Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

PAJAK PENGHASILAN

Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perpajakan

Disusun oleh :
Kelompok 3

RINTO RAHMAD M 2110247017


JUSNALA YANTI 2110246889
DIANA CAHYATI PUTRI 2110246831
DEA RESA WANA 2110247007

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI
UNIVERSITAS RIAU
2021

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ....................................................................................................... 2


BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 3
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................... 4
1.3 Manfaat ...................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 5
2.1 Pajak Penghasilan ....................................................................... 5
2.2 Subyek Pajak, Obyek Pajak dan Pengecualiannya .................... 5
2.3 Bentuk Usaha Tetap ................................................................... 12
2.4 Biaya yang Boleh Dikurangkan dan Pengecualiannya .............. 13
2.5 Kompensasi Kerugian ................................................................ 13
2.6 Penyusutan, Amortisasi dan Revaluasi Aktiva .......................... 14
2.7 Penentuan Harga Perolehan ....................................................... 16
2.8 Pajak Final .................................................................................. 17
2.9 Norma Penghitungan .................................................................. 17
2.10 Hubungan Istimewa ................................................................... 18
BAB III PEMBAHASAN .................................................................................. 21
3.1 Sekilah Info ................................................................................ 21
3.2 Contoh Kasus ............................................................................. 22
3.3 Dasar Hukum ............................................................................. 23
3.4 Pembahasan Kasus ..................................................................... 24
BAB IV PENUTUP ........................................................................................... 28
4.1 Kesimpulan ................................................................................ 28
4.2 Saran ........................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 30

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Undang-Undang No 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, pajak adalah kontribusi Wajib Pajak kepada Negara yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pendapat dari sektor perpajakan bukanlah monopoli pekerjaan yang dilakukan
oleh pemerintah saja, melainkan banyak melibat aspek. Dari definisi diatas dapat
disimpulkan bahwa pajak adalah kontribusi wajib berupa uang yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang dapat dipakasakan berdasarkan peraturan yang
berlaku pada suatu negara, demi kepentingan perkembangan dan kemakmuran
rakyat.
Penerimaan pajak merupakan suatu sumber pendapatan bagi negara.
Berdasarkan hasil penerimaan pendapatan, maka timbul pembiayaan yang akan
dilakukan oleh suatu negara untuk beberapa keperluan maupun kepentingan yang
menyangkut negara itu sendiri ataupun masyarakat negara tersebut. Adapun
pembiayaan dapat meliputi beberapa hal yaitu pembangunan fasilitas umum dan
infrastruktur seperti jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit dan puskesmas.
Pengelolaan uang pajak yang berasal dari masyarakat akan kembali kepada
masyarakat dalam bentuk kenyamanan fasilitas yang didapatkan dalam negara
tersebut. Semakin pesatnya pembangunan dalam suatu negara merupakan salah
satu indikator berkembangnya negara tersebut.
Adapun permasalahan yang sering terjadi yaitu Wajib Pajak kurang
memahami konsep perpajakan dan pentingnya pajak. Maka dari itu pemerintah
atau Ditjen Pajak harus lebih memerhatikan permasalahan yang terjadi. Salah satu
solusi yang harus diterapkan agar bisa menjawab permasalahan tersebut yaitu
dengan menerapkan materi perpajakan pada lembaga pendidikan perguruan tinggi,
Materi atau konsep perpajakan yang harus dipahami antara lain Pajak Penghasilan
(PPh), Pentingnya menerapkan konsep perpajakan pada lembaga pendidikan

3
untuk menumbuhkan kesadaran calon wajib pajak tersebut sehingga dapat
berdampak pada perkembangan suatu negara di masa yang mendatang, maka dari
itu pemerintah mengambil keputusan dengan membuat suatu kebijakan atau
sebuah aturan yang mengatur akan kesadaran wajib pajak.
Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan kepada Subjek Pajak atas
penghasilan yang diterima dalam satu tahun pajak (Waluyo, 2010:89). Subjek
Pajak yang dimaksud adalah baik orang pribadi maupun badan (perusahaan).
Penghasilan suatu perusahaan akan dihitung dari catatan, buku, serta dokumen
pendukung lainnya yang dikelola dalam suatu sistem akuntansi yang dilakukan
oleh perusahaan. Dari penghasilan perusahaan inilah yang akan dikenakan tarif
pajak penghasilan. Pajak penghasilan merupakan bagian dari laba bersih
perusahaan.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah “Pajak Penghasilan dan
Pembahasannya”.

1.3 Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai informasi dan
peningkatan pemahaman terhadap pajak penghasilan dan pembahasannya.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pajak Penghasilan


Pajak penghasilan atau PPh adalah pajak yang dibebankan atas suatu
penghasilan yang diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun
dari luar negeri. Dasar hukum PPh adalah Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan. UU ini mengalami empat kali perubahan, yakni :
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan Atas UU
No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan;
2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Kedua UU
No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan;
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga UU
No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan; dan
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat UU
No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan.
Pajak penghasilan dibedakan menjadi beberapa kategori, yakni :
 PPh yang dikenakan pada wajib pajak orang pribadi, yang terbagi atas
pegawai serta bukan pegawai maupun pengusaha
 PPh yang dibebankan atas penghasilan wajib pajak badan atau perusahaan,
hingga objek yang dikenakan PPh itu sendiri.

