Anda di halaman 1dari 20

KEBIJAKAN PENERAPAN PAJAK KARBON DI INDONESIA

DIBANDINGKAN DENGAN SINGAPURA

Dosen Pengampu : Dr. Rahayu Subekti, S.H., M.Hum

Oleh :
Fitria Rahmawati – S352308019
Hukum Pajak (A)

MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2023
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................1


DAFTAR ISI ........................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................3
A. Latar Belakang ...............................................................................3
B. Rumusan Masalah ..........................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .........................................................5
A. Tinjauan tentang Pajak Pada Umumnya .........................................5
B. Tinjauan tentang Pajak Karbon ......................................................6
C. Tinjauan tentang Emisi Karbon ......................................................7
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................8
A. Rancangan Penerapan Pajak Karbon di Indonesia .........................9
B. Penyebab Pelaksanaan Pajak Karbon di Indonesia yang Berulang
Kali ditunda oleh Pemerintah .........................................................9
C. Perbandingan Pajak Karbon yang akan diterapkan di Indonesia
dengan Negara Singapura .............................................................12
BAB IV PENUTUP ............................................................................17
A. Simpulan .......................................................................................17
B. Saran .............................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................19

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Aktivitas manusia dalam bisnis dan industri menghasilkan berbagai
dampak yang dikenal dengan istilah eksternalitas. Contoh dari eksternalitas
negatif adalah pencemaran udara, kegiatan produksi dari semua sektor usaha
memiliki potensi menghasilkan banyak gas yang dilepaskan ke udara terbuka.
Disamping menimbulkan kabut asap yang mau tidak mau dihirup oleh orang
lain, gas tersebut pada akhirnya menyebabkan pemanasan global dan
perubahan iklim. Sejak tahun 2014, setiap tahun berturut-turut telah dicatat
sebagai tahun terpanas di Bumi,1 kecuali pada tahun 2019 – 2020 yang
memang tercatat bahwa emisi karbon saat itu sempat mengalami penurunan
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, penurunan tersebut adalah
sebagai dampak positif dari adanya pandemi Covid-19. Namun, di tahun
2021 tingkat emisi karbon mulai kembali naik, ditunjukkan dengan kenaikan
4,8% pada angka emisi tahunan. Organisasi Kerjasama Ekonomi dan
Pembangunan (Organization for Economic Co-Operation and Development /
OECD) dalam Environmental Outlook, memperkirakan pada tahun 2050
mendatang, sekitar 4 miliar orang (40% dari populasi global) akan tinggal di
daerah langka air.2
Indonesia menempati urutan ketujuh terbesar dunia pada 2022 dengan
mengeluarkan 1,24 Gt CO2e.3 Dalam dokumen Nationally Determined
Contribution (NDC), Pemerintah Indonesia telah mempertegas komitmennya

1
Hille, K. 2016. Climate Trends Continue to Break Records [Text]. NASA.
http://www.nasa.gov/feature/goddard/2016/climate-trends-continue-to-break-records
2
OECD. 2012. OECD Environmental Outlook to 2050: The Consequences OfInaction-Key Facts and
Figures-OECD. https://www.oecd.org/env/indicators-modelling-
outlooks/oecdenvironmentaloutlookto2050theconsequencesofinaction-keyfactsandfigures.htm
3
Databoks. 2023. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/09/28/indonesia-masuk-
daftar-negara-penghasil-emisi-gas-rumah-kaca-terbesar-dunia-
2022#:~:text=Menurut%20EDGAR%2C%20Tiongkok%2C%20Amerika%20Serikat,terbesar%20di%
20dunia%20pada%202022.&text=%E2%80%9CNegara%2Dnegara%20tersebut%20menyumbang
%2061,demikian%20dikutip%20dari%20laman%20EDGAR.

3
untuk mengurangi emisi karbon dengan target pengurangan emisi Gas Rumah
Kaca (GRK) sebesar 29% pada tahun 2030. Rencana implementasi dari
kegiatan pengurangan emisi ini masih harus dipertajam dan disiapkan secara
lebih detail oleh pemerintah, terutama untuk model pendanaannya yang
dimungkinkan salah satunya menerapkan pajak karbon. Sehingga pajak
karbon bisa menjadi alat yang esensial dalam memitigasi EGRK.
Tujuan utama dari pengenaan pajak karbon adalah mengubah perilaku
pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah
karbon. Hal teserbut sejalan dengan berbagai upaya pemerintah untuk
mencapai target penurunan emisi GRK dalam jangka menengah hingga
panjang. Indonesia berkomitmen untuk melaksanakan pembangunan rendah
karbon dan menargetkan Net Zero Emission pada tahun 2070. Landasan
hukum Pajak karbon telah diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi
Peraturan Perpajakan Nomor 7 Tahun 2021 dan peraturan turunannya.
Kebijakan pajak karbon sebagai pigouvian tax merupakan salah satu upaya
negara untuk mengatasi eksternalitas negatif akibat emisi karbon.4
Namun, faktanya pelaksanaan pajak karbon yang telah diwacanakan sejak
tahun 2021, sampai dengan saat ini masih terus ditunda. Penundaan ini tentu
menimbulkan berbagai spekulasi dan pertanyaan. Dalam makalah in akan
dibahas mengenai bagaimana skema pajak, apa sebab penundaan dan lebih
lanjut pada makalah ini kita akan melihat perbandingan kebijakan karbon di
Indonesia dengan di Singapura, baik dari segi skema, tarif maupun segi
kesiapan dalam melaksanakan pajak karbon tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana rancangan penerapan pajak karbon di Indonesia?
2. Mengapa berulang kali pelaksanaan pajak karbon di Indonesia ditunda?
3. Bagaimana perbandingan penerapan pajak karbon di Negara Indonesia
dengan Negara Singapura?

4
Agustinus Imam Saputra. 2021. Pajak Karbon Sebagai Sumber Penerimaan Negara dan Sistem
Pemungutannya. Jurnal Anggaran dan Keuangan Negara Indonesia Vol 3 (1). Hlmn 58.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pajak Secara Umum


Menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut Undang-
Undang KUP), yang dimaksud pajak adalah kontribusi wajib kepada negara
yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Berbicara mengenai definisi hukum pajak, banyak
pendapat dari para ahli, misalnya saja menurut Rochmat Soemitro,5 Hukum
pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang
(yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi)
yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar
pengeluaran umum. Dapat dipaksakan artinya bila pajak tidak dibayar, maka
dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan, seperti surat paksa dan sita,
dan juga penyanderaan.
Menurut Soemarso,6 pajak diartikan sebagai perwujudan atas kewajiban
kenegaraan dan partisipasi anggota masyarakat dalam memenuhi keperluan
pembiayaan negara dan pembangunan nasional guna tercapainya keadilan
sosial dan kemakmuran yang merata, baik material maupun spiritual.
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diambil beberapa ciri atau
karakteristik dari pajak, yaitu: (1) pemungutan pajak didasarkan pada UU
atau peraturan pelaksanaannya, (2) tidak adanya imbalan langsung terhadap
pembayaran pajak (3) pajak dipungut oleh negara (4) hasilnya digunakan
untuk membiayai pengeluaran pemerintah, apabila terdapat kelebihan maka
sisanya digunakan untuk publik investment.

5
Rochmat Soemitro. 2011. Asas dan Dasar Perpajakan. Bandung: Rafika Aditama. Hlmn 1.
6
S.R Soemarso. 2007. Perpajakan Pendekatan Komprehensif. Jakarta: Salemba Empat. Hlmn 3.

5
B. Pajak Karbon
Pajak karbon adalah jenis pajak atas polusi yang dikenakan pada
penggunaan bahan bakar fosil. Penerapannya didasari pada kelestarian
lingkungan yang terus terancam seiring dengan meningkatnya emisi karbon
di seluruh dunia. Studi di Australia menyatakan pajak karbon merupakan
salah satu kebijakan yang efektif untuk meminimalkan produksi batubara dan
minyak bumi di industry pertambangan.7 Diterapkannya pajak karbon
bertujuan guna meminimalkan emisi gas rumah kaca dengan dan
memperbaiki kegagalan pasar yang timbul akibat eksternalitas negatif seperti
perubahan iklim dan polusi udara.8
Oleh karena dikenakan atas bahan bakar fosil, pengenaan pajak karbon
secara otomatis akan ikut menaikkan harga dari bahan bakar. Sesuai dengan
ilmu ekonomi mikro, naiknya harga bahan bakar akan menurunkan demand
atas bahan bakar karbon tersebut dan menurunkan eksternalitas negatif yang
ditimbulkannya, sehingga konsep pajak karbon dapat dipahami sebagai
sebuah kompensasi atas dampak negatif yang ditimbulkan dari penggunaan
barang dan jasa yang belum bebas karbon tersebut.
Hal ini sejalan dengan definisi yang tercantum dalam Peraturan
Pemerintah No. 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan dan
Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, yaitu “pajak karbon adalah pajak yang
dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi
lingkungan hidup”. Di samping itu, berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2021
tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang dimaksud dengan subjek
pajak karbon yaitu “orang pribadi atau badan yang membeli barang yang
mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi
karbon.”

7
Humphreys, J. (2007). Exploring a carbon tax for Australia. Centre for Independent Studies.
8
Dian Ratnawati. 2016. Carbon Tax Sebagai Alternatif Kebijakan Mengatasi Eksternalitas Negatif
Emisi Karbon Di Indonesia. Indonesian Treasury Review Vol 1 (2). Hlmn 55

6
C. Emisi Karbon
Emisi karbon adalah suatu peristiwa lepasnya karbon ke atmosfer pada
area tertentu dan jangka waktu tertentu.9 Emisi karbon yang berada di
permukaan atmosfer yang terdiri dari senyawa karbon dioksida (CO²), metana
(CH₄), dinitro oksida (N₂O), hidrofluorakarbon (HFCs), perfluorokarbon
(PFCs), dan sulfur heksafluorida (SF₆). Emisi karbon biasanya berasal dari
gas rumah kaca alami dan gas rumah kaca industri, dikatakan alami jika
dihasilkan melalui proses siklus alam sehingga berdampak ramah lingkungan.
Sedangkan emisi karbon industri adalah yang dihasilkan akibat aktivitas
manusia dalam kegiatan produksi. Aktivitas manusia yang beragam
menyebabkan timbulnya CO2 yang padat dan dapat mengakibatkan
perubahan iklim yang dapat mengganggu kelangsungan hidup makhluk
hidup. Polusi udara akibat emisi CO2 memiliki banyak eksternalitas negatif 10
yang berkelanjutan dimana pertama kesehatan masyarakat terpengaruh akibat
pencemaran udara sehingga kedua belanja kesehatan akan meningkat, ketiga
biaya ekonomi untuk menetralkan dampak negatif pencemaran udara, tidak
hanya oleh pengeluaran pemerintah tetapi juga pengeluaran masyarakat untuk
mengatasi dampak negatif tersebut.
Laporan tahunan kesepuluh dari Carbon Emissions Gap Report 2019 yang
dikeluarkan oleh Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP)
menunjukkan bahwa untuk mencapai tujuan Perjanjian Paris adalah dengan
membatasi suhu dalam 1,5°C di atas tingkat pra-industri, karbon global emisi
perlu dikurangi sebesar 7,6% setiap tahun antara tahun 2020 dan 2030.11

9
Kementerian Energi dan Sumber Daya Republik Indonesia. 2020. Inventarisasi Emisi Gas Rumah
Kaca Bidan Energi.
10
Agustinus Imam Saputra. 2021. Pajak Karbon Sebagai Sumber Penerimaan Negara Dan Sistem
Pemungutannya. Jurnal Anggaran dan Keuangan Negara Indonesia Vol 3 (1). Hlmn 58.
11
Christiansen, L., dkk. 2018. UN Environment Emissions Gap Report 2018.

7
BAB III
PEMBAHASAN

A. Rancangan Penerapan Pajak Karbon di Indonesia


Diketahui bahwa penetapan pajak karbon di Indonesia akan menggunakan
skema cap and tax atau mendasarkan pada batas emisi, dengan Industri PLTU
Batu Bara sebagai sektor pajak dan akan dilakukan perluasan sektor secara
bertahap sesuai dengan kesiapannya. Terdapat dua mekanisme yang bisa
digunakan Indonesia, yaitu menetapkan batas emisi yang diperbolehkan
untuk setiap industri atau dengan menentukan tarif pajak yang harus
dibayarkan setiap satuan tertentu. Secara umum, skema cap and tax ini
mengambil jalan tengah antara skema carbon tax dan cap-and-trade yang
lazim digunakan di banyak negara. Modifikasi skema pajak karbon tentu
diperlukan karena ada perbedaan ekosistem industri antar wilayah, termasuk
respons publik terhadap aturan baru tersebut.

Mekanisme perdagangan karbon (cap and trade) dan pajak karbon (cap and
tax) memiliki fungsi dan keutungan yang berbeda. Sehingga, tidak bisa kedua
mekanisme tersebut diimplementasikan secara bersamaan, sehingga
pemerintah harus melihat potensi keuntungan dan kerugian dalam penerapan
salah satu mekanisme tersebut.

8
Mekanisme penyelenggaraan nilai emisi karbon yang dicanangkan
Indonesia adalah pungutan atas karbon, lebih lanjut pemerintah
memberlakukan pungutan berupa pajak yang dikenakan kepada pelaku usaha
yang menghasilkan emisi karbon. Selain itu juga menggunakan sistem denda
dalam perdagangan karbon, hal tersebut dikarenakan tingkat kepedulian
masyarakat terutama pelaku ekomoni yang rendah terhadap emisi karbon,
sehingga penerapan carbon tax menjadi denda dalam perdagangan karbon
diharapkan dapat meningkatkan penerapannya bagi setiap subjek pajak/wajib
pajak tanpa terkecuali.
Kebijakan pajak karbon yang dirancang oleh Pemerintah Indonesia ini
memiliki dua keunggulan yaitu selain sebagai instrumen untuk menurunkan
emisi karbon, juga sebagai alat fiskal untuk menambah penerimaan negara.
Kemudian pemasukan tersebut selanjutnya dapat dipergunakan khusus untuk
membiayai program yang berhubungan dengan emisi karbon seperti investasi
ramah lingkungan, pengendalian perubahan iklim (mengisi gap pembiayaan
perubahan iklim, karena diketahui kemampuan APBN untuk memenuhi
kebutuhan pendanaan perubahan iklim hanya sekitar 34% dari kebutuhan)
atau subsidi ke sektor lain yang sangat mendesak seperti industri hijau.

B. Penyebab Pelaksanaan Pajak Karbon di Indonesia yang Berulang Kali


ditunda oleh Pemerintah
Pada awal penundaan diterapkan dan atau dilaksanakannya kebijakan
pajak karbon, pemerintah berencana untuk menerapkan pajak karbon
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), akan diterapkan mulai awal
tahun 2022. Namun hingga kini pelaksanaannya terus ditunda, dikatakan oleh
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, penerapan
pajak karbon akan mulai berlaku pada 2025. Disamping banyaknya
keunggulan dari penerapan pajak karbon, banyak pula faktor yang
melatarbelakangi penundaan penerapan dan atau pelaksanaan pajak karbon di
Indonesia.

9
Pertama, belum adanya kejelasan mengenai regulator dan penetapan nilai
ambang batas karbon yang dihasilkan oleh suatu perusahaan. Regulator yang
dimaksud disini adalah orang atau lembaga yang memastikan bahwa regulasi
akan dijalankan dengan benar, sehingga pemerintah masih harus terus
mempertimbangkan siapa saja / pihak mana saja yang harus diberikan
tanggungjawab untuk memeriksa, memverifikasi, dan menghitung kembali
tingkat emisi karbon yang dilaporkan perusahaan,12 di mana yan melakukan
perhitungan adalah orang yang ahli. Hal tersebut tentu sangat penting, terlebih
untuk menjamin bahwa pelaporan yang dilakukan perusahaan sudah akurat,
mencegah adanya upaya penghindaran pajak dan bahkan korupsi.
Kedua, meski telah terdapat beberapa regulasi mengenai pajak karbon,
namun Indonesia belum memiliki regulasi yang secara khusus mengatur
mengenai pajak karbon. Pengaturan tentang pajak karbon selama ini selalu
disatukan dengan pengaturan mengenai berbagai pajak lainnya dan hanya
dijelaskan secara garis besar sehingga sampai saat ini belum ada regulasi yang
mengatur secara rinci mengenai pajak karbon, mulai dari definisi hingga
mekanisme penerapannya di Indonesia. Ketiadaan aturan hukum yang secara
khusus mengatur mengenai pajak karbon akan menimbulkan ketidakpastian
hukum serta berbagai masalah lainnya di kemudian hari.13 Ketiga, besaran
nominal pajak karbon yang dikenakan pada pelaku industri akan selalu
sejalan dengan seberapa sedikit/banyaknya CO2 yang dihasilkan oleh
aktivitas produksinya, semakin besar CO2 yang dihasilkan maka akan
semakin mahal pula biaya produksi yang harus ditanggung perusahaan
tersebut. Hal tersebut berakibat pada harga barang yang dihasilkan dan dijual
kepada masyarakat mengalami peningkatan harga. Dalam kondisi demikian,
dikhawatirkan pajak karbon yang awalnya bertujuan untuk meningkatkan

12
Andrew Christian Sudjono & Amelia Setiawan. 2022. Peran Regulasi Keuangan Berkelanjutan
Terhadap Tingkat Kesiapan Wajib Pajak Dalam Penerapan Pajak Karbon Di Indonesia. Jurnal Bisnis
dan Akuntansi, Vol 24 (2). Hlmn 378
13
Dinda Devina Maharati, dkk. 2023. Tinjauan Yuridis Penerapan Pajak Karbon sebagai Solusi
Percepatan Green Energy di Indonesia. Jurnal Spektrum Hukum Vol 20. Hlmn 5

10
kesejahteraan masyarakat, justru akan membawa kerugian terhadap
masyarakat itu sendiri.
Ketidaksiapan dalam menerapkan pajak karbon diperkuat dengan adanya
ungkapan dari Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga
Hartarto, yaitu "Untuk merealisasikan komitmen menurunkan emisi gas
rumah 2060 atau lebih cepat dan yang diterapkan awal adalah perdagangan
karbon maupun pajak karbon yang ditargetkan akan berfungsi di tahun 2025”.
Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang
Harmonisasi Perpajakan, seharusnya penerapan pajak karbon sudah dimulai
pada awal 2022 lalu. Namun, Pemerintah berkali-kali melakukan penundaan
dengan dalih untuk menunggu kesiapan mekanisme pasar karbon dan juga
mempertimbangkan situasi perekonomian global dan domestic.
Faktor selanjutnya adalah, adanya asas transparansi yang masih menjadi
sebuah perdebatan dalam penerapannya di Indonesia, dimana perpajakan di
Indonesia menganut asas kerahasiaan, padahal penerapan pajak karbon di
Indonesia membutuhkan upaya digitalisasi dan transparansi yang merupakan
salah satu asas penerapan pajak karbon yang efektif menurut OECD. Aspek
transparansi sangat penting dalam mendukung pengenaan pajak yang
transparan dan terbuka pada seluruh kalangan publik. Pentingnya transparansi
dalam penerapan pajak karbon adalah untuk melihat serta mengawasi akan
tingkat kepatuhan wajib pajak serta mencegah perilaku manipulasi maupun
penghindaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak.14
Faktor terakhir adalah sangat minimnya negara dengan keadaan ekonomi
yang bisa disandingkan dengan negara berkembang seperti Indonesia yang
menerapkan pajak karbon, dengan kata lain Indonesia tidak memiliki suatu
guidance, padahal sebetulnya Pemerintah Indonesia masih membutuhkan
suatu guidance dalam meramu kebijakan pajak karbon tersebut.

14
Andrew Christian Sudjono & Amelia Setiawan. 2022. Peran Regulasi Keuangan Berkelanjutan
Terhadap Tingkat Kesiapan Wajib Pajak Dalam Penerapan Pajak Karbon Di Indonesia. Jurnal Bisnis
dan Akuntansi, Vol 24 (2). Hlmn 370

11
C. Perbandingan Pajak Karbon yang akan diterapkan di Negara Indonesia
dengan Negara Singapura
Penulis memilih Negara Singapura sebagai negara pembanding, tidak lain
adalah karena Negara Singapura saat ini merupakan satu-satunya negara di
Asia Tenggara yang telah menerapkan pajak karbon, yaitu sejak tahun 2019,
kemudian mengenai kultur masyarakat dari kedua negara ini yang hampir
sama, selanjutnya penulis merasa bahwa Negara Singapura dapat dijadikan
sebagai guidance bagi Indonesia dalam beberapa aspek terkait dengan
sebelum atau saat diterapkannya pajak karbon. Penulis akan mencoba untuk
membandingkan beberapa hal, diantaranya dari segi: (1) besaran nilai pajak,
(2) persiapan sebelum diterapkannya pajak karbon, dan (3) skema penerapan
pajak karbon.
1. Besaran Nilai Pajak
UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
menetapkan bahwa tarif pajak karbon adalah Rp 30 per kilogram karbon
dioksida ekuivalen. Tarif pajak tersebut sebenarnya jauh lebih rendah dari
usulan semula Rp 75. Dengan tarif pajak Rp 30, Indonesia merupakan
salah satu negara dengan pajak karbon terendah di dunia. Sementara itu
pajak karbon Negara Singapura untuk saat ini ialah S$5 per ton karbon
dioksida ekuivalen (setara Rp55,563 per kilogram karbon dioksida
ekuivalen. Nominal ini lebih tinggi hampir 2x lipat apabila dibandingkan
dengan Indonesia. Namun juga perlu diingat bahwa pendapatan per kapita
Singapura adalah US$ 67.200, jauh lebih tinggi dimana hampir 16x lipat
dari pendapatan per kapita Indonesia yang hanya sebesar US$ 4.580.
Tidak berhenti sampai disitu, pada tahun-tahun mendatang, Singapura
secara progresif akan menaikkan pajak karbon, diketahui akan menjadi
S$25 pada 2024 atau 2025, dan menjadi S$45 pada 2026 dan setelahnya.
Sehingga pada tahun 2025 mendatang, besaran pajak karbon di Indonesia
adalah Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen, sementara
Singapura S$25 per ton karbon dioksida ekuivalen (setara dengan Rp

12
282.5 per kilogram karbon dioksida ekuivalen), terdapat selisih hampir 9x
lipat dibandingkan dengan Indonesia.
2. Persiapan Sebelum diterapkannya Pajak Karbon
Dibanding dengan Indonesia, sangat jelas bahwa persiapan penerapan
pajak karbon di Singapura jauh lebih matang dan Singapura memang
sudah sejak lama mengurangi emisi karbon sedikit demi sedikit. Seperti
yang kita ketahui bahwa Singapura dikenal dengan usahanya
meningkatkan penanaman pohon dan menekan pembangunan pusat
perbelanjaan. Regulasi Singapura dalam penerapan Pajak Karbon adalah
Carbon Pricing Act 2018 yang kemudian mulai diterapkan pada 1 Januari
2019. Terkesan sangat singkat apabila kita bicara hanya sebatas jarak
dikeluarkannya regulasi dengan diterapkannya pajak karbon tesebut, perlu
dilihat pula hal-hal yang telah dipersiapan Singapura sebelum
mengeluarkan regulasi dan menerapkan pajak karbon tersebut. Jauh
sebelum Singapura meratifikasi Paris Agreement To The United Nations
Framework Convention on Climate Change dalam Carbon Pricing Act
2018, infrastruktur penunjangnya sudah siap dan segala sesuatunya telah
mencukupi dalam rangka untuk melaksanakan pajak karbon tersebut. Mari
kita rinci satu demi satu, bahwa Singapura telah terlebih dahulu
menerapkan prinsip-prinsip bangunan hijau, terutama efisiensi energi,
konservasi air, dan mutu lingkungan dalam ruangan mulai tahun 2005.
Definisi green building atau bangunan hijau mengarah pada struktur
dan pemakaian proses yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan
hemat sumber daya sepanjang siklus hidup bangunan tersebut, mulai dari
pemilihan tempat sampai desain, konstruksi, operasi, perawatan, renovasi,
dan peruntuhan, sehingga mengurangi jejak karbon yang berpengaruh
besar pada lingkungan. Bangunan yang tersertifikasi hijau akan bisa
menghemat konsumsi dan biaya listrik dan air, selain juga akan lebih
ramah lingkungan yang membawa manfaat kesehatan bagi pekerja dan
masyarakat yang tinggal di dalamnya. Singapura telah memiliki sekitar
3.250 gedung bersertifikasi gedung ramah lingkungan / green mark

13
certification oleh Building Construction Authority (BCA),15 dan kini
Singapura tengah berupaya dan menargetkan 80% bangunan yang ada
harus sudah memenuhi standar green mark pada 2030 mendatang.
Sementara Indonesia sendiri baru memiliki sekitar 60 gedung yang
mendapat sertifikat bangunan hijau atau memenuhi kriteria greenship dari
Green Building Council Indonesia (GBCI).
Selain itu, Singapura juga telah menerapkan juga menerapkan suatu
sistem yang disebut dengan district cooling system sebelum
memberlakukan Pajak Karbon. District cooling merupakann sistem AC
dimana pendinginan udara terpusat hanya pada satu lokasi yang kemudian
didistribusikan / dialirkan ke semua arah atau lokasi, ini merupakan
metode yang paling sesuai distribusi pendinginan dalam aplikasi
komersial, sehingga menghadirkan manfaat bagi lingkungan dan ekonomi.
Sehingga ketika pajak karbon diterapkan oleh Pemerintah Singapura,
pelaku ekonomi dan masyarakatnya tidak begitu ‘kaget’. Kembali lagi
pada pendapatan per kapita Singapura yang tinggi, bahwa terhadap
kenaikan harga akibat nilai produksi yang meningkat, rupanya tidak terlalu
menjadi masalah bagi masyarakatnya. Logika sederhana yang dapat
digunakan adalah seperti mobil listrik, disini pajak karbon kita ibaratkan
seperti mobil listrik agar lebih mudah dalam memahami. Ketika ada isu
mobil listrik akan masuk ke Singapura, ia telah menyiapkan segala
sesuatunya, sehingga ketika mobil listrik itu masuk yang ada dipikiran
hanya untuk mengisi daya batreinya saja, tidak perlu lagi dibingungkan
perihal harus mengisi daya dimana, berapa harga untuk per-wattnya,
bagaimana asuransinya dan lain-lain, karena itu semua sudah dipersiapkan
dan telah ditata sedemikian rupa oleh pemerintahan.
Sementara Indonesia, infrastuktur penunjang yang diperlukan masih
dalam proses persiapan menuju siap atau bahkan mungkin dalam beberapa
aspek memang belum dipersiapkan. Bahwa sampai dengan tahun 2023 ini,

15
Data Jumlah Bangunan Tersertifikasi GMC - Green Mark Buildings Directory
https://www.sleb.sg/Building/GreenMarkBuildingsDirectory

14
gedung di Indonesia yang mendapat sertifikat bangunan hijau atau
memenuhi kriteria greenship dari Green Building Council Indonesia
(GBCI) tidak lebih dari 100 gedung. Selain itu, kurangnya sosialisasi
kepada masyarakat tentang pentingnya menurunkan emisi karbon
menyebabkan tingkat kesadaran masyarakat sangat minim, sehingga
ketika diterapkan pajak karbon, masyarakat belum benar-benar siap.
Ketidaksiapan masyarakat ini merupakan akibat dari ketidaksiapan
pemerintah Indonesia itu sendiri.
3. Skema Penerapan Pajak Karbon
Skema penerapan pajak karbon di Indonesia telah kita bahas dalam
point pembahasan sebelumnya (A). Sebagai perbandingan, maka pada
pembahasan kali ini akan diuraikan skema penerapan pajak karbon di
Singapura. Skema penerapan pajak Singapura menggunakan Perdagangan
Karbon mendukung kebijakan Carbon Pricing dengan sektor pajak
meliputi:
a. IPPU (manufaktur/layanan sejenis manufaktur),
b. Suplai listrik, air, gas, uap, air conditioner, dan
c. Pengelolaan limbah
Dalam pelaksanaan carbon pricing di Singapura terdapat badan atau
lembaga yang mengevaluasi agar keberjalanannya sesuai dengan
ketentuan dan kebijakan yang berlaku yaitu NEA (National Environment
Agency), bertanggung jawab atas administrasi dan penegakan undang–
undangmulai dari pengukuran emisi, pelaporan emisi, verifikasi
persyaratan, dan akreditasi. Sementara pihak yang dapat melakukan
penilaian dan perhitungan tingkat emisi karbon adalah seorang Manajer
Energi yang telah tersertifikasi dan memiliki pengalaman kurang lebih 3
tahun dalam dalam standar ISO 14064 / ISO 50001.16 Selain itu juga
memiliki template pengukuran emisi yang memudahkan dan mengurangi
risiko terjadinya kesalahan dalam pengukuran. Kebijakan carbon credit

