CONTRUCTION
Kelompok 4
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Akhir Praktek Belajar Lapangan (PBL) mengenai
Prosedur Penggajian dan Pengupahan Perusahaan pada PT Super Contruction untuk memenuhi
Ujian Akhir Semester dengan mata kuliah Perpajakan II oleh Bapak Wahyudin, S.E.Ak,CA,BKP
Kami juga berterima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian
Laporan Akhir PBL ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada kesempatan kali ini, kami
juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada :
Kami menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam penyusunan laporan ini.
Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan untuk
perbaikan kedepannya.
PENDAHULUAN
B. Pajak
Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 yang telah
diubah 4 kali menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 dan diganti dengan
undang-undang No. 16 Tahun 2009 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan,
“ Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapat
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.”
Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang pajak penghasilan,
“Pajak penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh dalam tahun pajak” oleh karena itu Pajak Penghasilan (PPh) Badan
ialah pajak yang dikenakan terhadap badan atas penghasilan yang mereka terima
dalam tahun pajak bersangkutan.
D. Pajak penghasilan
1. Pengertian pajak penghasilan
Menurut Waluyo (2006) “Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan
terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau yang
diperolehnya dalam tahun pajak”. Menurut ketentuan pajak, pajak penghasilan
merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada subjek
pajak yang bersangkutan, artinya pajak terutang tersebut dimaksudkan untuk tidak
dilimpahkan kepada subjek pajak lainnya. Oleh sebab itu dalam rangka
memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban
pajak subjektif itu penting.
BAB III
TAX PLANNING PPH 21, PPH 22, PPH 23, PPH 24, PPH 25, DAN
PPH FINAL
PPh pasal 21 masuk ke jasa konstruksi jika wajib pajak tersebut berstatus wajib
pajak orang pribadi. Wajib pajak yang termasuk orang pribadi, yaitu pegawai
tetap, pegawai pensiun bulanan, pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas dan
peserta kegiatan yang menerima penghasilan. PPh pasal 21 terdapat PTKP, yaitu
tidak kawin dengan tidak ada tanggungan (TK/0) sebesar Rp. 54.000.000, akan
ditambah jika kawin sebesar Rp.4.500.000 dan akan ditambah lagi jika memiliki
tanggungan 1 sebesar Rp. 4.500.000 berlaku kelipatan sampai tanggungan
maksimal 3. Tanggungan yang dapat masuk menjadi pengurang adalah anggota
keluarga sedarah dan semenda dalam satu garis keturunan lurus serta termasuk
juga anak angkat yang sepenuhnya ditanggung kehidupannya. PPh pasal 21 dalam
pengenaannya juga berhak untuk mendapatkan pengurangan yaitu biaya jabatan
sebesar 5% dengan maksimal pengurangan sebesar 6jt pertahun atau sebesar Rp.
500.000 per bulannya.
Tarif pajak penghasilan untuk orang pribadi adalah sebagai berikut :
Tarif 5% dari penghasilan bruto kurang 60 juta
Tarif 15% dari penghasilan bruto lebih dari 60 juta sampai dengan 250 juta
Tarif 25% dari penghasilan bruto lebih dari 250 juta sampai 500 juta
Tarif 30% dari penghasilan bruto lebih dari 500 juta sampai 5 miliar
Tarif 35% dari penghasilan bruto lebih dari 5 miliar
Jika penerima penghasilan tidak mempunyai NPWP maka akan dikenakan tarif
lebih tinggi 20% dari tarif normal. Perencanaan pajak terhadap PPH 21
Memberikan Tunjangan Pajak kepada Karyawan. PPh pasal 21 karyawan adalah
pajak yang dibebankan kepada karyawan atas penghasilan yang diterimanya dari
perusahaan. PPh pasal 21 itu dipungut oleh pemberi kerja lalu disetor kepada
pemerintah. Ada 3 metode yang bisa digunakan dalam perhitungan PPh 21, yaitu:
a. Net Method
Merupakan metode pemotongan pajak dimana perusahaan menanggung pajak
karyawannya.
b. Gross Method
Merupakan metode pemotongan pajak dimana karyawan menanggung sendiri
jumlah pajak penghasilannya.
c. Gross-Up Method
Merupakan metode pemotongan pajak dimana perusahaan memberikan tunjangan
pajak yang jumlahnya sama besar dengan jumlah pajak yang akan dipotong dari
penghasilan karyawan.
Dalam uraian diatas perusahaan memiliki dua unsur penghasilan, atas gaji
pegawai tetap di beban kan dalam penghasilan di luar usaha sehingga bisa dapat
mengurangi pendapatan atas jasa di luar usaha dan dapat di jadikan pengurang
pendapatan kena pajak atas penghasilan luar usaha tersebut. Di dalam biaya gaji
terdapat unsur Tunjangan makan dan natura lain nya. Sebelum tax planning biaya
pph 21 tidak dapan dikurangkan dalam laporan laba rugi fiskal , karena sesuai
dengan pasal 9 ayat (1) huruf h UU PPh No. 36 Tahun 2008 Pajak Penghasilan
merupakan non-deductible expense. Akan tetapi apabila perusahaan memberikan
tunjangan pajak dalam bentuk uang dan dimasukkan dalam daftar gaji, maka
biaya gaji yang diperhitungkan oleh perusahaan dapat dikurangkan dari
penghasilan perusahaan. Selain bermanfaat sebagai biaya pengurang dari
penghasilan perusahaan dalam hal ini tax saving dan pemberian tunjangan pajak
tersebut tidak akan mengurangi penghasilan bersih karyawan. Berikut daftar
karyawan beserta gaji yang ada di PT Super Construction. Berikut daftar gaji
semua karyawan yang ada di PT Super Construction selama selama setahun.
Tabel 3.1 Daftar gaji karyawan dalam setahun
NAMA GAJI STATUS JABATAN
Yesica Fitri 180.000.000 TK/0 Komisaris
Diva Ria 156.000.000 K/2 Presiden Direktur
Juindah Fransiska 144.000.000 K/1 Wakil Direktur
Tn Roby 8.000.000 K/3 Karyawan
Tn Hanbin 8.000.000 TK/0 Karyawan
Tn Ricky 8.000.000 K/1 Karyawan
Tn Mathew 8.000.000 K/2 Karyawan
Tn Jiwong 8.000.000 TK/2 Karyawan
Tn Hao 8.000.000 TK/1 Karyawan
Tn Taerae 8.000.000 K/3 Karyawan
Tn Yujin 8.000.000 K/2 Karyawan
Ny Ariana 8.000.000 K/1 Karyawan
Ny Ailey 8.000.000 K/0 Karyawan
Ny Daisy 8.000.000 K/3 Karyawan
Ny Alea 8.000.000 K/0 Karyawan
Ny Tasya 8.000.000 TK/2 Karyawan
Tn Gyuvin 8.000.000 K/3 Karyawan
Tn Wook 8.000.000 K/1 Karyawan
Bea Masuk sebesar 20% dan PPN 11%. Kurs Menteri Keuangan pada
saat impor sebesar Rp15.000/US$. Hitunglah berapa besarnya PPh Pasal
22 yang dipungut oleh Ditjen Bea Cukai jika PT.Z Construction TIDAK
memiliki API (Angka Pengenal Impor)?
Bea Masuk sebesar 20% dan PPN 11%. Kurs Menteri Keuangan pada saat
impor sebesar Rp15.000/US$. Hitunglah berapa besarnya PPh Pasal 22
yang dipungut oleh Ditjen Bea Cukai jika PT.Z Construction memiliki API
(Angka Pengenal Impor)?
PPh pasal 23 adalah pajak penghasilan tidak final yang dikenakan atas modal,
penyerahan jasa, hadiah, penghargaan selain yang telah dipotong PPh 21. PPh 23
terdapat pihak penerima penghasilan dan pemberi penghasilan yang akan
memotong, membayar dan melaporan. Pihak yang menerima penghasilan PPh
pasal 23, yaitu wajib pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT).
PPh 23 dibayar setiap tanggal 10 bulan berikutnya, sedangkan dilaporkan setiap
tanggal 20 bulan berikutnya.
Sesuai dengan PMK-141/2015 yang membahas terkait objek PPh yang bersifat
tidak final serta termasuk dalam PPh 23 salah satunya yaitu jasa konstruksi.
Untuk PPh Pasal 23 jenis jasa konstruksi dikenakan tarif sebesar 2 persen yang
dihitung dari jumlah bruto nilai jasa. PPh pasal 23 mengenakan tarif untuk jasa
konstruksi sebesar 2%, sedangkan besarnya tarif bagi yang tidak memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP) lebih tinggi 100% dari tarif yang diatur.
Penerima penghasilan yang dikenakan (Subjek) PPh Pasal 23
Yang termasuk penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 (Wajib
Pajak PPh Pasal 23)
1. Wajib Pajak dalam negeri (orang pribadi atau badan)
2. Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Penghasilan yang dikenakan (Objek) PPh Pasal 23
Penghasilan yang dikenakan PPH Pasal 23 (Objek PPh Pasal 23) sesuai
dengan Pasal 23 UU No. 36 Tahun 2008 yaitu:
1. Dividen
2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubung dengan
jaminan pengembalian utang.
3. Royalti.
4. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat 910
huruf c UU PPh.
5. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,
kecuali sewa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2) UU PPh.
6. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah
dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Penghasilan yang dikecualikan dari Pemotongan PPh Pasal 23
Beberapa penghasian yang tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23
(bukan Objek Pajak PPH Pasal 23) sesuai dengan Pasal 23 ayat(4) UU No. 36
Tahun 2008, yaitu:
1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.
2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna
usaha dengan hak opsi.
3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan
terbatas sebagai Wajib pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik
Negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada
badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia
dengan syarat:
Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik Negara dan badan
usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham
pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua
puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
4. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham,
persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi termasuk pemegang unit
penyertaan kontrak investasi kolektif.
5. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggotanya
6. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa
keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau
pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Tarif Pemotongan PPh Pasal 23
Tarif PPh Pasal 23 sebagai berikut.
1. Tarif 15% (lima belas persen) dikenakan atas penghasilan berupa
a. Dividen
b. Bunga
c. Royalti
d. Hadiah, bonus, penghargaan lain yang tidak dipotong PPh Pasal 21
2. Tarif 2% (dua persen) dikenakan atas penghasilan
a. Sewa non Tanah dan bangunan
b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah
dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.
Contoh PPH 23
Bulldozer 165.000
Excavator 185.000
Wheel loader 150.000
Motor Grader 200.000
Berikut ini adalah PPH 23 jasa sewa alat berat PT. Super Construction
sebelum gross-up.
Masa Biaya sewa alat PPH 23
Januari 8.000.000 160.000
Februari 10.000.000 200.000
Maret 14.500.000 290.000
April 6.750.000 135.000
Mei 11.000.000 220.000
Juni 7.650.000 153.000
Juli 8.750.000 175.000
Augustus 13.000.000 260.000
September 6.650.000 133.000
Oktober 7.000.000 140.000
November 10.500.000 210.000
Desember 8.500.000 170.000
Total 112.300.000 2.246.000
Perusahaaan penerima wajib memotong PPH 23 atas jasa sewa alat berat
dengan total Rp2.246.000 berasal dari Rp112.300.000 dikalikan tarif PPH 23 atas
jasa sebesar 2%. Berikut adalah pemotongan pph pasal 23 dengan menggunakan
metode perhitungan gross up.
Biaya setelah gross-
Masa Biaya sewa alat up PPH 23
Januari 8.000.000 8.163.265 163.265
Februari 10.000.000 10.204.082 204.082
Maret 14.500.000 14.795.918 295.918
April 6.750.000 6.887.755 137.755
Mei 11.000.000 11.224.490 224.490
Juni 7.650.000 7.806.122 156.122
Juli 8.750.000 8.928.571 178.571
Augustus 13.000.000 13.265.306 265.306
September 6.650.000 6.785.714 135.714
Oktober 7.000.000 7.142.857 142.857
November 10.500.000 10.714.286 214.286
Desember 8.500.000 8.673.469 173.469
Total 112.300.000 114.591.837 2.291.837
Perusahaaan penerima wajib memotong PPH 23 atas jasa arsitek dengan total
Rp6.729.600 berasal dari Rp336.480.000 dikalikan tarif PPH 23 atas jasa sebesar
2%. Berikut adalah pemotongan pph pasal 23 dengan menggunakan metode
perhitungan gross up.
Masa Biaya jasa arsitektur Biaya setelah gross-up PPH 23
Januari 35.000.000 35.714.286 714.286
Februari 20.000.000 20.408.163 408.163
Maret 30.500.000 31.122.449 622.449
April 20.500.000 20.918.367 418.367
Mei 16.000.000 16.326.531 326.531
Juni 22.000.000 22.448.980 448.980
Juli 20.480.000 20.897.959 417.959
Augustus 37.500.000 38.265.306 765.306
September 35.000.000 35.714.286 714.286
Oktober 29.000.000 29.591.837 591.837
November 30.500.000 31.122.449 622.449
Desember 40.000.000 40.816.327 816.327
Total 336.480.000 343.346.939 6.866.939
Dari data yang telah diolah menghasilakan perbedaan tarif pajak terhutang
dengan menerapkan metode gross up PPh pasal 23 sebesar Rp9.158.776,-
sedangkan tarif pajak terhutang dengan tidak menggunakan metode gross up PPh
pasal 23 sebesar Rp8.975.600,-. Maka perhitungan PPH 23 metode gross-up dan
tidak menggunakan gross-up menghasilkan tarif yang berbeda. Sehingga
penerapan perencanaan pajak PPH pasal 23 PT Super Construction lebih efisien
menguntungkan dengan menerapkan metode gross-up.
Tentang Kredit pajak luar negeri, untuk bisa melakukan pengkreditan pajak luar
negeri, Wajib Pajak harus menyampaikan surat permohonan kepada Direktur Jendral
Pajak dengan dilampiri:
Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut:
1. Pajak atas penghasilan yang terutang atau dibayar di luar negeri yang dapat
dikreditkan terhadap total PPh terutang di Indonesia hanya pajak yang
langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib
pajak luar negeri tersebut
2. Besarnya kredit pajak yang diperbolehkan adalah setinggi-tingginya sama
dengan jumlah pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri, tetapi tidak
boleh melebihi jumlah yang dihitung menurut perbandingan antara
penghasilan dari luar negeri terhadap Penghasilan Kena Pajak (PKP), atau
setinggi-tingginya sama dengan pajak yang terutang atas PKP lebih kecil dari
penghasilan luar negeri
a. Pajak Penghasilan yang dipotong dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak
Penghasilan yang dipungut dalam Pasal 22; dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh
dikreditkan dalam Pasal 24, Dibagi dengan 12 atau banyaknya bulan dalam
bagian tahun pajak.
Sampai Rp 50.000.000 = 5%
Rp 50.000.000 – Rp 250.000.000 = 15%
Rp 250.000.000 – Rp 500.000.000 = 25%
Di atas Rp 500.000.000 = 30%
PPh pasal 4 ayat 2 adalah pajak final yang dikenakan atas penghasilan berupa
bunga deposito, tabungan lainnya dari transaksi saham sekuritas di bursa efek,
penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau penghasilan tertentu.
Adapun, tarif yang kini berlaku dan perbedaan dengan tarif sebelumnya
berdasarkan Sertifikat Badan Usaha (SBU) yaitu:
1. Memiliki SBU/SKK
a. 1,75% untuk pekerjaan konstruksi yang dilakukan atau dilaksanakan oleh
penyedia jasa dengan Sertifikat Badan Usaha (SBU) dengan kualifikasi
Kecil atau Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) bagi usaha orang
perseorangan. Tarif sebelumnya dalam PP 51/2008 yaitu sebesar 2 persen
untuk jasa pelaksanaan konstruksi oleh penyedia jasa dengan kualifikasi
Kecil.
b. 2,65% untuk pekerjaan konstruksi yang dilakukan atau dilaksanakan oleh
penyedia jasa yang memiliki SBU selain dengan kualifikasi Kecil
(kualifikasi Menengah dan Besar) serta selain yang memiliki sertifikat
kompetensi kerja bagi usaha orang perseorangan. Tarif sebelumnya dalam
PP 51/2008 yaitu sebesar 3 persen untuk jasa pelaksana konstruksi oleh
penyedia jasa dengan kualifikasi Menengah atau Besar.
c. 3/3,5 persen untuk jasa perencanaan maupun pengawasan atau jasa
konsultasi konstruksi yang dilakukan atau dilaksanakan oleh penyedia jasa
dengan SBU (baik kualifikasi kecil, menengah, ataupun besar) atau dengan
sertifikat kompetensi kerja bagi usaha orang perseorangan. Tarif
sebelumnya dalam PP 51/2008 yaitu sebesar 4 persen terhadap jasa
perencanaan atau pengawasan, dengan kualifikasi kecil, menengah, ataupun
besar.
