Anda di halaman 1dari 50

TAX PLANNING PADA PT SUPER

CONTRUCTION

Kelompok 4

Diva Ria Simangunsong 4112201151


Juindah Fransiska Silitonga 4112201129

JURUSAN MANAJEMEN BISNIS

PROGRAM STUDI AKUNTANSI MANAJERIAL

POLITEKNIK NEGERI BATAM

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Akhir Praktek Belajar Lapangan (PBL) mengenai
Prosedur Penggajian dan Pengupahan Perusahaan pada PT Super Contruction untuk memenuhi
Ujian Akhir Semester dengan mata kuliah Perpajakan II oleh Bapak Wahyudin, S.E.Ak,CA,BKP

Kami juga berterima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian
Laporan Akhir PBL ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada kesempatan kali ini, kami
juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada :

3.1 Wahyudin, S.E.Ak,CA,BKP sebagai dosen pembimbing PBL.

Kami menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam penyusunan laporan ini.
Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan untuk
perbaikan kedepannya.

Batam, 27 November 2023


DAFTAR ISI
Kata pengantar
Daftar isi
Bab 1
BAB I

PENDAHULUAN

Pajak merupakan fenomena umum sebagai sumber penerimaan negara yang


berlaku di berbagai negara. Hampir semua negara di dunia mengenakan pajak kepada
warganya, kecuali beberapa negara yang kaya akan sumber daya alam yang dijadikan
sebagai sumber penerimaan utama tidak mengenakan pajak. Tiap negara membuat
aturan dan ketentuan dalam mengenakan dan memungut pajak di negaranya, yang
umumnya mengikuti prinsip atau kaidah dalam perpajakan. Dilihat dari aspek
ekonomi, pajak diartikan perpindahan dari sektor privat ke sektor publik (masyarakat)
yang akan berpengaruh terhadap daya beli perusahaan. Untuk itu perlu adanya
pengelolaan yang baik dalam pemenuhan kewajiban perpajakan. Dari aspek
perusahaan, pajak dianggap beban sehingga berpengaruh terhadap laba bersih
perusahaan.
Sektor ekonomi tumbuh dan berkembang semakin pesat seperti tumbuhnya
usaha di Indonesia salah satunya usaha jasa konstruksi. Jasa konstruksi dinilai sebagai
usaha yang mempunyai peluang kontribusi bagi pajak yang mumpuni. Menurut
Prabandaru, A. (2018, dikutip melalui website klik pajak), jasa konstruksi sebagai satu
pilihan usaha yang menjanjikan. Menurut Salman, K. R. (2017), Perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan jasa konstruksi adalah pemberian jasa yang dilakukan
oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional dibidangnya,
suatu usaha yang melakukan kegiatan untuk memperoleh pendapatan. Dari sini pajak
memutuskan bahwa pengenaan pajak untuk setiap klasifikasi berbeda dari setiap
subjeknya, dan hal ini menjadi sebuah kebingungan dimasyarakat. Mulai dari pajak
yang hanya bisa dikenakan PPh 21, PPh 23 dan berbeda lagi jika masuk ke PPh 4 ayat
2. Jasa konstruksi terdapat perbedaan pada pasal 4 ayat 2 dengan PPh 23 dijelaskan
dengan penyebutan berbeda. Menurut website klik pajak menyatakan bahwa, PPh 4
Ayat 2 disebut ‘usaha jasa konstruksi’ sementara dalam PPh 23 hanya menyebutkan
kata ‘jasa konstruksi’ tanpa ada kata ‘usaha’ seperti di PPh 4 ayat 2”. Jasa kontruksi
selain dikenakan PPh 4 ayat 2 atau PPh 23 atau PPh 21, jasa ini juga dikenakan PPN.
Dalam akuntansi telah diatur mengenai penyajian laporan keuangan
sebagaimana tertuang dalam PSAK No. 1 Standar Akuntansi Keuangan. PSAK No. 1
menetapkan seluruh persyaratan penyajian laporan keuangan untuk kebutuhan umum
dengan tujuannya adalah memastikan informasi yang komparabel dilihat dari periode
(penyajian laporan keuangan entitas periode sebelumnya) dan kesesuaian (penyajian
laporan keuangan entitas lainnya). Laporan keuangan dimanfaatkan dalam
pengambilan keputusan para pemakainya. Isi laporan keuangan seharusnya sesuai
aturan yang berlaku. Sesuai PSAK No. 1 dalam laporan keuangan akan menyajika (1)
laporan posisi keuangan, (2) laporan laba rugi komprehensif, (3) laporan perubahan
ekuitas, (4) laporan arus kas dan (5) catatan atas laporan keuangan. Berkaitan dengan
pelaporan pajak tentu perusahaan harus menyesuaikan laporan yang disajikan sesuai
SAK yang berlaku tersebut dengan peraturan dalam Undang-undang Perpajakan
maupun Peraturan Pajak. Oleh karena itu perlu perencanaan pajak yang harus
diimplementasikan pada perusahaan dalam rangka efisiensi pajaknya.
BAB II
PERENCANAAN PAJAK
A. Gambaran umum perusahaan
PT Super Construction adalah salah satu perusahaan konstruksi yang berpusat
di kota Batam. PT Super Construction memiliki tujuan untuk mencapai laba yang
maksimal secara terus menerus. Penghasilan utama PT Super Construction adalah
penghasilan dari penyediaan jasa konstruksi, baik jasa perencana konstruksi, jasa
pelaksana konstruksi maupun jasa pengawas konstruksi, selain penghasilan dari
memberikan jasa konstruksi terdapat juga penghasilan lain meliputi penghasilan sewa
alat berat dan mesin yang menganggur dan penghasilan luar lainnya.
Perusahaan konstruksi PT Super Construction berdiri sejak 03 September
tahun 2021 yang didirikan oleh Yesica Fitri, Diva simangunsong, dan Juindah
Fransiska Silitonga yang berada di Batu Aji, Kota batam. Pada tahun 2022 PT Super
Contruction membuka cabang di Jakarta. Demi kelancaran pelaksanaan tugas PT
Super Contruction mempunyai struktur organisasi yang disusun :
1. Direktur utama : Yesica Fitri
2. Wakil direktur 1 : Diva Simangunsong
3. Wakil direktur 2 : Juindah Fransiska Silitonga

B. Pajak
Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 yang telah
diubah 4 kali menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 dan diganti dengan
undang-undang No. 16 Tahun 2009 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan,
“ Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapat
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.”
Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang pajak penghasilan,
“Pajak penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh dalam tahun pajak” oleh karena itu Pajak Penghasilan (PPh) Badan
ialah pajak yang dikenakan terhadap badan atas penghasilan yang mereka terima
dalam tahun pajak bersangkutan.

C. Perencanaan pajak (Tax planning)


1. Pengertian perencanaan pajak (tax planning)
Menurut Pohan (2013) Perencanaan pajak sering juga disebut sebagai
perbuatan penghindaran pajak (tax avoidance) yang sukses, serta memiliki sasaran
yang sama dengan penyeludupan pajak (tax evasion), yaitu mengurangi beban
pajak. namun, berbeda dengan tax evasion yang ilegal dan merupakan
pelanggaran terhadap peraturan perpajakan, perencanaan pajak merupakan cara
legal bagi wajib pajak untuk mencari celah yang dapat ditempuh dalam koridor
peraturan perpajakan agar perusahaan dapat membayar pajak dalam jumlah
minimal. Perencanaan pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak. Pada
tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan
dengan maksud dapat diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan
dilakukan.
Menurut Mohammad Zain (2003) perencanaan pajak adalah merupakan
tindakan struktural yang terkait dengan kondisi konsekuensi potensi pajaknya,
yang tekanannya kepada pengadilan setiap transaksi yang ada konsekuensi
pajaknya, tujuannya adalah bagaimana pengendalian tersebut dapat
mengefesiensikan jumlah pajaknya yang akan di trasfer ke pemerintah, melalui
apa yang disebut penghindaran pajak (tax avoidance) yang merupakan perbuatan
legal yang masih dalam ruang lingkup perundang-undangan pajak dan bukan
penyelundupan pajak.
2. Jenis-jenis tax planning
Jenis-jenis tax planning (Suady, 2011) dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:
 Perencanaan Pajak Nasional (National Tax Planning) yaitu perencanaan yang
dilakukan berdasarkan undang-undang domestik. Dalam perencanaan pajak
nasional pemilihan atas dilaksanakan atau tidak suatu transaksi hanya
bergantung terhadap transaksi tersebut. Artinya untuk
menghindari/mengurangi pajak, wajib pajak dapat memilih jenis transaksi apa
yang harus dilaksanakan sesuai dengan hukum pajak yang ada, misalnya akan
terkena tarif khusus final atau tidak.
 Perencanaan Pajak Internasional (International Tax Planning) yaitu
perencanaan pajak yang dilakukan berdasarkan undang-undang domestik dan
juga harus memperhatikan perjanjian pajak (tax treaty) dan undang-undang
dari negara-negara yang terlibat. Dalam perencanaan pajak internasional yang
dipilih adalah negara (yuridiksi) mana yang akan digunakan untuk suatu
transaksi
3. Strategi perencanaan pajak
Dalam Tax Planning ada 3 cara yang dapat dilakukan wajib pajak untuk
menekan jumlah beban pajaknya, yaitu:
 Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)
Tax Avoidance adalah strategi dan teknik penghindaran pajak dilakukan secara
legal dan aman bagi wajib pajak karena tidak bertentangan dengan ketentuan
perpajakan. Metode dan teknik yang digunakan adalah dengan memanfaatkan
kelemahan (gray area) yang terdapat dalam undang-undang dan peraturan
perpajakan itu sendiri.
 Penyelundupan Pajak (Tax Avasion)
Tax evasion kebalikan dari Tax avoidance, strategi dan teknik penghindaran
pajak dilakukan secara ilegal dan tidak aman bagi wajib pajak, dan cara
penyelundupan pajak ini bertentangan dengan ketentuan perpajakan, karena
metode dan teknik yang tidak berada dalam koridor undang-undang dan
peraturan perpajakan. Cara yang ditempuh beresiko tinggi dan berpotensi
dikenakan sanksi pelanggaran hukum atau tindak pidana fiskal atau kriminil.
 Penghematan Pajak (Tax Saving)
Tax Saving merupakan suatu tindakan penghematan pajak yang dilakukan
oleh wajib pajak dilakukan secara legal dan aman bagi wajib pajak karena
tanpa bertentangan dengan ketentuan perpajakan.
4. Tahapan membuat perencanaan pajak
Menurut Barry Spits dalam Pohan (2013) agar tax planning sesuai dengan
harapan ada beberapa tahapan-tahapan yang harus di tempuh:
 Melakukan analisis data yang ada.
 Membuat satu model atau lebih rencana besarnya pajak.
 Melakukan evaluasi atas perencanaan pajak.
 Mencari kelemahan dan memperbaiki kembali rencana pajak.
 Memutakhirkan rencana pajak.

D. Pajak penghasilan
1. Pengertian pajak penghasilan
Menurut Waluyo (2006) “Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan
terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau yang
diperolehnya dalam tahun pajak”. Menurut ketentuan pajak, pajak penghasilan
merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada subjek
pajak yang bersangkutan, artinya pajak terutang tersebut dimaksudkan untuk tidak
dilimpahkan kepada subjek pajak lainnya. Oleh sebab itu dalam rangka
memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban
pajak subjektif itu penting.
BAB III
TAX PLANNING PPH 21, PPH 22, PPH 23, PPH 24, PPH 25, DAN
PPH FINAL

3.1 Konsep dan Teori Kasus PPh Pasal 21

PPh pasal 21 masuk ke jasa konstruksi jika wajib pajak tersebut berstatus wajib
pajak orang pribadi. Wajib pajak yang termasuk orang pribadi, yaitu pegawai
tetap, pegawai pensiun bulanan, pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas dan
peserta kegiatan yang menerima penghasilan. PPh pasal 21 terdapat PTKP, yaitu
tidak kawin dengan tidak ada tanggungan (TK/0) sebesar Rp. 54.000.000, akan
ditambah jika kawin sebesar Rp.4.500.000 dan akan ditambah lagi jika memiliki
tanggungan 1 sebesar Rp. 4.500.000 berlaku kelipatan sampai tanggungan
maksimal 3. Tanggungan yang dapat masuk menjadi pengurang adalah anggota
keluarga sedarah dan semenda dalam satu garis keturunan lurus serta termasuk
juga anak angkat yang sepenuhnya ditanggung kehidupannya. PPh pasal 21 dalam
pengenaannya juga berhak untuk mendapatkan pengurangan yaitu biaya jabatan
sebesar 5% dengan maksimal pengurangan sebesar 6jt pertahun atau sebesar Rp.
500.000 per bulannya.
Tarif pajak penghasilan untuk orang pribadi adalah sebagai berikut :
 Tarif 5% dari penghasilan bruto kurang 60 juta
 Tarif 15% dari penghasilan bruto lebih dari 60 juta sampai dengan 250 juta
 Tarif 25% dari penghasilan bruto lebih dari 250 juta sampai 500 juta
 Tarif 30% dari penghasilan bruto lebih dari 500 juta sampai 5 miliar
 Tarif 35% dari penghasilan bruto lebih dari 5 miliar