2.2 Subyek Pajak, Obyek Pajak Dan Pengecualiannya


2.2.1 Subyek Pajak dan Pengecualian Subyek Pajak
Subyek Pajak Penghasilan adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi
untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan PPh.
Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, yang
merupakan subyek pajak adalah:
a. Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
menggantikan yang berhak
b. Badan, terdiri dari PT, CV, perseroan lainnya, BUMN/BUMD dengan nama
dan betuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,

5
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau
organisasi yang sejenis, lembaga, dan bentuk badan lainnya.
c. Bentuk Usaha Tetap

Subyek pajak dapat dibedakan menjadi:


1. Subyek pajak dalam negeri yang terdiri dari:
a. Subyek pajak orang pribadi, yaitu:
- Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih
dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari (tidak harus berturut-turut)
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau
- Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.
b. Subyek pajak badan, yaitu badan yang didirikan atau bertempat kedudukan
di Indonesia.
c. Subyek pajak warisan, yaitu warisan yang belum dibagi sebagai satu
kesatuan, menggantikan yang berhak.

2. Subyek pajak luar negeri yang terdiri dari:


a. Subyek pajak orang pribadi, yaitu orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan yang:
- Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap
di Indonesia.
- Dapat diterima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap
di Indonesia.
b. Subyek pajak badan, yaitu badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang:
- Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap
di Indonesia.

6
- Dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan
dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia.
Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak
luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
a. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima
atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan Wajib
Pajak luar negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari
sumber penghasilan di Indonesia;
b. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan
tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan
penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan; dan
c. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam
suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena
kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

2.2.2 Tidak Termasuk sebagai Subjek Pajak


Pengecualian sebagai subjek pajak diatur dalam Pasal 3 UU No. 36 Tahun
2008, dimana dalam pasal tersebut dikemukakan bahwa yang tidak termasuk
sebagai Subjek Pajak adalah:
a. Kantor Perwakilan Negara Asing ;
b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain
dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka, yang
bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat :
- Bukan Warga Negara Indonesia
- Tidak menerima penghasilan lain diluar tugas dan jabatannya
- Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan yang sama (azas timbal
balik).

7
c. Organisasi-organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan (terakhir dengan Kep. MK 601/KMK.03/2005), dengan syarat:
1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan
2. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan
dari Indonesia, selain dari pemberian pinjaman kepada pemerintah yang
dananya berasal dari iuran para anggota.
d. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi Internasional yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan (sebagaimana dimaksud huruf c), dengan syarat
bukan WNI, dan di Indonesia tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Penjelasan Pasal 3 huruf (a) dan (b) tersebut diatas, menerangkan bahwa
sesuai dengan kelaziman yang berlaku secara Internasional, bahwa badan
perwakilan negara asing beserta pejabat-pejabatnya, serta orang yang
diperbantukan, serta tinggal bersama mereka dengan syarat bukan WNI, tidak
melakukan ke giatan lain, serta negara asing tersebut memberikan perlakauan
yang sama (azas timbal balik), dikecualikan sebagai subjek pajak. Pengecualian
tersebut tidak berlaku, apabila mereka memperoleh penghasilan lain di Indonesia,
diluar jabatannya atau mereka adalah WNI.
Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing,
memperoleh penghasilan lain diluar jabatannya, maka ia termasuk subjek pajak
yang dapat dikenakan pajak atas penghasilan tesebut. Namun apabila negara asal
pejabat tersebut memberikan pembebasan pajak kepada perwakilan Indonesia,
atas penghasilan lain diluar tugas dan jabatannya, maka kembali lagi berlaku azas
timbal balik.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pasal 3 huruf (c) dan (d), diatur lebih lanjut
dalam KMK seperti disebut diatas. Yang dimaksud dengan organisasi
Internasional adalah organisasi/badan/lembaga/asosiasi /perhimpunan/forum antar
pemerintah atau non pemerintah ygbertujuan untuk meningkatkan kerjasama
Internasional dan dibentuk dengan aturan tertentu atau kesepakatan bersama,
sedangkan yang dimaksud dengan pejabat perwakilan organisasi Internasional
adalah pejabat yang diangkat langsung oleh induk organisasi Internasional yang

8
bersangkutan untuk menjalankan tugas atau jabatan dalam organisasi tersebut di
Indonesia.

2.2.3 Obyek Pajak dan Pengecualian Obyek Pajak


Pihak yang menjadi objek pajak penghasilan adalah penghasilan. Dilihat
dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak,
penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
a. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas
seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaries, aktuaris,
akuntan, pengacara, dan sebagainya.
b. Penghasilan dari usaha dan kegiatan.
c. Penghasilan dari modal atau penggunaan harta seperti bunga, dividen,
royalty, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak digunakan
untuk usaha, dan sebagainya.
d. Penghasilan lain-lain, yaitu penghasilan yang tidak dapat dikelompokkan ke
dalam tiga kelompok sebelumnya, seperti keuntungan karena pembebasan
utang, hadiah undian, keuntungan karena selisih kurs valuta asing,
keuntungan dari selisih lebih penilaian kembali aktiva, dan sebagainya.

Jenis penghasilan yang dikenakan pajak atau disebut Objek Pajak sesuai
dengan Pasal 4 ayat (1) UU PPh adalah sebagai berikut:
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi,
bonus, gratifikasi, uang pension, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam undang-undang.
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan.
c. Laba usaha.
d. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta.
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai
biaya.
f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan lain karena jaminan
pengembalian utang.

