Anda di halaman 1dari 20

MANAJEMEN PERPAJAKAN

TAX PLANNING PPN

Dosen Pengampu : I Gusti Agung Prama Yoga, SE.M.Si,BKP

Disusun oleh :

Sayu Putu Indah Permata Dharma (202033121269)

Desak Nyoman Laksmi Devi (202033121279)

Velomena Indrayani (202033121347)

Kelompok 8
Kelas D6 Akuntansi

Fakultas Ekonomi dan Bisnis


Universitas Warmadewa
2023
A. Pendahuluan
Langkah pembaruan dan penyempurnaan UU PPN No. 8 Tahun 1983 terus
dilakukan pemerintah semenjak tahun 1994, terakhir dengan diterbitkannya Undang-
Undang PPN No. 42 Tahun 2009, yang meningkatkan kepastian hukum dan keadilan
bagi pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Perkembangan transaksi bisnis, terutama
jasa, telah menciptakan jenis dan pola transaksi baru dalam UU PPN, namun sampai
saat ini wajib pajak masih saja menemukan berbagai kendala dalam melaksanakan
UU PPN secara benar. Perusahaan perlu mencermati dan melakukan perencanaan
yang terkait dengan hak dan kewajiban PPN agar terhindar dari sanksi perpajakan
yang bisa terjadi di kemudian hari.
Sejak diterbitkannya UU PPN yang baru, ada beberapa peraturan dari Dirjen
Pajak yang dikeluarkan dan telah mengalami revisi -seperti terlihat di bawah ini yang
mengubah ketentuan mengenai pembuatan kode Faktur Pajak Keluaran, saat terutang
pajak, dan saat pembuatan Faktur Pajak, pelaporan PPN secara manual atau melalui
data elektronik (e-SPT), dan yang disampaikan lewat e-filing, adanya kewajiban
untuk menyampaikan surat pemberitahuan kode cabang atau penandatangan Faktur
Pajak. Banyak faktor yang dapat mengakibatkan Faktur Pajak dianggap cacat, di
antaranya:
 PER-146/PJ./2006 yang telah dirivisi dengan PER 142/PJ./2007 dan
PER-14/PJ/2010 tentang bentuk, isi dan tata cara penyampaian SPT Masa
PPN.
 PER-159/Pj./2006, mengenai saat pembuatan, bentuk, ukuran, pengadaan, tata
cara penyampaian, dan tata cara pembetulan Faktur Pajak Standard.
 PER-29/PJ/2008 yang telah direvisi dengan PER 15/PJ/2010, mengenai
berlakunya formulir 1108 SPT PPN khusus bagi PKP dengan Faktur Pajak
yang jumlahnya baik sebagai Pajak Keluaran maupun sebagai Pajak Masukan
masing-masing tidak lebih dari 30 (tiga puluh) dalam 1 (satu) Masa Pajak.
SPT Masa PPN bentuk Formulir 1108 wajib digunakan bagi PKP yang
menyampaikan SPT dalam bentuk formulir kertas (hard copy). Sedangkan
apabila penyerahannya melebihi 30 penyerahan (ekspor + penyerahan dalam
negeri) dalam satu Masa Pajak, maka WP wajib menyampaikan SPT secara
elektronik.
PPN adalah pajak tidak langsung yang dikenakan atas konsumsi barang/jasa
kena pajak di dalam daerah pabean. Setiap pembelian dan penjualan barang/jasa dari
Pengusaha Kena Pajak dikenai PPN. Sesuai legal karakter dari PPN ini yang bersifat
non kumulatif, maka dalam perlakuan pajak-PPN tidak membolehkan terjadinya pajak
berganda karena konsumen terakhirlah yang harus menanggung PPN ini. Kalau Pajak
Penjualan memang bisa terjadi pajak berganda karena pengena annya bukan bersifat
"multi stage levy". Beda halnya jika pembeli barang adalah pengusaha yang
mengolahnya lebih lanjut atau untuk dijual kembali, maka beban PPN yang
dibayarkan dapat digeser kepada pembeli berikutnya (forward tax shifting). PPN
memiliki karakteristik sebagai pajak tidak langsung yang beban pajaknya bisa digeser
ke konsumen akhir.
PPN juga memiliki karakteristik sebagai pajak objektif yang mengandung
pengertian bahwa timbulnya kewajiban pajak dibidang PPN sangat ditentukan oleh
adanya objek pajak. PPN tidak mempertimbangkan kondisi subjektif dari subjek
pajak. Objek PPN, sebagaimana dijelaskan dalam UU PPN No. 8 Tahun 1983 yang
telah diubah terakhir kalinya dengan UU PPN No. 42 tahun 2009 (Pasal 4 ayat 1,
Pasal 16C dan Pasal 16D) adalah sebagai berikut:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh pengusaha (Pasal 4 ayat 1).
b. Impor Barang Kena Pajak (Pasal 4 ayat 1).
c. Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan
oleh Pengusaha (Pasal 4 ayat 1).
d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean (Pasal 4 ayat 1).
e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Dae- rah
Pabean (Pasal 4 ayat 1).
f. Ekspor Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak
(Pasal 4 ayat 1).
g. Kegiatan membangun sendiri di luar kegiatan usaha atau pekerjaannya yang
digunakan untuk tempat tinggal atau tempat usaha (Pasal 16C).
h. Penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan,
sepanjang PPN pada saat perolehannya dapat dikreditkan. (Pasal 16D).
B. Memaksimalkan Mekanisme Pengkreditan PPN
Perusahaan sebaiknya memperoleh Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
dari Pengusaha Kena Pajak, supaya pajak masukannya dapat dikre- ditkan.
Perusahaan perlu mengamati dengan cermat jangan sampai terdapat pajak masukan
yang belum dikreditkan.
PPN dikenakan atas:
1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang
dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).
2. Impor BKP.
3. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP luar daerah di dalam daerah
pabean.
4. Ekspor BKP oleh PKP.
Pajak masukan yang dapat dikreditkan adalah:
 Pajak masukan yang berhubungan langsung dengan produksi, distri- busi,
pemasaran, dan manajemen atas BKP/JKP dan faktur pajaknya adalah faktur
pajak standar atau dokumen yang disamakan dengan faktur pajak standar.
Pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan:
1. Sebelum dikukuhkan menjadi PKP.
2. Faktur Pajak sederhana.
3. Faktur Pajak cacat (tidak diisi lengkap, ada coretan/hapusan).
4. Pajak masukan atas pembelian mobil sedan, jeep, station wagon, van, dan
combi.
5. Pajak masukan berkaitan dengan produksi BKP/JKP.
6. Pajak masukan yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan kegiatan
usaha atas BKP.
7. Pajak masukan yang dilaporkan pada SPT masa PPN, yang ditemukan pada
saat pemeriksaan atau yang ditagih melalui SKP.
Pajak masukan yang belum dikreditkan dengan pajak keluaran pada masa
pajak yang sama, dapat dikreditkan pada masa pajak berikutnya, selambat-lambatnya
pada bulan ketiga setelah berakhirnya tahun buku yang bersangkutan, sepanjang
belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
Mekanisme Pengkreditan dan Pelaporan PPN
Pengenaan PPN berdasar Sistem Faktur sehingga setiap penyerahan BKP/JKP
yang dilakukan Pengusaha Kena Pajak harus dibuatkan Faktur Pajak. Mekanisme
penggeseran PPN dilakukan melalui pemungutan kembali PPN dari pembeli
berikutnya. Jika jumlah PPN yang dipungutnya lebih besar dan PPN yang telah
dibayar pada saat perolehannya, maka kelebihannya harus disetorkan ke kas negara.
Mekanisme ini sering disebut dengan Indirect Substraction Method (PK-PM).
Pajak Keluaran adalah PPN terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha
Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena
Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud, dan atau ekspor Jasa Kena Pajak. Pajak Masukan adalah Pajak
Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena
perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak dan atau
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan atau
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan atau impor Barang Kena
Pajak.
Jika PK > PM, maka selisihnya merupakan PPN yang harus dibayar. Jika PK
< PM, maka selisihnya merupakan kelebihan bayar PPN yang bisa dikompensasi
dengan Masa Pajak berikutnya atau dimintakan kembali (restitusi). PPN yang dibayar
atas perolehan barang, bukan hanya PPN atas harga barang tersebut, tetapi termasuk
juga PPN yang dibayar atas jasa angkutan, kemasan, biaya pemasaran, biaya
manajemen, dan sebagainya yang semuanya boleh diperhitungkan dengan PPN yang
dipungut dari pembeli berikutnya (Pajak Keluaran).
Secara umum mekanisme pengkreditan Pajak Masukan diatur dalam Pasal 9
UU Nomor 42 Tahun 2009 itu adalah:
a. Pajak Masukan dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang
sama.
b. Apabila terdapat Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum
dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat
dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah
berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan, sepanjang belum dibebankan
sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
c. Jika dalam suatu Masa Pajak belum ada Pajak Keluaran, maka Pajak Masukan
tetap dapat dikreditkan.

