Anda di halaman 1dari 46

PAJAK PENGHASILAN UNTUK TRANSAKSI KHUSUS

MAKALAH
Mata Kuliah Perpajakan

Dosen Pengampu : Dr. Ruhul Fitrios, SE, M.Si, Ak, CA.


Oleh Kelompok 3

AFRI ANTON 2010241724


DESI ANGGRAINI 2010241717
MUQTI RANDY SYARIF 2010242055
RISA DAHLIA 2010242020

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.

“Puji syukur penyusun hadiahkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat

dan rahmat – Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pajak

Penghasilan Untuk Transaksi Khusus”. Makalah ini disusun sebagai pemenuhan tugas mata

kuliah Perpajakan.

Adapun mungkin kesalahan teknis penulisan maupun materi, mengingat akan

kemampuan yang kami miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami

harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini. Sesungguhnya tiadalah yang

sempurna, melainkan Allah Ta’ala semata.

Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini,

khususnya kepada Dosen kami, Bapak Dr. Ruhul Fitrios SE, M.Si, Ak, CA. yang telah

memberikan tugas dan petunjuk kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Aamiin ya rabbal ‘alamin.

Pekanbaru, Maret 2021

Tim Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah................................................................................................ 2

1.3 Tujuan.................................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 PPh Pasal 4 Ayat 2............................................................................................... 3

2.2 Kredit Pajak Luar Negeri..................................................................................... 15

2.3 Ketentuan Khusus PPh atas Transaksi/Industri Tertentu..................................... 22

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan.......................................................................................................... 41

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 42

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pajak merupakan instrument utama penerimaan negara, ini terlihat dari jumlah
prosentase dan nilainya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sejarah terjadinya
peraturan pemotongan/pemungutan mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai
dengan perkembangan ekonomi dari masyarakat suatu negara dan juga berkembangnya
negara tersebut dengan baik dibidang sosial maupun ekonominya. Dengan demikian
halnya maka pembayaran pajak yang tadinya bersifat sukarela sekarang berubah menjadi
kontribusi wajib yang harus di bayarkan kepada Negara yang ditetapkan secara sepihak
oleh Negara dalam bentuk Undang-undang perpajakan yang dapat dipaksakan.
Secara falsafah undang-undang perpajakan membayar pajak bukan hanya
merupakan kewajiban,tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut
berpartisipasi dalam peran serta terhadap pembiayaan Negara pembangunan nasional
(Wibowo dan Illyas, 2003). Pajak merupakan iuran wajib yang dibayarkan kepada Negara
oleh orang pribadi maupun badan yang bersifat memaksa yang berdasarkan Undang-
undang perpajakan. Iuran pajak yang kita bayarkan kepada Negara akan dimanfaatkan
oleh Negara untuk membiayai kehidupan Negara dalam pembangunan nasional, tanpa
adanya imbalan yang diberikan secara langsung yang diatur dalam Undang-Undang
Perpajakan yang bertujuan mensejahterakan Bangsa dan Negara.
Salah satu jenis pajak adalah Pajak Penghasilan atau yang sering disebut dengan
PPh yaitu pajak yang dikenakan Subjek Pajak Penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam tahun pajak. Sesuai dengan namanya (PPh), yang menjadi Obyek
Pajak Penghasilan adalah Penghasilan. Definisi Penghasilan menurut Pasal 4 UU PPh
adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak,
baik yang berasal dari Indonesia, yang dapat dipakai sebagai konsumsi atau menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama maupun dalam bentuk apapun.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis (yang terdiri dari 4 orang) ingin
menyusun sebuah makalah dengan judul “Pajak Penghasilan Untuk Transaksi Tertentu”.
Dalam makalah ini penulis akan memaparkan tentang Pajak Penghasilan di Indonesia
sesuai dengan peraturan-peraturan yang terkait dengan Pajak Penghasilan yang berlaku di
Indonesia.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka rumusan masalah
dalam makalah ini antara lain:
1. Bagaimana ketentuan PPh Final pasal 4 ayat 2?
2. Bagaimana ketentuan kredit pajak luar negeri?
3. Bagaimana ketentuan PPh untuk transaksi khusus?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan diatas, maka tujuan dalam
makalah ini antara lain:
1. Untuk mengetahui ketentuan PPh Final pasal 4 ayat 2
2. Untuk mengetahui ketentuan kredit pajak luar negeri
3. Untuk mengetahui PPh untuk transaksi khusus

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PPh Pasal 4 Ayat 2


Berdasarkan ketentuan yang berlaku, penghasilan terbagi menjadi dua yaitu
penghasilan yang merupakan objek pajak dan penghasilan yang bukan objek pajak. Begitu
pula cara pengenaan pajak penghasilan (PPh) atas penghasilan yang merupakan objek
pajak, juga terbagi menjadi dua. Pertama, dikenakan PPh secara umum dengan
menggunakan tarif pasal 17 (tarif umum), dan pengenaannya dilakukan di SPT Tahunan.
Kedua, dikenakan PPh Final.
PPh Pasal 4 Ayat 2 atau disebut juga dengan PPh Final adalah pajak penghasilan
atas jenis penghasilan-penghasilan tertentu yang bersifat final dan tidak dapat dikreditkan
dengan Pajak Penghasilan terutang. Istilah final di sini berarti bahwa pemotongan
pajaknya hanya sekali dalam sebuah masa pajak dengan pertimbangan kemudahan,
kesederhanaan, kepastian, pengenaan pajak yang tepat waktu dan pertimbangan lainnya.
Pajak penghasilan pasal 4 ayat 2 adalah pajak atas penghasilan dengan perlakuan
tersendiri yang diatur melalui peraturan pemerintah. Pajak ini sering disebut juga dengan
penghasilan final atau bersifat rampung sehingga pajak yang telah dipotong/dipungut oleh
pihak lain tidak dapat diperhitungkan atau dikreditkan oleh wajib pajak ketika melaporkan
pajaknya yang terutang dalam SPT tahunan pada akhir tahun.
Pertimbangan-pertimbangan yang mendasari diberikannya pertimbangan ini adalah
demi kesederhanaan dalam pemungutan pajak, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan
pajaknya agar tidak menambah beban administrasi baik bagi wajib pajak maupun
direktorat jendral pajak serta memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter.
Pengenaan PPh secara final berarti penghasilan yang diterima atau diperoleh akan
dikenakan PPh dengan tarif tertentu, dan dasar pengenaan pajak tertentu pada saat
penghasilan tersebut diterima atau diperoleh. PPh yang dikenakan, baik yang dipotong
pihak lain maupun yang disetor sendiri, bukan merupakan pembayaran di muka atas PPh
terutang, tetapi sudah langsung melunasi PPh terutang untuk penghasilan tersebut. Maka
dari itu, penghasilan yang dikenakan pajak ini tidak akan dihitung lagi PPh nya di SPT
Tahunan untuk dikenakan tarif umum bersama-sama dengan penghasilan lainnya. Begitu
juga, PPh yang sudah dipotong atau dibayar tersebut juga bukan merupakan kredit pajak di
SPT Tahunan.

3
Pasal 4 ayat 2 Undang-undang Pajak Penghasilan menyebutkan, bahwa: ”Atas
penghasilan berupa bunga deposito, dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari
transaksi saham dalam sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta
berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya
diatur dengan PeraturanPemerintah.”

Objek Pajak penghasilan pasal 4 ayat 2 adalah :


 Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan
surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggota koperasi orang pribadi.
 Penghasilan berupa hadiah undian.
 Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif
yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal
ventura.
 Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan,
usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan.
 Penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.

Yang dapat bertindak sebagai Pemotong PPh Pasal 4 ayat (2) adalah :
1. Koperasi
2. Penyelenggara kegiatan
3. Otoritas bursa
4. Bendaharawan

Penerima Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 4 ayat (2)adalah :


1. Penerima bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang
negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
koperasi orang pribadi.
2. Penerima hadiah undian.
3. Penjual saham dan sekuritas lainnya.
4. Pemilik properti berupa tanah dan/atau bangunan.

4
Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) adalah bersifat final.Karena bersifat final, maka
pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) tidak dapat dikreditkan. Omset terkait transaksi yang
dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2) tidak dimasukkan dalam omset usaha, namun dimasukkan
dalam omset penghasilan yang telah dipotong PPh Final.

A. Pajak Penghasilan atas Penghasilan berupa Bunga Deposito dan Tabungan serta
Diskonto Sertifikat Bank Indonesia
1. Dasar Hukum
Pasal 4 ayat 2 UU PPh jo Peraturan Pemerintah No. 131/2000 jo Peraturan Menteri
Keuangan No. 26/PMK.04/2016
2. Objek Pajak
Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat
Bank Indonesia dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final. Termasuk dalam
pengertian bunga di atas adalah bunga yang diterima atau diperoleh dari deposito dan
tabungan yang ditempatkan di luar negeri melalui bank yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia. Ketentuan di atas tidak
berlaku terhadap orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri yang seluruh penghasilannya
dalam 1 (satu) tahun Pajak termasuk bunga dan diskonto tidak melebihi Penghasilan Tidak
Kena Pajak.
3. Tarif
Pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga dari deposito dan tabungan serta diskonto
Sertifikat Bank lndonesia adalah sebagai berikut :
a. dikenakan pajak final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto, terhadap
Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap.
b. dikenakan pajak final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto atau
dengan tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku,
terhadap Wajib Pajak luar negeri.
4. Pengecualian
Pemotongan pajak atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta
diskonto Sertifikat Bank Indonesia tidak dilakukan terhadap :
a. bunga dari deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia
sepanjang jumlah deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank lndonesia tersebut

5
tidak melebihi Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) dan bukan
merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
b. bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia
atau cabang bank luar negeri di Indonesia;
c. bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia yang
diterima atau diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan sepanjang dananya diperoleh dari sumber pendapatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992
tentang Dana Pensiun;
d. bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka pemilikan
rumah sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun untuk rumah
sederhana dan sangat sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, untuk dihuni sendiri.
e. Orang Pribadi Subjek Pajak dalam negeri yang seluruh penghasilannya dalam 1
tahun pajak termasuk bunga dan diskonto tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena
Pajak. Orang pribadi dengan kriteria tersebut dapat mengajukan permohonan
restitusi atas pajak yang telah dipotong PPh final ini.
5. Pemotong Pajak
a. Bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
b. Cabang bank luar negeri di Indonesia
c. Bank Indonesia

B. Pajak Penghasilan Atas Penghasilan berupa Bunga Obligasi


1. Dasar Hukum
Peraturan Pemerintah No. 100/2013 jo PMK No. 07/PMK.011/2012
2. Objek Pajak
Obligasi adalah surat utang dan surat utang negara, yang berjangka waktu lebih
dari 12 (dua belas) bulan. Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat
pengakuan utang baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin
pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa
berlakunya, yang terdiri atas Surat Perbendaharaan Negara dan Obligasi Negara. Bunga
Obligasi adalah imbalan yang diterima dan/atau diperoleh pemegang Obligasi dalam

6
bentuk bunga dan/atau diskonto. Atas penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh Wajib
Pajak berupa Bunga Obligasi dikenai pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
3. Tarif
Besarnya Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh
Wajib Pajak berupa Bunga Obligasi adalah:
a. Bunga dari Obligasi dengan kupon sebesar:
 15% bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan
 20% atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak
berganda bagi Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap, dari jumlah
bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan Obligasi;
b. Diskonto dari Obligasi dengan kupon sebesar:
 15% bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan
  20% atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak
berganda bagi Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap, dari selisih
lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi,
tidak termasuk bunga berjalan;
c. Diskonto dari Obligasi tanpa bunga sebesar:
 15% bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan
 20% atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak
berganda bagi Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap, dari selisih
lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi,tidak
termasuk bunga berjalan.
d. Bunga dan/atau diskonto dari obligasi yang diterima dan/atau diperoleh Wajib
Pajak reksadana yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan sebesar:
 5% untuk tahun 2014 sampai dengan tahun 2020; dan
 10% untuk tahun 2021 dan seterusnya.
4. Pemotong Pajak
a. Penerbit Obligasi atau kustodian selaku agen pembayaran yang ditunjuk, atas
bunga dan/atau diskonto yang diterima pemegang Obligasi dengan kupon pada
saat jatuh tempo Bunga Obligasi, dan diskonto yang diterima pemegang
Obligasi tanpa bunga pada  saat jatuh tempo Obligasi; dan/atau

7
b. Perusahaan efek, dealer, atau bank, selaku pedagang perantara dan/atau
pembeli, atas bunga dan diskonto yang diterima penjual Obligasi pada saat
transaksi.
5. Pengecualian
Ketentuan di atas tidak berlaku dalam hal penerima penghasilan berupa Bunga
Obligasi adalah:
a. Wajib Pajak dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf h Undang-Undang PPh; dan
b. Wajib Pajak bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di
Indonesia.
Penghasilan berupa Bunga Obligasi yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak
bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia, dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan tarif umum sesuai Undang-Undang PPh.

C. Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Bunga Simpanan yang Dibayarkan


oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi
1. Dasar Hukum
Pasal 4 ayat 2 UU PPh jo Peraturan Pemerintah No. 15/2000 jo Peraturan Menteri
Keuangan No. 112/PMK.03/2010.
2. Objek Pajak
Penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi yang didirikan
di Indonesia kepada anggota koperasi orang pribadi dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final.
3. Tarif
Besarnya Pajak Penghasilan atas Penghasilan berupa bunga simpanan yang
dibayarkan oleh koperasi yang didirikan di Indonesia kepada anggota koperasi orang
pribadi  adalah:
a. 0% untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan Rp240.000,00
(dua ratus empat puluh ribu rupiah) per bulan; atau
b. 10% dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa bunga simpanan
lebih dari Rp240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) per bulan.

8
4. Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan
a. Koperasi yang melakukan pembayaran bunga simpanan kepada anggota
koperasi orang pribadi, wajib memotong Pajak Penghasilan yang bersifat final
tersebut.
b. Koperasi sebagai pemotong wajib pajak memberikan tanda bukti
pemotongan PPh pasal 4 ayat 2 kepada wajib pajak orang pribadi yang dipotong
PPh setiap melakukan pemotongan.
c. PPh yang telah dipotong oleh koperasi wajib disetor paling lama tanggal 10
bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir menggunakan SPP.
d. Koperasi wajib menyampaikan laporan tentang pemotongan dan
penyetoran PPh paling lama 20 hari setelah masa pajak berakhir menggunakan
SPT masa PPh pasal 4 ayat 2.

D. Pajak Penghasilan Atas Penghasilan berupa Hadiah Undian


1. Objek Pajak
Penghasilan berupa hadiah undian dengan nama dan dalam bentuk apapun. Tidak
termasuk dalam pengertian hadiah undian yang dikenakan pajak adalah 1) hadiah tidak
langsung dalam penjualan barang/jasa sepanjang diberikan kepada semua
pembeli/konsumen akhir tanpa diundi, 2) hadiah yang diterima langsung oleh konsumen
akhir pada saat pembelian barang/jasa.
2. Tarif
Besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dipotong atau dipungut atas penghasilan
berupa hadiah undian dengan nama dan dalam bentuk apapun adalah 25% (dua puluh lima
persen) dari jumlah bruto hadiah undian.
3. Pemotong Pajak
Pemungut PPh atas hadiah undian adalah penyelenggara undian, baik orang pribadi
atau badan, kepanitiaan,organisasi, maupun penyelenggara dalam bentuk apapun yang
telah mendapatkan izin dari pihak yang berwenang termasuk pengusaha yang menjual
barang/jasa yang memberikan hadiah secara diundi. Pemotong/pemungut wajib
menyetorkan pajak yang telah dipotong paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya, dan
melaporkannya paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir.

9
E. Pajak Penghasilan atas Penjualan Saham di Bursa Efek
1. Dasar Hukum
Pasal 4 ayat 2 UU PPh jo Peraturan Pemerintah No. 14/1997 jo Keputusan Menteri
Keuangan No. 282/KMK.04/1997
2. Objek Pajak
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari
transaksi penjualan saham di bursa efek dipungut Pajak Penghasilan yang bersifat final.
3. Tarif
a. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Orang Pribadi atau badan dari
transaksi penjualan saham di bursa efek dikenakan Pajak Penghasilan sebesar 0,1
% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan saham;
b. Pemilik saham pendiri dikenakan tambahan Pajak Penghasilan dan bersifat final
sebesar 0,5% dari nilai saham (nilai saham perusahaan pada saat penawaran umum
perdana (“initial public offering”)
4. Tata cara Pelunasan
Pelunasan pajak atas transaksi penjualan saham di Bursa Efek Indonesia dilakukan
dengan pemungutan/pemotongan oleh penyelenggaraan bursa efek melalui
perantara pedangan efek pada saat pelunasan transaksi penjualan saham.
Penyetoran pajak dilakukan oleh pemotong paling lambat tanggal 20 bulan
berikutnya setelah bulan terjadinya transaksi penjualan saham. Pelaporan
dialkukan paling lambat tanggal 25 bulan berikutnya setelah bulan

F. Pajak Penghasilan atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak


Orang Pribadi Dalam Negeri
1. Dasar Hukum
Pasal 17 ayat 2d UU PPh jo Peraturan Pemerintah No. 19/2009 jo Peraturan
Menteri Keuangan No. 111 tahun 2010.
2. Objek Pajak
Penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri. Dividen sebagaimana dimaksud adalah dividen, dengan nama dan
dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis,
dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.

10
3. Tarif
Penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri dikenai Pajak Penghasilan sebesar 10% dari jumlah bruto dividen.
4. Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan.
a. Pengenaan PPh atas dividen ini dilakukan melalui pemotongan oleh pihak yang
membayar atau pihak lain ditunjuk selalu membayar dividen
b. Pemotongan dilakukan saat dividen disediakan untuk dibayarkan
c. Pemotongan PPh wajib memberikan tanda bukti pemotongan pajak kepada
Wajib Pajak yang dipotong PPh setiap melakukan pemotongan.
d. Pemotong PPh wajib menyetor PPh yang dipotongnya paling lama tanggal 10
bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir menggunakan SSP.
e. Pemotong PPh wajib melaporkan pajak yang sudah dipotong dan disetor paling
lama 20 hari setelah masa pajak berakhir dengan menggunakan SPT masa PPh
pasal 4 ayat 2.

G. Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Jasa Konstruksi


1. Dasar Hukum
Pasal 4 ayat 2 UU PPh jo Peraturan Pemerintah No. 17/2009 jo sttd Peraturan
Pemerintah No. 40/2009
2. Objek Pajak
Atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi, berupa jasa perencanaan konstruksi,
pelaksanaan konstruksi, dan pengawasan konstruksi.
3. Tarif
Tarif Pajak Penghasilan untuk usaha Jasa Konstruksi adalah sebagai berikut:
a. 2% untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang
memiliki kualifikasi usaha kecil;
b. 4% untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang
tidak memiliki kualifikasi usaha;
c. 3% untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain
Penyedia Jasa sebagaimana tersebut diatas
d. 4% untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan
oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan

11
e. 6% untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan
oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
Dalam hal Penyedia Jasa adalah bentuk usaha tetap, tarif Pajak Penghasilan
tersebut tidak termasuk Pajak Penghasilan atas sisa laba bentuk usaha tetap setelah Pajak
Penghasilan yang bersifat final. Besarnya, Pajak Penghasilan yang dipotong atau disetor
sendiri adalah:
a. Jumlah pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dikalikan tarif
Pajak Penghasilan di atas; atau
b. Jumlah penerimaan pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai,
dikalikan taril Pajak Penghasilan di atas dalam hal Pajak Penghasilan disetor
sendiri oleh Penyedia Jasa.
Jumlah pembayaran atau jumlah penerimaan pembayaran di atas merupakan
bagian dari Nilai Kontrak Jasa Konstruksi.
3. Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan
a. Dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal Pengguna Jasa
merupakan pemotong pajak sebesar jumlah pembayaran, tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai, dikalikan tarif Pajak Penghasilan. Paling lama tanggal 10
bulan berikutnya setelah dilakukan pemotongan pajak.
b. Disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, disetor paling lama tanggal 15 bulan
berikutnya dalam hal pengguna jasa bukan merupakan pemotong pajak sebesar
jumlah penerimaan pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai,
dikalikan taril Pajak Penghasilan
c. Jika penyedia Jasa memperoleh atau menerima penghasilan dari Luar Negeri,
maka atas pajak yang dibayar atau terutang di Luar negeri atas penghasilan
tersebut dapat dikreditkan (PPh Pasal 24).
d. Penghasilan lain yang diterima atau diperoleh oleh Penyedia Jasa Konstruksi dari
luar usaha dikenakan tarif berdasarkan ketentuan umum UU PPh.

12
H. Pajak Penghasilan atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
1. Dasar Hukum
Pasal 4 ayat 2 UU PPh jo Peraturan Pemerintah No. 71/2008 jo Peraturan Dirjen
Pajak No. 28/PJ/2009, dan Surat Edaran Dirjen Pajak No. 30/PJ/2013
2. Objek Pajak
a. Penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak,
penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain
selain pemerintah;
b. Penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang
disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk
pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan
khusus;
c. Penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain
kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
yang memerlukan persyaratan khusus.
3. Tarif
a. Besarnya PPh sebesar 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan, kecuali atas pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah
Susun Sederhana yang dilakukan oleh wajib pajak yang usaha pokoknya
melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dikenakan PPh
sebesar 1% dari jumlah bruto nilai pengalihan.
b. Nilai pengalihan hak adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta
Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang
bersangkutan kecuali : pengalihan hak kepada pemerintah adalah nilai berdasarkan
keputusan pejabat yang bersangkutan, dan pengalihan hak sesai dengan peraturan
lelang adalah nilai menurut risalah lelang tersebut.
4. Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan
a. Orang Pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib membayar sendiri PPh yang
terutang dengan menggunakan SSP ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro
sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas

13
pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan ditanda tangani oleh pejabat yang
berwenang.
b. Orang pribadi yang nilai pengalihannya tidak lebih dari Rp. 60.000.000, tetapi
penghasilan lainnya dalam satu tahun melebihi PTKP, penyetoran PPh selambat-
lambatnya pada akhir tahun pajak yang bersangkutan.
c. Bendahara pemerintah atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat
yang menyetujui tukar-menukar, pemungut PPh yang terutang dan
menyetorkannya dengan menggunakan SSP sebelum pembayaran atau tukar
menukar dilaksanakan kepada orang pribadi atau badan.
d. Orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran sendiri PPh, wajib
menyampaikan sendiri SPT masa paling lama tanggal 20 bulan berikutnya setelah
bulan dilakukannya pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau diterimanya
pembayaran.
e. Bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat yang
menyetujui tukar menukar yang melakukan pemungutan PPh wajib menyampaikan
SPT masa paling lama tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan dilakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau diterimanya pembayaran.
5. Pengecualian
a. Orang pribadi yang mempunyai penghasilan dibawah Penghasilan Tidak
Kena Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan
jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
b. Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Pemerintah guna pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus;
c. Orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan
cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan
keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-
pihak yang bersangkutan

14
d. Badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara
hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan
koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan,sepanjang
hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; atau
e. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.
termasuk yang dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak
Penghasilan di atas adalah pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan
oleh orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak.

I. Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Sewa Tanah dan/atau Bangunan.


1. Dasar Hukum
Pasal 4 ayat 2 UU PPh jo Peraturan Pemerintah No. 5/2002 jo Keputusan Menteri
Keuangan No. 120/KMK.03/2002, Keputusan Dirjen Pajak No. 227/PJ/2002.
2. Objek Pajak
Penghasilan berupa sewa atas tanah dan atau bangunan berupa tanah, rumah,
rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, gedung pertokoan, atau
gedung pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan
bangunan industri, dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Jumlah bruto nilai persewaan adalah semua jumlah yang dibayarkan atau terutang
oleh pihak yang menyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan
tanah dan atau bangunan yang disewa, termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan,
biaya keamanaan dan service charge baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah
maupun yang disatukan dengan perjanjian persewaan yang bersangkutan.
3. Tarif
Besarnya Pajak Penghasilan yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi maupun
Wajib Pajak badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari persewaan tanah
dan atau bangunan sebagaimana dimaksud di atas adalah 10% (sepuluh persen) dari
jumlah bruto nilai persewaan tanah dan atau bangunan.
4. Pemotong
Pemotongan dilakukan oleh penyewa dalam hal penyewa adalah Badan
Pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha

15
tetap, kerjasama operasi, perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, dan orang pribadi
yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Dalam penyewa adalah orang pribadi atau
bukan Subjek Pajak, selain yang tersebut di atas, PPh disetor sendiri oleh yang
menyewakan. Orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong Pajak Penghasilan adalah :
a. Akuntan, arsitek, dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali
PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan
pekerjaan bebas;
b. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan; yang
telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri.

2.2 Kredit Pajak Luar Negeri (PPh 24)


Menurut UU NO 36 Tahun 2008, PPh Pasal 24 adalah salah satu jenis pelunasan
PPh dalam tahun berjalan yang merupakan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri
atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh WP dalam negeri yang
boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan UU PPh dalam tahun pajak
yang sama. Pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat
dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia hanyalah pajak yang langsung
dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WP.
Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, sumber penghasilan
berdasarkan PPh 24 ayat 3 ditentukan sebagai berikut: 
1. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan
saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham
atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan.
2. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta
gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti,
atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada.
3. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah
negara tempat harta tersebut terletak.
4. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut
bertempat kedudukan atau berada.
5. Penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.

16
6. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda
turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan
adalah negara tempat lokasi penambangan berada.
7. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap berada.
8. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha
tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada.
Agar dapat melakukan kredit pajak dengan baik, ada baiknya kita perlu
memperhatikan dasar pengakuan penghasilan. Dari dua ayat tadi kita dapat peroleh
pengertian bahwa:
1. Penghasilan yang diterima mengindikasikan bahwa penghasilan diakui pada saat
dibayar (cash basis), sedangkan penghasilan diperoleh menunjukkan penghasilan
diakui pada saat terjadinya walaupun uang belum diterima (accrual basis). Pajak
penghasilan di luar negeri ini bisa jadi telah dibayar (cash basis) atau belum
dibayar atau terutang (accrual basis) oleh wajib pajak.
2. Pajak yang telah dibayar atau terutang di luar negeri dapat digunakan sebagai
pengurang (kredit pajak) pajak yang terutang atas seluruh penghasilan pada tahun
pajak yang sama.
3. Batas kredit ditentukan menurut undang-undang.
4. Besarnya kredit pajak tidak boleh melebihi jumlah batas kredit pajak.

Penggabungan Penghasilan
Wajib pajak menggabungkan (menjumlahkan) penghasilan yang diterima atau
diperoleh di luar negeri dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh didalam negeri,
guna menentukan jumlah pajak penghasilan yang terutang pada tahun pajak berdasarkan
tarif normal (pasal 17). Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan
dengan ketentuan berikut :
1. Untuk penghasilan dari usaha dilakukan penggabungan dengan penghasilan dalam
tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut.
2. Untuk penghasilan lainnya dilakukan penggabungan dengan penghasilan dalam
tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut.
3. Untuk penghasilan berupa dividen, dilakukan penggabungan dengan penghasilan
dalam tahun pajak pada saat perolehan dividen tersebut ditetapkan sesuai dengan
Keputusan Menteri Keuangan.

17
Batasan besarnya kredit pajak luar negeri:
a. Jumlah kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan adalah sebesar pajak
penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri, tetapi tidak boleh lebih besar
dari :
1. Perbandingan penghasilan luar negeri dengan jumlah penghasilan dalam
negeri dikalikan dengan PPh terutang atas jumlah penghasilan dalam negeri
dan luar negeri
2. PPh terutang atas jumlah penghasilan dalam negeri dan luar negeri jika jumlah
penghasilan dalam negeri dan luar negeri lebih kecil dari penghasilan luar
negeri .
b. Persyaratan perhitungan besarnya kredit pajak luar negeri adalah:
Kerugian yang diderita diluar negeri tidak boleh dikompensasikan dengan
penghasilan lainnya,sepanjang WP dalam negeri atau WP BUT di Indonesia
mempunyai kewajiban untuk melaporkan income tax return di luar negeri.
Indonesia menganut kredit pajak dengan metode ordinary credit.Kredit pajak luar
negeri lebih lanjut diatur berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.
164/KMK.03/2002.Pajak penghasilan luar negeri yang dapat dikreditkan hanyalah pajak
yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak.
Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan ternyata
kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang menurut UU ini
harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian itu
dilakukan.
Apabila penghasilan luar negeri berasal dari beberapa Negara, maka penghitungan
kredit pajak dilakukan untuk masing-masing Negara. Kredit pajak dihitung dengan
perbandingan antara penghasilan dari luar negeri terhadap penghasilan kena pajak
dikalikan dengan pajak yang terutang atas penghasilan kena pajak, paling tinggi sama
dengan pajak yang terutang atas penghasilan kena pajak dalam hal Penghasilan kena pajak
lebih kecil dari penghasilan luar negeri.
Batas Maksimum Kredit Pajak Luar Negeri (KPLN) diambil Terendah dari Ketiga
Unsur Berikut:
1. Jumlah Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri.
2. Penghasilan Luar Negeri x PPh Terutang
Penghasilan Kena Pajak

18
3. Jumlah PPh terutang untuk seluruh penghasilan kena pajak, dalam hal penghasilan
kena pajaknya lebih   kecil dari penghasilan luar negerinya.

Ketentuan Pelaksana PPh Pasal 24 sebagai Kredit Pajak Luar Negeri


1.  PPh atas seluruh penghasilan
2.  Penggabungan penghasilan
3.  Kerugian
4.  PPh Pasal 24 dapat dikreditkan, terhadap PPh yang terutang di Indonesia
5.  Jumlah kredit pajak
6.  Jumlah tertentu
7.  Kredit pajak untuk masing-masing negara
8.  PKP tidak termasuk penghasilan yang dikenakan PPh final
9.   Jumlah pajak yang dibayar di LN melebihi yang diperkenankan
10. Permohonan kredit pajak luar negeri
11. Perpanjangan jangka waktu penyampaian lampiran permohonan
12. Perubahan penghasilan dari LN dengan pembetulan SPT
13. Pembetulan SPT kurang bayar tidak dikenakan sanksi bunga
14. Pembetulan SPT lebih bayar kompensasi dengan utang pajak

Tata Cara Pengkreditan Pajak Luar Negeri


Berdasarkan Lampiran 1 keputusan Menteri Keuangan Nomor: 164/KMK.03/2002
Tentang Kredit Pajak, tata cara pengkreditan pajak luar negeri diatur sebagai berikut:
UU PPh menentukan bahwa WP dalam negeri dikenakan PPh atas seluruh
penghasilan dimanapun penghasilan tersebut diterima atau diperoleh, baik di Indonesia
maupun di luar Indonesia. Untuk menghindari pengenaan pajak ganda maka sesuai dengan
ketentuan Pasal 24 UU PPh, pajak yang dibayar atau yang terutang di luar negeri boleh
dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia, tetapi tidak melebihi penghitungan
pajak yang terutang berdasarkan UU PPh. Metode kredit pajak yang demikian disebut
metode pengkreditan terbatas (Ordinary Credit Method).
Tata cara penghitungan kredit pajak luar negeri:
1. Penggabungan seluruh penghasilan
2. Kerugian tidak dapat dikompensasikan
3. Batas maksimum kredit pajak luar negeri

19
4. Penghasilan luar negeri bersumber dari beberapa negara
5. WP memperoleh penghasilan yang dikenakan PPh final
Pajak penghasilan pasal 24 merupakan pajak yang terutang atau dibayarkan di luar
negeri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri yang boleh
dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib
Pajak Dalam Negeri.Pengkreditan pajak luar negeri tersebut dilakukan dalam dalam Tahun
Pajak digabungkan penghasilan dari luar negeri tersebut dengan penghasilan di Indonesia.
Pengkreditan pajak yang dimaksudkan dalam pasal 24 ini untuk menghindarkan
pajak berganda, tetapi jumlah yang dikreditkan tidak melebihi penghitungan pajak yang
terutang berdasarkan undang-undang pajak penghasilan.Pada prinsipnya bagi wajib pajak
dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh dari
luar negeri.Untuk meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi karena pengenaan
pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri.
Ketentuan pasal 24 ini mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas
penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap
pajak yang terutang atas seluruh penghasilan wajib pajak dalam negeri.
Permohonan kredit pajak luar negeri untuk melaksanakan pengkreditan pajak luar
negeri, wajib pajak wajib menyampaikan permohonan kepada direktur jenderal pajak
dengan melampirkan :
1. Laporan keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri
2. Fotokopi surat pemberitahuan pajak yang disampaikan di luar negeri
3. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri
Permohonan kredit pajak luar negeri tersebut harus disampaikan bersamaan dengan
penyampaian surat pembeitahuan tahunan pajak penghasilan. Namun, atas permohonan
wajib pajak, direktur jenderal pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian
lampiran-lampiran permohonan tersebut karena alasan-alasan di luar kemampuan wajib
pajak (force majeur).
Perlakuan perpajakan dan penentuan sumber penghasilan pajak penghasilan yang
dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang di
Indonesia hanya pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh wajib Pajak.
Agar dapat memberikan perlakuan pemajakan yang sama antara penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari luar negeri dan penghasilan yang diterima atau diperoleh di

20
Indonesia, maka besarnya pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri dapat
dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia tetapi tidak boleh melebihi besarnya
pajak yang dihitung berdasarkan undang-undang Pajak Penghasilan. Cara penghitungan
besarnya pajak yang dapat dikreditkan selanjutnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Mekanisme Pengkreditan PPh yang Dibayar di Luar Negeri


1. Pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri dapat dikreditkan
dengan pajak penghasilan yang terutang di Indonesia.
2. Pengkreditan PPh yang dibayar di luar negeri (PPh Pasal 24) dilakukan dalam
tahun pajak digabungkannya penghasilan dari luar negeri tersebut dengan
penghasilan di Indonesia
3. Jumlah PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan maksimum sebesar jumlah yang lebih
rendah di antara PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri dan jumlah yang
dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri dan seluruh
penghasilan kena pajak, atau maksimum sebesar PPh yang terutang atas seluruh
Penghasilan Kena Pajak dalam hal di dalam negeri mengalami kerugian
(Penghasilan dari LN lebih besar dari jumlah penghasilan kena pajak).
Atas permohonan wajib pajak, kepala KPP dapat memperpanjang jangka waktu
penyampaian lampiran-lampiran di atas, karena alasan-alasan di luar kekuasaan wajib
pajak.
1. Dalam hal terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri,
wajib pajak harus melakukan pembetulan SPT Tahunan yang bersangkutan dengan
melampirkan dokumen-dokumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut.
2. Apabila karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan PPh kurang dibayar, maka
atas kekurangan bayar tersebut tidak dikenakan sanksi bunga.
3. Apabila karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan lebih bayar, maka atas
kelebihan tersebut dapat dikembalikan kepada wajib pajak setelah diperhitungkan
dengan utang pajak lainnya.

21
Rumus dalam PPh 24, yaitu:
1. Cara mencari Penghasilan Kena Pajak (PKP)
  PKP= PNDN + PNLN
Catatan: jika DN mengalami rugi maka kerugian tersebut harus dikurangkan dalam
perhitungan PKP dan jika LN mengalami rugi maka tidak perlu diperhitungkan sebagai
pengurang (diabaikan)
2. Cara mencari PPh terutang dari jumlah PKP
    Tarif PPh pasal 17 ayat 1 (b) x PKP
3. Cara Mencari Pajak Yang telah dibayar di LN
    Negara x: Persentase x laba negara X
    Negara y: Persentase x laba negara Y
4. Cara Mencari Kredit Pajak LN
    KPLN = Penghasilan luar negeri x PPh terutang
                   Penghasilan Kena Pajak
5. Bandingkan antara Pajak yang telah dibayar di LN dengan KPLN, lalu ambil yang
terendah
6. Jumlahkan (dilihat point  3 dan 5 ) lalu ambil yang terendahnya.

Contoh perhitungan PPh pasal 24 :


PT Sinar Gemilang di memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2019 sebagai berikut:
Penghasilan dalam negeri Rp400.000.000
Penghasilan dari Vietnam (tarif pajak 20%) Rp200.000.000
Hitunglah PPh Pasal 24 atau kredit pajak luar negeri dari PT Sinar Gemilang tahun 2019?
1. Menghitung total penghasilan kena pajak:
Penghasilan dalam negeri Rp400.000.000
Penghasilan dari Vietnam Rp200.000.000
Jumlah Penghasilan Neto Rp600.000.000
2. Menghitung total PPh terutang:
Pajak terhutang 25% x Rp 600.000.000 = Rp150.000.000
3. Menghitung PPh maksimum yang dapat dikreditkan:
(penghasilan Luar Negeri : total penghasilan) x total PPh terutang
(Rp200.000.000 : Rp600.000.000) x Rp150.000.000 = Rp 50.000.000 (dibulatkan)
4. Menghitung PPh yang terutang atau dipotong di Luar Negeri:

22
20% x Rp200.000.000 = Rp40.000.000
Dari perhitungan di atas, kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan adalah
sebesar Rp40.000.000 atau sebesar PPh yang terutang atau dibayar di Luar Negeri. Jumlah
ini diperoleh dengan membandingkan penghitungan PPh maksimum yang boleh
dikreditkan dengan PPh yang terutang atau dibayar di Luar Negeri, kemudian pilih jumlah
yang terendah.

2.3 Ketentuan Khusus PPh atas Transaksi/ Industri Tertentu


2.3.1 Penghasilan Modal Ventura
Perusahaan modal ventura merupakan sarana dalam rangka mendorong pemerataan
pembangunan dan untuk lebih meningkatkan peran serta dari seluruh lapisan masyarakat,
yaitu dengan melakukan penyertaan modalnya pada perusahaan pasangan usaha
khususnya yang merupakan pengusaha kecil dan menengah atau perusahaan yang
bergerak di sektor-sektor usaha tertentu yang mengingat keadaan perekonomiannya perlu
memperoleh prioritas untuk dikembangkan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
48/Pmk.010/2018, perusahaan mikro, kecil, dan menengah yang menjadi pasangan usaha
perusahaan modal ventura sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yaitu perusahaan yang
penjualan bersihnya setahun tidak melebihi Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah).
Batasan penjualan bersih setahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
penghasilan bersih tahun pajak sebelumnya pada saat perusahaan modal ventura
melakukan penyertaan modal kepada perusahaan pasangan usaha.
Yang bukan merupakan objek PPh apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. Perusahaan pasangan usaha tersebut belum go publik.
b. Penyertaan tersebut dilakukan tidak melebihi jangka waktu 10 tahun.
c. Apabila penyertaan tersebut telah melewati jangka waktu 10 tahun, maka bagian
laba tersebut merupakan penghasilan (obyek PPh).
Perusahaan modal ventura wajib membukukan secara terpisah antara penghasilan
yang merupakan obyek PPh dan bukan obyek PPh.

23
Atas penghasilan modal ventura dari transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangan usahanya dikenakan pajak penghasialn yang
bersifat final apabila perusahaan pasangan usaha memenuhi syarat sebagai berikut:
 Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang melakukan kegiatan dalam
sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh menteri keungan.
 Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek Indonesia
Perusahaan modal ventura bisa menerima penghasilan yang bukan objek pajak
PPh, penghasilan yang dikenai PPh bersifat final, dan penghasilan yang tidak dikenai PPh
bersifat tidak final. Untuk itu perusahaan modal ventura diharuskan mencatat dan
membukukan secara terpisah:
1. Penghasilan yang merupakan objek PPh serta biaya yang terkait dengan
penghasilan yang merupakan objek PPh.
2. Penghasilan yang bukan merupakan objek PPh serta biaya yang terkait dengan
penghasilan yang bukan objek PPh.
3. Penghasilan yang dikenakan secara final serta biaya terkait dengan penghasilan
yang dikenai PPh final.
Pada akhir tahun pajak, perusahaan modal ventura yang berstatus sebagai WP
dalam negeri/ BUT wajib melaporkan semua penghasilan yang diperolehnya, baik yang
final maupun yang tidak final, dalam SPT tahunan PPh WP badan ke KPP.

Tarif pajak modal ventura :


Besarnya pajak penghasilan adalah 0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi
penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal.
Transaksi lewat bursa efek
Bila transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal tersebut
dilakukan melalui bursa efek, maka pengenaan pajak penghasilannya dilakukan sesuai
dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang pajak
penghasilan atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa.

24
2.3.2 Transaksi Pasar Modal
Penghasilan dari penjualan saham di bursa merupakan objek PPh yang bersifat
final. Tarif pemungutan PPh yang bersifat final adalah 0,1% dari jumlah bruto nilai
transaksi penjualan saham.Khusus untuk transaksi penjualan saham pendiri berlaku
ketentuan sebagai berikut: 
1. Transaksi penjualan saham pendiri dikenakan tambahan PPh dengan tarif 0,5%
(setengah persen) dari nilai saham perusahaan pada saat penutupan bursa.
2. Dalam hal saham perusahaan diperdagangkan di bursa efek setelah 1 Januari 1997,
maka nilai saham pendiri ditetapkan sebesar harga saham pada saat penawaran
umum perdana.
3. Penyetoran tambahan PPh atas saham pendiri dilakukan oleh emiten atas nama
pemilik saham pendiri:
 Selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah ditetapkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997 (tanggal 29 Mei 1997), apabila saham
perusahaan telah diperdagangkan di bursa efek sebelum Peraturan Pemerintah
Nomor 14 Tahun 1997 ditetapkan.
 Selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah saham tersebut diperdagangkan di
bursa, apabila saham perusahaan baru diperdagangkan di bursa efek pada saat
atau setelah Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997 ditetapkan (tanggal
29 Mei 1997)
4. Wajib Pajak yang memilih untuk memenuhi kewajiban PPhnya tidak berdasarkan
angka 3 di atas, atas penghasilan dari transaksi penjualan saham pendiri dikenakan
PPh sesuai dengan tarif umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-
undang PPh.

25
Dengan demikian tarif pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari
transaksi penjualan saham dibursa efek sebagai berikut :
No Tarif Besaran Transaksi Saham
1 0,1% (nol koma satu persen) Nilai transaksi penjualan saham
2 Tambahan 0,5% (nol koma lima Nilai saham perusahaan pada saat
persen) penutupan bursa efek di akhir tahun 1996
3 Tambahan 0,5% (nol koma lima Nilai saham pada saat Penawaran Umum
persen) Perdana (IPO) dalam hal saham
perusahaan diperdagangkan di bursa efek
setelah 1 Januari 1997

Peraturan terkait pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan
dari transaksi penjualan saham di bursa adalah:
 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997;
 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 282/KMK.04/ 1997.

2.3.3 Penghasilan yang Dibebankan Pada Keuangan Daerah / Negara


Peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 80 tahun 2010 tentang tarif
pemotongan dan pengenaan pajak penghasilan pasal 21 atas penghasilan yang menjadi
beban anggaran pendapatan dan belanja Negara atau anggaran dan pendapatan belanja
daerah.
Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final
dengan tarif :
 Sebesar 0% (nol persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS
Golongan I dan Golongan II, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat
Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya
 Sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi
PNS Golongan III, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira
Pertama, dan Pensiunannya
 Sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain
bagi Pejabat Negara, PNS Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota POLRI
Golongan Pangkat Perwira Menengah dan Perwira Tinggi, dan Pensiunannya.

26
2.3.4 Konstruksi
Pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi diatur
dengan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2008. Berikut ini adalah beberapa pengertian
menurut PP No. 51 tahun 2008, yaitu:
Jasa kontruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi,
layanan jasa pelaksaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan
pekerjaan konstruksi.
Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan
perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan
arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta
perlengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.
Perencanaan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang
dinyatakan ahli yang professional dibidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu
mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunnan fisik lain.
Pelaksanaan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang
dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu
menyelenggarakan kegiatan untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk
bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi
yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan,
dan pembagunan (engineering,procurement and construction) serta modal penggabungan
perencanaan dan pembangunan (design and build).
Pengawasan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang
dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu
melaksanakan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai
dan diserahterimakan.
Pengguna jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk usaha tetap yang
memerlukan layanan jasa konstruksi.
Penyediaan jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk usaha tetap,
yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi baik sebagai perencanaan
konstruksi, pelaksana konstruksi dan pengawas konstruksi maupun sub-subnya.
Nilai kontak jasa adalah nilai yang tercantum dalam satu kontrak jasa kontruksi
secara keseluruhan.

27
Tarif Pajak
Atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersifat final dengan tariff pajaknya sebagai berikut:
1. 2% x jumlah pembayaran/ penerimaan pembayaran yan tidak termasuk PPN, untuk
pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedian jasa yang memiliki kualifikasi
usaha kecil.
 Yang dimaksud dengan jumlah pembayaran atau jumlah penerimaan pembayaran
merupakan bagian dari nilai kontrak jasa konstruksi
 Yang dimaksud dengan kualifikasi usaha adalah stratifikasi yang ditentukan
berdasarkan sertifikasi yan dikeluarkanoleh lembaga pengembangan jasa
konstruksi.
2. 4% x jumlah pembayaran/ penerimaan pembayaran tidak termasuk PPN, untuk
pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki
kualifikasi usaha.
3. 3% x jumlah pembayaran/penerimaan pembayaran tidak termasuk PPN, untuk
pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa selain penyedia jasa pada
angka 1 dan angka 2.
4. Yang dimaksud dengan penyedia jasa selain penyedia jasa pada angka 1 dan angka 2
antara lain penyedia jasa yang memiliki kualifikasi usaha menengah atau kualifikasi
usaha besar.
5. 4% x jumlah pembayaran/penerimaan pembayaran tidak termasuk PPN, untuk
perencanaan konstruksi atau pengawasan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa
yang memiliki kualifikasi usaha.
6. 6% x jumlah pembayaran/penerimaan pembayaran tidak termasuk PPN, untuk
perencanaan konstruksi atau pengawasan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa
yang tidak memiliki kualifikasi usaha.

Pembayaran Pajak Penghasilan jasa konstruksi:


1. Dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal Penggunaan Jasa
merupakan pemotongan pajak
2. Disetor sendiri oleh Penyediaan Jasa, dalam hal pengguna jasa bukan merupakan
pemotong pajak.
Pemotong dan bukan pemotong pajak:

28
1. Pemotong pajak adalah badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, bentuk
usaha tetap, atau orang pribadi yang ditunjuk oleh direktur jendral pajak sebagai
pemotong pajak penghasilan.
2. Bukan merupakan pemotong pajak antara lain badan international yang bukan subjek
pajak dan perwakilan Negara asing.

2.3.5 Pajak Penghasilan atas Dana Pensiun


Berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak No. PER - 03/PJ/2020 Pasal 1 disebutkan
bahwa Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang
menjanjikan manfaat pensiun.
Peraturan Menteri Keuangan No. 234/PMK.03/2009 menyebutkan Penghasilan
yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri
Keuangan dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan. Adapun penghasilan tersebut adalah
dari penanaman modal berupa:
1. Bunga, diskonto, dan imbalan dari deposito, sertifikat deposito, dan tabungan, pada
bank di Indonesia yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau
berdasarkan prinsip syariah, serta Sertifikat Bank Indonesia
2. Bunga, diskonto, dan imbalan dari obligasi, obligasi syariah (sukuk), Surat
Berharga Syariah Negara, dan Surat Perbendaharaan Negara, yang diperdagangkan
dan / atau dilaporkan perdagangannya pada bursa efek di Indonesia
3. Dividen dari saham pada perseroan terbatas yang tercatat pada bursa efek di
Indonesia.
Pengecualian pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud di atas
diberikan berdasarkan SKB (Surat Keterangan Bebas) yang diterbitkan oleh sistem
informasi Direktorat Jenderal Pajak atau Kantor Pelayanan Pajak tempat Dana Pensiun
terdaftar sebagai Wajib Pajak. SKB ini berlaku selama 1 tahun sejak penerbitannya dan
diterbitkan untuk setiap bank. Dana Pensiun yang di berikan SKB dalam hal memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
1. Pendirian Dana Pensiun telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau telah
mendapatkan izin dari Otoritas Jasa Keuangan; dan
2. Dana Pensiun menyatakan telah menyampaikan Laporan Berkala yang menjadi
kewajibannya.

29
2.3.6 Restrukturisasi Utang
Restrukturisasi utang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2001
mengenai pemberian keringanan Pajak Penghasilan kepada Wajib Pajak yang melakukan
restrukturisasi utang usaha melalui lembaga khusus yang dibentuk pemerintah.
Restrukturisasi hutang hanya dapat dilakukan oleh Satuan Tugas Prakarsa Jakarta.
Keringanan pajak diberikan pada kreditur dan juga debitur berdasar rekomendasi Komite
Kebijakan Standar Keuangan yang berada di bawah koordinasi Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian.
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan :
1. Restrukturisasi utang usaha melalui lembaga khusus yang dibentuk Pemerintah
adalah restrukturisasi dalam rangka penyelesaian utang usaha antara debitur dan
kreditur yang dilakukan berdasarkan perjanjian yang sah sesuai dengan program
kebijakan Pemerintah melalui mediasi Satuan Tugas Prakarsa Jakarta (Jakarta
Initiative Task Force).
2. Utang usaha adalah pinjaman yang diperoleh dan telah dipergunakan oleh debitur
untuk menjalankan kegiatan usaha di Indonesia.
3. Satuan Tugas Prakarsa Jakarta yang selanjutnya disebut STPJ adalah lembaga
khusus yang dibentuk oleh Pemerintah sebagai fasilitator dan mediator
penyelesaian restrukturisasi utang-utang swasta di luar pengadilan.
4. Debitur adalah Wajib Pajak dalam negeri menurut ketentuan Undang-undang
Perpajakan yang mempunyai utang usaha kepada kreditur, yang terdaftar di STPJ
dan dinyatakan secara tertulis oleh STPJ sebagai debitur yang memenuhi
persyaratan dalam rangka restrukturisasi utang usaha.
5. Kreditur adalah pihak yang berkedudukan di dalam negeri atau di luar negeri yang
memberikan pinjaman usaha kepada debitur, yang terdaftar di STPJ dan
dinyatakan secara tertulis oleh STPJ sebagai kreditur yang memenuhi persyaratan
dalam rangka restrukturisasi utang usaha.
6. Pihak Ketiga adalah pihak selain debitur dan kreditur yang disepakati bersama oleh
debitur, kreditur dan STPJ untuk diikutsertakan dalam rangka restrukturisasi utang
usaha.

Restrukturisasi utang usaha terdiri dari :


1. Pembebasan utang (hair cut)

30
Pajak Penghasilan yang terutang atas keuntungan karena pembebasan utang (hair
cut) yang diperoleh debitur dibebaskan sebesar 30% (tiga puluh persen). Pajak
Penghasilan yang tidak dibebaskan atas keuntungan dapat diangsur pembayarannya sejak
tanggal Ketetapan Pajak, paling lama 5 (lima) tahun kecuali apabila sebelum batas waktu
tersebut berakhir perusahaan debitur dibubarkan atau dialihkan kepada pihak lain.
2. Pengalihan harta kepada kreditur untuk penyelesaian utang (debt to asset swap)
Pajak Penghasilan yang terutang atas keuntungan yang diperoleh debitur atau
pihak ketiga karena pengalihan harta kepada kreditur (debt to asset swap) untuk
penyelesaian utang dibebaskan sepanjang pengalihan harta tersebut dinilai sebesar nilai
buku harta pihak yang mengalihkan. Apabila nilai buku harta lebih besar dari nilai buku
utang, atas selisihnya merupakan kerugian debitur yang dapat dikurangkan dari
Penghasilan Kena Pajak dan merupakan keuntungan kreditur yang terutang Pajak
Penghasilan.
Apabila nilai buku harta lebih rendah dari nilai buku utang, atas selisihnya
merupakan kerugian kreditur yang dapat dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak dan
merupakan keuntungan debitur yang dikenakan Pajak Penghasilan sesuai ketentuan Pasal
4.
3. Perubahan utang menjadi penyertaan modal (debt to equity swap).
Pajak Penghasilan yang terutang atas keuntungan yang diperoleh debitur atau
kreditur karena perubahan utang menjadi penyertaan modal kreditur pada perusahaan
debitur (debt to equity swap) baik langsung maupun melalui pihak ketiga, dibebaskan
sepanjang penyertaan modal tersebut dinilai sebesar nilai buku utang pihak debitur.
Atas utang bunga yang diberikan pembebasan tidak terutang Pajak Penghasilan
oleh kreditur. Apabila terdapat Pajak Penghasilan Pasal 23 atau Pasal 26 atas utang bunga
yang diberikan pembebasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang telah disetorkan
oleh debitur, maka Pajak Penghasilan Pasal 23 atau Pasal 26 tersebut dapat dikembalikan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Atas utang bunga yang tidak diberikan pembebasan termasuk utang bunga yang
diubah menjadi utang baru dan atau penyertaan modal, tetap terutang Pajak Penghasilan
oleh kreditur. Pemotongan dan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 23 atau Pasal 26 oleh
debitur berkenaan dengan utang bunga yang tidak diberikan pembebasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) :

31
1. Untuk utang bunga yang diubah menjadi utang baru dan atau penyertaan modal
tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2. Untuk utang bunga lainnya, diberikan penundaan hingga saat pembayaran dan
paling lama 5 (lima) tahun.
Selain itu, dalam Peraturan Pemerintah No. 130 Tahun 2000 Pasal 3 ayat (1)
disebutkan bahwa atas penghasilan yang diperoleh debitur berupa keuntungan karena
pembebasan utang yang merupakan Utang Debitur Kecil dari bank atau lembaga
pembiayaan, dikecualikan sebagai Objek Pajak. Yang dimaksud Utang Debitur Kecil
adalah utang usaha yang jumlahnya tidak lebih dari Rp 350.000.000,00

2.3.7 Holding Company, Merger dan Akuisisi


1. Holding Company
Holding Company merupakan perusahaan utama yang menaungi perusahaan lain.
Perusahaan yang dinaungi oleh Holding Company ini biasa disebut sebagai Perusahaan
Anak atau Subsidiary Company. Dalam pengertian lain, Holding company merupakan
perusahaan induk yang memegang saham untuk memimpin beberapa perusahaan dalam
satu grup. Perusahaan-perusahaan dalam satu grup tersebut pun tidak harus bergerak di
bidang bisnis yang sama.  Ada banyak contoh perusahaan yang melakukan atau menjadi
Holding Company. Sebut saja dari BUMN yang salah satu contohnya adalah PT. Semen
Indonesia. Semen Indonesia menjadi Holding bagi perusahaan semen daerah, seperti PT.
Semen Gresik, PT. Semen Padang, dan PT. Semen Tonasa. Contoh lainnya adalah PT.
Pupuk Indonesia yang menaungi PT. Pupuk Kujang, PT. Pupuk Sriwidjaya, dan lainnya.

2. Merger
Merger adalah proses penyatuan dua perusahaan. Salah satu perusahaan tetap
berdiri dengan nama yang dimilikinya. Perusahaan yang satu lagi kehilangan nama beserta
kekayaannya. Semua digabungkan dengan perusahaan yang lain. Sesuai dengan makna
dari kata merger, ada dua perusahaan atau lebih yang menjadi satu.
Jenis-jenis merger (Brigham dan Houston 2001):
1. Merger horizontal

32
Merger horizontal adalah penggabungan dua jenis perusahaan yang  menghasilkan
jenis produk atau jasa yang sama. Merger ini terjadi apabila perusahaan dalam jenis
usaha yang sama saling bergabung, misalnya jika suatu pabrikan komputer
mengakuisisi pabrikan lain.
2. Merger vertikal
Merger vertikal adalah penggabungan atau merger antara satu perusahaan dengan
salah satu pemasok atau pelangganya. Contoh merger vertikal adalah pengambilalihan
pabrik baja oleh suatu pemasoknya, seperti perusahaan minyak yang mengakuisisi
sebuah perusahaan petrokimia yang menggunakan minyak sebagai bahan baku. 
3. Merger kongenerik
Merger kongenerik adalah penggabungan perusahaan yang bergerak dalam industri
umum yang sama tetapi tidak ada hubungan pelanggan dan pemasok diantara
keduanya. Merger ini melibatkan perusahaanperusahaan yang berkaitan satu sama lain
tetapi bukan merupakan produsen produk yang sama (horizontal) dan juga tidak
mempunyai hubungan sebagai produsen pemasok (vertikal). Contoh dari merger jenis
ini adalah pengambilalihan Lotus oleh IBM . 
4. Merger konglomerat 
Merger konglomerat adalah penggabungan perusahaan dari industri yang benar-benar
berbeda, seperti halnya pengambilalihan Mongtomery oleh Mobil Oil.

3. Akuisisi
Akuisisi adalah pengambilan kepemilikan atau pengendalian atas saham atau asset
suatu perusahaan oleh perusahaan lain, dan dalam peristiwa ini baik perusahaan
pengambilalih atau yang diambil alih tetap eksis sebagai badan hukum yang terpisah.

Akuisisi dapat dibedakan dalam tiga kelompok besar, yaitu:


1. Akuisisi horizontal, yaitu akuisisi yang dilakukan oleh suatu badan usaha yang masih
dalam bisnis yang sama.
2. Akuisisi vertical, yaitu akuisisi pemasok atau pelanggan badan usaha yang dibeli.
3. Akuisisi konglomerat, yaitu akuisisi badan usaha yang tidak ada hubungannya sama
sekali dengan badan usaha pembeli.

33
Klasifikasi berdasarkan obyek yang diakuisisi dibedakan atas akuisisi saham dan
akuisisi asset, yaitu:
1. Akuisisi saham
Istilah akuisisi digunakan untuk menggambarkan suatu transaksi jual beli
perusahaan, dan transaksi tersebut mengakibatkan beralihnya kepemilikan
perusahaan dari penjual kepada pembeli.Akuisisi saham merupakan salah satu
bentuk akisisi yang paling umum ditemui dalam hampir setiap kegiatan akuisisi.
2. Akuisisi Asset
Apabila sebuah perusahaan bermaksud memiliki perusahaan lain maka ia dapat
membeli sebagian atau seluruh aktiva atau asset perusahaan lain tersebut. Jika
pembelian tersebut hanya sebagian dari aktiva perusahaan maka hal ini dinamakan
akuisisi parsial. Akuisisi asset secara sederhana dapat dikatakan merupakan Jual
beli (asset) antara pihak yang melakukan akuisisi asset ( sebagai pihak pembeli )
dengan pihak yang diakuisisi assetnya (sebagai pihak penjual), Jika akuisisi
dilakukan dengan pembayaran uang tunai. Atau Perjanjian tukar menukar antara
asset yang diakuisisi dengan suatu kebendaan lain milik dan pihak yang melakukan
akuisisi, jika akuisisi tidak dilakukan dengan cara tunai.

4. Implikasi Pajak atas Holding Company, Merger dan Akuisisi


Berdasarkan UU PPh Pasal 4 ayat 1 keuntungan karena penjualan atau karena
pengalihan harta termasuk keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam
bentuk apa pun adalah objek pajak.
Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih
antara harga jual berdasarkan harga pasar dan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan
objek pajak. Demikian juga selisih lebih antara harga pasar dan nilai sisa buku dalam hal
terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha
merupakan penghasilan.
Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan
modal, keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dan nilai
bukunya merupakan penghasilan.
Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa
buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan merupakan penghasilan

34
bagi pihak yang mengalihkan kecuali harta tersebut dihibahkan kepada keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat. Demikian juga, keuntungan berupa selisih antara
harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa bantuan
atau sumbangan dan hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial
termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil,
yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan bukan
merupakan penghasilan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Untuk mengantisipasi implikasi pajak yang dimungkinkan timbul sehubungan
dengan pembentukan holding company, merger dan akuisisi pemerintah pun telah merilis
ketentuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 205/PMK.010/2018 (PMK
205/2018) tentang perubahan atas PMK Nomor 52/PMK.010/2017.
Pada PMK tersebut di sebutkan bahwa Wajib Pajak menggunakan nilai pasar atas
pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, atau
pengambilalihan usaha. Namun Wajib Pajak dapat menggunakan nilai buku atas
pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, atau
pengambilalihan usaha, setelah mendapatkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak.
Penggabungan usaha yang dapat menggunakan nilai buku yaitu:
1. penggabungan dari 2 (dua) atau lebih Wajib Pajak badan dalam negeri yang
modalnya terbagi atas saham dengan cara mengalihkan seluruh harta dan
kewajiban kepada salah satu Wajib Pajak badan yang tidak mempunyai sisa
kerugian fiskal atau mempunyai sisa kerugian fiskal yang lebih kecil dan
membubarkan Wajib Pajak badan yang mengalihkan harta dan kewajiban tersebut;
atau

2. penggabungan dari badan hukum yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar
negeri dengan Wajib Pajak badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham,
dengan cara mengalihkan seluruh harta dan kewajiban badan hukum yang
didirikan atau bertempat kedudukan di luar negeri kepada Wajib Pajak badan
dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham dan membubarkan badan hukum
yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar negeri yang mengalihkan harta
dan kewajiban tersebut.

35
Pengambilalihan usaha yang dapat menggunakan nilai buku yaitu penggabungan
dari Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang menjalankan kegiatan di bidang usaha bank
dengan Wajib Pajak badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham, dengan cara
mengalihkan seluruh atau sebagian harta dan kewajiban Bentuk Usaha Tetap kepada Wajib
Pajak badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham dan membubarkan Bentuk
Usaha Tetap tersebut.

2.3.8 Pelayaran , Penerbangan, pengeboran


Norma Perhitungan Khusus untuk menghitung penghasilan neto dari Wajib Pajak
tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3)
ditetapkan Menteri keuangan. Ketentuan ini mengatur tentang Norma Perhitungan Khusus
untuk golongan Wajib Pajak tertentu, antara lain perusahaan pelayaran atau penerbangan
internasional, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan
panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk
bangunan-guna-serah ("build, operate, and transfer").
Untuk menghindari kesukaran dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena
Pajak bagi golongan Wajib Pajak tertentu tersebut, berdasarkan pertimbangan praktis, atau
sesuai dengan kelaziman pengenaan pajak dalam bidang-bidang usaha tersebut, Menteri
Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan Norma Perhitungan Khusus guna
menghitung besarnya penghasilan neto dari Wajib Pajak tertentu tersebut.

Tabel tarif PPh pasal 15

Dasar
Uraian Tarif x DPP Penyetoran & Pelaporan
No Hukum

1 Charter 1,8%x Peredaran Disetor oleh pemotong          KMK


Penerbangan Bruto yang paling lambat tanggal 10 475/KMK.
Dalam Negeri diterima bulan berikutnya. 04/1996
berdasarkan Setor dengan          SE
perjanjian menggunakan SSP, 35/PJ.4/19

36
dengan:
KAP: 411129,
KJS: 101
charter. Dilaporkan dalam SPT
96
TIDAK FINAL Masa PPh Pasal 15,
dilaporkan paling lambat
tanggal 20 bulan
berikutnya.

Disetor oleh
pemotong: disetor paling
lambat tanggal 10 bulan
berikutnya.
Disetor sendiri:disetor
paling lambat tanggal 15
         KMK
bulan berikutnya
Perusahaan 416/KMK.
1,2% x Setor dengan
Pelayaran Dalam 04/1996
2 Peredaran bruto menggunakan SSP,
Negeri          SE
FINAL dengan:
29/PJ.4/19
KAP: 411128
96
KJS: 410
Dilaporkan dalam SPT
Masa PPh Pasal 15,
dilaporkan paling
lambat tanggal 20 bulan
berikutnya.

Disetor oleh
pemotong:disetor paling
lambat tanggal 10 bulan
berikutnya.
Disetor sendiri:disetor
paling lambat tanggal 15
         KMK
Perusahaan bulan berikutnya
417/KMK.
pelayaran dan 2,64% x Setor dengan
04/1996
3 penerbangan Luar Peredaran Bruto menggunakan SSP,
         SE
Negeri FINAL dengan:
32/PJ.4/19
KAP: 411128,
96
KJS: 411
Dilaporkan dalam SPT
Masa PPh Pasal 15,
dilaporkan paling lambat
tanggal 20 bulan
berikutnya.

4  WPLN yang Untuk negara Disetor sendiri paling     KMK


mempunyai kantor yang tidak ada lambattanggal 15 bulan 634/KMK.
perwakilan dagang P3B dengan berikutnya setelah bulan 04/1994,
di Indonesia Indonesia: diterima penghasilan. berlaku

37
0,44% x nilai
ekspor bruto
mulai 1
Penghasilan
Disetor dengan Januari
neto= 1% x nilai
menggunakan SSP 1995
ekspor bruto
dengan:          KEP
Untuk negara
KAP: 411128 667/PJ/200
yang
KJS: 413 1,berlaku
mempunyai P3B
Dilaporkan paling lambat mulai 29
dengan
tanggal 20bulan Oktober
Indonesia:
berikutnya dengan 2001
disesuaikan
menggunakan Formulir          SE
dengan tarif
dalam Lampiran I KEP 2/PJ.03/20
P3B, untuk
667/PJ./2001 dan 08,
contoh
dilampiri SSP lembar ke- ditetapkan
penghitungan
3. tgl 31 Juli
lihat di SE
2008.
2/PJ.03/2008.
FINAL

7% x tarif
tertinggi Pasal
17 ayat (1) huruf
b UU PPh x total
biaya pembuatan
atau perakitan
barang tidak
termasuk biaya
Disetor dengan
5 pemakaian
menggunakan SSP PPh
WP yang bahan baku
Final paling lambat tgl 15
melakukan (direct
bulan berikutnya.          KMK
kegiatan usaha jasa materials).
KAP: 411128 543/KMK.
maklon (Contract Didalam SE
KJS: 499 (krn tdk ada 03/2002
Manufacturing) 02/PJ.31/2003
disebutkan secara spesifik         SE
Internasional di disebutkan:
ttg jasa maklon ini) 02/PJ.31/2
bidang produksi 7% x 30% x
Dilaporkan paling lambat 003
mainan anak-anak. total biaya
tgl 20 bulan berikutnya.
pembuatan atau
Tetapi tidak ada formulir
perakitan barang
khusus utk pelaporannya.
tidak termasuk
biaya pemakaian
bahan baku
(direct
materials).
FINAL
berlaku sejak 1
Januari 2003

2.3.9 Dana Pensiun

38
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 16/PMK.03/2010 Tahun 2010 atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat
Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus, dikenai
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.
Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua,
atau Jaminan Hari Tua dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau seluruh
pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.
Penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun yang dibayarkan secara sekaligus
meliputi:
a. Pembayaran sebanyak-banyaknya 20% (dua puluh persen) dari manfaat pensiun
yang dibayarkan secara sekaligus pada saat Pegawai sebagai peserta pensiun atau
meninggal dunia;
b. Pembayaran manfaat pensiun bulanan yang lebih kecil dari suatu jumlah tertentu
yang ditetapkan dari waktu ke waktu oleh Menteri Keuangan yang dibayarkan
secara sekaligus;
c. pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara
Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup.
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final terutang pada saat dilakukan
pembayaran Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan
Hari Tua yang dibayarkan sekaligus.

Tarif Pajak
Berdasarkan Pasal 4 PMK No. 16/PMK.03/2010 Tahun 2010 Tarif Pajak
Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari
Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut:
a. sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah);

39
b. sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah).

Contoh
Pirman Nurjaman bekerja sebagai pegawai tetap pada PT. Asgar Manah sejak tahun 1980.
PT. Asgar Manah telah mengikutkan program pensiun untuk seluruh pegawainya dengan
membentuk Dana Pensiun PT. Asgar Manah. Pada bulan Januari 2010, Pirman Nurjaman
terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menerima pembayaran Uang Pesangon
sebesar Rp 600.000.000,00 dari PT. Asgar Manah. Selain itu, Pirman Nurjaman berhak
atas manfaat pensiun sebesar Rp 300.000.000,00 dari Dana Pensiun PT. Asgar Manah.
Pirman Nurjaman meminta pembayaran sekaligus atas manfaat pensiun sebesar 20% dari
manfaat pensiun dan sisanya (80% dari manfaat pensiun) dibayarkan secara bulanan. Dana
pension PT. Asgar Manah membayarkan Uang Manfaat Pensiun yang dibayarkan
sekaligus sebesar
20% x Rp 300.000.000,00 = Rp 60.000.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang atas Uang Pesangon :
0% x Rp 50.000.000,00 = Rp 0,00
5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 400.000.000,00 = Rp 60.000.000,00
25% x Rp 100.000.000,00 = Rp 25.000.000,00 (+)
Jumlah = Rp 87.500.000,00
Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang atas 20% dari manfaat pensiun yang dibayarkan
secara sekaligus :
0% x Rp 50.000.000,00 = Rp 0,00
5% x Rp 10.000.000,00 = Rp 500.000,00 (+)
Jumlah Rp 500.000,00
Sedangkan penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas pembayaran 80% dari manfaat
pensiun yang dibayarkan secara bulanan berlaku Peraturan Menteri Keuangan Nomor
252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan
Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.

6. Derivatif

40
Pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan dari transaksi derivatif berupa
kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa diatur dalam Peraturan Pemerintah No 17
Tahun 2009. Atas penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh orang pribadi atau badan
dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari margin
awal.
PPh (Final) = 2,5% x Margin Awal

Peraturan Pemerintah RI Nomor 17 Tahun 2009 menyatakan:


Penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh orang pribadi atau badan dari
transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah sebesar
2,5% (dua koma lima persen) dari margin awal.
1) Lembaga kliring dan penjamin wajib memungut Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 pada saat menerima penyetoran margin awal oleh pialang
berjangka atau anggota bursa.
2) Lembaga kliring dan penjamin wajib menyetor seluruh pajak yang dipungut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan.
3) Lembaga kliring dan penjamin wajib menyampaikan laporan pemungutan dan
penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
kepada Kantor Pelayanan Pajak.

41
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
PPh Pasal 4 Ayat 2 atau disebut juga dengan PPh Final adalah pajak penghasilan
atas jenis penghasilan-penghasilan tertentu yang bersifat final dan tidak dapat dikreditkan
dengan Pajak Penghasilan terutang. Istilah final di sini berarti bahwa pemotongan
pajaknya hanya sekali dalam sebuah masa pajak dengan pertimbangan kemudahan,
kesederhanaan, kepastian, pengenaan pajak yang tepat waktu dan pertimbangan lainnya.
Yang termasuk objek pajak final tersebut diatur dalam UU PPh Pasal 4 ayat 2.
PPh Pasal 24 adalah salah satu jenis pelunasan PPh dalam tahun berjalan yang
merupakan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar
negeri yang diterima atau diperoleh WP dalam negeri yang boleh dikreditkan terhadap
pajak yang terutang berdasarkan UU PPh dalam tahun pajak yang sama.
Banyaknya jenis transaksi dan industri yang ada membuat pemerintah
mengeluarkan ketentuan khusus guna mengatur tentang pajak penghasilan yang timbul
atas transaksi dan industry tersebut. Adapun transaksi/industri tersebut adalah penghasilan
pada modal ventura; transaksi pasar modal; penghasilan yang dibebankan pada keuangan
negara/daerah; konstruksi; PPh Dana Pensiun; resturkturisasi utang; transaksi dalam
proses holding company, merger, dan akuisisi; pelayaran, penerbangan, dan pengeboran;
transaksi dana pensiun dan transaksi derivative

42
DAFTAR PUSTAKA

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh).


Peraturan Dirjen Pajak No. PER - 03/PJ/2020
Peraturan Menteri Keuangan No. 234/PMK.03/2009
Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2001
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 205/PMK.010/2018

43

Anda mungkin juga menyukai