9
g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apa pun (termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis) dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi.
h. Royalti.
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
n. Premi asuransi.
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang
terdiri atas Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak.

Dikecualikan dari PPh menurut ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU No. 17 Tahun
2000 adalah:
a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah
dan para penerima zakat yang berhak. 2) Harta hibahan yang diterima oleh
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan
keagamaan atau badan pendidikan atau badan social atau pengusaha kecil
termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak
ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan
antara pihak-pihak yang bersangkutan.
b. Warisan.
c. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh sebagai pengganti saham
atau sebagai pengganti penyertaan modal.

10
d. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari
Wajib Pajak atau pemerintah.
e. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi beasiswa.
f. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri, Koperasi, Badan Usaha Milik Negara,
Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang
didirikan atau berkedudukan di Indonesia dengan syarat:
1. Dividen tersebut berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2. Bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha
Milik Daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan
yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang
disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham
tersebut.
g. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun
pegawai.
h. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pension, dalam bidang-
bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
i. Bagian laba yang diperoleh atau diterima anggota dari perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan,
firma, dan kongsi.
j. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana selama
5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin
usaha.
k. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan
usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha
tersebut:

11
1. Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan
dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
2. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

2.3 BENTUK USAHA TETAP (BUT)


2.3.1 Pengertian Bentuk Usaha Tetap
Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh
orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan usaha atau melakukan kagiatan di Indonesia.

2.3.2 Obyek Pajak Bentuk Usaha Tetap


Yang menjadi objek pajak BUT , yaitu:
a. Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari
harta yang dimiliki atau dikuasai,
b. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang
dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia,
c. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau
diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk
usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan
dimaksud.

2.3.3 Penghitungan Pajak Terhutang Bentuk Usaha Tetap


Penghitungan pajak terhutang BUT dapat dilihat pada contoh berikut ini:
 Jumlah peredaran bruto dalam tahun pajak 2009 Rp 54.000.000.000,-.
 Jumlah Penghasilan Kena Pajak dalam tahun pajak 2009 Rp 4.000.000.000,-
 Pajak Penghasilan yang terutang adalah:
Penghasilan Kena Pajak Rp 4.000.000.000,-
PPh Terutang: 28% x Rp 4.000.000.000,00 = Rp 1.120.000.000,-

12
2.4 Biaya Yang Boleh Dikurangkan Dan Pengecualiannya
Biaya-biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto untuk
menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak adalah biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya yang secara langsung atau
tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, penyusutan atas pengeluaran
untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk
memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
tahun, iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya disahkan Menteri Keuangan,
kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan, kerugian selisih kurs mata uang asing, biaya penelitian dan
pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia, biaya beasiswa, magang,
dan pelatihan, piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat-syarat
yang diatur dalam undang-undang, sumbangan dalam rangka penanggulangan
bencana nasional, sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang
dilakukan di Indonesia, biaya pembangunan infrastruktur sosial, sumbangan
fasilitas pendidikan, dan sumbangan dalam rangka pembinaan olah raga.
Sedangkan biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
antara lain pembagian laba, biaya untuk kepentingan pribadi, pembentukan dana
cadangan yang ketentuannya diatur dalam undang-undang, premi asuransi yang
dibayar oleh WP orang pribadi, penggantian sehubungan dengan pekerjaan dalam
bentuk natura dengan pengecualian yang diatur dalam PMK, jumlah yang
melebihi kewajaran yang dibayar kepada pemegang saham atau pihak yang
memiliki hubungan istimewa, hibah, bantuan atau sumbangan kecuali yang
disebut di atas, warisan, pajak penghasilan, gaji untuk anggota persekutuan, firma,
atau CV, serta sanksi administrasi.

2.5 Kompensasi Kerugian


Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan berdasarkan ketentuan
pasal 6 ayat (1) UU Pajak Penghasilan seperti tersebut di atas setelah dikurangkan
dari penghasilan bruto didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan
dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama 5 tahun berturut-turut dimulai
sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut.

13
Contoh Perhitungan kompensasi kerugian:
PT. Tridewo dalam tahun 2015 menderita kerugian fiskal sebesar
Rp1.200.000.000,-. Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba rugi fiskal PT.
Tridewo sebagai berikut :
Tahun Laba Rugi
2016 Rp 200.000.000,-
2017 (Rp 300.000.000,-)
2018 NIHIL
2019 Rp 100.000.000,-
2020 Rp 800.000.000,-

Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut:


Rugi fiskal 2015 (Rp 1.200.000.000,-)
Laba fiskal 2016 Rp 200.000.000,-
Sisa rugi fiskal 2015 (Rp 1.000.000.000,-)
Rugi fiskal 2017 (Rp 300.000.000,-)
Sisa rugi fiskal 2015 (Rp 1.000.000.000,-)
Laba fiskal 2018 NIHIL
Sisa rugi fiskal 2015 (Rp 1.000.000.000,-)
Laba fiskal 2019 Rp 100.000.000,-
Sisa rugi fiskal 2015 (Rp 900.000.000.-)
Laba fiskal 2020 Rp 800.000.000,-
Sisa rugi fiskal 2015 (Rp 100.000.000,-)

Rugi fiskal tahun 2015 sebesar Rp100.000.000 yang masih tersisa pada akhir
tahun 2020 tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2017
sebesar Rp300.000.000 hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun
2021 dan tahun 2022, karena jangka waktu lima tahun yang dimulai sejak
tahun 2018 berakhir pada akhir tahun 2022

2.6 Penyusutan, Amortisasi dan Revaluasi Aktiva


2.6.1 Penyusutan
Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat, dan tarif penyusutan harta
berwujud ditetapkan sebagai berikut:

14
Kelompok Harta Masa Tarif Penyusutan
Berwujud Manfaat Garis Lurus Saldo Menurun
I. Bukan Bangunan
Kelompok 1 4 tahun 25 % 50 %
Kelompok 2 8 tahun 12,5 % 25 %
Kelompok 3 16 tahun 6,25 % 12,5 %
Kelompok 4 20 tahun 5% 10 %

II. Bangunan
Permanen 20 tahun 5%
Tidak Permanen 10 tahun 10 %

Saat penyusutan dapat dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, pada


bulan harta berwujud mulai digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan
(dengan izin dari Dirjen Pajak). Sedangkan untuk harta yang masih dalam
pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan pengerjaan harta tersebut selesai.

2.6.2 Amortisasi
Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan
pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna
usaha, hak pakai, dan goodwill yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu
tahun dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut
atau atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat diamortisasi. Amortisasi
dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk bidang usaha
tertentu.
Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan
sebagai berikut:
Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan
pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna
usaha, hak pakai, dan goodwill yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu
tahun dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut
atau atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat diamortisasi.
Kelompok Harta Masa Tarif Amortisasi
15
Tak Berwujud Manfaat Garis Lurus Saldo Menurun
Kelompok 1 4 tahun 25 % 50 %
Kelompok 2 8 tahun 12,5 % 25 %
Kelompok 3 16 tahun 6,25 % 12,5 %
Kelompok 4 20 tahun 5% 10 %

Kelompok, metode, dan tarif amortisasi di atas berlaku juga pada


pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan,
dan pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai
masa manfaat lebih dari satu tahun.

2.6.3 Revaluasi Aktiva


Perbedaan nilai buku dengan nilai riil aktiva perusahaan dapat
mengakibatkan kurang serasinya perbandingan antara penghasilan dengan beban,
dan nilai buku dengan nilai intrinsik perusahaan. Untuk mengurangi perbedaan
tersebut, kepada WP perlu diberikan kesempatan untuk melakukan penilaian
kembali aktiva tetap yang dapat dilakukan oleh WP Badan dalam negeri yang
telah memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai dengan masa pajak terakhir
sebelum masa pajak dilakukannya penilaian kembali.
Aktiva tetap yang dapat dilakukan penilaian kembali adalah semua aktiva
berwujud dalam bentuk tanah, kelompok bangunan dan bukan bangunan yang
tidak dimaksudkan untuk dialihkan atau dijual yang terletak atau berada di
Indonesia. Penilaian kembali dihitung berdasarkan nilai pasar atau nilai wajar
yang berlaku.

2.7 Penentuan Harga Perolehan


Pada umumnya dalam jual beli harta, harga perolehan harta bagi pihak
pembeli adalah harga yang sesungguhnya dibayar dan harga penjualan bagi pihak
penjual adalah harga yang sesungguhnya diterima. Biaya yang dikeluarkan sepeti
bea masuk, biaya pengangkutan, dan biaya pemasangan termasuk kedalam harga
perolehan. Sedangkan apabila terdapat hubungan istimewa, harga perolehan
adalah jumlah yang seharusnya diterima atau dikeluarkan.

16
Nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar harta
adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga
pasar. Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka
likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau
pengambilalihan usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima
berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
Persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok dinilai
berdasarkan harga perolehan yang dilakukan secara rata-rata atau dengan cara
mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama.

2.8 Pajak Final


Ada beberapa jenis penghasilan (objek pajak) yang dikenakan pemotongan
atau pemungutan pajak yang bersifat final. Penghasilan yang dikenakan
pemotongan atau pemungutan PPh yang bersifat final, tetap dilaporkan dalam
Surat Pemberutahuan (SPT), hanya saja jumlahnya tidak dijumlahkan dengan
penghasilan lainnya. Pajak yang sudah dipotong tidak diperhitungkan sebagai
Kredit Pajak. Beberapa penghasilan yang dikenai pajak yang bersifat final antara
lain bunga deposito, hadiah undian, penghasilan dari transaksi saham, transaksi
pengalihan harta berupa tanah/bangunan, usaha jasa konstruksi, dan penghasilan
tertentu lainnya.

2.9 Norma Penghitungan


Norma penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya
penghasilan neto. Penggunaan norma penghitungan dilakukan karena tidak
terdapat dasar perhitungan yang lebih baik, atau pembukuan diselenggarakan
secara tidak benar. Orang Pribadi yang boleh menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto:
1. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
dengan peredaran bruto sebesar Rp. 1.800.000.000,00 (satu miliar delapan
ratus juta rupiah) atau lebih dalam 1 (satu) tahun wajib menyelenggarakan
pembukuan.

17
2. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
dengan peredaran bruto di bawah Rp. 1.800.000.000,00 (satu miliar delapan
ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun wajib menyelenggarakan pencatatan,
kecuali Wajib Pajak yang bersangkutan memilih menyelenggarakan
Pembukuan.
3. Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak
memilih untuk menyelenggarakan pembukuan, menghitung penghasilan neto
usaha atau pekerjaan bebasnya dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto.
Sesuai dengan UU PPh yang baru yaitu UU Nomor 36 tahun 2008 maka
sejak 1 Jan 2009 batasan Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas yang boleh menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
berubah dengan peredaran bruto di bawah Rp. 1.800.000.000,00 menjadi Rp
4.800.000.000.

2.10 Hubungan Istimewa


Hubungan istimewa diantara Wajib Pajak dapat terjadi karena
ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain. Hubungan istimewa
dianggap ada apabila:
1. Wajib Pajak mempunyai hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan
modal sebesar 25 % atau lebih secara langsung atau tidak langsung;
2. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih WP berada
dibawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung;
3. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis
keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa
Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak tidak boleh
dikurangkan jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang
saham atau pihak yang memiliki hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan (Pasal 9 Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2000).

18
Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan Surat Keputusan mengenai
besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan
penghitungan pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh
wajib pajak dalam negeri pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang
menjual sahamnya di bursa efek, sepanjang:
 Besarnya penyertaan modal tersebut sekurang-kurangnya 50% dari jumlah
saham yang disetor ; atau
 Secara bersama-sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya memiliki
penyertaan modal sebesar 50% atau lebih dari jumlah saham yang disetor.

Wajib pajak dalam negeri wajib menghitung dividen yang menjadi haknya
terhadap laba setelah pajak sebanding dengan penyertaannya (equity method) pada
Badan Usaha di luar negeri yang bersangkutan.
 Pada bulan ke-4 setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian
SPT PPh Badan Usaha di luar negeri.
 Pada bulan ke-7 setelah tahun pajak berakhir, dalam hal di negara yang
bersangkutan tidak terdapat kewajiban penyampaian SPT PPh atau tidak ada
batas waktu penyampaian SPT PPh.
 Apabila kemudian di bagi dividen yang melebihi jumlah yang dihitung
berdasarkan equity method di atas, kelebihannya harus dilaporkan dalam
SPT PPh pada tahun dibagikannya dividen tersebut.
 PPh atas dividen yang dibayar di luar negeri dapat dikreditkan sesuai
dengan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 pada tahun pajak
dilakukannya pembayaran/pemotongan pajak di luar negeri tersebut.
 Apabila sebelum batas waktu yang ditentukan di atas dilakukan pembagian
dividen yang menjadi hak wajib pajak, maka penghitungan sesuai dengan
ketentuan di atas tidak perlu dilakukan.

Dirjen Pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan


pengurangan (biaya) serta besarnya utang dan modal dalam rangka menghitung
penghasilan kena pajak bagi wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa

19
dengan wajib pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang
tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
Dirjen Pajak berwenang mengadakan perjanjian dengan wajib pajak atau
bekerjasama dengan otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi
yang dipengaruhi hubungan istimewa selama periode tertentu dan mengawasi
pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut
berakhir.

20
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Sekilas Info


Wajib pajak orang kaya atau High Wealth Individual (HWI) yang
melakukan aktivitas ekonomi berbasis digital, akan menjadi salah satu target
kantor pajak untuk mengejar target penerimaan di akhir 2021. Agenda tersebut
tertuang dalam Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian
Keuangan (Kemenkeu) 2020. Pelaksanaan aksi tersebut dilatarbelakangi oleh
pergeseran aktivitas ekonomi.

Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji


mengapresiasi langkah Ditjen Pajak yang mengoptimalkan penerimaan pajak dari
kelompok HWI. Sebab, upaya intensifikasi dan ekstensifikasi tetap diperlukan
saat penerimaan pajak di tahun ini masih berhadapan dengan pelemahan ekonomi.
Menurut dia, kontribusi penerimaan pajak dari HWI relatif belum terlalu optimal,
jika melihat dari pos penerimaan PPh Pasal 25/29 OP. Selain itu, pajak HWI
memiliki tujuan strategis terutama dalam mengurangi ketimpangan pembayaran
pajak. “Tren untuk optimalisasi pajak dari HWI juga sedang menjadi perhatian
terutama di kala pandemi. Tujuannya untuk menambal berbagai stimulus yang
diberikan, serta wujud solidaritas,” kata Bawono kepada Kontan.co.id, Jumat
(5/3). Bawono mengatakan optimalisasi penerimaan pajak HWI juga memiliki
tantangan. Pertama, kelompok ini relatif memiliki akses yang lebih baik terhadap
dana, advisor, hingga politik. Sehingga, peluang untuk terjadinya tax
planning atau pengaburan beneficial owner sangat mungkin terjadi.

Definisi HWI perlu merujuk pada nilai indikator tertentu. Misalnya


kekayaan atau harta tertentu, dalam rangka untuk kategorisasi, agar strategi
pengawasan secara lebih tepat. “Selain itu, dibutuhkan pemetaan dari sektor apa
umumnya HWI memperoleh penghasilan. Apakah hanya dari sektor digital
semisal Youtuber? Atau ada yang lain? Pengetahuan atas karakteristik
dan profiling ini sangat dibutuhkan untuk optimalisasi,” kata Bawono.
Selanjutnya jenis penghasilan dari HWI umumnya berbeda dengan WPOP pada

21
umumnya. Boleh jadi lebih banyak berasal dari passive income. “Jadi, adanya
matching data atas HWI dengan aset keuangan dan perusahaan yang dimilikinya
sangat penting,” ujar Bawono. Sebagai gambaran, data Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) 2021 menunjukkan realisasi penerimaan wajib pajak
orang pribadi (WP OP) pada bulan lalu sebesar Rp 360 miliar, minus 9,74% year
on year (yoy). Sementara, outlook penerimaan WP OP hingga akhir 2021 sebesar
Rp 10,87 triliun.