16
NEA (National Environment Agency). (2021). Greenhouse Gas (GHG) Emissions Measurement and
Reporting Guidelines.

15
memungkinkan perusahaan untuk menjual kepada perusahaan yang sulit
untuk menurunkan emisinya dan membiayai proyek–proyek
pengembangan rendah emisi. Baru-baru ini muncul pasar karbon di
Singapura sebagai mekanisme transaksi carbon credit yang membentuk
sebuah ekosistem antara pembeli dan penjual yang dapat meningkatkan
transparansi, verifikasi, dan kualitas carbon credit.
Singapura menerapkan carbon tax dengan menggunakan skema
perdagangan karbon untuk mendukung carbon pricing, sementara
Indonesia menerapkan skema yang berbeda, yakni dengan menggunakan
kebijakan carbon tax yang mendukung / menjadi denda dalam
perdagangan karbon. Skema yang dilakukan Singapura dinilai lebih
terbuka terhadap jumlah jejak karbon yang dihasilkan oleh suatu fasilitas
bisnis. Tanpa dijadikan sebagai penerapan denda, setiap wajib pajak
terkesan tidak memiliki tendensi untuk mengurangi jumlah jejak karbon
yang ada pada suatu fasilitas bisnis selama jumlah jejak karbon yang
dihasilkan masih di bawah ambang batas ≥ 25.000 tCO2e/tahun.
Sementara Indonesia menggunakan sistem denda karena masyarakat di
Indonesia dinilai masih memiliki tingkat kepedulian yang rendah terhadap
emisi karbon, dan diharapkan dapat meningkatkan penerapannya bagi
setiap subjek pajak/wajib pajak tanpa terkecuali.
Oleh Indonesia, penggunaan pendapatan yang diperoleh dari pajak
karbon utamanya akan diarahkan pada biaya mitigasi perubahan iklim
sementara untuk subsidi untuk industri hijau berada dibelakangnya.
Berbeda dengan Singapura, penggunaan pendapatan yang diperoleh dari
pajak karbon akan digunakan untuk mendukung kegiatan inisiatif hijau,
mengingat target di tahun 2030 mendatang, 80% bangunan yang ada harus
sudah memenuhi standar green mark.

16
BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Pajak karbon yang akan diterapkan di Indonesia menggunakan skema cap
and tax atau mendasarkan pada batas emisi. Pendapatan dari pajak karbon
akan dipergunakan khusus untuk membiayai program yang berhubungan
dengan emisi karbon atau subsidi ke sektor lain yang sangat mendesak seperti
industri hijau. Pajak karbon ini direncanakan akan mulai diterapkan pada
2025 mendatang, rencana penerapan pajak karbon ini telah berulang kali
ditunda oleh Pemerintah dengan alasan menunggu kesiapan mekanisme pasar
karbon dan mempertimbangan situasi perekonomian, hal tersebut semakin
meyakinkan bahwa Pemerintah Indonesia belum benar-benar siap dalam
menerapkan kebijakan pajak karbon tersebut, baik dari segi hukum,
mekanisme penerapannya, hingga kesiapan masyarakat beserta dengan
kondisi perekonomian yang ada. Jika kebijakan tersebut dijalankan tanpa
adanya tindakan tindak lanjut yang dilakukan, hal ini tentunya akan
menimbulkan tekanan negatif terhadap semua variabel makro ekonomi.
Apabila melihat penerapan pajak di Singapura kemudian diperbandingkan
dari segi besaran tarif dan persiapan sebelum pelaksanaan Indonesia
tertinggal cukup jauh, sementara dari segi skema yang diterapkan juga
berbeda karena disamping tingkat kesadaran masyarakat akan emisi karbon
juga berbeda, setiap negara selalu memiliki karakteristik dan perilaku bisnis
yang berbeda-beda. Meski demikian, dalam beberapa aspek, Indonesia tetap
dapat menjadikan Singapura sebagai percontohan.

