Anda di halaman 1dari 29

PENGUKAPAN PAJAK PENGHASILAN

PASAL 23
ATAS JASA KONSTRUKSI BAGI
PENDAPATAN
CV. SIGMA

SKRIPSI

Oleh
Adevia Putriani
NIM 160810301129

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS JEMBER
2020

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peningkatan perekonomian sangat berpengaruh dalam meningkatkan kesejahteraan
mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau negara dalam pembiayan pembangunan
yaitu dengan menggali sumber dana dari dalam negeri salah satu sumber pembiayaan
pembangunan dalam negeri adalah melalui pajak yang dipungut kepada wajib pajak.
Karena pajak merupakan iuran atau pungutan wajib yang harus dibayar oleh rakyat
(wajib pajak) kepada negara berdasarkan undang-undang, dimana uang pajak tersebut
akan digunakan untuk kepentingan pemerintah dan kesejahteraan masyarakat umum.
Pajak merupakan sumber pendapatan negara yang sangat penting bagi
penyelenggaraan pemerintah dan pelaksanaan pembangunan nasional. Sehingga
pemerintah menempatkan kewajban perpajakan sebagai salah satu pewujudan
kewajiban kenegaraan yang merupakan sarana dalam pembiayaan negara dalam
pembangunan nasional guna tercapainya tujuan negara. Negara Indonesia adalah
Negara Hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Dalam perkembangaannya telah menghasilkan pembangunan
yang pesat dalam kehidupan nasional yang perlu dilanjutkan dengan dukungan
Pemerintah dan seluruh potensi masyarakat. Keberhasilan pelaksanaan pembangunan
memerlukan dana yang tidak sedikit, kebutuhan untuk keberhasilan sifatnya proposional
dan di sesuaikan dengan kebutuhan pembangunan yang sedang dan akan berlangsung.
Kebutuhan akan dana pembangunan dapat diperoleh melalui berbagai cara yang
kesemuanya diharapkan dapat memperkuat sektor keuangan negara dalam hal ini adalah
sektor pajak.
pasal 21 undang-undang Nomr 36 Tahun 2008 tentang perubahan keempat atas
undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan (selanjutnya disebut
undang-undang PPh) mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang
diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri
Judiseno (2018) mengatakan secara umum semua orang memiliki potensi sebagai
penerima penghasilan, entah masih anak-anak, bahkan bayi dan balita, remaja, dewasa
dan orang-orang yang sudah tua, termasuk yang lanjut usia sekalipun. Dari struktur
penerima sektor pajak diketahui bahwa jenis pajak penghasilan merupakan pajak yang
diharapkan sebagai sumber pemasukan yang paling besar dibandingkan jenis pajak yang
lain. Hal ini disebabkan karena potensi objek pajak yang bisa dikenakan PPh lebih besar
dibandingkan objek pajak untuk jenis pajak yang lainnya.
Dari sekian banyaknya wajib pajak, jasa kontruksi merupakan salah satu wajib
pajak menurut UU sehingga wajib untuk melaksanakan kewajiban perpajakan guna
menunjang pembangunan demi peningkatan sarana prasarana. Hal inilah sehingga
semakin banyak pajak yang bias diperoleh dari jasa kontruksi. Sehubung dengan adanya
undang-undang jasa kontruksi dapat dikenai pajak penghasilan nomor 7 tahun 1983
yang diubah terakhir menjadi UU nomor 36 tahun 2008, pada pasal 4 ayat 2 tertera
bahwa penghasilan berupa usaha jasa kontruksi dikenakan tarif final. Oleh karena itu,
perlu berbeda dalam pengenaan pajaknya, kemudian pemerintah menerbitkan PP No. 51
tahun 2008 tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari jasa kontruksi peraturan
inilah yang menjadi dasar hukum pemberlakuan pajak penghasilan jasa kontruksi.
Jasa kontruksi mencakup seluruh pekerjaan yang berlangsung dari tahap awal
hingga tahap akhir suatu bangunan tuntas dikerjakan. Maka, pajaknya dapat dikenakan
mulai dari tahap konsultasi, persiapan pembangunan, dan penyelesaian tahap akhir
bangunan tersebut. Dalam jasa kontruksi ada beberapa istilah yaitu: Jasa kontruksi,
adalah seluruh layanan jasa kontruksi yang mencakup perencanaan pekerjaan kontruksi,
pelaksanaan pekerjaan kontruksi, dan konsultasi pengawasan kontruksi. Pekerjaan
konstruksi, adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegitan perencanaan atau
pelaksanaan beserta pengawasan kontruksi. Yang termasuk dalam lingkup pekerjaan ini
adalah perancangan pembangunan (arsitektural), sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata
lingkungan, baik dalam rangka membangun suatu bangunan maupun bentuk fisik lain.
Pengguna dan penyedia jasa, adalah orang pribadi atau badan yang membutuhkan
layanan jasa kontruksi sementara penyediaan jasa adalah orang peseorangan atau badan
yang aktivitas usahanya menyediakan layanan jasa kontruksi. Nilai kontrak jasa
kontruksi, adalah nilai yang tertera dalam suatu kontrak jasa kontruksi secara
keseluruhan. Sedangkan yang menjadi subjek dan objek pajak adalah wajib pajak dalam
negeri dan bentuk usaha tetap yang memperoleh pendapatan dari usaha dalam bidang
jasa kontruksi.
Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh Pasal 23) adalah pajak yang dikenakan pada
penghasilan atas modal penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah
dipotong PPh Pasal 21. Umumnya penghasilan jenis ini terjadi saat adanya transaksi
antara pihak yang menerima penghasilan (penjual atau pemberi jasa) dan pemberi
penghasilan pihak pemberi penghasilan (pembeli atau penerima jasa) akan memotong
dan melaporkan PPh Pasal 23 tersebut kepada kantor pajak. Prosedur pembayaran dan
pelaporan PPh Pasal 23 diatur secara khusus dalam peraturan perundang undangan
perpajakan. Pembayaran PPh Pasal 23 dilakukan oleh pihak pemotong yang kemudia
menyetorkannya melalui Bnak Persepsi yang telah disetujui oleh Kementerian
Keuangan. Jatuh tempo pembayaran PPh Pasal 23 adalah tanggal 10, sebulan setelah
bulan terutang pajak penghasilan 23, sebelum melakukan pembayaran pajak harus
membuat ID Billing terlebih dahulu.
Penelitian-penelitian terdahulu dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya
adalah sebagai berikut. Penelitian oleh Monica Raditya (2016) tentang evaluasi pajak
penghasilan atas jasa konstruksi yang menyatakan bahwa menunjukkan perhitungan
PPh PT. Concretindo Citra Sarana telah sesuai berdasarkan peraturan pemerintah No. 40
tahun 2009 tentang pajak penghasilan atas jasa konstruksi. PT. Concretindo Citra
Sarana telah melaporkan SPT tahunan ke KPP Tanggerang Timur. Begitu juga dengan
Violencia C.I Kondoy (2016) tentang analisis penerapan pajak penghasilan jasa
konstruksi yang menyatakan tentang penerapan pajak penghasilan di jasa konstruksi
CV. Cakrawala. Victoria Pasari Putri (2018) dalam penelitiannya tentang analisis
hukum pajak terhadap pajak penghasilan atas usaha jasa konstruksi menyatakan
pelaksaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf d dan Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 UU
PPh terkait pemotongan pajak penghasilan usaha jasa konstruksi. Muhammad Rasul
(2015) tentang perlakuan perpajakan untuk usaha bidang jasa konstruksi menunjukkan
tentang kualifikasi dan klasifikasi usaha jasa konstruksi. Lain halnya dengan penelitian
yang dilakukan oleh Yul Yarnita (2013) dalam penelitiannya tentang analisis pajak
penghasilan jasa konstruksi pada PT. Stabilised Pavement INDO menyatakan bahwa
perusahaan dalam membayar pajak yang dikenakan oleh Pemerintah menjadi lebih
besar.
Objek penelitian ini berfokus pada penerpan PPh Pasal 23 atas Jasa Konstruksi
Pada Cv. Sigma. Objek penelitian ini di kantor CV. Sigma yang beralamatkan dijlan
raya Pujer Perumahan Green Palm Residence B16, dessa Sumber Salam, kecamatan
Tenggarang, kabupaten Bondowoso.
Dengan adanya PPh Pasal 23 yang mengatur tentang pajak penghasilan
khususnya di bidang konstruksi menjadi pedoman untuk CV. Sigma dapat menerapkan
PPh Pasal 23. Saat ini PPh Pasal 23 belum sepenuhnya diterapkan. Maka dari itu
peneliti melakukan penelitian dengan judul : “Pelaksanaan PPh Pasal 23 atas Jasa
Konstruksi Pada CV. Sigma Bondowoso”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan rumusan masalah
sebagai berikut:
Bagaimana penerapatan PPh pasal 23 pada jasa konstruksi CV. Sigma
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan PPh pasal 23 pada jasa konstruksi Cv.
Sigma dalam pelaporan pajak terhutang.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan adalah sebagai berkkut:
1. Manfaat Teoritis.
a. Hasil penelitian ini diharapakan dapat berkontribusi dalam pengembangan
studi tentang PPh pasal 23 atas konstruksi.
b. Bahan ini dapat menjadi refrensi dan sebagai bahan perbandingan atau acuan
dalam pengembangan penelitian selanjutnya, khususnya dibidang
perpajakan.