Jika penerima penghasilan tidak mempunyai NPWP maka akan dikenakan tarif
lebih tinggi 20% dari tarif normal. Perencanaan pajak terhadap PPH 21
Memberikan Tunjangan Pajak kepada Karyawan. PPh pasal 21 karyawan adalah
pajak yang dibebankan kepada karyawan atas penghasilan yang diterimanya dari
perusahaan. PPh pasal 21 itu dipungut oleh pemberi kerja lalu disetor kepada
pemerintah. Ada 3 metode yang bisa digunakan dalam perhitungan PPh 21, yaitu:
a. Net Method
Merupakan metode pemotongan pajak dimana perusahaan menanggung pajak
karyawannya.
b. Gross Method
Merupakan metode pemotongan pajak dimana karyawan menanggung sendiri
jumlah pajak penghasilannya.
c. Gross-Up Method
Merupakan metode pemotongan pajak dimana perusahaan memberikan tunjangan
pajak yang jumlahnya sama besar dengan jumlah pajak yang akan dipotong dari
penghasilan karyawan.
Dalam uraian diatas perusahaan memiliki dua unsur penghasilan, atas gaji
pegawai tetap di beban kan dalam penghasilan di luar usaha sehingga bisa dapat
mengurangi pendapatan atas jasa di luar usaha dan dapat di jadikan pengurang
pendapatan kena pajak atas penghasilan luar usaha tersebut. Di dalam biaya gaji
terdapat unsur Tunjangan makan dan natura lain nya. Sebelum tax planning biaya
pph 21 tidak dapan dikurangkan dalam laporan laba rugi fiskal , karena sesuai
dengan pasal 9 ayat (1) huruf h UU PPh No. 36 Tahun 2008 Pajak Penghasilan
merupakan non-deductible expense. Akan tetapi apabila perusahaan memberikan
tunjangan pajak dalam bentuk uang dan dimasukkan dalam daftar gaji, maka
biaya gaji yang diperhitungkan oleh perusahaan dapat dikurangkan dari
penghasilan perusahaan. Selain bermanfaat sebagai biaya pengurang dari
penghasilan perusahaan dalam hal ini tax saving dan pemberian tunjangan pajak
tersebut tidak akan mengurangi penghasilan bersih karyawan. Berikut daftar
karyawan beserta gaji yang ada di PT Super Construction. Berikut daftar gaji
semua karyawan yang ada di PT Super Construction selama selama setahun.
Tabel 3.1 Daftar gaji karyawan dalam setahun
NAMA GAJI STATUS JABATAN
Yesica Fitri 180.000.000 TK/0 Komisaris
Diva Ria 156.000.000 K/2 Presiden Direktur
Juindah Fransiska 144.000.000 K/1 Wakil Direktur
Tn Roby 8.000.000 K/3 Karyawan
Tn Hanbin 8.000.000 TK/0 Karyawan
Tn Ricky 8.000.000 K/1 Karyawan
Tn Mathew 8.000.000 K/2 Karyawan
Tn Jiwong 8.000.000 TK/2 Karyawan
Tn Hao 8.000.000 TK/1 Karyawan
Tn Taerae 8.000.000 K/3 Karyawan
Tn Yujin 8.000.000 K/2 Karyawan
Ny Ariana 8.000.000 K/1 Karyawan
Ny Ailey 8.000.000 K/0 Karyawan
Ny Daisy 8.000.000 K/3 Karyawan
Ny Alea 8.000.000 K/0 Karyawan
Ny Tasya 8.000.000 TK/2 Karyawan
Tn Gyuvin 8.000.000 K/3 Karyawan
Tn Wook 8.000.000 K/1 Karyawan

 Contoh kasus PPH 21

Berikut perhitungan PPH 21 atasan PT Super Construction


Tabel 3.2 PPH 21 Ny.Yesica
PPH pasal 21 ditanggung karyawan PPH 21 ditunjang perusahaan (gross up)
Gaji 180.000.000 Gaji 180.000.000
Tunjangan jabatan 14.400.000 Tunjangan jabatan 14.400.000
Tunjangan makan 10.000.000 Tunjangan makan 10.000.000
Tunjangan transportasi 3.600.000 Tunjangan transportasi 3.600.000
THR 3.600.000 THR 3.600.000
Penghasilan bruto 211.600.000 Tunjangan pajak 19.164.706
Pengurang Penghasilan Bruto 230.764.706
Biaya jabatan 9.000.000 Pengurang
Penghasilan neto setahun 202.600.000 Biaya jabatan 9.000.000
PTKP 54.000.000 Penghasilan neto setahun 221.764.706
PKP 148.600.000 PTKP 54.000.000
PPH 21 PKP 167.764.706
5%*60.000.000 3.000.000 PPH 21
15%*21.600.000 13.290.000 5% 3.000.000
15% 16.164.706
PPH yang disetor/ dipotong dari
penghasilan karyawan 16.290.000 PPH 21 yang ditunjang
perusahaan 19.164.706

Tabel 3.3 PPH Ny diva


PPH pasal 21 ditanggung karyawan PPH 21 ditunjang perusahaan (gross up)
Gaji 156.000.000 Gaji 156.000.000
Tunjangan jabatan 14.400.000 Tunjangan jabatan 14.400.000
Tunjangan makan 10.000.000 Tunjangan makan 10.000.000
Tunjangan transportasi 3.600.000 Tunjangan transportasi 3.600.000
THR 3.600.000 THR 3.600.000
Penghasilan bruto 187.600.000 Tunjangan pajak 12.758.824
Pengurang Penghasilan Bruto 200.358.824
Biaya jabatan 7.800.000 Pengurang
Penghasilan neto setahun 179.800.000 Biaya jabatan 7.800.000
PTKP 67.500.000 Penghasilan neto setahun 192.558.824
PKP 112.300.000 PTKP 67.500.000
PPH 21 PKP 125.058.824
5%*60.000.000 3.000.000 PPH 21
7.845.000 5% 3.000.000
15% 9.758.824
PPH yang disetor/ dipotong dari
penghasilan karyawan 10.845.000 PPH 21 yang ditunjang
perusahaan 12.758.824

Tabel 3.4 Ny Juindah


PPH pasal 21 ditanggung karyawan PPH 21 ditunjang perusahaan (gross up)
Gaji 144.000.000 Gaji 144.000.000
Tunjangan jabatan 14.400.000 Tunjangan jabatan 14.400.000
Tunjangan makan 10.000.000 Tunjangan makan 10.000.000
Tunjangan transportasi 3.600.000 Tunjangan transportasi 3.600.000
THR 3.600.000 THR 3.600.000
Penghasilan bruto 175.600.000 Tunjangan pajak 11.541.176
Pengurang Penghasilan Bruto 187.141.176
Biaya jabatan 7.200.000 Pengurang
Penghasilan neto setahun 168.400.000 Biaya jabatan 7.200.000
PTKP 63.000.000 Penghasilan neto setahun 179.941.176
PKP 105.400.000 PTKP 63.000.000
PPH 21 PKP 116.941.176
5%*60.000.000 3.000.000 PPH 21
6.810.000 5% 3.000.000
15% 8.541.176
PPH yang disetor/ dipotong dari
penghasilan karyawan 9.810.000 PPH 21 yang ditunjang
perusahaan 11.541.176

Apabila perusahaan memberikan tunjangan pajak dalam bentuk uang dan


dimasukkan dalam daftar gaji, maka biaya gaji yang diperhitungkan oleh
perusahaan dapat dikurangkan dari penghasilan perusahaan. Adapun PPH 21
setiap karyawan setelah dilakukan tax planning sebagai berikut.
Tabel 3.5 PPH 21 setelah tax planning
PPH 21 SEBELUM PPH 21 SETELAH
Nama Gaji PTKP
TAX PLANNING TAX PALANNING
Yesica Fitri 180.000.000 54.000.000 16.290.000 19.164.706
Diva Ria 156.000.000 67.500.000 10.845.000 12.758.824
Juindah Fransiska 144.000.000 63.000.000 9.810.000 11.541.176
Tn Roby 96.000.000 72.000.000 2.540.000 2.673.684
Tn Hanbin 96.000.000 54.000.000 4.320.000 5.082.353
Tn Ricky 96.000.000 63.000.000 2.990.000 3.494.118
Tn Mathew 96.000.000 67.500.000 2.765.000 2.910.526
Tn Jiwong 96.000.000 63.000.000 2.990.000 3.494.118
Tn Hao 96.000.000 58.500.000 3.645.000 4.288.235
Tn Taerae 96.000.000 72.000.000 2.540.000 2.673.684
Tn Yujin 96.000.000 67.500.000 2.765.000 2.910.526
Ny Ariana 96.000.000 63.000.000 2.990.000 3.494.118
Ny Ailey 96.000.000 58.500.000 3.645.000 4.288.235
Ny Daisy 96.000.000 72.000.000 2.540.000 2.673.684
Ny Alea 96.000.000 58.500.000 3.645.000 4.288.235
Ny Tasya 96.000.000 63.000.000 2.990.000 3.494.118
Tn Gyuvin 96.000.000 72.000.000 2.540.000 2.673.684
Tn Wook 96.000.000 63.000.000 2.990.000 3.494.118
TOTAL 82.840.000 95.398.142

Berdasarkan kebijakan-kebijakan diatas, maka kebijakan yang paling baik


dipilih oleh perusahaan adalah PPh pasal 21 ditunjang perusahaan (Gross Up).
Dari perhitungan diatas terlihat bahwa take home paygross up sama dengan
pemberian tunjangan pajak.Namun, dengan menggunakan metode Gross Up maka
perusahaan dapat membebankan biaya tunjangan pajak sebagai deductible
expensesehingga dapat menggurangi PPh badan perusahaan, sehingga tidak perlu
adanya koreksi.
3.2 Konsep dan Teori Kasus PPh Pasal 22

Pajak Penghasilan Pasal 22 diatur dalam KMK-254/KMK.03/2001


sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK No. 08/PMK.03/2008. Pajak ini
menyangkut PPh Pasal 22 impor, PPh Pasal 22 Bendaharawan dan
BUMN/BUMD atas pembayaran untuk pembelian/penyerahan barang yang
dibebankan ke APBN/APBD, PPh Pasal 22 atas kegiatan usaha lain (hasil
penjualan seperti produksi Pertamina, produksi rokok, produksi semen, produksi
otomotif, produksi baja, dan produksi kertas), PPh Pasal 22 atas penjualan barang
yang tergolong sangat mewah (PMK No. 253/ PMK.03/2008). Di sini yang akan
dibicarakan yaitu masalah PPh Pasal 22 impor. Sebetulnya bidang PPh Pasal 22
impor ini menyangkut pemungutan pajak di sektor impor, yang berhubungan
dengan penyerahan dan pembayaran barang, serta pemasukan barang dari luar
daerah pabean ke dalam daerah pabean. Jika perusahaan mengimpor barang, harus
membayar PPh Pasal 22 impor pada saat pembayaran bea masuk, dan yang
memungut adalah Ditjen Bea Cukai atau oleh Bank Devisa, PPh Pasal 22 impor
merupakan kredit pajak yang dapat dikurangkan dari PPh yang terutang di
akhir tahun pajak.
Dalam hal impor, tarif PPh Pasal 22 ini bervariasi, tergantung apakah importir
mempunyai angka pengenal impor (API) atau tidak dan jika barang tidak dikuasai
artinya barang ini tak bertuan. Jika mempunyai API tarifnya sebesar 2,5% dari
nilai impor, sedangkan non-API tarifnya sebesar 7,5% dari nilai impor. Jika tidak
dikuasai, tarifnya sebesar 7,5% dari harga jual lelang. Persentase tersebut dari
harga barang atau nilai CIF + BM (Cost Insurance & Freight + Bea Masuk + Bea
Masuk tambahan, jika ada). Perbedaan rate ini mendorong adanya tax planning.
Tentu yang dipikirkan oleh tax planner adalah mencari tarif terendah sehingga
dalam melakukan impor akan merekomendasikan impor dengan API.
Rate yang berbeda akan mendorong importir untuk memilih menggunakan
API. Namun, di dalam bisnis tidak selalu dapat begitu saja melakukan pemilihan.
Pilihan itu ada bila importir mempunyai akses yang memfasilitasi untuk masuk ke
dalam pilihan tersebut, dan tidak semua orang dapat melakukannya dengan
mudah. Bagaimana mungkin importir yang mempunyai API mau menerima
permintaan dari pemilik barang yang kurang atau tidak dikenalnya untuk
menggunakan fasilitas API-nya, Risikonya cukup tinggi karena bila si pemilik
barang tersebut tidak jujur (contohnya mengimpor barang selundupan atau
memanipulasi Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dan dokumen impornya) dan
kasus ini terlacak oleh pihak Ditjen Bea Cukai pasti perusahaan yang mempunyai
API akan dikejar oleh pihak Ditjen Bea Cukai. Begitu juga dengan pemilik barang
tersebut dan sanksinya sangat berat ka- rena ini kasus manipulasi impor dan dapat
terjerat kasus tindak pidana.
Penggunaan (peminjaman) API tersebut dapat terjadi di unit-unit bisnis dalam
grup perusahaan/konglomerat yang sudah saling mengenal dan berada dalam
payung kepemilikan perusahaan yang sama. Bahkan hal tersebut dapat menjadi
suatu kebijakan korporat bisnis grupnya yang harus dijalankan/ dipatuhi. Jika
kebijakan ini yang diimplementasikan, tax planner dapat menekan beban dari PPh
Pasal 22 ini sebesar 5%, yang awalnya 7,5% menjadi 2,5%. Hal tersebut dapat
membantu menghemat cash flow perusahaan dalam masa tertentu, walaupun pada
akhirnya PPh Pasal 22 ini akan menjadi kredit pajak dari PPh Badan yang terutang
dalam SPT Tahunan PPh Badan (bila perusahaan dapat profit).
Kegiatan yang dikenakan PPh Pasal 22
1. Impor barang
2. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh Direktorat
Bendaharawan Pemerintah Pemerintah baik di Tingkat Pusat maupun Tingkat
Daerah
3. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik
Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang dananya bersumber dari belanja
negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD)
4. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan Bank Indonesia (BI),
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Badan urusan logistik
(BULOG), PT Telkomsel Indonesia (PT Telkom), PT Perusahaan Listrik
Negara (PLN), PT Garuda Indonesia,PT Krakatau Steel, Pertamina, dan bank-
bank BUMN yang dananya bersumber baik dari APBN maupun non-APBN.
5. Penjualan hasil produksi di dalam negeri yang dilakukan oleh badan usaha
yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri rokok, industri
kertas, industri baja dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor
Pelayanan Pajak
6. Penjualan hasil produksi pertamina dan badan usaha lainnya yang bergerak
dalam bidang bahan bakar minyak, gas, dan lain-lain.
7. Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri perhutanan, perkebunan,
pertanian dan perikanan oleh industri dan eksportir tersebut.
Penghasilan yang dikecualikan dari Pemungutan PPh Pasal 22
1. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh.
2. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak
Pertambahan Nilai.
3. Impor barang yang bersifat sementara dan pada waktu impornya nyata-nyata
dimaksudkan untuk diekspor kembali.
4. Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh BULOG.
5. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp2.000.000 dan tidak merupakan
pembayaran yang terpecah-pecah.
6. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air
minum/PDAM dan benda-benda pos.
7. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dan
emas untuk tujuan ekspor
8. Pembayaran/pencairan dan Jaring Pengaman Sosial (JPS) oleh Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara.
9. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor
kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang
telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang
telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
Saat Terutangnya PPh Pasal 22
1. PPh pasal 22 atas impor
Terutang pada saat pembayaran bea masuk; jika diperoleh fasilitas
penundaan atau dibebaskan bea masuk, maka terutang pada saat
penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor untuk Dipakai (PIUD).
2. PPh pasal 22 atas pembelian barang dengan dana dari APBN/APBD
3. PPh pasal 22 atas pembelian barang dari badan-badan tertentu yang ditunjuk
sebagai pemungut
4. PPh pasal 22 atas penjualan hasil produksi semen, kertas, baja dan otomotif
5. PPh pasal 22 atas pembelian bahan untuk keperluan industri perhutanan,
perkebunan, pertanian, dan perikanan oleh industri dan eksportir tersebut
Terutang pada saat pembayaran
6. PPh pasal 22 atas penjualan hasil produksi bahan bakar minyak, gas, dan lain-
lain
Terutang pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang
(Delivery Order).
Dasar Pemungutan
1. Nilai impor : nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk
terdiri atas cost insurance and freight (CIF) ditambah dengan bea masuk dan
pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan peraturan perundang-undangan
pabean di bidang impor.
2. Harga jual lelang
3. Harga pembelian
4. Harga Penjualan

 Contoh kasus PPh 22

Perhitungan PPh Pasal 22 atas Impor tidak menggunakan API


(Angka Pengenal Impor)

PT Super Construction membutuhkan sejumlah satu alat kontruksi


untuk menunjang pelatihan karyawan. PT Z Construction adalah PT yang
berkedudukan di Amerika Serikat, PT. Z Construction berfokus pada
penjualan alat-alat konstruksi. PT. Z Construction mengimpor barang
dengan harga faktur US$100.000. Biaya asuransi yang dibayar di luar
negeri sebesar 2% dari harga faktur dan biaya angkut sebesar 5% dari
harga faktur.

Bea Masuk sebesar 20% dan PPN 11%. Kurs Menteri Keuangan pada
saat impor sebesar Rp15.000/US$. Hitunglah berapa besarnya PPh Pasal
22 yang dipungut oleh Ditjen Bea Cukai jika PT.Z Construction TIDAK
memiliki API (Angka Pengenal Impor)?

Harga faktur (cost ) = US$ 100,000

Asuransi (Insurance) 2% x US$ 100,000 = US$ 2.000

Ongkos angkut (freight) 5% x US$ 100,000 = US$ 5.000

Harga Pabean (CIF) = US$ 107.000

Bea Masuk (20% x US$ 107.000) = US$ 21.400

Nilai Impor = CIF + Bea Masuk = US$ 128.400

Kurs Nilai Impor (US$ 128.400 x Rp 15.000) = Rp 1.926.000.000

PPh Pasal 22 (7,5% x Rp 1.926.000.000) = Rp 144.450.000

Dalam upaya penghematan pembayaran pajak PT. Super


Construction dapat mengajukan API (Angka Pengenal Impor). Jika
perusahaan memiliki API maka bisa mendapatkan tax saving sebesar 5%.
Jika memiliki API maka tarif hanya 2,5% dibandingkan non-API yang
tarifnya mencapai 7,5% dari nilai impor, hal ini dapat menjadi salah satu
upaya PT Super Construction dalam rangka menghemat pembayaran
pajak.

Perhitungan PPh Pasal 22 atas Impor menggunakan API (Angka


Pengenal Impor)

PT Super Construction membutuhkan sejumlah satu alat konstruksi


untuk menunjang pelatihan karyawan. PT.Z Construction adalah PT yang
berkedudukan di Amerika Serikat, PT.Z Construction berfokus pada
penjualan alat-alat konstruksi. PT.Z Construction mengimpor barang
dengan harga faktur US$100.000. Biaya asuransi yang dibayar di luar
negeri sebesar 2% dari harga faktur dan biaya angkut sebesar 5% dari
harga faktur.

Bea Masuk sebesar 20% dan PPN 11%. Kurs Menteri Keuangan pada saat
impor sebesar Rp15.000/US$. Hitunglah berapa besarnya PPh Pasal 22
yang dipungut oleh Ditjen Bea Cukai jika PT.Z Construction memiliki API
(Angka Pengenal Impor)?

Harga faktur (cost ) = US$ 100,000

Asuransi (Insurance) 2% x US$ 100,000 = US$ 2.000

Ongkos angkut (freight) 5% x US$ 100,000 = US$ 5.000

Harga Pabean (CIF) = US$ 107.000

Bea Masuk (20% x US$ 107.000) = US$ 21.400

Nilai Impor = CIF + Bea Masuk = US$ 128.400

Kurs Nilai Impor (US$ 128.400 x Rp 15.000) = Rp 1.926.000.000

PPh Pasal 22 (2,5% x Rp 1.926.000.000) = Rp 48.150.000

3.3 Konsep dan Teori Kasus PPh Pasal 23

PPh pasal 23 adalah pajak penghasilan tidak final yang dikenakan atas modal,
penyerahan jasa, hadiah, penghargaan selain yang telah dipotong PPh 21. PPh 23
terdapat pihak penerima penghasilan dan pemberi penghasilan yang akan
memotong, membayar dan melaporan. Pihak yang menerima penghasilan PPh
pasal 23, yaitu wajib pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT).
PPh 23 dibayar setiap tanggal 10 bulan berikutnya, sedangkan dilaporkan setiap
tanggal 20 bulan berikutnya.
Sesuai dengan PMK-141/2015 yang membahas terkait objek PPh yang bersifat
tidak final serta termasuk dalam PPh 23 salah satunya yaitu jasa konstruksi.
Untuk PPh Pasal 23 jenis jasa konstruksi dikenakan tarif sebesar 2 persen yang
dihitung dari jumlah bruto nilai jasa. PPh pasal 23 mengenakan tarif untuk jasa
konstruksi sebesar 2%, sedangkan besarnya tarif bagi yang tidak memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP) lebih tinggi 100% dari tarif yang diatur.
Penerima penghasilan yang dikenakan (Subjek) PPh Pasal 23
Yang termasuk penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 (Wajib
Pajak PPh Pasal 23)
1. Wajib Pajak dalam negeri (orang pribadi atau badan)
2. Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Penghasilan yang dikenakan (Objek) PPh Pasal 23
Penghasilan yang dikenakan PPH Pasal 23 (Objek PPh Pasal 23) sesuai
dengan Pasal 23 UU No. 36 Tahun 2008 yaitu:
1. Dividen
2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubung dengan
jaminan pengembalian utang.
3. Royalti.
4. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat 910
huruf c UU PPh.
5. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,
kecuali sewa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2) UU PPh.
6. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah
dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Penghasilan yang dikecualikan dari Pemotongan PPh Pasal 23
Beberapa penghasian yang tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23
(bukan Objek Pajak PPH Pasal 23) sesuai dengan Pasal 23 ayat(4) UU No. 36
Tahun 2008, yaitu:
1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.
2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna
usaha dengan hak opsi.
3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan
terbatas sebagai Wajib pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik
Negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada
badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia
dengan syarat:
 Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
 Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik Negara dan badan
usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham
pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua
puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
4. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham,
persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi termasuk pemegang unit
penyertaan kontrak investasi kolektif.
5. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggotanya
6. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa
keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau
pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Tarif Pemotongan PPh Pasal 23
Tarif PPh Pasal 23 sebagai berikut.
1. Tarif 15% (lima belas persen) dikenakan atas penghasilan berupa
a. Dividen
b. Bunga
c. Royalti
d. Hadiah, bonus, penghargaan lain yang tidak dipotong PPh Pasal 21
2. Tarif 2% (dua persen) dikenakan atas penghasilan
a. Sewa non Tanah dan bangunan
b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah
dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.

 Contoh PPH 23

Sesuai dengan uraian diatas penghasilan PT Super Construction terdiri dari


jasa kontruksi dan jasa sewa alat berat. Atas jasa sewa alat berat, perencanaan
pajak yang dilakukan oleh PT Super Construction adalah dengan menggunakan
metode gross up. Metode Gross Up adalah PPh pasal 23 yang seharusnya
menurut Undang-Undang Perpajakan ditanggung oleh penerima jasa dibebankan
kepada pemberi jasa. Berikut beberapa alat berat yang disewakan PT Super
Construction.

Jenis alat berat Harga per jam

Bulldozer 165.000

Excavator 185.000
Wheel loader 150.000
Motor Grader 200.000

Berikut ini adalah PPH 23 jasa sewa alat berat PT. Super Construction
sebelum gross-up.
Masa Biaya sewa alat PPH 23
Januari 8.000.000 160.000
Februari 10.000.000 200.000
Maret 14.500.000 290.000
April 6.750.000 135.000
Mei 11.000.000 220.000
Juni 7.650.000 153.000
Juli 8.750.000 175.000
Augustus 13.000.000 260.000
September 6.650.000 133.000
Oktober 7.000.000 140.000
November 10.500.000 210.000
Desember 8.500.000 170.000
Total 112.300.000 2.246.000

Perusahaaan penerima wajib memotong PPH 23 atas jasa sewa alat berat
dengan total Rp2.246.000 berasal dari Rp112.300.000 dikalikan tarif PPH 23 atas
jasa sebesar 2%. Berikut adalah pemotongan pph pasal 23 dengan menggunakan
metode perhitungan gross up.
Biaya setelah gross-
Masa Biaya sewa alat up PPH 23
Januari 8.000.000 8.163.265 163.265
Februari 10.000.000 10.204.082 204.082
Maret 14.500.000 14.795.918 295.918
April 6.750.000 6.887.755 137.755
Mei 11.000.000 11.224.490 224.490
Juni 7.650.000 7.806.122 156.122
Juli 8.750.000 8.928.571 178.571
Augustus 13.000.000 13.265.306 265.306
September 6.650.000 6.785.714 135.714
Oktober 7.000.000 7.142.857 142.857
November 10.500.000 10.714.286 214.286
Desember 8.500.000 8.673.469 173.469
Total 112.300.000 114.591.837 2.291.837

Seharusnya biaya jasa sewa alat berat PT Super Construction sebesar


Rp112.300.000 tetapi dengan menerapkan metode gross-up perusahaan memtong
PPH pasal 23 atas jasa sewa alat berat totalnya sebesar Rp2.291.000 berasal dari
Rp114.591.837 dikalikan tarif PPH 23 atas jasa sebesar 2%. Selain jasa sewa alat
berat PT Construction juga memiliki penghasilan dari jasa arsitek. Berikut ini
adalah PPH 23 atas jasa arsitek PT Construction.
Masa Biaya jasa arsitektur PPH 23
Januari 35.000.000 700.000
Februari 20.000.000 400.000
Maret 30.500.000 610.000
April 20.500.000 410.000
Mei 16.000.000 320.000
Juni 22.000.000 440.000
Juli 20.480.000 409.600
Agustus 37.500.000 750.000
September 35.000.000 700.000
Oktober 29.000.000 580.000
November 30.500.000 610.000
Desember 40.000.000 800.000
Total 336.480.000 6.729.600

Perusahaaan penerima wajib memotong PPH 23 atas jasa arsitek dengan total
Rp6.729.600 berasal dari Rp336.480.000 dikalikan tarif PPH 23 atas jasa sebesar
2%. Berikut adalah pemotongan pph pasal 23 dengan menggunakan metode
perhitungan gross up.
Masa Biaya jasa arsitektur Biaya setelah gross-up PPH 23
Januari 35.000.000 35.714.286 714.286
Februari 20.000.000 20.408.163 408.163
Maret 30.500.000 31.122.449 622.449
April 20.500.000 20.918.367 418.367
Mei 16.000.000 16.326.531 326.531
Juni 22.000.000 22.448.980 448.980
Juli 20.480.000 20.897.959 417.959
Augustus 37.500.000 38.265.306 765.306
September 35.000.000 35.714.286 714.286
Oktober 29.000.000 29.591.837 591.837
November 30.500.000 31.122.449 622.449
Desember 40.000.000 40.816.327 816.327
Total 336.480.000 343.346.939 6.866.939

Seharusnya biaya jasa sewa alat berat PT Super Construction sebesar


Rp336.480.000 tetapi dengan menerapkan metode gross-up perusahaan memtong
PPH pasal 23 atas jasa sewa alat berat totalnya sebesar Rp6.866.939 berasal dari
Rp343.346.939 dikalikan tarif PPH 23 atas jasa sebesar 2%. PPH 23 tersebut wajib
dibayar paling lambat tanggal 10 masa berikutnya. SPT masa PPH pasal 23
teresebut wajib dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya dan membuat
bukti potong atas pemotongan PPH pasal 23. Setelah dilakukan perhitungan
dengan metode gross-up dan tidak menggunakan metode gross-up maka selisih
besaran PPH 23 yang didapat sebagai berikut
Sebelum tax planning Sesudah tax planning
PPH 23 jasa arsitektur 6.729.600 6.866.939
PPH 23 sewa alat berat 2.246.000 2.291.837
TOTAL PPH 23 8.975.600 9.158.776

Dari data yang telah diolah menghasilakan perbedaan tarif pajak terhutang
dengan menerapkan metode gross up PPh pasal 23 sebesar Rp9.158.776,-
sedangkan tarif pajak terhutang dengan tidak menggunakan metode gross up PPh
pasal 23 sebesar Rp8.975.600,-. Maka perhitungan PPH 23 metode gross-up dan
tidak menggunakan gross-up menghasilkan tarif yang berbeda. Sehingga
penerapan perencanaan pajak PPH pasal 23 PT Super Construction lebih efisien
menguntungkan dengan menerapkan metode gross-up.

3.4 Konsep dan Teori Kasus PPh Pasal 24


Berdasarkan Undang - Undang No 36 Tahun 2008 Ayat (1) menyatakan bahwa PPh
Pasal 24 adalah Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar
negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri yang diperbolehkan
dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang - Undang ini dalam tahun
pajak yang sama. Besarnya Kredit Pajak adalah sebesar pajak penghasilan yang terutang
berdasarkan Undang - Undang No 36 Tahun 2008.

Permohonan Pengkreditan Pajak Atas Penghasilan Luar Negeri

Tentang Kredit pajak luar negeri, untuk bisa melakukan pengkreditan pajak luar
negeri, Wajib Pajak harus menyampaikan surat permohonan kepada Direktur Jendral
Pajak dengan dilampiri:

1. Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri


2. Photo copy Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri
3. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri

Penggabungan Penghasilan dari Luar Negeri

Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut:

1. Penghasilan yang berasal dari usaha, penggabungan dilakukan dalam tahun


pajak pada saat diperolehnya laba tersebut (accrual basis) .
2. Penghasilan lainnya seperti sewa, bunga, royalti dan lain-lain, penggabungan
penghasilan dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut
(cash basis)
3. Penghasilan berupa dividen yang diperoleh WP Pribadi dalam negeri dari
penyertaan modal sekurang-kurangnya 50% dari jumlah saham disetor atau
secara bersama – sama dengan WP dalam negeri lainnya sekurang-kurangnya
50% dari jumlah saham disetor pada badan usaha diluar negeri yang
sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek, dilakukan dalam tahun pajak
dimana dividen tersebut diumumkan  Kerugian yang diderita di luar negeri
tidak boleh digabungkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak di
Indonesia.
Penentuan Sumber Penghasilan

1. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya, maka sumber penghasilan


adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut
berkedudukan.
2. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan
harta gerak, maka sumber penghasilan adalah negara tempat pihak yang
membayar (atau dibebani bunga, royalti, atau penggunaan harta) tersebut
berada atau berkedudukan
3. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak bergerak,
maka sumber penghasilan adalah negara tempat harta tersebut terletak
4. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan, maka sumber penghasilan adalah negara tempat pihak yang
membayar (atau dibebani imbalan) tersebut berada atau berkedudukan
5. Penghasilan berupa bentuk usaha tetap, maka sumber penghasilan adalah
negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan

Besarnya Kredit Pajak yang diperbolehkan

1. Pajak atas penghasilan yang terutang atau dibayar di luar negeri yang dapat
dikreditkan terhadap total PPh terutang di Indonesia hanya pajak yang
langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib
pajak luar negeri tersebut
2. Besarnya kredit pajak yang diperbolehkan adalah setinggi-tingginya sama
dengan jumlah pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri, tetapi tidak
boleh melebihi jumlah yang dihitung menurut perbandingan antara
penghasilan dari luar negeri terhadap Penghasilan Kena Pajak (PKP), atau
setinggi-tingginya sama dengan pajak yang terutang atas PKP lebih kecil dari
penghasilan luar negeri

 Contoh kasus PPh 24

PT Super Construction memperoleh penghasilan neto pada tahun


2023 yaitu Penghasilan neto dari dalam negeri Rp400.000.000 dengan omset
Rp4.700.000.000, Penghasilan neto dari Jepang Rp300.000.000 (dari jasa
lainnya) tarif pajak 30%. Total Penghasilan Bruto Rp4.700.000.000 +
Rp300.000.000 = Rp5 Milyar. Berikut ini perhitungan kredit pajak luar
negeri yang diperbolehkan (PPh Pasal 24).

Perhitungan PPh Pasal 24 sebelum perencanaan pajak (Tax planning)


Menghitung total penghasilan kena pajak
Penghasilan dari Dalam Negeri Rp400.000.000
Penghasilan dari Jepang Rp300.000.000
Jumlah Penghasilan Neto Rp700.000.000

Menghitung total PPh Terutang


PPh dengan Fasilitas
(Rp4,8 M/5 M) X Rp700.000.000 Rp672.000.000
22% x 50% x Rp672.000.000 Rp73.920.000

PPh tanpa Fasilitas


Rp700.000.000-Rp672.000.000 Rp28.000.000
22% x Rp28.000.000 Rp6.160.000

Sehingga total PPh Terutang 2023


Rp73.920.000 + Rp6.160.000 Rp80.080.000

Menghitung PPh Maksimum yang dapat dikreditkan


(Peng dari Jepang: total Penghasilan) x total PPh Terutang Rp34.320.000

Menghitung PPh Terutang/dipotong di Luar Negeri


Tarif pajak Luar Negeri x Penghasilan dari Jepang Rp90.000.000

Dari perhitungan tersebut, kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan


adalah sebesar Rp34.320.000. Jumlah ini diperoleh dengan membandingkan
perhitungan PPh maksimum yang boleh dikreditkan dengan PPh terutang atau
dibayar di Luar Negeri, kemudian diambil jumlah yang paling rendah.
Perhitungan PPh Pasal 24 setelah perencanaan pajak (Tax planning)

Menghitung total penghasilan kena pajak


Rp400.000.00
Penghasilan dari Dalam Negeri
0
Rp300.000.00
Penghasilan dari Jepang
0
Kerugian dari dalam negeri Rp70.000.000
Rp630.000.00
Jumlah Penghasilan Neto
0

Menghitung total PPh Terutang


PPh dengan Fasilitas
Rp604.800.00
(Rp4,8 M/5 M) X Rp630.000.000
0
22% x 50% x Rp672.000.000 Rp66.528.000
PPh tanpa Fasilitas
Rp630.000.000-Rp604.000.000 Rp25.200.000
22% x Rp25.200.000 Rp5.544.000

Sehingga total PPh Teruang 2023


Rp66.528.000 + Rp5.544.000 Rp72.072.000

Menghitung PPh Maksimum yang dapat dikreditkan


(Peng dari Jepang: total Penghasilan) x total PPh Terutang Rp34.320.000

Menghitung PPh Terutang/dipotong di Luar Negeri


Tarif pajak Luar Negeri x Penghasilan dari Jepang Rp90.000.000

3.5 Konsep dan Teori Kasus PPh Pasal 25


Berdasarkan Undang - Undang No 36 Tahun 2008 Pasal 25 Ayat (1) menyatakan
bahwa PPh Pasal 25 adalah besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang
harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak
Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
tahun pajak yang dikurangi dengan:

a. Pajak Penghasilan yang dipotong dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak
Penghasilan yang dipungut dalam Pasal 22; dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh
dikreditkan dalam Pasal 24, Dibagi dengan 12 atau banyaknya bulan dalam
bagian tahun pajak.

Tarif PPh Pasal 25

Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU PPh adalah:

 Sampai Rp 50.000.000 = 5%
 Rp 50.000.000 – Rp 250.000.000 = 15%
 Rp 250.000.000 – Rp 500.000.000 = 25%
 Di atas Rp 500.000.000 = 30%

Pembayaran angsuran PPh 25 untuk wajib pajak badan yaitu = Penghasilan


Kena Pajak (PKP) x 25% (Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b UU PPh).

Jenis Pembayaran PPh 25


Terdapat dua jenis pembayaran angsuran PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak
Orang Pribadi (WPOP), yaitu:

 Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (WP – OPSPT),


yaitu pekerja bebas atau karyawan, yang tidak memiliki usaha sendiri. PPh
25 bagi OPSPT = Penghasilan Kena Pajak (PKP) x Tarif PPh 17 ayat (1)
huruf a UU PPh (12 bulan).
 Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP – OPPT), yaitu yang
melakukan usaha penjualan barang, baik grosir maupun eceran, serta jasa –
dengan satu atau lebih tempat usaha. PPh 25 bagi OPPT = 0.75% x omzet
bulanan tiap masing-masing tempat usaha.
 Contoh PPh 25

Perhitungan PPh Pasal 25 sebelum Perencanaan Pajak (Tax planning)

PPh menurut SPT Tahunan PPh tahun 2022


Kredit Pajak tahun 2022: Rp200.000.000
PPh Pasal 21 Rp50.000.000
PPh Pasal 22 Rp20.000.000
PPh Pasal 23 Rp40.000.000
PPh Pasal 24 Rp30.000.000
Total kredit pajak Rp140.000.000
Dasar perhitungan angsuran Rp60.000.000
Angsuran PPh 25 tahun 2023 Rp5.000.000

Perhitungan PPh Pasal 25 setelah Perencanaan Pajak (Tax Planning)

PPh menurut SPT Tahunan PPh tahun 2022


Kredit Pajak tahun 2022: Rp200.000.000
PPh Pasal 21 Rp35.000.000
PPh Pasal 22 Rp35.000.000
PPh Pasal 23 Rp20.000.000
PPh Pasal 24 Rp25.000.000
Total kredit pajak Rp115.000.000
Dasar perhitungan angsuran Rp85.000.000
Angsuran PPh 25 tahun 2023 Rp7.083.333

3.6 Konsep dan Teori Kasus PPh Pasal 4 Ayat 2

PPh pasal 4 ayat 2 adalah pajak final yang dikenakan atas penghasilan berupa
bunga deposito, tabungan lainnya dari transaksi saham sekuritas di bursa efek,
penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau penghasilan tertentu.
Adapun, tarif yang kini berlaku dan perbedaan dengan tarif sebelumnya
berdasarkan Sertifikat Badan Usaha (SBU) yaitu:
1. Memiliki SBU/SKK
a. 1,75% untuk pekerjaan konstruksi yang dilakukan atau dilaksanakan oleh
penyedia jasa dengan Sertifikat Badan Usaha (SBU) dengan kualifikasi
Kecil atau Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) bagi usaha orang
perseorangan. Tarif sebelumnya dalam PP 51/2008 yaitu sebesar 2 persen
untuk jasa pelaksanaan konstruksi oleh penyedia jasa dengan kualifikasi
Kecil.
b. 2,65% untuk pekerjaan konstruksi yang dilakukan atau dilaksanakan oleh
penyedia jasa yang memiliki SBU selain dengan kualifikasi Kecil
(kualifikasi Menengah dan Besar) serta selain yang memiliki sertifikat
kompetensi kerja bagi usaha orang perseorangan. Tarif sebelumnya dalam
PP 51/2008 yaitu sebesar 3 persen untuk jasa pelaksana konstruksi oleh
penyedia jasa dengan kualifikasi Menengah atau Besar.
c. 3/3,5 persen untuk jasa perencanaan maupun pengawasan atau jasa
konsultasi konstruksi yang dilakukan atau dilaksanakan oleh penyedia jasa
dengan SBU (baik kualifikasi kecil, menengah, ataupun besar) atau dengan
sertifikat kompetensi kerja bagi usaha orang perseorangan. Tarif
sebelumnya dalam PP 51/2008 yaitu sebesar 4 persen terhadap jasa
perencanaan atau pengawasan, dengan kualifikasi kecil, menengah, ataupun
besar.
2. Tidak Memiliki SBU/SKK
a. 4 persen untuk pekerjaan konstruksi yang dilakukan atau dilaksanakan oleh
penyedia jasa yang tidak mempunyai SBU atau yang tidak memiliki
sertifikat kompetensi kerja bagi usaha orang perseorangan. Tarif tidak
mengalami perubahan, sama seperti pada PP 51/2008. Tarif tidak
mengalami perubahan, sama seperti pada PP 51/2008 sebesar 4 persen
terhadap jasa pelaksana konstruksi yang tidak berkualifikasi.
b. 6 persen untuk jasa perencanaan maupun pengawasan atau jasa konsultasi
konstruksi yang dilakukan atau dilaksanakan oleh penyedia jasa yang tidak
memiliki SBU atau tanpa sertifikat kompetensi kerja bagi usaha orang
perseorangan. Tarif tidak mengalami perubahan, sama seperti pada PP
51/2008. Tarif tidak mengalami perubahan, sama seperti pada PP 51/2008
sebesar 6 persen terhadap jasa pelaksana konstruksi yang tidak
berkualifikasi.
3. Tambahan Tarif Baru Jenis Jasa Konstruksi
a. 2,65 persen untuk pekerjaan konstruksi terintegrasi yang dilakukan atau
dilaksanakan oleh penyedia jasa yang telah memiliki SBU. Tarif
sebelumnya dalam PP 51/2008 yaitu sebesar 3 persen. Sebelumnya tidak
terdapat dalam PP 51/2008, dan baru ditambahkan pada PP 9/2022.
b. 4 persen untuk pekerjaan konstruksi terintegrasi yang dilakukan atau
dilaksanakan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki SBU. Tarif tidak
mengalami perubahan, sama seperti pada PP 51/2008. Sebelumnya tidak
terdapat dalam PP 51/2008, dan baru ditambahkan pada PP 9/2022.

 Contoh PPH final atau PPH pasal 4 ayat 2

Sesuai dengan Undang - Undang Perpajakan Nomor 36 tahun 2008 pasal 4


ayat 2 tentang pajak penghasilan bahwa untuk penghasilan dari usaha jasa
konstruksi dikenakan tarif final. Tarif pajak penghasilan untuk usaha jasa
konstruksi pada PT Super Construction sebagai pelaksanaan jasa konstruksi adalah
sebesar 2% sesuai dengan PP Nomor 51 tahun 2008 pasal 3 ayat 1c. Untuk
kepentingan perhitungan kewajiban perpajakan maka perlu dibuat rincian
pendapatan setiap bulannya yang diperoleh PT Super Construction. Berikut
penyajian rincian pendapatan proyek pada PT Super Construction menurut
Undang-Undang.

Tabel 2.

Bulan Proyek DPP Tarif PPH final


Januari 2,65% -
Februari Pekerjaan Rumah susun Sunny 695.500.000 2,65% 18.430.750
Maret Renovasi gedung PT Daily 345.500.000 2,65% 9.155.750
April Pekerjaan pembangunan fasilitas umum 465.000.000 2,65% 12.322.500
Mei Renovasi kantor PT Red 365.000.000 2,65% 9.672.500
Juni Pekerjaan Rumah susun Sunny 556.450.000 2,65% 14.745.925
Juli Pekerjaan rumah susun Funny 560.500.000 2,65% 14.853.250
Agustus Renovasi PT Pratama 445.000.000 2,65% 11.792.500
September Pembangunan Fasilitas umum 1.365.000.000 2,65% 36.172.500
Oktober Pekerjaan renovasi gedung PT Inka 545.765.000 2,65% 14.462.773
November Pekerjaan rumah susun Funny 645.895.000 2,65% 17.116.218
Desember Pembangunan fasilitas umum 1.650.450.000 2,65% 43.736.925
JUMLAH 7.640.060.000 202.461.590

Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa perhitungan pajak penghasilan badan yang
terutang dengan tarif final antara perusahaan dengan Undang-Undang sudah sesuai
tidak ada perbedaan. Ini berarti bahwa perusahaan sudah melakukan perhitungan
pajak penghasilan badan tarif final dengan tarif final.
BAB IV
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

A. PPN (Pajak Pertambahan Nilai)


Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pajak yang dipungut oleh Wajib
Pajak Orang Pribadi, Badan, dan Pemerintah yang berstatus Pengusaha Kena Pajak
(PKP) atas transaksi jual-beli BKP dan/atau JKP. Berdasarkan Undang-undang No. 42
Tahun 2009 tentang perubahan ketiga atas Undang-undang No. 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, pada
bagian umum, Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak konsumsi barang dan jasa di
daerah pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan
distribusi.
Resmi (2015:2) mengemukakan Pajak Pertambahan Nilai memiliki
karakteristik sebagai berikut:
1. Pajak Tidak Langsung
Secara ekonomis beban Pajak Pertambahan Nilai dapat dialihkan kepada pihak
lain. Tanggung jawab pembayaran pajak yang terutang berada pada pihak yang
menyerahkan barang atau jasa, sedangkan pihak yang menanggung beban
pajak berada pada penanggung pajak (pihak yang memikul beban pajak).
2. Pajak Objektif
Timbulnya kewajiban membayar pajak sangat ditentukan oleh adanya objek
pajak. Kondisi subjektif subjek pajak tidak dipertimbangkan.
3. Multistage Tax
Pajak Pertambahan Nilai di kenakan secara bertahap pada setiap mata rantai
jalur produksi dan distribusi (dari pabrikan sampai ke peritel).
4. Nonkumulatif
Pajak Pertambahan Nilai tidak bersifat kumulatif (nonkumulatif) meskipun
memiliki karakteristik multistage tax karena Pajak Pertambahan Nilai
mengenal adanya mekanisme pengkreditan Pajak Masukan. Oleh karena itu,
Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar bukan unsur dari harga pokok barang
atau jasa.
5. Tarif Tunggal
Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia hanya mengenal satu jenis tarif (single
tarif), yaitu 10% untuk penyerahan dalam negeri dan 0% untuk ekspor Barang
Kena Pajak.
6. Credit Method/Invoice Method
Metode ini mengandung pengertian bahwa pajak yang terutang diperoleh dari
hasil pengurangan pajak yang dipungut atau dikenakan pada saat penyerahan
barang atau jasa yang disebut Pajak Keluaran dengan pajak yang dibayar pada
saat pembelian barang atau penerimaan jasa yang disebut Pajak Masukan.
7. Pajak atas Konsumsi Dalam Negeri
Atas impor Barang Kena Pajak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sedangkan
atas ekspor Barang Kena Pajak tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Prinsip ini menggunakan prinsip tempat tujuan (destination principle), yaitu
pajak dikenakan ditempat barang atau jasa akan
dikonsumsi.
8. Consumption Type Value Added Tax (VAT)
Dalam Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia, Pajak Masukan atas pembelian
dan pemeliharaan barang modal dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran
yang dipungut atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.

B. Subjek PPN
Menurut Resmi (2015) subjek Pajak Pertambahan Nilai terdiri atas :
1. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan barang kena
pajak/jasa kena pajak di dalam daerah pabean dan melakukan ekspor barang
kena pajak berwujud/barang kena pajak tidak berwujud/jasa kena pajak.
2. Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak.
C. Objek PPN
Mardiasmo (2016:341) Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas :
1. Penyerahan BKP di dalan Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.
Syarat-syaratnya adalah :
 Barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP;
 Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP Tidak Berwujud;
 Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
 Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
2. Impor BKP;
3. Penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.
Syarat-syaratnya adalah :
 Jasa yang diserahkan merupakan JKP;
 Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
 Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
4. Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;
5. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
6. Ekspor BKP Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
7. Ekspor BKP Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
8. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau
digunakan pihak lain;
9. Penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan oleh PKP, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak
Masukannya tidak dapat dikreditkan.

Dalam menghitung Pajak Pertambahan Nilai tarif yang digunakan adalah 11%
untuk penyerahan dalam negeri dan menggunakan rumus sebagai berikut:

PPN = DPP X tarif 11%

Berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai pasal 9 ayat 9 bahwa


Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak
berikutnya selambat-lambatnya pada bulan ketiga setelah berakhirnya tahun buku
yang bersangkutan, sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum
dilakukan pemeriksaan.

Dalam menerapkan perencanaan pajak (tax planning), PT. Super Construction


menggunakan 2 metode yaitu : (a) Penundaan Pengkreditan Pajak Masukan
Dengan metode ini masih belum mampu mencapai efisiensi Pajak Pertambahan
Nilai, namun hanya mampu meratakan pajak terhutang setiap bulannya agar tidak
ada kurang bayar/lebih bayar yang terlalu besar. (b) PT. Super Construction dalam
melakukan transaksi pembelian tidak hanya membeli BKP/JKP dengan PPN tetapi
juga membeli BKP/JKP tanpa PPN.
Berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai pasal 9 ayat 9 bahwa
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak
berikutnya selambat-lambatnya pada bulan ketiga setelah berakhirnya tahun buku
yang bersangkutan, sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum
dilakukan pemeriksaan.

D. Pengertian Faktur Pajak


Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak Pengusaha Kena Pajak (PKP), yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak
(JKP). Artinya, ketika PKP menjual suatu barang atau jasa kena pajak, ia harus
menerbitkan Faktur Pajak sebagai tanda bukti dirinya telah memungut pajak dari
orang yang telah membeli barang/jasa kena pajak tersebut. Jenis-jenis Faktur Pajak

1. Faktur Pajak Keluaran adalah faktur pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak
saat melakukan penjualan terhadap barang kena pajak, jasa kena pajak, dan atau
barang kena pajak yang tergolong dalam barang mewah;
2. Faktur Pajak Masukan adalah faktur pajak yang didapatkan oleh PKP ketika
melakukan pembelian terhadap barang kena pajak atau jasa kena pajak dari PKP
lainnya;
3. Faktur Pajak Pengganti adalah penggantian atas faktur pajak yang telah terbit
sebelumnya dikarenakan ada kesalahan pengisian, kecuali kesalahan pengisian
NPWP. Sehingga, harus dilakukan pembetulan agar sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya;
4. Faktur Pajak Gabungan adalah faktur pajak yang dibuat oleh PKP yang meliputi
seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli barang kena pajak atau jasa
kena pajak yang sama selama satu bulan kalender;
5. Faktur Pajak Digunggung adalah faktur pajak yang tidak diisi dengan identitas
pembeli, nama, dan tandatangan penjual yang hanya boleh dibuat oleh PKP
Pedagang Eceran;
6. Faktur Pajak Cacat adalah faktur pajak yang tidak diisi secara lengkap, jelas, benar,
dan/atau tidak ditandatangani termasuk juga kesalahan dalam pengisian kode dan
nomor seri. Faktur pajak cacat dapat dibetulkan dengan membuat faktur pjak
pengganti;
7. Faktur Pajak Batal adalah faktur pajak yang dibatalkan dikarenakan adanya
pembatalan transaksi. Pembatalan juga harus dilakukan ketika ada kesalahan
pengisian NPWP dalam faktur pajak.

Berikut data pajak keluaran yang ada di PT Super Construction.

Tabel 3.1 Pajak Keluaran Tahun 2022


MASA DPP PPN TOTAL
Januari 256.450.000 28.209.500 284.659.500
Februari 564.050.100 62.045.511 626.095.611
Maret 856.489.000 94.213.790 950.702.790
April 356.890.000 39.257.900 396.147.900
Mei 295.645.000 32.520.950 328.165.950
Juni 268.500.000 29.535.000 298.035.000
Juli 369.856.000 40.684.160 410.540.160
Agustus 485.000.500 53.350.055 538.350.555
September 695.865.400 76.545.194 772.410.594
Oktober 658.945.800 72.484.038 731.429.838
November 698.525.000 76.837.750 775.362.750
Desember 356.870.000 39.255.700 396.125.700
TOTAL 5.863.086.800 644.939.548 6.508.026.348

Tabel 3.2 PPN masukan tahun 2022

MASA DPP PPN TOTAL


Januari 289.650.000 31.861.500 321.511.500
Februari 595.685.600 65.525.416 661.211.016
Maret 844.890.000 92.937.900 937.827.900
April 369.815.000 40.679.650 410.494.650
Mei 265.894.500 29.248.395 295.142.895
Juni 298.750.000 32.862.500 331.612.500
Juli 375.450.000 41.299.500 416.749.500
Agustus 526.900.000 57.959.000 584.859.000
September 720.589.000 79.264.790 799.853.790
Oktober 689.500.000 75.845.000 765.345.000
November 598.560.000 65.841.600 664.401.600
Desember 268.520.000 29.537.200 298.057.200
TOTAL 5.844.204.100 642.862.451 6.487.066.551

E. Evaluasi tax planning pajak pertambahan nilai


1. Pengkreditan pajak masukan
Tabel 3.3 Pengkreditan PPN masukan tahun 2022

PPN MASUKAN YANG


MASA PPN KELUAR PPN MASUKAN LB/KB
DIKREDITKAN
Januari 28.209.500 31.861.500 (3.652.000) 31.861.500
Februari 62.045.511 65.525.416 (3.479.905) 65.525.416
Maret 94.213.790 92.937.900 1.275.890 92.937.900
April 39.257.900 40.679.650 (1.421.750) 40.679.650
Mei 32.520.950 29.248.395 3.272.555 29.248.395
Juni 29.535.000 32.862.500 (3.327.500) 32.862.500
Juli 40.684.160 41.299.500 (615.340) 41.299.500
Agustus 53.350.055 57.959.000 (4.608.945) 57.959.000
September 76.545.194 79.264.790 (2.719.596) 79.264.790
Oktober 72.484.038 75.845.000 (3.360.962) 75.845.000
November 76.837.750 65.841.600 10.996.150 65.841.600
Desember 39.255.700 29.537.200 9.718.500 29.537.200
TOTAL 644.939.548 642.862.451 2.077.097 642.862.451
Berdasarkan perhitungan pada tabel diatas, menunjukkan bahwa
Perusahaan memperoleh keuntungan dari penerapan tax planning dengan cara
memaksimalkan pengkreditkan pajak masukan terhadap pajak keluaran
menghasilkan keuntungan pada pajak terutang yang harus dibayar oleh PT
Super Construction dimana dari yang seharusnya Rp644.939.548 menjadi
Rp2.077.097 (total PPN keluaran dikurangi total pajak masukan yang dapat
dikreditkan) nominal yang harus dibayar oleh perusahaan. Jika dikurangkan
dengan pajak masukan, selisih yang muncul adalah jika mengkreditkan pajak
masukan dengan tidak mengkreditkan pajak masukan adalah Rp644.939.548.
Jadi ketika PT. Super Construction mengkreditkan pajak masukannya terhadap
pajak keluaran maka nominal pajak masukan yang dikreditkan sama dengan
penghematan yang dilakukan oleh perusahaan, sehingga ini merupakan
penghematan atas pengkreditan pajak masukan yang dapat dikreditkan dengan
pajak keluaran sebesar Rp644.939.548.

2. Penundaan pengkreditan pajak masukan


Tabel 3.4 tax planning dengan penundaan pengkreditan pajak
masukan
PENUNDAAN DITUNDA KE PM SETELAH TAX
MASA PPN KELUARAN PPN MASUKAN KB/LB
PENGKREDITAN PM MASA PLANNING
Januari 28.209.500 31.861.500 (3.652.000) 31.861.500
Februari 62.045.511 65.525.416 (3.479.905) 356.850 5 65.168.566
Maret 94.213.790 92.937.900 1.275.890 92.937.900
April 39.257.900 40.679.650 (1.421.750) 895.000 5 39.784.650
Mei 32.520.950 29.248.395 3.272.555 30.500.245
Juni 29.535.000 32.862.500 (3.327.500) 4.568.200 9 28.294.300
Juli 40.684.160 41.299.500 (615.340) 41.299.500
Agustus 53.350.055 57.959.000 (4.608.945) 5.782.000 11 52.177.000
September 76.545.194 79.264.790 (2.719.596) 680.000 12 83.152.990
Oktober 72.484.038 75.845.000 (3.360.962) 968.000 12 74.877.000
November 76.837.750 65.841.600 10.996.150 71.623.600
Desember 39.255.700 29.537.200 9.718.500 31.185.200
TOTAL 644.939.548 642.862.451 2.077.097 642.862.451

Berdasarkan tabel diatas, Pengkreditan Pajak Masukan dapat ditunda pada


masa PPN yang mengalami kurang bayar dan menyesuaikan dengan PPN
Keluaran. Pada masa Februari dan April dimana mengalami kelebihan Pajak
Masukan maka dapat ditunda ke Masa Mei yang mana mengalami kurang
bayar sehingga pada Masa Mei akan mengalami penambahan Pajak Masukan
sebesar Rp1.251.850 yang semula Pajak Masukannya Rp29.248.395 menjadi
sebesar Rp30.500.245. Begitu pula dengan Masa Juni dengan selisih yang
cukup jauh antara Pajak keluaran dan Pajak Masukan maka dapat ditunda
untuk bulan berikutnya sepanjang tidak melebihi batas waktu 3 bulan.

3. Perbandingan ppn sebelum dan sesudah tax planning

Tabel 3.5 perbandingan PPN sebelum dan sesudah tax planning


PM SEBELUM PM SETELAH TAX KB/LB SEBELUM TAX KB/LB
MASA PPN KELUARAN
TAX PLANNING PLANNING PLANNING SETELAH TAX
Januari 28.209.500 31.861.500 31.861.500 (3.652.000) (3.652.000)
Februari 62.045.511 65.525.416 65.168.566 (3.479.905) (3.123.055)
Maret 94.213.790 92.937.900 92.937.900 1.275.890 1.275.890
April 39.257.900 40.679.650 39.784.650 (1.421.750) (526.750)
Mei 32.520.950 29.248.395 30.500.245 3.272.555 2.020.705
Juni 29.535.000 32.862.500 28.294.300 (3.327.500) 1.240.700
Juli 40.684.160 41.299.500 41.299.500 (615.340) (615.340)
Agustus 53.350.055 57.959.000 52.177.000 (4.608.945) 1.173.055
September 76.545.194 79.264.790 83.152.990 (2.719.596) (6.607.796)
Oktober 72.484.038 75.845.000 74.877.000 (3.360.962) (2.392.962)
November 76.837.750 65.841.600 71.623.600 10.996.150 5.214.150
Desember 39.255.700 29.537.200 31.185.200 9.718.500 8.070.500
TOTAL 644.939.548 642.862.451 642.862.451 2.077.097 2.077.097

Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa tidak ada perubahan dalam PPN
terutang sebelum dan sesudah tax planning. Namun dengan penundaan
pengkreditan Pajak Masukan dapat membuat PPN lebih bayar/kurang bayar
lebih merata dalam setiap masa pajak. Penundaan pengkreditan pajak masukan
dapat mengefisiensi PPN terutang pada bulan Mei dimana sebelumnya
Rp3.272.555 menjadi Rp2.020.705 dan juga pada bulan November yang
semula kurang bayar sebesar Rp10.996.150 menjadi Rp5.214.150.

BAB V
PAJAK KINI DAN PAJAK TANGGUHAN

1. Pajak Kini
Menurut Suandy (2011:97) beban pajak kini (current tax) adalah jumlah pajak yang harus
dibayar oleh wajib pajak. Jumlah pajak kini harus dihitung sendiri oleh wajib pajak
berdasarkan penghasilan kena pajak dikalikan dengan tarif pajak kemudian dibayar
sendiridan dilaporkan dalam surat pemberitahuan (SPT) sesuai dengan peraturan perundang
undangan pajak yang berlaku. Penghasilan kena pajak atau laba fiskal diperoleh dari hasil
koreksi fiskal terhadap laba bersih sebelum pajak berdasarkan laporan keuangan komersial
(laporan keuangan akuntansi).
Koreksi fiskal harus dilakukan karena adanya perbedaan perlakukan atas pendapatan
maupun biaya yang berbeda antara Standar Akuntansi dengan peraturan perpajakan yang
berlaku untuk kepentingan internal dan kepentingan lain wajib pajak dapat menggunakan
standar akuntansi yang berlaku umum, sedangkan untuk penghitungan dan pembayaran pajak
harus berdasarkan peraturan perpajakan,dalam hal ini adalah undang undang pajak
penghasilan dan peraturan lainnya yang terkait. Perbedaan ini dapat dikelompokan menjadi
dua, yaitu beda tetap/beda permanen (Permanent Different) dan beda waktu/sementara
temporer (temporary difference).
Oleh karena itu perbedaan antara laba akuntansi dan penghasilan kena pajak mereflesikan
tingkat kebijakan manajemen dalam memanipulasi laba lebih tinggi (Mills dalam effredge,et
al 2008 dalam deviana 2010) maka beban pajak kini yang menunjukan efek dari nilai
perbedaan tersebut beda tetap dan beda waktu digunakan pula sebagai variabel independen
yang akan melengkapi pajak tangguhan dalam mendeteksi manajemen laba. Beban pajak kini
yang dimaksud dalam penelitian ini diperoleh dari beban pajak kini pada peride laporan
keuangan tertentu dibagi dengan total aktiva periode sebelumnya.

2. Pajak Tangguhan

Menurut PSAK 46, Pajak tangguhan adalah saldo akun di neraca sebagai manfaat
pajak yang jumlahnya merupakan jumlah estimasi yang akan dipulihkan dalam periode yang
akan datang sebagai akibat adanya perbedaan temporer antara standar akuntansi keuangan
dengan peraturan perpajakan dan akibat adanya saldo kerugian yang dapat dikompensasi
pada periode mendatang. Menurut PSAK No. 46, pajak tangguhan adalah jumlah pajak
penghasilan untuk periode mendatang sebagai akibat dari perbedaan temporer (waktu) yang
boleh dikurangkan dan sisa kompensasi kerugian. Pajak tangguhan timbul karena perbedaan
saat pengakuan pendapatan atau beban antara peraturan perpajakan (fiskal) dengan standar
akuntansi keuangan (komersial).

Pajak tangguhan terdiri atas Aset pajak tangguhan dan Liabilitas pajak tangguhan.
a. Aset pajak tangguhan
Aset pajak tangguhan akan dihasilkan dari koreksi positif, sedangkan koreksi negatif akan
dihasilkan dari kewajiban pajak tangguhan (Djamaluddin, 2008:58). Untuk membantu
perusahaan di Indonesia menyusun laporan keuangannya, Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) menjadi pedoman. Perusahaan mengikuti Peraturan Perpajakan
sehubungan dengan kepentingan perpajakannya. Variasi tersebut memaksa manajer untuk
membuat laporan keuangan, laporan laba rugi komersial berdasarkan PSAK, dan laporan
laba rugi fiskal berdasarkan peraturan perpajakan. Menurut Amanda (2015), “Perbedaan
tersebut menimbulkan dua jenis perbedaan, yaitu perbedaan temporer dan perbedaan
permanen, dalam konteks akuntansi pajak penghasilan.”
b. Liabilitas pajak tangguhan
Liabilitas pajak tangguhan adalah jumlah pajak penghasilan yang terutang untuk periode
mendatang sebagai akibat dari perbedaan temporer kena pajak (Purba, 2009:35).
Peraturan perpajakan ini mewajibkan pelaku usaha melakukan koreksi fiskal (permanent
difference) karena terdapat perbedaan konsep penghasilan, cara mengukur penghasilan,
konsep biaya, cara mengukur biaya, dan alokasi biaya antara Standar Akuntansi
Keuangan (SAK) dan Peraturan Perpajakan.
Perbedaan antara laba komersial dan laba kena pajak (perbedaan buku-pajak) dapat
mengungkapkan rincian tentang kebebasan pilihan manajemen selama proses akrual. Koreksi
fiskal, yang bisa positif dan negatif, inilah yang disebut perbedaan.

BEDA PERMANEN DAN BEDA TEMPORER

1. Beda Permanen

Beda permanen adalah perbedaan yang disebabkan oleh adanya perbedaan pengakuan
pendapatan dan beban antara Standar akuntansi dan peraturan perpajakan. Perbedaan ini
akan mengakibatkan perbedaan besarnya laba bersih sebelum pajak dengan laba fiskal
atau penghasilan kena pajak.
2. Beda temporer
Beda Temporer adalah perbedaan yang disebabkan adanya perbedaan waktu dan metode
pengakuan penghasilan dan beban tertentu berdasarkan Standar Akuntansi dengan
peraturan perpajakan. Pebedaan ini mengakibatkan perbedaan waktu pengakuan
pendapatan dan beban antara tahun pajak yang satu keberikutnya.

Contoh kasus Pajak Kini dan Pajak Tangguhan

Data yang diperoleh dari laporan laba rugi PT. Super Construction tahun 2023 beserta
unsur koreksinya adalah sebagai berikut
Rp
a. Laba Komersial sebelum pajak: 7.000.000.000
b. Koreksi Positif atas
Rp
Beban pemberian natura 260.000.000
Rp
Pendapatan sewa 120.000.000
Rp Rp
Penyusutan bangunan 200.000.000 580.000.000

c. Koreksi Negatif
Rp
Amortisasi 500.000.000

Rp
d. PPh Pasal 25 140.000.000

Sebelum Tax Planning


Berdasarkan data diatas:
1. Hitunglah pajak terutang
2. Hitunglah pajak kurang atau lebih bayar
3. Tetapkan Liabilitas pajak tangguhan
4. Susunlah ayat jurnal dan penyajian dalam laporan keuangan

1. PERHITUNGAN PAJAK TERUTANG


Rp
Laba Komersial sebelum pajak 7.000.000.000
Koreksi Perbedaan tetap
Rp
Pendapatan sewa 120.000.000
Rp
120.000.000
Rp
7.120.000.000

Koreksi Perbedaan waktu


Rp
Penyusutan bangunan 200.000.000
-Rp
Amortisasi 500.000.000
-Rp
300.000.000
Rp
PENGHASILAN KENA PAJAK 6.820.000.000
PPH TERUTANG
Rp
22% x Rp6.820.000.000 1.500.400.000
PPh Rp
25 140.000.000
Rp
2. PPH KURANG BAYAR 1.360.400.000
Rp Rp
3. LIABILITAS PAJAK TANGGUHAN 25% 300.000.000 75.000.000

4. AYAT JURNAL
Rp
PPH BADAN-PAJAK KINI 1.500.400.000
Rp
BEBAN PAJAK TANGGUHAN 75.000.000
Rp
LIABILITAS PAJAK TANGGUHAN 75.000.000
Rp
PPH 25 DIBAYAR DIMUKA 140.000.000
Rp
INCOME TAX ARTICLE 29 PAYABLE 1.360.400.000

PENYAJIAN DI DALAM LAPORAN


KEUANGAN
Rp
LABA KOMERSIAL SEBELUM PAJAK 7.000.000.000
PAJAK PENGHASILAN
Rp
PAJAK KINI 1.500.400.000
Rp
PAJAK TANGGUHAN 75.000.000
Rp
1.575.400.000
Rp
LABA BERSIH KOMERSIAL SETELAH PAJAK 5.424.600.000

Setelah Tax Planning


1. Hitunglah pajak terutang
2. Hitunglah pajak kurang atau lebih bayar
3. Tetapkan Liabilitas pajak tangguhan
4. Susunlah ayat jurnal dan penyajian dalam laporan keuangan

1. PERHITUNGAN PAJAK TERUTANG


Rp
Laba Komersial sebelum pajak 7.000.000.000
Koreksi Perbedaan tetap
Rp
Beban Pemberian natura 260.000.000
Rp
Pendapatan sewa 120.000.000
Rp
380.000.000
Rp
7.380.000.000
Koreksi Perbedaan waktu
Rp
Penyusutan bangunan 200.000.000
-Rp
Amortisasi 500.000.000
-Rp
300.000.000
Rp
PENGHASILAN KENA PAJAK 7.080.000.000
PPH TERUTANG
Rp
22% x Rp7.080.000.000 1.557.600.000
PPh Rp
25 140.000.000
Rp
2. PPH KURANG BAYAR 1.417.600.000
Rp Rp
3. LIABILITAS PAJAK TANGGUHAN 25% 300.000.000 75.000.000

4. AYAT JURNAL
Rp
PPH BADAN-PAJAK KINI 1.557.600.000
Rp
BEBAN PAJAK TANGGUHAN 75.000.000
Rp
LIABILITAS PAJAK TANGGUHAN 75.000.000
Rp
PPH 25 DIBAYAR DIMUKA 140.000.000
Rp
INCOME TAX ARTICLE 29 PAYABLE 1.417.600.000

PENYAJIAN DI DALAM LAPORAN


KEUANGAN
Rp
LABA KOMERSIAL SEBELUM PAJAK 7.000.000.000
PAJAK PENGHASILAN
Rp
PAJAK KINI 1.557.600.000
Rp
PAJAK TANGGUHAN 75.000.000
Rp
1.632.600.000
Rp
LABA BERSIH KOMERSIAL SETELAH PAJAK 5.367.400.000
BAB VI
PAJAK PENGHASILAN BADAN

A. Pengertian Pajak Penghasilan Badan


Sesuai Pasal 1 UU PPh No. 7 Tahun 1983, pengertian Pajak Penghasilan
adalah pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan dan badan
berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun
pajak. Pajak penghasilan merupakan pajak langsung yang dipungut
pemerintah pusat atau merupakan pajak negara. Sebagai pajak langsung, maka
pajak penghasilan tersebut menjadi tanggungan wajib pajak yang bersangkutan,
dalam arti bahwa pajak penghasilan tidak boleh dilimpahkan kepada pihak lain
atau dimasukan dalam kalkulasi harga jual maupun sebagai biaya produksi.

B. Subjek Pajak Penghasilan Badan


Jenis subjek badan dibedakan menjadi 2 yakni:
1. Subjek Pajak Dalam Negeri
Subjek pajak dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
 Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
 Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
 Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat (Pempus) atau
Pemerintah Daerah (Pemda)
 Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara
 Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
2. Subjek Pajak Luar Negeri
Sedangkan subjek pajak luar negeri adalah badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima / memperoleh penghasilan
dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha / melakukan kegiatan melalui BUT di
Indonesia, juga termasuk subjek pajak luar negeri.

C. Objek Pajak penhasilan Badan


Penghasilan yang menjadi Objek Pajak Badan sebagaimana tercantum dalam Pasal 4
Ayat (1) UU HPP meliputi:
1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya termasuk natura
dan/atau kenikmatan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;
2. Hadiah dari undian pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan;
3. Laba usaha;
4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
 Keuntungan karena pengalihan harta sebagai pengganti saham
 Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham
 Keuntungan karena likuidasi, penggabungan dan sejenisnya
 Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibahan, bantuan, atau
sumbangan
 Keuntungan karena penjualan atau pengalihan Hak
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak;
6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang;
7. Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis;
8. Royalti atau imbalan atas penggunaan Hak;
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing;
13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
14. Premi asuransi;
15. Iuran yang diterima/diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari WP
yang menjalankan usaha/pekerjaan bebas;
16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak;
17. Penghasilan dari usaha berbasis Syariah;
18. Imbalan bunga sesuai UU KUP;
19. Surplus Bank Indonesia.
D. Bukan objek pajak PPH badan
Sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 4
Ayat 3, terdapat beberapa penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak.
penghasilan tersebut tidak diperhitungkan dalam penghasilan lainnya namun tetap
wajib dilaporkan di dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Berikut Penghasilan
yang dikecualikan dari object pajak:
1. Bantuan atau Sumbangan dan Harta Hibahan
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2009, syarat bantuan atau
sumbangan supaya dikecualikan sebagai objek pajak penghasilan, yaitu:
 berbentuk uang atau barang;
 tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan nomor 245/PMK.03/2008, harta hibah,
bantuan, atau sumbangan yang dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan
yaitu harta hibah, bantuan, atau sumbangan yang diterima oleh :
a. keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, yaitu adalah orang
tua dan anak kandung.
b. badan keagamaan yang kegiatannya semata-mata mengurus tempat-tempat
ibadah dan/atau menyelenggarakan kegiatan di bidang keagamaan, yang
tidak mencari keuntungan.
c. badan pendidikan yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan
pendidikan yang tidak mencari keuntungan.
d. orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan usaha kecil yang memiliki
dan menjalankan usaha produktif yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
 memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 500jt (tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha)
 memiliki hasil penjualan maksimal Rp 2.5M setahun.
e. badan sosial termasuk yayasan dan koperasi yang tidak mencari keuntungan
yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan:
 pemeliharaan kesehatan;
 pemeliharaan orang lanjut usia (panti jompo);
 pemeliharaan anak yatim-piatu, anak atau orang terlantar, dan anak
atau orang cacat;
 santunan dan/atau pertolongan kepada korban bencana alam,
kecelakaan, dan sejenisnya;
 pemberian beasiswa;
 pelestarian lingkungan hidup; dan/atau
 kegiatan sosial lainnya.

2. Warisan.
Harta warisan yang diterima oleh ahli waris bukan merupakan penghasilan
bagi ahli waris. Tetapi jika harta warisan tersebut menghasilkan penghasilan,
penghasilan tersebut merupakan objek pajak penghasilan.

3. Bagian Laba Yang Diterima atau Diperoleh Anggota dari Perseroan Komanditer
yang Modalnya Tidak Terbagi atas Saham-Saham, Persekutuan, Perkumpulan,
Firma, dan Kongsi, Termasuk Pemegang Unit Penyertaan Kontrak Investasi
Kolektif
Indonesia menganut non-transparent approach. Perseroan komanditer,
perkumpulan, firma, kongsi, dan KIK pengenaan pajak penghasilannya disatukan.
Pemilik dan badan dimaksud dianggap satu kesatuan ekonomi. Sehingga saat
penghasilan sudah dikenakan pajak penghasilan di tingkat badan, maka saat
diterima dikecualikan sebagai objek pajak penghasilan. Penghasilan dari Modal
yang Ditanamkan oleh Dana Pensiun dalam Bidang-Bidang Tertentu.
Pengecualian sebagai Objek Pajak atas ketentuan ini hanya berlaku bagi:
 dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari
Menteri Keuangan, dan
 penghasilan dari modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
Penanaman modal oleh dana pensiun ditujukan untuk pembayaran kembali
kepada peserta pensiun di kemudian hari. Sehingga penanaman modal tersebut
perlu diarahkan pada bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif atau berisiko
tinggi. Dana pensiun tidak dikenai pajak penghasilan pada saat menerima iuran
dari anggota dan menerima hasil pengembangan dana iuran. Biasanya, dana
pensiun mengembangkan dana iurang dengan menyimpan di deposito bank, atau
simpanan bank lainnya. Atas simpanan ini bank tidak memotong PPh final
sepanjang dana pensiun memiliki SKB.

4. Iuran yang Diterima Dana Pensiun


Dana pensiun yang dikecualikan dari objek pajak penghasilan hanya berlaku
apabila pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang
dikecualikan dari objek pajak adalah iuran yang diterima dari peserta pensiun,
baik atas beban sendiri maupun beban pemberi kerja. Pengenaan pajak atas iuran
pensiun mengurangi hak para peserta pensiun, sehingga dikecualikan dari objek
pajak penghasilan.
5. Imbalan atau Pemberian dalam Bentuk Natura & Kenikmakan
Terdapat 3 pemberian natura yang boleh dibiayakan oleh perusahaan dan bagi
karyawan tetap bukan objek pajak penghasilan, yaitu
 makan & minum,
 fasilitas mobil & rumah dinas
 sarana keselataman kerja.
Tetapi terdapat tiga kelompok pemberian natura dan kenikmatan yang wajib
dihitung sebagai objek pajak penghasilan, yaitu natura dan kenikmatan berupa:
 Bukan subjek pajak, seperti kedutaan asing atau lembaga internasional.
 PPh Badan perusahaan dikenakan final, seperti perusahaan jasa konstruksi.
 Perusahaan tidak menyelenggarakan pembukuan dan masih menggunakan
norma penghitungan khusus (deem profit) untuk menghitung penghasilan
neto.
E. Penerapan tax planning PPH badan
Dalam proses melakukan penerapan perencanaan pajak maka peneliti melakukan
penerapan pajak / tax planning beberapa cara agar beban terutang pajak pada
perusahaan bisa berkurang atau terdapat selisih antara laporan laba rugi yang sebelum
dan sesudah dilakukan tax planning yaitu :

1. Data Perhitungan Laba Rugi Fiskal PT Super Construction sebelum Tax Planning
Tabel 6.1 Laporan laba rugi 2022 sebelum tax planning
PT SUPER CONSTRUCTION
LAPORAN LABA RUGI
PERIODE 1 JAN S/D 31 DEC 2022
Description Komersial Positif Negatif Fiskal

Penjualan 25.404.500.000 25.404.500.000


HPP 8.756.500.000 8.756.500.000
Laba kotor 16.648.000.000 16.648.000.000

Beban Usaha
Biaya gaji 4.587.500.000 4.587.500.000
Biaya bonus 2.564.120.000 2.564.120.000
Biaya makan dan minum 168.546.000 168.546.000 -
Biaya pemeliharaan 256.950.000 256.950.000
Beban transportasi 450.450.000 450.450.000
Biaya pembelian pulsa 145.986.000 145.986.000
Amortisasi 345.000.000 500.000.000 845.000.000
Beban pemberian natura 500.000.000 260.000.000 -
Penyusutan 750.000.000 200.000.000 550.000.000
Beban sewa 254.560.000 254.560.000
Biaya perlengkapan kantor 125.840.000 125.840.000
Biaya iklan 245.000.000 245.000.000
Beban listrik telepon 250.000.000 250.000.000
Beban lain lain 105.894.000 105.894.000 -
Total beban 10.749.846.000 10.275.406.000
Laba usaha 5.898.154.000 6.372.594.000

Pendapatan
Pendapatan sewa 545.480.000 145.850.000 399.630.000
Pendapatan jasa arsitektur 406.580.000 406.580.000
Total pendapatan 952.060.000 806.210.000
Laba sebelum pajak 6.850.214.000 7.178.804.000
Selanjutnya berdasarkan PP Undang-undang Republik Indonesia No 1 tahun
2020, menurutkan tarif PPh badan menjadi 22% untuk tahun 2020 dan 2021.
Sehingga diketahui perhitungan nilai PPh Badan yaitu :
Tabel 6.2 Perhitungan PPH badan sebelum tax planning
PPH terutang
Fasilitas 4.800.000.000 1.356.384.074
x 7.178.804.000
25.404.500.000

22%*50%*1.356.384.074 149.202.248
Non fasilitas 7.178.804.000 - 7.178.804.000 5.822.419.926
22%*5.822.419.926 1.280.932.384

Total PPH terutang 149.202.248 + 1.280.932.384 1.430.134.632


2. Melakukan koreksi fiskal pada Biaya pembelian pulsa
Koreksi fiskal pada biaya pembelian pulsa dibebankan sebesar 50% perusahaan
sehingga biaya pembelian pulsa berkurang 50% dari sebelumnya. Berikut rincian
tabel perhitungannya :
Tabel 6.3 Perhitungan biaya pembelian pulsa
Keterangan Komersial Koreksi Setelah tax planning
Biaya pembelian pulsa 145.986.000 (72.993.000) 72.993.000
L/R sebelum pajak 7.072.910.000 7.145.903.000
PPH badan 1.409.038.823 1.423.580.217

Dari tabel 6.3 nilai sebelum perencanaan pajak yaitu 3.600.000 menurut aturan
Keputusan Dirjen Pajak No. KEP.220/PJ/2002 tentang perlakuan pajak
penghasilan atas biaya pemakaian telepon seluler dan kendaraan perusahaan,
bahwa nilai dipotong 50% dibebankan sebagai biaya perusahaan.
3. Melakukan koreksi pada Biaya Lain-lain
Tabel 6.4 Perhitungan koreksi biaya lain lain
Keterangan Komersial Koreksi Setelah tax planning
Biaya lain lain 105.894.000 (105.894.000) -
L/R sebelum pajak 7.072.910.000 7.178.804.000
PPH badan 1.409.038.823 1.430.134.632
Dari tabel 6.4 biaya lain-lain perlu dikoreksi fiskal dikarenakan tidak ada daftar
nominatif sesuai dengan aturan SE-27/PJ.22/1986.
4. Melakukan koreksi pada Biaya Iklan
Tabel 6.5 Perhitungan koreksi biaya iklan
Keterangan Komersial Koreksi Setelah tax planning
Biaya iklan 245.000.000 (245.000.000) -
L/R sebelum pajak 7.072.910.000 7.317.910.000
PPH badan 1.409.038.823 1.457.846.812
Dari tabel 6.5 biaya lain-lain perlu dikoreksi fiskal dikarenakan tidak ada daftar
nominatif sesuai dengan aturan SE-27/PJ.22/1986.
5. Melakukan koreksi pada biaya makan dan minum
Dari tabel 6.1 bahwa biaya makan dan minum dilakukan koreksi fiskal, namun
dalam perencanaan pajak/tax planning pada biaya makan dan minum tidak perlu
dilakukan koreksi fiskal. Berikut rincian tabel perhitungannya :
Tabel 6.6 Perhitungan koreksi biaya makan dan minum
Keterangan Komersial Koreksi Setelah tax planning
Biaya iklan 168.546.000 (168.546.000) -
L/R sebelum pajak 7.072.910.000 6.850.214.000
PPH badan 1.409.038.823 1.375.461.716

Dari tabel 6.6 Biaya makan dan minum tidak perlu dilakukan koreksi fiskal
dikarenakan salah satu bentuk natura karyawan berupa uang makan dan minum
yang nilainya menambahkan gaji karyawan PMK No.167/PMK.03/2018.
6. Menambah biaya pendidikan dan pelatihan SDM
PT Super Construction mengeluarkan biaya pendidikan dan pelatihan sumber
daya manusia sebagai salah satu pengeluaran yang diperkenankan Undang-
undang perpajakan. Selain untuk memperoleh manfaat penurunan hutang pajak
juga untuk lebih mengembangkan sumber daya manusia agar lebih terampil dan
lebih berwawasan dalam bekerja.

7. Laporan laba rugi setelah tax planning


Dari perencanaan tax palnning yang telah dilakukan maka diketahui laporan laba
rugi setelah tax planning yaitu :
Tabel 6.7 Laporan laba rugi PT Super Construction tahun 2022 setelah tax
planning
PT SUPER CONSTRUCTION
LAPORAN LABA RUGI
PERIODE 1 JAN S/D 31 DEC 2022
Description Komersial Positif Negatif Fiskal

Penjualan 25.404.500.000 25.404.500.000


HPP 8.756.500.000 8.756.500.000
Laba kotor 16.648.000.000 16.648.000.000

Beban Usaha
Biaya gaji 4.587.500.000 4.587.500.000
Biaya bonus 2.564.120.000 2.564.120.000
Biaya makan dan minum 168.546.000 168.546.000
Biaya pemeliharaan 256.950.000 256.950.000
Beban transportasi 450.450.000 450.450.000
Biaya pembelian pulsa 145.986.000 72.993.000 72.993.000
Biaya pelatihan dan pendidikan 680.450.000 680.450.000
Amortisasi 345.000.000 500.000.000 845.000.000
Beban pemberian natura 500.000.000 260.000.000 -
Penyusutan 750.000.000 200.000.000 550.000.000
Beban sewa 254.560.000 254.560.000
Biaya perlengkapan kantor 125.840.000 125.840.000
Biaya iklan 245.000.000 245.000.000 -
Beban listrik telepon 250.000.000 250.000.000
Beban lain lain 105.894.000 105.894.000 -
Total beban 11.430.296.000 10.806.409.000
Laba usaha 5.217.704.000 5.841.591.000

Pendapatan
Pendapatan sewa 545.480.000 145.850.000 399.630.000
Pendapatan jasa arsitektur 406.580.000 406.580.000
Total pendapatan 952.060.000 806.210.000
Laba sebelum pajak 6.169.764.000 6.647.801.000

Selanjutnya berdasarkan PP Undang-undang Republik Indonesia No 1 tahun


2020, menurutkan tarif PPh badan menjadi 22% untuk tahun 2020 dan 2021.
Sehingga diketahui perhitungan nilai PPh Badan yaitu :
Tabel 6.8 Perhitungan PPH badan pada PT Super Construction
PPH terutang
Fasilitas 4.800.000.000 1.256.054.825
*6.843.944.000
25.404.500.000

22%*50%*1.293.114.653 138.166.031
Non fasilitas 6.843.944.000 - 1.293.114.653 5.391.746.175
22%*5.550.829.347 1.186.184.159

Total PPH terutang 142.242.612 + 1.221.182.456 1.324.350.189

Dari hasil perhitungan setelah Tax Planning yaitu 1.324.350.189,- diketahui nilai
selisih dari sebelum tax planning sebesar Rp105.784.443,- sehingga PT Super
Construction menghemat biaya sebesar Rp105.784.443,-
Dilihat pada tabel 6.3 sampai tabel tabel 6.6 terkait biaya perbedaan sebelum dan
sesudah perencanaan pajak yaitu :
1. Biaya Biaya pembelian pulsa CV. Athariz mencatat sebelum perencanaan
pajak dicatat koreksi fiskal atas nilai keseluruhan atas biaya pembelian
pulsa yang seharusnya dicatat nilai 50% dari nilai keseluruhan yaitu senilai
Rp72.993.000,- sesuai dengan nilai setelah perencanaan pajak.
2. Biaya lain-lain pada PT Super Construction sebelum tax planning tidak
dikoreksi fiskal. Namun dikarenakan tidak ada daftar normatif sesuai
dengan aturan SE-27/PJ.22/1986 maka dilakukan dikoreksi fiskal.
3. Biaya makan dan minum dalam hal ini CV. Athariz perlu memahami biaya
makan dan minum termasuk dalam bentuk natura atau sekedar pemberian
makan siang karyawan. Setelah dikoreksi fiskal Biaya makan dan minum
ini salah satu bentuk natura berupa uang yang dimana nilai tersebut
menambahkan gaji karyawan.
4. Biaya pendidikan dan pelatihan pada PT Super Construction sebelumnya
tidak ada kemudian setelah tax planning ditambahkan untuk meningkatkan
dan juga mengembangkan sumber daya manusia yang lebih berawasan
tinggi dan terampil.
5. Biaya iklan pada PT Super Construction sebelum tax planning tidak
dikoreksi fiskal. Namun dikarenakan tidak ada daftar normatif sesuai
dengan aturan SE-27/PJ.22/1986 maka dilakukan dikoreksi fiskal.
Dilihat pada tabel 4.9 terkait Laba sebelum pajak, laba sesudah pajak serta
pembayaran pajak perbedaan sebelum dan sesudah perencanaan pajak yaitu
1. Selisih laba sebelum pajak sebelum dan sesudah dilakukan perencanaan pajak
yaitu senilai Rp531.003.000
2. Selisih laba setelah pajak sebelum dan sesudah dilakukan perencanaan pajak
yaitu senilai Rp636.787.443
3. Selisih Pph Badan yang dibayarkan CV. Athariz sebelum dan sesudah
dilakukan perencanaan pajak yaitu Rp105.784.443,-artinya CV. Athariz telah
melakukan penghematan senilai Rp105.784.443,-
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan
Berdasarkan data dan analisa yang telah dibahas pada bab sebelumnya
maka bisa disimpulkan yaitu :
1. Setelah dilakukannya tax planning maka kebijakan yang paling baik
dipilih oleh perusahaan adalah PPh pasal 21 ditunjang perusahaan
(Gross Up). Dari perhitungan diatas terlihat bahwa take home
paygross up sama dengan pemberian tunjangan pajak.Namun, dengan
menggunakan metode Gross Up maka perusahaan dapat
membebankan biaya tunjangan pajak sebagai deductible
expensesehingga dapat menggurangi PPh badan perusahaan, sehingga
tidak perlu adanya koreksi
2. Dalam upaya penghematan pembayaran pajak PT. Super Construction
dapat mengajukan API (Angka Pengenal Impor). Jika perusahaan
memiliki API maka bisa mendapatkan tax saving sebesar 5%. Jika
memiliki API maka tarif hanya 2,5% dibandingkan non-API yang
tarifnya mencapai 7,5% dari nilai impor, hal ini dapat menjadi salah
satu upaya PT Super Construction dalam rangka menghemat
pembayaran pajak.
3. Perencanaan pajak yang dilakukan oleh PT Super Construction adalah
dengan menggunakan metode gross up. Metode Gross Up adalah PPh
pasal 23 yang seharusnya menurut Undang-Undang Perpajakan
ditanggung oleh penerima jasa dibebankan kepada pemberi jasa.
4. Perusahaan memperoleh keuntungan dari penerapan tax planning
dengan cara memaksimalkan pengkreditkan pajak masukan terhadap
pajak keluaran menghasilkan keuntungan pada pajak terutang yang
harus dibayar oleh PT Super Construction. Dengan penundaan
pengkreditan Pajak Masukan dapat membuat PPN lebih bayar/kurang
bayar lebih merata dalam setiap masa pajak.
5. PT Super Construction menganut sistem self assetment yaitu
menghitung, membayar dan melaporkan sendiri. Untuk penerapan
pajak PT Super Construction adalah perusahaan yang baru saja
membuka usaha pada tahun 2021, dimana untuk penerapan pajak yang
dilakukan PT Super Construction yaitu mengefesiensi besarnya pajak
yang ditangguhkan semakin kecil. Dilihat dari tabel perbandingan
hasil Interprestasi PT Super Construction perlu memperhatikan
disetiap akun laba rugi dalam melakukan koreksi fiskal, PT Super
Construction belum sepenuhnya melakukan perencanaan pajak.
Namun Dari perencanaan yang dilakukan, PT Super Construction
mengehemat biaya senilai Rp105.784.443,-.
7.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan maka bisa diambil Saran
yaitu :
1. PT Super Construction perlu pemahaman terkait aturan pajak terutama
dalam pemahaman koreksi fiskal positif. Perhatikan dan control biaya-
biaya yang boleh menjadi pengurang penghasilan dan tidak dikoreksi
oleh peraturan pajak sehingga dikemudian hari tidak perlu dilakukan
koreksi fiskal.
2. PT super Construction sebaiknya mengadakan pelatihan perpajakan
secara khusus bagi karyawan staf administrasi hal ini agar bidang
perpajakan dapat ditangani oleh orang yang tepat.
3. PT super Construction sebaiknya melakukan konsultasi dengan
konsultan pajak atau kepada kantor pelayanan pajak atas perencanaan
yang diberlakukan oleh PT super Construction sehingga tidak terjadi
kesalahan dalam perhitungan PPH dan juga biaya dalam laporan.
DAFTAR PUSTAKA
Anhar, Suhfi, 2015, implementasi tax plannning untuk menghemat pajak penghasilan
terutang perusahaan pada PT BUKIT ASAM(PERSERO) TBK, Jurnal.
Zahida, Luluk, analisa tax planning untuk efisiensi pajak penghasilan badan, Jurnal.
Yustina Irene, 2021, analisa tax planning PPH badan dalam upaya optimalisasi pemenuhan
kewajiban perpajakan kewajiban perpajakan pada CV Athariz, Skripsi, Universitas
Bhayangkara.
Nurwati, Syaiful Anwar, 2019, Penerapan tax planning atas witholding tax systems terhadap
pajak penghasilan badan pada PT CAT, Jurnal, Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan.
Andi Rustam, Mira, Ika Sartika, 2019, analisa penerapan perencanaan pajak penghasilan
badan guna meminjamkan pembayarn pajak penghasilan badan pada PT Bumi Sarana Beton,
Jurnal, Universitas Muhammadiyah Makassar.
Melynda Kusviyanti, Nur Lailiyatul Inayah, Kusni Hidayati, 2021, Penerapan Tax Planning
untuk Mencapai Efisiensi Pajak Pertambahan Nilai pada PT. Rahmi Ida Nusantara Surabaya,
Jurnal, Universitas Bhayangkara Surabaya.
Beby Hilda Agustin, Yuyun, Srikalimah, 2023, Evaluasi Tax Planning Guna Meningkatkan
Efisiensi Pajak Pertambahan Nilai (Studi Kasus Pada PT Agrimara Cipta Nutrindo), Jurnal,
Universitas Islam Kadiri.
Resmi, Siti. 2019. Perpajakan: Teori & Kasus. Edisi Sebelas. Buku Satu. Salemba Empat.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai