Anda di halaman 1dari 14

TUGAS MAKALAH

AKUNTANSI PERPAJAKAN
HARMONISASI PERATURAN PERPAJAKAN

OLEH :
NAMA : Salsabila Adi Ahsan
STAMBUK : 000704302020
KELAS : A2

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI


PASCA SARJANA UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR 2020/2021

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidaya-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “
Harmonisasi Peraturan Perpajakan ’’ . Dalam menyelesaikan makalah ini. Saya
banyak pendapat bantuan dari berbagai pihak. Maka dari itu saya mengucapkan
terima kasih kepada dosen pembimbing mata kuliah Akuntansi Perpajakan serta
rekan-rekan sekalian. Saya mengharapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat,
khususnya bagi penulis dan semua pihak yang membacanya terutama dalam hal
pembelajaran. Saya menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya
harapkan demi kesempurnaan makalah ini dimasa yang akan datang.
Akhir kata, saya memohon maaf apabila ada kesalahan dalam kata pengantar ini.

Makssar, 29 November 2021

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………………..2
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………………3
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………………..4
A. Latar Belakang………………………………………………………………………………….4
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………………..….7
C. Tujuan………………………………………………………………………………………….….7
BAB II PEMBAHASAN………………….………………………………………………...……8
A. Subjek dan Objek Pajak……………………………………………………………………8
B. Harmonisasi Peraturan Perpajakan…………………………………………………..9
C. Tujuan Harmonisasi Peraturan Perpajakan……………………………………….9
D. Ruang Lingkup Harmonisasi Peraturan Perpajakan…………………………..9
BAB III SIMPULAN………………..……………………………………………….………..13

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Rochmat Soemitro dalam buku Pengantar Singkat Hukum Pajak
(Eresco, Bandung, 1992) pajak adalah gejala masyarakat, artinya pajak hanya ada
di dalam masyarakat. Masyarakat adalah kumpulan manusia yang pada suatu
waktu berkumpul untuk tujuan tertentu. Negara adalah masyarakat yang
mempunyai tujuan tertentu. Kelangsungan hidup negara juga berarti kelangsungan
hidup masyarakat dan kepentingan masyarakat. Untuk kelangsungan hidup
masing-masing diperlukan biaya. Biaya hidup individu, menjadi beban dari individu
yang bersangkutan dan berasal dari penghasilannya sendiri. Biaya hidup negara
adalah untuk kelangsungan alat-alat negara, administrasi negara, lembaga negara,
dan seterusnya, dan harus dibiayai dari penghasilan negara.
Penerimaan perpajakan telah menjadi penerimaan negara terbesar sejak
1992 dengan kontribusi mencapai 47,4 persen dan meningkat pada 2020 menjadi
sebesar 65,1 persen. Namun kontribusi tersebut belum cukup menutup
pembiayaan pembangunan yang kian membesar.
Setidaknya sudah 12 tahun berturut-turut terjadi shortfall pajak, yaitu
realisasi penerimaan pajak tidak memenuhi target yang ditetapkan bersama oleh
Pemerintah dan DPR. Terakhir kali penerimaan pajak mencapai target yakni pada
tahun 2008, mencapai 106,7 persen atau terealisasi Rp 571 triliun dari target Rp
535 triliun dalam APBN. Dengan realisasi ini maka tercatat surplus sebesar Rp 36
triliun. Namun, sejak 2009 hingga 2020, penerimaan pajak selalu meleset dari
target.
Rasio perpajakan Indonesia itu jauh di bawah rata-rata negara yang
tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD)
sebesar 34,3 persen. OECD mensinyalir rendahnya rasio perpajakan Indonesia