Informasi saja, tahun lalu saat pertama kali pandemi virus corona melanda
ekonomi dalam negeri, penerimaan dari PPh OP menjadi satu-satunya jenis pajak
yang tumbuh, yakni sebesar 3,22% yoy. Realisasinya mencapai Rp 11,56 triliun
setara 112,92% terhadap target akhir tahun 2020. Sementara itu, secara
keseluruhan realisasi penerimaan pajak pada Januari lalu sebesar Rp 68,5 triliun.
Dalam waktu satu bulan, penerimaan utama negara itu kontraksi 15,3% yoy.
Pencapaian tersebut baru mencapai 5,6% dari outlook penerimaan pajak akhir
tahun ini sebesar Rp 1.229,6 triliun.

3.2 Contoh Kasus

Asumsi Tn. Udin seorang pemegang saham mayoritas di sebuah PT. Karya
Maju (Perusahaan konstruksi dan pengadaan jasa) memiliki dua orang anak yang
bernama Tn. Amir dan Tn. Iwan. Anak pertamanya Tn. Amir adalah seorang
professional yang sering memberikan jasa teknis di PT. Karya Maju, PT. Karya
Maju memberikan imbalan sebesar Rp. 50 juta atas jasa yang Tn. Amir. Dimana
Tn. Amir juga merupakan Pemegang saham di PT. Karya Maju. Apabila untuk
jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli yang setara hanya dibayar Rp. 35
juta, maka jumlah 15 jt tidak bisa dibebankan sebagai biaya PT. Karya Maju.
Kasus kedua, Tn. Udin menghibahkan kepemilikan sahamnya sebesar 65%
di PT. Karya Maju kepada anaknya Tn. Iwan. Tn. Iwan ini juga memiliki saham
PT. Karya Maju sebesar 10% dan baik Tn. Udin maupun Tn. Iwan duduk di
jajaran pengurus perusahaan yakni Tn. Udin sebagai komisaris dan Tn. Iwan
sebagai direkturnya. Hal ini jelas dapat kita tentukan secara sederhana bahwa
terdapat hubungan usaha (dalam satu perusahaan, misalnya PT. Karya Maju),
terdapat hubungan pekerjaan (sama-sama sebagai pengurus PT. Karya Maju), dan
22
terdapat hubungan kepemilikan (sama-sama memiliki saham PT. Karya Maju).
Namun bagaimana kalau kita berhadapan dengan masalah sebagai berikut:
1. Pasal 9 (1) f
2. Hibah berupa uang kas dan transaksinya rutin setiap tahun
3. Hibah berupa rumah
4. Hibah berupa saham

Namun terdapat hubungan usaha, pekerjaan dan kepemilikan secara tidak


langsung antara bapak dan anak yakni di perusahaan induk dari perusahaan yang
sahamnya dihibahkan atau di perusahaan anak lainnya sehubungan dengan usaha
atau bisnis keluarga yang sangat besar. Atas permasalahan inilah yang belum
dapat dijelaskan didasarkan pada ketentuan yang berlaku dan tidak bisa dipungkiri
bahwa hal ini memang sering terjadi di kehidupan perekonomian masyarakat.

3.3 Dasar Hukum


Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa sampai saat ini peraturan perpajakan
masih sangat kental berkaitan dengan permasalahan Wajib Pajak Badan dan
belum tegas menjelaskan aspek yang terkait dengan Wajib Pajak orang pribadi.
Dalam UU PPh, hibah harta diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut:
1. Pasal Pasal 9 (1) huruf f mengatur bahwa jumlah yang melebihi kewajaran
yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai
hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
dilakukan.
2. Pasal 4 ayat (1) UU PPh mengatur bahwa yang menjadi Objek Pajak adalah
penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan
Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun,
termasuk keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau
badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh

23
Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
3. Pasal 4 ayat (3) huruf a angka (2) UU PPh mengatur bahwa yang tidak
termasuk Objek Pajak antara lain adalah harta hibahan yang diterima oleh
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-
pihak yang bersangkutan.

3.4 Pembahasan Kasus :


Atas permasalahan yang diuraikan di atas, kami mencoba untuk mengupas
satu per satu poin-poin yang tersirat dalam dasar hukum yang mengatur mengenai
harta hibahan. Pertama, terdapat kegiatan pemberian jasa kepada perusahaan
keluarga yang melebihi kewajaran sehingga dapat menambah beban biaya
perusahan tersebut yang tidak seharusnya.
Kedua, tersirat kata „harta‟ yang secara umum berarti sumber ekonomi yang
diharapkan memberikan manfaat usaha dikemudian hari. Dalam istilah ekonomi,
harta sering disebut asset atau aktiva. Harta tentunya dapat berupa harta berwujud
maupun harta tidak berwujud. Harta berwujud tersebut misalnya rumah, tanah,
saham, piutang, uang kas/tabungan, deposito dan surat berharga, perhiasan, polis
asuransi dan harta berwujud lainnya. Harta tidak berwujud ini dapat berupa
royalty/hak paten, franchise dan lain-lain. Penyebutan harta dalam ketentuan ini
dimaksud bahwa segala sesuatu yang dimiliki baik tercatat maupun tidak dan
dapat juga berlaku untuk Wajib Pajak orang pribadi, dan bukan disebut sebagai
aktiva, mengingat aktiva akan sangat terkait dengan segala sesuatu yang dimiliki
yang telah dicatat atau dibukukan yang akan dilaporkan dalam laporan keuangan
berupa neraca dan hal ini hanya berlaku untuk Wajib Pajak orang pribadi dan
badan yang melakukan pembukuan. Jadi terkait dengan permasalahan yang ada,
harta hibahan ini dapat berupa harta yang telah disebutkan di atas. Wajib Pajak
orang pribadi dapat menghibahkan rumah, saham, piutang, uang kas dan lain-lain.
Ketiga, terdapat poin yang menyebutkan “yang diterima oleh keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat” yang dimaksud adalah ayah, ibu,
dan anak kandung. Hal ini tidak berlaku untuk “hubungan keluarga sedarah dalam

