Anda di halaman 1dari 18

PERPAJAKAN II SAP 11

PPN DAN PPN-BM

Disusun Oleh:

Ana Dwiyanti Candra (1607531034)


K. Trianny Putri Mahadewi Lestariningrum T. (1607531133)

Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Udayana


Program Reguler
Tahun Ajaran 2017/2018
PPN DAN PPNBM

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan
nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa
Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN
termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain
(pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak
(konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.

Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang
atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam
perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak
masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya,
sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau
membuat produknya.

Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen. Dasar
hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang
No. 8/1983 berikut revisinya, yaitu Undang-Undang No. 11/1994 dan Undang-Undang No.
18/2000.

Barang tidak kena PPN

• Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya,
meliputi:
1. Minyak mentah.

2. Gas bumi.

3. Panas bumi.

4. Pasir dan kerikil.

5. Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara.

6. Bijih timah, bijih besi, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, dan bijih bauksit.

Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat


Objek Pajak Pertambahan Nilai. Apabila ditinjau dari jenis penyerahan yang menjadi objek
PPN, maka terdapat 6 (enam) jenis PPN. Dari keenam jenis PPN, 2 (dua) jenis di antaranya
dibatasi dengan unsur untuk dapat mengenakan PPN, yaitu PPN Barang dan PPN Jasa.
Unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk dapat dikenakan PPN adalah:

1. adanya penyerahan;
2. yang diserahkan adalah Barang Kena Pajak (BKP);
3. yang menyerahkan adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP);
4. penyerahannya harus di Daerah Pabean, yaitu daerah Republik Indonesia;
5. PKP yang menyerahkan harus dalam lingkungan perusahaan /pekerjaannya terhadap
barang yang dihasilkan.

Penyerahan yang dikenakan PPN meliputi:


1. penyerahan hak karena suatu perjanjian;
2. pengalihan barang karena suatu perjanjian sewa-beli dan perjanjian leasing;
3. penyerahan kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
4. pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma;
5. penyerahan likuidasi atas aktiva yang tujuan semula tidak untuk diperjuabelikan, yang
masih tersisa pada saat pembubaran, sepanjang PPN sewaktu memperoleh aktiva
dapat dikreditkan menurut perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan;
6. penyerahan dari cabang ke cabang lainnya, atau dari pusat ke cabang atau sebaliknya;
7. penyerahan secara konsinyasi.

Menghitung PPN Pajak Masukan Sasaran Pajak Pertambahan Nilai bukan


harga jual atau penggantian, atau nilai impor, atau nilai ekspor, melainkan nilai
tambah atas penyerahan BKP, atau pemberian JKP dan seterusnya. Tetapi untuk
mencari nilai tambah tidak semudah diduga, bahkan sulit, karena antara barang yang
dibeli tidak harus sama dengan barang yang dijual dan faktor lainnya. Untuk
memudahkan dalam perhitungannya maka yang ditunjuk sebagai dasar pengenaan
adalah harga jual untuk PPN Barang, penggantian untuk PPN Jasa, Nilai Impor untuk
impor barang dan sebagainya. Tetapi pelaksanaannya menimbulkan pajak berganda.

