Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH

PAJAK PENGHASILAN DAN PENGHITUNGANNYA

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perpajakan Di Kelas MHU-6A

Dosen Pengampu:

EDI HASKAR SH. MH

Disusun oleh Kelompok 2:

Moh. Fikri 3620017


Salsa Nabilla 3620018
Adelisma Sari 3620059
Nayla Mariska 3620079

JURUSAN MANAJEMEN HAJI DAN UMROH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS SJECH M. DJAMIL DJAMBEK
BUKITTINGGI
T.A 2022-2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji dan syukur kehadiran Allah SWT. karena rahmad, taufik, hidayah,
dan inayahnya. Makalah Perpajakan ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah
kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan seluruh orang yang senantiasa mengikuti
sunnah beliau.
Makalah Pajak Penghasilan dan Penghitungan ini dibuat berdasarkan kepada panduan dan
Garis-garis Besar program pengajaran yang di berikan oleh Universitas Islam Negeri Sjech M. Djamil
Djambek Bukittinggi.
Juga kami sampaikan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu didalam penyusunan
materi kuliah ini kami ucapkan terimakasih, karena tanpa arahan, bimbingan dan motivasi yang di
berikan, tentunya belum bisa tersaji ke pada para pembaca, walaupun tidak bisa kani sebutkan namanya
satu persatu.
Akhir kata, sebagai karya Pajak Penghasilan dan Penghitungan yang baik tentunya
memerlukan sebuah celah untuk menyempurnakan materi kedepan, untuk ini kami dengan segala
kerendahan hati menerima masukan demi maksud di atas demi peningkatan dan penyempurnaan dalam
makalah dan pembelajaran ini.

Bukittinggi, 8 Maret 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i


DAFTAR ISI................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG ......................................................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH ..................................................................................................... 3
C. TUJUAN PENULISAN ....................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................................ 1
A. PENGERTIAN PAJAK PENGHASILAN .......................................................................... 1
B. PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN CARA PENGHITUNGANNYA .................. 2
C. PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 DAN CARA PENGHITUNGANNYA ................ 11
D. PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 DAN CARA PENGHITUNGANNYA ................ 25
E. PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 DAN CARA PENGHITUNGANNYA ................ 29
BAB III PENUTUP ...................................................................................................................... 36
A. KESIMPULAN .................................................................................................................. 36
B. SARAN .............................................................................................................................. 36
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pajak penghasilan merupakan pajak yang dipungut kepada obyek pajak atas penghsilan
yang diperolehnya. PPh akan selalu dikenakan terhadap orang atau badan usaha selaku wajib pajak
yang memperoleh penghasilan. Setiap perusahaan jasa maupun non jasa sebagai wajib pajak
diwajibkan untuk membayar pajak. Bagi perusahaan, pajak merupakan sumber pengeluaran (cash
disbursment) tanpa adanya imbalan langsung untuk perusahaan tersebut. Sehingga biasanya
banyak perusahaan melakukan upaya untuk membayar pajak terutangnya sekecil mungkin selama
hal tersebut memungkinkan pada hakekatnya perpajakan di Indonesia di tetapkan berdasarkan
undang-undang, hal ini merupakan pencerminan bagian dari pelaksanaan tonggak demokrasi
dalam hidup berbangsa dan bernegara. Dalam hubungan ini merupakan suatu realita negara yang
merdeka dan berdaulat. Sesuai perjalanan sejarah perpajakan nasional di Indonesia, tak dapat
dipungkiri bahwa dalam penyusunan kerangka acuan perubahan undang-undang dan peraturan
perpajakan sebagian besar bersumber dari sistem perpajakan warisan kolonial penjajah, terutama
ketika negara Republik Indonesia baru terbentuk. Dalam beberapa dekade terakhir ini perubahan
tersebut telah banyak mengalami perubahan yang bersumber dari sistem perpajakan negara lain.

Dalam teori ekonomi klasik yang kini masih relevan diterapkan di berbagai negara
menyebutkan bahwa : “salah satu sumber penerimaan negara ialah dari sektor pajak.” Pernyataan
ini tertuang di dalam naskah Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23 ayat 2 yang berbunyi sebagai
berikut : “segala pajak dipungut berdasarkan undang-undang demi kepentingan negara dan
ditunjukan kesejahteraan rakyat”.

Pajak adalah salah satu alat yang digunakan pemerintah didalam mencapai tujuan untuk
mendapatkan penerimaan baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari masyarakat,
untuk itu diperlukan adanya kesadaran dari masyarakat akan kewajiban pajaknya karena pajak
yang dikumpul digunakan untuk kepentingan dan membiayai pengeluaran rutin serta
pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat.

1
Pajak merupakan fenomena umum sebagai sumber penerimaan negara yang berlaku di
berbagai negara. Tiap negara membuat aturan dan dalam mengenakkan dan memungut pajak di
negaranya. Bagi Indonesia, penerimaan pajak sangat besar perannya dalam mengamankan
anggaran negara dalam APBN setiap tahun. Kondisi itu tercapai ketika harga minyak bumi
berfluktuasi di pasar internasional dalam kurun waktu yang relatif panjang pada awal dekade 1980-
an. Fluktuasi harga tersebut telah membuat struktur penerimaan negara yang saat itu sangat
mengandalkan penerimaan dari minyak bumi dan gas (migas) tidak bisa diandalkan lagi untuk
kesinambungannya. Dari aspek budgeting, bila penerimaan andalan dari migas tetap di
pertahankan, maka akan merusak tatanan atau struktur penerimaan negara di APBN. Akibatnya,
pembangunan nasional yang telah dilaksanakan dan diprogramkan diberbagai bidang, dan
membutuhkan biaya saat itu, bisa saja tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana (program
pembangunan).

Sumber penerimaan negara dari sektor pajak ada banyak macamnya. Salah satu adalah
pajak penghasilan badan, yaitu pajak penghasilan yang dikenakan kepada sebuah badan usaha atas
penghasilan dan laba usahannya baik dalam negeri maupun pendapatan diluar negeri. Salah satu
kewajiban wajib pajak khususnya wajib pajak adalah menyelenggarakan pembukuan sebagai suatu
proses yang dilakukan secara teratur untuk menyusun laporan keuangan. Sumber penerimaan
negara dari sektor pajak ada banyak macamnya. Salah satu adalah pajak penghasilan badan, yaitu
pajak penghasilan yang dikenakan kepada sebuah badan usaha atas penghasilan dan laba
usahannya baik dalam negeri maupun pendapatan diluar negeri. Salah satu kewajiban wajib pajak
khususnya wajib pajak adalah menyelenggarakan pembukuan sebagai suatu proses yang dilakukan
secara teratur untuk menyusun laporan keuangan. Dalam rangka menyukseskan pembangunan
nasional, peranan penerimaan pajak sangat penting dan mempunyai kedudukan yang strategis.
Tidak mungkin pemerintah dapat mengerakkan roda pemerintahan dan pembangunan nasional
tanpa adanya dukungan dana, terutama yang bersumber dari penerimaan pajak. Oleh sebab itu
setiap tahun penerimaan pajak senantiasa diupayakan untuk terus meningkat. Ada tiga unsur yang
menentukan penerimaan pajak, yakni undang-undang perpajakan yang tepat, kepatuhan serta
kesadaran dari Wajib Pajak dan aparat perpajakan yang cakap dan bersih.

2
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu Pajak Penghasilan?
2. Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Cara Penghitungannya.
3. Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Cara Penghitungannya.
4. Pajak Penghasilan Pasal 23 dan Cara Penghitungannya.
5. Pajak Penghasilan Pasal 26 dan Cara Penghitungannya.