2. Manfaat Praktis
a. hasil penelitian ini diharapkan CV. Sigma dapat menerapkan Pajak
Penghasilan PPh pasal pasal 23.
b. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan mampu jadi acuan dan refrensi serta
menjadi pertimbangan dalam melakukan penelitian.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pajak
2.1.1 Pengertian Pajak
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang , dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari
kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-
sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan
nasional. Sesuai falsafal undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya
merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut
berpatisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiyaan negara dan pembangunan
nasional.
Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak, sebagai pencerminan
kewajiban kenegaraan di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat sendiri
untuk memenuhi kewajiban tersebut. Hal tersebut sesuai dengan sistem self assessment
yang dianut dalam Sistem Perpajakan indonesia. Pemerintah dalam hal ini Direktorat
Jenderal Pajak, sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan,
pelayanan, dan pengawasan. Dalam melaksanakan fungsinya tersebut, Direktorat
Jenderal Pajak berusaha sebaik mungkin memberikan pelayan kepada masyarakat sesuai
visi dan misi Direktorat Jenderal Pajak. Secara umum Pajak adalah pungutan wajiib
yang dibayar rakyat untuk Negara dan akan digunakan untuk kepentingan pemerintah
dan masyarakat umum.
Para ahli yang mendefinisikan pengertian pajak yaitu ( Prof.Dr.Andriani dalam
Waluyo, 2013:2), Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang
terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak
mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah
untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang
menyelenggarakan pemerintah. (Soemitro dalam Resmi, 2014:1), Pajak adalah iuran
rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan
tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan, dan
yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. (Djajadiningrat dalam Resmi,
2014:1), pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan kekas
negara yang disebabkan suatu keadaan , kejadian, dan perbuatan yang memberikan
kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan
pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara
langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum. (Feldamnn dalam Resmi, 2014:2)
pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa
(menurut norma – norma yang ditetapkan secara umum ), tanpa adanya kontrapretasi,
dan semata – mata digunakan untuk pengeluaran – pengeluaran umum.
Ada beberapa jenis Pajak di Indonesia misalnya adalah pajak penghasilan (PPh),
pajak pertambahan nilai (PPn) , pajak bumi dan bangunan (PBB) dan pajak daerah
seperti pajak kendaraan bermotor, pajak hotel, pajak restoran, pajak hburan dan
sebagainya. Besaran pajak pun bervariasi tergantung jenis pajak yang dikenakan.
ja anda dikenai saksi.

2.1.2 Fungsi Pajak


Menurut Siti Resmi (2009:3) terdapat dua fungsi pajak yaitu:
a. Fungsi Budgetair (Sumber Keungan Negara)
Fungsi buggetair adalah pajak berfungsi sebagai salah satu sumber
penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran rutin maupun bangunan.
b. Fungsi regulerend (Mengatur)
Fungsi regulerend adalah sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan
kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi serta mencapai tujuan-
tujuan tertentu di bidang keuangan.

2.1.3 Pajak Penghasilan


Menurut Siti Resmi (2009:8) pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan
terhadap subjek pajak atau penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam satu
tahun pajak. Pajak penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir
dengan Undang-undang Nomor 36 tahun 2008. Dalam pasal 4 ayat (1) Udang-
undang Nomor 36 tahun 2008 disebutkan bahwa penghasilan adalah setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima wajib pajak yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai konsumsi atau untuk
menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam
bentuk apapun.
Dapat disimpulkan bahwa pajak penghasilan adalah konstribusi wajib
kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan atas setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima wajib pajak dalam negeri atau luar negeri
yang dapat dipakai konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak dengan nama
dan bentuk apapun dengan merujuk pada Undang-undang pajak penghasilan
sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Undang-undang
Nomor 36 tahun 2008.

2.2 PPh Pasal 23


2.2.1 Pengertian PPh Pasal 23
PPh Pasal 23 merupakan pajak pemotongan yang dikenakan pada penghasilan
sehubungan dengan penyertaan modal, sewa dan penggunaan harta selain tanah dan
bangunan, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong
PPh Pasal 21. PPh Pasal 23 dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh suatu badan ,
sementara disisi lain, PPh 21 dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh orang
pribadi. Umumnya, penghasilan jenis ini terjadi saat adanya transaksi antara dua pihak,
yaitu:
a. Pihak penerima penghasilan (pemberi jasa) akan dikenakan PPh Pasal 23
b. Pihak pemberi penghasilan (penerima jasa) akan memotong, membayar dan
melaporkan PPh Pasal 23 tersebut ke kantor pajak.

2.2.3 Tarif PPh Pasal 23 dan Objeknya


Tarif PPh 23 dikenakan atas nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau jumlah
bruto dari penghasilan. Ada dua jenis tarif yang dikenakan pada penghasilan yaitu 15%
dan 2%, tergantung dari objek PPh pasal 23 tersebut. Berikut ini adalah daftar tarif dan
objek PPh Pasal 23 :

a. Tarif 15% dari jumlah bruto atas :

 Dividen, kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi dikenakan final,


bunga dan royalti
 Hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh pasal 21

b. Tarif 2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain yang berkaitan dengan
penggunaan harta kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.

c. Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi
dan jasa konsultan.

d. Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa lainnya adalah yang diuraikan dalam
Peraturan Menteri Keuangan No. 141/PMK.03/2015 dan efektif mulai berlaku pada
tanggal 24 Agustus 2015.
f. Bagi Wajib Pajak yang tidak ber- NPWP akan dipotong 100% lebih tinggi dari tarif
PPh Pasal 23.

g. Jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk


dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, tidak
termasuk:

 Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai


imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak
penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan,
berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa
 Pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material (dibuktikan dengan
faktur pembelian)
 Pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya
dibayarkan kepada pihak ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan pihak ketiga
disertai dengan perjanjian tertulis)
 Pembayaran penggantian biaya (reimbursement) yaitu penggantian pembayaran
sebesar jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada
pihak ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan atau bukti pembayaran yang
telah dibayarkan kepada pihak ketiga).

Jumlah bruto tersebut tidak berlaku atas:

 Penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa katering


 Penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa, telah dikenakan pajak
yang bersifat final
 Pembayaran gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain yang
merupakan imbalan atas pekerjaan yang dilakukan wajib pajak penyedia tenaga
kerja kepada tenaga kerja. Hal ini harus dibuktikan oleh kontrak kerja dengan
pengguna jasa dan daftar pembayaran gaji, tunjangan, upah, atau honorarium
 Pembayaran kepada penyedia jasa yang merupakan hasil pengadaan barang atau
material terkait jasa yang diberikan. Hal ini harus dibuktikan oleh faktur
pembelian atas pengadaan barang atau material
 Pembayaran melalui penyedia jasa kepada pihak ketiga. Hal ini harus dibuktikan
oleh faktur tagihan dari pihak ketiga dan disertai dengan perjanjian tertulis
 Pembayaran kepada penyedia jasa yang berupa penggantian atau reimbursement.
Ini berlaku untuk biaya yang telah dibayarkan oleh penyedia jasa kepada pihak
ketiga. Hal ini harus dibuktikan oleh faktur tagihan dan bukti pembayaran.

2.2.4 Pihak pemotong PPh Pasal 23 dan Pihak yang Dikenakan PPh Pasal 23
Tidak semua pihak dapat dikenakan atau pun memotong PPh Pasal 23. Pihak-
pihak tersebut hanya mereka yang masuk pada kelompok berikut ini:

1. Pihak pemotong PPh Pasal 23:

 Badan pemerintah;
 Subjek pajak badan dalam negeri;
 Penyelenggara kegiatan;
 Bentuk Usaha Tetap (BUT);
 Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;
 Wajib pajak orang pribadi dalam negeri tertentu yang ditunjuk Direktur Jenderal
Pajak.  
2. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23: 

 Wajib pajak dalam negeri;


 Bentuk Usaha Tetap (BUT)
3 Jenis Penghasilan yang Dikecualikan PPh Pasal 23
PPh Pasal 23 juga mengatur beberapa penghasilan yang tidak dikenakan pajak
dengan rincian daftar berikut ini:

a.. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank

b. Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak
opsi

c. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP
dalam negeri, koperasi, dan BUMN/BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha
yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia dengan syarat:

 dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan


 bagi perseroan terbatas, BUMN/BUMD, kepemilikan saham pada badan yang
memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor
 bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan,
firma, dan kongsi termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif
 Sisa Hasil Usaha (SHU) koperasi yang dibayarkan koperasi kepada anggotanya
 Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan
yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan.

2.3 Pengertian dan Ruang Lingkup Jasa Kontruksi


2.3.1 Pengertian Jasa konstruksi
Jasa konstruksi merupakan salah satu jasa yang cukup berkembang di Indonesia.
Sebagai dasar pengembangan jasa konstruksi nasional, pemerintah menetapkan UU No.
18 Tahun 1999, Tentang Jasa Konstruksi. Pengertian Jasa Konstruksi menurut UU No.
18 Tahun 1999 pasal 1 ayat 1, yaitu: “Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultasi
perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi
pengawasan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan
konstruksi.” Jasa konstruksi memiliki cakupan kegiatan yang cukup luas dimana
melibatkan dua pihak yang mengadakan hubungan kerja berdasarkan hukum, yakni
pengguna jasa dan penyedia jasa.
Pengertian Pekerjaan Konstruksi pada UU No. 18 Tahun 1999 pasal 1 ayat 2,
yaitu: “Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan
perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan
arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta
kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.” Dalam
melakukan usaha jasa konstruksi, perusahaan jasa konstruksi harus mempunyai Ijin
Usaha Jasa Konstruksi (IUJK). Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.
04/PRT/M/2011 tentang Pedoman Persyaratan Pemberian Izin Usaha Jasa Konstruksi
Nasioanal , izin usaha jasa konstruksi yaitu: “Izin Usaha Jasa Konstruksi yang
selanjutnya disingkat IUJK adalah izin untuk melakukan usaha di bidang jasa konstruksi
yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.” Tujuan utama dari pengadaan IUJK
adalah sebagai fungsi pengaturan yang diharapkan dapat memberikan arah pertumbuhan
dan perkembangan usaha jasa konstruksi, sehingga berguna untuk mewujudkan struktur
usaha yang kokoh, handal, berdaya saing tinggi, dan memiliki hasil pekerjaan yang
berkualitas. Jasa konstruksi mempunyai peranan yang penting dan strategis mengingat
jasa konstruksi menghasilkan produk akhir berupa bangunan atau bentuk fisik lainnya,
baik yang berupa prasaran maupun sarana yang berfungsi mendukung pertumbuhan dan
perkembangan diberbagai bidang. Undang-undang No. 18 tahun 1999 tentang Jasa
Konstruksi membagi jenis usaha konstruksi menjadi 3 bagian yaitu:

a. Perencanaan Konstruksi
Usaha Perencanaan Konstruksi adalah pemberian layanan jasa perencanaan
dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian
dari kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai dengan penyusunan
dokumen kontrak kerja konstruksi, yang dapat terdiri dari: Survei. Studi
kelayakan proyek, industri dari produksi. Perencanaan teknik, operasi dan
pemeliharaan. Penelitian. Usaha ini dilaksanakan oleh perencanaan konstruksi
yaitu Konsultan dan Designer yang wajib memiliki sertifikat keahlian.
b. Pelaksanaan Konstruksi
Usaha Pelaksanaan konstruksi adalah pemberian layanan jasa pelaksanaan dalam
pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari
kegiatan mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil
pekerjaan konstruksi. Usaha ini dilaksanakan oleh pelaksana konstruksi
(kontraktor) yang wajib memiliki sertifikat ketrampilan dan keahlian kerja.
c. Pengawasan Konstruksi
Usaha pelaksanaan Konstruksi adalah pemberian layanan jasa pengawasan baik
keseluruhan maupun sebagian pekerjaan pelaksanaan konstruksi mulai dari
penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan akhir hasil konstruksi, yang
dapat terdiri dari Pengawasan pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan Pengawasan
keyakinan mutu dan ketepatan waktu dalam proses pekerjaan dan hasil
pekerjaan konstruksi.
Ketiga jenis usaha konstruksi di atas dapat berbentuk orang perseorangan atau badan
usaha, akan tetapi jika pekerjaan konstruksi yang akan dikerjakan berisiko
besar/berteknologi tiggi/ yang berbiaya besar makan pekerjaan tersebut hanya dapat
dilakukan oleh badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas atau badan usaha asing
yang dipersamakan. Adapun Perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas
konstruksi yang berbentuk badan usaha harus memenuhi ketentuan tentang perizinan
usaha di bidang jasa konstruksi, memiliki sertifikat, klasifikasi dan kualifikasi
perusahaan jasa konstruksi.

2.3.2 Ruang Lingkup Jasa Konstruksi


Menurut Pasal 9 PP No. 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa
Konstruksi, ruang lingkup jasa konstruksi memiliki klasifikasi dan kualifikasi usaha,
yaitu:
a. Usaha orang perseorangan dan atau badan usaha jasa konsultasi perencanaan dan
atau jasa konsultasi pengawasan konstruksi hanya dapat melakukan layanan jasa
perencanaan dan layanan jasa pengawasan pekerjaan konstruksi sesuai dengan
klasifikasi dan kualifikasi yang ditetapkan oleh lembaga.
b. Usaha orang perseorangan selaku pelaksanaan konstruksi hanya dapat
melaksankan pekerjaan konstruksi sesuai dengan klasifikasi dan kualifikasi yang
ditetapkan oleh lembaga untuk pekerjaan yang berisiko kecil, berteknologi
sederhana, dan berbiaya kecil.
c. Badan usaha jasa pelaksanaan konstruksi yang berbentuk bukan badan hukum
hanya dapat mengerjakan pekerjaan konstruksi sesuai dengan klasifikasi dan
kualifikasi yang ditetapkan oleh lembaga untuk pekerjaan yang berisiko kecil
sampai sedang, berteknologi sederhana sampa madya, serta berbiaya kecil
sampai sedang.
d. Badan usaha jasa pelaksanaan kontruksi yang berbentuk badan hukum dapat
mengerjakan pekerjaan konstruksi sesuai dengan klasifikasi dan kualifikasi yang
ditetapkan oleh lembaga.
e. Untuk pekerjaan konstruksi yang berisiko tinggi dan atau yang berteknologi
tinggi dan atau yang berbiaya besar hanya dapat dilakukan oleh badan usaha
yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) atau badan usaha asing yang
dipersamakan.

2.3.3 Ketentuan Pajak Penghasilan atas Usaha Jasa Kontruksi


Usaha jasa konstruksi memiliki aspek-aspek perpajakan dimana salah satunya
adalah pengenaan pajak penghasilan. Ketentuan perpajakan mengenai jasa konstruksi
mulai tahun 2001 mengikuti ketentuan yang diatur dalam PP No. 140 tahun 2000,
KMK No. 559/KMK.04/2000 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha
Jasa Konstruksi, serta Peraturan DJP No. Per-70/PJ/2007 tentang Jenis Jasa Lain dan
Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (1) dan SE
DJP No. SE-13-PJ.42/2002 tentang pelaksanaan Perlakuan Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi. Dalam keempat peraturan tersebut,
pengenaan pajak penghasilan atas jasa konstruksi debedakan menjadi bersifat Final
dan Tidak Final yang tergantung dari kualifikasi wajib pajak sebagai pengusaha di
bidang jasa konstruksi kecil atau besar.
Pengertian kualifikasi menurut Pasal 1 angka 3 PP No.28 Tahun 2000, yaitu:
“Kualifikasi adalah bagian kegiatan registrasi untuk menetapkan penggolongan usaha
di bidang jasa konstruksi menurut tingkat atau kedalaman kopetensi dan kemampuan
usaha, atau penggolongan profesi ketrampilan dan keahlian kerja orang perseorangan
di bidang jasa konstruksi menurut tingkat atau kedalaman kompetensi dan kemampuan
profesi dan keahlian.” Sedangkan klasifikasi usaha jasa konstruksi menurut pasal 8 PP
No. 28 Tahun 2000, terdiri dari:
a. Klasifikasi usaha bersifat umum yang diberlakukan kepada badan usaha yang
mempunyai kemampuan untuk melaksanakan suatu atau lebih bidang pekerjaan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 PP No. 28 Tahun 2000;
b. Klasifikasi usaha bersifat spesialis yang diberlakukan kepada usaha orang
perserorangan dan atau badan usaha yang mempunyai kemampuan hanya
melaksanakan satu sub bidang atau satu bagian sub bidang sebagaimana
dimaksud dalam pasal 7 PP No. 28 Tahun 2000;
c. Klasifikasi usaha orang perseorangan yang berketrampilan kerja tertentu
diberlakukan kepada usaha orangb perseorangan yang mempunyai kemampuan
hanya melaksanakan suatu ketrampilan kerja tertentu.
Jadi, kualifikasi merupakam penggolongan usaha penyediaan barang dan jasa
baik kecil, menengah, maupun besar. Fungsi dari kualifikasi tersebut adalah untuk
menentukan kemampuan melaksanakan pekerjaan yang ditetapkan oleh Kamar
Dagang Industri (KADIN) dan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK).
Tabel Kualifikasi dan Batasan Kompetensi Usaha Jasa Konstruksi
Golongan Kualifikasi Kompetensi Nilai Pekerjaan
Usaha orang Maksimal 2 s.d Rp100.000.000,00
perseorangan sub bidang
Kecil K3 Maksimal 4 s.d. Rp300.000.000,00
sub bidang
K2 Maksimal 6 s.d. Rp600.000.000,00
sub bidang
K1 Maksimal 8 s.d. Rp1.000.000.000,00
sub bidang

Menengah M Maksimal 10 Rp1.000.000.000,00 s.d.


sub bidang Rp10.000.000.000,00

Besar B2 Maksimal 12 Rp10.000.000.000,00


sub bidang s.d
Rp25.000.000.000,00
B1 Sesuai Rp1.000.000.000,00 s.d.
kemampuan Tidak terbatas
Sumber: Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK)
2.3.4 Dasar Pengenaan Pajak
PPh Final jasa Kontruksi dihitung dengan cara mengalikan tarif tersebut di atas
dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Menurut Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) PMK
Nomor 187/PMK.03/2008, DPP yang digunakan untuk menghitung PPh Final Jasa
Konstruksi adalah:
a. Jumlah Pembayaran, apabila PPh Final jasa konstruksi dikenakan melalui
pemotongan PPh oleh pengguna jasa (pemilik proyek atau owner)
b. Jumlah Penerimaan Pembayaran, apabila PPh Final jasa konstruksi dikenakan
melalui penyetoran sendiri oleh kontraktor yang bersangkutan.
Pasal 4 tersebut hanya menyebutkan kata “jumlah pembayaran” atau kata “jumlah
penerimaan pembayaran” tanpa memberikan embel-embel jasa atau barang (material).
Inilah yang membuat praktisi pajak kemudian berpendapat bahwa DPP untuk jasa
konstruksi adalah total imbalan jasa dan material, sama seperti masa sebelumnya saat
berlakunya PP Nomor 140 Tahun 2000.
2.3.5 Pemotongan PPh oleh Pengguna Jasa
Pembayaran atau pelunasan PPh Final jasa konstruksi dilakukan melalui salah
satu dari dua cara, yakni melalui pemotongan oleh pengguna jasa (owner) atau dengan
cara disetor sendiri oleh si kontraktor (pemberi jasa). Jika pengguna jasa (owner)
berstatus sebagai pemotong PPh, maka pelunasan PPh Final jasa konstruksi dilakukan
melalui pemotongan PPh Final oleh pengguna jasa. Dalam hal ini pengguna jasa wajib
melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Final pada waktu yang telah
ditetapkan.
a. Pemotongan
Pemotongan PPh Final jasa konstruksi dilakukan pada saat pembayaran
(cash basis). Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) PMK Nomor
187/PMK.03/2008. Misalnya pada tanggal 9 Nopember 2012 PT ABC
menerima tagihan dari kontraktor atas proyek pembangunan gedung milik PT
ABC. Kemudian pembayaran tagihan itu dilakukan pada bulan Desember 2012.
Dalam hal ini pemotongan PPh Final jasa konstruksi wajib dilakukan pada bulan
Desember 2012 (bulan pembayaran). Saat pemotongan PPh ini dibuktikan
dengan tanggal yang tercantum dalam Bukti Pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat
(2). Artinya, untuk tagihan tersebut tanggal yang harus tercantum dalam bukti
pemotongan PPh maksimal tanggal 31 Desember 2012. z
b. Penyetoran
Penyetoran PPh Final jasa konstruksi dilakukan paling lambat pada
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah bulan terutangnya PPh Final jasa
konstruksi. Misalnya dalam contoh, PT ABC harus menyetorkan PPh Final jasa
konstruksi tersebut paling lambat pada tanggal 10 Januari 2013. Jika tanggal 10
itu jatuh tepat pada hari libur, termasuk hari Sabtu atau libur nasional, maka
sesuai ketentuan Pasal 3 PMK Nomor 184/PMK.03/2007, penyetoran pajak bisa
dilakukan pada hari kerja berikutnya. Penyetoran PPh Final dilakukan dengan
menggunakan SSP di mana satu SSP digunakan untuk penyetoran seluruh PPh
Final jasa konstruksi yang dipotong di bulan yang bersangkutan.
c. Pelaporan
Pelaporan PPh Final jasa konstruksi dilakukan bersamaan dengan
pelaporan PPh Final lainnya (seperti pemotongan PPh Final sewa
tanah/bangunan, dividen). Pelaporan menggunakan formulir SPT Masa PPh
Pasal 4 Ayat (2) kode formulir F.1.1.32.04 dan disampaikan ke KPP tempat
pemotong PPh terdaftar. Pelaporan harus dilakukan paling lambat tanggal 20
(dua puluh) bulan berikutnya setelah bulan terutangnya PPh Final. Seperti
contoh, PT ABC wajib melaporkan SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat (2) ke KPP
tempatnya terdaftar paling lambat tanggal 20 Januari 2013. Dan jika tanggal 20
itu jatuh tepat pada hari libur, termasuk hari Sabtu maupun libur nasional, maka
pelaporan SPT Masa dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Di dalam
peraturan tidak disebutkan siapa saja yang dimaksud dengan subjek pemotong
PPh, akan tetapi jika kita sandingkan dengan ketentuan umum mengenai potong-
pungut PPh (withholding tax) seperti PPh Pasal 21, 23, 26, 15 dan lainnya, maka
yang dimaksud dengan owner subjek pemotong PPh semestinya meliputi:
1) Badan, lembaga atau institusi pemerintah
2) Subyek Pajak badan dalam negeri termasuk BUT
3) Perwakilan perusahan luar negeri lainnya yang ada di Indonesia
4) Orang pribadi yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak
2.3.6 Pengenaan Pajak Penghasilan Final
Berdasarkan pasal 4 PMK Nomor 187/PMK.03/2008, secara tegas menyatakan
bahwa saat terutangnya PPh Final jasa konstruksi terjadi pada saat pembayaran atau
diterimanya pembayaran (cash basis), bukan pada saat munculnya utang atau piutang
(accrual basis). Pajak Penghasilan atas jasa konstruksi bersifat final dikenakan
terhadap wajib pajak dengan kualifikasi usaha kecil termasuk orang perseorangan
yang mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah). Ketentuan tersebut diatur dalam PP No. 140 Tahun 2000 pasal 1 ayat (2),
yaitu: “Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) yang memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan
sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang, serta yang mempunyai nilai
pengadaan sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), dikenakan pajak
penghasilan bersifat final.”
Tabel Tarif Pajak Penghasilan Final atas Jasa Konstruksi

Jenis Jasa Konstruksi Tarif

Jasa Perencanaan Konstruksi 4% dari jumlah bruto, yang diterima


wajib pajak penyedia jasa perencanaan
konstruksi

Jasa Pelaksanaan Konstruksi 2% dari jumlah bruto, yang diterima


wajib pajak penyedia jasa pelaksanaan
kontruksi

Jasa Pengawasan Konstruksi 4% dari jumlah bruto, yang diterima


wajib pajak penyedia jasa pengawasan
konstruksi

Sumber : PP No. 140 Tahun 2000

Dalam hal ini pemberi penghasilan adalah bukan badan pemerintah, subjek
pajak badan dalam negeri, betuk usaha tetap atau orang pribadi sebagai wajib pajak
dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai pemotong
pajak. Maka wajib pajak menyetor sendiri PPh yang terutang pada saat pembayaran
uang muka dan termin.

2.3.7 Pengenaan Pajak Penghasilan Tidak Final


Pajak penghasilan atas jasa konstruksi bersifat tidak final dikenakan terhadap
wajib pajak penerima jasa konstruksi yang tidak termasuk wajib pajak dengan
kualifikasi usaha kecil termasuk orang perseorangan. Selain itu, pengenaan yang
bersifat tidak final dapat dikenakan juga pada pengusaha kecil berdasarkan sertifikasi
yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang, tetapi nilai pengadaannya lebih besar
dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Hal ini disebutkan di dalam pasal 1 ayat
(1), yaitu: “Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri
dan bentuk usaha tetap dari usaha di bidang jasa konstruksi, dikenakan pajak
penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang pajak penghasilan.” Maka dapat
disimpulkan bahwa secara eksplisit wajib pajak yang dimaksud adalah wajib pajak
dalam negeri tersebut tidak termasuk dalam usaha kecil sehingga dikenakan pajak
penghasilan atas jasa konstruksi bersifat tidak final.
Tabel Perbandingan PPh Tidak Final dengan PPh Final

No. PPh Tidak Final PPh Final

1. PPh dihitung dari penghasilan netto PPh dihitung dari penghasilan bruto
yaitu penghasilan bruto ± biaya- tanpa memperhitungkan biaya-biaya
biaya untuk memperoleh, menagih, untuk memperoleh, menagih, dan
dan memelihara penghasilan memelihara penghasilan.

2. Dikenakan tarif umum progresif Dikenakan tarif dan DPP tertentu


(Pasal 17 UU PPh) diatur dengan PP atau KepMen

3, Jumlah PPh yang dipotong pihak Jumlah PPh yang dipotong pihak lain
lain atau dibayar sendiri dapat atau dibayar sendiri tidak dapat
dikreditkan pada SPT Tahunan dikreditkan pada SPT Tahunan

Sumber: https://www.coursehero.com/file/6473945/Apa-bedanya- pajak-final-


dan-tidak-final/ diakses pada Januari 2016 pukul 19.24

2.3.8 Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 23 Atas Penghasilan Jasa


Konstruksi

Dalam pasal 23 ayat (1) huruf c UU Pajak Penghasilan, dinyatakan bahwa:

“Dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15% dari perkiraan
penghasilan neto atas:1) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta; 2) Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi,
jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong oleh PPh pasal 21.”

Pengenaan pajak atas penghasilan dari imbalan, jasa, dan jasa lain jelas bukan
merupakan hal yang baru. Sejak berlakunya UU No. 7 Tahun 1983 tentang PPh pada
tanggal 1 Januari 1984, sifat atau system pengenaannya dilakukan melalui pemotongan
oleh pihak yang membayar penghasilan. Dalam Pasal 23 syat 1 UU No. 17 Tahun 2000
tentang PPh, dasar pengenaan dibedakan antara penghasilan bruto dan perkiraan
penghasilan neto. Dasar pengenaan PPh Pasal 23 atas penghasilan dari jasa konstruksi
adalah 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto yang ditetapkan dengan
Keputusan Direktorat Jenderal Pajak.

Melalui Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER- 70/PJ/2007, terdapat


tiga jenis pengelompokkan jasa yang dikenakan PPh. Kelompok pertama adalah jasa
teknik, jasa manajemen, jasa konsultasi, kecuali konsultasi konstruksi. Kelompok kedua
ada jasa pengawasan konstruksi dan jasa perencanaan konstruksi. Sedangkan kelompok
ketiga adalah jasa lain. Dalam kelompok jasa lain ini terdapat 26 jenis jasa mulai dari
jasa penilai hingga jasa catering.

Dalam PER-70/PJ/2007 lampiran II disebutkan bahwa perkiraan penghasilan neto


atas jasa pengawasan konstruksi dan jasa perencanaan konstruksi adalah 26 2/3% (dua
puluh enak dua per tiga persen) dari jumlah imbalan yang harus dibayarkan seluruhnya
termasuk pemberian jasa dan pengadaan material/barang tidak termasuk PPN (Pajak
Pertambahan Nilai). Sedangkan untuk perkiraan penghasilan neto atas jasa pelaksanaan
konstruksi adalah 13 1/3% (tiga belas satu per tiga persen) dari jumlah imbalan yang
harus dibayarkan seluruhnya termasuk pemberian jasa dan pengadaan material/barang
tidak termasuk PPN. Dengan kata lain dasar pengenaan atas PPh Pasal 23 atas
penghasilan dari jasa konstruksi adalah dari penghasilan brutonya.

Tabel Tarif PPh Pasal 23 atas Jasa Konstruksi

Jenis Jasa Konstruksi Tarif

Jasa Perencana Konstruksi 4% dari jumlah bruto, tidak termasuk


Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Jasa Pelaksana Konstruksi 2% dari jumlah bruto, tidak termasuk


Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Jasa Pengawasan Konstruksi 4% dari jumlah bruto, tidak termasuk


Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

2.3.9 Penelitian Terdahulu


Penelitian terdahulu sangat penting sebagai dasar dalam pentyusunan penelitian ini.
Manfaatnya adalah untuk mengetahui hasil yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu.
Penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini, antara lain:

Monica Raditya (2016) melakukan penelitian dengan judul Evaluasi Pajak


Penghasilan atas Jasa Konstruksi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Dan
memperoleh hasil yang menyatakan bahwa (1) perhitungan PPh PT. Concretindo Citra
Sarana telah sesuai berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 2009 tentang pajak
penghasilan atas jasa konstruksi. (2) PT. Concretindo Citra Sarana telah melaporkan
SPT tahunan ke KPP Tangerang Timur.

Violencia C.I Kondoy (2016) melakukan penelitian dengan judul Analisis


Penerapan Pajak Penghasilan Jasa Konstruksi pada CV. Cakrawala. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif deskriptif. Dan memperoleh hasil yang menyatakan
CV. Cakrawala didapati bahwa CV. Cakrawala telah dikenai pajak penghasilan pasal 23
atas jasa yang diberikannya di bidang jasa konstruksi sebesar 2% dari jumlah bruto dan
langsung dipotong oleh bendahara ketika CV. Cakrawala menerima pendapatan di
bidang jasa konstruksi.

Muhammad Rasul (2015) melakukan penelitian dengan judul Perlakuan


Perpajakan Untuk Usaha Bidang Jasa Kontruksi. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif. Dan memperoleh hasil yang menyatakan bahwa kepastian hukum dan rasa
keadilan dan menjadi bahan evaluasi bagi pelaku usaha dalam bidang jasa konstruksi.
Yul Yarnita (2016) melakukan penelitian dengan judul Analisis Pajak
Penghasilan Jasa Konstruksi Pada PT.Stabilished Pavement Indo. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif deskriptif. Dan memperoleh hasil yang menyatakan
bahwa perusahaan dalam membayar pajak yang dikenakan oleh Pemerintah menjadi
lebih besar pembayaran oleh perusahaan karena di dalam Undang-undang No.36 Tahun
2008 yang sudah diatur dalam pasal 4 ayat 2 yang sifatnya final dan pasal 23 tentang
imbalan sehubungan dengan jasa konstruksi selain jasa yang telah dipotong pajak
penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21(yang tidak boleh di gabungkan oleh
pajak penghasilan yang tidak final) maka dikenakan tarif sebesar 2% dari jumlah bruto
itu cukup jelas penjelasannya di dalam Undang-undang Pajak Penghasilan.

Nor Hasan (2018) melakukan penelitian dengan judul Kepastian Hukum Pajak
Penghasilan atas Jasa Kontruksi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Dan
memperoleh hasil yang menyatakan pajak penghasilan jasa konstruksi mampu dijawab
dengan interpretasi yang telah memenuhi 3 (tiga) asas dalam contextualism dan asas
preferensi hukum, yaitu asas lex superiori derogat legi inferior maka Pasal 23 UU PPh
lebih unggul dari pada Pasal 3 PP No. 51 Tahun 2008 juncto PP No. 40 Tahun 2009.
Maka pasal 4 ayat (2) hufut d UU PPh yang bersifat final dikenakan pada jasa
konstruksi yang memiliki kualifikasi usaha dan jika tidak memiliki kualifikasi usaha
maka tidak dikenai Pasal 4 ayat (2) huruf d UU PPh, melainkan dikenai Pasal 23 UU
PPh.
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan untuk menganalisis penerapan PPH Pasal 23 pada CV
Sigma adalah penelitian kualitatif. Penelitian Kualitatif menurut Teguh (2005)
merupakan penelitian yang dilkukan untuk menggambarkan sesuatu yang tengah
berlangsung pada saat riset dilakukan atau menggambarkan fenomena-fenomena yang
terjadi disekitar objek penelitian.
Jika dilihat dari karakteristiknya, penelitian ini menggunakan pendekatan studi
kasus. Pendekatan studi kasus merupakan penelitian dengan melakukan eksplorasi
secara mendalam terhadap program, kejadian, proses, aktivitas terhadap satu atau lebih
orang, Creswell (2017). Suatu kasus terikat oleh waktu dan aktivitas, maka penelitian
melakukan pengumpulan data dengan menggunakan berbagai prosedur data dalam
waktu tertentu.

3.2 Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di kantor CV. Sigma yang beralamatkan dijlan raya
Pujer Perumahan Green Palm Residence B16, dessa Sumber Salam, kecamatan
Tenggarang, kabupaten Bondowoso. Objek dari penelitian ini adalah CV. Sigma yang
merupakan penyedia jasa konstruksi.

3.3 Jenis dan Sumber Data


Menurut Meolong (2017: 157) Jenis data yang digunakan pada penelitian adalah
data primer dan data sekunder.
1) Data Primer
Data primer merupakan sumber data penelitian yang dipeoleh secara langsung
dari sumber aslinya yang berupa wawancara dari individu atau kelompok
(orang) maupun hasil observasi dari suatu obyek, kejadian atau hasil pengujian
yang diperoleh dari pihak-pihak dalam CV. Sigma mengenai PPh pasal 23 atas
jasa konstruksi.
2) Data Sekunder
Data Sekunder merupakan data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung
diperoleh oleh peneliti dari subjek penelitiannya. Data sekunder biasanya
berwujud data dokumentasi atau data laporan yang telah tersedia. Data sekunder
umumnya berupa bukti catatan atau laporan tentang perpajakan khususnya PPh
Pasal 23 atas jasa konstruksi di CV. Sigma.

3.4 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumentasi
,wawancara dan obsevasi.
a. Teknik dokumentasi adalah bentuk teknik pengumpulan data dengan
mengumpulkan dan mempelajari data yang telah tersedia mengenai objek yang
akan diteliti. Teknik ini dilaksanakan dengan cara mengolah data perusahaan
khususnya yang berkaitan dengan PPh Pasal 23. Menurut Sugiyono (2017:124)
dokumen adalah catatan tentang peristiwa yang sudah berlalu. Catatan ini bisa
berupa tulisan, gambar, atau karya seseorang.
b. Teknik wawancara pada penelitian ini adalah bentuk pengumpulan data dengan
melakukan tanya jawab secara langsung kepada pihak-pihak yang terkait untuk
mendapatkan informasi secara lebih terperinci mengenai gambaran umum
perusahaan dan juga objek yang akan diteliti. Teknik wawancara juga dapat
digunakan sebagai cross check, jika saat analisis terdapat data, keterangan atau
informasi yang tidak sesuai dengan data perusahaan. Wawancara menurut
Meolong (2017:186) adalah percakapan dengan maksud tertentu, wawancara ini
dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara dan terwawancara.
c. Observasi
Penelitian ini menggunakan penelitian non partisipan, yang mana peneliti hanya
mengamati secara langsung keadaan objek penelitian tetapi tidak aktif dan ikut
terlibat secara langsung. Observasi pada penelitian ini dilakukan tidak hanya
untuk menentukan siapa yang akan di wawancarai, tetapi juga mengamati
penerapan PPH 23 pada CV Sigma.

3.5 Metode Analisis Data


Metode analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada saat
pengumpulan data berlangsung dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode
tertentu. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
data kualitatif, mengikuti konsep yang diberikan oleh Miles dan Huberman (dalam
usman, 2009). Mereka mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif
dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus pada setiap
tahapan penelitian sampai tuntas, data datanya sampai jenuh. Meliputi
pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, pengujian data dan penarikan
kesimpulan. Dimana penulis menganalisis jawaban yang telah dibuat dari hasil
wawancara, observasi dan dokumen-dokumen yang didapat. Dari hasil analisis
tersebut akan ditarik suatu kesimpulan. Etode analisis data dimulai dengan
mengumpulkan data primer yang diperoleh dari hasil wawancara kepada pihak
yang terkait dalam penelitian ini. Kemudian dikembangkan dan dianalisis
berdasarkan data sekunder yang mendukung dalam penelitian ini.
a. Dari Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dari hasil wawancara dan hasil observasi dan kemudian
disesuaikan dengan masalah penelitian dan dilanjutkan dengan penajaman data
melalui pencarian data lanjutan.
b. Reduksi data
Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan
mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-
kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi. Menutut Mantja (2008:169)
reduksi data berlangsung terus-menerus sepanjang penelitian belum diakhiri.
Reduksi data berisi ringkasan dari catatan lapangan, baik dari catatan awal ,
perluasan maupun penambahan.
Reduksi data pada penelitian ini merupakan bentuk analisi yang menajamkan,
mengarahkan, dan membuang data yang tidak perlu.
c. Penyajian Data
Penyajian data disajikan dengan cara menyajikan informasi dalam bentuk tabel,
grafik, matriks dan sejenisnya. Sehingga nantinya dapat ditarik kesimpulan.
Sutopo ( 2008:169) mengemukakan bahwa sajian data berupa narasi, gambar,
jaringan kerja dan table sebagai narasinya. Dalam penelitian ini penyajian data
disajikan dengan dengan cara menyajikan informasi dalam bentuk table, grafik
dan matrik dan sejenisnya sehingga nantinya dapat ditarik kesimpulan.
d. Penarikan Kesimpulan
Setelah data selesai disajikan maka selanjutnya dilakukan penarikan
kesimpulan. Harsono (2008) kesimpulan-kesimpulan juga di diverifikasi selama
penelitian berlangsung. Pada penelitian ini setelah data selesai disajikan maka
selanjutntya akan dilakukan penarikan kesimpulan.

3.6 Uji Keabsahan Data


Pada penelitian digunakan uji keabsahan data dengan menggunakan teknik
triangulasi sumber. Triagulasi sumber merupakan teknik untuk menguji
kredibilitas data yang diperoleh melalui beberapa sumber, Sugiyono (2014:247).
Menurut Creswell data yang diperoleh dari sumber yang berbeda akan menamabha
validitas penelitian. Validitas merupakan derajat ketepatan antara data yang yang
terjadi pada objek penelitian dengan data yang dikaporkan peneliti. Dalam
penelitian ini peneliti membandingkan data hasil wawancara dengan data hasil
pengamatan dan juga dengan dokumen yang berkaitan dengan penelitian ini.

Anda mungkin juga menyukai