4
disebabkan kepatuhan pajak yang buruk, insentif dan pengurangan tarif yang
meluas, dan ditambah kecilnya orang pribadi yang membayar pajak penghasilan
(PPh). Terjadinya pandemi Covid-19 makin memperparah kondisi keuangan negara.
Defisit APBN yang tadinya dibatasi maksimal 3 persen diberi kelonggaran bisa
melebihi di atas 3 persen selama 3 tahun, dari 2020 hingga 2022. Pelebaran defisit
APBN secara otomatis menambah akumulasi utang. Dalam kondisi demikian, perlu
dirancang skema reformasi perpajakan sebagai solusi meningkatkan penerimaan
perpajakan, meningkatkan rasio perpajakan (tax ratio), mengurangi defisit APBN
dan memperkecil rasio utang terhadap PDB. Skema tersebut merubah beberapa
undang-undang yang terkait dengan perpajakan yang kemudian disebut dengan
harmonisasi peraturan perpajakan.
Harmonisasi Perpajakan
Harmonisasi peraturan perpajakan disusun berdasarkan asas: (1) keadilan; (2)
kesederhaan; (3) efisiensi; (4) kepastian hukum; (5) kemanfaatan; dan (6)
kepentingan nasional. Sementara isu utama dari harmonisasi peraturan perpajakan
ditujukan untuk : (1) meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang
berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian; (2)
mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional
secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera; (3)
mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum;
(4) melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif,
dan perluasan basis perpajakan; dan (5) meningkatkan kepatuhan sukarela wajib
pajak. Untuk mewujudkan tujuan-tujuan di atas, konstruksi harmonisasi peraturan
perpajakan mencakup antara lain: (1) pemberlakuan NIK sebagai NPWP, (2)
penguatan administrasi perpajakan, (3) asistensi penagihan pajak global dengan
prinsip resiprokal, (4) penunjukkan pihak lain sebagai pemotong/pemungut pajak,
(5) implementasi tindak pidana perpajakan, (6) pengaturan PPh, (7) pengaturan
PPN, (8) program pengungkapan sukarela wajib pajak, (9) pajak karbon, dan (10)
penegasan prinsip ultimum remedium pada tindak pidana cukai. Kesepuluh
kebijakan di atas tentu tidak mudah mengimplementasikannya karena beberapa
kebijakan tersebut masih terkait dengan wewenang kementerian/lembaga lainnya
dan bahkan negara/yuridiksi lainnya, sehingga diibutuhkan kerjasama dan
kolaborasi dengan pihak lain tersebut. Selain itu, beberapa isu lainya seperti
penerapan NIK sebagai NPWP, kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11

5
persen, penambahan layer tarif PPh, perlu disosialisasikan secara massif dan
komprehensif agar bisa dipahami dan diterima semua kalangan. Perlu kami
sampaikan beberapa catatan dan sekaligus solusi implementasinya terhadap
kebijakan tersebut.
Pertama, kebijakan perluasan basis perpajakan dengan penerapan NIK
sebagai NPWP perlu dipersiapkan dengan matang dan juga sosialisasi yang luas.
Selama ini NIK dikelola oleh Kementerian Dalam Negeri sehingga perlu kolaborasi
antar dua kementerian agar proses integrasi dapat terwujud tanpa hambatan yang
berarti. Selain itu, perlu juga disosialisasikan kepada masyarakat bahwa
pemberlakuan NIK sebagai NPWP tidak serta merta akan menyasar seluruh warga
menjadi sasaran pajak. Ada ketentuan batas penghasilan dan pengecualian-
pengecualian tertentu yang tidak dikenakan pajak.
Kedua, sejumlah penguatan administrasi dan kebijkan perpajakan lainya
perlu dipersiapkan secara matang, disosialisasikan secara luas, serta didukung
dengan penguatan digitalisasi sistem.
Ketiga, asistensi penagihan pajak global dengan prinsip resiprokal perlu
diperkuat dan diperluas. Selama ini penagihan pajak antaryuridiksi belum
membuahkan hasil yang maksimal disebabkan belum diaturnya ketentuan
perbantuan penagihan pajak global dalam undang-undang. Saat ini diperkirakan
masih banyak negara/yuridiksi yang dijadikan sebagai tempat tax haven.
Keempat, pemberlakuan pajak karbon memiliki dua makna penting yaitu
sebagai upaya penambahan penerimaan pajak dan sekaligus pengurangan bencana
perubahan iklim. Pajak karbon merupakan hal baru sehingga penerapannya perlu
strategi khusus agar tidak mengguncang perekonomian. Karena itu, tarif pajak
karbon harus ditetapkan secara moderat. Tarif pajak karbon ditetapkan sebesar
Rp30 per kilogram, atau Rp30 ribu per ton equivalen dengan 2 dollar Amerika
(asumsi 1 USD : Rp15 ribu).
Kelima, pemberlakukan prinsip ultimum remedium dalam penegakan hukum
pajak dan cukai perlu dimaknai sebagai upaya terobososan untuk lebih
memaksimalkan penerimaan negara. Proses hukum yang memakan waktu lama
bisa diselesaikan dengan cepat tanpa mengurangi penerimaan negara.