24
garis keturunan ke samping satu derajat” yakni saudara dan juga untuk “keluarga
semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat” yakni mertua dan anak tiri,
apalagi yang dimaksud “hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke
samping satu derajat” yakni ipar. Ini perlu ditekankan, karena sering juga terjadi
hibah harta yang diterima bukan oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan satu
derajat misalnya hibah dari ayah yang diterima oleh anak tirinya.
Keempat, poin “sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan antara pihak-pihak yang bersangkutan” yang dapat ditekankan bahwa
apabila tidak ada keterkaitan usaha, pekerjaan, kepemilikan, antara pemberian
hibah dengan pemberi hibah atau penerima hibah. Dengan kata lain, ada tiga
unsur yang terkait yaitu pemberian hibah yakni hibah itu sendiri dengan pemberi
dan penerima hibah. Yang jadi permasalahan disini adalah maksud dari pengertian
hubungan dengan usaha, pekerjaan dan kepemilikan itu sendiri, dimana seperti
diuraikan di atas bahwa kebijakan DJP hanya mampu menjelaskan hubungan yang
secara langsung. Bagaimana dengan hubungan usaha, pekerjaan, terutama
kepemilikan yang secara tidak langsung?
Terkait hubungan kepemilikan, kalau kita kaitkan dengan ketentuan yang
mengatur mengenai hubungan istimewa yakni Pasal 18 ayat (4) UU PPh yang
mengatur bahwa hubungan istimewa dianggap ada apabila Wajib Pajak
mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25%
(dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak
dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib
Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang
disebut terakhir. Dari ketentuan mengenai hubungan istimewa ini, kita dapat
memastikan bahwa selain hubungan kepemilikan langsung, hubungan
kepemilikan tidak langsung juga diatur dalam ketentuan perpajakan. Hal inilah
yang membuat petugas pajak sedikit kebingungan dalam memahami konsep
tentang hubungan usaha, pekerjaan dan kepemilikan. Perlu kiranya DJP berani
untuk menentukan kebijakan untuk memperluas makna hubungan tersebut, karena
pada prakteknya memang kasus terkait hubungan secara tidak langsung ini banyak
terjadi.

25
Memang sering juga kita hadapi di masyarakat, misalnya, terdapat orang tua
menghibahkan rumah kepada anaknya. Hal itu lumrah terjadi dan menjadi hak
orang tuanya yang mampu dari segi ekonomi untuk memberikan suatu hartanya
kepada anaknya. Nah, hal inilah yang harus bisa dipisahkan, apakah hibah itu
dalam rangka hubungan bisnis yaitu hubungan usaha, pekerjaan dan kepemilikan
atau tidak. Masalah hubungan bisnis itu sangatlah luas bukan hanya atas hibah
saham dalam satu perusahaan saja, seperti yang bisa dijelaskan DJP saat ini.
Berdasarkan pembahasan atas poin-poin yang tersirat dalam ketentuan yang
berlaku, penulis mencoba mengkaitkan dengan contoh kasus di atas yaitu sebagai
berikut:
1. Pembayaran atas jasa (gaji) yang melebihi kewajaran kepada pemegang saham
atau pihak yang memiliki hubungan istimewa atas suatu pekerjaan, secara
umum sah sah saja pekerjaan dengan keluarga di bayar melebihi kewajaran
asal dalam tanda kutip “ada pekerjaam yang dilakukan”. Namun, hal ini dapat
dipisahkan objeknya dan si penerima penghasilan dianggap menerima deviden
sebesar 15 juta dari PT. Karya maju dan dinyatakan sebagai objek pajak yang
akan dikenakan pajak penghasilan lagi atas devidennya.
2. Hibah berupa uang kas dan transaksinya rutin setiap tahun.
Wajib Pajak menghibahkan uang kas atau deposito atau lainnya kepada
anaknya adalah suatu hal biasa. Biarpun itu dilakukan secara rutin, misalnya
tiap tahun. Secara kasat mata, petugas pajak tidak dapat menentukan bahwa hal
tersebut merupakan objek pajak, namun apabila bisa dibuktikan bahwa atas
pemberian atau hibah uang kas tersebut memenuhi persyaratan terdapat
hubungan dengan usaha, pekerjaan, atau kepemilikan maka atas hibah tersebut
merupakan objek pajak. Di sini diperlukan keahlian petugas pajak (AR) untuk
mendapatkan informasi maupun data yang memang membuktikan hal tersebut.
Jadi penentuan hibah tersebut adalah objek atau bukan memerlukan
pembuktian lebih lanjut.
Sebagai contoh Tn. Udin menghibahkan uang kas kepada anaknya, Tn. Amir.
Atas uang tersebut, berdasarkan data yang ada, ternyata dipergunakan untuk
membeli aktiva/saham dari salah satu anak perusahaan yang dimiliki oleh

26
keluarganya. Atas kasus ini, dengan jelas atas hibah uang tersebut merupakan
objek pajak.
3. Hibah berupa rumah.
Sama dengan penjelasan kasus hibah uang kas, banyak sekali terjadi hibah
rumah dari Wajib Pajak kepada anaknya atau sebaliknya dan jika kita kaitkan
dengan hubungan bisnis, rasanya hubungannya sangatlah jauh sehubungan
rumah dihibahkan pada umumnya dipergunakan untuk tempat tinggal dan
biarpun untuk disewakan, keterkaitan hubungan bisnis dengan pemberi hibah
juga tidak ada. Lain halnya, Wajib Pajak menghibahkan gedung kantor yang
dimiliki untuk tempat usaha salah satu perusahaan yang dimiliki oleh seluruh
keluarga Wajib Pajak. Atas kasus ini, kita dapat dengan tegas juga menentukan
bahwa terdapat hubungan usaha dan hibah gedung kantor tersebut merupakan
objek pajak.
4. Hibah berupa saham
Seperti yang diuraikan sebelumnya dalam studi kasus di KPP HWI (High
Wealth Individual), banyak sekali terdapat transaksi hibah saham yang
dilakukan oleh Wajib Pajak kepada anaknya. Untuk kasus yang terjadi dalam
satu perusahaan, sudah jelas dapat ditentukan bahwa hibah tersebut merupakan
objek pajak. Namun untuk kasus misalnya Tn. Udin menghibahkan saham PT.
KARYA MAJU kepada anaknya Tn. Amir. PT. KARYA MAJU ini merupakan
anak perusahaan dari PT. Sehat Selalu yang masing-masing kepemilikan
sahamnya dimiliki oleh Tn. Udin 70% dan Tn. Amir 30%. Tn. Amir
sebelumnya tidak memiliki saham PT. KARYA MAJU dan hanya duduk
sebagai salah satu direktur perusahaan. Atas hibah saham ini, kalau kita kaitkan
dengan pembahasan mengenai hubungan istimewa tersebut, maka sangat jelas
terdapat hubungan bisnis yakni hubungan usaha, pekerjaan dan kepemilikan
secara tidak langsung dan atas hibah ini seharusnya dapat ditentukan sebagai
objek pajak.

27
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Penerimaan pajak merupakan suatu sumber pendapatan bagi negara.
Berdasarkan hasil penerimaan pendapatan, maka timbul pembiayaan yang
akan dilakukan oleh suatu negara untuk beberapa keperluan maupun
kepentingan yang menyangkut negara itu sendiri ataupun masyarakat negara
tersebut. Adapun pembiayaan dapat meliputi beberapa hal yaitu
pembangunan fasilitas umum dan infrastruktur seperti jalan, jembatan,
sekolah, rumah sakit dan puskesmas. Pengelolaan uang pajak yang berasal
dari masyarakat akan kembali kepada masyarakat dalam bentuk kenyamanan
fasilitas yang didapatkan dalam negara tersebut. Semakin pesatnya
pembangunan dalam suatu negara merupakan salah satu indikator
berkembangnya negara tersebut.
Pajak penghasilan atau sering disebut PPh adalah pajak yang
dibebankan atas suatu penghasilan yang diperoleh wajib pajak, baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar negeri. Besaran pajak penghasilan ini
disesuaikan dengan jumlah penghasilan yang diterima pegawai, mantan
pegawai, penerima pesangon, pensiunan, atau orang yang menerima
penghasilan lainnya. Pajak ini diterapkan pada setiap individu atau
perseorangan yang menerima penghasilan dari pekerjaan yang dilakukan.

4.2 Saran
Pemungutan pajak di Indonesia mengalami banyak permasalahan,
antara lain disebabkan Kelemahan regulasi dibidang perpajakan itu sendiri,
kurangnya sosialisasi, tingkat kesadaran, pengetahuan dan tingkat ekonomi
yang rendah, database yang belum lengkap dan akurat, lemahnya penegakan
hukum berupa pengawasan dan pemberian sanksi yang belum konsisten dan
tegas. Untuk mengatasinya dengan melakukan reformasi dibidang perpajakan,
antara lain : Melakukan penyempurnaan regulasi/perangkat aturan,
menggalakkan sosialisasi agar menambah pengetahuan untuk menumbuhkan

28
kesadaran wajib pajak taat pajak, melakukan evaluasi, menyediakan database
yang lengkap, akurat, terintegrasi dan terjamin kerahasiannya, meningkatkan
penegakan hukum dalam pengawasan dan pemberian sanksi secara konsisten
dan tegas, dan melakukan pemungutan pajak yang: Adil, berdasarkan undang-
undang, tidak mengganggu perekonomian, efisien dan sistemnya harus
sederhana.

29
DAFTAR PUSTAKA

S, Azhari. 2010. Perpajakan I: Pajak Penghasilan . UNRI


Press. Pekanbaru.

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh).

30

Anda mungkin juga menyukai