Untuk menghindari pemungutan pajak berganda dapat dilakukan beberapa cara,


yaitu:
1. menerapkan kredit PPN atas bahan baku atau bahan pembantu termasuk faktor
produksi lainnya;
2. mencari nilai tambah pada setiap produksi;
3. menerapkan tarif yang berbeda-beda dengan memperhatikan tingkat tahapan produksi
seperti barang jadi, barang setengah jadi dan barang esensial;
4. menentukan dasar pengenaan dengan memperhatikan pertambahan nilainya;
5. menerapkan pemungutan sekali.
Mengkredit Pajak Masukan Yang melatarbelakangi sistem kredit pajak adalah
upaya untuk menghindari pengenaan pajak berganda, sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai bahwa sasaran
pengenaannya adalah pertambahan nilai. Sedangkan untuk menghitung besarnya
pertambahan nilai untuk setiap unit produksi adalah sulit sekali. Oleh karena itu,
untuk memudahkan (menyederhanakan) cara perhitungan pajaknya maka ditetapkan
harga jual sebagai dasar pengenaan, dengan ketentuan bahwa PPN yang terutang dan
telah dibayar sewaktu membeli Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikreditkan
dari PPN yang akan dibayar sewaktu melakukan penjualan Barang Kena Pajak atau
Jasa Kena Pajak.
Meskipun demikian, agar tercegah adanya pengkreditan pajak yang tidak
semestinya, maka tidak setiap pajak masukan dapat dikreditkan, melainkan terbatas
yang telah memenuhi persyaratan.
Melalui sistem pengkreditan pajak masukan tersebut, akan menghasilkan 3
(tiga) alternatif:
1. masih harus membayar PPN, dalam hal pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak
Masukan;
2. terjadi kelebihan pembayaran pajak, dalam hal Pajak Keluaran lebih kecil daripada
Pajak Masukan;
3. tidak kurang bayar dan tidak terjadi kelebihan pembayaran PPN, dalam Pajak
Keluaran sama dengan Pajak Masukan.
4. Latar Belakang Diberlakukannya Pajak Penjualan atas Barang Mewah
5. Setiap pemungutan pajak termasuk pemungutan Pajak Pertambahan Nilai diharapkan
mencerminkan keadilan baik secara horizontal maupun vertikal. Untuk mencapai
sasaran agar pemungutan Pajak Pertambahan Nilai mencerminkan keadilan tersebut
maka diberlakukan pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), di
samping diberlakukan tarif proporsional dan progresif.

MEKANISME PEMBAYARAN PPN


Pembayaran PPN dapat dilakukan dengan cara menitipkan uang pajak kepada
pihak penjual (pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak)
yang telah berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak, atau dengan cara
membayarkannya secara langsung ke negara.
1. Pembayaran PPN dengan Menitipkan Ke Pihak Penjual
Pembayaran PPN dengan cara menitipkan uang pembayarannya kepada pihak penjual,
yaitu pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dan telah
berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak, dilakukan dalam hal terjadi konsumsi
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak oleh siapapun dari pihak penjual atau pihak
yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut. Cara seperti ini
merupakan cara yang paling umum dilakukan dan dikenal dengan mekanisme umum.
Dengan mekanisme ini, pihak penjual atau pihak yang menyerahkan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut akan mendapatkan aliran uang masuk (cash
inflow) berupa Pajak Pertambahan Nilai (Pajak Keluaran). Pajak Keluaran yang telah
diterima dan merupakan cash inflow tersebut, akan disetorkan atau tidak disetorkan ke
negara, tergantung kepada hasil pertandingan antara Pajak Keluaran tersebut dengan
Pajak Masukan atau Cash Outflow. Pembayaran PPN Secara Langsung ke Negara
Mekanisme pembayaran Pajak Pertambahan Nilai dengan cara membayarkan secara
langsung ke negara, dilakukan apabila:
a. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak kepada Instansi Pemerintah, dimana instansi pemerintah tidak menitipkan uang
pembayaran PPN kepada pihak penjual, melainkan langsung menyetorkannya ke
negara;
b. Dalam hal terjadi impor Barang Kena Pajak, dimana pihak yang melakukan impor
akan membayar PPN secara langsung ke negara sebagai bagian dari persyaratan untuk
menebus Barang Kena Pajak yang diimpornya;
c. Dalam hal terjadi pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean, dimana pihak
yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak akan menyetor sendiri PPN yang terutang
dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang berfungsi sebagai Faktur Pajak
Standar;
d. Dalam hal terjadi pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah
pabean, dimana pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud
tersebut akan menyetor sendiri PPN yang terutang dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak yang berfungsi sebagai Faktur Pajak Standar;
e. Dalam hal terjadi kegiatan membangun bangunan yang dilakukan sendiri, apabila
persyaratan-persyaratannya dipenuhi;
f. Dalam hal terjadi penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, apabila persyaratan-persyaratannya dipenuhi;
g. Dalam hal SPT Masa PPN berstatus kurang bayar yang disebabkan oleh jumlah Pajak
Keluaran yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah Pajak Masukan, dimana batas
paling lambat untuk menyetorkan selisihnya (Pajak Keluaran –VS- Pajak Masukan)
adalah pada tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya. Terdapat Pengusaha Kena Pajak
tertentu yang Dasar Pengenaan Pajaknya menggunakan Nilai Lain, artinya jumlah
Pajak Masukannya dianggap (deemed) selalu lebih kecil dibandingkan dengan jumlah
Pajak Keluarannya, sehingga SPT Masa PPN-nya selalu berstatus kurang bayar.
Pajak Pertambahan Nilai