C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui Pengertian Pajak Penghasilan.
2. Mengetahui tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Cara Penghitungannya.
3. Mengetahui tentang Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Cara Penghitungannya.
4. Mengetahui tentang Pajak Penghasilan Pasal 23 dan Cara Penghitungannya.
5. Mengetahui tentang Pajak Penghasilan Pasal 26 dan Cara Penghitungannya.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PAJAK PENGHASILAN


Pajak Penghasilan adalah Pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan
dan badan, berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun
pajak. Ditinjau dari segi sejarahnya, pajak sudah ada sejak jaman dahulu kala yang saat itu
pemberiannya sukarela dari rakyat kepada rajanya. Pada mulanya pajak merupakan suatu upeti
(pemberian secara cuma-cuma) namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat
dipaksakan yang harus dilaksanakan oleh rakyat (masyarakat) kepada seorang raja atau penguasa.
Saat itu, rakyat memberikan upetinya kepada raja atau penguasa berbentuk natura berupa padi,
ternak, atau hasil tanaman lainnya seperti pisang, kelapa, dan lain-lain. Pemberian yang dilakukan
rakyat saat itu digunakan untuk keperluan atau kepentingan raja atau penguasa setempat dan tidak
ada imbalan atau prestasi yang dikembalikan kepada rakyat karena memang sifatnya hanya untuk
kepentingan sepihak dan seolah-olah ada tekanan secara psikologis karena kedudukan raja yang
lebih tinggi status sosialnya dibandingkan rakyat.

Pajak menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah


disempurnakan terakhir dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan
tata cara perpajakan adalah“kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapat timbal balik
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”.

1
B. PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN CARA PENGHITUNGANNYA
a. WAJIB PAJAK PPh Pasal 21

Penerima pengehasilan yang dipotong PPh pasal 21 adalah orang pribadi yang merupakan:

a. Pegawai;
b. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau
jaminan hari tua, termasuk ahli waris.
c. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
pemberian jasa, meliputi:
• Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penulisa dan aktuaris.
• Pemain music, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, crew film, dan seniman lainnya.
• olahragawan.
• Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator.
• Pengarang, peneliti, dan penerjemah.
• Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, computer dan sistem aplikasi
lainnya.
• Agen iklan.
• Pengawas atau pengelola proyek.
• Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yangn menjadi perantara.
• Petugas penjaja barang dagangan.
• Petugas dinas luar asuransi.
• Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis
lainnya.
d. Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai
tetap pada perusahaan yang sama.
e. Mantan pegawai.
f. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
keikutsertaan dalm suatu kegiatan antaralain;

2
• Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olahraga, seni,
ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan perlombaan lainnya.
• Peserta rapat, konverensi, sidang, pertemuan atau kunjungan kerja.
• Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggaraan kegiatan
tertentu.
• Peserta Pendidikan dan penelitian.
• Peserta kegiatan lainnya.

b. Bukan Wajib Pajak PPh pasal 21


Tidak termasuk dalam pengertian penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 21
adalah:
a. Pejabat perwakilan diplomatic dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan
orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat
tinggal Bersama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia
tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain diluar jabatan atau pekerjaannya
tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbale balik.
b. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang telah ditetapkan oleh Menteri
Keungan, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalakan usaha
atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

c. Pemotong PPh pasal 21


Pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau
diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri, wajib pajak dilakukan oleh:
a. Pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran
lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai
atau bukan pegawai.
b. Bendaharawan pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain, sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.
c. Dana pensiun atau badan lain yang mebayarkan uang pensiun dan pembayaran lain
dengan nama apapun dalam rangka pensiun.

3
d. Badan yang membayar honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain.
e. Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat
nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadis serta Lembaga lainnya
yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau
penghargaan dalam bentuk apapun kepada wajib pajak orang pribadi berkenaan
dengan suatu kegiatan.

d. Bukan Pemotong PPh pasal 21


Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan
pelaporan pajak adalah:
a. Kantor perwakilan negara asing.
b. Organisasi-organisasi internasional yang dikecualikan dari subjek pajak.
c. Pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
yang semata-mata memperkerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah
tangga atau pekerjaan bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas.
e. Objek PPh pasal 21
Penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 adalah:
a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang
bersifat terartur maupun tidak teratur.
b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang
pensiun atang penghasilan sejenisnya.
c. Penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau
jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus, yang pembayarannya melewati jangka
waktu 2 tahun sejak pegawai berhenti bekerja.
d. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah
mingguan, upah satuan, upah Borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan.
e. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan
imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan
sehubungan jasa yang dilakukan.

4
f. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang
rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk papun
yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri, dan imbalan sejenis
dengan nama apapun.
g. Penghasilan berupa honorarium atau imbalan bersifat tidak teratur yang diterima atau
diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap
sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama.
h. Penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain yang
bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai; atau
i. Penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih
berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan.

Penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura
dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh:

a. Wajib pajak yang dikenakan PPh yang bersifat final; atau


b. Wajib pajak yang dikenakakn PPh berdasarkan norma penghitung khusus (deemed
profit).

Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi subjek pajak dalam negeru
merupakan penghasilan yang dipotong PPh pasal 21. Apabila penghasilan diterima atau
diperoleh dalam mata uang asing, maka penghitungan PPh pasal 21 didasarkan pada nilai
tukar (kurs) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran
penghasilan tersebut atau pada saat dibebankan sebagai biaya.

Penghitungan PPh pasal 21 atas penghasilan berupa penerimaan dalam bentuk natura
dan/atau kenikmatan lainnya didasarkan pada harga pasar atas barang yang diberikan atau
nilai wajar atas pemberian natura dan/atau kenikmatan yang diberikan.

f. Bukan Objek PPh pasal 21


Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 adalah:

5
a. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi beasiswa;
b. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun yang
diberikan oleh wajib pajak atau pemerintah, kecuali penghasilan dalam bentuk natura
dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan
oleh wajib pajak yang dikenakan PPh yang bersifat final atau wajiib pajak yang
dikenakan PPh berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit);
c. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua kepada badan penyelenggara
tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan social tenaga kerja yang dibayar
oleh pemberi kerja;
d. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau Lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang
pribadi yang berhak dari Lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak bersangkutan;
e. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu.

PPh yang ditanggung oleh pemberi kerja, termasuk yang ditanggung oleh Pemerintah,
merupakan penerimaan dalam bentuk kenikmatan.

g. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)


Besarnya PTKP per tahun adalah sebagai berikut:
a. Rp. 24.300.000,00 untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp. 2.025.000,00 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp. 2.025.000,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga
semenda dalam garis keturunan lurus anak angkat, yang menjadi tanggungan
sepenuhnya, paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga.
PTPKP per bulan adalah PTKP per tahun yang dibagi 12, sebesar;
a. Rp. 2.025.000,00 untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;

6
b. Rp. 168.750,00 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp. 168.750,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga
semenda dalam garis keturunan lurus anak angkat, yang menjadi tanggungan
sepenuhnya, paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga.

Besarnya PTKP bagi karyawati berlaku ketentuan sebagai berikut:

a. Bagi karyawati kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri;


b. Bagi karyawati tidak kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP
untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.

Apabila karyawati kawin dapat menunjukkan keterangan tertulis dari pemerintah


daerah setempat serendah-rendahnya kecamatan yang menyatakan bahwa suaminya
tidak menerima atau memperoleh penghasilan, maka besarnya PTKP adalah PTKP
untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk status kawin dan PTKP untuk keluarga
yang menjadi tanggungan sepenuhnya.

Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun kalender. Akan
tetapi, bagi pegawai yang bary datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun
kalender, besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian
tahun kalender yang bersangkutan.

h. Dasar Pengenaan dan Pemotongan PPh 21


Dasar pengenaan dan pemotongan PPh pasal 21 adalah sebagai berikut:

Penerima Penghasilan Dasar Pengenaan dan Pemotongan


Pegawai Tetap Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan
Neto dikurangi PTKP
Penerima pensiun berkala Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan
Neto dikurangi PTKP
Pegawai Tidak Tetap yang penghasilannya dibayar Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan
secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan Bruto dikurangi PTKP
yang diterima dalam 1 bulan kalender telah melebihi
Rp. 2.025.000,00

7
Bukan pegawai yang menerima imbalan yang Penghasilan Kena Pajak = 50% dari
bersifat berkesinambungan jumlah Penghasilan Bruto dikurangi
PTKP per bulan
Pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang Jumlah penghasilan yang melebihi Rp.
menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan 200.000,00 sehari
atau upah borongan, sepanjang penghasilan
kumulatif yang diterima dalam 1 bulan kalender
belum melebihi Rp. 20.025.000,00
Bukan pegawai yang menerima imbalan yang tidak 50% dari jumlah Penghasilan Bruto
bersifat berkesinambungan
Penerima penghasilan selain yang telah disebutkan Jumlah Penghasilan Bruto
diatas

Jumlah peghasilan bruto yang diterima atau diperoleh penerima penghasilan yang dipotong
PPh Pasal 21 adalah seluruh jumlah yang diterima atau diperoleh dalam satu periode atau
pada saat dibayarkan.
PENGHASILAN BRUTO DAN PTKP BUKAN PEGAWAI
Apabila bukan pegawai memberikan jasa kepada pemotong PPh pasal 21 dengan:
a. Mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya, maka besarnya jumlah penghasilan
bruto adalah sebesar jumlah pembayaran setelah dikurangi dengan bagian gaji atau
upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut, kecuali apabila dalam
kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan bagian gaji atau upah dari pegawai yang
dipekerjakan tersebut maka besarnya penghasilan bruto tersebut adalah sebesar jumlah
yang dibayarkan.
b. Melakukan penyerahan material atau barang, maka besarnya jumlah penghasilan bruto
hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak
dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material atau barang maka besarnya
penghasilan bruto tersebut termasuk pemberian jasadan material atau barang.

Penerima penghasilan bukan pegawai dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP


sepanjang yang bersangkutan telah mempunyai NPWP dan hanya memperoleh
penghasilan dari hubungan kerja dengan satu pemotong PPh pasal 21 serta tidak
memperoleh penghasilan lainnya. Untuk dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP
8
tersebut, penrima penghasilan bukan pegawai harus menyerahakan untuk 1 tahun pajak
maka kelebihan PPh pasal 21 yang dipotong tersebut dikembalikan bersamaan dengan
pemberian bukti pemotongan PPh pasal 21, paling lambat akhir bulan berikutnya setelah
berhenti bekerja.

i. Tarif Pemotongan Pajak dan Penerapannya


Tarif pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, yang biasa disebut sebagai tarif
umum, adalah:

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak


sampai dengan Rp 50.000.000,00 5%
diatas Rp 50.000.000,00 s/d Rp 250.000.000,00 15%
diatas Rp 250.000.000,00 s/d Rp 500.000.000,00 25%
diatas Rp 500.000.000,00 30%

TARIF BAGI PEGAWAI TETAP, PENERIMA PENSIUN BERKALA, DAN


PEGAWAI TIDAK TETAP/TENAGA LEPAS
Tarif umum yang diterapkan atas PKP dari:
a. Pegawai tetap;
b. Penerima pensiun berkala yang dibayarkan secara bulanan;
c. Pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang dibayarkan secara bulanan.

Untuk perhitungan PPh pasal 21 yang harus dipotong setiap masa pajak, kecuali masa pajak
terakhir, tarif diterapkan atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 tahun,
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Perkiraan atas penghasilan yang bersifat teratur = jumlah penghasilan teratur dalam 1
bulan dikalikan 12;
b. Dalam hal terdapat tambahan penghasilan yang tidak teratur, maka perkiraan
penghasilan yang akan diperoleh selama 1 tahun = jumlah penghasilan teratur dalam 1
bulan dikalikan 12 ditambah jumlah penghasilan yang bersifat teratur.

Jumlah PPh pasal 21 yang harus dipotong untuk setiap masa pajak tersebut adalah:

9
a. Atas penghasilan yang bersifat teratur = PPh terutang atas jumlah penghasilan teratur
dalam 1 bulan dikalikan 12 dibagi 12.
b. Atas penghasilan yang tidak teratur = selisih antara PPh terutang atas jumlah
penghasilan teratur dan jumlah penghasilan yang bersifat tidak teratur dengan PPh
terutang atas jumlah penghasilan teratur dalam 1 bulan dikalikan 12.

TARIF PEMOTONGAN PPh PASAL 21 BAGI PENERIMA PENGHASILAN


YANG TIDAK MEMPUNYAI NPWP
Bagi penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 yang tidak memiliki NPWP,
dikenakan pemotongan PPh pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% daripada tarif yang
ditetapkan terhadap wajib pajak yang memilki NPWP. Jumlah PPh pasal 21 yang
dipotong adalah sebesar 120% dari jumlah PPh pasal yang seharusnya dipotong apabila
yang bersangkutan memiliki NPWP. Pemotong PPh pasal 21 tersebut hanya berlaku
untuk pemotongan PPh pasal 21 yang bersifat tidak final.
Contoh:
PKP sebesar Rp 75.000.000,00
PPh yang harus dipotong bagi wajib pajak yang memiliki NPWP adalah:
5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15%x Rp 25.000.000,00= Rp 3.750.000,00 +
Jumlah Rp 6.250.000,00
PPh yang harus dipotong jika wajib pajak tidak memiliki NPWP adalah:
5% x 120% x Rp 50.000.000,00= Rp 3.000.000,00
15% x 120% x Rp 25.000.000,00= Rp 4.500.000,00 +
Jumlah Rp 7.500.000,00

j. Contoh Penghitungan PPh pasal 21 Atas Gaji


Gaji setahun (12 x Rp 3.000.000,00) Rp 36.000.000,00
Premi Asuransi Kecelakaan Kerja (12 x Rp 40.000,00) Rp 480.000,00
Premi Asuransi Kematian (12 x Rp 20.000,00) Rp 240.000,00 +
Jumlah Rp 36.720.000,00

10
Pengurangan
Biaya jabatan 5% x Rp 36.720.000,00= Rp 1.836.000,00
Maksimal = Rp 6.000.000,00 (Rp 1.836.000,00)
Iuran Pensiun 12 x Rp 100.000,00 = (Rp 1.200.000,00)
Iuran THT 12 x RP 12.000,00 = (Rp 144.000,00) +
Penghasil Neto setahun Rp 33.540.000,00
PTKP
Diri WP (Rp 24.300.000,00) +
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp 9.240.000,00
PPh pasal 21 terutang 5% x Rp 9.240.000,00 = Rp 462.000,00

C. PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 DAN CARA PENGHITUNGANNYA

a. Pemungut dan Objek PPh Pasal 22

Pemungut dan objek pajak penghasilan pasal 22 adalah :

a. Bank Devisa dan Direktoran Jendaral bead dan Cukai atas impor barang;
b. Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut
pajak pada pemerintah pusat, Pemuda, instansi atau lembaga Pemerintah dan
lembanga – lembanga Negara lainya yang melakukan pembayaran atas pembelian
barang.
c. Bendahara pengeluaran yang melakukan pembayaran atas pembelian barang yang
dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP).
d. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit surat perintah membayaran
yang diberikan delegesi oleh KPA yang melakukan pembayran langsung.
e. Badan Usaha Milik Negara yang meliputi:
1) PT Pertamina (persero) Tbk, PT Perusahaan Listrik Negara , PT Perusahaan
Gas Negara Tbk, PT Telekomunikasi Indonesia, PT Garuda Indonesia, PT

11
Pembangunan Perumahan ,PT Wijaya karya, PT Adhi karya, PT Hutama
Karya, PT Krakatau Steel, dan karya, PT Hutaman Karya.
2) Bank- Bank Badan Usaha Milik Negara

Yang melakukan pembayaran atas pembelian barang atau bahan-bahan untuk keperluan
kegiatan usahanya.

a. Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas,
industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi yang melakukan penjualan hasil
produknya.
b. Agen Tunggal Pemengang Merek (ATPM), Agen Pemengang Merek (APM), dan
importer umum kendaraan bermotor yang melakukan penjualan kendaraan bermotor di
dalam negeri.
c. Produsen atau importer bahan bakar minyak , bahan bakar gas, dan pelumas yang
melakukan penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas.
d. Industri dan ekspor yang bergerak dalam sektor
kehutanan,perkebunan,pertanian,perternakandan pemakaian yang melakukan
pembelian bahan-bahan dari pedangang pengumpulan untuk keperluan industrinya atau
ekspornya.