C. Faktur Pajak
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat PKP yang melakukan
penyerahan BKP atau JKP, atau bukti pungutan pajak karena impor BKP yang
digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Dari definisi di atas, beberapa poin penting yang dapat dicatat adalah:
1. Faktur Pajak hanya boleh dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak.
2. Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh PKP atau
karena impor BKP yang digunakan oleh DJBC.
3. PPN yang dipungut berfungsi sebagai Pajak Keluaran bagi penjual dan Pajak
Masukan bagi pembeli.
PKP perlu memperhatikan tata cara pembuatan pembuatan Faktur Pajak agar
tidak dikenai sanksi perpajakan. Keterlambatan atau kekeliruan dalam pembuatan
Faktur Pajak dapat dikenakan sanksi 2% dari DPP sesuai dengan Pasal 14 ayat (4) UU
KUP. Secara umum, Faktur Pajak dapat dibagi menjadi tiga:
1. Faktur Pajak
2. Faktur Pajak Gabungan
3. Dokumen tertentu yang dipersamakan dengan Faktur Pajak (lihat juga
SE_No.43/PJ/2010 dan PER-14/PJ/2010)
Saat Pembuatan Faktur Pajak
a. Untuk meringankan beban administrasi wajib pajak, saat yang tepat untuk
membuatan Faktur Pajak adalah pada saat terutangnya pajak, yaitu pada saat
penyerahan atau dalam hal pembayaran mendahului penyerahan maka Faktur
Pajak dibuat pada saat pembayaran. Dengan. pengaturan ini, Wajib Pajak tidak
perlu lagi membuat faktur pen- jualan (invoice) yang berbeda dengan Faktur
Pajak.
b. Untuk membantu likuiditas Wajib Pajak, saat penyetoran PPN dan pelaporan
SPT Masa PPN diperlonggar menjadi paling lambat akhir bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
c. Faktur Pajak Gabungan merupakan Faktur Pajak yang harus dibuat paling
lambat pada akhir bulan penyerahan BKP dan atau JKP.
Untuk meringankan beban administrasi, Pengusaha Kena Pajak diperkenankan
membuat Faktur Pajak gabungan paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang
Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak, meskipun di dalam bulan
penyerahan telah terjadi pembayaran baik sebagian maupun seluruhnya.
Penundaan Pembuatan Faktur Pajak
 Dalam hal penjualan BKP/JKP yang pembayarannya belum diketahui,
pembuatan faktur pajak bisa ditunda sampai akhir bulan berikutnya setelah
penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Dalam kaitan dengan
saat pembuatan Faktur Pajak, makin lambat PKP membuat Faktur Pajak, maka
akan lebih baik karena PKP tidak perlu menalangi pembayaran PPN.
 Berkaitan dengan hal ini, sebaiknya PKP penjual dalam menentukan syarat
pembayaran yang ideal, yaitu tidak lebih 45 hari setelah penyerahan BKP atau
JKP (penerbitan invoice). Jika pembayaran baru diterima PKP setelah lewat
waktu 45 hari berarti bahwa PKP penjual akan menalangi pembayaran PPN ke
Kas Negara.

D. Saat Terutang PPN


Sesuai Peraturan Menkeu No. 240/PMK.03/2009, saat terutangnya PPN
ditetapkan sebagai berikut:
 Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat
penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak meskipun pembayaran
atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima atau
pada saat impor Barang Kena Pajak. Saat terutangnya pajak untuk transaksi
yang dilakukan melalui electronic commerce tunduk pada ketentuan ini.
 Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau
sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak, atau dalam hal pembayaran dilakukan
sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya pajak adalah pada
saat pembayaran.
Dalam melakukan perencanaan pajak, penentuan saat terutangnya pajak sangat
penting diperhatikan mengingat pengaruhnya terhadap cash flow perusahaan. PPN
dan PPn BM yang terutang dalam satu Masa Pajak, harus disetor paling lama akhir
bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum SPT Masa PPN
disampaikan.
E. Batas Waktu Penyetoran PPN dan Pelaporan SPT Masa PPN
Sesuai PER Dirjen Pajak No. 14/PJ/2010, batas waktu penyetoran PPN dan
pelaporan SPT Masa PPN ditetapkan sebagai berikut:
 PPN dan PPn BM yang terutang dalam satu Masa Pajak, harus disetor paling
lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum SPT
Masa PPN disampaikan. Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran bertepatan
dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran dapat
dilakukan pada hari kerja berikutnya.
 SPT Masa PPN harus disampaikan paling lama akhir bulan berikut- nya setelah
berakhirya Masa Pajak. Dalam hal akhir bulan adalah hari libur termasuk hari
Sabtu ntnu hari libur nasional, maka SPT Masa PPN dapat disampaikan pada hari
kerja berikutnya.

Penjagaan terhadap batas waktu penyetoran PPN dan pelaporan SPT Masa PPN ini
sangat penting, karena keterlambatan pelaporan SPT masa PPN tersebut akan dikenai
denda Rp 500.000, sedangkan untuk keterlambatan penyetoran PPN dikenal denda
bunga 2% per bulan dari PPN yang terutang.

F. Memaksimalkan Fasilitas di Bidang PPN


Sejak diberlakukannya UU Nomor 36 Tahun 2008, fasilitas di bidang PPN
yang dikenal dalam ketentuan PPN adalah PPN Tidak Dipungut, PPN Dibebaskan,
dan PPN ditanggung pemerintah. Bagi PKP yang mendapatkan fasilitas PPN Tidak
Dipungut, PPN Masukan yang berhu- bungan dengan perolehan BKP/JKP tetap dapat
dikreditkan, sedangkan bagi PKP yang mendapatkan fasilitas PPN dibebaskan, PPN
Masukan yang berhubungan dengan perolehan BKP/JKP tidak dapat dikreditkan.
Fasilitas yang berkaitan dengan PPN adalah:
1. Fasilitas PPN tidak dipungut
2. Fasilitas PPN dibebaskan
3. Fasilitas PPN ditanggung pemerintah

Dalam perencanaan pajak, memaksimalkan pemanfaatan fasilitas tersebut


akan memberi dampak pada berkurangnya jumlah yang harus dibayar oleh pembeli
terhadap barang yang dibeli dari penjual minimal 10% dari harga jual, dan sebaliknya
pemanfaatan tersebut akan mendorong penjual untuk menurunkan harga jualnya
secara proporsional sehingga terjadi suatu keseimbangan pasar yang baru dari produk
yang bersangkutan akibat dari efisiensi harga yang diperoleh. Memaksimalkan
fasilitas tersebut akan mendorong pembentukan harga barang di pasar lebih murah
sehingga bisa dijangkau oleh masyarakat, omzet penjualan akan meningkat yang
bermuara pada perolehan profit dan setoran pajak juga akan lebih besar.

1) Fasilitas PPN tidak dipungut berlaku untuk:


a. Atas impor barang, pemasukan BKP, pengiriman hasil produksi, pengeluaran
barang, penyerahan kembali BKP, peminjaman mesin, pemasukan Barang
Kena Cukai (BKC) ke dan atau dari Kawasan berikat atau EPTE (PP 33
Tahun 1996 jo. PP 43 Tahun 1997jo. PP 32 Tahun 2009 KMK
291/KMK.01/1997 jo. KMK 101/KMK.04/2005
b. Peraturan Menkeu No. 121/PMK.03/2009 tentang Pemanfaatan BKP tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean, penyerahan BKP dan atau penyerahan JKP
oleh kontraktor utama dan atau subkontraktor sehu- bungan dengan
pelaksanaan proyek pemerintah untuk rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah
dan kehidupan masyarakat provinsi Nang- groe Aceh Darussalam dan
Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara pasca bencana alam gempa bumi
dan tsunami yang dibiayai dengan hibah luar negeri yang pelaksanaannya
belum selesai sampai dengan tanggal 31 Maret 2009
2) Fasilitas PPN Dibebaskan (PP 146 Thn 2000 jo. PP 38 Thn 2003) a. Barang
Kena Pajak Tertentu yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai
1) Impor dan atau penyerahan BKP Tertentu:
a) Senjata, amunisi, alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air,
alat angkutan di udara, alat angkutan di darat, kendaraan lapis baja, kendaraan
patroli, dan kendaraan angkutan khusus lainnya, serta suku cadangnya yang
diimpor oleh Departemen Pertahanan, TNI, Polri atau oleh pihak lain yang
ditunjuk oleh Departemen Pertahanan, TNI atau Polri untuk melakukan impor
tersebut, dan komponen atau bahan yang belum dibuat di dalam negeri,
yangdiimpor oleh PT (Persero) Pindad, yang digunakan dalam pem. buatan
senjata dan amunisi untuk keperluan Departemen Perta- hanan, TNI atau
Polri).
b) Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan Program Pekan Imunisasi
Nasional (PIN).
c) buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama,
kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan
penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penang- kap ikan, kapal
tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau keselamatan
manusia yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga
Nasional, Perusahaan Penang- kapan Ikan Nasional, Perusahaan
Penyelenggara Jasa Kepelabuh- an Nasional atau Perusahaan Penyelenggara
Jasa Angkutan Su- ngai, Danau, dan Penyeberangan Nasional, sesuai dengan
kegiatan usahanya.
d) Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan
atau alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan
yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Ang. kutan Udara Niaga
Nasional, dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan
pesawat udara yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh Perusahaan
Angkutan Udara Niaga Nasional yang digunakan dalam rangka pemberian
jasa perawatan atau reparasi pesawat udara kepada Perusahaan Angkutan
Udara Niaga Nasional.
e) Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau
pemeliharaan serta prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT (Persero)
Kereta Api Indonesia, dan komponen atau bahan yang diimpor oleh pihak
yang ditunjuk oleh PT (Persero) Kereta Api Indonesia, yang digunakan untuk
pembuatan kereta api, suku cadang, peralatan untuk perbaikan atau
pemeliharaan, serta prasa- rana yang akan digunakan oleh PT (Persero) Kereta
Api Indo- nesia.
f) Peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh Departe-
men Pertahanan atau TNI untuk penyediaan data batas dan photoudara
wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan untuk mendukung
pertahanan Nasional, yang diimpor oleh Departemen Pertahanan, TNI atau
pihak yang ditunjuk oleh Departemen Pertahanan atau TNI.

b. Barang Kena Pajak Tertentu yang atas penyerahannya dibebaskan dari


pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah:

1) Rumah sederhana, rumah sangat sederhana, rumah susun sederhana,


pondok boro, asrama mahasiswa dan pelajar serta perumahan lainnya, yang
batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mende- ngar
pertimbangan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah.
2) Senjata, amunisi, alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat
angkutan di udara, alat angkutan di darat, kendaraan lapis baja, kendaraan
patroli dan kendaraan angkutan khusus lainnya, serta suku cadangnya yang
diserahkan kepada Departemen Pertahanan, TNI atau Polri, dan komponen
atau bahan yang diperlukan dalam pem- buatan senjata dan amunisi oleh PT
(Persero) Pindad untuk keper- luan Departemen Pertahanan, TNI atau Polri.
3) Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan Program Pekan Imunisasi Nasional
(PIN).
4) Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama.
5) Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal
angkutan penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan,
kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pela- yaran atau
keselamatan manusia yang diserahkan kepada dan diguna- kan oleh
Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional, Perusahaan Penang- kapan Ikan
Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional atau
Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Da- nau dan
Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya.
6) Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau
alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau peme- liharaan
yang diserahkan kepada dan digunakan oleh PerusahaanAngkutan Udara
Niaga Nasional dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau
pemeliharaan pesawat udara yang diperoleh oleh pihak yang ditunjuk oleh
Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang digunakan dalam rangka
pemberian jasa perawatan atau reparasi Pesawat Udara kepada Perusahaan
Angkutan Udara Niaga Nasional.
7) Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau
pemeliharaan serta prasarana yang diserahkan kepada dan digunakan oleh
PT (Persero) Kereta Api Indonesia dan komponen atau bahan yang
diserahkan kepada pihak yang ditunjuk oleh PT (Persero) Kereta Api
Indonesia, yang digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang,
peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan, serta prasara na yang akan
digunakan oleh PT (Persero) Kereta Api Indonesia;
8) Peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan untuk penyediaan data
batas dan foto udara wilayah Negara Republik Indonesia untuk mendukung
pertahanan Nasional yang diserahkan kepada Departemen Pertahanan atau
TNI.

c. Jasa Kena Pajak Tertentu yang atas penyerahannya dibebaskandari pengenaan


Pajak Pertambahan Nilai adalah:

1. Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Laut Nasional, Perusahaan


Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan
Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau,
dan Penyeberangan Nasional, yang meliputi:
a. Jasa persewaan kapal.
b. Jasa kepelabuhan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan
jasa labuh.
c. Jasa perawatan atau reparasi (docking) kapal.
2. Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang
meliputi:
a. Jasa persewaan pesawat udara.
b. Jasa perawatan atau reparasi pesawat udara.
3. Jasa perawatan atau reparasi kereta api yang diterima oleh PT (Persero)
Kereta Api Indonesia.
4. Jasa yang diserahkan oleh kontraktor untuk pemborongan ba- ngunan dan
pembangunan tempat yang semata-mata untuk ke- perluan ibadah.
5. Jasa persewaan rumah susun sederhana, rumah sederhana, dan rumah
sangat sederhana.
6. Jasa yang diterima oleh Departemen Pertahanan atau TNI yang
dimanfaatkan dalam rangka penyediaan data batas dan photo udara wilayah
Negara Republik Indonesia untuk mendukung per- tahanan nasional.

Dalam hal Barang Kena Pajak Tertentu yang dibebaskan dari penge- naan PPN
digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindah- tangankan kepada
pihak lain, baik sebagian atau seluruhnya, dalam jangka 5 (lima) tahun sejak saat
impor dan atau perolehan, maka PPN yang dibebaskan wajib dibayar dalam
jangka waktu 1 (satu) bulan sejak Barang Kena Pajak tersebut dialihkan
penggunaannya atau dipindahta- ngankan.

d. Impor dan atau penyerahan BKP Tertentu yang Bersifat Strategis (PP. 12 Tahun
2001 jo. PP 43 Tahun 2002 jo. PP 46 Tahun 2003)

1. Atas impor Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa:

a) Barang modal yang diperlukan secara langsung dalam proses menghasilkan


Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang
Kena Pajak tersebut; barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik, baik
dalam keadaan terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang.

b) Makanan ternak unggas dan ikan dan atau bahan baku untuk pembuatan
makan ternak, unggas dan ikan.

c) Barang hasil pertanian. Hasil pertanian yang dibebaskan dari pengenaan PPN
adalah barang hasil pertanian yang dipetik langsung, diambil langsung atau
disadap langsung dari sumbernya, termasuk hasil pemrosesan yang dilakukan
dengan cara: dikeringkan dengan cara dijemur atau dengan cara lain; dirajang;
diasinkan atau digarami; dibekukan atau didinginkan; dipecah; dicuci atau
disucihamakan; direndam, direbus; disayat, dikupas, dibelah; diperam; digaruk;
dipisahkan dari kulit atau biji atau pelepah; atau dikemas dengan cara sangat
sederhana untuk tujuan melindungi barang yang bersangkutan, yang diserahkan
oleh petani atau kelompok petani.

d) Bibit dan atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehu- tanan,
petemakan, penangkaran, atau perikanan. e) Air bersih yang dialirkan melalui
pipa oleh Perusahaan Air Minum.

Yang dimaksud dengan Perusahaan Air Minum adalah Perusa- haan Air Minum
milik Pemerintah dan atau Swasta. Termasuk dalam pengertian air bersih yang
disalurkan melalui pipa oleh Perusahaan Air Minum yang atas penyerahannya
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah air bersih yang
diserahkan dengan cara lain, seperti penyerahan melalui mobil tangki air.
f) Listrik, kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6.600 watt. g) Makanan
ternak, unggas, dan ikan dan atau bahan baku untuk pembuatan makanan ternak,
unggas, dan ikan.

h) Bibit dan atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehu- tanan,
peternakan, penangkaran, atau perikanan.2. Atas penyerahan Barang Kena Pajak
Tertentu yang bersifat strategis dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai, berupa:

a) Barang modal yang diperlukan secara langsung dalam proses menghasilkan


Barang Kena Pajak, oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang
Kena Pajak tersebut.
b) Makan ternak, unggas, dan ikan dan atau bahan baku untuk pembuatan
makan ternak, unggas, dan ikan.
c) Barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam butir d.1 angka 1 huruf
c, oleh petani atau kelompok petani.
d) Bibit clan atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehu- tanan,
peternakan, penangkaran, atau perikanan.
e) Air bersih yang dialirkan melalui pipa oleh Perusahaan Air Minum.
f) Listrik, kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6600 watt.
G. Sentralisasi Tempat PPN Terutang
Sebelum mengabil keputusan untuk memilih pemusatan tempat terutang, sebaiknya
perusahaan melakukan penelitian dan mempertimbangkan mana cara yang lebih
menguntungkan, apakah dalam pelaporan pajaknya perusahaan memakai sistem
sentralisasi atau desentralisasi. Dalam Pasal IA ayat f UU PPN disebutkan bahwa
penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan
Barang Kena Pajak antar cabang, termasuk dalam pengertian penyerahan Barang
Kena Pajak. Pengecualian dari ketentuan tersebut dengan tujuan untuk memper-
mudah administrasi perpajakan, wajib pajak dengan kriteria tertentu yang memiliki
lebih dari satu tempat untuk melakukan penyerahan BKP/ JKP dapat mengajukan
permohonan Pemusatan/Sentralisasi Tempat PPN Terutang kepada Kanwil DJP
setempat dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang terdaftar di KPP Wajib Pajak besar dapat
melakukan sentralisasi otomatis sesuai dengan KEP-335/ PJ/2002. Dalam hal PKP
tersebut mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha, tempat terutang pajak
untuk seluruh tempat kegiatan usaha tersebut ditetapkan hanya di tempat PKP
dikukuhkan oleh KPP Wajib Pajak Besar.
b. PKP yang memiliki lebih dari satu tempat PPN terurang (selain butir a) dapat memilih
(satu) tempat atau lebih sebagai Tempat Pemu satan PPN Terutang. Dalam hal PKP
memilih 1 (satu) rempat atau lebih sebagai Tempat Pemusatan PPN Terutang, PKP
dimaksud harus menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kantor
Wilayah dengan tembusan kepada Kepala KPP yang wilayah kerjanya meliputi
tempat-tempat PPN terutang yang akan dipusatkan (PER- 19/PJ/2010).

Syarat-syarat pengajuan sentralisasi bagi Pengusaha Kena Pajak yang memiliki lebih dari
satu tempat Pajak Pertambahan Nilai (PER. 19/PJ/2010):

1. Pengusaha Kena Pajak dimaksud harus menyampaikan pemberitahuan secara


tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah dengan tembusan ke- pada Kepala KPP
yang wilayah kerjanya meliputi tempat-tempat PPN terutang yang akan
dipusatkan.
2. Tempat tinggal, tempat kedudukan, atau tempat kegiatan usaha Peng- usaha Kena
Pajak yang berada di Kawasan Berikat; berada di Kawasan Ekonomi Khusus;
mendapatkan fasilitas Kemudahan Impor TujuanEkonomi Khusus; mendapatkan
fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor, tidak dapat dipilih sebagai Tempat
Pemusatan PPN Terutang atau tempat PPN terutang yang akan dipusatkan
3. Pemberitahuan secara tertulis harus memenuhi persyaratan:
a. Memuat nama, alamat, dan NPWP tempat PPN terutang yang dipilih sebagai
Tempat Pemusatan PPN Terutang.
b. Memuat nama, alamat, dan NPWP tempat PPN rerutang yang akan
dipusatkan.
c. surat pernyataan bahwa administrasi penjualan diselenggarakan secara
terpusat pada tempat PPN terutang yang dipilih sebagai Tempat Pemusatan
PPN Terutang.

Sentralisasi tempat terutangnya PPN tersebut pada dasarnya merupa. kan fasilitas
yang bisa dimanfaatkan oleh PKP. Dengan izin sentralisasi, maka akan terdapat
penghematan biaya administrasi dan pengaturan cash flow perusahaan yang lebih
baik dalam melaksanakan hak dan kewajiban di bidang PPN.

H. Memaksimalkan Restitusi PPN


Sebagai subjek PPN, salah satu hak bagi PKP adalah mengkreditkan Pajak
Masukan sesuai dengan ketentuan. Dalam mekanisme indirect substraction method,
PKP hanya membayarkan PPN ke Kas Negara sebesar selisih antara Pajak Keluaran
(PK) dikurangi dengan Pajak Masukan (PM). Penghitungan tersebut dilakukan setiap
bulan.
Apabila dalam suatu Masa Pajak terdapat kelebihan pajak (PM lebih besar dari
PK) maka atas kelebihan pajak tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya
dan dapat direstitusi pada akhir tahun buku, kecuali Wajib Pajak tertentu yang secara
mekanisme PPN akan menga- lami lebih bayar seperti eksporir dan penyalur atau
pemasok pemerintah, diperkenankan untuk restitusi di setiap Masa Pajak.
Dengan pertimbangan untuk membantu likuiditas perusahaan, untuk Wajib
Pajak tertentu yang memiliki risiko rendah dapat diberikan resti- tusi dengan
pengembalian pendahuluan tanpa melalui pemeriksaan terlebih dahulu. Pemeriksaan
dapat dilakukan kemudian bila diperlukan. Sanksi yang dikenakan lebih rendah dari
Undang-Undang KUP yaitu 2% (dua persen) per bulan, kecuali terdapat indikasi
tindak pidana per pajakan, maka sanksi yang berlaku sesuai ketentuan sebagaimana
diatur dalam UU KUP.
Pemilihan restitusi atau kompensasi sangat bergantung pada kondisi masing-
masing WP atau Pengusaha Kena Pajak. Pertimbangan utama dalam menentukan
pilihan tersebut berkaitan dengan biaya pemeriksa an dan opportunity cost yang
timbul dari kelebihan pajak yang ada di negara (time value of money). Yang
dimaksud dengan biaya pemeriksaan adalah biaya yang timbul karena pemeriksaan
berkaitan dengan status lebih bayar, waktu, tenaga dan biaya yang harus dialokasikan
selama proses pemeriksaan berlangsung dalem penyelesaian permohonan restproses
pemeriksaan berlangsung penyelesaian permohonan resistusi. Sedangkan opportunity
cost tercermin dari tingkat bunga deposito yang berlaku. Kriterlanya adalah, jika
opportunity cost lebih besar dibandingkan dengan biaya pemeriksaannya, maka Wajib
Pajak akan cenderung meminta restitusi. Pengusaha yang belum berproduksi tetap
dapat mengkreditkan PPN yang telah dibayar atas pembelian barang modal. Namun
demikian, Pajak Masukan yang telah dikreditkan dan telah diberikan
pengembalianwajib dibayar kembali oleh Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pengusaha
Kena Pajak tersebut mengalami keadaan gagal berproduksi dalam jangka waktu
paling lama 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan Pajak Masukan dimulai.
Kriteria umum bagi manajemen dalam memutuskan perlu tidaknya mengajukan
permohonan restitusi PPN:
1. Bila besarnya PPN yang lebih bayar tersebut cukup signifikan/ material
Jumlahnya. Nilai sekarang dari pencairan akumulasi PPN yang lebih bayar ter-
sebut akan lebih besar manfaatnya saat ini ketimbang harus ditunda
pencairannya di tahun-tahun mendatang, sehingga sebaiknya permohonan
restitusi dilakukan. Makin besar jumlah lebih bayar yang ada dalam SPT Masa
PPN, opportunity cost yang hilang akan makin besar jika tidak direstitusi.
2. Bila kondisi keuangan perusahaan mengalami gangguan cash flow. Restitusi
PPN merupakan salah satu sarana untuk mendapatkan dana segar untuk
memperbaiki posisi cash flow daripada harus mengajukan kredit perbankan.
Kondisi keuangan perusahaan ini juga ikut menen- tukan perlu tidaknya
melakukan restitusi PPN. Jika perusahaan me. miliki cukup banyak cash flow,
maka kebutuhan akan restitusi juga akan menurun.
3. Bila sudah diyakini kesiapan perusahaan untuk diperiksa oleh fiskus. Jika
melihat fakta, sebenarnya tidak semua perusahaan siap untuk diperiksa.
Kesiapan menghadapi pemeriksaan pajak ini dapat dilihat dari:
• Kelengkapan dokumen yang mendukung transaksi bisnis perusa hann
yang akan diperiksa oleh fiskus, seperti kontrak/perjanjian jual
beli/service/sewa; atau PO, faktur penjualan, faktur pajak masukan
dan keluaran, dokumen pendukung, dan buku-buku pencatatan
(pembelian, penjualan, dan lain-lain) yang mendukung transaksi
penjualan dan sebagainya.
• Tersedianya personil atau kuasa pajak perusahaan yang akan mena.
ngani pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh fiskus/KPP.
4. Bila prediksi masa depan pembayaran PPN menunjukkan lebih bayar PPN
 Jika diprediksikan bahwa kelebihan bayar PPN tersebut tidak dapat
dikompensasikan dengan Pajak Keluaran yang akan terutang di masa
yang datang, maka sebaiknya perlu diajukan permohonan restitusi.
 Sebagai tindakan preventif, perlu dilakukan penataan ulang kebi jakan
manajemen mengenai pembelian dan penjualan, dan juga
pembayarannya (terms of payment) untuk menentukan titik kese-
imbangannya agar tidak terjadi kelebihan/kekurangan bayar pajak yang
besar.

Dalam kondisi tertentu perusahaan mungkin memiliki pertimbangan


khusus untuk meminta pengembalian kelebihan bayar PPN. Misalnya,bagi
wajib pajak yang melakukan kegiatan tertentu yaitu ekspor BKP atau yang
melakukan penyerahan BKP atau JKP kepada terpungut PPN, maka
restitusi merupakan hal yang tidak terhindarkan, hanya masalah timing-
nya perlu ada perencanaan yang masak.
DAFTAR PUSTAKA

Pohan, Chairil Anwar. 2015. Manajemen Perpajakan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Anda mungkin juga menyukai