Anda di halaman 1dari 54

PERPAJAKAN

(DOSEN : Dr. VINCE RATNAWATI, SE, M.Si, Ak, CA)

“PAJAK PENGHASILAN UNTUK TRANSAKSI KHUSUS”

KELOMPOK 4 :
ANTO (2110246872)
SHAVIRA MAULYDIA (2110246989)
MAZIYAH (2110246786)
CHRYSTINA LAWER (2110247049)

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS RIAU
TAHUN 2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................. i


BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2 Fungsi Pajak .............................................................................. 2
1.3 Jenis Pajak................................................................................. 2
BAB II PAJAK PENGHASILAN UNTUK TRANSAKSI KHUSUS ......... 5
2.1 PPh Pasal 4 Ayat 2 .................................................................... 5
2.2 Kredit pajak luar negeri (PPh 24) ............................................. 8
2.3 Ketentuan Khusus PPh atas transaksi / industri tertentu ........... 13
BAB III KASUS PENERAPAN PAJAK ATAS PENGHASILAN,
TRANSAKSI ATAU INDUSTRI KHUSUS .................................. 43
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 53

i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Definisi pajak sebagaimana dikutip dari laman resmi Direktorat Jenderal
Pajak (DJP) Kementrian Keuangan, yakni kontribusi wajib kepada negara yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang. Pengertian pajak sendiri sederhana yaitu pungutan wajib dari
rakyat untuk Negara. Fungsi pajak adalah membiayai pengeluaran-pengeluaran.
Manfaat pajak digunakan untuk melakukan pembangunan hingga membayar
gaji pegawai negeri. Pembayar pajak tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dimana uang yang dikumpulkan dari pajak adalah digunakan untuk
keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pembayaran pajak
adalah perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta wajib pajak untuk
secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk
pembiayaan Negara dan pembangunan nasional.
Sesuai filsafah undang-undnag definisi pajak, membayar pajak adalah
bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga
Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan
Negara dan pembangunan nasional. Tanggung jawab atas kewajiban
pembayaran manfaat pajak sebagai pencerminan kewajiban kenegaraan di
bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat sendiri untuk memenuhi
kewajiban tersebut.
Hal tersebut sesuai dengan system Self Assessment yang dianut dalam
sistem perpajakan Indonesia. Pemerintah dalam hal ini DJP sesuai dengan
fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan atau penyukuhan, pelayanan,
dan pengawasan.
Berikut karakteristik pajak:
• Pajak adalah kontribusi wajib pajak pada Negara
• Tidak ada imbalan langsung.
• Bersifat memaksa
• Diatur dalam Undang-Undang

2
1.2 Fungsi Pajak
Berikut adalah fungsi pajak :
1. Fungsi Anggaran
Pajak adalah sumber pendapatan paling besar di banyak negara. Manfaat
pajak untuk membiayai semua pengeluaran negara seperti gaji pegawai
negeri, gaji tentara, pembayaran utang pemerintah, dan membiayai
pembangunan.
2. Fungsi Regulasi
Pajak juga digunakan pemerintah sebagai pengaturan kebijakan negara atau
yang biasa disebut kebijakan fiskal. Beberapa kebijakan fiskal antara lain
penggunaan pajak bea masuk untuk menekan impor.
3. Fungsi Stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan
kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga. Sehingga inflasi dapat
dikendalikan. Caranya bisa dengan mengatur peredaran uang di masyarakat,
pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
4. Fungsi Pemerataan
Pajak adalah digunakan untuk menyesuaikan dan menyeimbangkan antara
pembagian pendapatan dengan kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat,
termasuk

1.3 Jenis Pajak


Pajak berdasarkan sifatnya:
a. Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pajak langsung dan pajak tidak
langsung merupakan kategori jenis pajak yang dikelompokkan berdasarkan
cara pemungutannya.
Pajak Langsung adalah pajak yang bebannya ditanggung sendiri oleh wajib
pajak dan tidak dapat dialihkan kepada orang lain. Dengan kata lain, proses
pembayaran pajak harus dilakukan sendiri oleh wajib pajak bersangkutan.
Seorang anak, misalnya tidak boleh mengalihkan pajak kepada orangtuanya.

3
Begitupun seorang suami tidak boleh mengalihkan kewajiban pajaknya pada
istri.
Sedangkan Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang bebannya dapat
dialihkan kepada pihak lain karena jenis pajak ini tidak memiliki surat
ketetapan pajak. Artinya, pengenaan pajak tidak dilakukan secara berkala
melainkan dikaitkan dengan tindakan perbuatan atas kejadian sehingga
pembayaran pajak dapat diwakilkan kepada pihak lain.

b. Pajak Subjektif dan Pajak Objektif


Pajak subjektif adalah pajak yang berpangkal pada subjeknya sedangkan
pajak objektif berpangkal kepada objeknya. Suatu pungutan disebut pajak
subjektif karena memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh pajak
subjektif adalah pajak penghasilan (PPh) yang memperhatikan tentang
kemampuan wajib pajak dalam menghasilkan pendapatan atau uang.
Pajak objektif merupakan pungutan yang memperhatikan nilai dari objek
pajak.Contoh pajak objektif adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari
barang yang dikenakan pajak.
c. Pajak Pusat dan Pajak Daerah
Pajak pusat dan pajak daerah merupakan jenis pajak yang
pengelompokannya berdasar pada lembaga pemungutannya. Pajak pusat
adalah pajak yang dipungut dan dikelola oleh Pemerintah Pusat, dalam hal
ini sebagian besar dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Hasil dari
pungutan jenis pajak ini kemudian digunakan untuk membiayai belanja
negara seperti pembangunan jalan, pembangunan sekolah, bantuan kesehatan
dan lain sebagainya.
Proses administrasi yang berkaitan dengan pajak pusat dilaksanakan di
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan
Konsultasi Perpajakan (KP2KP) dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak serta Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak.

4
Berbeda dengan pajak pusat/ nasional, pajak daerah merupakan pajak-pajak
yang dipungut dan dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat provinsi
maupun kabupaten/kota.
Hasil dari pungutan jenis pajak ini kemudian digunakan untuk membiayai
belanja pemerintah daerah.
Proses administasinya dilaksanakan di Kantor Dinas Pendapatan Daerah atau
Kantor Pajak Daerah atau kantor sejenis yang dibawahi oleh pemerintah
daerah setempat.
Banyak yang mengira jika pajak pusat dan pajak daerah berdiri sendiri
karena hasil dari pajak pusat dan pajak daerah digunakan untuk membiayai
rumah tangga masing-masing. Nyatanya, pajak pusat dan pajak daerah
bersinergi satu sama lain dalam membangun Indonesia secara nasional dari
Aceh hingga Papua. Pembangunan nasional dapat berjalan dengan baik jika
ada kesesuaian program kegiatan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah.

Pajak berdasarkan pemungutnya:


• Pajak negara adalah pajak yang dipungut oleh negara atau pemerintah pusat
seperti PPN, PPh, dan PPnBM.
• Pajak daerah adalah pajak yang pemungutannya dilakukan oleh pemerintah
daerah seperti PBB, pajak kendaraan bermotor, pajak restoran, dan BPHTB.
Pajak adalah sumber penerimaan utama daerah selain transfer dari
pemerintah pusat.

5
BAB II
PAJAK PENGHASILAN UNTUK TRANSAKSI KHUSUS

2.1 PPh Pasal 4 Ayat 2


PPh Pasal 4 ayat 2 (Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2) atau disebut juga PPh
final adalah pajak yang dikenakan pada wajib pajak badan maupun wajib pajak
pribadi atas beberapa jenis penghasilan yang mereka dapatkan dan pemotongan
pajaknya bersifat final.
Jika itu adalah transaksi antara perusahaan dan individu, Pajak Penghasilan
(PPh) Pasal 4 Ayat 2 ditanggung penerima penghasilan yang dalam hal ini adalah
perusahaan. Lain halnya jika itu adalah transaksi yang melibatkan dua
perusahaan. Pembayar (perusahaan yang satu) diharuskan untuk mengumpulkan
dan menyelesaikan pajak. Sementara penerima (perusahaan yang lain) bebas dari
kewajiban PPh Pasal 4 Ayat 2.
Berdasarkan ketentuan, penghasilan terdiri dari penghasilan sebagai objek
pajak dan penghasilan yang bukan objek pajak. Ada dua cara yang digunakan
untuk pengenaan PPh atas penghasilan yang sebagai objek pajak. Yang pertama,
PPh secara umum dikenakan dengan memakai tarif umum (tarif Pasal 17) dan
pengenaannya tersebut dimasukkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT).
Sementara yang kedua adalah dikenakan PPh yang bersifat final.Pengenaan PPh
yang bersifat final berarti penghasilan yang diterima ataupun diperoleh akan
dikenakan PPh dalam tarif tertentu. PPh yang dikenakan, baik itu yang dipotong
pihak lain maupun yang sudah disetor sendiri, bukanlah pembayaran di muka atas
PPh terutang, melainkan sudah langsung melunasi PPh terutang untuk
penghasilan itu. Berdasarkan hal tersebut, penghasilan yang telah dikenakan PPh
final tidak akan dihitung PPh-nya pada SPT lagi untuk dikenakan tarif umum
bersamaan dengan penghasilan lainnya. Begitu pula, PPh yang telah dipotong
ataupun dibayar tersebut juga bukanlah kredit pajak pada SPT.
Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2 ini berbeda-beda untuk setiap jenis penghasilannya.
Objek PPh Pasal 4 Ayat 2 (Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2) dikenakan pada
jenis tertentu dari penghasilan/pendapatan, dan berupa:

6
• Peredaran bruto (omzet penjualan) sebuah usaha di bawah Rp 4,8 miliar
dalam 1 tahun masa pajak;
• Bunga dari deposito dan jenis-jenis tabungan, bunga dari obligasi dan
obligasi negara, dan bunga dari tabungan yang dibayarkan oleh koperasi
kepada anggota masing-masing;
• Hadiah berupa lotere/undian;
• Transaksi saham dan surat berharga lainnya, transaksi derivatif perdagangan
di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan ibukota mitra
perusahaan yang diterima oleh perusahaan modal usaha;
• Transaksi atas pengalihan aset dalam bentuk tanah dan/atau bangunan, usaha
jasa konstruksi, usaha real estate, dan sewa atas tanah dan/atau bangunan;
dan
• Pendapatan tertentu lainnya, sebagaimana diatur dalam atau sesuai dengan
Peraturan Pemerintah.

Tarif PPh Pasal 4 Ayat (2) berbeda-beda untuk setiap jenis penghasilan.
Sebagai contoh, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), wiraswasta
atau pengusaha online dengan omzet kurang dari Rp4,8 miliar dalam satu tahun
pajak, maka tarif pajaknya adalah 0,5% dari total omzet (peredaran bruto)
penjualan dalam 1 bulan. Tarif tersebut sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang
Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Pada akhir Maret setiap tahunnya, WP OP harus melaporkan PPh Final yang
didapatnya dan memasukkannya dalam lampiran SPT Tahunan 1770. Sedangkan
WP badan harus melampirkan pembayaran dan pelaporan pajak finalnya pada
SPT Tahunan Badan yang dilaporkan pada akhir April setiap tahunnya.
Berikut ini macam-macam objek pajak dengan tarifnya masing-masing yang telah
diatur pemerintah:
1. Tarif PPh Pasal 4 ayat 2 sebesar 0-20%. Tarif ini merupakan bunga dari
kewajiban. Penjelasan lebih rinci termaktub dalam PP No. 16 Tahun 2009;

7
2. Tarif PPh Pasal 4 ayat 2 sebesar 0,1%. Tarif pajak sebesar 0,1% ini
dikenakan pada transaksi dari penjualan saham atau pengalihan ibu kota
mitra perusahaan yang telah diterima oleh modal usaha, sebagaimana telah
diatur di dalam PP No. 4 Tahun 1995;
3. Tarif PPh Paasl 4 ayat 2 sebesar 0,5%. Tarif pajak ini untuk transaksi
penjualan saham pendiri (0,5%) dan saham bukan pendiri (non-founder)
sebesar 0,1%. Ketentuan ini tercantum dalam PP No. 14 Tahun 1997 serta
turunannya Keputusan Menteri Keuangan No. 282/KMK.04/1997, SE-
15/PJ.42/1997 dan SE-06/PJ.4/1997;
4. Tarif PPh Pasal 4 ayat 2 sebesar 2-6%.Tarif pajak ini untuk jasa konstruksi.
Penjelasan lebih lanjutnya bisa ditemukan pada PP No. 51 Tahun 2008 serta
turunannya PP No. 40 Tahun 2009;
5. Tarif PPh Pasal 4 ayat 2 sebesar 2,5%.Tarif PPh Pasal 4 ayat 2 sebesar 2,5%
ini untuk transaksi derivatif berjangka panjang yang telah diperdagangkan di
bursa sebagaimana telah diatur PP No. 17 Tahun 2009;
6. Tarif PPh Pasal 4 ayat 2 sebesar 5%. Tarif sebesar ini dikenakan pada
pengalihan hak atas tanah atau bangunan (dalam hal ini termasuk usaha real
estate), seperti yang tercantum dalam PP No. 71 Tahun 2008;
7. Tarif PPh Pasal 4 ayat 2 sebesar 10%. Besar tarif PPh Pasal 4 ayat 2 ini
dikenakan pada bunga simpanan yang dibayarkan koperasi kepada para
anggotanya masing-masing sebagaimana telah diatur pada Pasal 17 Ayat 7
serta turunannya PP No. 15 Tahun 2009. Tarif PPh Pasal 4 ayat 2 sebesar
10% ini juga diperuntukkan pada dividen yang diterima WP OP di dalam
negeri seperti diatur dalam Pasal 17 Ayat 2C.Tarif pajak 10% ini juga untuk
sewa atas tanah atau bangunan. Hal ini diatur dalam PP No. 29 Tahun 1996
dan juga turunannya PP No. 5 Tahun 2002;
8. Tarif PPh Pasal 4 ayat 2 sebesar 20%.Tarif ini untuk bunga deposito serta
jenis-jenis tabungan, Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan diskon jasa giro
sesuai PP No. 131 Tahun 2000 serta turunannya Keputusan Menteri
Keuangan No. 51/KMK.04/2001;

8
9. Tarif PPh Pasal 4 ayat 2 sebesar 25%. Tarif ini diberlakukan pada hadiah,
lotre atau undian seperti diatur dalam PP No. 132 Tahun 2000.

2.2 Kredit pajak luar negeri (PPh 24)


PPh Pasal 24 (Pajak Penghasilan Pasal 24) adalah peraturan yang mengatur
hak wajib pajak untuk memanfaatkan kredit pajak mereka di luar negeri, untuk
mengurangi nilai pajak terhutang yang dimiliki di Indonesia.
Sehingga, jumlah pajak yang harus dibayar di Indonesia dapat dikurangi dengan
jumlah pajak yang telah mereka bayar di luar negeri, asalkan nilai kredit pajak di
luar negeri tidak melebihi hutang pajak yang ingin dibayar di Indonesia.
Pemanfaatan kredit pajak di luar negeri ini dimaksudkan agar wajib pajak tidak
terkena pajak ganda.
Ada beberapa situasi dimana seorang wajib pajak memiliki kewajiban untuk
membayar pajak, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di luar negeri.
Sumber penghasilan kena pajak yang dapat digunakan untuk memotong hutang
pajak Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Pendapatan dari saham dan surat berharga lainnya, serta keuntungan dari
pengalihan saham dan surat berharga lainnya.
2. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa yang berkaitan dengan
penggunaan harta-benda bergerak.
3. Penghasilan berupa sewa yang berkaitan dengan penggunaan harta-benda
tidak bergerak.
4. Penghasilan berupa imbalan yang berhubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan.
5. Pendapatan dari Bentuk Usaha Tetap (BUT) di luar negeri.
6. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau
tanda keikutsertaan dalam pembiayaan atau pemanfaatan di sebuah
perusahaan pertambangan.
7. Keuntungan dari pengalihan aset tetap.
8. Keuntungan dari pengalihan aset yang merupakan bagian dari suatu bentuk
usaha tetap (BUT). Jika nilai pajak di luar negeri yang telah kita gunakan

9
sebagai kredit pajak di Indonesia, telah berkurang atau dikembalikan kepada
kita, sehingga nilai kredit kita kurang untuk menutup pajak terhutang di sini,
maka kita harus membayar jumlah terhutang tersebut ke kantor pelayanan
pajak Indonesia.
Apabila penghasilan luar negeri mengalami perubahan, maka wajib pajak
diharuskan melakukan pembetulan SPT tahun pajak yang bersangkutan.

2.2.1 Mekanisme Penghitungan PPh Pasal 24


Berikut sedikit ilustrasi penghitungan PPh Pasal 24:
Katakanlah PT ABC tahun 2017 memperoleh pendapatan neto di dalam
negeri sebesar Rp25.000.000.000 dan dari luar negeri sebesar
Rp10.000.000.000. Asumsi pajak di luar negeri sebesar 20%. Total
penghasilan yang tercatat adalah sebesar Rp35.000.000.000 (Penghasilan
dalam negeri + penghasilan luar negeri.
Total PPh Terutang: 25% × Rp35.000.000.000=Rp 8.750.000.000
PPh Maksimum yang dapat dikreditkan: (Penghasilan Luar Negeri/Total
Penghasilan) ×Total PPh Terutang (Rp10.000.000.000/Rp35.000.000.000)
× Rp8.750.000.000=Rp2.500.000.000.
Jadi, PPh terutang yang sudah dibayarkan di luar negeri adalah sebesar
Rp2.500.000.000. Nah, nominal ini yang akhirnya digunakan sebagai
pengurang pajak dalam negeri. Namun, apabila wajib pajak hendak
mengkreditkan PPh terutang yang sudah dibayarkan pada pajak dalam
negeri, terlebih dahulu harus melapor kepada Kepala Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) dan melaporkannya pada saat melapor SPT Tahunan.
Pelaporannya dilengkapi dengan tax return yang dilaporkan di luar negeri
dan dokumen-dokumen pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak
di luar negeri.

10
2.2.2 Koreksi PPh Pasal 24
Adanya koreksi di luar negeri, yang menyebabkan pajak atas penghasilan
terutang di luar negeri dilaporkan lebih besar dalam SPT Tahunan, dan
menyebabkan pajak di luar negeri tertera kurang bayar, maka akan
berakibat kemungkinan PPh yang di Indonesia menjadi kurang bayar.
Nah, untuk yang satu ini, wajib pajak bisa melakukan koreksi sendiri
dengan melakukan pembetulan atas SPT. Jika pembetulan sudah dilakukan,
maka bunga terutang atas pajak yang kurang dibayar tidak akan ditagih.
Jika koreksi yang terjadi menyebabkan penghasilan terutang luar negeri
lebih kecil daripada yang dilaporkan dalam SPT, maka akan menyebabkan
laporan pajak luar negeri lebih bayar.
Adanya koreksi ini mengakibatkan PPh terutang di Indonesia juga menjadi
lebih kecil. Akibatnya PPh kelebihan bayar. Kelebihan ini bisa
dikembalikan setelah dilakukan perhitungan dengan utang pajak yang lain.

2.2.3 Persyaratan Administratif Pengkreditan Pajak Luar Negeri.


Seperti yang dikatakan pada poin sebelumnya, wajib pajak yang telah
membayarkan pajaknya di luar negeri, kemudian ingin mengkreditkannya
di Indonesia, terlebih dahulu harus menyampaikan permohonan ke Kantor
Pelayanan Pajak (KPP).
Permohonan kemudian dilaporkan bersamaan pada saat pelaporan SPT
Tahunan dengan melampirkan sejumlah dokumen yakni:
• Laporan keuangan dari luar negeri.
• Fotokopi SPT (Tax Return) yang dilaporkan di luar negeri.
• Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.
Demi meringankan beban pajak penghasilan yang diperoleh di luar negeri,
maka penghasilan yang diterima di luar negeri bisa dikreditkan terhadap
pajak terutang atas seluruh penghasilan wajib pajak dalam negeri.
Lalu, apakah PPh Pasal 24 dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang
di Indonesia? Jawabannya, bisa. Akan tetapi pengenaan pajaknya harus
dalam tahun yang sama. Selain itu, besarnya kredit pajak yang dapat

11
dikreditkan sama dengan pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di
luar negeri.

2.2.4 Mekanisme Pengkreditan PPh yang Dibayarkan di Luar Negeri


Berikut ini poin-poin yang perlu diketahui tentang mekanisme pengkreditan
PPh yang dibayarkan di luar negeri:
1. Pajak Penghasilan yang terutang di luar negeri dapat dikreditkan
dengan PPh yang terutang di Indonesia.
2. Pengkreditan PPh yang dibayar di luar negeri (PPh Pasal 24) dilakukan
dalam tahun pajak digabungkannya penghasilan dari luar negeri
tersebut dengan penghasilan di Indonesia.
3. Jumlah PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan maksimum sebesar jumlah
yang lebih rendah di antara PPh yang dibayar atau terutang di Luar
Negeri dan jumlah yang dihitung menurut perbandingan antara
penghasilan dari luar negeri dan seluruh Penghasilan Kena Pajak, atau
maksimum sebesar PPh yang terutang atas seluruh Penghasilan Kena
Pajak dalam hal di dalam negeri mengalami kerugian (Penghasilan dari
luar negeri lebih besar dari jumlah Penghasilan Kena Pajak).
4. Apabila penghasilan dari luar negeri dari beberapa negara, maka
penghitungan PPh pasal 24 dilakukan untuk masing-masing Negara.
5. Penghasilan Kena Pajak yang dikenakan PPh Final (Pasal 4 ayat 2)
dan/atau penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri tidak dapat
digabungkan dengan penghasilan lainnya, baik yang diperoleh dari
dalam negeri maupun luar negeri.
6. Dalam hal jumlah PPh yang dibayarkan atau terutang di luar negeri
melebihi PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan, kelebihan tersebut tidak
dapat diperhitungkan di tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan
sebagai biaya, dan tidak dapat direstitusi.
7. Dalam melaksanakan pengkreditan PPh luar negeri, wajib pajak wajib
menyampaikan permohonan ke KPP bersamaan dengan penyampaian
SPT Tahunan PPh, dilampiri dengan:

12
• Laporan keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri,
• Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar
negeri,
• Dokumen pembayaran PPh di luar negeri.
8. Atas permohonan wajib pajak, Kepala KPP dapat memperpanjang
jangka waktu penyampaian lampiran-lampiran seperti yang disebutkan
di atas karena alasan-alasan yang ada di luar kekuasaan wajib pajak.
9. Dalam hal terjadinya perubahan besaran penghasilan yang berasal dari
luar negeri, wajib pajak perlu bahkan wajib melakukan pembetulan
SPT Tahunan yang bersangkutan dengan melampirkan dokumen-
dokumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut.
10. Jika pembetulan SPT tersebut menyebabkan PPh kurang bayar, maka
atas kekurangan bayar tersebut tidak akan dikenakan sanksi bunga.
11. Jika pembetulan SPT tersebut menyebabkan lebih bayar, maka atas
kelebihan tersebut dapat dikembalikan kepada wajib pajak setelah
diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.

2.2.5 Pengkreditan Pajak Penghasilan yang Telah Dipotong Atas Dividen


Proses pengkreditan pajak penghasilan yang telah dipotong atas dividen
yang diterima dari BULN Non-bursa terkendali langsung pada Tahun pajak
dibayarkan/dipotong pajak penghasilan tersebut.Hal ini diatur dalam Pasal
7 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.03/2017 tentang
Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya oleh
Wajib Pajak Dalam Negeri Atas Penyetaraan Modal pada Badan Usaha di
Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek.
Kemudian, wajib pajak dalam negeri yang mengkreditkan pajak
penghasilannya harus menyampaikan penghitungan pengkreditan pajak
penghasilan yang telah dibayar atau dipotong atas dividen yang diterima
dari BULN Nonbursa terkendali langsung kepada Direktur Jenderal Pajak
dengan melampirkan beberapa dokumen sebagai berikut:
• Laporan keuangan.

13
• Fotokopi surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan, dalam hal
terdapat kewajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan
pajak penghasilan.
• Penghitungan atau rincian laba dalam 5 tahunan terakhir.
• Bukti pembayaran pajak penghasilan atau bukti pemotongan pajak
penghasilan atas dividen yang diterima.
Penyampaian penghitungan tersebut dilakukan bersamaan dengan
penyampaian SPT Tahunan PPh.

2.3 Ketentuan Khusus PPh atas transaksi / industri tertentu


Ada beberapa ketentuan khusus PPh atas transaksi / industry tertentu menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku, beberapa dibawah ini
penjelasannya.
2.3.1 Penghasilan modal ventura
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, penghasilan berupa keuntungan
karena penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal merupakan
Objek Pajak Penghasilan. Perusahaan modal ventura merupakan wahana
pembiayaan yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana pemerataan
kesempatan berusaha bagi para pemodal kecil dan menengah termasuk
koperasi, yang pada akhirnya akan membantu perkembangan perekonomian
nasional.
Berikut poin-poin yang perlu diketahui tentang penghasilan perusahaan
modal ventura dari transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangan usahanya :
1. Atas penghasilan perusahaan modal ventura dari transaksi penjualan
saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangan
usahanya dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
2. Perusahaan pasangan usaha adalah perusahaan yang memenuhi syarat
sebagai berikut :

14
a. merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang melakukan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan
b. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
3. Besarnya Pajak Penghasilan adalah 0,1% (satu perseribu) dari jumlah
bruto nilai transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal.
4. Dalam hal transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal tersebut dilakukan melalui bursa efek, maka pengenaan Pajak
Penghasilannya dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan tentang Pajak Penghasilan atas
peng-hasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek.
5. Atas penghasilan perusahaan modal ventura dari transaksi penjualan
saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangan
usaha yang tidak memenuhi ketentuan dikenakan Pajak Penghasilan
sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1994.
6. Perusahaan modal ventura wajib membukukan secara terpisah
penghasilan.
7. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyetoran dan pelaporan pajak serta
pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.

2.3.2 Transaksi Pasar Modal


Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 mendefinisikan pasar modal
sebagai kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan
perdagangan Efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan Efek yang
diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek.
Indonesia Stock Exchange (IDX) mendefinisikan pasar modal adalah sarana

15
bertemunya perusahaan maupun institusi lain (misalnya pemerintah) yang
membutuhkan dana dari masyarakat untuk pengembangan usaha, ekspansi,
penambahan modal kerja dan lain-lain, dengan masyarakat yang hendak
menginvestasikan dana mereka.
Investasi dapat diartikan sebagai dana yang diberikan oleh investor
atau investor yang berkomitmen untuk memberikan dana kepada suatu
perusahaan dengan harapan akan memperoleh hasil/keuntungan dari dana
yang tersebut dalam periode/jangka waktu tertentu. Sebelum memutuskan
untuk melakukan investasi, Investor mempertimbangkan banyak faktor
pada suatu perusahaan. Investor akan memilih berinvestasi pada perusahaan
yang memiliki risiko kecil dan memberikan keuntungan yang besar.
Volume transaksi di pasar modal yang banyak serta dengan jumlah
yang tidak sedikit membuat pemerintah berperan dalam menciptakan aturan
dan iklim investasi yang baik dalam transaksi pasar modal. Hal ini
dilakukan untuk menarik minat investor agar berinvestasi di Indonesia.
Salah satunya adalah dengan mengatur besaran pajak pada transaksi di
pasar modal.
Pajak Penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 tentang Pajak
Penghasilan Atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa
Efek. Pajak dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang
pribadi atau badan dari transaksi penjualan saham di bursa efek dipungut
pajak penghasilan yang bersifat final. Adapun besaran Pajak Penghasilan
yang ditetapkan untuk semua transaksi penjualan saham adalah sebesar
0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan yang dipungut oleh
penyelenggara bursa efek.
Dalam transaksi saham, terdapat kegiatan pembagian dividen. Dividen
merupakan distribusi suatu nilai kepada pemegang saham secara
proposional berdasarkan jumlah saham yang dimiliki oleh pemegang saham
oleh suatu perusahaan. Dividen yang dibagikan kepada pemegang saham
tersebut berasal dari saldo laba ditahan (retained earnings) dari suatu

16
perusahaan. Saldo laba ditahan tersebut merupakan akumulasi dari laba
bersih perusahaan yang sebelumnya telah dikenai Pajak Penghasilan sesuai
ketentuan yang berlaku. Berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, tarif yang dikenakan atas
penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada Wajib Pajak Orang
Pribadi dalam negeri adalah paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan
bersifat final. Sedangkan tarif pajak yang dikenakan atas dividen yang
diberikan kepada badan usaha sebesar 15% (lima belas persen) dari
penghasilan bruto. Wajib Pajak Badan yang memperoleh dividen dari
kepemilikan saham minimal 25% tidak dikenai pajak penghasilan.
Pada UU Cipta Kerja, ketentuan ini diubah di mana atas dividen dari
dalam negeri, Wajib Pajak Badan dalam negeri dengan kepemilikan saham
berapapun tidak dikenai PPh, sedangkan Wajib Pajak Orang Pribadi dalam
negeri dikenai PPh Final 10%.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 91 tahun 2021, obligasi
adalah surat utang, surat utang negara, dan obligasi daerah yang berjangka
waktu lebih dari 12, (dua belas) bulan yang diterbitkan oleh pemerintah dan
nonpemerintah, termasuk surat utang yang diterbitkan berdasarkan prinsip
syariah (sukuk). Bunga Obligasi adalah imbalan yang diterima atau
diperoteh pemegang Obligasi dalam bentuk bunga, ujrah/fee, bagi hasil,
margin, penghasilan sejenis lainnya, dan/atau diskonto. Pajak atas obligasi
dipotong oleh penerbit obligasi atau perusahaan efek. Adapun besaran tarif
pajak penghasilan atas bunga obligasi adalah bersifat final yaitu sebesar
10% (sepuluh persen) dari dasar pengenaan pajak penghasilan. Dasar atas
pengenaan pajak obligasi yaitu sebagai berikut:
a. bunga dari Obtigasi dengan kupon, sebesar jumlah bruto sesuai dengan
masa kepemilikan Obligasi;
b. diskonto dari Obligasi dengan kupon, sebesar selisih lebih harga jual
atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi, tidak termasuk
bunga berjalan; dan

17
c. diskonto dari Obligasi tanpa bunga, sebesar selisih Iebih harga jual atau
nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi.

2.3.3 Penghasilan yang di Bebankan pada Keuangan Negara/Daerah


Penghasilan yang dibebankan pada keuangan negara atau daerah diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif
Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan
yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pajak Penghasilan Pasal 21
yang terutang atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi
beban APBN atau APBD ditanggung oleh Pemerintah atas beban APBN
atau APBD. Penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban
APBN atau APBD meliputi penghasilan tetap dan teratur bagi:
a. Pejabat Negara, untuk:
1) gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan;
atau
2) imbalan tetap sejenisnya
b. PNS, Anggota TNI, dan Anggota POLRI, untuk gaji dan tunjangan lain
yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
c. Pensiunan, untuk uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya tetap
dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Terhadap penghasilan berupa gaji dan tunjangan lain atau uang pensiun
dan tunjangan lain yang bersifat tetap dan teratur setiap bulan yang
dibebankan dalam APBN atau APBD yang besarnya ditetapkan oleh
ketentuan peraturan perudang-undangan, yang diterima oleh Pejabat
Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya, Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang terutang ditanggung oleh pemerintah.
Sedangkan atas penghasilan selain gaji dan tunjangan lain atau uang

18
pensiun dan tunjangan lain yang bersifat tetap dan teratur setiap bulan atau
imbalan tetap sejenisnya berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama
apapun yang menjadi beban APBN atau APBD, dikenai pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final dengan tarif:
a. sebesar 0% (nol persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan
lain bagi PNS Golongan I dan Golongan II, Anggota TNI dan Anggota
POLRI Golongan Pangkat Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya;
b. sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan
lain bagi PNS Golongan III, Anggota TNI dan Anggota POLRI
Golongan Pangkat Perwira Pertama, dan Pensiunannya;
c. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto honorarium atau
imbalan lain bagi Pejabat Negara, PNS Golongan IV, Anggota TNI dan
Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Menengah dan Perwira
Tinggi, dan Pensiunannya.

2.3.4 Konstruksi
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008, jasa konstruksi
adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan
jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi
pengawasan pekerjaan konstruksi. Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan
atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta
pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal,
elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya
untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain. Perencanaan
Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang
dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi
yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan
bangunan fisik lain.
Pelaksanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau
badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa

19
konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan
suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain,
termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan
fungsi layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan
pembangunan (engineering, procurement and construction) serta model
penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and build).
Pengawasan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau
badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa
konstruksi, yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal
pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.
Pengguna Jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk usaha tetap
yang memerlukan layanan jasa konstruksi. Penyedia Jasa adalah orang
pribadi atau badan termasuk bentuk usaha tetap, yang kegiatan usahanya
menyediakan layanan jasa konstruksi baik sebagai perencana konstruksi,
pelaksana konstruksi dan pengawas konstruksi maupun sub-subnya.
Atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi dikenakan Pajak
Penghasilan yang bersifat final. Tarif Pajak Penghasilan untuk usaha Jasa
Konstruksi adalah sebagai berikut:
a. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh
Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;
b. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh
Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;
c. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh
Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf
a dan huruf b;
d. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan
Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi
usaha; dan
e. 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan
Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki
kualifikasi usaha.

20
2.3.5 Pajak Penghasilan atas Dana Pensiun
Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, menyatakan bahwa penghasilan
dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang
tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan
dikecualikan dari objek pajak.
Dalam rangka melaksanakan ketentuan pasal 4 ayat (3) poin h tersebut
diatas maka ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan No. 234/PMK.03/2009
tentang Bidang Penanaman Modal Tertentu yang Memberikan Penghasilan
kepada Dana Pensiun yang Dikecualikan Sebagai Objek Pajak Penghasilan.
Penghasilan yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan Menteri Keuangan dari penanaman modal berupa:
1. Bunga, diskonto, dan imbalan dari deposito, sertifikat deposito, dan
tabungan, pada bank di Indonesia yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah, serta Sertifikat
Bank Indonesia
2. Bunga, diskonto, dan imbalan dari obligasi, obligasi syariah (sukuk),
Surat Berharga Syariah Negara, dan Surat Perbendaharaan Negara,
yang diperdagangkan dan / atau dilaporkan perdagangannya pada bursa
efek di Indonesia
3. Dividen dari saham pada perseroan terbatas yang tercatat pada bursa
efek di Indonesia, dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan

2.3.6 Restrukturisasi Hutang


Restrukturisasi hutang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun
2001 mengenai pemberian keringanan Pajak Penghasilan kepada Wajib
Pajak yang melakukan restrukturissi utang usaha melalui lembaga khusus
yang dibentuk pemerintah. Restrukturisasi hutang hanya dapat dilakukan
oleh Satuan Tugas Prakarsa Jakarta. Keringanan pajak diberikan pada

21
kreditur dan juga debitur berdasar rekomendasi Komite Kebijakan Standar
Keuangan yang berada di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian.
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan :
1. Restrukturisasi utang usaha melalui lembaga khusus yang dibentuk
Pemerintah adalah restrukturisasi dalam rangka penyelesaian utang
usaha antara debitur dan kreditur yang dilakukan berdasarkan
perjanjian yang sah sesuai dengan program kebijakan Pemerintah
melalui mediasi Satuan Tugas Prakarsa Jakarta (Jakarta Initiative Task
Force).
2. Utang usaha adalah pinjaman yang diperoleh dan telah dipergunakan
oleh debitur untuk menjalankan kegiatan usaha di Indonesia.
3. Satuan Tugas Prakarsa Jakarta yang selanjutnya disebut STPJ adalah
lembaga khusus yang dibentuk oleh Pemerintah sebagai fasilitator dan
mediator penyelesaian restrukturisasi utang-utang swasta di luar
pengadilan.
4. Debitur adalah Wajib Pajak dalam negeri menurut ketentuan Undang-
undang Perpajakan yang mempunyai utang usaha kepada kreditur,
yang terdaftar di STPJ dan dinyatakan secara tertulis oleh STPJ sebagai
debitur yang memenuhi persyaratan dalam rangka restrukturisasi utang
usaha.
5. Kreditur adalah pihak yang berkedudukan di dalam negeri atau di luar
negeri yang memberikan pinjaman usaha kepada debitur, yang
terdaftar di STPJ dan dinyatakan secara tertulis oleh STPJ sebagai
kreditur yang memenuhi persyaratan dalam rangka restrukturisasi
utang usaha.
6. Pihak Ketiga adalah pihak selain debitur dan kreditur yang disepakati
bersama oleh debitur, kreditur dan STPJ untuk diikutsertakan dalam
rangka restrukturisasi utang usaha.

Restrukturisasi utang usaha terdiri dari :

22
1. Pembebasan utang (hair cut)
2. Pengalihan harta kepada kreditur untuk penyelesaian utang (debt to
asset swap)
3. Perubahan utang menjadi penyertaan modal (debt to equity swap).
Pajak Penghasilan yang terutang atas keuntungan karena pembebasan
utang (hair cut) yang diperoleh debitur dibebaskan sebesar 30% (tiga puluh
persen). Pajak Penghasilan yang tidak dibebaskan atas keuntungan
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat diangsur pembayarannya sejak
tanggal Ketetapan Pajak, paling lama 5 (lima) tahun kecuali apabila
sebelum batas waktu tersebut berakhir perusahaan debitur dibubarkan atau
dialihkan kepada pihak lain.
Pajak Penghasilan yang terutang atas keuntungan yang diperoleh
debitur atau pihak ketiga karena pengalihan harta kepada kreditur (debt to
asset swap) untuk penyelesaian utang dibebaskan sepanjang pengalihan
harta tersebut dinilai sebesar nilai buku harta pihak yang mengalihkan.
Apabila nilai buku harta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih besar
dari nilai buku utang, atas selisihnya merupakan kerugian debitur yang
dapat dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak dan merupakan
keuntungan kreditur yang terutang Pajak Penghasilan.
Apabila nilai buku harta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih
rendah dari nilai buku utang, atas selisihnya merupakan kerugian kreditur
yang dapat dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak dan merupakan
keuntungan debitur yang dikenakan Pajak Penghasilan sesuai ketentuan
Pasal 4.
Pajak Penghasilan yang terutang atas keuntungan yang diperoleh
debitur atau kreditur karena perubahan utang menjadi penyertaan modal
kreditur pada perusahaan debitur (debt to equity swap) baik langsung
maupun melalui pihak ketiga, dibebaskan sepanjang penyertaan modal
tersebut dinilai sebesar nilai buku utang pihak debitur. Atas utang bunga
yang diberikan pembebasan tidak terutang Pajak Penghasilan oleh kreditur.
Apabila terdapat Pajak Penghasilan Pasal 23 atau Pasal 26 atas utang bunga

23
yang diberikan pembebasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang
telah disetorkan oleh debitur, maka Pajak Penghasilan Pasal 23 atau Pasal
26 tersebut dapat dikembalikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Atas utang bunga yang tidak diberikan pembebasan termasuk utang
bunga yang diubah menjadi utang baru dan atau penyertaan modal, tetap
terutang Pajak Penghasilan oleh kreditur. Pemotongan dan penyetoran
Pajak Penghasilan Pasal 23 atau Pasal 26 oleh debitur berkenaan dengan
utang bunga yang tidak diberikan pembebasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) :
1. Untuk utang bunga yang diubah menjadi utang baru dan atau
penyertaan modal tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
2. Untuk utang bunga lainnya, diberikan penundaan hingga saat
pembayaran dan paling lama 5 (lima) tahun.

Selain itu, dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 Pasal 4 ayat (1)
huruf k mengatur pembebasan pajak dengan mengurangi Pendapatan Kena
Pajak debitur sebesar pembebasan pajak yang diterima debitur bagi debitur
yang menerima pembebasan hutang hinga batasan 350 juta Rupiah.
(Pembebasan itu tidak menjadi penghasilan bagi debitur) Kreditur juga
menerima keringanan pajak berupa pengurangan penghasilan
sebesar pembebasan pajak yang diberikan kreditur seperti diatur di dalam
UU PPh pasal 6 ayat (1) huruf h.
Hal ini juga berlaku bagi pembebasan bunga. ( Tidak akan mengurangi
peghasilan kena pajak kreditor) Berdasarkan Keputusan Direktur Jendral
Pajak Nomor Kep. 28/PJ71999, pengakuan penghasilan atas pembebasan
hutang bagi wajib pajak tertentu memutuskan bahwa keuntungan dari
penghapusan hutang dari kreditur dalam pelaksanaan program pemerintah,
pengakuan penghasilan atas penghapusan hutang tersebut dapat diakui

24
bertahap selama 5 tahun, tiap tahun sebesar 20% dari total penghapusan
hutang.
Kreditur juga dapat memilih untuk mengakui keuntungan pembebasan
hutang tersebut secara sekaligus. Kreditur harus melaporkan hal ini kepada
Kantor Pelayanan Pajak setempat, jika tidak, maka kreditur akan dianggap
mengakui keuntungan pembebasan hutang tersebut secara sekaligus.

2.3.7 Holding Company, Merger dan Akuisisi


Holding Company adalah perusahaan yang didirikan khusus untuk
menguasai saham perusahaan lain dan mengontrol aktivitasnya. Contoh
perusahaan yang melakukan holding company adalah PT. Semen Gresik.
PT Semen Gresik Tbk membentuk perusahaan induk (holding company)
yang diberi nama PT. SEMEN INDONESIA (Persero) Tbk yang menaungi
PT. Semen Gresik, PT. Semen Padang, dan PT. Semen Tonasa dan Thang
Long Cement Company.
Permodalan Semen Gresik masih yang paling kuat, sedangkan
pertumbuhan kinerja Semen Padang dan Tonasa berada di peringkat
terbawah sehingga PT Semen Gresik Tbk melakukan Holding company
untuk meningkatkan kinerja perusahaannya.
Merger merupakan gabungan dari dua perusahaan sehingga menjadi
satu, dimana perusahaan yang melakukan merger sebagai pengambil atau
pembeli semua assets dan liabilities perusahaan yang dibeli atau di merger,
sehingga perusahaan yang melakukan merger atau pembeli paling tidak
akan mendapatkan 50% saham dari perusahaan yang di beli. Merger terjadi
manakala dua organisasi yang berukuran kurang lebih sama bersatu untuk
membangun satu jenis usaha.
Jenis-jenis merger (Brigham dan Houston 2001):
1. Merger horizontal
Merger horizontal adalah penggabungan dua jenis perusahaan
yang menghasilkan jenis produk atau jasa yang sama. Merger ini
terjadi apabila perusahaan dalam jenis usaha yang sama saling

25
bergabung, misalnya jika suatu pabrikan komputer mengakuisisi
pabrikan lain.
2. Merger vertikal
Merger vertikal adalah penggabungan atau merger antara satu
perusahaan dengan salah satu pemasok atau pelangganya. Contoh
merger vertikal adalah pengambilalihan pabrik baja oleh suatu
pemasoknya, seperti perusahaan minyak yang mengakuisisi sebuah
perusahaan petrokimia yang menggunakan minyak sebagai bahan
baku.
3. Merger kongenerik
Merger kongenerik adalah penggabungan perusahaan yang bergerak
dalam industri umum yang sama tetapi tidak ada hubungan pelanggan
dan pemasok diantara keduanya. Merger ini melibatkan
perusahaanperusahaan yang berkaitan satu sama lain tetapi bukan
merupakan produsen produk yang sama (horizontal) dan juga tidak
mempunyai hubungan sebagai produsen pemasok (vertikal). Contoh
dari merger jenis ini adalah pengambilalihan Lotus oleh IBM .
4. Merger konglomerat
Merger konglomerat adalah penggabungan perusahaan dari industri
yang benar-benar berbeda, seperti halnya pengambilalihan
Mongtomery oleh Mobil Oil.

Akuisisi adalah pengambilan kepemilikan atau pengendalian atas


saham atau asset suatu perusahaan oleh perusahaan lain, dan dalam
peristiwa ini baik perusahaan pengambilalih atau yang diambil alih tetap
eksis sebagai badan hukum yang terpisah. Contoh dari proses akuisisi yaitu
Aqua yang diakuisisi oleh Danone, Pizza Hut yang telah diakuisisi oleh
Coca Cola, dan lain sebagainya.

Akuisisi dapat dibedakan dalam tiga kelompok besar, yaitu:

26
a. Akuisisi horizontal, yaitu akuisisi yang dilakukan oleh suatu badan
usaha yang masih dalam bisnis yang sama.
b. Akuisisi vertical, yaitu akuisisi pemasok atau pelanggan badan usaha
yang dibeli.
c. Akuisisi konglomerat, yaitu akuisisi badan usaha yang tidak ada
hubungannya sama sekali dengan badan usaha pembeli.

Klasifikasi berdasarkan obyek yang diakuisisi dibedakan atas akuisisi


saham dan akuisisi asset, yaitu:
1. Akuisisi saham
Istilah akuisisi digunakan untuk menggambarkan suatu transaksi jual
beli perusahaan, dan transaksi tersebut mengakibatkan beralihnya
kepemilikan perusahaan dari penjual kepada pembeli. Akuisisi saham
merupakan salah satu bentuk akisisi yang paling umum ditemui dalam
hampir setiap kegiatan akuisisi.
2. Akuisisi Asset
Apabila sebuah perusahaan bermaksud memiliki perusahaan lain maka
ia dapat membeli sebagian atau seluruh aktiva atau asset perusahaan
lain tersebut. Jika pembelian tersebut hanya sebagian dari aktiva
perusahaan maka hal ini dinamakan akuisisi parsial. Akuisisi asset
secara sederhana dapat dikatakan merupakan Jual beli (asset) antara
pihak yang melakukan akuisisi asset ( sebagai pihak pembeli ) dengan
pihak yang diakuisisi assetnya (sebagai pihak penjual), Jika akuisisi
dilakukan dengan pembayaran uang tunai. Atau Perjanjian tukar
menukar antara asset yang diakuisisi dengan suatu kebendaan lain
milik dan pihak yang melakukan akuisisi, jika akuisisi tidak dilakukan
dengan cara tunai.

2.3.8 Pelayaran, Penerbangan dan Pengeboran

27
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 15 adalah pengenaan pajak penghasilan
kepada sejumlah wajib pajak dengan kegiatan industri tertentu. Namun,
wajib pajak industri tersebut mendapat kesulitan tiap kali perhitungan
Penghasilan Kena Pajak. Oleh karena itu, Menteri Keuangan menetapkan
tata cara perpajakan PPh 15.
Apa itu PPh Pasal 15?
PPh Pasal 15 adalah salah satu jenis pengenaan pajak penghasilan atau
pungutan pajak pada industri di bidang pelayaran, penerbangan
internasional, serta perusahaan asing. UU No 36 Tahun 2008 menjadi dasar
hukum PPh Pasal 15.
Selain itu, subjek pasal PPh Pasal 15 juga mencakup perusahaan pengeruk
minyak maupun perusahaan yang menanamkan modal berbentuk build-
operate-transfer (BOT), seperti proyek infrastruktur. Contohnya,
pembangunan metro, jalan tol, dan lain-lain.
Secara spesifik, berikut aktivitas usaha yang terkena PPh Pasal 15:
1. Pelayaran dalam Negeri
2. Pelayaran & Penerbangan Luar Negeri
3. Charter Penerbangan dalam Negeri
4. Perusahaan Asuransi Asing
5. Wajib pajak dari luar negeri dengan kantor atau usaha perwakilan
dagang mereka di Indonesia
6. Wajib pajak dengan kegiatan perusahaan berupa jasa maklon secara
internasional dalam memproduksi mainan anak.
Sementara itu, objek pajak PPh Pasal 15 adalah seluruh nilai atau
imbalan pengganti yang dapat berupa uang maupun nilai mata uang yang
didapatkan oleh perusahaan atau badan berdasar atas kesepakatan charter
dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dilakukan dari satu
pelabuhan menuju pelabuhan lainnya di Indonesia atau ke luar negeri,
begitu juga sebaliknya.

28
Perjanjian charter adalah perjanjian yang mencakup keseluruhan
bentuk charter, seperti penyewaan ruang pesawat baik bagi orang maupun
barang atau space charter.
Tarif PPh 15 Beserta Dasar Pengenaannya
• Perusahaan Pelayaran
Laba bersih = 6% x Omzet Bruto
Pajak penghasilan = 1,8% x Omzet Bruto
• Perusahaan Pelayaran dalam Negeri
Laba bersih = 4% x Omzet Bruto
Pajak penghasilan = 1,2% x Omzet Bruto
• Pelayaran Asing dan/atau Perusahaan Maskapai Penerbangan
Laba bersih = 6% x Omzet Bruto
Pajak penghasilan = 2.64% x Omzet Bruto
• Wajib Pajak Internasional (WPLN)
WPLN yang mempunyai usaha perdagangan perwakilan di Indonesia,
tetapi tidak mempunyai perjanjian bilateral dibawah perjanjian pajak
Indonesia (P3B).
Laba bersih = 1% x Nilai Ekspor Bruto
Penyelesaian pajak penghasilan = 0.44% x Nilai Ekspor Bruto
• Pihak dengan Kemitraan BOT
Pihak yang menjalankan kemitraan BOT dalam bentuk perjanjian
bangun-guna-serah atau build-operate-transfer (BOT)
Pajak penghasilan = 5% x bruto nilai tertinggi nilai pasar dengan Nilai
Jual Objek Pajak (NJOP).

Contoh Perhitungan PPh Pasal 15


Cara menghitung jumlah pajak penghasilan oleh badan usaha yakni:
“Tarif efektif dikalikan pendapatan peredaran bruto sesuai perjanjian
charter.”
Sementara mekanisme pemotongan PPh Pasal 15 atas pajak penghasilan
dilakukan ketika terdapat utang pada nilai pengganti atau imbalan.

29
Contoh Kasus
Pajak penghasilan atas penyewaan kapal yang dimiliki oleh perusahaan
Indonesia. Kemudian, PT Selam Segitiga melakukan pembayaran atas sewa
kapal tersebut kepada PT Laut Biru sejumlah Rp30.000.000.
Maka perhitungannya:
Penghasilan sewa kapal = Rp30.000.000
Tarif PPh Pasal 15 = 1,2 %
Rp30.000.000 x 1,2 % = Rp360.000
Pembayaran dan Penyampaian PPh 15
PPh 15 dibayarkan oleh badan usaha secara mandiri melalui pemotongan
yang dibuktikan dengan bukti potong,oleh pihak penerima penghasilan.
Ketika melapor dalam SPT Masa, bukti potong PPh Pasal 15 perlu
dimasukkan ke dalam lampiran.
Laporan wajib diberikan setiap tanggal 20 pada bulan pembayaran pajak.
Akan tetapi, tanggal jatuh tempo pajak yang harus dibayarkan perusahaan
bervariasi. Perhatikan tanggal-tanggal berikut:
• Perusahaan Pelayaran
Pembayaran selambat-lambatnya set tiapanggal 10, di bulan setelah
pembuatan faktur.
• Perusahaan Pelayaran dalam Negeri; dan Pengiriman Asing dan / atau
Perusahaan Penerbangan
Pembayaran pungutan cukai selambat-lambatnya setiap tanggal 10, di bulan
setelah pembuatan faktur; atau pembayaran oleh wajib pajak selambat-
lambatnya setiap tanggal 15, di bulan setelah faktur dibuat.
• Wajib pajak internasional (WPLN)
WPLN yang mempunyai usaha perdagangan perwakilan di Indonesia, tetapi
tidak mempunyai perjanjian bilateral dibawah perjanjian pajak Indonesia
(P3B). Maka, pembayaran oleh wajib pajak selambat-lambatnya pada
tanggal 15, di bulan setelah wajib pajak telah menerima penghasilan.

30
• Pihak dengan Kemitraan BOT
Pihak yang menjalankan usaha dalam bentuk perjanjian bangun-guna-serah
atau ‟build-operate-transfer„ (BOT). Pembayaran wajib pajak selambat-
lambatnya pada tanggal 15, di bulan setelah masa BOT selesai.

Cara Membayar dan Pengisian SPT Masa PPh Pasal 15


Wajib pajak perlu melakukan setoran PPh Pasal 15 kepada pos persepsi
atau bank dengan penyampaian SSP (kini SSE) atau kode billing melalui
teller bank atau pos persepsi, ATM, mobile atau internet banking, EDC,
serta cara lainnya.
Kemudian wajib pajak akan mendapat lembar Bukti Penerimaan Negara.
Lembar yang menjadi bukti pembayaran.
Sementara itu, penyampaian SPT Masa dapat dilakukan dengan bentuk
formulir kertas atau dokumen elektronik.
Akan lebih baik jika pengisian SPT dilakukan secara elektronik melalui
aplikasi perpajakan yang sudah tersedia.
Sebagai wajib pajak, Anda juga dapat menggunakan jasa konsultan pajak
seperti Rusdiono Consulting yang dapat membantu Anda melakukan
perhitungan PPh, cara pembayaran PPh hingga pelaporan SPT perusahaan
maupun perorangan.
PPh Pasal 15 (3)
Perdagangan nasional menjadi salah satu faktor pendorong ekonomi dalam
negeri. Terlebih Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan panjang pantai
sepanjang 81.290 juta kilometer serta luas lautan 5,8 juta kilometer persegi.
Dengan kondisi keadaan alam tersebut, perdagangan nasional
membutuhkan angkutan laut sebagai transportasi yang efisien.
Pengangkutan barang dalam volume besar dari satu daerah ke daerah lain
lebih banyak membutuhkan fasilitas angkutan laut.
Selain itu, angkutan laut juga berperan dalam menstimulus pertumbuhan
ekonomi daerah tertinggal. Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam

31
transaksi perdagangan nasional menggunakan jasa perusahaan pelayaran
dalam negeri yakni tentang aspek perpajakannya.
Berbicara mengenai perpajakan, tak jarang sengketa perpajakan muncul
lantaran masih kurangnya pemahaman dalam sistem perpakakan yang
dikenakan atas perusahaan pelayaran dalam negeri.
Aturan mengenai hal ini lebih lanjut diatur dalam Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996 tentang norma penghitungan khusus
penghasilan neto bagi wajib pajak perusahaan pelayaran dalam negeri.
Subjek dan Objek Pajak
Subjek pajak dari PPh Pasal 15 ini adalah orang yang bertempat tinggal
atau badan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia yang melakukan
usaha pelayaran dengan kapal yang didaftarkan, baik di Indonesia maupun
di luar negeri atau dengan kapal pihak lain.
Wajib pajak perusahaan pelayaran dalam negeri dikenakan PPh atas
seluruh penghasilan yang diterima atau diperolehnya baik dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia. Oleh karena itu penghasilan yang menjadi
Objek pengenaan PPh meliputi penghasilan yang diterima atau diperoleh
wajib pajak dari pengangkutan orang dan/atau barang termasuk penyewaan
kapal dari:
• Pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan lain di Indonesia,
• Pelabuhan di Indonesia keluar pelabuhan Indonesia,
• Pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan di Indonesia, dan
• Pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan lain di luar Indonesia.
Apabila wajib pajak melakukan kegiatan jasa angkut (perusahaan pelayaran
yang beroperasi sendiri mencari muatan, pada trayek yang tetap dan
melayani secara tetap dengan freight tertentu) dan jasa sewa (meyewakan
kapal) maka wajib pajak hanya menghitung PPh atas jasa angkutnya saja
karena penghasilan dari jasa sewa telah dipotong oleh pihak lain.

Tarif Pajak

32
Penghasilan neto bagi wajib pajak perusahaan pelayaran dalam negeri
ditetapkan sebesar 4% dari peredaran bruto. Besarnya tarif pajak untuk
perusahaan pelayaran dalam negeri adalah 1,2% dari peredaran bruto dan
bersifat final.

Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan


Pelunasan PPh yang terutang dilakukan sebagai berikut:
1. Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian persewaan
atau charter dengan pemotong pajak, maka pihak yang membayar atau
terutang hasil tersebut wajib:
o memotong PPh yang terutang pada saat pembayaran atau
terutangnya imbalan atau nilai pengganti;
o memberikan bukti pemotongan pph atas penghasilan perusahaan
pelayaran dalam negeri (final) kepada pihak yang menerima atau
memperoleh penghasilan;
o menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau kantor pos dan
giro selambat-lambatnya 10 bulan berikutnya setelah bulan
pembayaran atau terutangnya imbalan, dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak (SSP); dan
o melaporkan pemotongan dan penyetoran yang dilakukan ke Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) selambat-lambatnya tanggal 20 bulan
berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya imbalan.
2. Dalam hal penghasilan diperoleh selain sebagaimana dimaksud di atas,
maka wajib pajak perusahaan pelayaran dalam negeri wajib:
o menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau kantor pos dan
giro selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikut setelah bulan
diterima atau diperolehnya penghasilan, dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak (SSP)Final, dan
o melaporkan penyetoran yang dilakukan ke KPP selambat-
lambatnya tanggal 20 bulan berikut setelah bulan diterima atau
diperolehnya penghasilan.

33
Pajak atas Pengeboran dan Minyak Bumi
Berdasarkan Pasal 15 UU Nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU
PPh), untuk menghitung besarnya pajak yang dikenakan terhadap wajib
pajak BUT yang melakukan kegiatan usaha di bidang pengeboran minyak
dan gas bumi secara internasional harus menggunakan norma penghitungan
khusus.
Lebih lanjut, aturan mengenai norma penghitungan khusus penghasilan
netto bagi wajib pajak badan yang melakukan kegiatan usaha di bidang
pengeboran minyak dan gas bumi tertuang dalam Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 628/KMK.04/1991 (KMK 628/1991).

Subjek dan Objek Pajak


Perusahaan pengeboran minyak dan gas bumi yang bertempat kedudukan di
luar negeri yang melakukan usaha melalui BUT. Sementara, yang menjadi
objek pajak yaitu penghasilan bruto dari jenis-jenis penghasilan yang
tercantum dalam kontrak pengeboran minyak dan gas bumi yang
bersangkutan.
Tarif Pajak
Untuk menghitung penghasilan neto dari BUT yang melakukan kegiatan
usaha di bidang pengeboran migas secara internasional, sukar dilaksanakan
dengan seksama karena adanya kesulitan untuk menghitung besarnya
penyusutan atas peralatan pengeboran (drilling rings) dan biaya operasional
lainnya.
Dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 628/KMK.04/1991
tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak
Badan yang Melakukan Kegiatan Usaha di Bidang Pengeboran Minyak dan
Gas Bumi serta Angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan oleh
Wajib Pajak Sendiri, disebutkan bahwa penghasilan neto wajib pajak BUT

34
pengeboran migas dihitung dengan menggunakan norma penghitungan
khusus sebesar 15% dari penghasilan bruto.
Adapun besarnya tarif pajak atas penghasilan netto dari BUT pengeboran
migas sesuai dengan Pasal 17 ayat 2a UU PPh yaitu 25% untuk wajib pajak
badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap.

Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan


Wajib pajak BUT pengeboran migas terutang pajak penghasilan di akhir
tahun yang dapat dibayarkan secara angsuran setiap bulannya sesuai dengan
PPh Pasal 25.
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan bagi wajib pajak BUT adalah
jumlah yang dihasilkan dari penerapan tarif menurut Pasal 17 UU PPh atas
penghasilan netto dari usaha di bidang pengeboran migas yang dihitung
dengan menggunakan norma penghitungan khusus ditambah penghasilan
netto dari kegiatan usaha lain yang disetahunkan, kemudian dibagi 12.
Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25 dianggap telah disampaikan ke
Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan tanggal validasi yang tercantum
pada SSP. Batas waktu pembayaran PPh pasal 25 adalah setiap tanggal 15
bulan berikutnya. Apabila tanggal 15 jatuh pada hari libur, maka
pembayaran PPh Pasal 25 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Sedangkan batas waktu untuk menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25
adalah 20 hari setelah berakhirnya masa pajak (tanggal 20 bulan
berikutnya). Apabila tanggal 20 jatuh pada hari libur, maka pelaporan harus
dilakukan pada hari kerja sebelumnya. Hari libur meliputi hari libur
nasional dan hari-hari yang ditetapkan sebagai hari cuti bersama oleh
pemerintah.

2.3.9 Dana Pensiun


Tarif pajak pensiun diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.
16/ PMK.03/ 2010 Pasal 4 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun,

35
Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua. Tarif pajak ini bersifat final.
Tarif pajak penghasilan ini diberlakukan atas jumlah kumulatif dan
dibayarkan paling lama dalam jangka waktu 2 tahun kalender. Ketentuan
tarif pajak pensiun 2020 adalah sebagai berikut:
1. Tarif Pajak 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan
Rp50.000.000
2. Tarif pajak sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas
Rp50.000.000
Apabila kemudian dana pensiun yang dibayarkan wajib pajak setelah
melewati masa 2 tahun, maka peraturan perpajakan yang digunakan akan
berbeda. Tarif pajak didasarkan pada tarif Pasal 17 Undang-Undang Pajak
Penghasilan (UU PPh) yang sifatnya tidak final.
Untuk pegawai, dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak dan akan
dikenakan tarif pajak 20% lebih besar untuk wajib pajak yang tidak
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Ketentuan ini ditujukan
untuk mendorong perusahaan untuk cermat dalam menjalani prosedur
perhitungan dan pembayaran pajak sesuai dengan aturan yang berlaku di
Indonesia.
Dapatkan segala informasi perpajakan terbaru bersama Klikpajak by
Mekari. Klikpajak merupakan layanan perpajakan online mitra resmi Dirjen
Pajak mulai dari hitung,bayar hingga lapor pajak.
Orang pribadi dalam negeri yang menerima penghasilan berupa uang
pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua
yang dibayarkan sekaligus dikenai pemotongan PPh pasal 21 bersifat final.
Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja
termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan
nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa
kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan
masa kerja dan uang penggantian hak.
Uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan dari manfaat pensiun yang
dibayarkan kepada orang pribadi peserta dana pensiun secara sekaligus

36
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun
oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan
yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
Tunjangan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh
badan penyelenggara tunjangan hari tua kepada orang pribadi yang telah
mencapai usia pensiun.
Jaminan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh
badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja kepada orang pribadi yang
berhak dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau keadaan lain yang
ditentukan.
Tarif PPh pasal 21 untuk penghasilan berupa uang pesangon diberlakukan
kumulatif bersifat final;
• Penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000 sebesar 0%;
• Penghasilan bruto diatas Rp 50.000.000 s/d Rp 100.000.000 sebesar
5%;
• Penghasilan bruto diatas Rp 100.000.000 s/d Rp500.000.000 sebesar
15%;
• Penghasilan bruto diatas Rp 500.000.000 sebesar 25%.

Tarif PPh pasal 21 untuk penghasilan berupa uang manfaat pensiun,


tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua diberlakukan kumulatif bersifat
final:
• Penghasilan bruto sampai dengan Rp 50.000.000 sebesar 0%
• Penghasilan bruto diatas Rp 50.000.000 sebesar 5%
Pembayaran dianggap sekaligus jika sebagian atau seluruh pembayarannya
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun kalender. Pembayaran
sekaligus meliputi;
1. Pembayaran sebanyak-banyaknya 20% dari manfaat pensiun yang
dibayarkan secara sekaligus pada saat Pegawai sebagai peserta pensiun
atau meninggal dunia.

37
2. Pembayaran manfaat pensiun bulanan yang lebih kecil dari suatu
jumlah tertentu yang ditetapkan dari waktu ke waktu oleh Menteri
Keuangan yang dibayarkan secara sekaligus
3. Pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa
dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup.
Bila PPh yang terutang dibayar pada tahun ketiga dan tahun-tahun
berikutnya, pemotongannya dilakukan dengan menerapkan tarif pasal 17
UU PPh yang bersifat tidak final dan bagi pegawai dapat diperhitungkan
sebagai kredit pajak.
Bagi pegawai yang tidak mempunyai NPWP dikenakan tarif lebih tinggi
20% dari tarif pasal pasal 17 UU PPh.
Contoh:
PT. Asgaramanah melakukan pembayaran uang pesangon kepada
Tn.Firman secara bertahap dengan jadwal pebayaran sbb;
a. Januari 2015, Rp 240.000.000
b. Januari 2016, Rp 120.000.000
c. Juli 2016, Rp 120.000.000
d. Januari 2017, Rp 120.000.000
maka PPh terutang adalah;
a. Januari 2015
0% x Rp 50.000.000 = Rp 0
5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000
15% x Rp 140.000.000 = Rp 21.000.000 +
Rp 23.500.000
b. Januari 2016
15% x Rp 120.000.000 = Rp 18.000.000
c. Juli 2016
15% x Rp 120.000.000 = Rp 18.000.000
d. Januari 2017
Karena telah lewat tahun ke- 2 maka uang pesangon dikenakan tarif pasal
17 UU PPh (tidak final)

38
5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000
15% x Rp 70.000.000 = Rp 10.500.000 +
Rp 13.000.000

Ketentuan lain
Berikut ketentuan lainya mengenai PPh atas uang pesangon, uang manfaat
pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayar sekaligus;
1. Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara bertahap
atau berkala kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai
dianggap belum menerima hak atas Uang Pesangon sehingga tidak
terutang Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final. Pada saat
Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja membayar Uang Pesangon
kepada Pegawai, dilakukan pemotongan PPh pasal 21 yang bersifat
final oleh Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja.
2. Dalam hal terjadi pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada
perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas
seumur hidup, pegawai sebagai peserta dianggap telah menerima hak
atas Uang Manfaat Pensiun yang dibayarkan secara sekaligus sehingga
terutang PPh pasal 21 yang bersifat final. Pemotongan dilakukan oleh
Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan
pada saat pembelian anuitas seumur hidup. Pada saat perusahaan
asuransi jiwa membayar Uang Manfaat Pensiun kepada Pegawai, tidak
dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21.
3. PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong Pajak untuk setiap masa
wajib disetor ke Kantor Pos atau bank persepsi, paling lama 10 hari
setelah Masa Pajak berakhir.
4. Pemotong Pajak wajib melaporkan pemotongan dan penyetorannya
dengan menyampaikan SPT masa PPh 21 paling lambat 20 hari setalah
masa pajak berakhir.

39
5. Pemotong wajib memberikan bukti potong baik dimainta maupun tidak
pada saat pemotongan kepada pegawai yang menerima penghasilan
tesebut termasuk pegawai yang dikenakan tarif 0%.

2.3.10 Derivatif
Apa Itu Instrumen Derivatif?
Instrumen derivatif merupakan istilah yang dikenal dalam dunia
keuangan. Istilah ini mengacu pada ragam instrumen keuangan. Dalam
dunia keuangan, derivatif adalah sebuah kontrak bilateral atau perjanjian
penukaran pembayaran yang nilainya diturunkan atau berasal dari produk
yang menjadi acuan pokok atau biasa disebut juga “produk turunan”
(underlying product).
Derivatif ini biasa digunakan oleh manajemen investasi/manajemen
portofolio, perusahaan, lembaga keuangan, dan investor perorangan untuk
mengelola posisi mereka terhadap risiko dari pergerakan harga saham dan
komoditas, suku bunga, nilai tukar valuta asing tanpa memengaruhi posisi
fisik produk yang menjadi acuannya.
Lalu, apa saja contoh instrumen derivatif? Mari simak ulasannya di bawah
ini!
Contoh Instrumen Derivatif
Terdapat ragam contoh instrumen derivatif, yakni:
• Kontrak Opsi: Instrumen berikut adalah salah satu contoh instrumen
derivatif yang banyak digunakan untuk melakukan lindung risiko atau nilai
(hedging). Ada 2 jenis kontrak opsi, yakni opsi jual dan opsi beli. Opsi jual
(put option) berarti memberikan hak kepada pemegangnya untuk menjual
aset tertentu. Sedangkan opsi beli (call option) adalah memberikan hak
kepada pemegangnya untuk membeli aset tertentu. Pemegang opsi memiliki
hak, tetapi tidak dibebani kewajiban untuk melaksanakan transaksi dengan
harga yang ditetapkan dalam opsi.
• Kontrak Serah: Contoh ini merupakan perjanjian antara 2 pihak untuk
menyerahkan atau membeli komoditas atau valuta asing dengan

40
jumlah, harga, dan tanggal penyerahan yang telah ditetapkan. Kontrak
serah dapat benar-benar terselesaikan dengan penyerahan komoditas
atau valuta asing secara fisik atau dengan penyerahan neto (dikenal
juga dengan sebutan net settlement yang berarti penyelesaian kontrak
serah yang dilakukan dengan pembayaran kas sedemikian rupa
sehingga kedua pihak berada dalam kondisi ekonomi yang sama
dengan jika pengiriman secara fisik).
• Kontrak Berjangka: Instrumen derivatif ini adalah perjanjian yang tidak
berbeda jauh dengan serah, yang mana kedua belah pihak sepakat
untuk menyerahkan atau membeli komoditas dan/atau valuta asing
dengan harga, jumlah dan tanggal penyerahan yang telah ditentukan.
Yang menjadi beda adalah kontrak berjangka secara teratur
diperdagangkan di bursa berjangka; tempat dilaksanakannya transaksi
jual beli kontrak berjangka.
• Swap: Merupakan kontrak untuk bertukar arus kas secara terus-
menerus dalam jangka waktu tertentu. Contoh transaksi swap yang
kerap dilakukan adalah interest rate swap. Instrumen derivatif ini
dihubungkan dengan harga atau tarif apapun yang cenderung
berfluktuasi, selain suku bunga. Penggunaan umumnya adalah untuk
melindungi perusahaan dari paparan fluktuasi suku bunga. Swab
biasanya dinegosiasikan secara langsung antar kedua belah pihak yang
terlibat dalam kontrak.

Implementasi Pajak Instrumen Derivatif


Nah, setelah mengetahui pengertian dan contoh-contohnya, kini saatnya
bicara pengimplementasian pajak dari instrumen derivatif. Dasar hukum
yang mengatur tentang derivatif adalah Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang
Diperdagangkan di Bursa.
Dalam peraturan tersebut dikatakan,

41
“Penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh orang pribadi atau badan
dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di
bursa dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.”
Dapat disimpulkan bahwa aspek pajak yang dikenakan untuk transaksi
derivatif adalah PPh Final. Tarif yang dikenakan berdasarkan PPh yang
dimaksud adalah sebesar 2,5% dari margin awal.
Lalu, bagaimana tata cara penyetoran dan pelaporan PPh atas transaksi
derivatif? Anda tidak perlu bingung karena Anda bisa melakukannya
melalui aplikasi mitra resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), OnlinePajak.
Tidak hanya PPh Final, lapor semua jenis pajak atau SPT Pajak Anda
dengan status pembayaran dan pembetulan apapun melalui e-Filing
OnlinePajak dengan mudah dan tepat waktu. Bukti pelaporan (BPE) dan
bukti pembayaran Pajak (BPN) tersimpan online, terorganisir, dan mudah
ditemukan saat membutuhkannya.

42
BAB III
KASUS PENERAPAN PAJAK ATAS PENGHASILAN, TRANSAKSI ATAU
INDUSTRI KHUSUS

Pada bulan Mei 2013, PT Indosiar Karya Media Tbk resmi bergabung
dengan PT. Surya Citra Media Tbk. Atas penggabungan usaha tersebut, PT. Surya
Citra Media Tbk kemudian mengajukan surat permohonan penggunaan nilai buku
atas pengalihan harta dalam rangka penggabungan usahanya kepada Kantor
Wilayah DJP Jakarta Khusus. Atas surat permohonan tersebut, Kantor Wilayah
DJP Jakarta Khusus mengeluarkan Surat Keputusan yang isinya tentang penolakan
permohonan, menyatakan bahwa permohonan ditolak karena dianggap tidak
memenuhi persyaratan formal untuk dapat dipertimbangkan. Atas keputusan
penolakan permohonan tersebut, PT. Surya Citra Media Tbk kemudian mengajukan
gugatan ke Pengadilan Pajak karena keputusan tersebut diterbitkan Direktorat
Jenderal Pajak setelah melewati jangka waktu satu bulan sejak diterimanya
permohonan secara lengkap, yang berarti permohonan PT. Surya Citra Media Tbk
harus dianggap diterima dan diterbitkan surat keputusan persetujuan. PT Surya Citra
Media Tbk juga berpendapat bahwa secara substantif telah memenuhi semua
persyaratan-persyaratan untuk mendapatkan persetujuan penggunaan nilai buku
atas pengalihan harta dalam rangka penggabungan usaha sebagaimana diatur dalam
ketentuan perpajakan yang berlaku, sehingga tidak ada alasan bagi Direktorat
Jenderal Pajak untuk menolak permohonan PT Surya Citra Media Tbk tersebut.

1. Aspek Perpajakan Penggabungan Usaha


Aktifitas merger dan akuisisi perusahaan menimbulkan dampak perpajakan.
Dalam Pasal 4 ayat 1 huruf d angka 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan, menyebutkan bahwa keuntungan karena penjualan atau karena
pengalihan harta termasuk keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah salah satu objek pajak.
Kemudian Pasal 10 ayat 3 Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang

43
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan mengatur tentang dasar pengenaan pajak atas penggabungan usaha.
Pasal ini mengatur bahwa: "Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan
dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau
pengambilan usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima
berdasarkan harga pasar (market price), kecuali ditetapkan lain oleh Menteri
Keuangan".
Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan nilai lain selain
harga pasar yaitu atas dasar nilai sisa buku (pooling of interest). Wajib Pajak yang
melakukan merger dapat menggunakan nilai buku dalam proses penilaian aset-
asetnya dengan harus memenuhi persyaratan mengajukan permohonan kepada
Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan alasan dan tujuan melakukan
merger, melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan usaha yang terkait, dan
memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test).

2. Tata Cara Penyelesaian Permohonan Nilai Buku dalam Rangka


Penggabungan Usaha
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 43/PMK.03/2008 tentang
Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam Rangka Penggabungan,
Peleburan, atau Pemekaran Usaha, Wajib Pajak yang melakukan merger dapat
menggunakan nilai buku. Merger meliputi penggabungan usaha atau peleburan
usaha.
Wajib Pajak yang melakukan merger wajib memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan
melampirkan alasandan tujuan melakukan merger dan pemekaran usaha;
b. melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan usaha yang terkait; dan
c. memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test).

Berdasarkan angka 6 huruf b Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-
45/PJ/2008 tentang Penyampaian dan Pemonitoran Pelaksanaan Peraturan Menteri
Keuangan No.43/PMK.03/2008 tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan
Harta dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha beserta

44
Peraturan Pelaksanaannya menetapkan bahwa Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak menerbitkan surat permintaan kelengkapan permohonan paling lama
3 (tiga) hari sejak diterimanya permohonan yang belum lengkap.
Pasal 3 ayat (4) dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-28/PJ./2008
tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Izin Penggunaan Nilai Buku atas
Pengalihan Harta dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha
mengatur bahwa Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan paling lama 1 (satu) bulan
sejak diterimanya permohonan dari Penggugat secara lengkap.

A. Analisis Sengketa
1. Perihal Jangka Waktu Penerbitan Keputusan atas Surat Permohonan
a. Menurut PT. Surya Citra Media Tbk
PT. Surya Citra Media Tbk berpendapat bahwa Keputusan Tergugat KEP-
2630/WPJ.07/2013 diterbitkan setelah melewati jangka waktu satu bulan sejak
diterimanya permohonan dari PT. Surya Citra Media Tbk secara lengkap.
Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-45/PJ/2008 tentang
Penyampaian dan Pemonitoran Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan
No.43/PMK.03/2008 menetapkan bahwa Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak menerbitkan surat permintaan kelengkapan permohonan paling lama
3 (tiga) hari sejak diterimanya permohonan yangbelum lengkap. Surat Permohonan
disampaikan pada tanggal 25 Oktober 2013, sementara sampai dengan tanggal 28
Oktober 2013 (tiga hari sejak surat permohonan disampaikan), Kepala Kantor
Wilayah DJP Jakarta Khusus tidak pernah menerbitkan surat permintaan
kelengkapan permohonan kepada PT. Surya Citra Media Tbk, sehingga patut
dianggap bahwa surat permohonan penggunaan nilai buku yang telah diajukan
telah lengkap. Baru pada tanggal 8 November 2013 (empat belas hari sejak surat
permohonan disampaikan), Direktur Jenderal Pajak menyampaikan permintaan
penjelasan dan kelengkapan data yang sebenarnya tidak secara spesifik disyaratkan
dalam ketentuan peraturan yang berlaku, yang kemudian tetap PT. Surya Citra

45
Media Tbk penuhi pada tanggal 14 November 2013.

b. Menurut DJP
Berdasarkan penelitian terhadap dokumen yang disampaikan Wajib Pajak,
pada lampiran I tabel 5 surat permohonan, PT. Surya Citra Media Tbk
mencantumkan daftar harta yang dialihkan dalam rangka penggabungan usaha
adalah NIHIL. Oleh karena itu, pada tanggal 08 November 2013 dengan surat
Nomor: S-452/WPJ.07/BD.04/2013 tentang Permintaan Penjelasan dan
Kelengkapan Data, Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus meminta penjelasan
terkait harta yang dialihkan dan meminta kelengkapan permohonan kepada PT.
Surya Citra Media Tbk sebagai berikut:
a. Rincian secara detail jenis aktiva yang dialihkan per kelompok, per jenis
dan pertahun perolehan.
b. Fotokopi SPPT dan STTS PBB untuk membuktikan kepemilikan aktiva
c. Permintaan Surat Pernyataan mengenai tujuan dan alasan penggabungan
usaha.

PT. Surya Citra Media Tbk merespon dengan surat Nomor:


DIR/Fin/156/SCM/1113tanggal 12 November 2013, dokumen yang diserahkan
oleh adalah sebagai berikut:
 Surat Pernyataan mengenai tujuan dan alasan penggabungan usaha
 Fotokopi SPPT dan SITS PBB Tahun 2012 dan 2013 an PT Surya Citra
Media, Tbk.;

Bahwa melalui surat tersebut, PT. Surya Citra Media Tbk juga
menjelaskan bahwa PT Indosiar Karya Media, Tbk (pihak yang mengalihkan
harta) tidak memiliki aktiva tetap. Surat ini diterima Kantor Wilayah DJP
Jakarta Khusus pada tanggal 15 November 2013 sehingga permohonan
dinyatakan lengkap sejak tanggal 15 November 2013.
Kepala Kanwil DJP Jakarta Khusus menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal
Pajak Nomor: KEP-2630/WPJ.07/2013 tanggal 13 Desember 2013, dengan
demikian, penerbitan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-
2630/WPJ.07/2013 tanggal 13 Desember 2013 telah sesuai dengan ketentuan Pasal
3 ayat (4) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ./2008 dimana

46
batas waktu penerbitan Surat Keputusan paling lama 1 (satu) bulan sejak
permohonan Wajib Pajak dinyatakan lengkap, dalam hal ini adalah tanggal 13
Desember 2013.

2. Perihal Penggunaan Nilai Buku atau Nilai Pasar


a. Menurut DJP
DJP berpendapat bahwa nilai yang digunakan PT. Surya Citra Media Tbk
dalam pengalihan harta adalah menggunakan nilai pasar, dengan penjelasan
sebagai berikut:
PT. Surya Citra Media Tbk yang melakukan penggabungan usaha dapat
menggunakan nilai buku dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan izin
penggunaan nilai buku atas pengalihan harta dalam rangka penggabungan usaha
kepada kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang
membawahi Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak pemohon terdaftar.
Pengertian harta sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah harta dalam
bentuk aktiva tetap sebagaimana telah diatur di dalam ketentuan Pasal 4 Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008 dan Pasal 3 ayat (3) huruf a dan
Lampiran I tabel 5 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ./2008
menyebutkan bahwa daftar harta yang dialihkan dalam rangka penggabungan
usaha adalah dalam bentuk aktiva tetap. Sedangkan berdasarkan laporan keuangan
PT Indosiar Karya Media, Tbk diketahui bahwa PT lndosiar Karya Media, Tbk tidak
memiliki aktiva tetap. Aset PT lndosiar Karya Media, Tbk sebagian besar berupa
penyertaan saham kepada anak perusahaan. Harta yang dialihkan oleh PT. lndosiar
Karya Media, Tbk kepada PT. Surya Citra Media, Tbk dalam rangka penggabungan
usaha (merger) adalah harta berupa "Penyertaan saham" PT. lndosiar Karya
Media, Tbk pada PT. Indosiar Visual Mandiri sebesar 99.99% dengan nilai

nominal sebesar Rp 752.839.702.516,00. DJP berpendapat bahwa harta berupa


"Penyertaan saham" tidak termasuk dalam pengertian aktiva tetap/aset tetap
sebagaimana dimaksud dalam paragraf 6 Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) 16 tentang Aset Tetap dan penyajian harta berupa "Penyertaan
saham" dalam laporan keuangan harus dicatat secara terpisah dari aktiva

47
tetap/aset tetap sebagaimana dimaksud dalam paragraf 52 PSAK 1 tentang
Penyajian Laporan Keuangan.

b. Menurut PT. Surya Citra Media Tbk


PT. Surya Citra Media Tbk tidak setuju dengan pernyataan DJP karena
seluruh ketentuan yang mengatur tentang penggunaan nilai buku atas pengalihan
harta dalam rangka penggabungan usaha, yakni:
 Pasal 10 ayat 3 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan;
 Peraturan Menteri Keuangan No.43/PMK.03/2008 tentang Penggunaan Nilai
Buku atas Pengalihan Harta dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, atau
Pemekaran Usaha;
 Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-28/PJ./2008 tentang Persyaratan dan
Tata Cara Pemberian Izin Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam
Rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha; dan
 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-45/PJ/2008 tentang Penyampaian
dan Pemonitoran Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan No.43/PMK.03/2008
tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam Rangka
Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha beserta Peraturan
Pelaksanaannya;

bahwa tidak membatasi bahwa jenis harta yang dapat dialihkan dalam rangka
penggabungan usaha dengan menggunakan nilai buku hanya terbatas pada aktiva
tetap. PT. Surya Citra Media Tbk berpendapat bahwa seluruh peraturan yang ada
terkait dengan penggunaan nilai buku atas pengalihan harta dalam rangka
penggabungan usaha telah jelas. Dengan demikian, pendapat DJP bahwa
penggunaan nilai buku tersebut hanya terbatas pada aktiva tetap adalah merupakan
interpretasi DJP yang tidak memiliki dasar hukum, sehingga merugikan PT. Surya
Citra Media Tbk sebagai Wajib Pajak.

3. Pendapat dan Kesimpulan Majelis Hakim


Substansi yang menjadi objek gugatan adalah Surat keputusan Direktur
jenderal Pajak Nomor: KEP-2630/WPJ.07/2013 tanggal 13 Desember 2013 yang

48
menolak surat PT. Surya Citra Media Tbk Nomor: DIR/FIN/143/SCM/J103 tanggal
16 Oktober 2013 tentang Permohonan Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan
Harta Dalam Rangka Penggabungan

Usaha yang mendasarkan kepada Pasal 23 ayat (2) huruf (c) Undang-undang
Nomor: 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor: 16 tahun 2009.
Berdasarkan pasal 23 ayat 2 huruf (c) Undang-undang KUP tahun 2007
bahwa gugatan wajib pajak atau penanggung pajak dapat dilakukan terhadap
“Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanakan keputusan perpajakan selain
yang ditetapkan dalam pasal 25 ayat (1) dan pasal 26”; bahwa oleh karena itu
menurut Majelis surat keputusan nomor KEP- 2630/WPJ.07/2013 tanggal 13
Desember 2013 tersebut adalah merupakan keputusan yang dapat digugat.

Selanjutnya yang menjadi pokok gugatan a-quo adalah:


1. Penerbitan surat keputusan nomor KEP-2630/WPJ.07/2013 tanggal 13
Desember 2013 harus dibatalkan karena telah melampaui jangka waktu 1 (satu)
bulan sejak diterimanya permohonan dari PT. Surya Citra Media Tbk secara
lengkap sehingga oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (5) dari
Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER- 28/PJ./2008, permohonan PT.
Surya Citra Media Tbk harus dianggap diterima dan kepada PT. Surya Citra
Media Tbk diterbitkan surat keputusan persetujuan.
2. PT. Surya Citra Media Tbk telah memenuhi semua persyaratan-persyaratan
untuk mendapatkan persetujuan penggunaan nilai buku atas pengalihan harta
dalam rangka penggabungan usaha sebagaimana diatur dalam ketentuan
perpajakan yang berlaku.
PT. Surya Citra Media Tbk menyatakan ketidaksetujuannya atas penolakan
Direktur Jenderal Pajak untuk memberikan persetujuan penggunaan nilai buku
atas pengalihan harta dalam rangka penggabungan usaha. Direktur Jenderal
Pajak hanya menyatakan bahwa permohonan PT. Surya Citra Media Tbk
ditolak karena dianggap tidak memenuhi persyaratan formal untuk dapat
dipertimbangkan, tanpa menunjukan secara tegas atau memberi penjelasan

49
mengenai persyaratan formal mana yang tidak terpenuhi tersebut.

Berdasarkan pemeriksaan dan penilaian terhadap keterangan dan bukti-bukti


yang diserahkan oleh para pihak dalam persidangan, Majelis berpendapat:
1. Jangka waktu persetujuan atas permohonan penggunaan nilai buku atas
pengalihan harta dalam rangka penggabungan usaha telah diatur secara jelas
dalam Pasal 3 ayat (5) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
28/PJ./2008 Tahun 2008, yaitu satu bulan sejak permohonan diterima secara
lengkap, hal ini lebih ditegaskan lagi dalam angka 6 huruf b Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-45/PJ/2008 tentang Penyampaian dan
Pemonitoran Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan

No.43/PMK.03/2008 tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta


dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha. Yang pada
intinya penegasan tentang saat permohonan diterima secara lengkap yang
memang merupakan panduan bagi internal DJP dalam rangka memberikan
kepastian hukum bagi para wajib pajak. Bahwa Surat edaran tersebut beralasan
karena guna memberikan pelayanan dan kepastian hukum kepada Wajib Pajak
sudah selayaknya ditentukan kapan saat kelengkapan tersebut dimulai.
2. Telah terjadi kesalahan yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak karena
setelah 14 hari sejak permohonan yang diajukan oleh PT. Surya Citra Media
Tbk, Direktur Jenderal Pajak baru meminta kelengkapan yang seharusnya 3 hari
sejak diterima permohonan oleh Direktur Jenderal Pajak, hal ini mengakibatkan
surat permohonan diproses melebihi jangka waktu yang semestinya tidak sesuai
dengan yang diatur dalam Pasal 3 ayat (5) Peraturan Direktur Jenderal Pajak
No. PER-28/PJ./2008 Tahun 2008.
3. Secara materil PT. Surya Citra Media Tbk mempermasalahkan alasan Direktur
Jenderal Pajak menolak permohonan PT. Surya Citra Media Tbk tentang
permohonan Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam Rangka
Penggabungan Usaha dengan alasan tidak memenuhi persyaratan formal.

Direktur Jenderal Pajak mendalilkan bahwa alasan penolakan yang


menyatakan bahwa surat permohonan PT. Surya Citra Media Tbk tidak memenuhi

50
persyaratan formal adalah karena tidak memenuhi ketentuan seperti yang diatur
dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan no. 43 tahun 2008 tentang
Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam Rangka Penggabungan,
Peleburan, atau Pemekaran Usaha.
Menurut Majelis persyaratan formal atas permohonan Penggunaan Nilai
Buku atas Pengalihan Harta dalam Rangka Penggabungan Usaha terkait dalil
Direktur Jenderal Pajak yang menyatakan bahwa penggunaan nilai buku dalam
rangka penggabungan usaha hanya terbatas pada aktiva tetap dan hal tersebut
dikaitkan dengan persyaratan formal adalah keliru. Berdasarkan pertimbangan
hukum a-quo, Majelis berkesimpulan untuk menerima gugatan PT. Surya Citra
Media Tbk , sekaligus membatalkan surat keputusan Direktur Jenderal Pajak no.
KEP-2630/WPJ.07/2013 tanggal 13 Desember 2013 dan Majelis memerintahkan
kepadaDirektur Jenderal Pajak untuk mengabulkan surat
PT. Surya Citra Media Tbk Nomor.DIR/FIN/143/SCM/J103 tanggal
16 Oktober 2013 tentang Permohonan Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan
Harta Dalam Rangka Penggabungan Usaha

51
KESIMPULAN KASUS
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, Penulis dapat menyimpulkan
hal-halsebagai berikut:
a. Aktifitas merger dan akuisisi perusahaan menimbulkan dampak perpajakan.
Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta merupakan objek
pajak. Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka
likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilan
usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan
harga pasar (market price), kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.

b. Pemilihan metode penilaian atas aset yang dialihkan dalam rangka


penggabungan usaha harus didasarkan kepada substansi bentuk penggabungan
usahanya. sesuai dengan PSAK No. 38 (2012), pengalihan bisnis yang
dilakukan dalam rangka reorganisasi entitas sentitas yang berada dalam suatu
kelompok usaha yang sama tidak menimbulkan laba atau rugi bagi kelompok
usaha maupun entitas individual dalam kelompok usaha tersebut. Karena
transaksi restrukturisasi entitas sepengendali tidak mengakibatkan perubahan
substansi ekonomi kepemilikan atas aset, liabilitas, saham atau instrumen
kepemilikan lainnya yang dipertukarkan, maka aset maupun liabilitas yang
dialihkan harus dicatat sebesar nilai buku sebagai penggabungan usaha
berdasarkan metode penyatuan kepemilikan (pooling-of-interests). Selisih
antara jumlah imbalan yang dialihkan dan nilai tercatat dari setiap transaksi
kombinasi bisnis entitas sepengendali diakui di ekuitas pada akun “Tambahan
Modal Disetor”.

c. Aspek hukum terkait jangka waktu penyelesaian permohonan dan tata cara
penerbitan surat keputusan harus lebih diperhatikan oleh Direktorat Jenderal
Pajak supaya tidak menimbulkan masalah hukum dikemudian hari.

52
DAFTAR PUSTAKA

Undang – undang nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatat Cara
Perpajakan;

Undang – undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana


terkahir diubah dengan Undang-Undang nomor 36 tahun 2008 tentang
Perubahan keempat atas undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang pajak
penghasilan;

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/Pmk.03/2008 Tentang Penggunaan Nilai


Buku Atas Pengalihan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Atau
Pemekaran Usaha;

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per - 28/Pj./2008 Tentang Persyaratan Dan
Tata Cara Pemberian Izin Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Harta
Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Atau Pemekaran Usaha;

53

Anda mungkin juga menyukai