Badan yang bergerak dalam bidang usaha industri baja sebagaimana dimaksud pada poin
6 adalah industri baja yang merupakan industri hulu,termasuk industri hulu yang terintegrasi
dengan industri dengan dan industri hilir. Sedangkan distributor adalah pedangang,yang
meliputi badan atau orang pribadi yang melakukan pembelian dari produsen secara langsung
untuk dijual dan/atau dipasarkan kembali.
Pedangang pengumpulan sebagaimana dimaksud dalam poin 9 adalah badan atau orang
pribadi yang kegiatannya atau usahanya.
a. Mengumpulkan hasil kehutanan,perkebunan,perternakan,pertanian,dan perikanan.
b. Menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan eksportir yang bergerak dalam
sektor kehutanan,perkebunan,pertanian,perternakan,dan perikanan.
Penunjukan pemuat PPh pasal 22 tersebut di atas dilakukan tanpa penerbit surat keputusan
kepala KPP.

12
b. Bukan Objek PPh Pasal 22

Barang perwakilan Dikecualikan dari pemunguktan pph pasal 22 yaitu atas:

a. Impor barang dan/ atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangantidak teruntang pajak penghasilan. Pengecualian atas impor ini
dinyatakan dengan surat keterangan bebas pph pasal 22.
b. Impor barang yang di bebaskan dari pungutan Bea Masuk dan /atau pajak pertambahan
nilai, yaitu:
1) Barang perwakilan Negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di
Indonesia berdasarkan asas timbale balik.
2) Barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di
Indonesia dan tidak memengang paspor Indonesia yang diakui dan terdaftar dalam
peraturan mentri keungan yang mengatur tentang tata cara pemberian pembebasan
bea masuk dan cukai atas impor barang untuk keperluan badan internasional beserta
para pejabatnya yang bertugas di Indonesia.
3) Barang untuk keperluan museum, kebun binatang,konsevasi alam dan tempat yang
terbuka untuk umum.
4) Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.
5) Barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat.
6) Peti atau kemasan yang berisi jenaza atau abu jenaza.
7) Barang yang di impor oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang di
tujukan untuk kepentingan umum.
8) Persenjataan,amunisi dan perlengkapan militer.
9) Buku- buku pelajaran umum, kitab suci dan buku- buku pelajaran agama.

c. Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimasudkan untuk diekspor
kembali.
Ketentuan mengenai pengecualian dari pemungutan pph pasal 22 tersebut
dilaksanakan oleh Direktorat Jendral Bea Masuk dan Cukai yang tata caranya diatur

13
oleh Dikertur Jendral Bea dan Cukai dan / atau Direktur Jendral pajak. Pengecualian
pemungutan pph pasal 22 ini dilakukan tanpa surat keterangan bebas Bea dan Cukai.
d. Impor kembali(re- impor)
Meliputi barang –barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam
kulitas yang sama atau barang- barang yang telah diekspor untuk keperluan
perbaikan,pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang di tentukan oleh
Direktorat Jendral Bea dan Cukai. Pengecualikan pemungutan pph pasal 22 ini
dilakukan tanpa surat keterangan bebas (SKB).

e. Pembayaran
1) yang dilakukan oleh bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA),
2) bendahara pengeluaran, atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi
delegasi oleh KPA yang jumlahnya paling banyak Rp. 2.000.00.00 dan tidak
merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
3) Yang dilakukan oleh BUMN yang jumblahnya paling bayak Rp. 10.000.00,00 dan
tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
4) Pembayaran untuk:
a) pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas,benda-benda pos.
b) pemakaian air dan listrik.

f. Impor emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dan
emas untuk tujuan ekspor.
Pengecualian pemungutan pph pasal 22 tersebut di atas dinyatakan dengan Surat
Keterangan Bea bas pph pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur Jendral Pajak. SKB
tersebut diterbitkan oleh Kepala KPP atas nama Direktur Jendral Pajak. Wajib pajak
yang dapat mengajukan permohonan untuk diterbitkan SKB tersebut adalah Wajib
Pajak yang bergerak dalam bidang industri perhiasan emas untuk tujuan ekspor.
Permohonan untuk diterbitkan SKB diajuka secara tertulis kepada KPP tempat
wajib pajak terdaftar dengan menggunkan formuril yang telah ditentukan, permohonan
dilampiri dengan;

14
1) Laporan Realisasi Ekspor dan/ atau Impor pertanyaan Rincian Berat Emas, yang
melaksanakan jumblah ekspor perhiasan emas dan impor emas batangan yang
dilakukan pada tahun sebelumnya dengan mengunkan formulir yang telah di
tentukan.
2) Laporan Realiasisasi Ekspor dan/ atau Impor serta pernyataan perincian berat emas,
yang melaksanakan jumlah export perhiasan emas dan impor emas batangan yang
dilakukan dalam tahun berjalan dengan menggunakan formulir yang telah
ditentukan.
3) Pemberitahuan rencana ekspor perhiasan emas dan pemberitauan rencana impor
emas batangan ddengan menggunakan formulir yang telah ditentukan
4) Kepala kpp hanya dapat menerbitkan skb sepanjang wajib pajak telah memenuhi
persyaratan.
5) Telah menyampaikan spt tahunan pajak terakhir sebelum tahun diajukan
permohonan skb
6) Tidak mempunyai tunggakan pajak.

Apabila permohonan wajib pajak untuk diterbitkan SKB, kepala KPP harus
memberikan keputusan paling lama satu bulan sejak permohonan diterima lengkap.
Apabila dalam jangka waktu tersebut kepala KPP belum memberikan keputusan, maka
permohonan wajib pajak dianggap diterima.

Maka kepala KPP wajib menerbitkan SKB dalam jangka waktu dua hari kerja setelah
jangka waktu tersebut terlewati. Apabila permohonan wajib pajak untuk diterbitkan
SKB ditolak, maka kepala KPP harus menyampaikan pemebritahuan kepada wajib
pajak dengnan menggunakan formulir yang telah ditentukan.

Wajib pajak yang telah memperoleh SKB harus menyampaikan laporan realisasi
ekspor dan/atau laporan realisasi impor barang dan/atau pemberitahuan impor
barang/customs declaration atas ekspor perhiasan emas dan impor emas batangan yang
telah dilakukan dalam tahun perjalan.

g. pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana bantuan


operasional sekolah (bos)

15
c. Besar pungutan, saat terutang dan pelunasan PPH pasal 22

Objek pemungutan Besar pungutan Saaat terhutan dan


dilunasi

Impor barang ▪ Yang menggunakan Terhutang dan dilunaasi


angka pengguna impor bersamaan dengan
(API) sebesar 2,5% dari saat pembayaran
nilai impor, kecuali atas biaya masuk.
impor kedelai, gandum
dan tepung terigu sebesar
0,5%dari nilai impor.
▪ Yang tidak menggunakan
angka pengenal impor
(API) sebesar 7,5% dari
nilai impor
▪ Yang tidak dikuasai,
sebesar 7,5% dari harga
jual lelang
Pembayaran atas pembelian Sebesar 1,5% dari harga Terhutang dan dipungut
barang oleh pemerintah pembelian tidak pada saat
pusat, Pemerintah daerah, termasuk pajak pembayaran
instansi atau lembaga pertahanan nilai PPN
pemerintah dan lembaga
lembaga Negara lainnya.

Pembayaran atas pemberian Sebesar 1,5% dari harga Terhutang dan dipungut
barang yang dilakukan pembelian tidak pada saat
dengan mekanisme uang termasuk pajak pembayaran
persedian (UP) pertahanan nilai (PPN)

16
Pembayaran atas pembelian Sebesar 1,5% dari harga Terhutang dan dipungut
barang kepada pihak ke pembelian tidak pada saat
tiga yang dilakukan termasuk pajak pembayaran
dengan mekanisme pertahanan nilai (PPN)
pembayaran (LS)

Pembayaran atas pembelian Sebesar 1,5% dari harga Terhutang dan dipungut
barang dan/atau bahan pembelian tidak pada saat
bahan untuk keperluan termasuk pajak pembayaran
kegiatan usahanya pertahanan nilai (PPN)

Penjual hasil produksinya 1) Penjual semua jenis Terhutang dan dipungut


kepada distributor dalam semen sebesar 0,25% pada saat
negeri oleh badan usaha 2) Penjual kertas sebesar pembayaran
yang bergerak dalam 0,1%
bidang industri semen, 3) Pemjual baja sebesar
industri kertas, industri 0,3%
baja, industri otomotif dan 4) Penjual semua jenis
farmasi kendaraan bermotor
beroda dua atau lebih
sebesar 0,45%
5) Penjualan semua jenis
obat sebesar 0,3% dari
dasar pengenaan PPN
Penjualan kendaran bermotor 0,45% dari dasar pengenaan Terhutang dan dipungut
dalam negeri PPN pada saat
pembayaran

Penjual bahan bahan bakar 1) Bahan bakar minyak Terutang dan dipungut
minyak, bahan bakar gas besar pada saat
dan pelumas oleh a. 0,25% dari penjualan penerbitan surat
produsen atau importer tidak termasuk PPN pemerintah

17
bahan bakar minyak, untuk penjualan kepada pengeluaran barang
bahan bakar gas dan stasiun pengisian bahan (delivery order)
pelumas bakar umum pertamina
b. 0,3% dari penjualan tidak
termasuk PPN untuk
penjualan kepada stasiun
pengisian bahan bakar
umum bukan pertamina
c. 0,3% dari penjualan tidak
termasuk ppn untuk
penjualan kepada pihak
selain yang dimaksud
pada poin a dan b
2) Bahan bakar gas sebesar
0,3% dari penjualan tidak
termasuk PPN
3) Pelunasan sebesar 0,3%
dari penjualan tidak
termasuk PPN
Pembelian bahan bahan dari 0,25% dari harga pembelian Terhutang dan dipungut
pedagang pengumpul tidak termasuk PPN pada saat
untuk keperluan pembelian
industrinya atau
ekspornya

Penjualan barang sangat mewah 5% daqri harga jual tidak Terhutang dan dipungut
termasuk PPN dan pada saat
▪ Pesawat udara pribadi
PPnBM penjualan.
dengan harga jual lebih
dari
RP.20.000.000.000.00

18
▪ Kapal pesiar dan
sejenisnya dengan harga
jual lebih dari
RP.10.000.000,000.00
▪ Rumah beserta tanahnya,
dengan harga jual atau
pengahlian dari
RP.10.000.000.000,00 dan
luas bangunan lebih dari
500 m2
▪ Apartemen, kondominium
dan sejenisnya dengan
harga jual atau harga
pengahliannya lebih dari
rp. 10.000.000.000,00
dan/atau luas bangunan
lebih dari 400 m2
▪ Kendaraan bermotor roda
empat pengangkutan
orang kurang lebih 10
orang sedan, jepp, sport
utility vehicle (SUV)
multi puporse harga jual
lebih dari
RP.5.000.000.000,00 dan
kapasitas silinder lebih
dari 300 cc

PT Baja Putih adalah perusahaan yang memproduksi baja baik dalam bentuk produk hulu
maupun hilir. Pada tanggal 9 Oktober 2013, PT Baja Putih menjual tiang baja kepada PT
jembatan Emas dalam rangka pembangunan jembatan senilai Rp30.000.000.000,00.

19
Di bulan November 2013 ternyata ditemukan ada sebagian tiang baja yang tidak
memenuhi spesifikasi teknis yang diminta, sehingga PT Jembatan Emas mengembalikan (retur)
tiang-tiang baja tersebut seni lai Rp5.000.000.000,00. PT Baja Putih telah ditunjuk oleh Kepala
KPP sebagai pemungut PPh Pasal 22

Oleh karena PT Baja Putih ditunjuk oleh Kepala KPP sebagai pemungut PPh Pasal 22,
maka PT Baja Putih wajib memungut PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksinya di dalam
negeri. PT Baja Putih memungut PPh Pasal 22 atas penjualan baja tersebut sebesar = 0,3% x
Rp30.000.000.000,00 = Rp 90.000.000,00.

Pada saat terjadi pengembalian barang hasil produksi yang dibeli dari PT Baja Putih
setelah bulan ter jadinya pembelian, PT Jembatan Emas selaku pembeli membuat dan
menyampaikan nota retur kepad PT Baja Indonesia. Nota retur tersebut harus dibuat dalam
masa pajak terjadinya pengembalian barang hasil produksi. PT Baja Putih wajib mengurangkan
PPh Pasal 22 yang harus dipungutnya dari total transaksi penjualan baja dibulan November
2013 sebesar =0,3% x 5.000.000.000,00 = Rp15.000.000,00.

Dengan demikian, apabila total PPh Pasal 22 yang harus dipungut atas transaksi selama
bulan November 2013 adalah Rp700.000.000,00, maka PPh Pasal 22 yang wajib disetor oleh
PT Baja Putih untuk pajak November 2013 adalah Rp685.000.000,00 (Rp700.000.000,00-
Rp.15.000.000,00).

d. Penyetoran PPh Pasal 22


a. Pemungutan PPh Pasal 22 atas impor barang dilaksanakan dengan cara penyetoran
oleh:
1) importir yang bersangkutan; atau
2) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,

ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan.

b. Pemungutan PPh Pasal 22 oleh bendahara pemerintah dan KPA, bendahara


pengeluaran, atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh
KPA, wajib disetor oleh pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau

20
bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak
(SSP) yang telah diisi atas nama rekanan serta ditandatangani oleh pemungut pajak.
c. Pemungutan PPh Pasal 22 oleh BUMN; badan usaha yang bergerak dalam bidang
usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri
farmasi; ATPM, APM, dan importir umum kendaraan bermotor; produsen atau
importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas; dan industri dan eksportir
yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan
perikanan, wajib disetor oleh pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa,
atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan SSP.
d. Penyetoran PPh Pasal 22 oleh importir, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta
bendahara pe- merintah dan KPA, bendahara pengeluaran, atau pejabat penerbit Surat
Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh KPA, dilakukan dengan menggunakan
formulir SSP yang berlaku sebagai Bukti Pemungutan Pajak.
e. Pemungut pajak seperti BUMN; badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha
industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi;
ATPM, APM, dan importir umum kendaraan bermotor; produsen atau importir bahan
bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas; dan industri dan eksportir yang bergerak
dalam sektor kehutanan, perkebunan, perta- nian, peternakan, dan perikanan, wajib
menerbitkan Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 dalam rang- kap 3, yaitu:
1) lembar kesatu untuk Wajib Pajak yang dipungut;
2) lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada KPP (dilampirkan pada
SPT Masa PPh Pasal 22); dan
3) lembar ketiga sebagai arsip pemungut pajak bersangkutan.

Terhadap pemungut PPh Pasal 22 seperti badan usaha yang bergerak dalam bidang
usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi;
ATPM, APM, dan importir umum kendaraan bermotor; produsen atau importir bahan
bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas; dan industri dan eksportir yang bergerak
dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, yang telah
diterbitkan surat keputusan penunjukan pemungut PPh Pasal 22, tetap melakukan
pemungutan PPh Pasal 22.

21
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta bendahara pemerintah dan KPA; bendahara
penge- luaran; pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh KPA;
BUMN; badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas,
industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi; ATPM, APM, dan importir umum
kendaraan bermotor; produse atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan
pelumas; dan industri dan eksportir yan bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan,
pertanian, peternakan, dan perikanan, wajil melaporkan hasil pemungutannya dengan
menggunakan SPT Masa ke KPP.

