) di Kalimantan Timur tersebut
dihargai hanya USD 110 juta atau setara dengan harga USD 5 per ton CO2);
dengan demikian dari proses dimaksud bisa terjadi bahwa kemudian mereka
nilai tidak memenuhi syarat untuk dibayarkan (belum lagi akan dipotong
persentase prestasi karbon yang berasal dari annual emission, buffer pool,
uncertainty dan leakage; serta biaya transaksi yang tinggi akibat siklus, rantai
kerja dan proses dari registrasi, validasi, verifikasi dan penerbitan sertifikat
karbon yang panjang (±11 tahapan). Hal yang sangat krusial untuk diketahui
juga bahwa keseluruhan pembiayaan pelaksanaan program LEAF akan
terlebih dahulu dibiayai sendiri oleh pemrakarsa program (Pemerintah
nasional, Sub-nasional dan Dunia Usaha dimana program LEAF
dilaksanakan).
d. Perjanjian tersebut pola 2.b,. tidak sesuai dengan maksud UUD 1945 Pasal 33,
dimana sumberdaya alam Indonesia harus dikelola bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat Indonesia. Pada saat ini sedang dalam proses akhir untuk
penyelesaian tentang Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon dan
akan segera diterbitkan. Perjanjian pola 2.b dimaksud juga bila dilakukan oleh
Pemerintah Daerah dan oleh entitas dunia usaha di wilayah RI akan dapat
bertentangan dengan maksud pengaturan dari Pemerintah RI berdasarkan
peraturan perundangan yang ada.
e. Pendanaan LEAF hanya akan diberikan setelah peserta (nasional/sub-
nasional) diverifikasi dan telah memenuhi persyaratan standar ART-TREES
untuk melacak dan memantau penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi
hutan. ART-TREES merupakan inisiatif program karbon sukarela baru untuk
meregistrasi, memverifikasi dan mengeluarkan kredit penurunan emisi di
tingkat nasional/sub-nasional, untuk menarik pendanaan REDD+ skala besar.
ART-TREES dikembangkan oleh sekelompok organisasi LSM internasional
didukung oleh Rockefeller Foundation, Norwegian International Climate and
Forest Initiative dan Environmental Defense Fund, dengan Sekretariat ART
dikoordinasikan oleh WindRock Intenasional. Dalam prinsip-prinsip ART-
TRESS yang sudah didalami (dengan analisis untuk kondisi Indonesia),
terdapat ketidaksesuaian metode dimaksud dengan kondisi riil wilayah tropis

2
Indonesia serta nilai-nilai masyarakat Indonesia terutama dalam kaitan dengan
“pekarangan rumah dan pemukiman” versi nilai-nilai masyarakat Indonesia)
serta hal-hal lain berkenaan dengan sistem land use di Indonesia.
3. The REDD+ Environmental Excellency Standard (TREES) merupakan inisiatif baru
(sukarela) yang berpotensi menimbulkan risiko dengan proses lain yang sudah
berjalan hingga saat ini (baik bilateral maupun multilateral). Pengembangan dan
pengaturan TREES berada di luar proses UNFCCC (Konvensi Kerangka Kerja
PBB tentang Perubahan Iklim), sehingga tidak ada kewajiban bagi suatu negara
untuk berpartisipasi dengan standar ini. ART-TREES merupakan metode dalam
penghitungan emisi yang didasarkan pada penilaian deforestasi (perubahan
tutupan hutan) yang kemudian ditransformasi menjadi jumlah emisi karbon. Hal
ini berkaitan dengan metode penghitungan deforestasi melalui tree cover loss
(individual tree/pohon yang dinilai hilang dan dikonversi menjadi emisi karbon;
serta arti tentang hutan yang disamaratakan antara hutan primer (lebat) hutan
sekunder (jarang dan lebih muda) serta semak belukar, yang menurut metode tree
cover loss tersebut lalu semua vegetasi dinilai sebagai hutan primer. Metode ini
tidak sesuai dengan metode dan sistem untuk Indonesia.
4. Indonesia memakai sistem penghitungan deforestasi dengan Forest Reference
Emission Level (FREL) dan penghitungan transformasi sistem Inventarisasi Gas
Rumah Kaca (IGRK), yang telah ditetapkan dengan Standar Nasional Indonesia,
yaitu SNI 7645-1:2014 Standar Klasifikasi Penutup Lahan dan SNI 8033:2014
Metode penghitungan perubahan tutupan hutan. Metode SNI Indonesia sudah
diuji oleh IPCC Sekretariat UNFCCC (dalam proses pengujian selama lk setahun).
Penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) di Indonesia
mengacu pada Artikel 5 Paris Agreement.
Dengan demikian penerapan metode ART-TREES (Amerika/Norway/Inggris/WRI)
tidak sesuai dan akan menyulitkan. Selain itu juga akan “mengeleminasi” atau
mengkoreksi Result Based Payment (RBP) untuk prestasi Indonesia dalam
penurunan emisi GRK. Beberapa RBP yang sudah ada selama ini dalam proses kurun
waktu yang cukup panjang (lebih dari 10 tahun).
Beberapa kesulitan akan terjadi bila dipaksakan bergabung pada Koalisi LEAF dan
memakai metode ART-TREES. Sampai saat ini belum terdapat negara REDD+ yang
berpartisipasi dengan ART-TREES. Posisi Indonesia dan juga negara-negara REDD+
tropis lain seperti Brazil, Guyana, Peru, Belize masih mempertanyakan penerapan
ART-TREES dan konsistensinya dengan mekanisme yang berlaku di bawah
UNFCCC.
Penggunaan Standard ART-TREES akan menimbulkan beban pembiayaan
(investasi) tambahan bagi negara-negara REDD+ jika harus berpartisipasi dalam
ART-TREES tanpa kejelasan outcome secara ekonomi, karena pendanaan
sepenuhnya ditanggung oleh negara-negara REDD+ termasuk pembiayaan untuk
persiapan-persiapan (enabling conditions), proses implementasi, sampai ke verifikasi
penurunan emisi. Disamping itu ada potensi under valued nilai karbon dari Standard
ART TREES karena hanya menghitung prestasi pengurangan emisi karbon hanya dari
kegiatan pencegahan deforestasi dan degradasi hutan, sedangkan kegiatan dari
penguatan stok karbon (carbon stock enhancement), konservasi dan biodiversitas
tidak diperhitungkan.

3
ART-TREES merupakan mekanisme dan standar baru di luar proses UNFCCC
sehingga berpotensi menimbulkan resiko dalam implementasinya.
Berdasarkan banyak pertimbangan dimaksud diatas, Pemerintah RI hingga saat ini
belum dapat menerima LEAF untuk dipergunakan dalam wilayah jurisdiksi RI dalam
hal berkaitan tentang penilaian dan kredit Karbon dari kegiatan deforestasi dan
degradasi hutan.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut juga kami minta kepada Gubernur
se Indonesia untuk dapat memahami kondisi yang sesungguhnya terjadi dan dapat
menyikapinya secara tepat berdasarkan sistem dan jurisdiksi Negara Republik
Indonesia (dalam kewilayahan dan dalam hal urusan/kewenangan) serta bagi
kepentingan nasional. Maka, terhadap penawaran Call for Proposals oleh Koalisi
LEAF dengan penerapan standar ART-TREES belum dapat diterima dan kiranya
Gubernur tidak melangkah tanpa ada konsultasi kepada Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan selaku National Focal Point dari UNFCCC. Demikian pula, terhadap
berbagai tawaran pendanaan (kredit) berbasis kinerja untuk menurunkan emisi dari
deforestasi dan degradasi hutan di tingkat sub-nasional (provinsi) hanya dapat disikapi
dengan dan setelah berkonsultasi kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Demikian kami sampaikan untuk menjadi perhatian dan dapat dilaksanakan
sebagaimana mestinya. Terima kasih atas perhatian dan atas kerjasama yang baik.

MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN,

SITI NURBAYA

Tembusan disampaikan kepada:


1. Yth. Bapak PRESIDEN RI (sebagai laporan);
2. Yth. Bapak Wakil Presiden RI;
3. Yth. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi RI;
4. Yth. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI;
5. Yth. Menteri Sekretaris Negara RI;
6. Yth. Menteri Dalam Negeri RI;
7. Yth. Menteri Luar Negeri RI;
8. Yth. Menteri Keuangan RI;
9. Yth. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI;
10. Yth. Sekretaris Kabinet RI;
11. Yth. Kepala Staf Kepresidenan RI.
12. Yth. Wakil Menteri Luar Negeri RI;
13. Yth. Wakil Menteri Keuangan RI;
14. Yth. Wakil Menteri LHK RI; dan
15. Yth. Sekretaris Daerah Provinsi se Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai