Anda di halaman 1dari 32

PAJAK PENGHASILAN

MAKALAH
Mata Kuliah Perpajakan
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.

“Puji syukur penyusun hadiahkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat

dan rahmat – Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pajak

Penghasilan”. Makalah ini disusun sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Perpajakan.

Adapun mungkin kesalahan teknis penulisan maupun materi, mengingat akan

kemampuan yang kami miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami

harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini. Sesungguhnya tiadalah yang

sempurna, melainkan Allah Ta’ala semata.

Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini,

khususnya kepada Dosen kami memberikan tugas dan petunjuk kepada kami, sehingga kami

dapat menyelesaikan tugas ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan

pembaca. Aamiin ya rabbal ‘alamin.

Pekanbaru, Maret 2021

Tim Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah................................................................................................ 2

1.3 Tujuan.................................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Subyek dan Obyek Pajak dan Pengecualiannya................................................... 3

2.2 Bentuk Usaha Tetap............................................................................................. 8

2.3 Biaya yang boleh Dikurangkan dan Pengecualiannya......................................... 11

2.4 Kompensasi Kerugian.......................................................................................... 14

2.5 Penyusutan, Amortisasi dan Revaluasi Aktiva.................................................... 17

2.6 Penentuan Harga Perolehan................................................................................. 18

2.7 Pajak Final............................................................................................................ 19

2.8 Norma Perhitungan.............................................................................................. 21

2.9 Hubungan Istimewa............................................................................................. 21

2.10 Contoh Kasus..................................................................................................... 23

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan.......................................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 30

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pajak merupakan instrument utama penerimaan negara, ini terlihat dari jumlah
prosentase dan nilainya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sejarah terjadinya
peraturan pemotongan/pemungutan mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan
perkembangan ekonomi dari masyarakat suatu negara dan juga berkembangnya negara
tersebut dengan baik dibidang sosial maupun ekonominya. Dengan demikian halnya maka
pembayaran pajak yang tadinya bersifat sukarela sekarang berubah menjadi kontribusi wajib
yang harus di bayarkan kepada Negara yang ditetapkan secara sepihak oleh Negara dalam
bentuk Undang-undang perpajakan yang dapat dipaksakan.
Secara falsafah undang-undang perpajakan membayar pajak bukan hanya merupakan
kewajiban,tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam
peran serta terhadap pembiayaan Negara pembangunan nasional (Wibowo dan Illyas, 2003).
Pajak merupakan iuran wajib yang dibayarkan kepada Negara oleh orang pribadi maupun
badan yang bersifat memaksa yang berdasarkan Undang-undang perpajakan. Iuran pajak
yang kita bayarkan kepada Negara akan dimanfaatkan oleh Negara untuk membiayai
kehidupan Negara dalam pembangunan nasional, tanpa adanya imbalan yang diberikan
secara langsung yang diatur dalam Undang-Undang Perpajakan yang bertujuan
mensejahterakan Bangsa dan Negara.
Salah satu jenis pajak adalah Pajak Penghasilan atau yang sering disebut dengan PPh
yaitu pajak yang dikenakan Subjek Pajak Penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam
tahun pajak. Sesuai dengan namanya (PPh), yang menjadi Obyek Pajak Penghasilan adalah
Penghasilan. Definisi Penghasilan menurut Pasal 4 UU PPh adalah setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia, yang dapat dipakai sebagai konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama maupun dalam bentuk apapun.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis (yang terdiri dari 4 orang) ingin menyusun
sebuah makalah dengan judul “Pajak Penghasilan”. Dalam makalah ini penulis akan
memaparkan tentang Pajak Penghasilan di Indonesia sesuai dengan peraturan-peraturan yang
terkait dengan Pajak Penghasilan yang berlaku di Indonesia.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka rumusan masalah dalam
makalah ini antara lain:
1. Apa Subyek dan Obyek Pajak Penghasilan?
2. Bagaimana Bentuk Usaha Tetap?
3. Bagaimana ketentuan Biaya yang boleh di kurangkan?
4. Bagaimana ketentuan kompensasi kerugian?
5. Bagaimana ketentuan penyusutan, amortisasi dan revaluasi aktiva?
6. Bagaimana penentuan harga perolehan?
7. Bagaimana ketentuan pajak final?
8. Bagaimana ketentuan norma perhitungan?
9. Bagaimana ketentuan hubungan istimewa?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan diatas, maka tujuan dalam makalah
ini antara lain:
1. Untuk mengetahui Subyek dan Obyek Pajak Penghasilan
2. Untuk mengetahui Bentuk Usaha Tetap
3. Untuk mengetahui ketentuan Biaya yang boleh di kurangkan
4. Untuk mengetahui ketentuan kompensasi kerugian
5. Untuk mengetahui ketentuan penyusutan, amortisasi dan revaluasi aktiva
6. Untuk mengetahui penentuan harga perolehan
7. Untuk mengetahui ketentuan pajak final
8. Untuk mengetahui ketentuan norma perhitungan
9. Untuk mengetahui ketentuan hubungan istimewa

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Subyek dan Obyek Pajak dan Pengecualiannya


2.1.1 Subyek Pajak dan Pengecualian Subyek Pajak
Subyek Pajak Penghasilan adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk
memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan PPh.
Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, yang merupakan
subyek pajak adalah:
a. Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan
yang berhak
b. Badan, terdiri dari PT, CV, perseroan lainnya, BUMN/BUMD dengan nama dan betuk
apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, dan
bentuk badan lainnya.
c. Bentuk Usaha Tetap
Subyek pajak dapat dibedakan menjadi:
1. Subyek pajak dalam negeri yang terdiri dari:
a. Subyek pajak orang pribadi, yaitu:
- Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari (tidak harus berturut-turut) dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan, atau
- Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai
niat bertempat tinggal di Indonesia.
b. Subyek pajak badan, yaitu badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia.
c. Subyek pajak warisan, yaitu warisan yang belum dibagi sebagai satu kesatuan,
menggantikan yang berhak.
2. Subyek pajak luar negeri yang terdiri dari:
a. Subyek pajak orang pribadi, yaitu orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan yang:
- Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
3
- Dapat diterima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
b. Subyek pajak badan, yaitu badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang:
- Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
- Dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri
terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
a. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau
diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri
dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia;
b. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif
umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto
dengan tarif pajak sepadan; dan
c. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun
pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan
pajak yang bersifat final.
Tidak Termasuk sebagai Subjek Pajak
Pengecualian sebagai subjek pajak diatur dalam Pasal 3 UU No. 36 Tahun 2008,
dimana dalam pasal tersebut dikemukakan bahwa yang tidak termasuk sebagai Subjek Pajak
adalah:
a. Kantor Perwakilan Negara Asing ;
b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara
asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka, yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat :
- Bukan Warga Negara Indonesia
- Tidak menerima penghasilan lain diluar tugas dan jabatannya

4
- Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan yang sama (azas timbal balik).
c. Organisasi-organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan
(terakhir dengan Kep. MK 601/KMK.03/2005), dengan syarat:
1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan
2. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia, selain dari pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal
dari iuran para anggota.
d. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan (sebagaimana dimaksud huruf c), dengan syarat bukan WNI, dan di
Indonesia tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan untuk memperoleh penghasilan
dari Indonesia.
Penjelasan Pasal 3 huruf (a) dan (b) tersebut diatas, menerangkan bahwa sesuai
dengan kelaziman yang berlaku secara Internasional, bahwa badan perwakilan negara asing
beserta pejabat-pejabatnya, serta orang yang diperbantukan, serta tinggal bersama mereka
dengan syarat bukan WNI, tidak melakukan ke giatan lain, serta negara asing tersebut
memberikan perlakauan yang sama (azas timbal balik), dikecualikan sebagai subjek pajak.
Pengecualian tersebut tidak berlaku, apabila mereka memperoleh penghasilan lain di
Indonesia, diluar jabatannya atau mereka adalah WNI.
Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing, memperoleh
penghasilan lain diluar jabatannya, maka ia termasuk subjek pajak yang dapat dikenakan
pajak atas penghasilan tesebut. Namun apabila negara asal pejabat tersebut memberikan
pembebasan pajak kepada perwakilan Indonesia, atas penghasilan lain diluar tugas dan
jabatannya, maka kembali lagi berlaku azas timbal balik.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pasal 3 huruf (c) dan (d), diatur lebih lanjut dalam
KMK seperti disebut diatas. Yang dimaksud dengan organisasi Internasional adalah
organisasi/badan/lembaga/asosiasi /perhimpunan/forum antar pemerintah atau non
pemerintah ygbertujuan untuk meningkatkan kerjasama Internasional dan dibentuk dengan
aturan tertentu atau kesepakatan bersama, sedangkan yang dimaksud dengan pejabat
perwakilan organisasi Internasional adalah pejabat yang diangkat langsung oleh induk
organisasi Internasional yang bersangkutan untuk menjalankan tugas atau jabatan dalam
organisasi tersebut di Indonesia.
2.1.2 Obyek Pajak dan Pengecualian Obyek Pajak

5
Pihak yang menjadi objek pajak penghasilan adalah penghasilan. Dilihat dari
mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat
dikelompokkan menjadi:
a. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji,
honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaries, aktuaris, akuntan, pengacara,
dan sebagainya.
b. Penghasilan dari usaha dan kegiatan.
c. Penghasilan dari modal atau penggunaan harta seperti bunga, dividen, royalty, sewa,
keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak digunakan untuk usaha, dan
sebagainya.
d. Penghasilan lain-lain, yaitu penghasilan yang tidak dapat dikelompokkan ke dalam tiga
kelompok sebelumnya, seperti keuntungan karena pembebasan utang, hadiah undian,
keuntungan karena selisih kurs valuta asing, keuntungan dari selisih lebih penilaian
kembali aktiva, dan sebagainya.

Jenis penghasilan yang dikenakan pajak atau disebut Objek Pajak sesuai dengan Pasal
4 ayat (1) UU PPh adalah sebagai berikut:
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pension, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-
undang.
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan.
c. Laba usaha.
d. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta.
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.
f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan lain karena jaminan pengembalian
utang.
g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apa pun (termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis) dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
h. Royalti.
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.

6
k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
n. Premi asuransi.
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri atas
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.

Dikecualikan dari PPh menurut ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2000
adalah:
a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima
zakat yang berhak. 2) Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau
badan social atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
b. Warisan.
c. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti
penyertaan modal.
d. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau pemerintah.
e. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
beasiswa.
f. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib
Pajak Dalam Negeri, Koperasi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik
Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan atau berkedudukan di
Indonesia dengan syarat:
1. Dividen tersebut berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan

7
2. Bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah
yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen
paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif
di luar kepemilikan saham tersebut.
g. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
h. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pension, dalam bidang-bidang
tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
i. Bagian laba yang diperoleh atau diterima anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi.
j. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana selama 5 (lima)
tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha.
k. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba
dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di
Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1. Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam
sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
2. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

2.2 Bentuk Usaha Tetap (BUT)


2.2.1 Pengertian Bentuk Usaha Tetap
Bentuk Usaha Tetap merupakan subjek yang perlakuan perpajakannya dipersamakan
dengan subjek pajak badan. Negara domisili dari Wajib pajak luar negeri selain yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia,
adalah Negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang
sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).
Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kagiatan
di Indonesia. yang dapat berupa :

1. Tempat kedudukan manajemen;


8
2. Cabang peusahaan;
3. Kantor perwakilan;
4. Gedung kantor;
5. Pabrik;
6. Bengkel;
7. Gudang;
8. Ruang untuk promosi dan penjualan;
9. Pertambangan dan penggalian sumber alam;
10. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas numi;
11. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
12. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
13. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
14. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
15. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di
Indonesia; dan
16. Computer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha
melalui internet.
2.2.2 Obyek Pajak Bentuk Usaha Tetap
Yang menjadi objek pajak BUT , yaitu:
a. Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang
dimiliki atau dikuasai,
b. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian
jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk
usaha tetap di Indonesia,
c. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor
pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau
kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.

2.2.3 Penghitungan Pajak Terhutang Bentuk Usaha Tetap

9
Pemajakan BUT menurut UU PPh menganut dua system pemajakan, yaitu :

1. Tarif tertentu, dikenakan kepada jenis BUT yang menjalankan kegiatan usaha
tertentu, yaitu :
- Kep. Menteri Keuangan No. 417 /KMK. 04/1996 : PPh yang terutang atas BUT
berupa cabang perusahaan pelayaran dan penerbangan internasional sebesar 2,
64% dari peredaran bruto dan bersifat final.
- Kep. Dirjen Pajak No. 667/PJ/2001 : PPh yang terutang kantor perwakilan dagang
asing sebesar 0,44% dari nilai ekspor perusahaan ke Indonesia apabila tidak ada
tax treaty/perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B).
2. Tarif umum pasal 17 UU PPh, dikenakan kepada jenis BUT selain tersebut di atas,
dengan perhitungan sebagai berikut :
- Tarif pasal 17 x Penghasilan Kena Pajak
- Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan neto dikurangi kompensasi
- Penghasilan neto = Objek BUT – biaya fiscal Pasal 6 ayat (1) UU PPh.

Dalam menentukan besarnya laba suatu BUT juga diberikan tambahan penjelasan
sebagai berikut :

1. Biaya administrasi kantor pusat yang boleh dikurangkan adalah biaya yang berkaitan
dengan usaha atau kegiatan BUT, yang besarnya ditetapkan oleh Dirjen Pajak
2. Pembayaran kepada kantor pusat yang tidak boleh dikurangkan adalah royalty atau
imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, paten atau hak-hak lainnya,
imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya, bunga, kecuali bunga
yang berkenaan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya, bunga, kecuali bunga yang
berkenaan dengan usaha perbankan. Pembayaran serupa yang diterima atau diperoleh
dari kantor pusat tidak dianggap sebagai objek pajak BUT, kecuali bunga yang
berkenaan dengan usaha perbankan

Penghitungan pajak terutang BUT dapat dilihat pada contoh berikut ini.
 Jumlah peredaran bruto dalam tahun pajak 2009 Rp 54.000.000.000,-.
 Jumlah Penghasilan Kena Pajak dalam tahun pajak 2009 Rp 4.000.000.000,-
 Pajak Penghasilan yang terutang adalah:
Penghasilan Kena Pajak Rp 4.000.000.000,-
PPh Terutang: 28% x Rp 4.000.000.000,00 = Rp 1.120.000.000,-

10
2.3 Biaya yang Boleh Dikurangkan dan Pengecualiannya
2.3.1 Biaya yang boleh dikurangkan

Undang- Undang nomor 36 tahun 2008 pasal 6 menyatakan bahwa Besarnya


Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan
berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan, termasuk:

a. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha,
meliputi:

 biaya pembelian bahan


 biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium,
bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang
 bunga, sewa, dan royalti
 biaya perjalanan
 biaya pengolahan limbah
 premi asuransi
 biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan (PMK 02/PMK.03/2010)
 biaya administrasi
 pajak kecuali Pajak Penghasilan
b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun

c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan (Pasal 6 ayat (1) huruf c)

d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan (Pasal 6 ayat (1) huruf d)

e. Kerugian selisih kurs mata uang asing; (Pasal 6 ayat (1) huruf e)

f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia (Pasal


6 ayat (1) huruf f)

g. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan (Pasal 6 ayat (1) huruf g)

h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:

 telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;

 Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
11
 telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi
pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis
mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur
yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau
khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan
untuk jumlah utang tertentu;

 syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan


piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf k;

i. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya


diatur dengan PP 93 Tahun 2010 (Pasal 6 ayat (1) huruf i)

j. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia


yang ketentuannya diatur dengan PP 93 Tahun 2010 (Pasal 6 ayat (1) huruf j)

k. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan PP 93


Tahun 2010 (Pasal 6 ayat (1) huruf k)

l. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan


Pemerintah (Pasal 6 ayat (1) huruf l)

Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan PP


93 Tahun 2010 (Pasal 6 ayat (1) huruf m)
2.3.2 Biaya yang tidak boleh dikurangkan

Pasal 13 PP 94 TAHUN 2010, Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan
dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap, termasuk:

1. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang:

 bukan merupakan objek pajak; 

 pengenaan pajaknya bersifat final; dan/atau 

 dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 UU PPh dan Norma Penghitungan
Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU PPh.

2. PPh yang ditanggung oleh pemberi penghasilan.

Adapun Biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto menurut pasal 9
UU PPh sebagai berikut:

12
a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk
dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan
pembagian sisa hasil usaha koperasi (Pasal 9 ayat 1 huruf a)

b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham,
sekutu, atau anggota (Pasal 9 ayat 1 huruf b)

c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan (Pasal 9 ayat 1 huruf c), kecuali:

 cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan
pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang; 

 cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang


dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; 

 cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;  

 cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;

 cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan  

 cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah


industri untuk usaha pengolahan limbah industri, 

d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar
oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak
yang bersangkutan (Pasal 9 ayat 1 huruf d)

e. (Pasal 9 ayat 1 huruf e) penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau
jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan
makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam
bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan (PMK 83/PMK.03/2009)  

f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau
kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan (Pasal 9 ayat 1 huruf f)

g. (Pasal 9 ayat 1 huruf g) harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta
zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk
atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan

13
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP 18 Tahun 2009 dan SE-80/PJ/2010)

h. Pajak Penghasilan (Pasal 9 ayat 1 huruf h)

i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau
orang yang menjadi tanggungannya (Pasal 9 ayat 1 huruf i)

j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham (Pasal 9 ayat 1 huruf j)

k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa
denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang
perpajakan.

2.4 Kompensasi Kerugian


Kompensasi kerugian fiskal adalah skema ganti rugi yang dilakukan oleh wajib pajak
badan maupun wajib pajak orang pribadi yang berdasarkan pembukuannya mengalami
kerugian. Kompensasi tersebut akan dilakukan pada tahun berikutnya secara berturut-turut
hingga 5 tahun. Dasar hukum kompensasi kerugian fiskal ada pada UU No. 36 Tahun 2008
Pasal 6 ayat 2 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Dalam UU tersebut disebutkan bahwa: 
“Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak
berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 tahun.”
Adapun arti dari pengurangan pada ayat (1) pernyataan di atas adalah sebagai berikut:
1. Pengurangan biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan
kegiatan usaha. 
2. Penyusutan atas pengeluaran agar memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk mendapatkan hak dan atas biaya lain yang memiliki masa manfaat
lebih dari 1 tahun. 
3. Iuran ke dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. 
4. Kerugian yang terjadi akibat penjualan dan pengalihan harta yang dimiliki dan
digunakan dalam perusahaan terkait.
5. Kerugian yang disebabkan oleh selisih kurs mata uang asing. 
6. Pengurangan atas biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di
Indonesia. 
7. Biaya beasiswa, pelatihan, dan magang. 

14
8. Piutang yang ternyata tidak dapat ditagih. 
9. Bentuk sumbangan yang dialokasikan dalam rangka penanggulangan bencana
nasional yang mana ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). 
10. Biaya sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang mana ketentuannya juga diatur dengan PP. 
11. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya juga diatur dengan PP. 
12. Sumbangan untuk fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dalam PP. 
13. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga  yang ketentuannya diatur dengan PP. 
Sesuai dengan Undang-Undang No.36 Tahun 2008 tetang Pajak Penghasilan,
pengertian dan ketentuan kompensasi kerugian fiskal adalah sebagai berikut:
1. Kerugian fiskal adalah kerugian fiskal berdasarkan ketetapan pajak yang telah
diterbitkan Direktur Jenderal Pajak serta kerugian fiskal berdasarkan SPT Tahunan
PPh Wajib Pajak (self assesment) dalam hal tidak ada atau belum diterbitkan
ketetapan pajak oleh Direktur Jenderal Pajak.
2. Kompensasi kerugian fiskal timbul apabila untuk tahun pajak sebelumnya terdapat
kerugian fiskal (SPT Tahunan dilaporkan Nihil atau Lebih Bayar tetapi ada kerugian
fiskal).
3. Kerugian Fiskal terjadi karena penghasilan bruto dikurangi dengan biaya (yang
diperbolehkan menurut ketentuan fiskal) hasilnya mengalami kerugian.
4. Kerugian Fiskal tersebut dikompensasikan dengan laba neto fiskal dimulai tahun
pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
5. Ketentuan jangka waktu pengakuan kompensasi kerugian fiskal mulai berlaku tahun
2009 sedangkan untuk tahun pajak sebelumnya berlaku ketentuan Undang-undang
no.17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan.
6. Apabila kemudian ternyata berdasarkan ketetapan pajak hasil pemeriksaan
menunjukkan jumlah kerugian fiskal yang berbeda dari kerugian menurut SPT
Tahunan PPh atau hasil pemeriksaan menjadi tidak rugi, kompensasi kerugian fiskal
menurut SPT Tahunan PPh tersebut harus segera dibetulkan sesuai dengan ketentuan
dan prosedur pembetulan SPT sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang
Ketentuan Umum Perpajakan.
Sebagai catatan, kompensasi kerugian fiskal tidak akan berlaku bagi wajib pajak yang
seluruh penghasilannya bersifat final atau bukan merupakan objek pajak. Selain itu, kerugian

15
yang diterima dari luar negeri tidak bisa diikutsertakan dalam perhitungan kompensasi
kerugian fiskal. 

2.4.1 Perhitungan Kompensasi Kerugian


Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan berdasarkan ketentuan pasal 6 ayat
(1) UU Pajak Penghasilan seperti tersebut di atas setelah dikurangkan dari penghasilan bruto
didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba
fiskal selama 5 tahun berturut-turut dimulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya
kerugian tersebut.
Contoh Perhitungan kompensasi kerugian:
PT. Tridewo dalam tahun 1995 menderita kerugian fiskal sebesar Rp1.200.000.000,-.
Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba rugi fiskal PT. Tridewo sebagai berikut :
Tahun Laba Rugi
1996 Rp 200.000.000,-
1997 (Rp 300.000.000,-)
1998 NIHIL
1999 Rp 100.000.000,-
2000 Rp 800.000.000,-

Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut:


Rugi fiskal 1995 (Rp 1.200.000.000,-)
Laba fiskal 1996 Rp 200.000.000,-
Sisa rugi fiskal 1995 (Rp 1.000.000.000,-)
Rugi fiskal 1997 (Rp 300.000.000,-)
Sisa rugi fiskal 1995 (Rp 1.000.000.000,-)
Laba fiskal 1998 NIHIL
Sisa rugi fiskal 1995 (Rp 1.000.000.000,-)
Laba fiskal 1999 Rp 100.000.000,-
Sisa rugi fiskal 1995 (Rp 900.000.000.-)
Laba fiskal 2000 Rp 800.000.000,-
Sisa rugi fiskal 1995 (Rp 100.000.000,-)

Rugi fiskal tahun 1995 sebesar Rp100.000.000 yang masih tersisa pada akhir tahun 2000
tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 1997 sebesar Rp300.000.000
hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2001 dan tahun 2002, karena
jangka waktu lima tahun yang dimulai sejak tahun 1998 berakhir pada akhir tahun 2002

2.5 Penyusutan, Amortisasi dan Revaluasi Aktiva


2.5.1 Penyusutan

16
Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat, dan tarif penyusutan harta berwujud
ditetapkan sebagai berikut:
Kelompok Harta Tarif Penyusutan
Masa Manfaat
Berwujud Garis Lurus Saldo Menurun
I.    Bukan Bangunan
Kelompok 1 4 tahun 25 % 50 %
Kelompok 2 8 tahun 12,5 % 25 %
Kelompok 3 16 tahun 6,25 % 12,5 %
Kelompok 4 20 tahun 5% 10 %

II. Bangunan
Permanen 20 tahun 5%
Tidak Permanen 10 tahun 10 %

Saat penyusutan dapat dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, pada bulan
harta berwujud mulai digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan (dengan izin dari Dirjen Pajak).
Sedangkan untuk harta yang masih dalam pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan
pengerjaan harta tersebut selesai.
2.5.2 Amortisasi
Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran
lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan
goodwill yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun dihitung dengan cara
menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku dan pada akhir
masa manfaat diamortisasi. Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran,
kecuali untuk bidang usaha tertentu.
Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan sebagai
berikut:
Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran
lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan
goodwill yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun dihitung dengan cara
menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku dan pada akhir
masa manfaat diamortisasi.
Kelompok Harta Tarif Amortisasi
Masa Manfaat
Tak Berwujud Garis Lurus Saldo Menurun
Kelompok 1 4 tahun 25 % 50 %

17
Kelompok 2 8 tahun 12,5 % 25 %
Kelompok 3 16 tahun 6,25 % 12,5 %
Kelompok 4 20 tahun 5% 10 %

Kelompok, metode, dan tarif amortisasi di atas berlaku juga pada pengeluaran untuk
biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan, dan pengeluaran yang
dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun.

2.5.3 Revaluasi Aktiva


Perbedaan nilai buku dengan nilai riil aktiva perusahaan dapat mengakibatkan kurang
serasinya perbandingan antara penghasilan dengan beban, dan nilai buku dengan nilai
intrinsik perusahaan. Untuk mengurangi perbedaan tersebut, kepada WP perlu diberikan
kesempatan untuk melakukan penilaian kembali aktiva tetap yang dapat dilakukan oleh WP
Badan dalam negeri yang telah memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai dengan masa
pajak terakhir sebelum masa pajak dilakukannya penilaian kembali.
tetap yang dapat dilakukan penilaian kembali adalah semua aktiva berwujud dalam
bentuk tanah, kelompok bangunan dan bukan bangunan yang tidak dimaksudkan untuk
dialihkan atau dijual yang terletak atau berada di Indonesia. Penilaian kembali dihitung
berdasarkan nilai pasar atau nilai wajar yang berlaku.

2.6 Penentuan Harga Perolehan


Pada umumnya dalam jual beli harta, harga perolehan harta bagi pihak pembeli adalah
harga yang sesungguhnya dibayar dan harga penjualan bagi pihak penjual adalah harga yang
sesungguhnya diterima. Biaya yang dikeluarkan sepeti bea masuk, biaya pengangkutan, dan
biaya pemasangan termasuk kedalam harga perolehan. Sedangkan apabila terdapat hubungan
istimewa, harga perolehan adalah jumlah yang seharusnya diterima atau dikeluarkan.
Nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar harta adalah
jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar. Nilai perolehan
atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah jumlah yang seharusnya
dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri
Keuangan. Persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok dinilai
berdasarkan harga perolehan yang dilakukan secara rata-rata atau dengan cara mendahulukan
persediaan yang diperoleh pertama.
18
2.7 Pajak Final
2.7.1 Pengertian
Pajak final atau PPh final merupakan pajak yang dikenakan langsung saat wajib pajak
(WP) menerima penghasilan. Pajak final biasanya langsung disetorkan oleh WP. Karena sifat
pungutannya yang seketika, PPh final tidak lagi diperhitungkan dalam pelaporan SPT
tahunan meskipun nantinya tetap harus dilaporkan
Pemisahan PPh final dan nonfinal bukanlah sebuah keputusan yang dibuat semata-
mata untuk mempersulit wajib pajak, bahkan sebaliknya, pemerintah (dalam hal ini Dirjen
Pajak) berusaha memudahkan wajib pajak agar kewajibannya bisa dipenuhi dengan lebih
mudah lagi. Setidaknya ada dua pertimbangan yang menjadi dasar penerapan pajak final,
yaitu:

1. Penyederhanaan pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha.


2. Memudahkan serta mengurangi beban administrasi bagi wajib pajak

2.7.2 Jenis-jenis Pajak Final


Berdasarkan Pasal 4 (2) UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan,
penghasilan yang dapat dikenai pajak yang bersifat final adalah sebagai berikut:
1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang
negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi
orang pribadi;
2. Penghasilan berupa hadiah undian;
3. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
5. Penghasilan tertentu lainnya

Penghasilan-penghasilan tersebut di atas merupakan objek pajak. Berdasarkan


pertimbangan-pertimbangan antara lain:

1. Perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan masyarakat;

19
2. Kesederhanaan dalam pemungutan pajak;-berkurangnya beban administrasi baik bagi
Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak;
3. Pemerataan dalam pengenaan pajaknya; dan-memerhatikan perkembangan ekonomi dan
moneter, atas penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri
dalam pengenaan pajaknya.

Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan tersebut termasuk
sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan diatur
dengan Peraturan Pemerintah. Obligasi sebagaimana dimaksud di atas termasuk surat utang
berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan, seperti Medium Term Note, Floating Rate
Note yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan. Surat Utang Negara yang
dimaksud di atas meliputi Obligasi Negara dan Surat Perbendaharaan Negara.
Ada beberapa jenis penghasilan (objek pajak) yang dikenakan pemotongan atau
pemungutan pajak yang bersifat final. Penghasilan yang dikenakan pemotongan atau
pemungutan PPh yang bersifat final, tetap dilaporkan dalam Surat Pemberutahuan (SPT),
hanya saja jumlahnya tidak dijumlahkan dengan penghasilan lainnya. Pajak yang sudah
dipotong tidak diperhitungkan sebagai Kredit Pajak. Beberapa penghasilan yang dikenai
pajak yang bersifat final antara lain bunga deposito, hadiah undian, penghasilan dari transaksi
saham, transaksi pengalihan harta berupa tanah/bangunan, usaha jasa konstruksi, dan
penghasilan tertentu lainnya.

2.8 Norma Perhitungan


Norma penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto.
Penggunaan norma penghitungan dilakukan karena tidak terdapat dasar perhitungan yang
lebih baik, atau pembukuan diselenggarakan secara tidak benar. Orang Pribadi yang boleh
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto:
1. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan
peredaran bruto sebesar Rp. 1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah) atau
lebih dalam 1 (satu) tahun wajib menyelenggarakan pembukuan.
2. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan
peredaran bruto di bawah Rp. 1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah)

20
dalam 1 (satu) tahun wajib menyelenggarakan pencatatan, kecuali Wajib Pajak yang
bersangkutan memilih menyelenggarakan Pembukuan.
3. Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak memilih
untuk menyelenggarakan pembukuan, menghitung penghasilan neto usaha atau pekerjaan
bebasnya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

Sesuai dengan UU PPh yang baru yaitu UU Nomor 36 tahun 2008 maka  sejak 1 Jan
2009 batasan Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang
boleh menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan berubah dengan peredaran bruto di
bawah Rp. 1.800.000.000,00 menjadi Rp 4.800.000.000.

2.9 Hubungan Istimewa


Hubungan istimewa diantara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau
keterikatan satu dengan yang lain. Hubungan istimewa dianggap ada apabila:
1. Wajib Pajak mempunyai hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar
25 % atau lebih secara langsung atau tidak langsung;
2. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih WP berada dibawah
penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung;
3. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan
lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa
Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak tidak boleh dikurangkan jumlah
yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau pihak yang
memiliki hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan
(Pasal 9 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000).
Keuangan berwenang mengeluarkan Surat Keputusan mengenai besarnya
perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak
berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh wajib pajak
dalam negeri pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di
bursa efek, sepanjang:
 Besarnya penyertaan modal tersebut sekurang-kurangnya 50% dari jumlah saham yang
disetor ; atau

21
 Secara bersama-sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan
modal sebesar 50% atau lebih dari jumlah saham yang disetor.

Wajib pajak dalam negeri wajib menghitung dividen yang menjadi haknya terhadap
laba setelah pajak sebanding dengan penyertaannya (equity method) pada Badan Usaha di
luar negeri yang bersangkutan.
 Pada bulan ke-4 setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian SPT PPh
Badan Usaha di luar negeri.
 Pada bulan ke-7 setelah tahun pajak berakhir, dalam hal di negara yang bersangkutan
tidak terdapat kewajiban penyampaian SPT PPh atau tidak ada batas waktu
penyampaian SPT PPh.
 Apabila kemudian di bagi dividen yang melebihi jumlah yang dihitung berdasarkan
equity method di atas, kelebihannya harus dilaporkan dalam SPT PPh pada tahun
dibagikannya dividen tersebut.
 PPh atas dividen yang dibayar di luar negeri dapat dikreditkan sesuai dengan Pasal 24
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 pada tahun pajak dilakukannya
pembayaran/pemotongan pajak di luar negeri tersebut.
 Apabila sebelum batas waktu yang ditentukan di atas dilakukan pembagian dividen
yang menjadi hak wajib pajak, maka penghitungan sesuai dengan ketentuan di atas
tidak perlu dilakukan.
Dirjen Pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan
(biaya) serta besarnya utang dan modal dalam rangka menghitung penghasilan kena pajak
bagi wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya sesuai
dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
Dirjen Pajak berwenang mengadakan perjanjian dengan wajib pajak atau bekerjasama
dengan otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi yang dipengaruhi
hubungan istimewa selama periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan
renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.

2.10 Contoh Kasus


Sebagaimana kita ketahui bahwa sejak awal Mei 2009 telah berdiri KPP (Kantor
Pelayanan Pajak) yang khusus melayani dan mengadministrasikan Wajib Pajak Orang Pribadi
Kaya. Proyek perdana Direktorat Jenderal Pajak ini memiliki kriteria Wajib Pajak Orang

22
Pribadi pemegang saham di beberapa perusahaan besar dan ber-KTP di Jakarta. Setelah
berjalan hampir 2 tahun ini, banyak sekali permasalahan perpajakan baik PPh maupun PPN
yang muncul seiring pelayanan konsultasi dan pengawasan oleh Account Representative
(AR) terhadap Wajib Pajak. Hal ini lebih disebabkan sampai saat ini peraturan perpajakan
masih sangat kental berkaitan dengan permasalahan Wajib Pajak Badan dan belum tegas
menjelaskan aspek yang terkait dengan Wajib Pajak orang pribadi. DJP (Direktorat Jenderal
Pajak) selama ini menyiapkan regulasi perpajakan hanya memprioritaskan pada Wajib Pajak
Badan dan baru pada era Reformasi Pajak Tahap Kedua ini, konsep rencana dan grand
strategy DJP juga memprioritaskan pelayanan dan pengawasan Wajib Pajak orang pribadi.
Strategi ini diharapkan mampu meningkatkan penerimaan pajak dari Wajib Pajak orang
pribadi yang selama ini proporsi penerimaan dari WP orang pribadi masih sangat kecil.
Sangat berbeda jika kita perhatikan hal yang sma pada Negara maju seperti Amerika yang
pencapaian penerimaan pajak dari orang pribadinya sangat signifikan.

Adapun permasalahannya berawal dari banyaknya WP di KPP HWI (High Wealth


Individual) yang menghibahkan hartanya baik berupa uang kas, rumah (tanah dan/atau
bangunan) maupun saham kepada anak kandungnya dan adanya WP yang mengajukan
permohonan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan atas Pengalihan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan yang terkait dengan hibah rumah tersebut. Kalau kita perhatikan berbagai
kebijakan yang dikeluarkan oleh DJP, terlihat bahwa penegasan atas permasalahan hibah
harta tersebut hanya mampu memberikan kepastian hukum untuk hal yang terkait dengan
hibah saham dalam satu perusahaan dan penegasan maksud adanya hubungan usaha,
pekerjaan dan kepemilikan dapat ditentukan secara mudah.
Misalnya Tn. A menghibahkan kepemilikan sahamnya sebesar 70% di PT. ABC kepada
anaknya Tn. B. Tn. B ini juga memiliki saham PT. ABC sebesar 10% dan baik Tn. A maupun
Tn. B duduk di jajaran pengurus perusahaan yakni Tn. A sebagai komisaris dan Tn. B sebagai
direkturnya. Hal ini jelas dapat kita tentukan secara sederhana bahwa terdapat hubungan
usaha (dalam satu perusahaan, misalnya PT. ABC), terdapat hubungan pekerjaan (sama-sama
sebagai pengurus PT. ABC), dan terdapat hubungan kepemilikan (sama-sama memiliki
saham PT. ABC). Namun bagaimana kalau kita berhadapan dengan masalah sebagai berikut:
1. Hibah berupa uang kas dan transaksinya rutin setiap tahun
2. Hibah berupa rumah
3. Hibah berupa saham

23
Namun terdapat hubungan usaha, pekerjaan dan kepemilikan secara tidak
langsung antara bapak dan anak yakni di perusahaan induk dari perusahaan yang sahamnya
dihibahkan atau di perusahaan anak lainnya sehubungan dengan usaha atau bisnis keluarga
yang sangat besar. Atas permasalahan inilah yang belum dapat dijelaskan didasarkan pada
ketentuan yang berlaku dan tidak bisa dipungkiri bahwa hal ini memang sering terjadi di
kehidupan perekonomian masyarakat.

Dasar Hukum:
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa sampai saat ini peraturan perpajakan masih
sangat kental berkaitan dengan permasalahan Wajib Pajak Badan dan belum tegas
menjelaskan aspek yang terkait dengan Wajib Pajak orang pribadi. Dalam UU PPh, hibah
harta diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut:
1. Pasal 4 ayat (1) UU PPh mengatur bahwa yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan
yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak,
baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama
dan dalam bentuk apapun, termasuk keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah,
bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan
sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan
antara pihak-pihak yang bersangkutan.
2. Pasal 4 ayat (3) huruf a angka (2) UU PPh mengatur bahwa yang tidak termasuk Objek
Pajak antara lain adalah harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Pembahasan Kasus:
Atas permasalahan yang diuraikan di atas, kami mencoba untuk mengupas satu per satu
poin-poin yang tersirat dalam dasar hukum yang mengatur mengenai harta hibahan. Pertama,
tersirat kata ‘harta’ yang secara umum berarti sumber ekonomi yang diharapkan memberikan
manfaat usaha dikemudian hari. Dalam istilah ekonomi, harta sering disebut asset atau aktiva.
Harta tentunya dapat berupa Harta Berwujud maupun Harta Tidak Berwujud. Harta berwujud

24
tersebut misalnya rumah, tanah, saham, piutang, uang kas/tabungan, deposito dan surat
berharga, perhiasan, polis asuransi dan harta berwujud lainnya. Harta tidak berwujud ini
dapat berupa royalty/hak paten, franchise dan lain-lain. Penyebutan harta dalam ketentuan ini
dimaksud bahwa segala sesuatu yang dimiliki baik tercatat maupun tidak dan dapat juga
berlaku untuk Wajib Pajak orang pribadi, dan bukan disebut sebagai aktiva, mengingat aktiva
akan sangat terkait dengan segala sesuatu yang dimiliki yang telah dicatat atau dibukukan
yang akan dilaporkan dalam laporan keuangan berupa neraca dan hal ini hanya berlaku untuk
Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang melakukan pembukuan. Jadi terkait dengan
permasalahan yang ada, harta hibahan ini dapat berupa harta yang telah disebutkan di atas.
Wajib Pajak orang pribadi dapat menghibahkan rumah, saham, piutang, uang kas dan lain-
lain.
Kedua, terdapat poin yang menyebutkan “yang diterima oleh keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat” yang dimaksud adalah ayah, ibu, dan anak kandung. Hal
ini tidak berlaku untuk “hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu
derajat” yakni saudara dan juga untuk “keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu
derajat” yakni mertua dan anak tiri, apalagi yang dimaksud “hubungan keluarga semenda
dalam garis keturunan ke samping satu derajat” yakni ipar. Ini perlu ditekankan, karena
sering juga terjadi hibah harta yang diterima bukan oleh keluarga sedarah dalam garis
keturunan satu derajat misalnya hibah dari ayah yang diterima oleh anak tirinya.
Ketiga, poin “sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan
antara pihak-pihak yang bersangkutan” yang dapat ditekankan bahwa apabila tidak ada
keterkaitan usaha, pekerjaan, kepemilikan, antara pemberian hibah dengan pemberi hibah
atau penerima hibah. Dengan kata lain, ada tiga unsur yang terkait yaitu pemberian hibah
yakni hibah itu sendiri dengan pemberi dan penerima hibah. Yang jadi permasalahan disini
adalah maksud dari pengertian hubungan dengan usaha, pekerjaan dan kepemilikan itu
sendiri, dimana seperti diuraikan di atas bahwa kebijakan DJP hanya mampu menjelaskan
hubungan yang secara langsung. Bagaimana dengan hubungan usaha, pekerjaan, terutama
kepemilikan yang secara tidak langsung?
Terkait hubungan kepemilikan, kalau kita kaitkan dengan ketentuan yang mengatur
mengenai hubungan istimewa yakni Pasal 18 ayat (4) UU PPh yang mengatur bahwa
hubungan istimewa dianggap ada apabila Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal
langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak
lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh

25
lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib
Pajak atau lebih yang disebut terakhir. Dari ketentuan mengenai hubungan istimewa ini, kita
dapat memastikan bahwa selain hubungan kepemilikan langsung, hubungan kepemilikan
tidak langsung juga diatur dalam ketentuan perpajakan. Hal inilah yang membuat petugas
pajak sedikit kebingungan dalam memahami konsep tentang hubungan usaha, pekerjaan dan
kepemilikan. Perlu kiranya DJP berani untuk menentukan kebijakan untuk memperluas
makna hubungan tersebut, karena pada prakteknya memang kasus terkait hubungan secara
tidak langsung ini banyak terjadi.
Memang sering juga kita hadapi di masyarakat, misalnya, terdapat orang tua
menghibahkan rumah kepada anaknya. Hal itu lumrah terjadi dan menjadi hak orang tuanya
yang mampu dari segi ekonomi untuk memberikan suatu hartanya kepada anaknya. Nah, hal
inilah yang harus bisa dipisahkan, apakah hibah itu dalam rangka hubungan bisnis yaitu
hubungan usaha, pekerjaan dan kepemilikan atau tidak. Masalah hubungan bisnis itu
sangatlah luas bukan hanya atas hibah saham dalam satu perusahaan saja, seperti yang bisa
dijelaskan DJP saat ini.
Berdasarkan pembahasan atas poin-poin yang tersirat dalam ketentuan yang berlaku,
penulis mencoba mengkaitkan dengan contoh kasus di atas yaitu sebagai berikut:
1. Hibah berupa uang kas dan transaksinya rutin setiap tahun.
Wajib Pajak menghibahkan uang kas atau deposito atau lainnya kepada anaknya adalah
suatu hal biasa. Biarpun itu dilakukan secara rutin, misalnya tiap tahun. Secara kasat mata,
petugas pajak tidak dapat menentukan bahwa hal tersebut merupakan objek pajak, namun
apabila bisa dibuktikan bahwa atas pemberian atau hibah uang kas tersebut memenuhi
persyaratan terdapat hubungan dengan usaha, pekerjaan, atau kepemilikan maka atas hibah
tersebut merupakan objek pajak. Di sini diperlukan keahlian petugas pajak (AR) untuk
mendapatkan informasi maupun data yang memang membuktikan hal tersebut. Jadi
penentuan hibah tersebut adalah objek atau bukan memerlukan pembuktian lebih lanjut.

Sebagai contoh Tn. A menghibahkan uang kas kepada anaknya, Tn. B. Atas uang tersebut,
berdasarkan data yang ada, ternyata dipergunakan untuk membeli aktiva/saham dari salah
satu anak perusahaan yang dimiliki oleh keluarganya. Atas kasus ini, dengan jelas atas
hibah uang tersebut merupakan objek pajak.

2. Hibah berupa rumah.

26
Sama dengan penjelasan kasus hibah uang kas, banyak sekali terjadi hibah rumah dari
Wajib Pajak kepada anaknya atau sebaliknya dan jika kita kaitkan dengan hubungan
bisnis, rasanya hubungannya sangatlah jauh sehubungan rumah dihibahkan pada
umumnya dipergunakan untuk tempat tinggal dan biarpun untuk disewakan, keterkaitan
hubungan bisnis dengan pemberi hibah juga tidak ada. Lain halnya, Wajib Pajak
menghibahkan gedung kantor yang dimiliki untuk tempat usaha salah satu perusahaan
yang dimiliki oleh seluruh keluarga Wajib Pajak. Atas kasus ini, kita dapat dengan tegas
juga menentukan bahwa terdapat hubungan usaha dan hibah gedung kantor tersebut
merupakan objek pajak.

3. Hibah berupa saham


Seperti yang diuraikan sebelumnya dalam studi kasus di KPP HWI (High Wealth
Individual), banyak sekali terdapat transaksi hibah saham yang dilakukan oleh Wajib
Pajak kepada anaknya. Untuk kasus yang terjadi dalam satu perusahaan, sudah jelas dapat
ditentukan bahwa hibah tersebut merupakan objek pajak. Namun untuk kasus misalnya
Tn. A menghibahkan saham PT. ABC kepada anaknya Tn. B. PT. ABC ini merupakan
anak perusahaan dari PT. XYZ yang masing-masing kepemilikan sahamnya dimiliki oleh
Tn. A 70% dan Tn. B 30%. Tn. B sebelumnya tidak memiliki saham PT. ABC dan hanya
duduk sebagai salah satu direktur perusahaan. Atas hibah saham ini, kalau kita kaitkan
dengan pembahasan mengenai hubungan istimewa tersebut, maka sangat jelas terdapat
hubungan bisnis yakni hubungan usaha, pekerjaan dan kepemilikan secara tidak langsung
dan atas hibah ini seharusnya dapat ditentukan sebagai objek pajak.

27
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Subyek Pajak Penghasilan adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk
memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan PPh berdasarkan UU No. 36
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Jenis penghasilan yang dikenakan pajak atau disebut
Objek Pajak sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UU PPh. Selain itu, berdasarkan Pasal 4 ayat (2)
UU PPh ada juga obyek pajak yang termasuk pajak final.
Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kagiatan
di Indonesia.
Undang- Undang nomor 36 tahun 2008 pasal 6 menyatakan bahwa Besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan

28
berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 93 Tahun 2010 

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2019

S, Azhari. 2010. Perpajakan I: Pajak Penghasilan. UNRI Press. Pekanbaru.

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh).

29

Anda mungkin juga menyukai