Pemungutan PPh Pasal 22 oleh:

a. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang,
b. bendahara pemerintah dan KPA sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga negara
lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang
c. Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang
dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP)
d. KPA atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh KPA,
berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang
dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS)
e. Badan Usaha Milik Negara
f. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri
baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada
distributor di dalam negeri
g. ATPM, APM, dan importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan
bermotor di dalam negeri
h. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul
untuk keperluan industrinya atau ekspornya bersifat tidak final dan dapat
diperhitungkan sebagai pembayaran PPh dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang
dipungut. Pemungutan PPh Pasal 22 oleh produsen atau importir bahan bakar minyak,

22
bahan bakar gas, dan pelumas, atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas,
dan pelumas atas penjualan kepada:
1) penyalur/agen bersifat final
2) selain penyalur/agen bersifat tidak final.

Tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak serta jatuh tempo penyampaian
SPT Masa PPh Pasal 22 disajikan dalam tabel berikut ini.

e. Contoh Perhitungan PPh Pasal 22 Impor


a. PT ARVA mempunyai API mengimpor buldozer dengan L/C dengan total nilai impor
US$ 5.000,00. Bea Masuknya 0%. Kurs ditetapkan Menkeu adalah US$ Rp 10.000,00.
PT.ARVA melunasi PPh pasal 22 Impor sebesar (US$ 5.000,00 x Rp 10.000,00) x
2,5% = Rp 1.250.000.
b. PPh pasal 22 disetor ke kas negara melalui Bank Devisa atau Kantor Pos dengan
menggunakan SSP bersamaan dengan pembayaran Bea Masuk atau bersamaan dengan
pengurusan PIB (Pemberitahuan Impor Barang). Berdasarkan bukti SSP tersebut bank
devisa melengkapi dokumen impor lainnya untuk diurus ke Bea Cukai supaya Bea
Cukai bisa mengeluarkan buldozer tersebut dari gudang Bea Cukai di pelabuhan.
c. PPh pasal 22 Impor itu menjadi PPh yang dibayar dimuka oleh PT ARAVA Pada akhir
tahun pajak, pada waktu PT ARVA menghitung PPh Tahunannya, Yaitu PPh Badan,
PPh pasal 22 Impor yang tercantum dalam SSP itu menjadi kredit pajak.
d. Zabila mengimpor mesin cetak dari USA seharga US$ 700,00 termasuk Bea Masuk
untuk dijual di Indonesia. Kurs menurut Keputusan Menteri Keuangan yang berlaku
pada waktu pengimporan tersebut adalah US$ 1 = Rp 10.000,00.
e. PPh pasal 22 = (US$ 700,00 x Rp Rp 10.000,00) x 7,5% = Rp 525.000,00.

f. PT QQ adalah Importir Lampu hias yang tidak memiliki API. Pada bulan Februari
melakukan import barang dari Italia dengan harga faktur US$ 150.000. Biaya Asuransi
yang dibayar di Luar Negeri dan Biaya Angkut dari Italia ke daerah Pabean (Indonesia)
masing-masing sebesar Rp. 3% dan 4% dari harga Faktur. Tarif Bea Masuk dan Bea
Masuk Tambahan masing-masing sebesar 10% dan 20% dari CIF. Kurs yang

23
ditetapkan oleh menteri Keuangan pada saat itu adalah US$ 1 adalah Rp. 9.700.
Diminta Hitung PPh Pasal 22 atas impor lampu hias tersebut

Jawab:

a. Menentukan Nilai Import

Harga Faktur US$ 150.000 x Rp. 9.700 Rp. 1.455.000.000

Biaya Asuransi

3% x Rp. 1.455.000.000 Rp.43.650.000

Biaya Angkut

4% x Rp. 1.455.000.000 Rp.58.200.000 +

CIF Rp. 1.556.850.000

Bea Masuk 10% x Rp. 1.556.850.000 Rp. 155.685.000

Bea Masuk Tambahan Rp.311.370.000 +

20% x Rp. 1.556.850.000 Rp. 2.023.905.000

Nilai impor

b. Menghiitung PPh Pasal 22 Import

7,5% x RP.2.023.905.000= RP.151.792.875

24
D. PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 DAN CARA PENGHITUNGANNYA

a. Objek dan Tarif PPh Pasal 23


a. Sebesar 15% dari jumlah bruto atas:
1. Dividen, dengan dan bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
2. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
3. Royalti; dan
4. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh
oleh penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran yang sehubungan
pelaksanaan suatu kegiatan yang penerimanya adalah Wajib Pajak badan.

b. Sebesar 2% dari jumlah bruto atas:


1. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta (pengalihan
harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate,
dan persewaan tanah dan/atau bangunan) yang telah dikenai PPh bersifat final;
dan
2. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi,
jasa konsultan, dan jenis jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal
21.

❖ Contoh pemotongan PPh Pasal 23 antara lain sebagai berikut:


1. Jasa Penyediaan Tenaga Kerja
Pada bulan Maret 2013, PT Top Elektro yang memproduksi alat-alat listrik
meminta kepada PT Bersih Selalu sebagai perusahaan penyedia tenaga kerja
untuk pengadaan tenaga kebersihan seba- nyak 100 orang.
PT Top Elektro membayar kepada PT Bersih Selalu atas jasa penyediaan tenaga
kebersihan tersebut sebesar Rp60.000.000,00 dan dibayarkan pada tanggal 7
April 2013.

25
Pembayaran kepada PT Bersih Selalu atas penyediaan tenaga kerja untuk bagian
kebersihan yang dilakukan oleh PT Top Elektro merupakan pembayaran terkait
jasa penyediaan kerja yang atas pembayarannya dikenakan pemotongan PPh
Pasal 23 dengan tarif 2% dari jumlah bruto pem- bayaran. Besarnya
pemotongan PPh Pasal 23 atas pembayaran yang dilakukan pada tanggal 7 April
2013 sebesar = 2% x Rp60.000.000,00 = Rp 1.200.000,00.

2. Hadiah Perlombaan
PT Top Mart menjadi pemenang lomba "shop of the year" yang diselenggarakan
oleh Asosiasi Retail Indonesia dengan hadiah sebesar Rp 100.000.000,00.
Hadiah diserahkan tanggal 14 September 2013. Hadiah perlombaan yang
diterima oleh PT Top Mart merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 yang
wajib dilakukan pemotongan oleh Asosiasi Retail Indonesia. Besarnya
pemotongan PPh Pasal 23 adalah sebesar = 15% x Rp 100.000.000,00 = Rp
15.000.000,00.

b. Bukan Objek PPh Pasal 23


Pemotongan PPh Pasal 23 tidak dilakukan atas:

a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;


b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak
opsi;
c. dividen yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam
negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari
penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia dengan syarat:

26
1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah
yang meneri ma dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan
dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor
d. dividen yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri;
e. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
f. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya; dan
g. penghasilan berupa bunga atau imbalan lain yang dibayar atau terutang kepada badan
usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau
pembiayaan, termasuk yang menggunakan pembiayan berbasis syariah. Badan usaha
atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan
tersebut terdiri dari:
• perusahaan pembiayaan yang merupakan badan usaha di luar bank dan lembaga
keuangan bu- kan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang
termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan dan telah memperoleh ijin usaha
dari Menteri Keuangan;
• badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah yang khusus didirikan
untuk memberikan sarana pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi, termasuk PT (Persero) Nasional Madani.

c. PEMOTONG DAN PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPH 23


Pemotong PPh Pasal 23 meliputi:

a. badan pemerintah;
b. Subjek Pajak badan dalam negeri;
c. penyelenggara kegiatan
d. bentuk usaha tetap (BUT);
e. perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;

27
f. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal
Pajak.

d. Saat Terutang, Penyetoran, Dan Pelaporan PPh Pasal 23


PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran, disediakan untuk
dibayar, atau te- lah jatuh tempo pembayarannya, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih
dahulu. PPh atas hadiah dan penghargaan dipotong oleh penyelenggara sebelum hadiah atau
penghargaan diserahkan kepada yang berhak.