KARAKTERISTIK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI


Sebagai pajak yang dikenakan terhadap kegiatan konsumsi, Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:
1. Pajak Obyektif PPN tergolong sebagai pajak yang obyektif, karena penekanannya
mula-mula kepada obyeknya terlebih dahulu, baru kemudian kepada subyeknya.
Siapapun subyeknya (masyarakat yang mampu maupun yang kurang mampu), akan
dikenakan PPN, selama mereka mengonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak, di dalam daerah pabean. Perlakuan PPN yang sama terhadap semua kelompok
masyarakat inilah, baik yang miskin maupun yang kaya, yang menimbulkan sifat
tidak adil. Kelemahan ini kemudian diatasi dengan pemberian pajak tambahan yaitu
Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) terhadap konsumsi atas BKP tertentu yang
digolongkan oleh pemerintah sebagai BKP mewah, yang umumnya hanya dikonsumsi
oleh golongan masyarakat yang telah mampu secara ekonomi.

Mekanisme Pengkreditan
Setiap akhir masa pajak, Pengusaha Kena Pajak akan melaporkan SPT Masa
PPN yang merupakan tempat untuk mempertandingkan antara Pajak Keluaran dengan
Pajak Masukan. Pajak Masukan menimbulkan aliran uang keluar atau cash outflow,
sedangkan pajak keluaran menimbulkan aliran uang masuk atau cash inflow. Pajak
Masukan merupakan uang muka pajak, sedangkan pajak keluaran merupakan hutang
pajak. Saldo keduanya akan saling dioffset, di dalam SPT Masa PPN, setelah masa
pajak berakhir, dan akan menghasilkan tiga kemungkinan: Pertama, akan
menghasilkan kekurangan pembayaran pajak apabila jumlah Pajak Keluaran atau
Cash Inflow melebihi jumlah Pajak masukan atau Cash Outflow; Kedua, akan
menghasilkan kelebihan pembayaran pajak apabila jumlah Pajak Masukan atau Cash
Outflow melebihi jumlah Pajak Keluaran atau Cash Inflow. Ketiga, akan
menghasilkan jumlah nihil apabila jumlah Pajak Keluaran atau Cash Inflow sama
dengan jumlah Pajak Masukan atau Cash Outflow.
Pemahaman mengenai cash inflow untuk Pajak Keluaran dan Cash Outflow
untuk Pajak Masukan ini menjelaskan mengapa untuk transaksi penyerahan BKP/JKP
kepada Instansi Pemerintah dan ekspor akan menimbulkan kelebihan bayar PPN. Hal
ini dikarenakan Pajak Keluarannya tidak menimbulkan uang masuk (cash inflow),
yang akan bertanding dengan Pajak Masukan yang telah menimbulkan aliran uang
keluar (cash outflow). Tetapi, untuk transaksi-transaksi tertentu yang TIDAK
PERNAH menimbulkan Pajak Keluaran sehingga tidak menimbulkan aliran uang
masuk (zero cash inflow), Pajak Masukannya (cash outflow) juga tidak dapat
dikreditkan, yaitu, pertama, transaksi penyerahan bukan Barang Kena Pajak atau
bukan Jasa Kena Pajak yang tidak terutang PPN. Kedua, transaksi penyerahan Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang mendapatkan fasilitas di bidang PPN, seperti
penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang mendapat fasilitas PPN
dibebaskan, ditunda, ditangguhkan, atau ditanggung pemerintah. Ketentuan ini
dimaksudkan untuk menghindari kelebihan bayar Pajak Pertambahan Nilai.

FAKTUR PAJAK STANDAR CACAT


Faktur pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh pengusaha kena
pajak yang melakukan penyerahan barang kena pajak atau penyerahan jasakena pajak
atau bukti pungutan pajak karena impor barang kena pajak yang digunakan oleh
Direktorat jenderal Pajak. Bagi pengusaha kena pajak (PKP) faktur pajak ini
merupakan bukti dari pemenuhan kewajiban perpajakannya. Bagi pembeli atau
penerima jasa faktur pajak ini digunakan sebagai sarana pengkreditan pajak masukan.
Faktur pajak dapat digunakan sebagai sarana pengkreditan jika faktur pajak tersebut
tidak cacat. Oleh karena itu penting bagi kita untuk mengetahui bilamana faktur pajak
itu dinyatakan sebagai faktur pajak yang cacat. Berikut ini adalah cirri-ciri faktur
pajak standar:
1. Diisi dengan data yang tidak benar
Pengisisan data yang tidak benar bias berupa NPWP salah, nomor seri faktur pajak
yang tidak benar. Data yang tidak benar juga bias karena kesalahan penulisan nama
pembeli atau nama perusahaan yang tercantum dalam faktur pajak.
2. Diisi tidak lengkap
Pengisian faktur pajak standar tidak lengkap karena ada kolom atau barus yang
ternyata tidak diisi kecuali kolom “PPnBM” yang disediakan untuk diisi oleh
pabrikan atau importir Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah. Pengisian
tidak lengkap dapat berupa:
a. Baris “NPWP” pembeli BKP atau penerima JKP tidak diisi
b. “jabatan” penandatangan faktur pajak tidak diisi
c. Pada baris “jumlah harga jual/penggantian/uang muka/termijn” tidak dicoret pada
bagian kalimat yang tidak perlu sebagaimana diminta dalam catatan bagian bawah
sebelah kiri.
d. Tanda tangan menggunakan cap tanda tangan
e. Dalam lampiran II butir 13 Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP-
549/PJ./2000 digariskan bahwa cap tanda tangan tidak diperkenankan dibubuhkan
pada faktur pajak.
3. Pengisian atau pembetulan dilakukan dengan cara yang tidak benar
4. Faktur pajak dibuat melampaui batas waktu yang telah ditentukan
Mengenai batas waktu pembuatan faktur pajak akan dibahas dalam tulisan yang lain
5. Faktur pajak dibuat oleh pengusaha yang belum atau tidak dikukuhkan sebagai
pengusaha kena pajak (PKP)
Berdasarkan pasal 14 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN
1984) orang atau badan yang tidak dikukuhkan sebagai PKP dilarang untuk membuat
faktur pajak. Faktur pajak yang dibuat oleh pengusaha non PKP secara yuridis tidak
sah. Oleh karena itu pajak masukan yang tercantum di dalamnya tidak dapat
dikreditkan leh PKP pembeli atau penerima JKP. Bahkan bagi pengusaha yang belum
dikukuhkan sebagai PKP namun menerbitkan faktur pajak maka menurut Ketentuan
Umum Perpajakan akan dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam pasal 39A
sebagai berikut yang intinya adalah bahwa Setiap orang yang dengan sengaja
menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam)
tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti
pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling
banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

Tarif Pajak Dan Cara Menghitung PPN/PPnBM

1. Tarif PPN adalah 10% (sepuluh persen)


2. Tarif PPn BM adalah serendah-rendahnya 10% (sepuluh persen) dan setinggi-
tingginya 50% (lima puluh persen). Perbedaan kelompok tarif tersebut didasarkan
pada pengelompokan Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah yang atas
penyerahan/impor BKP-nya dikenakan PPn BM.
3. Tarif PPN/ PPn BM atas ekspor BKP adalah 0% (nol persen).
Yang termasuk DPP:
1. Harga jual/ penggantian
Adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh penjual/ pembeli jasa karena penyerahan BKP/ Jasa Kena Pajak (JKP),
tidak termasuk PPN/ PPn BM dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur
Pajak.
2. Nilai Impor
Adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk ditambah
pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan Pabean untuk Impor BKP, tidak termasuk PPN/ PPn BM.
3. Nilai Ekspor
Adalah nilai berupa uang, termasuk semau biaya yang diminta oleh Eksportir.
4. Nilai lain
Adalah nilai yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar
untuk menghitung pajak yang terutang.
Nilai lain tersebut diatur oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor :
642/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994 :
a. Untuk pemakaian sendiri/ pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah harga
jual atau penggantian, tidak termasuk laba kotor
b. Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual
rata-rata;
c. Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film;
d. Untuk persedian BKP yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan
adalah harga pasar wajar;
e. Untuk aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjual belikan yang
masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar;
f. Untuk penyerahan jasa biro perjalanan/ parawisata adalah 10% (sepuluh persen)
dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih;
g. Untuk jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan
atau jumlah yang seharusnya ditagih.
h. Untuk PKP Pedagang Eceran (PE):
1) PPN yang terutang adalah sebesar 10% (sepuluh persen) x harga jual BKP.
2) PPN yang harus dibayar adalah sebesar: 10%x20%x jumlah seluruh barang
dagangan.
i. Jasa anjak piutang adalah 5% dari seluruh jumlah imbalan yang diterima berupa
service charge, provisi, dan diskon.

Cara menghitung PPN:


PPN yang terutang = tarif x DPP
PPN yang terutang merupakan Pajak Keluaran (PK) yang dipungut oleh PKP
penjual dan merupakan Pajak Masukan bagi PKP pembeli.

Contoh:
a) PKP "A" bulan Januari 1996 menjual tunai kepada PKP "B" 100 pasang
sepatu @ Rp.100.000,00 = Rp.10.000.000,00 PPN terutang yang dipungut
oleh PKP"A" 10% x Rp.10.000.000,00 = Rp. 1.000.000,00 Jumlah yang harus
dibayar PKP "B" = Rp.11.000.000,00
b) PKP "B" dalam bulan Januari 1996 :
 Menjual 80 pasang sepatu @ Rp.120.000,00 = Rp. 9.600.000,00
 Memakai sendiri 5 pasang sepatu untuk pemakaian sendiri,
DPP adalah harga jual tanpa menghitung laba kotor, yaitu Rp 100.000,-
per pasang = Rp 500.000,00
PPN yang terutang:
 Atas penjualan 80 pasang sepatu 10% x Rp.9.600.000,00 = Rp
960.000,00
 Atas pemakai sendiri 10% x Rp.500.000,00 = Rp 50.000,00
Jumlah PPN terutang = Rp 1.010.000,00
c) PKP Pedagang Eceran (PE) "C" menjual BKP seharga = Rp.10.000.000,00
Bukan BKP = Rp. 5.000.000,00 Rp.15.000.000,00
PPN yang terutang 10% x Rp.10.000.000,00 = Rp. 1.000.000,00
PPN yang harus disetor 10% x 20% x Rp.15.000.000,00 = Rp. 300.000,00
d) PKP "D" pabrikan yang menghasilkan mesin cuci pakaian. Mesin cuci pakaian
dikategorikan sebagai BKP yang tergolong mewah dan dikenakan PPn BM
dengan tarif sebesar 20%. Dalam bulan Januari 1996 PKP "D" menjual 10
buah mesin cuci kepada PKP "E" seharga Rp.30.000.000,00.
o PPN yang terutang 10% x Rp.30.000.000,00 = Rp 3.000.000,00
o PPn BM yang terutang 20% x Rp. 30.000.000,000 = Rp 6.000.000,00
PPN dan PPn BM yang terutang PKP "D" = Rp. 9.000.000,00
e) PKP "E" bulan Januari 1996 menjual 10 buah mesin cuci tersebut diatas
seharga Rp.40.000.000,00 PPN yang terutang 10% x Rp.40.000.000,00 = Rp.
4.000.000,00
Catatan:
PKP "E" tidak boleh memungut PPn BM, karena PKP "E" bukan pabrikan dan
PPn BM dikenakan hanya sekali.

Tata Cara Pembayaran Dan Pelaporan PPN/PPnBM


Siapa saja yang wajib membayar/menyetor & melaporkan PPN/PPnBM?
1. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
2. Pemungut PPN/PPn BM, adalah:
 KPKN
 Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah
 Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
 Pertamina
 BUMN/ BUMD
 Kontraktor Bagi Hasil dan Kontrak Karya bidang Migas dan Pertambangan
Umum lainnya
 Bank Pemerintah
 Bank Pembangunan Daerah
 Perusahaan Operator Telepon Selular.
Apa saja yang wajib disetor oleh PKP dan pemungut PPN & PPnBM?
1. Oleh PKP adalah:
a. PPN yang dihitung sendiri melalui pengkreditan Pajak Masukan dan
Pajak Keluaran.Yang disetor adalah selisih Pajak Masukan dan Pajak
Keluaran, bila Pajak Masukan lebih kecil dari Pajak Keluaran.
b. PPn BM yang dipungut oleh PKP Pabrikan Barang Kena Pajak (BKP)
yang tergolong mewah.
c. PPN/ PPn BM yang ditetapkan oleh DJP dalam Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan (SKPKBT), dan Surat Tagihan Pajak (STP).
2. Oleh Pemungut PPN/PPn BM adalah PPN/PPn BM yang dipungut oleh
Pemungut PPN/ PPn BM
Dimana tempat pembayaran/penyetoran pajak?
1. Kantor Pos dan Giro
2. Bank Pemerintah, kecuali BTN
3. Bank Pembangunan Daerah
4. Bank Devisa
5. Bank-bank lain penerima setoran pajak
6. Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Khusus untuk impor tanpa LKP
Kapan saat pembayaran/penyetoran PPN/PPnBM?
1. PPN dan PPn BM yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetorkan paling lambat
tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah bulan Masa Pajak.
Contoh: Masa Pajak Januari 1996, penyetoran paling lambat tanggal 15 Pebruari
1996.
2. PPN dan PPn BM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP harus
dibayar/ disetor sesuai batas waktu yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan
STP tersebut.
3. PPN/ PPn BM atas Impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea
Masuk, dan apabila pembayaran Bea Masuk ditunda/ dibebaskan, harus dilunasi
pada saat penyelesaian dokumen Impor.
4. PPN/PPn BM yang pemungutannya dilakukan oleh:
a. Bendaharawan Pemerintah, harus disetor selambat-lambatnya tanggal 7 bulan
takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
b. Pemungut PPN selain Bendaharawan Pemerintah, harus disetor selambat-
lambatnya tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
c. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang memungut PPN/ PPn BM atas Impor,
harus menyetor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan pajak
dilakukan.
5. PPN dari penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleh Badan Urusan Logistik
(BULOG), harus dilunasi sendiri oleh PKP sebelum Surat Perintah Pengeluaran
Barang (D.O) ditebus. Catatan: Apabila tanggal jatuh tempo pembayaran jatuh
pada hari libur, maka pembayaran harus dilaksanakan pada hari kerja berikutnya.

Kapan saat pelaporan PPN/PPnBM ?


1. PPN dan PPn BM yang dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam
SPT Masa dan disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat
selambat-lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
2. PPN dan PPn BM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP yang
telah dilunasi segera dilaporkan ke KPP yang menerbitkan.
3. PPN dan PPn BM yang pemungutannya dilakukan oleh:
a. Bendaharawan Pemerintah harus dilaporkan selambat-lambatnya 14 hari
setelah Masa Pajak berakhir.
b. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai selain Bendaharawan Pemerintah
harus dilaporkan selambat-lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
c. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas Impor, harus dilaporkan secara
mingguan selambat-lambatnya 7 hari setelah batas waktu penyetoran pajak
berakhir.
4. Untuk penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleh BULOG, maka PPN dan
PPn BM dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan
disampaikan kepada KPP setempat selambat-lambatnya 20 hari setelah Masa
Pajak berakhir.
Catatan:
Apabila tanggal jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur, maka pelaporan
harus dilaksanakan pada hari kerja sebelum tanggal jatuh tempo.

Apa sarana yang digunakan untuk melakukan pembayaran/penyetoran pajak?


1. Untuk membayar/menyetor PPN dan PPn BM digunakan formulir Surat
Setoran Pajak yang tersedia gratis di Kantor-kantor Pelayanan Pajak dan
Kantor-kantor Penyuluhan Pajak di seluruh Indonesia.
2. Surat Setoran Pajak menjadi lengkap dan sah bila jumlah PPN/PPnBM
yang disetorkan telah diberi teraan oleh: Bank, Kantor Pos dan Giro, atau
Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai penerima setoran.
PPNBM
PPnBM merupakan jenis pajak yang merupakan satu paket dalam
Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai. Namun demikian, mekanisme
pengenaan PPnBM ini sedikit berbeda dengan PPN. Berdasarkan Pasal 5
Ayat (1) Undang-undang PPN, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
dikenakan terhadap:
1. penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang
dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak
Yang Tergolong Mewah di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha
atau pekerjaannya;
2. impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah.
Dengan demikian, PPnBM hanya dikenakan pada saat penyerahan
BKP Mewah oleh pabrikan (pengusaha yang menghasilkan) dan pada
saat impor BKP Mewah. PPnBM tidak dikenakan lagi pada rantai
penjualan setelah itu. Adapun fihak yang memungut PPnBM tentu saja
pabrikan BKP Mewah pada saat melakukan penyerahan atau penjualan
BKP Mewah. Sementara itu, PPnBM atas impor BKP mewah dilunasi
oleh importir berbarengan dengan pembayaran PPN impor dan PPh
Pasal 22 Impor.
Dasar Pertimbangan Pengenaan PPnBM
1. perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang
berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan
tinggi;
2. perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak
Yang Tergolong Mewah;
3. perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau
tradisional;
4. perlu untuk mengamankan penerimaan negara;
Pengertian BKP Mewah
1. bahwa barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan
pokok; atau
2. barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
3. pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat
berpenghasilan tinggi; atau
4. barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
5. apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral
masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat, seperti
minuman beralkohol.

Pengertian Menghasilkan PPnBM dikenakan pada saat


Pengusaha yang menghasilan BKP Mewah menyerahkan kepada
fihak lain. Termasuk dalam pengertian menghasilkan adalah
sebagai berikut;

1. merakit: menggabungkan bagian-bagian lepas dari suatu barang


menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, seperti merakit
mobil, barang elektronik, perabot rumah tangga, dan
sebagainya;
2. memasak: mengolah barang dengan cara memanaskan baik
dicampur bahan lain atau tidak;
3. mencampur: mempersatukan dua atau lebih unsur (zat) untuk
menghasilkan satu atau lebih barang lain;
4. mengemas: menempatkan suatu barang ke dalam suatu benda
yang melindunginya dari kerusakan dan atau untuk
meningkatkan pemasarannya;
5. membotolkan: memasukkan minuman atau benda cair ke dalam
botol yang ditutup menurut cara tertentu;

Tarif, Kelompok dan Jenis BKP Mewah

Berdasarkan Pasal 8 Undang-undang PPN, ditentukan:

1. Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah paling rendah 10% (sepuluh
persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen).
2. Atas ekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dikenakan pajak dengan
tarif 0% (nol persen).
3. Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan kelompok Barang Kena Pajak Yang
Tergolong Mewah yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
4. Jenis Barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas Barang
Kena Pajak Yang Tergolong Mewah ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.”

Contoh soal :
Jasa kena pajak PT. X membangun outlet dengan luas bangunan 200 m2 dengan
biaya Rp 500.000.000,-
Jawaban:
DPP 40% x Rp 500.000.000 = Rp 200,000,000
PPN 10% x Rp 200.000.000 = Rp 20,000,000
PT. Samsung pabrik AC harga jual Rp 4.000.000,- termasuk PPN BM 20%
PPN = Rp 4.000.000 x 10% Rp 400,000
PPN BM = Rp 4.000.000 x 20% Rp 800,000
Harga Jual Rp 4,000,000
Yang harus dibayar Rp 5,200,000

Nilai Import
Cost insurance freigh (CIF) US$ 20.000
Nilai konversi Rp 9.500/US$
Bea masuk 20%
Jawaban:
Nilai import = US$ 20.000,- x Rp 9.500,- Rp 190,000,000
Bea masuk 20% x Rp 190.000.000,- Rp 38,000,000
DPP Rp 228,000,000
PPN 10% Rp 22,800,000
PPN BM 20% Rp 45,600,000
Yang harus dibayar Rp 68,400,000

Contoh soal:
PT. Korindo Motors mendapatkan tagihan dari PT. Suzuki atas pembelian mobil
Rp 375.000.000,- termasuk PPN dan PPN BM 40%
PPN BM 50/150 x Rp 375.000.000,- = Rp 125,000,000
PPN 10/150 x Rp 375.000.000,- = Rp 25,000,000
Rp 150,000,000
Harga Rp 375,000,000
PPN BM Rp (125,000,000)
PPN Rp (25,000,000)
Rp 225,000,000

Tarif PPnBM
KELOMPOK BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH
BERUPA KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK
PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

Tarif (%) Jenis Barang Kena Pajak


10 kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang sampai dengan 15
(lima belas)orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala
kompresi (diesel/semidiesel), dengan semua kapasitas isi silinder;
kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk
pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus api atau
nyala kompresi (diesel/semi diesel) dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak
(4x2), dengan kapasitas isi silinder tidak lebih dari 1500 cc;
25 kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang
termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus
api atau dengan nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem 1 (satu) gandar
penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan
2500 cc;
kendaraan bermotor dengan kabin ganda (double cabin), dalam bentuk kendaraan
bak terbuka atau bak tertutup, dengan penumpang lebih dari 3 (tiga) orang
termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi
(diesel/semi diesel), dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2) atau dengan
sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4), dengan semua kapasitas isi silinder,
dengan massa total tidak lebih dari 5 (lima) ton.
30 kendaraan bermotor sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api
atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan kapasitas isi silinder sampai
dengan 1500 cc;

kendaraan bermotor selain sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api
atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak
(4x4), dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 cc.

