2. Hal yang menarik pada materi Fenomena Pemajakan Usaha Jasa Kontruksi ialah semua unit bisnis dituntut untuk berbenah diri agar bisa menjaga kelangsungan usahanya ditengah kompetisi yang semakin tajam dihampir semua sektor. Suatu perusahaan dapat mengungguli kinerja perusahaan lain dengan strategi yang berbeda, misalnya dengan membuat produk serupa dengan harga yang lebih rendah, atau membuat produk yang unik sehingga konsumen bersedia membayar harga premium yang melampaui biaya untuk menciptakan diferensiasi produk tersebut. Dua sumber keunggulan bersaing itu menentukan pendekatan dikotomi terhadap strategi bisnis. 3. Usaha jasa kontruksi adalah salah satu usaha dalam sector ekonomi yang berhubungan dengan suatu perencaan atau pelaksanaan dan atau pengawasan suatau kegiatan kontruksi/infrastruktur untuk membentuk suatu bangunan atau bentuk fisik lain yang dalam pelaksanaan, penggunaan dan pemanfaatan bangunan tersebut menyangkut kepentingan, kebermanfaatan dan keselamatan masyarakat pemakai/pemanfaat bangunan tersebut, tertib pembangunannya serta kelestariannya lingkungan hidup. Pemajakan usaha jasa kontruksi bermula dari pemberlakuan PPh Pasal 4 ayat (2) yang mulai marak sejak tahun 1995, menyusul diberlakuannya UU PPh No. 7 Tahun 1983 dimana pemerintah diberi wewenang yang sangat luas, bahkan ada yang menyebut wewenang itu sebagai cek atau mandat kosong, untuk mengenakan pajak final atas berbagai macam jenis penghasilan, hingga diredam dengan berlakunya UU PPh No. 36 tahun 2008, namun ambivalensi dalam pemajakan usaha jasa kontruksi masih saja terjadi. Perpajakan meliputi pembaruan kebijakan dan administrasi, telah berhasil mendorong peningkatan penerimaan pajak secara signifikan dari tahun ke tahun, meski masih banyak kendala baik dalam administrasi pemungutan pajak , pemeriksaan, keberatan pajak dan keadilan pajak serta kepatuhan wajib pajak, sebagai implikasi dari kebijakan dan administrasi perpajakan itu. Pembaruan kebijakan perpajakan dilakukan antara lain melalui revisi atau amandemen UU PPh, UU PPN, & PPnBM, UU KUP, dan UU Pajak lainnya. ➢ Fenomena keadilan dalam sistem PPh final Usulan PPh final untuk jasa kontruksi mengemuka saat asosiasi Gapeksi (Gabungan Pelaksana Kontruksi Seluruh Indonesia) mengadakan kongres di Surabaya dan disetujui oleh pemerintah. Perlakuan PPh final ini dimaksudkan untuk memebrikan kemudahan dan kesederhanaan dalam menghitung pengenaan Pajak Penghasilan, sehingga tidak emnambah beban administrasi wajib pajak amupun Direktorat Jenderal Pajak, serta memberi kepastian hukum bagi wajib pajak yang bergerak dibidang usaha jasa kontruksi dalam memenuhi kewajiban perpajaknnya. Gayung pun bersambut, pada akhir Desember 1996 terbit peraturan pemerintrah no. 73/1996 tentang PPh atas penghasilan usaha jasa kontruksi dan jasa konsultan untuk seluruh level usaha menetapkan: • Atas imbalan jasa pelaksana kontruksi dikenakan PPh final 2% dari nilai bruto. • Atas jasa perencanaan, pengawasan kontruksi, dan konsultan dikenakan 4%. ➢ Ketentuan tarif umum PPh final jasa kontruksi Ketentuan PPh final jasa kontruksi telah diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh dan PP Nomor 51 Tahun 2008. Tarif PPh yang dikenakan pada usaha jasa kontruksi diberlakukan berdasarkan kepemilikan dan masa berlaku sertifikat badan usaha (SBU) yang dimiliki wajib pajak. ➢ Tarif pajak berdasarkan Sertifikat Badan Usaha Peraturan pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 dapat diterapkan apabila pemenuhan persyaratan pengusaha jasa kontruksi telah mendpatkan izin usaha atau Sertifikat Jasa Kontruksi (SBU) dari lembaga berwenang (LPJ). Berdasarkan sertifikat jasa kontruksi yang telah diperoleh masih berlaku, maka tarif pengenaan pajaknya ditetapkan sebagai berikut: a. 2% untuk pelaksanaan kontruksi yang dilakukan penyedia jasa dengan kualifikasi usaha kecil. b. 4% untuk pelaksanaan kontruksi yang dilakukan penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha. c. 3% untuk pelaksanaan kontruksi yang dilakukan penyedia jasa oleh pengusaha berkualifikasi menengah atau besar.
Apabila Sertifikat Badan Usaha (SBU) sudah tidak berlaku karena alpa atau lalai melakukan registrasi ulang, maka tarif PPh finalnya adalah:
a. 4% untuk jasa pelaksanaan kontruksi
b. 6% untuk jasa pernecaan maupun pengawasan kontruksi
Apabila pengusaha jasa kontruksi tidak memiliki Sertifikat Badan
Usaha (SBU) dari Lembaga Pengembangan Jasa Kontruksi (LPJK), maka pengenaan pajak penghasilan bukan menggunakan tarif PPh final. Tarif PPh yang dikenakan adalah:
a. PPh Pasal 23, apabila pengusaha jasa kontruksi berbentuk
perusahaan atau badan. b. PPh pasal 21, apabila pengusaha jasa kontruksi merupakan orang pribadi. ➢ Ambivalensi pemajakan usaha jasa kontruksi Menurut UU PPh No. 36 Tahun 2008 mengatur pemajakan penghasilan dari jasa kontruksi. Pada pasal 4 ayat 2 dari undang-undang ini menetapkan penghasilan yang dpat dikenai pajak bersifat final, dimana pasal 4 ayat 2 lebih lanjut merinci ragam penghasilan tersebut dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan, usaha jasa kontruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah atau bangunan. Pertimbangan yang mendasari penetapan penghasilan yang dpat dikenai pajak bersifat final antara lain: a. Kesederhanaan dalam pemungutan pajak b. Berkurangnya beban administrasi baik bagi wajib pajak maupun Direktorat Jenderal pajak c. Pemerataan dalam pengenaan pajaknya d. Memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter, atas penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya. Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan diatur dengan Peraturan Pemerintah. ➢ Tata cara pemotongan Jika melakukan pemotongan PPh ada dua hal yang harus diperhatikan: Pertama Jika pengguna jasa merupakan instansi/badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, bentuk usaha tetap, atau wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, maka PPh akan dipotong oleh pengguna jasa ketika pembayaran uang muka dan termin diakukan. Hal berbeda terjadi jika pengguna jasa tidak termasuk dalam kelompok pertama tadi, maka PPh tersebut disetor langsung oleh penerima penghasilan tersebut ketika pembayaran uang muka dan termin dilakukan. Dengan kata lain, penyedia jasa langsung memebayarkan lewat kantor pajak, sementara pengguna jasa akan memperoleh surat pemberitahuan pemotongan PPh tersebut. ➢ Tata cara pembayaran Jika PPh terutang lewat pemotongan dari pengguna jasa, maka penyetoran pajak dibayarkan ke bank persepsi atau kantor pos. tenggat waktu pembayaran ini adalah tanggal 10 bulan berikutnya sesudah akhir masa pajak. Jika PPh terutang dibayarkan oleh penyedia jasa, maka penyetoran dilakukan ke tempat yang sama selambatnya pada tanggal 15 bulan berikutnya sesudah masa pajak berakhir. Kemudian, wajib pajak diharuskan untuk memberitahukan laporan pemotongan atau penyetoran pajak tersebut melalui surat pemberitahuan masa ke Kantor pajak, selambatnya 20 bualn sesudah masa pajak berakhir. 4. Usaha jasa kontruksi adalah salah satu usaha dalam sektor ekonomi yang berhubungan dengan suatu perencaan atau pelaksanaan dan atau pengawasan suatau kegiatan kontruksi/infrastruktur. Dan Usaha jasa kontruksi ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2008, usaha jasa kontruksi termasuk sebagai objek pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) final Pasal 4 ayat (2). Pengenaan pajak pada usaha jasa kontruksi menurut Peraturan pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 dengan tarif 2%, 4%, 3%, 4% dan 6% sesuai ketentuan yang tercantum. Mengenai pemotongan tenggat waktu pembayarannya adalah tanggal 10 bulan berikutnya sesudah akhir masa pajak. Dan tenggat waktu penyetoran selambatnya pada tanggal 15 bulan berikutnya sesudah masa pajak berakhir. Sedangkan untuk pelaporannya pemotongan atau penyetoran pajak tersebut melalui surat pemberitahuan masa ke Kantor pajak, selambatnya 20 bulan sesudah masa pajak berakhir. Peran pajak sangat penting dalam pembiayaan Negara masih perlu ditingkatkan, sebab dibandingkan dengan Negara tetangga tax ratio kita amsih jauh tertinggal, rasio peneriman pajak kita amsih terlalu rendah. Ini hanya bisa dilakukan bila kita tidak berpuas diri dengan kinerja aparatur perpajakan kita, dan terus melakukan evaluasi dan penyempurnaan kebijakan agar pelaksanaan sistem perpajakan yang kondusif dan kompetitif tidak saja menimbulkan kurangnya rasa keadilan dan kepastian hukum bagi wajib pajak, serta mengahmbat upaya meningkatkan kepatuhan perpajakan (tax compliance). 5. Untuk menghadapi dunia bisnis kita harus meningkatkan kualitas produk, membuat produk semenarik mungkin, agar pembeli minat bahkan bisa tertarik untuk membelinya diatas harga pasarnya. Pencapaian efisiensi disemua sektor bisnis adalah kata kunci dari strategi bisnis, termasuk strategi perpajakannya yang harus lebih smart dalam mencermati, menyikapi, dan menyiasati dampak perubahan tersebut dengan memanfaatkan peluang bisnis (income dan cost efficiency termasuk pajaknya) terhadap sustainable growth perusahaan. 6. Referensi: Anwar Pohan, Chairil. 2013. Manajemen Perpajakan : Strategi Perencanaan Pajak Dan Bisnis. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. Analisis penerapan pajak penghasilan jasa kontruksi. CV. Cakrawala