Anda di halaman 1dari 8

Kendala dan Tantangan Penerapan Kebijakan Pajak Karbon: Kondisi dan

Harapan Masa Depan Ekonomi Hijau di Indonesia

Muhammad Rahadian Hasbi


S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta, Indonesia
2010611216@mahasiswa.upnvj.ac.id

ABSTRAK
Peningkatan kesadaran terhadap isu perubahan iklim telah mendorong banyak negara, termasuk Indonesia,
untuk mengadopsi kebijakan pajak karbon sebagai upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dan mendorong
transisi menuju ekonomi hijau. Beberapa kendala utama melibatkan oposisi dari sektor industri, ketidakpastian
tarif, dan tantangan teknis dalam mengukur emisi karbon. Selain itu, ketidaksetaraan internasional, dampak
sosial ekonomi, dan ketergantungan pada energi fosil juga menjadi hambatan. Pajak karbon dihadapkan pada
resistensi masyarakat dan tekanan politik, terutama jika kelompok rentan merasa terbebani. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian yuridis-normatif, menganalisis kendala dan tantangan implementasi kebijakan
pajak karbon di Indonesia. Melalui studi kepustakaan, terutama Undang-Undang Harga dan Pajak Karbon,
penelitian ini mengidentifikasi kebutuhan untuk menyesuaikan kebijakan dengan konteks ekonomi dan sosial
Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, meskipun langkah positif telah diambil dengan penetapan tarif
pajak karbon, masih diperlukan evaluasi lebih lanjut terhadap tarif tersebut. Ketidakpastian tarif dapat
menghambat perencanaan bisnis dan mempengaruhi kepatuhan perusahaan. Pemerintah perlu
mempertimbangkan pendekatan bertahap untuk menerapkan pajak karbon, mulai dari sektor yang menghasilkan
emisi tinggi, seperti PLTU Batubara, sebelum diperluas ke sektor lain. Insentif untuk energi terbarukan dan
kebijakan pendamping perlu diterapkan untuk meminimalisasi dampak ekonomi yang merugikan. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa pajak karbon dapat menjadi instrumen efektif untuk mencapai target pengurangan emisi,
tetapi implementasinya memerlukan penyesuaian dan perhatian khusus terhadap konteks Indonesia. Dengan
memahami kendala-kendala ini, diharapkan penelitian ini memberikan rekomendasi kebijakan yang konkret
untuk meningkatkan efektivitas dan keberlanjutan implementasi kebijakan pajak karbon, serta mempromosikan
masa depan ekonomi hijau yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Kata Kunci : Pajak Karbon, Ekonomi Hijau, Lingkungan

ABSTRACT
Increased awareness of climate change issues has prompted many countries, including Indonesia, to adopt
carbon tax policies to reduce greenhouse gas emissions and promote the transition to a green economy. Some
of the main obstacles involve opposition from the industrial sector, tariff uncertainty, and technical challenges
in measuring carbon emissions. In addition, international inequalities, socioeconomic impacts, and dependence
on fossil energy are also obstacles. Carbon taxes are faced with public resistance and political pressure,
especially if vulnerable groups feel burdened. This research uses a juridical-normative research method,
analyzing the constraints and challenges of carbon tax policy implementation in Indonesia. Through a literature
study, especially the Carbon Price and Tax Law, this research identifies the need to adapt the policy to
Indonesia's economic and social context. The results show that, while a positive step has been taken with the
establishment of the carbon tax rate, further evaluation of the rate is needed. Tariff uncertainty may hinder
business planning and affect company compliance. The government should consider a phased approach to
implementing a carbon tax, starting with high-emitting sectors, such as coal power plants, before expanding to
other sectors. Incentives for renewable energy and accompanying policies need to be implemented to make the
tax more effective.