PPh Pasal 23 disetor oleh pemotong pajak dengan menggunakan SSP ke Bank Persepsi atau
Kantor Pos paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutang
pajak. SPT Masa disampaikan ke KPP setempat, paling lambat 20 hari setelah masa pajak
berakhir.

Apabila jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 23 bertepatan dengan
hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat
dilakukan pada hari kerja berikutnya.

e. Bukti Pemotongan PPh Pasal 23


Pemotong pajak harus memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada Wajib Pajak
Orang Pribadi atau badan yang telah dipotong PPh Pasal 23.

28
E. PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 DAN CARA PENGHITUNGANNYA

a. Penghasilan Yang Dipotong PPH Pasal 26

Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi Wajib Pajak Luar Negeri dapat
berupa:
1. Penghasilan yang bersumber dari modal dalam bentuk deviden, bunga termasuk
premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang royalti, dan sewa
serta penghasilan lain sehubung dengan penggunaan harta.
2. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, atau kegiatan.
3. Hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
4. Pensiun dan pembayaran berkala lainya.
5. Premi swap dan transaksi lindung nilai lainya.
6. Keuntungan karena pembebasan utang, yang diterima Wajib Pajak Luar Negeri selain
BUT.
7. Penghasilan dan penjualan atau pengalihan harta di Indonesia.
8. Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri.
9. Penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham.
b. Tarif Pemotongan Dan Dasar Pengenaan PPH Pasal 26
Tarif pemotongan dan dasar pengenaan PPH Pasal 26 dapat dilihat pada tabel berikut
ini:
Jenis Penghasilan Tarif Dasar Pengenaan Pajak

Deviden 20% Penghasilan broto

Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan20% Penghasilan broto


sehubungan dengan jaminan pengembalian
utang
Royalti, sewa dan penghasilan lain sehubungan20% Penghasilan broto
dengan penggunaan harta.
Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan20% Penghasilan broto
kegiatan.

29
Hadiah dan penghargaan 20% Penghasilan broto

Pensiun dan pembayaran berkala lainya. 20% Penghasilan broto

Premi swap dan transaksi lindung nilai lainya. 20% Penghasilan broto

Keuntungan karena pembebasan utang yang20% Penghasilan broto


diterima Wajib Pajak Luar Negeri selain bentuk
usaha tetap.
Penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta20% Perkiraan penghasilan neto
di Indonesia berupa perhiasan mewah, berlian, (25% dari harga jual)
emas, intan, jam tangan mewah, barang antik,
lukisan, mobil, motor, kapal pesiar, dan/atau
pesawat terbang ringan yang besarnya minimal
Rp. 10.000.000.00.
Premi asuransi yang dibayarkan kepada20% Perkiraan penghasilan neto
perusahaan asuransi luar negeri, termasuk premi
reasuransi.

Penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham.20% Perkiraan penghasilan neto


(25% dari harga jual)

Pada prinsipnya, tarif PPH Pasal 26 adalah sebesar 20% dan bersifat final diterapkan
atas penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh sebagi imbalan atas pekerjaan, jasa, atau
pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Wajib Pajak
luar negei, dengan memperhatikan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
(P3B) yang berlaku antara Republik Indonesia dengan Negara domisili Wajib Pajak luar
negeri tersebut. Ketentuan ini tidak diterapkan apabila Wajib Pajak luar negeri tersebut
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu BUT di Indonesia atau apabila
penghasilan dari penjualan harta tersebut telah dikenai pajak berdasarkan ketentuan Pasal 4
ayat (2).
PPH Pasal 26 tidak bersifat final terhadap:

30
1. Pomotongan atas penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang,
atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang
dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia.
2. Pemotongan penghasilan yang dikenakan PPH Pasal 26 yang diterima atau diperolah
kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan
harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut.
3. Pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan
luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha
tetap.
c. Pemotongan PPH Pasal 26
Dalam hal penghasilan atau pengalihan harta di Indonesia, pembeli yang ditunjuk
sebagai pemotong pajak adalah badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri,
penyelenggaraan kegiatan, BUT, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainya dan orang
pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang ditunjuk sebagai pemotong pajak.
Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang ditunjuk sebagai pemotong pajak
adalah:
1. Pengacara Akuntan, arsitek, Dokter, Konsultan, Notaris, Penilai, dan Akutaris, yang
melakukan pekerjaan bebas.
2. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.
d. Saat Terutang Dan Penyetoran PPH Pasal 26
Pemotongan PPH Pasal 26 Wajib:
1. Memotong PPH Pasal 26 yang terutang pada saat dilakukan pembayaran atau saat
terutangnya penghasilan, tergantung peristiwa mana yang terjadi lebih dahulu.
2. Menyetorkan PPH Pasal 26 dengan menggunakan nama Wajib Pajak Luar Negeri yang
menjual atau mengalihkan harta paling lama 10 bulan berikutnnya setelah bulan terjadinya
transaksi ke kas Negara melalui Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Mentri
Keuangan.
Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran bertepatan dengan hari libur termasuk hari
Sabtu atau hari libur nasional, maka saat penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya. Penyetoran PPH dilakukan dengan menggunakan SSP atau sarana administrasi
lain yang disamakan dengan SSP.

31
Pemotongan PPH Pasal 26 memberikan tanda bukti pemotongan kepada Wajib Pajak
Luar Negeri selain BUT yang dipotong PPH setiap melakukan pemotongan.
Pemotongan PPH Pasal 26 wajib melaporkan PPH Pasal 26 yang dipotong dengan SPT
Masa kepada KPP tempat Wajib Pajak terdaftar paling lama tanggal 20 bulan berikutnya.
Apabila tanggal jatuh tempo peloporan bertepatan dengan hari libut termasuk hari Sabtu atau
hari libur nasional, maka saat pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
e. Hak Dan Kewajiban Pemotongan PPH Pasal 26 Serta Penerima Penghasilan Yang Dipotong
Pajak
1. Pemotongan PPH Pasal 26 wajib mendaftar diri ke KPP sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
2. Pegawai, penerima pensiun berkala, serta bukan pegawai yang menerima imbalan yang
bersifat berkesinambungan wajib membuat surat pernyataan yang berisi jumlah
tanggungan keluarga pada awal tahun kalender atau pada saat mulai menjadi Subjek Pajak
dalam negeri sebagai dasar penentuan PTKP dan wajib menyerahkan kepada pemotong
PPH Pasal 26 pada saat mulai bekerja atau mulai pensiun.
3. Apabila terjadi perubahan tanggungan keluarga, maka pegawai, penerima pensiun berkala,
dan bukan pegawai yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan wajib
membuat surat pernyataan baru dan menyerahkan kepada pemotong PPH Pasal 26 paling
lama sebelum mulai tahun kalender berikutnya.
4. Pemotongan PPH Pasal 26 wajib menghitung memotong, menyetorkan, dan melaporkan
PPH Pasal 26 yang terutangn untuk setiap bulan kalender.
5. Pemotongan PPH Pasal 26 wajib membuat catatan atau kertas kerja perhitungan PPH
Pasal 26 untuk masing-masing penerima penghasilan, yang menjadi dasar pelaporan PPH
Pasal 26 yang terutang untuk setiap masa pajak dan wajib menyimpan catatan atau kertas
kerja perhitungan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
6. Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan pemotongan PPH Pasal 26 untuk setiap
bulan kalender tetap berlaku meskipun jumlah pajak yang dipotong pada bulan yang
bersangkutan nihil.
7. Apabila dalam suatu bulan terjadi kelebihan penyetoran pajak atas PPH Pasal 26 yang
terutang oleh pemotong PPH Pasal 26, maka kelebihan penyetoran tersebut dapat

32
diperhitungkan dengan PPH Pasal 26 yang terutang pada bulan berikutnya melalui SPT
Masa PPH Pasal 26.
8. Pemotong PPH Pasal 26 harus memberikan bukti pemotongan PPH Pasal 26 setiap kali
melakukan pemotongan.
9. Apabila dalam l bulan kalender, kepada satu penerima penghasilan dilakukan lebih dari l
kali pembayaran penghasilan, maka bukti pemotongan PPH Pasal 26 dapat dibuat sekali
untuk l bulan kalender.
10. PPH Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPH Pasal 26 untuk setiap masa pajak wajib
disetor ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Mentri Keuangan, paling lama 10 hari
setelah masa pajak berakhir.
11. Pemotongan PPH Pasal 26 wajib melaporkan pemotongan dan penyetoran PPH Pasal 26
untuk setiap masa pajak yang dilakukan mulai penyampaian SPT Masa PPH Pasal 26 ke
KPP tempat pemotong PPH Pasal26 terdaftar, paling lama 20 hari setelah masa pajak
berakhir.
12. Apabila tanggal jatuh tempo penyetoran PPH Pasal 26 dan batas waktu pelaporan PPH
Pasal 26 bertepatan dengan hari libur, termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, maka
penyetoran dan pelaporan PPH Pasal 26 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
f. Cara Penghitungan
Timbulnya utang PPH Pasal 26 ialah pada akhir dari bulan timbulnya penghasilan yang
menjadi objek PPH Pasal 26, atau pada akhir dari bulan dilakukanya pembayaran atau
terutangnnya penghasilan yang menjadi objek utang PPH Pasal 26, berdasarkan mana yang
terjadi lebih dahulu. Setelah timbulnya utang PPH Pasal 26, Pemotongan PPH Pasal 26
melakukan pemotongan PPH Pasal 26 dengan perhitungan sebagai berikut:
Jumlah bruto tanpa PPN x 20%, atau tariff menurun tax treaty
PPH Pasal 26 Dari perkiraan penghasilan neto
Perkiraan Tarif Efektif PPH
Penghasilan
Neto
• Premi asuransi yang dibayarkan
kepada perusahaan asuransi luar
negeri:

33
- Oleh tertanggung 50% 10%
- Oleh perusahaan asuransi 10% 2%
- Oleh perusahaan reasuransi 5% 1%
• Atas penghasilan (WP LN selain
BUT) dari penjualan saham di25% 5%
Indonesia
Prinsip pemotongan PPH Pasal 26
1. Jika antara Indonesia dengan Negara asing tidak memiliki tax treaty maka dikenakan PPH
Pasal 26 secara penuh (tariff 20%) atas semua pembayaran ke luar negeri.
2. Jika antara Indonesia dengan Negara asing terdapat tax treaty maka pembayaran
penghasilan usaha/pekerjaan bebas ke luar negeri menjadi bebas PPH Pasal 26 apabila:
a) Seluruh pekerjaan dilakukan diluar negeri. Jika ada sebagian kecil saja yang dilakukan
di Indonesia maka harus dipotong PPH Pasal 26.
b) Pekerjaan dilakukan di Indonesia tidak melebihi time test, kecuali jika pembayaran
dilakukan ke jerman, Luxembung, Swiss, dan Pakistan.
3. Jika antara Indonesia dengan Negara asing terdapat tax treaty maka pembayaran
penghasilan modal ke luar negeri dikenakan PPH Pasal 26 sesuai tariff tax treaty kecuali
apabila penerima pembayaran memiliki BUT di Indonesia maka akan dikenakan PPH
Pasal 23 (dianggap penghasilan BUT tersebut selaku WP dalam negeri-walapupun
pembayaranya ditransef ke luar negeri).
Perhitungan besarnya PPH Pasal 26 bisa dilakukan langsung di formul Bukti Pemotongan
PPH Pasal 26 dalam rangkap tiga, dimana:
- Lembar pertamannya diberikan kepada penerima penghasilan sebagai WPnya untuk
digunakan sebagai bukti pengkreditanya dengan pajak yang sejenis di negaranya.
- Lembar kedua untuk dilaporkan Pemotongan PPH Pasal 26 ke KPP tempatnya
terdaftar.
- Lembar ketiga sebagai file Pemotong PPH Pasal 26.
Penyusunan PPH Pasal 26 oleh Pemotong PPH Pasal 26 ke Kas Negara harus dengan
menggunakan formulir SSP Standar paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah
bulan timbulnya penghasilan yang menjadi Objek PPH Pasal 26.

34
Pelaporan oleh Pemotong PPH Pasal 26 meengenai penghitungan, pemotongan, dan
penyetoran PPH Pasal 26 ke KPP tempat Pemotongan PPH Pasal 26 teraftar dengan
menggunakan SPT (Surat Pemberitahuan) Masa PPH Pasal 23 dan Pasal 26 atau SPT Masa
PPH Pasal 21 dan PPH Pasal 26 (dilampiri dengan Bukti Pemotongan PPH Pasal 26 lembar
ke-2) paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan timbulnya penghasilan yang
menjadi Objek PPH Pasal 23.
Contoh Perhitungan:
PT. KUSUMAWARDANA membayar bunga pinjaman kepada Bank Birma sebesar dalam
rupiah Rp. 95.000,000,00 berdasarkan transaksi pembayaran tersebut PT
KUSUMAWARDANA diwajibkan memotong PPH Pasal 26 sebesar
Rp. 95,000,000,00 x 20% = Rp. 19,000,000,00.
PPH Pasal 26 sebesar Rp. 19,000,000,00 disetor oleh PT KUSUMAWARDANA ke kas
Negara untuk dan atas nama Bank Birma.
PT KUSUMAWARDANA menerbitkan Bukti Pemotongan PPH Pasal 26 yang
mencantumkan Bank Burma, jumlah penghasilan dan PPH Pasal 26 sebesar RP.
19,000,000,00 yang dipotong pada bulan dan tahun tertentu.
PT KUSUMAWARDANA membayar bunga kepada Bank Burma uang kas sebesar Rp.
76,000,000,00 (setelah dipotong PPH Pasal 26) disertai dengan Bukti Pemotong PPh Pasal
26.
Bagi Bank Burma, Bukti pemotongan PPH Pasal 26 tersebut merupakan bukti bahwa dia telah
membayar pajak di Indonesia melalui sistem pemotongan. Pajak yang dibayar di Indonesia
tersebut bisa dikreditkan oleh Bank Burma dengan pajak yang terutang di Negara domisilinya,
menurut peraturan perpajakan di negaranya.

35
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Pajak Penghasilan (PPh) adalah Pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak Penghasilan
atas Penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.
2. Objek Pajak Penghasilan adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP), baik yang berasal dari Indonesia maupun
dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan
Wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
3. PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak ) adalah penghasilan yang menjadi batasan tidak
kena pajak bagi wajib pajak orang pribadi, dengan kata lain apabila penghasilan netto wajib
pajak orang pribadi jumlahnya di bawah PTKP tidak akan terkena pajak penghasilan (PPh)
pasal 25 /29 dan apabila berstatus sebagai pegawai atau penerima penghasilan sebagai
objek PPh pasa 21 maka penghasilan tersebut tidak akan dilakukan pemotongan PPh pasal
21.
4. Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar penghitungan untuk menentukan besarnya Pajak
Penghasilan yang terutang. Penghasilan Kena Pajak diperoleh dari pengurangan antara
penghasilan bruto wajib pajak dengan pengurang penghasilan bruto.

B. SARAN
Dari uraian diatas penulis berharap bagi semua pihak yang berwenang dalm pemungutan
pajak agar pajak yang di dapat dari pemungutan wajib pajak tersebut harus bisa
dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya. Selain itu untuk wajib pajak juga seharusnya
lebih sadar bahwa kewajiban untuk membayar pajak harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya,
karena pajak bermanfaat sekali untuk kelancaran hidup bernegara.

36
DAFTAR PUSTAKA

Anastasia Diana, Lilis Setiawati. 2014. Perpajakan-Teori dan Peraturan Terkini. Yogyakarta:CV
Andi Offset.

Siti Kurnia Rahayu, Ely Suhayati. 2010. Perpajakan. Yogyakarta:Graha ilmu

Mardiasmo. 2018. Perpajakan. Yogyakarta: Penerbit Andi

Alexander Thian. 2021. Dasar-dasar Perpajakan. Yogyakarta: Penerbit Andi

Anda mungkin juga menyukai