2. Tidak Memiliki SBU/SKK
a. 4 persen untuk pekerjaan konstruksi yang dilakukan atau dilaksanakan oleh
penyedia jasa yang tidak mempunyai SBU atau yang tidak memiliki
sertifikat kompetensi kerja bagi usaha orang perseorangan. Tarif tidak
mengalami perubahan, sama seperti pada PP 51/2008. Tarif tidak
mengalami perubahan, sama seperti pada PP 51/2008 sebesar 4 persen
terhadap jasa pelaksana konstruksi yang tidak berkualifikasi.
b. 6 persen untuk jasa perencanaan maupun pengawasan atau jasa konsultasi
konstruksi yang dilakukan atau dilaksanakan oleh penyedia jasa yang tidak
memiliki SBU atau tanpa sertifikat kompetensi kerja bagi usaha orang
perseorangan. Tarif tidak mengalami perubahan, sama seperti pada PP
51/2008. Tarif tidak mengalami perubahan, sama seperti pada PP 51/2008
sebesar 6 persen terhadap jasa pelaksana konstruksi yang tidak
berkualifikasi.
3. Tambahan Tarif Baru Jenis Jasa Konstruksi
a. 2,65 persen untuk pekerjaan konstruksi terintegrasi yang dilakukan atau
dilaksanakan oleh penyedia jasa yang telah memiliki SBU. Tarif
sebelumnya dalam PP 51/2008 yaitu sebesar 3 persen. Sebelumnya tidak
terdapat dalam PP 51/2008, dan baru ditambahkan pada PP 9/2022.
b. 4 persen untuk pekerjaan konstruksi terintegrasi yang dilakukan atau
dilaksanakan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki SBU. Tarif tidak
mengalami perubahan, sama seperti pada PP 51/2008. Sebelumnya tidak
terdapat dalam PP 51/2008, dan baru ditambahkan pada PP 9/2022.
Tabel 2.
Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa perhitungan pajak penghasilan badan yang
terutang dengan tarif final antara perusahaan dengan Undang-Undang sudah sesuai
tidak ada perbedaan. Ini berarti bahwa perusahaan sudah melakukan perhitungan
pajak penghasilan badan tarif final dengan tarif final.
BAB IV
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
B. Subjek PPN
Menurut Resmi (2015) subjek Pajak Pertambahan Nilai terdiri atas :
1. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan barang kena
pajak/jasa kena pajak di dalam daerah pabean dan melakukan ekspor barang
kena pajak berwujud/barang kena pajak tidak berwujud/jasa kena pajak.
2. Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak.
C. Objek PPN
Mardiasmo (2016:341) Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas :
1. Penyerahan BKP di dalan Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.
Syarat-syaratnya adalah :
Barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP;
Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP Tidak Berwujud;
Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
2. Impor BKP;
3. Penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.
Syarat-syaratnya adalah :
Jasa yang diserahkan merupakan JKP;
Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
4. Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;
5. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
6. Ekspor BKP Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
7. Ekspor BKP Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
8. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau
digunakan pihak lain;
9. Penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan oleh PKP, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak
Masukannya tidak dapat dikreditkan.
Dalam menghitung Pajak Pertambahan Nilai tarif yang digunakan adalah 11%
untuk penyerahan dalam negeri dan menggunakan rumus sebagai berikut:
1. Faktur Pajak Keluaran adalah faktur pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak
saat melakukan penjualan terhadap barang kena pajak, jasa kena pajak, dan atau
barang kena pajak yang tergolong dalam barang mewah;
2. Faktur Pajak Masukan adalah faktur pajak yang didapatkan oleh PKP ketika
melakukan pembelian terhadap barang kena pajak atau jasa kena pajak dari PKP
lainnya;
3. Faktur Pajak Pengganti adalah penggantian atas faktur pajak yang telah terbit
sebelumnya dikarenakan ada kesalahan pengisian, kecuali kesalahan pengisian
NPWP. Sehingga, harus dilakukan pembetulan agar sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya;
4. Faktur Pajak Gabungan adalah faktur pajak yang dibuat oleh PKP yang meliputi
seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli barang kena pajak atau jasa
kena pajak yang sama selama satu bulan kalender;
5. Faktur Pajak Digunggung adalah faktur pajak yang tidak diisi dengan identitas
pembeli, nama, dan tandatangan penjual yang hanya boleh dibuat oleh PKP
Pedagang Eceran;
6. Faktur Pajak Cacat adalah faktur pajak yang tidak diisi secara lengkap, jelas, benar,
dan/atau tidak ditandatangani termasuk juga kesalahan dalam pengisian kode dan
nomor seri. Faktur pajak cacat dapat dibetulkan dengan membuat faktur pjak
pengganti;
7. Faktur Pajak Batal adalah faktur pajak yang dibatalkan dikarenakan adanya
pembatalan transaksi. Pembatalan juga harus dilakukan ketika ada kesalahan
pengisian NPWP dalam faktur pajak.
Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa tidak ada perubahan dalam PPN
terutang sebelum dan sesudah tax planning. Namun dengan penundaan
pengkreditan Pajak Masukan dapat membuat PPN lebih bayar/kurang bayar
lebih merata dalam setiap masa pajak. Penundaan pengkreditan pajak masukan
dapat mengefisiensi PPN terutang pada bulan Mei dimana sebelumnya
Rp3.272.555 menjadi Rp2.020.705 dan juga pada bulan November yang
semula kurang bayar sebesar Rp10.996.150 menjadi Rp5.214.150.
BAB V
PAJAK KINI DAN PAJAK TANGGUHAN
1. Pajak Kini
Menurut Suandy (2011:97) beban pajak kini (current tax) adalah jumlah pajak yang harus
dibayar oleh wajib pajak. Jumlah pajak kini harus dihitung sendiri oleh wajib pajak
berdasarkan penghasilan kena pajak dikalikan dengan tarif pajak kemudian dibayar
sendiridan dilaporkan dalam surat pemberitahuan (SPT) sesuai dengan peraturan perundang
undangan pajak yang berlaku. Penghasilan kena pajak atau laba fiskal diperoleh dari hasil
koreksi fiskal terhadap laba bersih sebelum pajak berdasarkan laporan keuangan komersial
(laporan keuangan akuntansi).
Koreksi fiskal harus dilakukan karena adanya perbedaan perlakukan atas pendapatan
maupun biaya yang berbeda antara Standar Akuntansi dengan peraturan perpajakan yang
berlaku untuk kepentingan internal dan kepentingan lain wajib pajak dapat menggunakan
standar akuntansi yang berlaku umum, sedangkan untuk penghitungan dan pembayaran pajak
harus berdasarkan peraturan perpajakan,dalam hal ini adalah undang undang pajak
penghasilan dan peraturan lainnya yang terkait. Perbedaan ini dapat dikelompokan menjadi
dua, yaitu beda tetap/beda permanen (Permanent Different) dan beda waktu/sementara
temporer (temporary difference).
Oleh karena itu perbedaan antara laba akuntansi dan penghasilan kena pajak mereflesikan
tingkat kebijakan manajemen dalam memanipulasi laba lebih tinggi (Mills dalam effredge,et
al 2008 dalam deviana 2010) maka beban pajak kini yang menunjukan efek dari nilai
perbedaan tersebut beda tetap dan beda waktu digunakan pula sebagai variabel independen
yang akan melengkapi pajak tangguhan dalam mendeteksi manajemen laba. Beban pajak kini
yang dimaksud dalam penelitian ini diperoleh dari beban pajak kini pada peride laporan
keuangan tertentu dibagi dengan total aktiva periode sebelumnya.
2. Pajak Tangguhan
Menurut PSAK 46, Pajak tangguhan adalah saldo akun di neraca sebagai manfaat
pajak yang jumlahnya merupakan jumlah estimasi yang akan dipulihkan dalam periode yang
akan datang sebagai akibat adanya perbedaan temporer antara standar akuntansi keuangan
dengan peraturan perpajakan dan akibat adanya saldo kerugian yang dapat dikompensasi
pada periode mendatang. Menurut PSAK No. 46, pajak tangguhan adalah jumlah pajak
penghasilan untuk periode mendatang sebagai akibat dari perbedaan temporer (waktu) yang
boleh dikurangkan dan sisa kompensasi kerugian. Pajak tangguhan timbul karena perbedaan
saat pengakuan pendapatan atau beban antara peraturan perpajakan (fiskal) dengan standar
akuntansi keuangan (komersial).
Pajak tangguhan terdiri atas Aset pajak tangguhan dan Liabilitas pajak tangguhan.
a. Aset pajak tangguhan
Aset pajak tangguhan akan dihasilkan dari koreksi positif, sedangkan koreksi negatif akan
dihasilkan dari kewajiban pajak tangguhan (Djamaluddin, 2008:58). Untuk membantu
perusahaan di Indonesia menyusun laporan keuangannya, Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) menjadi pedoman. Perusahaan mengikuti Peraturan Perpajakan
sehubungan dengan kepentingan perpajakannya. Variasi tersebut memaksa manajer untuk
membuat laporan keuangan, laporan laba rugi komersial berdasarkan PSAK, dan laporan
laba rugi fiskal berdasarkan peraturan perpajakan. Menurut Amanda (2015), “Perbedaan
tersebut menimbulkan dua jenis perbedaan, yaitu perbedaan temporer dan perbedaan
permanen, dalam konteks akuntansi pajak penghasilan.”
b. Liabilitas pajak tangguhan
Liabilitas pajak tangguhan adalah jumlah pajak penghasilan yang terutang untuk periode
mendatang sebagai akibat dari perbedaan temporer kena pajak (Purba, 2009:35).
Peraturan perpajakan ini mewajibkan pelaku usaha melakukan koreksi fiskal (permanent
difference) karena terdapat perbedaan konsep penghasilan, cara mengukur penghasilan,
konsep biaya, cara mengukur biaya, dan alokasi biaya antara Standar Akuntansi
Keuangan (SAK) dan Peraturan Perpajakan.
Perbedaan antara laba komersial dan laba kena pajak (perbedaan buku-pajak) dapat
mengungkapkan rincian tentang kebebasan pilihan manajemen selama proses akrual. Koreksi
fiskal, yang bisa positif dan negatif, inilah yang disebut perbedaan.
1. Beda Permanen
Beda permanen adalah perbedaan yang disebabkan oleh adanya perbedaan pengakuan
pendapatan dan beban antara Standar akuntansi dan peraturan perpajakan. Perbedaan ini
akan mengakibatkan perbedaan besarnya laba bersih sebelum pajak dengan laba fiskal
atau penghasilan kena pajak.
2. Beda temporer
Beda Temporer adalah perbedaan yang disebabkan adanya perbedaan waktu dan metode
pengakuan penghasilan dan beban tertentu berdasarkan Standar Akuntansi dengan
peraturan perpajakan. Pebedaan ini mengakibatkan perbedaan waktu pengakuan
pendapatan dan beban antara tahun pajak yang satu keberikutnya.
Data yang diperoleh dari laporan laba rugi PT. Super Construction tahun 2023 beserta
unsur koreksinya adalah sebagai berikut
Rp
a. Laba Komersial sebelum pajak: 7.000.000.000
b. Koreksi Positif atas
Rp
Beban pemberian natura 260.000.000
Rp
Pendapatan sewa 120.000.000
Rp Rp
Penyusutan bangunan 200.000.000 580.000.000
c. Koreksi Negatif
Rp
Amortisasi 500.000.000
Rp
d. PPh Pasal 25 140.000.000
4. AYAT JURNAL
Rp
PPH BADAN-PAJAK KINI 1.500.400.000
Rp
BEBAN PAJAK TANGGUHAN 75.000.000
Rp
LIABILITAS PAJAK TANGGUHAN 75.000.000
Rp
PPH 25 DIBAYAR DIMUKA 140.000.000
Rp
INCOME TAX ARTICLE 29 PAYABLE 1.360.400.000
4. AYAT JURNAL
Rp
PPH BADAN-PAJAK KINI 1.557.600.000
Rp
BEBAN PAJAK TANGGUHAN 75.000.000
Rp
LIABILITAS PAJAK TANGGUHAN 75.000.000
Rp
PPH 25 DIBAYAR DIMUKA 140.000.000
Rp
INCOME TAX ARTICLE 29 PAYABLE 1.417.600.000
2. Warisan.
Harta warisan yang diterima oleh ahli waris bukan merupakan penghasilan
bagi ahli waris. Tetapi jika harta warisan tersebut menghasilkan penghasilan,
penghasilan tersebut merupakan objek pajak penghasilan.
3. Bagian Laba Yang Diterima atau Diperoleh Anggota dari Perseroan Komanditer
yang Modalnya Tidak Terbagi atas Saham-Saham, Persekutuan, Perkumpulan,
Firma, dan Kongsi, Termasuk Pemegang Unit Penyertaan Kontrak Investasi
Kolektif
Indonesia menganut non-transparent approach. Perseroan komanditer,
perkumpulan, firma, kongsi, dan KIK pengenaan pajak penghasilannya disatukan.
Pemilik dan badan dimaksud dianggap satu kesatuan ekonomi. Sehingga saat
penghasilan sudah dikenakan pajak penghasilan di tingkat badan, maka saat
diterima dikecualikan sebagai objek pajak penghasilan. Penghasilan dari Modal
yang Ditanamkan oleh Dana Pensiun dalam Bidang-Bidang Tertentu.
Pengecualian sebagai Objek Pajak atas ketentuan ini hanya berlaku bagi:
dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari
Menteri Keuangan, dan
penghasilan dari modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
Penanaman modal oleh dana pensiun ditujukan untuk pembayaran kembali
kepada peserta pensiun di kemudian hari. Sehingga penanaman modal tersebut
perlu diarahkan pada bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif atau berisiko
tinggi. Dana pensiun tidak dikenai pajak penghasilan pada saat menerima iuran
dari anggota dan menerima hasil pengembangan dana iuran. Biasanya, dana
pensiun mengembangkan dana iurang dengan menyimpan di deposito bank, atau
simpanan bank lainnya. Atas simpanan ini bank tidak memotong PPh final
sepanjang dana pensiun memiliki SKB.
1. Data Perhitungan Laba Rugi Fiskal PT Super Construction sebelum Tax Planning
Tabel 6.1 Laporan laba rugi 2022 sebelum tax planning
PT SUPER CONSTRUCTION
LAPORAN LABA RUGI
PERIODE 1 JAN S/D 31 DEC 2022
Description Komersial Positif Negatif Fiskal
Beban Usaha
Biaya gaji 4.587.500.000 4.587.500.000
Biaya bonus 2.564.120.000 2.564.120.000
Biaya makan dan minum 168.546.000 168.546.000 -
Biaya pemeliharaan 256.950.000 256.950.000
Beban transportasi 450.450.000 450.450.000
Biaya pembelian pulsa 145.986.000 145.986.000
Amortisasi 345.000.000 500.000.000 845.000.000
Beban pemberian natura 500.000.000 260.000.000 -
Penyusutan 750.000.000 200.000.000 550.000.000
Beban sewa 254.560.000 254.560.000
Biaya perlengkapan kantor 125.840.000 125.840.000
Biaya iklan 245.000.000 245.000.000
Beban listrik telepon 250.000.000 250.000.000
Beban lain lain 105.894.000 105.894.000 -
Total beban 10.749.846.000 10.275.406.000
Laba usaha 5.898.154.000 6.372.594.000
Pendapatan
Pendapatan sewa 545.480.000 145.850.000 399.630.000
Pendapatan jasa arsitektur 406.580.000 406.580.000
Total pendapatan 952.060.000 806.210.000
Laba sebelum pajak 6.850.214.000 7.178.804.000
Selanjutnya berdasarkan PP Undang-undang Republik Indonesia No 1 tahun
2020, menurutkan tarif PPh badan menjadi 22% untuk tahun 2020 dan 2021.
Sehingga diketahui perhitungan nilai PPh Badan yaitu :
Tabel 6.2 Perhitungan PPH badan sebelum tax planning
PPH terutang
Fasilitas 4.800.000.000 1.356.384.074
x 7.178.804.000
25.404.500.000
22%*50%*1.356.384.074 149.202.248
Non fasilitas 7.178.804.000 - 7.178.804.000 5.822.419.926
22%*5.822.419.926 1.280.932.384
Dari tabel 6.3 nilai sebelum perencanaan pajak yaitu 3.600.000 menurut aturan
Keputusan Dirjen Pajak No. KEP.220/PJ/2002 tentang perlakuan pajak
penghasilan atas biaya pemakaian telepon seluler dan kendaraan perusahaan,
bahwa nilai dipotong 50% dibebankan sebagai biaya perusahaan.
3. Melakukan koreksi pada Biaya Lain-lain
Tabel 6.4 Perhitungan koreksi biaya lain lain
Keterangan Komersial Koreksi Setelah tax planning
Biaya lain lain 105.894.000 (105.894.000) -
L/R sebelum pajak 7.072.910.000 7.178.804.000
PPH badan 1.409.038.823 1.430.134.632
Dari tabel 6.4 biaya lain-lain perlu dikoreksi fiskal dikarenakan tidak ada daftar
nominatif sesuai dengan aturan SE-27/PJ.22/1986.
4. Melakukan koreksi pada Biaya Iklan
Tabel 6.5 Perhitungan koreksi biaya iklan
Keterangan Komersial Koreksi Setelah tax planning
Biaya iklan 245.000.000 (245.000.000) -
L/R sebelum pajak 7.072.910.000 7.317.910.000
PPH badan 1.409.038.823 1.457.846.812
Dari tabel 6.5 biaya lain-lain perlu dikoreksi fiskal dikarenakan tidak ada daftar
nominatif sesuai dengan aturan SE-27/PJ.22/1986.
5. Melakukan koreksi pada biaya makan dan minum
Dari tabel 6.1 bahwa biaya makan dan minum dilakukan koreksi fiskal, namun
dalam perencanaan pajak/tax planning pada biaya makan dan minum tidak perlu
dilakukan koreksi fiskal. Berikut rincian tabel perhitungannya :
Tabel 6.6 Perhitungan koreksi biaya makan dan minum
Keterangan Komersial Koreksi Setelah tax planning
Biaya iklan 168.546.000 (168.546.000) -
L/R sebelum pajak 7.072.910.000 6.850.214.000
PPH badan 1.409.038.823 1.375.461.716
Dari tabel 6.6 Biaya makan dan minum tidak perlu dilakukan koreksi fiskal
dikarenakan salah satu bentuk natura karyawan berupa uang makan dan minum
yang nilainya menambahkan gaji karyawan PMK No.167/PMK.03/2018.
6. Menambah biaya pendidikan dan pelatihan SDM
PT Super Construction mengeluarkan biaya pendidikan dan pelatihan sumber
daya manusia sebagai salah satu pengeluaran yang diperkenankan Undang-
undang perpajakan. Selain untuk memperoleh manfaat penurunan hutang pajak
juga untuk lebih mengembangkan sumber daya manusia agar lebih terampil dan
lebih berwawasan dalam bekerja.
Beban Usaha
Biaya gaji 4.587.500.000 4.587.500.000
Biaya bonus 2.564.120.000 2.564.120.000
Biaya makan dan minum 168.546.000 168.546.000
Biaya pemeliharaan 256.950.000 256.950.000
Beban transportasi 450.450.000 450.450.000
Biaya pembelian pulsa 145.986.000 72.993.000 72.993.000
Biaya pelatihan dan pendidikan 680.450.000 680.450.000
Amortisasi 345.000.000 500.000.000 845.000.000
Beban pemberian natura 500.000.000 260.000.000 -
Penyusutan 750.000.000 200.000.000 550.000.000
Beban sewa 254.560.000 254.560.000
Biaya perlengkapan kantor 125.840.000 125.840.000
Biaya iklan 245.000.000 245.000.000 -
Beban listrik telepon 250.000.000 250.000.000
Beban lain lain 105.894.000 105.894.000 -
Total beban 11.430.296.000 10.806.409.000
Laba usaha 5.217.704.000 5.841.591.000
Pendapatan
Pendapatan sewa 545.480.000 145.850.000 399.630.000
Pendapatan jasa arsitektur 406.580.000 406.580.000
Total pendapatan 952.060.000 806.210.000
Laba sebelum pajak 6.169.764.000 6.647.801.000
22%*50%*1.293.114.653 138.166.031
Non fasilitas 6.843.944.000 - 1.293.114.653 5.391.746.175
22%*5.550.829.347 1.186.184.159
Dari hasil perhitungan setelah Tax Planning yaitu 1.324.350.189,- diketahui nilai
selisih dari sebelum tax planning sebesar Rp105.784.443,- sehingga PT Super
Construction menghemat biaya sebesar Rp105.784.443,-
Dilihat pada tabel 6.3 sampai tabel tabel 6.6 terkait biaya perbedaan sebelum dan
sesudah perencanaan pajak yaitu :
1. Biaya Biaya pembelian pulsa CV. Athariz mencatat sebelum perencanaan
pajak dicatat koreksi fiskal atas nilai keseluruhan atas biaya pembelian
pulsa yang seharusnya dicatat nilai 50% dari nilai keseluruhan yaitu senilai
Rp72.993.000,- sesuai dengan nilai setelah perencanaan pajak.
2. Biaya lain-lain pada PT Super Construction sebelum tax planning tidak
dikoreksi fiskal. Namun dikarenakan tidak ada daftar normatif sesuai
dengan aturan SE-27/PJ.22/1986 maka dilakukan dikoreksi fiskal.
3. Biaya makan dan minum dalam hal ini CV. Athariz perlu memahami biaya
makan dan minum termasuk dalam bentuk natura atau sekedar pemberian
makan siang karyawan. Setelah dikoreksi fiskal Biaya makan dan minum
ini salah satu bentuk natura berupa uang yang dimana nilai tersebut
menambahkan gaji karyawan.
4. Biaya pendidikan dan pelatihan pada PT Super Construction sebelumnya
tidak ada kemudian setelah tax planning ditambahkan untuk meningkatkan
dan juga mengembangkan sumber daya manusia yang lebih berawasan
tinggi dan terampil.
5. Biaya iklan pada PT Super Construction sebelum tax planning tidak
dikoreksi fiskal. Namun dikarenakan tidak ada daftar normatif sesuai
dengan aturan SE-27/PJ.22/1986 maka dilakukan dikoreksi fiskal.
Dilihat pada tabel 4.9 terkait Laba sebelum pajak, laba sesudah pajak serta
pembayaran pajak perbedaan sebelum dan sesudah perencanaan pajak yaitu
1. Selisih laba sebelum pajak sebelum dan sesudah dilakukan perencanaan pajak
yaitu senilai Rp531.003.000
2. Selisih laba setelah pajak sebelum dan sesudah dilakukan perencanaan pajak
yaitu senilai Rp636.787.443
3. Selisih Pph Badan yang dibayarkan CV. Athariz sebelum dan sesudah
dilakukan perencanaan pajak yaitu Rp105.784.443,-artinya CV. Athariz telah
melakukan penghematan senilai Rp105.784.443,-
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan data dan analisa yang telah dibahas pada bab sebelumnya
maka bisa disimpulkan yaitu :
1. Setelah dilakukannya tax planning maka kebijakan yang paling baik
dipilih oleh perusahaan adalah PPh pasal 21 ditunjang perusahaan
(Gross Up). Dari perhitungan diatas terlihat bahwa take home
paygross up sama dengan pemberian tunjangan pajak.Namun, dengan
menggunakan metode Gross Up maka perusahaan dapat
membebankan biaya tunjangan pajak sebagai deductible
expensesehingga dapat menggurangi PPh badan perusahaan, sehingga
tidak perlu adanya koreksi
2. Dalam upaya penghematan pembayaran pajak PT. Super Construction
dapat mengajukan API (Angka Pengenal Impor). Jika perusahaan
memiliki API maka bisa mendapatkan tax saving sebesar 5%. Jika
memiliki API maka tarif hanya 2,5% dibandingkan non-API yang
tarifnya mencapai 7,5% dari nilai impor, hal ini dapat menjadi salah
satu upaya PT Super Construction dalam rangka menghemat
pembayaran pajak.
3. Perencanaan pajak yang dilakukan oleh PT Super Construction adalah
dengan menggunakan metode gross up. Metode Gross Up adalah PPh
pasal 23 yang seharusnya menurut Undang-Undang Perpajakan
ditanggung oleh penerima jasa dibebankan kepada pemberi jasa.
4. Perusahaan memperoleh keuntungan dari penerapan tax planning
dengan cara memaksimalkan pengkreditkan pajak masukan terhadap
pajak keluaran menghasilkan keuntungan pada pajak terutang yang
harus dibayar oleh PT Super Construction. Dengan penundaan
pengkreditan Pajak Masukan dapat membuat PPN lebih bayar/kurang
bayar lebih merata dalam setiap masa pajak.
5. PT Super Construction menganut sistem self assetment yaitu
menghitung, membayar dan melaporkan sendiri. Untuk penerapan
pajak PT Super Construction adalah perusahaan yang baru saja
membuka usaha pada tahun 2021, dimana untuk penerapan pajak yang
dilakukan PT Super Construction yaitu mengefesiensi besarnya pajak
yang ditangguhkan semakin kecil. Dilihat dari tabel perbandingan
hasil Interprestasi PT Super Construction perlu memperhatikan
disetiap akun laba rugi dalam melakukan koreksi fiskal, PT Super
Construction belum sepenuhnya melakukan perencanaan pajak.
Namun Dari perencanaan yang dilakukan, PT Super Construction
mengehemat biaya senilai Rp105.784.443,-.
7.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan maka bisa diambil Saran
yaitu :
1. PT Super Construction perlu pemahaman terkait aturan pajak terutama
dalam pemahaman koreksi fiskal positif. Perhatikan dan control biaya-
biaya yang boleh menjadi pengurang penghasilan dan tidak dikoreksi
oleh peraturan pajak sehingga dikemudian hari tidak perlu dilakukan
koreksi fiskal.
2. PT super Construction sebaiknya mengadakan pelatihan perpajakan
secara khusus bagi karyawan staf administrasi hal ini agar bidang
perpajakan dapat ditangani oleh orang yang tepat.
3. PT super Construction sebaiknya melakukan konsultasi dengan
konsultan pajak atau kepada kantor pelayanan pajak atas perencanaan
yang diberlakukan oleh PT super Construction sehingga tidak terjadi
kesalahan dalam perhitungan PPH dan juga biaya dalam laporan.
DAFTAR PUSTAKA
Anhar, Suhfi, 2015, implementasi tax plannning untuk menghemat pajak penghasilan
terutang perusahaan pada PT BUKIT ASAM(PERSERO) TBK, Jurnal.
Zahida, Luluk, analisa tax planning untuk efisiensi pajak penghasilan badan, Jurnal.
Yustina Irene, 2021, analisa tax planning PPH badan dalam upaya optimalisasi pemenuhan
kewajiban perpajakan kewajiban perpajakan pada CV Athariz, Skripsi, Universitas
Bhayangkara.
Nurwati, Syaiful Anwar, 2019, Penerapan tax planning atas witholding tax systems terhadap
pajak penghasilan badan pada PT CAT, Jurnal, Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan.
Andi Rustam, Mira, Ika Sartika, 2019, analisa penerapan perencanaan pajak penghasilan
badan guna meminjamkan pembayarn pajak penghasilan badan pada PT Bumi Sarana Beton,
Jurnal, Universitas Muhammadiyah Makassar.
Melynda Kusviyanti, Nur Lailiyatul Inayah, Kusni Hidayati, 2021, Penerapan Tax Planning
untuk Mencapai Efisiensi Pajak Pertambahan Nilai pada PT. Rahmi Ida Nusantara Surabaya,
Jurnal, Universitas Bhayangkara Surabaya.
Beby Hilda Agustin, Yuyun, Srikalimah, 2023, Evaluasi Tax Planning Guna Meningkatkan
Efisiensi Pajak Pertambahan Nilai (Studi Kasus Pada PT Agrimara Cipta Nutrindo), Jurnal,
Universitas Islam Kadiri.
Resmi, Siti. 2019. Perpajakan: Teori & Kasus. Edisi Sebelas. Buku Satu. Salemba Empat.
Jakarta.