Keywords : Carbon Tax, Green Economy, Environment

I. PENDAHULUAN
Peningkatan kesadaran akan isu perubahan iklim telah mendorong banyak negara, termasuk
Indonesia, untuk mengembangkan kebijakan pajak karbon sebagai salah satu instrumen untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca dan mendorong transisi menuju ekonomi hijau. Penerapan
kebijakan pajak karbon menjadi langkah strategis dalam upaya mengubah perilaku ekonomi menuju
praktik yang lebih berkelanjutan. Meskipun demikian, implementasi kebijakan ini dihadapkan pada
sejumlah kendala dan tantangan yang memerlukan perhatian khusus.
Pertama-tama, perlu diakui bahwa Indonesia memiliki karakteristik ekonomi yang beragam,
dengan sektor-sektor seperti industri, pertanian, dan energi yang masing-masing memiliki dampak dan
kebutuhan yang unik terkait pajak karbon. Oleh karena itu, penting untuk memahami kendala-kendala
yang dihadapi oleh berbagai sektor ini dalam menjalankan kebijakan pajak karbon serta potensi
dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi hijau di masa depan. Pencemaran udara merupakan
eksternalitas negatif yang patut menjadi perhatian bersama mengingat pentingnya udara sebagai
penunjang utama kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan serta karakteristiknya yang merupakan
barang publik. Mengacu pada hasil penelitian United Nation Environment Programme tahun 1996
diperoleh data bahwa pencemaran udara di Jakarta telah menempati urutan ketiga terburuk di dunia
setelah Mexico City dan Bangkok. Pada tahun 2011, data dari World Resources Institute menyatakan
bahwa Indonesia merupakan negara peringkat ke-6 dari 10 besar negara penghasil emisi karbon di
dunia. Hal ini sangat ironis mengingat pentingnya udara sebagai unsur penunjang utama dalam
kehidupan mahluk hidup. Keberadaaan eksternalitas negatif perlu diatasi dengan adanya intervensi
pemerintah. Pada pertemuan Konferensi Perubahan Iklim Kopenhagen, Indonesia berkomitmen untuk
menurunkan level emisi karbon sebesar 26% pada tahun 2020, untuk itu diperlukan sebuah kebijakan
yang dapat memfasilitasi target penurunan level emisi karbon tersebut. Carbon tax merupakan salah
satu instrumen efektif yang tersedia untuk mencapai tujuan tersebut. 1 Beberapa negara maju seperti
Swedia Finlandia, dan Denmark telah dapat mengurangi eksternalitas negatif akibat emisi karbon
sebesar 7-15% dengan menggunakan carbon tax.

Kendala lainnya termasuk tantangan teknis dalam mengukur dan memverifikasi emisi karbon,
serta penentuan tingkat pajak yang dapat menciptakan insentif yang cukup untuk mendorong
perubahan perilaku tanpa merugikan daya saing ekonomi nasional. Disamping itu, perlu juga
dipertimbangkan bagaimana memitigasi dampak sosial dan ekonomi terutama terhadap kelompok
masyarakat yang rentan akibat perubahan ini.

Dalam latar belakang ini, penelitian tentang kendala dan tantangan penerapan kebijakan pajak
karbon di Indonesia menjadi penting untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang
bagaimana kebijakan ini dapat disesuaikan dengan konteks ekonomi dan sosial Indonesia. Dengan
mengidentifikasi dan memahami kendala-kendala ini, diharapkan penelitian ini dapat memberikan
rekomendasi kebijakan yang konkret untuk meningkatkan efektivitas dan keberlanjutan implementasi
kebijakan pajak karbon, serta mempromosikan masa depan ekonomi hijau yang lebih inklusif dan
berkelanjutan.

II. METODE PENELITIAN


Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis-normatif yang berarti akan menggunakan
studi kepustakaan dari data-data, hukum positif, dan bahan-bahan hukum lain. Penelitian ini biasa
disebut dengan penelitian doktrinal yang menggunakan hukum yang ada pada peraturan perundang-
undangan sebagai gagasan dalam berperilaku sesuai norma dan nilai. Penelitian ini akan digunakan
pendekatan perundang-undangan dan pendekatan studi kasus yang menganalisis permasalahan yang
ada. Penelitian ini akan berbasis pada bahan hukum primer dengan mengkaji UU HPP. Akan
digunakan juga bahan hukum sekunder dan tersier untuk membantu bahan hukum primer dengan
menggunakan jurnal-jurnal hukum, buku teks ahli hukum dan artikel internet. Studi kepustakaan
untuk menghimpun data dan teknik analisis data deskriptif kualitatif dengan memperoleh data-data
yang ada kemudian dikorelasikan satu sama lain dan menghasilkan penelitian yang komprehensif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 1. Pajak Karbon Sebagai Upaya Perbaikan Sektor Ekonomi Dan Lingkungan
Pada tahun 2021, Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 7 yang
berkaitan dengan Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang mencakup regulasi terkait pajak karbon.
Kebijakan ini dijadwalkan mulai diterapkan pada tanggal 1 April 2022, khususnya pada sektor

1 Javier Cuervo dan Ved P. Gandhi, Carbon Taxes: Their Macroeconomic Effects and Prospect
Global Adoption-A Survey of the Literature, 1998.
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara dengan tarif sebesar Rp30 per kilogram karbon
dioksida ekuivalen (CO2e). Penting untuk dicatat bahwa tarif ini lebih rendah dibandingkan dengan
yang tercantum dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(RUU KUP), yang awalnya mencapai Rp.75 per kilogram CO2e. 2 Meskipun kebijakan ini menandai
langkah positif dalam menghadapi isu perubahan iklim, terdapat beberapa kritik terhadap tarif pajak
karbon yang diusulkan. Tarif sebesar Rp30/kg CO2e dianggap masih terlalu rendah, terutama jika
dibandingkan dengan rekomendasi Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Dengan
mengacu pada persamaan marginal benefit of abatement = marginal cost of abatement, tarif yang
dianggap ideal untuk mencapai target pengurangan emisi sesuai dengan NDC Indonesia adalah
Rp300.000/ton CO2e.3

Pendapatan yang dihasilkan dari pajak karbon diharapkan dapat didedikasikan untuk
mendukung penelitian dan pengembangan di bidang energi terbarukan, serta upaya pengurangan
emisi Gas Rumah Kaca. Selain itu, alokasi pendapatan dapat diarahkan untuk mengurangi dampak
masa depan dari emisi karbon dan untuk mengatasi tantangan perubahan iklim. Upaya efisiensi energi
juga diakui sebagai langkah strategis dalam menurunkan emisi karbon, sejalan dengan penelitian yang
menunjukkan bahwa efisiensi energi memiliki dampak positif terhadap pendapatan rumah tangga.

Penerapan pajak karbon dapat dihadapi oleh sejumlah faktor penghambat yang mempersulit
atau menghambat kelancaran dan efektivitas kebijakan tersebut. Berikut adalah beberapa faktor
penghambat penerapan pajak karbon:

1. Oposisi Industri: Industri tertentu, terutama yang memiliki tingkat emisi tinggi, mungkin
bersikeras menentang penerapan pajak karbon karena dapat meningkatkan biaya produksi
mereka. Oposisi dari sektor industri ini bisa menjadi hambatan politik dan ekonomi yang
signifikan.

2. Ketidakpastian Tarif: Ketidakpastian atau fluktuasi dalam penetapan tarif pajak karbon dapat
menjadi faktor penghambat. Bisnis memerlukan kepastian dalam perencanaan dan
penganggaran, dan ketidakpastian tarif dapat membuat perusahaan kesulitan menentukan
dampak finansial yang tepat.

3. Tantangan Teknis dalam Pengukuran Emisi: Pengukuran dan verifikasi emisi karbon dapat
menjadi tugas yang kompleks dan sulit dilakukan. Ketidakpastian dalam metode pengukuran
dapat menghambat implementasi dan menyulitkan perusahaan untuk mematuhi ketentuan
pajak karbon.

4. Ketidaksetaraan Internasional: Jika negara-negara lain tidak menerapkan kebijakan serupa,


perusahaan di suatu negara dapat menghadapi ketidaksetaraan persaingan dengan perusahaan
di negara-negara yang tidak memberlakukan pajak karbon. Hal ini dapat menyulitkan
implementasi dan dapat menciptakan tekanan politik.

5. Dampak Sosial Ekonomi: Pemberlakuan pajak karbon dapat meningkatkan harga barang dan
jasa yang menghasilkan emisi karbon, sehingga berpotensi memberikan beban tambahan
kepada konsumen. Hal ini dapat menciptakan resistensi sosial dan politik, terutama jika
konsumen dan kelompok ekonomi rentan merasa terbebani.

2 Hilwa Nurkamila M, et al, “Analisis Tantangan Penerapan Pajak Karbon Di Indonesia”, Juremi:
Jurnal Riset Ekonomi, Vol.1 No.4 Januari 2022, hlm. 318
3 Ratnawati. 2016. “Carbon Tax Sebagai Alternatif Kebijakan Untuk Mengatasi Eksternalitas Negatif
Emisi Karbon di Indonesia”, Jurnal Perbendahaan, Keuangan Negara dan Kebijakan Publik, 1(2), 53-
67. hlm. 58.
6. Tingkat Ketergantungan pada Energi Fosil: Negara atau wilayah yang sangat bergantung pada
sumber energi fosil mungkin menghadapi hambatan signifikan karena kebijakan pajak karbon
dapat memberikan tekanan ekstra pada sektor-sektor ini.

7. Pengaruh Kelompok Lobi: Kelompok lobi dari industri-industri tertentu yang mungkin
terpengaruh secara langsung oleh pajak karbon dapat memainkan peran dalam mencegah atau
merubah implementasi kebijakan ini.

8. Ketidaksetaraan Akses ke Teknologi Hijau: Beberapa sektor mungkin kesulitan untuk beralih
ke teknologi yang lebih hijau karena keterbatasan akses atau biaya yang tinggi. Ini dapat
menjadi faktor penghambat dalam mencapai tujuan kebijakan pajak karbon.

9. Tingkat Kebutuhan Pembangunan Infrastruktur:Penerapan pajak karbon seringkali


memerlukan pembangunan infrastruktur baru atau penyesuaian infrastruktur yang ada.
Keberlanjutan proyek-proyek ini dapat dipengaruhi oleh ketidakmampuan atau keengganan
untuk melakukan investasi besar.

Namun, dalam menerapkan kebijakan pajak karbon, pemerintah Indonesia dihadapkan pada
sejumlah pertimbangan. Salah satunya adalah keberlanjutan waktu pelaksanaan kebijakan ini.
Penetapan waktu dan momentum pelaksanaan pajak karbon menjadi krusial karena dapat
menyebabkan distorsi ekonomi, terutama pada harga barang/jasa yang menghasilkan emisi karbon.
Kenaikan harga dapat mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat, yang saat ini sedang dalam fase
pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Untuk meminimalisasi distorsi ekonomi, diperlukan
kebijakan pendamping, seperti insentif bagi pengembangan sumber energi terbarukan. Kebijakan ini
memberikan opsi kepada produsen untuk memilih produksi yang lebih ramah lingkungan, menjaga
harga jual tetap stabil, dan mendorong konsumsi masyarakat. Jika tidak ada insentif untuk energi
terbarukan, produsen cenderung memilih pajak karbon sebagai opsi yang lebih mudah dihitung dan
lebih pasti, meskipun dapat menghambat tujuan pengurangan emisi karbon secara keseluruhan.

Penerapan kebijakan pajak karbon dapat dilakukan secara bertahap sebagai suatu strategi untuk
memastikan bahwa kebijakan tersebut diterima dan diimplementasikan dengan efektif. Pendekatan
bertahap ini melibatkan pengenalan kebijakan pajak karbon terlebih dahulu pada sektor-sektor yang
menghasilkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam skala kecil, sebelum diperluas ke seluruh sektor
yang menyumbang emisi GRK setelah kebijakan tersebut diterima dengan positif. Pemerintah
Indonesia telah mengadopsi strategi ini dalam merancang kebijakan pajak karbon, terlihat dalam
Undang-Undang Harga dan Pajak Karbon (UU HPP), di mana penerapan pajak karbon dimulai
dengan sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara, dan rencananya akan diperluas
secara menyeluruh ke sektor-sektor penghasil emisi lainnya pada tahun 2025. 4

Penyesuaian tarif pajak karbon juga dapat dilakukan secara bertahap oleh pemerintah, terutama
jika kebijakan ini diterima dengan baik oleh masyarakat Indonesia. Kenaikan tarif secara bertahap
merupakan suatu langkah yang diperlukan agar kebijakan pajak karbon dapat memberikan kontribusi
yang efektif dalam mengurangi emisi GRK. Haites (2018) mengemukakan bahwa penerapan pajak
karbon memungkinkan pemerintah menetapkan tarif dan menentukan sumber-sumber emisi yang
dikenai pajak, sementara pengurangan emisi akan tergantung pada respons dari sumber emisi yang
terkena dampak kebijakan tersebut.

3.2 2. Implementasi Pajak Karbon Sebagai Penguatan Ekonomi Hijau Di Indonesia


Pajak Karbon tergolong dalam jenis pajak Pigovian. Pajak Pigovian merupakan suatu
pungutan pajak atas setiap unit output dari sumber pencemar ke dalam jumlah yang sebanding dengan
efek kerusakan marginal yang ditimbulkannya dengan membebankannya ke dalam output yang

4 Alexander Kevin Tjoanto, Maria R.U.D Tambunan, “Tantangan dan Strategi dalam Proses
Implementasi Kebijakan Pajak Karbon”, JRAP (Jurnal Riset Akuntansi dan Perpajakan) Vol. 9, No. 02,
Desember 2022, hal 214-225. hlm. 221
efisien.5 Pajak Pigovian sendiri diperkenalkan oleh Arthur C. Pigou pada tahun 1920. Pajak Pigovian
sendiri berkaitan dengan pajak karbon. Pajak karbon diterapkan atas bahan-bahan berkonten karbon
yang berujung pada emisi karbon yang merupakan eksternalitas negatif.6

Mengenai upaya Indonesia untuk memberlakukan pajak karbon sendiri adalah akibat
memprihatinkannya udara di Indonesia. Akibat hal tersebut Indonesia kemudian menyampaikan
proposal komitmen Indonesia tentang penurunan emisi dalam bentuk NDC (Nationally Determined
Contribution). Kemudian Indonesia juga telah meratifikasi Persetujuan Paris melalui UU No.16/2016.
Didalam NDC, Indonesia menyampaikan dimana target pengurangan emisi untuk tahun 2030 adalah
sebesar 29% dengan usaha sendiri, namun apabila mendapat bantuan dari negara asing target
pengurangan emisi bisa mencapai 41%, dengan basis tahun yang diproyeksikan adalah 2010. 7 Dalam
proposal NDC yang disampaikan Indonesia, target pengurangan emisi tertuang dengan bunyi:

“Indonesia has committed to reduce unconditionally 29% of its greenhouse gasses emissions against
the business as usual scenario by the year of 2030.The BAU scenario is projected approximately
2,869 GtCO2e in 2030 which is update from the BAU scenario on the INDC due to current condition
on energy policy development in particular coal fired power plant”

Sedangkan untuk target bersyarat berbunyi sebagai berikut:

“Indonesia could increase its contribution up to 41% reduction of emissions by 2030, subject to
availability of international support for finance, technology transfer and development and capacity
building”

Berdasarkan pernyataan tersebut Indonesia telah menjanjikan akan mengurangi emisi dengan
salah satu upayanya adalah dengan pajak karbon. Mengenai pajak karbon sendiri telah diatur pada
berbagai UU.