6
Selain itu, dan yang tidak kalah penting, bahwa penyusunan kebijakan
harmonisasi peraturan perpajakan juga harus menyeimbangkan antara
peningkatan penerimaan perpajakan dan perlindungan terhadap rakyat. Terkait
dengan rancangan kebijakan yang akan menyasar pajak sembako, jasa pelayanan
kesehatan, jasa pendidikan, jasa sosial, kami telah menolaknya, sehingga sembako,
jasa pelayanan kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial tetap tidak
dikenakan PPN.
Harmonisasi peraturan perpajakan menjadi harapan besar untuk
mendongkrak penerimaan perpajakan. Bila penerimaan perpajakan naik secara
signifikan maka Indonesia bisa mengurangi akumulasi hutang yang kian
menggunung. Idealnya, biaya pembangunan memang seharusnya mengandalkan
dari penerimaan perpajakan, sementara hutang cukup menjadi pendukung.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian subjek dan objek pajak ?
2. Apa yang dimaksud harmonisasi peraturan perpajakan?
3. Apa tujuan dibentuknya undang-undang harmonisasi peraturan
perpajakan?
4. Apa saja ruang lingkup harmonisasi peraturan perpajakan ?

C. Tujuan
1. Mengetahui apa saja yang menjadi subjek dan objek pajak.
2. Mengetahui apa yang di maksud harmonisasi peraturan perpajakan
3. Mengetahui tujuan undang-undang harmonisassi peraturan perpajakan.
4. Mengetahui ruang lingkup harmonisasi peraturan perpajakan.

7
BAB II
A. SUBJEK DAN OBJEK PAJAK
1. Subjek Pajak
Secara garis besar subjek pajak adalah pihak-pihak (orang maupun
badan) yang akan dikenakan pajak, sedangkan objek pajak adalah segala
sesuatu yang akan dikenakan pajak. Wajib pajak adalah subjek pajak yang
telah memenuhi syarat-syarat objektif sehingga kepadanya diwajibkan
pajak. Dengan perkataan lain. Setiap wajib pajak adalah subjek pajak.
Subjek pajak adalah orang, badan atau kesatuan lainnya yang telah
memenuhi syarat-syarat subjektif, yaitu bertempat tinggal atau
berkedudukan di Indonesia. Subjek pajak baru menjadi wajib pajak bila
telah memenuhi syarat-syarat obyektif.
Subjek pajak tidak identik dengan subjek hukum, oleh karena itu untuk
menjadi subjek pajak tidak perlu menjadi subjek hukum. Sehingga firma,
perkumpulan, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan dapat
menjadi subjek pajak. Demikian juga orang gila, anak yang masih di bawah
umur dapat menjadi subjek atau wajib pajak, tetapi untuk mereka perlu
ditunjuk orang atau wali yang dapat dipertanggungjawabkan untuk
memenuhi kewajiban-kewajibannya.
2. Objek Pajak
Objek Pajak dalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun

8
dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
B. Harmonisasi Peraturan Perpajakan
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2013), kata harmonis diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan
dengan harmoni, atau seia sekata, sedangkan kata harmonisasi diartikan sebagai
pengharmonisan, atau upaya mencari keselarasan. Dalam hal ini kata harmonisasi
juga dapat digunakan sebagai upaya untuk mencari keadilan, kesederhanaan,
efesiensi, kepastian hukum, kemanfaatanan dan kepentingan nasiaonal dalam
peraturanan perpajakan. Dapat disimpulkan bahwa harmonisasi perpajakan adalah
mewujudkan keadlilan serta memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan hak
dan kewajiban perpajakan.
C. Adapun Tujuan Harmonisasi Peraturan Perpajakan
a. meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan
mendukung percepatan pemulihan perekonomian ;
b. mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan
nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur,
dan sejahtera;
c. mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian
hukum;
d. melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang
konsolidatif, dan perluasan basis perpajakan; dan
e. meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak.
D. Ruang Lingkup Harmonisasi Peraturan Perpajakan
a. Tarif Pajak Penghasilan (PPh) 35% Bagi Pendapatan di Atas Rp 5 Milliar

9
Pemerintah menambahkan skema baru untuk tariff pajak penghasilan (PPh)
orang pribadi. Salah satu ketentuan ini adalah pengenaan tarif PPh sebesar
35% bagi orang yang memiliki penghasilan di atas Rp 5 milliar per tahun.
Tarif PPh tersebut naik 5% dibanding yang berlaku saat ini yakni sebesar 30%
untuk penghasilan di atas Rp 500 juta per tahun. Artinya, ini adalah aturan
baru yang berlaku bagi orang kaya di dalam negeri. Selain itu, penghasilan
kena pajak untuk lapisan pertama yang dikenakan tarif 5% diubah, dari
tadinya hingga Rp50 juta per tahun menjadi Rp60 juta per tahun.
b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Naik Jadi 11%
Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik menjadi 11% mulai 1 April 2022.
Untuk diketahui, saat ini tarif PPN yang berlaku sebesar 10%.
Selanjutnya, tarif PPN akan kembali naik menjadi 12% mulai 1 Januari 2025.
“PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%,” bunyi
pasal 7 ayat (3).
c. Pajak Penghasilan (PPh) Badan Tetap 22%
Pemerintah batal menurunkan tarif PPh Badan atau perusahaan dalam
negeri dan bentuk usaha tetap (BUT) menjadi 20%. Tarif PPh Badan di tahun
depan akan sama seperti tarif tahun ini yakni sebesar 22%.
“Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebesar 22% yang
mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022,” kutipan isi Pasal 17 ayat (1) draf UU
HPP.
d. Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak
Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty jilid II yang bernama Pengungkapan
Sukarela Wajib Pajak akan berlaku mulai 1 Januari 2022. Nantinya, wajib
pajak bisa menyampaikan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan

10
sejak 1 Januari 1985 sampai 31 Desember 2015 kepada Dirjen Pajak melalui
Surat Pernyataan.
Dalam Pasal 6 UU HPP tersebut, wajib pajak bisa menyampaikan surat
pernyataan itu kepada Direktorat Jenderal Pajak sejak 1 Januari 2022 hingga
30 Juni 2022.
“Wajib Pajak mengungkapkan harta bersih sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) melalui surat pemberitahuan pengungkapan harta dan
disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sejak tanggal 1 Januari 2022
sampai dengan tanggal 30 Juni 2022,” kutipan Pasal 6 ayat (1).
e. Pajak Karbon
Pemerintah akan menerapkan pajak karbon yang tarifnya sebesar Rp30 per
kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Ini dikenakan atas emisi karbon
yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.
“Dalam hal tarif harga karbon di pasar karbon lebih rendah dari Rp 30 per
kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara, tarif
pajak karbon ditetapkan sebesar paling rendah Rp 30 per kilogram dioksida
ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara,” kutipan UU tersebut dalam Bab
VI Pasal 13 ayat (9).
Pengenaan pajak karbon dilakukan dengan memerhatikan peta jalan pajak
karbon dan/atau peta jalan pasar karbon. Peta jalan pajak karbon yang
dimaksud yakni memuat strategi penurunan emisi karbon, sasaran sektor
prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan,
dan/atau keselarasan antar berbagai kebijakan lainnya.
f. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

11
− Pemberlakuan Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP)
dengan tetap memperhatikan syarat subjektif dan objektif.
− Penurunan besaran sanksi dan pengenaan sanksi dengan
menggunakan suku bunga acuan dan uplift factor pada saat
pemeriksaan dan WP tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan
(SPT)/membuat pembukuan
− Kesetaraan pengenaan sanksi melalui penurunan sanksi terkait
permohonan keberatan atau banding WP.
− Pengaturan asistensi penagihan pajak global.

12
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Harmonisasi Perpajakan
Harmonisasi peraturan perpajakan disusun berdasarkan asas: (1) keadilan;
(2) kesederhaan; (3) efisiensi; (4) kepastian hukum; (5) kemanfaatan; dan
(6) kepentingan nasional. Sementara isu utama dari harmonisasi peraturan
perpajakan ditujukan untuk : (1) meningkatkan pertumbuhan
perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan
perekonomian; (2) mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai
pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang
adil, makmur, dan sejahtera; (3) mewujudkan sistem perpajakan yang lebih
berkeadilan dan berkepastian hukum; (4) melaksanakan reformasi
administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis
perpajakan; dan (5) meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak

13
DAFTAR PUSTAKA

https://publika.rmol.id/read/2021/10/07/507179/harmonisasi-peraturan-
perpajakan
https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/ini-aturan-baru-pph-dan-ppn-
dalam-ruu-harmonisasi-peraturan-perpajakan/
https://mucglobal.com/id/news/2611/poin-penting-harmonisasi-peraturan-
perpajakan

14

Anda mungkin juga menyukai