50 kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang


termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus
api, dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder
lebih dari 2500 cc sampai dengan 3000 cc;
kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk
pengemudi dengan motor bakar cetus api, berupa sedan atau station wagon dan
selain sedanatau station wagon, dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4),
dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan 3000 cc;
kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk
pengemudi dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel), berupa sedan
atau station wagon dan selain sedan atau station wagon, dengan sistem 2 (dua)
gandar penggerak (4x4), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai
dengan 2500 cc; dan semua jenis kendaraan khusus yang dibuat untuk golf.

60 kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas isi silinder lebih dari 250 cc
sampai dengan 500 cc; dan kendaraan khusus yang dibuat untuk perjalanan di atas
salju, di pantai, di gunung, dan kendaraan semacam itu.
75 kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang
termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api, berupa sedan atau station
wagon dan selain sedanatau station wagon, dengan sistem 1 (satu) gandar
penggerak (4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4) dengan
kapasitas isi silinder lebih dari 3000 cc;
kendaraan bermotor pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk
pengemudi, dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel) berupa sedan
atau station wagon dan selain sedan atau station wagon, dengan sistem 1 (satu)
gandar penggerak (4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4),
dengan kapasitas isi silinder lebih dari 2500 cc;
kendaraan bermotor beroda 2 (dua) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 500 cc;
trailer, semi-trailer dari tipe caravan, untuk perumahan atau kemah.

PPN DAN PPn BM DALAM TATA NIAGA KENDARAAN BERMOTOR

Sehubungan dengan adanya keragu-raguan dalam pelaksanaan ketentuan PPN di


bidang tata niaga kendaraan bermotor, dengan ini diberikan beberapa penegasan
sebagai berikut :
1. Dalam tataniaga kendaraan bermotor, mata rantai distribusi kendaraan
bermotor pada umumnya melewati lini-lini sebagai berikut :
a. Lini I : Importir Umum/ATPM/Industri Perakitan.
b. Lini II : Distributor
c. Lini III : Dealer
d. Lini IV : Sub-Dealer/Showroom
2. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-43/PJ.51/1989
tanggal 7 Agustus 1989 ditegaskan bahwa dalam rangka pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1988, setiap lini dalam distribusi
kendaraan bermotor dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) kecuali
lini IV (Sub-Dealer/Showroom) tidak dikukuhkan sebagai PKP karena
statusnya sebagai Pedagang Pengecer.
3. Sesuai dengan ketentuan Pasal 37 jo. Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 50
Tahun 1994 sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 59 Tahun 1999, bahwa mulai tanggal 1 Januari 1995
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1988 tentang Pengenaan PPN atas
Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang dilakukan oleh Pedagang Besar
dan penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) disamping Jasa yang dilakukan oleh
Pemborong, dinyatakan tidak berlaku.
4. Memperhatikan harga kendaraan bermotor saat ini, maka dalam tata niaga
kendaraan bermotor tidak ada Pengusaha Kecil, karena jumlah peredaran
usaha melebihi Rp. 240.000.000,00 dalam satu tahun buku. Oleh karena itu
setiap Pengusaha pada seluruh lini distribusi kendaraan bermotor tersebut
adalah Pengusaha Kena Pajak, termasuk Sub-dealer/Showroom.
5. Sebagai Pengusaha Kena Pajak, Pengusaha kendaraan bermotor berkewajiban
untuk melakukan hak dan kewajibannya sebagai PKP, yaitu: memungut,
menyetor dan melaporkan PPN dan/atau PPn BM yang terutang atas
penyerahan kendaraan bermotor yang dilakukannya.
6. Diinstruksikan kepada seluruh Kepala Kantor Pelayanan Pajak untuk
melakukan pengawasan kepatuhan dari masing-masing pihak yang terlibat
dalam pendistribusian kendaraan bermotor yang terdaftar di KPP masing-
masing.
7. Untuk mempermudah pemahaman mata rantai distribusi kendaraan bermotor
ini, dapat digambarkan sebagai berikut:
IMPORTIR UMUM/INDUSTRI PERAKITAN/ATPM
(PKP)

Anda mungkin juga menyukai