Penerapan pajak karbon di Indonesia dimulai setelah diundangkannya UU No. 7 Tahun 2021
tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Pajak karbon mulai diterapkan pada tanggal 1 April 2022,
dengan ditujukan lebih mula pada sektor PLTU Batubara dengan besaran tarif Rp.30/kilogram karbon
dioksida ekuivalen.8
Salah satu pokok penting tentang pengaturan pajak karbon adalah pada Pasal 13 UU HPP:
1. Pengenaan: dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan
hidup.
2. Arah pengenaan Pajak Karbon: memperhatikan peta jalan pasar karbon dan/atau peta jalan
Pajak Karbon yang memuat strategi penurunan emisi karbon, sasaran sektor prioritas,
keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan serta keselarasan antar berbagai
kebijakan lainnya.
3. Prinsip Pajak Karbon: prinsip keadilan (just) dan keterjangkauan (affordable) dengan
memperhatikan iklim berusaha, dan masyarakat kecil.
4. Tarif Pajak Karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon
domestik dengan tarif paling rendah Rp 30,00 per kilogram karbon dioksida ekuivalen
(CO2e).

Pemberlakuan pajak karbon tidak hanya memiliki manfaat pada aspek lingkungan akan tetapi
dapat berlaku juga pada aspek ekonomi. Beberapa manfaat dari pajak karbon adalah: 9

5 Rosen, H. S. (2001). Public Finance. Sixth Edition. Hlm. 43


6 Pigou, A. C. (2013). The economics of welfare. Palgrave Macmillan.
7 Pasar Karbon: Pengantar Pasar Karbon untuk Pengendalian Perubahan Iklim, oleh Partnership
Market Readiness (PMR) Indonesia, UNDP
8 Ratnawati, Op.Cit, hlm. 62
9 Ratih Kumala, et all, “Pajak Karbon: Perbaiki Ekonomi dan Solusi Lindungi Bumi.” 2021 hlm. 70
a. Pajak Karbon akan membuat masyarakat melakukan efisiensi energi, kemudian menggunakan
energi terbarukan, hingga pada inovasi-inovasi teknologi yang membuat emisi lebih rendah.
Sehingga emisi ataupun Gerakan Rumah Kaca akan turun dalam sektoral hingga tingkat
nasional.
b. Pajak Karbon menjadi sumber pendapatan ataupun pemasukan baru negara. Walaupun tidak
semua dari hasil pajak yang diterima oleh negara akan diterima oleh negara, akan tetapi dari
pemasukan ini nantinya akan dikembalikan kepada wajib pajak dengan menggunakan Konsep
“Feedback Taxes”.
c. Peningkatan ekonomi pada sektor-sektor usaha maupun bisnis yang terdampak langsung atau
dikenakan pajak. Pajak Karbon nantinya sebagian besar dananya dapat digunakan sebagai
subsidi, kegiatan peningkatan kapasitas sumber daya alam, hingga upaya-upaya
pengembangan teknologi bersih untuk sektor yang sama dengan objek pajaknya.
d. Pajak karbon berarti juga akan menghemat keuangan negara untuk pembinaan industri dan
pengembangan teknologi karena otomatis mereka akan membiayai dirinya sendiri. Pajak
karbon ini prinsipnya adalah siapa yang menghasilkan emisi harus membayar (polluter pays
principle).
e. Untuk pencegahan perubahan iklim. Pajak karbon dibuat untuk secara langsung mengurangi
emisi gas rumah kaca dengan cara mengenakan pajak atas emisi yang dikeluarkan oleh satu
instalasi, pabrik, industri, gedung, atau sumber emisi yang lain yang besarnya ditentukan oleh
regulator yang biasanya dilakukan oleh pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan.

Secara ideal pemberlakuan pajak karbon adalah hal yang progresif dari pemerintah untuk
mengatasi masalah pada sektor lingkungan hidup dan juga membantu pertumbuhan ekonomi sehingga
dapat dikatakan sebagai langkah Indonesia menuju ekonomi hijau. Akan tetapi pada implementasi
langsungnya ataupun pada prakteknya pemberlakuan pajak karbon memiliki berbagai hambatan
dimana negara tersebut perlu mempersiapkan banyak hal sebelum pemberlakuan dilaksanakan.
Hambatan atau tantangan yang pertama adalah kelayakan infrastruktur. Dimana tidak dapat dilakukan
penghitungan pajak di berbagai pelosok akibat belum siapnya sarana dan prasarana ataupun
infrastruktur terkait. Kedua adalah objek dari pajak itu sendiri. Dimana pelaku industri yang menjadi
salah satu objek pajak karbon terbesar masih kental dengan kecurangan sehingga diperlukannya
tenaga ahli yang berintegritas dan regulasi yang transparan. Selanjutnya pemberlakuan pajak karbon
berakibat kenaikannya bahan bakar dari fosil ataupun bbm yang sampai saat ini masih menjadi
sumber bahan bakar transportasi di Indonesia. Hal ini dapat berakibat fatal mengingat transportasi
adalah alat yang membantu mobilitas sehingga dapat mempengaruhi kenaikan harga pasar nasional.

Terkait Ekonomi Hijau di Indonesia, Upaya Mitigasi Perubahan Iklim dan Pertumbuhan
Ekonomi Berkelanjutan melalui Pajak Karbon di Indonesia adalah salah satu program Indonesia
ekonomi hijau. Indonesia telah melakukan estimasi dana yang dibutuhkan 3.500,00 (Rp. Triliun)
untuk mitigasi pada sektor energi dan transportasi. Dengan Carbon Pricing atau Nilai Ekonomi
Karbon (NEK) merupakan salah satu bagian dari paket kebijakan komprehensif untuk mitigasi
perubahan iklim. Terdapat 2 kebijakan pada sektor perdagangan yaitu pertama menggunakan
instrumen perdagangan ijin emisi dan juga offset emission. Selanjutnya pada sektor non perdagangan
adalah dengan Pajak/ Pungutan atas Karbon (carbon tax) dikenakan atas kandungan karbon atau
aktivitas mengemisi karbon dan Result Based Payment (RBP): pembayaran diberikan atas hasil
penurunan emisi.

Program Nilai Ekonomi Karbon dengan salah satu langkahnya pemberlakuan pajak karbon
bertujuan untuk Bertujuan untuk mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada
aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon; Mendukung target penurunan emisi GRK dalam jangka
menengah dan Panjang; dan Mendorong perkembangan pasar karbon, inovasi teknologi, dan investasi
yang lebih efisien, rendah karbon, dan ramah lingkungan.

Jika melihat secara garis besar diluar pajak karbon, Indonesia belum sepenuhnya siap
menjalankan green economy, hal ini dapat dilihat berdasarkan sumber daya manusianya dimana masih
tergolong rendah dan juga untuk golongan tinggi belum memainkan perannya dalam ekonomi hijau.
Dalam hal teknologi Indonesia sudah cukup tertinggal oleh negara-negara maju, masih banyak
masyarakat konservatif di Indonesia dan penggunaan bahan bakar tidak terbarukan yang biasanya
mencemari lingkungan. Indonesia sendiri telah memiliki berbagai regulasi untuk menunjang ekonomi
hijau, sehingga hanya perlu penguatan pada implementasinya dengan memperbaiki instrumen-
instrumen yang ada pada undang-undang tersebut agar ekonomi hijau dapat terlaksana.