B. Saran
1. Pemerintah harus dapat mengembangkan skema penerapan pajak karbon
yang efektif serta melibatkan berbagai pemangku kepentingan yang saling
berintegrasi satu dengan lainnya dalam mewujudkan kebijakan pajak
karbon yang efektif di Indonesia.

17
2. Apabila memang pajak karbon akan segera diterapkan pada 2025
mendatang, diharapkan sesegera mungkin pemerintah dapat menentukan
sistem pelaporan, ambang batas/cap, regulator / orang atau lembaga yang
memastikan bahwa regulasi akan dijalankan dengan benar dengan
menentukan pula kualifikasinya
3. Ada baiknya jika setiap perusahaan membuat laporan keberlanjutan yang
memuat mengenai tingkat emisi karbon yang dihasilkan oleh perusahaan
tersebut guna menentukan besaran pajak yang harus dibayarkan. Namun
demikian, Pemerintah tetap harus menentukan pihak yang melakukan
audit atas kebenaran pelaporan tersebut.

18
DAFTAR PUSTAKA

Rochmat Soemitro. 2011. Asas dan Dasar Perpajakan. Bandung: Rafika Aditama.
S.R Soemarso. 2007. Perpajakan Pendekatan Komprehensif. Jakarta: Salemba
Empat.
Agustinus Imam Saputra. 2021. Pajak Karbon Sebagai Sumber Penerimaan
Negara dan Sistem Pemungutannya. Jurnal Anggaran dan Keuangan Negara
Indonesia Vol 3 (1).
Dian Ratnawati. 2016. Carbon Tax Sebagai Alternatif Kebijakan Mengatasi
Eksternalitas Negatif Emisi Karbon Di Indonesia. Indonesian Treasury Review
Vol 1 (2).
Andrew Christian Sudjono & Amelia Setiawan. 2022. Peran Regulasi Keuangan
Berkelanjutan Terhadap Tingkat Kesiapan Wajib Pajak Dalam Penerapan
Pajak Karbon Di Indonesia. Jurnal Bisnis dan Akuntansi, Vol 24 (2).
Dinda Devina Maharati, dkk. 2023. Tinjauan Yuridis Penerapan Pajak Karbon
sebagai Solusi Percepatan Green Energy di Indonesia. Jurnal Spektrum Hukum
Vol 20.
Dwi Sri Wahyuni & Kevin Fausta Zahran. 2022. Implikasi Yuridis Pemberlakuan
Pajak Karbon Di Indonesia Dalam Menjamin Terciptanya Lingkungan Hidup
Yang Sehat. Jurnal Kajian Hukum dan Pendidikan Kewarganegaraan, Vol 1 (2)
NEA (National Environment Agency). 2021. Greenhouse Gas (GHG) Emissions
Measurement and Reporting Guidelines.
Christiansen, L., Bois von Kursk, O., & Haselip, J. A. 2018. UN Environment
Emissions Gap Report 2018.
Hille, K. 2016. Climate Trends Continue to Break Records. NASA.
http://www.nasa.gov/feature/goddard/2016/climate-trends-continue-to-break-
records
OECD. 2012. OECD Environmental Outlook to 2050: The Consequences
OfInaction-Key Facts and Figures-OECD.
https://www.oecd.org/env/indicators-modelling-
outlooks/oecdenvironmentaloutlookto2050theconsequencesofinaction-
keyfactsandfigures.htm
Databoks. 2023. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/09/28/indonesia-
masuk-daftar-negara-penghasil-emisi-gas-rumah-kaca-terbesar-dunia-
2022#:~:text=Menurut%20EDGAR%2C%20Tiongkok%2C%20Amerika%20S
erikat,terbesar%20di%20dunia%20pada%202022.&text=%E2%80%9CNegara

19
%2Dnegara%20tersebut%20menyumbang%2061,demikian%20dikutip%20dari
%20laman%20EDGAR.
Data Jumlah Bangunan Tersertifikasi GMC - Green Mark Buildings Directory
https://www.sleb.sg/Building/GreenMarkBuildingsDirectory
Global Compliance News. Singapore: Carbon Pricing (Amandment) Act 2022
comes into force on 7 March 2023.
www.globalcompliancenews.com/2023/03/28/https-insightplus-
bakermckenzie-com-bm-energy-mining-infrastructure_1-singapore-carbon-
pricing-amendment-act-2022-comes-into-force-on-7-march-2023_03242023
https://Www.Esdm.Go.Id/Assets/Media/Content/Content-Inventarisasi-Emisi-
Gas-Rumah-Kaca-Sektor-Energi-Tahun-2020.Pdf.
https://www1.bca.gov.sg/buildsg/sustainability/green-building-masterplans

20

Anda mungkin juga menyukai