IV. SIMPULAN DAN SARAN


4.1 Simpulan
Pada tahun 2021, Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 7 yang
mencakup regulasi pajak karbon. Meskipun langkah positif, tarif pajak karbon, terutama untuk PLTU
Batubara, mendapat kritik karena dianggap rendah. Dalam mencapai target pengurangan emisi, tarif
idealnya Rp300.000/ton CO2e. Pendapatan dari pajak karbon diarahkan untuk penelitian energi
terbarukan dan pengurangan emisi. Faktor penghambat melibatkan oposisi industri, ketidakpastian
tarif, dan tantangan teknis. Penerapan perlu mempertimbangkan ketidaksetaraan internasional dan
dampak sosial ekonomi, serta memerlukan kebijakan pendamping, seperti insentif energi terbarukan,
untuk meminimalisasi distorsi ekonomi. Dengan tetap memperhatikan hambatan-hambatan tersebut,
pemberlakuan pajak karbon di Indonesia adalah langkah signifikan menuju ekonomi hijau. Program
Nilai Ekonomi Karbon dan upaya mitigasi perubahan iklim melalui pajak karbon menjadi bagian
integral dari strategi Indonesia untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan pelestarian
lingkungan. Meskipun tantangan besar dihadapi, langkah-langkah ini menandai komitmen Indonesia
untuk berkontribusi pada perubahan positif secara global.

4.2 Saran
Untuk memperkuat implementasi kebijakan pajak karbon di Indonesia, Pemerintah dapat
melakukan evaluasi tarif, pengembangan infrastruktur, stimulus untuk efisiensi energi, partisipasi
internasional, edukasi dan konsultasi publik, pemantauan dan evaluasi berkala, dukungan teknologi
hijau, penanganan tantangan teknis, melibatkan pihak Swasta Dan NGO, dan pendekatan bertahap
yang jelas. Dengan memperhatikan saran-saran ini, Indonesia dapat memperkuat posisinya dalam
menghadapi perubahan iklim melalui implementasi pajak karbon yang efektif dan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA
Bappenas RI. 2015. “Mewujudkan Pertumbuhan Ekonomi Hijau untuk Indonesia yang Sejahtera”.
Jakarta: Bappenas RI.
Budianto, Yoesep. 2021. “Tantangan Implementasi Pajak Karbon Indonesia”,
https://www.kompas.id/baca/riset/2021/12/08/tantangan-implementasi-pajakkarbon-
indonesia, diakses pada 11 Oktober 2022 pukul 12:31
Cuervo, Gandhi, Ved P. Carbon Taxes: Their Macroeconomic Effects and Prospect Global Adoption-
A Survey of the Literature, 1998.
Erwiansyah. (2021) “Peluang Ekonomi Hijau dan Keterampilan Hijau Menuju Netral Karbon
Indonesia 2060.” Journal of Applied Business and Economic (JABE) Vol. 8 No. 2 (Desember
2021).
Idal Rachmatullah, et all. (2020) “Urgensi Penerapan Pajak Karbon Di Indonesia”. Jurnal Reformasi
Administrasi, Vol. 7, No. 1, Maret 2020.
Nurkamila, Hilwa et al, “Analisis Tantangan Penerapan Pajak Karbon Di Indonesia”, Juremi: Jurnal
Riset Ekonomi, Vol.1 No.4 Januari 2022.
Pigou, A. C. (2013). The economics of welfare. Palgrave Macmillan.
Ratih Kumala, et all. (2021) “Pajak Karbon: Perbaiki Ekonomi dan Solusi Lindungi Bumi.” Prosiding
Seminar Stiami, Volume 8, No. 1, Februari 2021.
Rosen, H. S. (2001). Public Finance. Sixth Edition. McGraw-Hill/Irwin
Tjoanto, Tambunan, Maria, (2022), “Tantangan dan Strategi dalam Proses Implementasi Kebijakan
Pajak Karbon”, JRAP (Jurnal Riset Akuntansi dan Perpajakan) Vol. 9, No. 02, Desember
2022, hal 214-225.
UNFCCC. (2017). What is the Kyoto Protocol? https://unfccc.int/kyoto_protocol
WHO. (2019). Air pollution. https://www.who.int/healthtopics/air-pollution#tab=tab_1

Anda mungkin juga menyukai